Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Tiada untaian kata yang lebih indah selain ucapan syukur ke hadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan karunia, taufik, hidayah, serta hidayah-Nya, sehingga makalah ini

dapat terselesaikan. Tidak lupa pula senantiasa kita panjatkan selawat serta salam

kepada junjungan dan panutan kita Muhammad SAW. Dalam

penyusunan makalah ini, disadari bahwa dalam tahap penyusunannya, tidak terlepas

dari berbagai kendala yang menghambat penyusunan. Namun berkat bantuan dan

motivasi dari berbagai pihak, sehingga kendala dan halangan tersebut dapat teratasi.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dosen mata kuliah, teman-teman, serta

pihak – pihak lainnya yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak

sempat disebutkan.

Dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu, kritik dan saran

yang sifatnya membangun sangat saya harapkan. Walau demikian, saya tetap berharap

makalah ini dapat memberikan manfaat.

Amin.

palopo, 22 Maret 2020

PENYUSUN
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………i KATA


PENGANTAR............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………...………….………....1

1.2 Rumusan Masalah……………………………...………………….…….......2

1.3 Tujuan………………………………………………………….....................2

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Rumput Laut........................... …………………………………...…………3

2.2 Rumput laut (Eucheuma spinosum)...........................................................….6

2.3 Rumput laut (Eucheuma spinosum) Sebagai Anti Bakteri…............….……8

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………………………………...………13

3.2 Saran……………………………………………………………...………..13 DAFTAR

PUSTAKA……………………………………………….....………iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 Km

serta terdiri dari 70% perairan dan 30% daratan merupakan kawasan pesisir lautan yang

memiliki berbagai sumber daya hayati yang sangat besar dan beragam. Berbagai sumber

daya hayati tersebut merupakan potensi pembangunan yang sangat penting sebagai

sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Indonesia merupakan pemasok utama

rumput laut dunia yaitu sekitar 60-70 % kebutuhan pasar dunia (Fatmawati, dkk., 2013).

Indonesia mempunyai potensi yang baik untuk mengembangkan dan

memanfaatkan kekayaan lautnya, termasuk rumput laut (Sulistyowati, 2003). Rumput

laut memiliki kandungan metabolit primer dan sekunder. Kandungan metabolit primer

seperti vitamin, mineral, serat, alginat, keragenan dan agar banyak dimanfaatkan sebagai

bahan kosmetik untuk pemeliharaan kulit. Selain kandungan primernya yang bernilai

ekonomis, kandungan metabolit sekunder dari rumput laut berpotensi sebagai produser

metabolit bioaktif yang beragam dengan aktivitas yang sangat luas sebagai antibakteri,

antivirus, antijamur dan sitotastik (Zainuddin dan Malina, 2009)

Rumput laut sudah banyak dibudidayakan dengan tujuan untuk memenuhi

permintaan pasar yang terus meningkat. Eucheuma spinosum merupakan salah satu

jenis algae merah menghasilkan karagenan yang banyak dimanfaatkan dalam bidang

industri kimia. Di Indonesia budidaya rumput laut umumnya menggunakan genus

Eucheuma dan biasanya metode budidaya yang digunakan adalah metode dasar dan

lepas dasar atau metode terapung (Aslan, 2005). Usaha budidaya dilakukan secara
intensif akan memberikan hasil yang baik, yaitu meningkatnya produksi dan ekspor

rumput laut.

Pencegahan terhadap serangan infeksi dapat dilakukan dengan menggunakan

antibiotik. Seiring dengan meningkatnya resistensi bakteri di dunia kesehatan, maka perlu

adanya penemuan obat baru. Sumber antibakteri baru dapat diperoleh dari senyawa

bioaktif yang terkandung dalam suatu tumbuhan, salah satunya dari rumput laut.

Senyawa bioaktif diperoleh dengan cara ekstraksi.

Ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan perpindahan zat

terlarut ke dalam pelarut. Maka disusunlah makalah ini untuk mengetahui aktivitas

antibakteri ekstrak kasar rumput laut terhadap bakteri uji M. Tuberculosis serta

mengidentifikasi golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak rumput laut.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Eucheuma spinosum mampu bersifat sebagai anti bakteri?

2. Senyawa metabolit sekunder apa yang terkandung dalam Eucheuma spinosum dan

bagaimana cara mengidentifikasinya?

