Anda di halaman 1dari 10

Nama : Aqilla Fadia Haya

NIM : 190503171
Prodi : S1-Akuntansi
Kelas : AR-D
Mata Kuliah : Etika Bisnis dan Profesi
“Tugas Resume”
1. Pengertian Profesi

Menurut Hidayat Nur Wahid dalam Economics, Business, Accounting Review, edisi
II/April 2006, profesi adalah sebuah pilihan yang sadar dilakukan oleh seseorang, sebuah
'pekerjaan' yang secara khusus dipilih, dilakukan dengan konsisten, kontinu ditekuni,
sehingga orang bisa menyebut kalau dia memang berprofesi di bidang tersebut. Sedangkan
profesionalisme yang memayungi profesi tersebut adalah semangat, paradigma, spirit,
tingkah laku, ideologi, pemikiran, gairah untuk terus menerus secara dewasa (mature),
secara intelek meningkatkan kualitas profesi mereka.
Menurut Kanter (2001), profesi adalah pekerjaan dari kelompok terbatas orang-orang
yang memiliki keahlian khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman lain,
atau diperoleh melalui keduanya sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau
memberi nasehat/saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri.
Menurut Brooks (2004): ... it is a combination of features, duties, and rights all
framed within a set of common professiond values-values that determine how decisions
are made and actions are taken." Atau kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih
dapat diartikan: "Profesi adalah suatu kombinasi fitur, kewajiban dan hak yang
kesemuanya dibingkai dalam seperangkat nilai- nilai profesional yang umum-nilai-nilai
yang menentukan bagaimana keputusan dibuat dan bagaimana tindakan dilaksanakan."
2. Bisnis Sebagai Profesi

Bila mengacu kepada pengertian profesi dalam arti luas, yaitu sebagai "pekerjaan
penunjang nafkah hidup", maka sangat jelas bahwa semua aktivitas bisnis dapat dianggap
sebagai profesi. Sebagaimana diketahui bahwa bisnis dapat diartikan sebagai suatu
lembaga/wadah yang di dalamnya berkumpul banyak orang dari berbagai latar belakang
pendidikan dan keahlian untuk bekerjasama dalam menjalankan aktivitas produktif dalam
rangka memberikan manfaat ekonomi (pendapatan/keuntungan) bagi semua pelaku bisnis
yang berkepentingan (stakeholders).

Namun bila yang dimaksudkan adalah pengertian profesi dalam arti yang lebih terbatas/
khusus, maka akan muncul perdebatan apakah bisnis dapat dianggap sebagai profesi atau
tidak. Dalam konteks ini diperlukan minimal tiga kaidah agar suatu pekerjaan dapat disebut
sebagai profesi, yaitu: pengetahuan/ilmu, keterampilan, dan komitmen moral (etika).
Sebagaimana dikatakan oleh Sonny Keraf (1998), sampai saat ini masih timbul pendapat
pro dan kontra tentang apakah bisnis dapat disebut sebagai profesi atau tidak, terutama bila
dikaitkan dengan elemen ketiga dari persyaratan suatu profesi, yaitu perlu tidaknya
menegakkan komitmen moral dalam menjalankan praktik bisnis. Masih ada
mitos/pandangan yang meyakini bahwa bisnis itu adalah amoral. Pandangan ini
diungkapkan oleh De George (dalam Sonny Keraf, 1998) dan ternyata masih banyak
pendukungnya. Pandangan bisnis amoral berarti bahwa bisnis tidak ada hubungannya
dengan masalah moral/etika. Bisnis adalah bisnis, dan dalam berbisnis jangan
dicampuradukkan dengan masalah etika. Dunia bisnis penuh dengan persaingan; siapa
yang lemah akan kalah dalam persaingan dan siapa yang kuat akan unggul dalam
persaingan. Dalam konteks ini, para pesaing dianggap sebagai musuh yang mengancam
keberadaan perusahaan.
Bisnis dapat dianggap sebagai profesi karena telah sesuai dengan definisi dan ciri-ciri
suatu profesi, yaitu:
a. Profesi adalah pekerjaan dan di dalam bisnis terdapat banyak jenis pekerjaan.

b. Sebagian besar jenis pekerjaan di dalam perusahaan—terutama yang dilaksanakan oleh


jajaran manajemen—menuntut pengetahuan dan keterampilan tinggi, baik melalui
pendidikan formal maupun melalui berbagai jenis pelatihan dan pengalaman.
c. Profesi menuntut penerapan kaidah moral/etika yang sangat ketat. Begitu pula di dalam
bisnis. saat ini telah disadari bahwa semua pelaku bisnis—khususnya para
eksekutif/manajemen—juga harus dituntut mempunyai tingkat kesadaran/kaidah moral
yang tinggi.
d. Tuntutan kaidah moral yang tinggi menjadi keharusan dalam bisnis karena pengalaman
membuktikan bahwa perilaku para pelaku bisnis menentukan kinerja perusahaan yang
akan berpengaruh besar bagi kehidupan ekonomi masyarakat dan negara baik secara
positif maupun secara negatif.
3. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis

Di bawah ini dikutip beberapa contoh prinsip- prinsip etika dari beberapa sumber.

a. Prinsip-prinsip etika bisnis menurut Caux Round Table (dalam Alois A. Nugroho,
2001)
Prediksi John Naisbitt akan adanya standar perilaku etis dunia