3. Apakah senyawa Triterpenoid Asam karboksilat dapat menghambat pertumbuhan M.

Tuberculosis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sifat Eucheuma Spinosum sebagai anti mikroba.

2. Untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam

Eucheuma spinosum dan cara mengidentifikasinya.

3. Untuk mengetahui kereaktifat senyawa Triterpenoid Asam karboksilat terhadap M.

Tuberculosis. .
BAB II PEMBAHASAN

A. Rumput Laut
Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar (macroalgae) yang

merupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk kedalam divisi thallophyta. Dari segi

morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang

dan daun, Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun

sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka.

Bentuk thallus rumput laut ada bermacammacam, antara lain bulat, seperti tabung,

pipih, gepeng, dan bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya (Alam, 2011).

Thallophyta adalah tanaman yang morfologinya hanya terdiri dari thallus,

tanaman ini tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Fungsi ketiga bagian

tersebut digantikan oleh thallus. Tiga kelas utama rumput laut dari thallophyta adalah

Rhodophyceae (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae

(ganggang hijau) yang ketiganya dibedakan oleh kandungan pigmen dan klorofil.

Rhodophyceae yang umumnya berwarna merah, coklat, nila dan bahkan hijau

mempunyai sel pigmen fikoeritrin. Phaeophyceae umumnya berwarna kuning kecoklatan

karena sel–selnya mengandung klorofil a dan c. Chlorophyceae umumnya berwarna

hijau karena sel-selnya mengandung klorofil a dan b dengan sedikit karoten (Alam,

2011).

Rumput laut bukanlah suatu hal yang asing. Bagi masyarakat yang bermukim di

daerah pesisir, masyarakat telah mengenal dan memanfaatkan dalam kehidupan

sehari-hari, baik sebagai bahan obat tradisonal maupun bahan makanan. Adanya

kemajuan teknologi dibidang penelitian rumput laut, mendorong pemanfaatan rumput


tidak terbatas pada aspek kesehatan tetapi memasuki ke segala bidang (Siregar, dkk.,

2012).

Rumput laut merupakan multiseluler yang berpotensi sebagai sumber daya

terbarukan dibidang lingkungan maupun komersil. Rumput laut mengandung senyawa

bioaktif farmakologi penting seperti, flavonoid, karatenoid, protein, serat makanan,

asam lemak esensial, vitamin dan mineral. Rumput laut saat ini banyak digunakan

sebagai suplemen makanan diet dalam kehidupan sehari-hari dan mengatur kesehatan

manusia dengan mengendalikan berbagai kondisi patogen. Di akhir jalur metabolisme

jika terdapat jumlah radikal bebas yang berlebih akan berbahaya bagi manusia dan akan

merusak sel (Foon, dkk., 2013).

Rumput laut mempunyai fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara langsung atau dikenal secara ekologi rumput laut menyediakan makanan bagi

ikan dan invertebrta terutama thallus muda. Sedangkan secara tidak langsung rumput

laut digunakan dalam berbagai industri yaitu pangan,kosmetik,obat- obatan,pupuk,

tekstil, kulit dan industri lainnya (Indriani dan Sumiarsih,1991). Rumput laut hijau, merah

ataupun coklat merupakan sumber potensial senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat

bagi pengembangan (1) industry farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti

kanker atau sebagai reversal agent dan (2) industri agrokimia terutama untuk

antifeedant, fungisida dan herbisida (Bachtiar, 2007).

Saat ini, sekitar 50% dari obat yang digunakan dalam uji klinis

untuk aktivitas anti kanker diisolasi dari sumber alami seperti rumput laut dan rempah-

rempah. Sejumlah senyawa aktif seperti flavonoid, terpenoid, dan alkaloid telah terbukti

memiliki aktifitas anti kanker. Menurut laporan dari National Cancer Institute (NCI),
kriteria aktivitas anti kanker untuk ekstrak kasar tumbuhan adalah IC50<30 μg/ml

(Sujatha, dkk., 2015).

Menurut Kordi (2010) bahwa rumput laut banyak dimanfaatka oleh masyarakat

pesisir sebagai obat luar, salah satunya sebagai bahan antiseptik alami. Hasil penelitian

menunjukkan potensi rumput laut sebagai antibakteri patogen yang dapat menyebabkan

penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi adalah infeksi pada kulit.

Bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman

patogen yang sering menyebabkan infeksi kulit pada manusia, sedangkan Micrococcus

luteus

merupakan bakteri yang sering ditemukan menginfeksi kulit ikan (Refdanita, dkk., 2004).

Rumput laut merah merupakan jenis yang paling banyak di manfaatkan dan bernilai

ekonomis. Tumbuh di dasar perairan laut sebagai fitobentos dengan menancapkan atau

meletakkan pada substrat lumpur, pasir, karang hidup dan mati. Jenis rumput laut merah

yang banyak dimanfaatkan seperti Eucheuma sp., Gelidium sp., Gracilaria sp., dan

Hypnea sp. Di Indonesia sudah banyak produksi bahan baku rumput laut karena

kandungan yang dimilikinya yaitu agar-agar, karaginan, porpiran, maupun pigmen

fikobilin. Ciri khas rumput laut merah yaitu mengandung pigmen fikobilin yang terdiri

dari fikoeritrin dan fikosianin. Alga merah (Rhodophyceae) merupakan salah satu

organisme laut yang dapat menyediakan sumber bahan alam dalam jumlah yang

melimpah dan mudah untuk dibudidayakan. Berbagai bahan aktif dari alga telah

ditemukan penggunaannya seperti antibakteri, antivirus, antijamur, sitotoksik, antialga

dan lainnya (Fattah, dkk.,).


B. Rumput laut (Eucheuma spinosum)

Rumput laut dianggap sebagai sumber biomassa generasi ketiga untuk produksi

bioetanol. Rumput laut memiliki produktivitas yang tinggi per satuan luas per tahun, dan

tidak ada persaingan dengan tanaman pangan. Saat ini,

Eucheuma spinosum dibudidayakan komersial di Filipina, Cina, Indonesia, Malaysia

(Sabah), Tanzania, dan Kiribati. Polisakarida di spesies Eucheuma sebagian besar dalam

bentuk karagenan, sebagai komponen dinding sel. Karagenan adalah utama polisakarida

hadir dalam banyak makroalga merah (rumput laut) (Ra, dkk., 2015).

Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut ratarata

pada pasut bulan-setengah. Alga ini mempunyai thallus yang silindris berdaging dan kuat

dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke samping pada beberapa jenis,

thallusnya licin. Warna alganya ada yang tidak merah, tetapi hanya coklat kehijau-

hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah.

Di Indonesia tercatat empat jenis, yakni Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Eucheuma

alvarezii dan Eucheuma serra (Alam, 2011).

Eucheuma spinosum merupakan rumput laut dari kelompok Rhodopyceae (alga

merah) yang mampu menghasilkan karaginan. Eucheuma dikelompokkan menjadi

beberapa spesies yaitu Eucheuma edule, Eucheuma spinosum, Eucheuma cottoni,

Eucheuma cupressoideum dan masih banyak lagi yang lain. Kelompok Eucheuma yang

dibudidayakan di Indonesia masih sebatas pada Eucheuma cottoni dan Eucheuma

spinosum. Eucheuma cottoni dapat menghasilka kappa karaginan dan telah banyak

diteliti baik proses pengolahan maupun elastisitasnya. Sedangkan Eucheuma spinosum

mampu menghasilkan iota karaginan (Alam, 2011).


Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada rataan terumbu karang, batu karang,

batua, benda keras, dan cangkang kerang. Eucheuma spinosum memerlukan sinar

matahari untuk proses fotosintesis sehingga hanya hidup pada lapisan fotik. Habitat khas

dari Eucheuma adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, lebih

menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati (Alam, 2011).

Eucheuma spinosum termasuk dalam kelas Rhodophyceae atau alga merah dengan

klasifikasi sebagai berikut:. Kingdom : Plantae

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Solieracea

Genus : Eucheuma

Species :Eucheuma spinosum

Gambar 1. Rumput laut Eucheuma spinosum


Menurut Prajitno (2006) telah didapatkan fakta bahwa rumput laut Halimeda

opuntia mengandung senyawa polifenolik atau flavonoid yang terdiri dari quercitrin,

epigallocathecin, cathecol, hesperidin, miricetin dan morin. Epigallocathecin merupakan


komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan. Penggunaan rumput

laut Euceuma spinosum juga merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan

adalah sebagai bahan antimikroba.

C. Rumput laut (Eucheuma spinosum) Sebagai Anti Bakteri


Terapi penyakit menular dengan meggunakan obat anti mikrtoba memiliki

keterbatasan karena perubahan pola resistensi di patogen dan efek samping yang

dihasilkan. Dengan kekurangan ini, maka perlu meningkatkan propeto farma kinetik

yang memerlukan penelitian lebih jauh untuk pencarian senyawa antimikroba baru

sebagai pengembangan obat. Rumput laut telah banyak digunakan sebagai obat

tradisional yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri sejak tahun 1971. Sejak itu,

banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan dan mengekstrak senyawa

antimikrobadari ganggang laut Eucheuma denticulatum yang sekarang dikenal dengan

nama komersial dan perdagangan yaitu Eucheuma spinosum (Al-hajj, dkk., 2009).

Tuberkulosis adalah penyakit menular kronis dan salah satu musuh utama

manusia dari dahulu. Hari ini masih tetap sebagai salah satu yang paling serius dari

masalah medis dan sosial. Menurut estimasi oleh Dunia Organisasi Kesehatan (WHO),

sekitar satu sepertiga dari populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis,

delapan juta orang mengembangkan penyakit TBC setiap tahunnya, sementara dua juta

orang meninggal dan tiga lain juta kasus baru yang ditambahkan setiap satu tahun

(WHO, 2008).

M. tuberculosis kompleks isolat ditemukan menjadi faktor risiko potensial untuk

MDR-TB. Untuk mengatasi situasi ini, perlu dan penting untuk mengembangkan tidak

hanya pengobatan baru, seperti terapi kombinasi antara obat klinis dengan produk

senyawa alami, tetapi juga obat anti mikobakteri untuk kontrol klinis berkhasiat
terhadap pasien Tuberkolosis (TBC). Di sisi lain, lingkungan laut mengandung lebih dari

80% tanaman dan species hewan dengan lebih dari 150.000 rumput laut ditemukan di

zona intertidal dan perairan tropis lautan, sebagai sumber produk alami. Penelitian hasil

produk alam telah memberikan sejumlah obat dan senyawa baru, yang diisolasi dari alga

laut ditemukan menjadi aktif terhadap MDR TB.Mengingat potensi dan keanekaragaman

hayati flora alami di Indonesia terutama ganggang laut, penting untuk menjelajahinya

untuk prototipe obat baru untuk penyakit TBC (Ahmad dan Massi, 2013).

Menurut (Ahmad dan Massi, 2013), tahap-tahap Euchema spinosum sebagai

anti bakteri, yaitu:

1. Ekstraksi dan Isolasi


Sebanyak 3,2 kg alga kering dimaserasi dengan MeOH selama 72 jam, disaring,

dan pelarut menguap untuk mendapatkan ekstrak coklat gelap sebesar 312 g. Ekstrak

dipartisi dengan kloroform menghasilkan 51 g produk. Ekstrak kloroform difraksinasi

dengan VLC dan menghasilkan fraksi utama. Tes kemurnian dilakukan dengan analisis

KLT.

2. Instrumen
Titik leleh ditentukan dengan menggunakan mikro pengukuran titik leleh.

Penentuan IR spektrum dilakukan dengan spektrometer Shimadzu (Jepang). NMR

spektrum 1H, 13C dan HMBC diperoleh menggunakan Bruker, Jerman DPX-500

spektrometer pada 300 MHz (1H) dan 125 MHz (13C) dengan TMS sebagai standar

eksternal. Pemisahan dan identifikasi senyawa dilakukan dengan VLC oleh Merck Si gel

60 (230-400 mesh), dan TLC pada aluminium atau kaca piring dilapisi dengan

Si gel 60 F254 dan ketebalan 0,25 mm.


3. Uji Anti Mikroba

Untuk screening bioaktivitas awal,dilakukan tes untuk menilai antimikroba yang

aktif terhadap ekstrak Methanol, fraksi kloroform, dan senyawa 1 dengan konsentrasi

akhir 10 mg / mL, masing-masing, menggunakan strain M. Tuberculosis H37Rv dan

pelarut DMSO sebagai kontrol negatif ditambah INH sebagai kontrol positif . Untuk

menguji aktivitas anti mikobakteri dari senyawa 1, M. tuberculosis H37Rv ditumbuhkan

pada Middlebrook 7H19-OADC (oleat asam, albumin,

dekstrosa, katalase) pada 37 °C selama 3 minggu.

Hasil yang di peroleh dari tahap-tahap tersebut bahwa ekstrak metanol dari

bubuk ganggang merah Eucheuma spinosum menghasilkan fraksi kloroform, fraksi

selanjutnya dipisahkan dengan silika gel kromatografi dan mengkristal untuk

mendapatkan senyawa 1. Senyawa 1 yang di peroleh adalah kristal bubuk putih dengan

titik leleh 176-177 °C, memberikan indikasi adanya triterpenoid. Menggunakan spektrum

inframerah menunjukkan pita serapan untuk hidroksil

(1097), kelompok alifatik (2962, 2918 dan 2850), C = C (1635), CH2 (1459), CH3 (1378),

C= O (1705, 1072) dan pita serapan kuat di 1026 yang ditandai sebagai senyawa asam

karboksilat (Ahmad dan Massi, 2013).


Gambar 2. Struktur Senyawa Triterpenoid Asam
Karboksilat dari alga merah Eucheuma
spinosum
Pada analisis dengan menggunakan NMR 13C NMR dan DEPT

memperlihatkan spektrum 30 karbon (7 × CH3, 11 × CH2, 4 × CH, 8 × C termasuk

COOH), sehingga rumus molekul Senyawa 1 itu disimpulkan menjadi C 30H46O2.

Spektrum 1H NMR memperlihatkan kehadiran tujuh kelompok metil tersier pada karbon

jenuh yang merupakan proton aksial yang melekat pada C-4 mengandung gugus metil,

satu olefin proton dan dua karbon olefin yang menunjukkan bahwa senyawa 1 milik

triterpenoid, dan ikatan rangkap C=C adalah pada C-12 dan C-13 (Ahmad dan Massi,

2013).

Pada uji antimikroba dari semua fraksi, dan senyawa 1 pada konsentrasi 10 µg /

mL diukur dengan menginkubasi sel mikobakteri pada media. Fraksi MeOH pada

konsentrasi 10 ug / mL mampu menurunkan pertumbuhan sel mikobakteri, dimana

fraksi kloroform dan senyawa 1 di konsentrasi yang sama tidak ada pertumbuhan koloni

M. tuberculosis pada medium. Namun, kontrol negatif (DMSO) melakukan aktivitas anti-

mikobakteri ini senyawa terhadap uji M.


Tuberculosis dilakukan dengan media MGIT. Aktivitas anti-mikobakteri senyawa 1 pada

konsentrasi yang berbeda 0, 0,5, 2, dan 4 mg/ mL. Senyawa 1 pada konsentrasi 0,5 dan 2

mg / mL mampu menurunkan pertumbuhan sel mikobakteri. Selanjutnya, pada

konsentrasi 4 mg/ mL menunjukkan penghambatan yang signifikan dari pertumbuhan M.

tuberculosis (Ahmad dan Massi, 2013).

Selain sebagai anti bakteri Eucheuma spinosum juga bisa sebagai anti oksidan.

Elektron sel manusia biasanya tidak dalam kesetimbangan akibat serangan radikal bebas

yang membawa berbagai penyakit sebagai akibat dari perubahan dalam rantai elektron

dalam tubuh. Mengkonsumsi tanaman yang mengandung anti oksidan adalah sebagai

salah satu solusi untuk menetralkan radikal bebas tersebut. Rumput laut merah

merupakan salah satu tanaman yang mengandung anti oksidan yang dapat diperoleh

dari ekstrak pelarut organik (Dotulong, dkk., 2013)


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Jenis rumput laut merah (Eucheuma spinosum) mempunyai banyak manfaat salah

satunya dapat digunakan sebagai anti bakteri.

2. Eucheuma spinosum mengandung senyawa metabolit sekunder aktif yang telah di

identifikasi dengan menggunakan FTIR, NMR dan pengujian titik leleh.

3. Senyawa Triterpenoid Asam Karboksilat yang diisolasi dari rumput laut merah

(Eucheuma spinosum) bersifat aktif terhadap M. Tuberkulosis.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui lebih
banyak lagi tentang alga merah khususnya Eucheuma spinosum serta manfaat-manfaatnya
guna menambah wawasan untuk pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., dan Massi, M. N., 2013, Inhibitive Enhancement of Isoniasid Treatment On
Mycobacterium Tubercolosis Through Triterpenoid Carbocylic Acid From Red
Algae Euchema Spinosum, International Journal of Pharma and Bio Sciences, 4
(2): 231-237.

Al-hajj, N., Mashan, N.I., Shamsudin, M.N., Mohamad, H., Virappan, C.S., Sekawi,

Z., 2009, Antibacterial Activity in Marine Algae Eucheuma denticulatum Against


Staphylococcus aureus and Streptococus Pyogenes, Research Jurnal Of
Biological Sciences, 4 (4): 519-524.

Alam, A.A., 2011, Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma spinosum Di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar, Skripsi pada FIKP Universitas
Hasanuddin: Diterbitkan.

Aslan, 2005, Budidaya rumput laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Bachtiarp, A. 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Laut (Alga) Sebagai Biotarget
Industri. [Makalah], Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjadjaran, Jatinagor.

Dotulong, V., Widjanarko, S.B., Yunianta, Mamahit, L.P, 2013, Antioxidant Activity of
Three-Marine Algae Methanol Extract Collected from North

Sulawesi Waters, Indonesia, International Journal of Science and Engineering


Investigations, 2 (20): 26-30

Fathmawati, D., Abidin, R.P., Roesyadi, A., 2013, Studi Kinetika Pembentukan Karaginan
Dari Rumput Laut, Jurnal Teknik Pomits, 1, 2301-9271.

Fattah, A., Muslimin, L., Omar, S.B.A., Efektifitas Alga Merah Eucheuma spinosum
Sebagai Anti Bakteri Patogen Pada Organisme Budidaya Pesisir dan Manusia,
Makassar, Sulawesi Selatan.

Foon, T.S., Ai, L.A., Kuppusamy, P., Yusoff, M., Govindan, N., 2013, Studies on in-vitro
antioxidant activity of marine edible seaweeds from the east coastal region of
Peninsular Malaysia using different extraction methods, Journal of Coastal
Life Medicine, 1 (3): 193-198.
Indriani, H dan Sumiarsih, E., 1997, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut.

Kordi, K. 2010. A to Z Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmetik dan Obat-obatan.
Penerbit Andi, Yogyakarta: 226 hlm.
Prajitno, A. 2006. Pengendalian Penyakit Vibrio harveyii dengan Ekstrak Rumput laut
(Halimeda opuntia) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fab) PL13.
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.

Ra, C.H., Jung, J.H., Sunwoo, I.Y., Kang, C.H., Jeong, G.T., Kim, S.K., 2015, Detoxification
of Eucheuma spinosum Hydrolysates with Activated Carbon for Ethanol
Production by the Salt-Tolerant Yeast Candida tropicalis, J. Microbiol.
Biotechnol, 25 (6): 856–862

Refdanita, Maksum, R., Nurgani, A., dan Endang, P. 2004. Faktor yang
Mempengaruhi Ketidaksesuaian Penggunaan Antibiotika dengan Uji
Kepekaan di Ruang Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 20012002.
Makara, Kesehatan, 8 (1): 21-26.

Sujatha, S., Rajasree, S.R., Sowmya, J.D., Donatus, M., 2015, Imminent Intriguing
Acquired Potential Biological Effect Of Marine Sea Weeds, World Jurnal Of
Pharmaceutical Research, 4 (5): 524-541.

Sulistyowati, H. 2003, Struktur Komunitas Seaweed (rumput laut) di Pantai Pasir Putih
Kabupaten Situbondo, Jurnal Ilmu Dasar. 4 (1): 58-61.

World Health Organization (2008). Global Tuberculosis Control: Surveillance, Planning,


Financing. WHO report 2008, WHO/HTM/TB/2008.

Zainuddin, E. N dan Malina, A, C. 2009. Skrining Rumput Laut Asal Sulawesi Selatan sebagai
Antibiotik Melawan Bakteri Patogen pada Ikan. [Laporan Penelitian] Research
Grant, Biaya IMHERE-DIKTI.

Anda mungkin juga menyukai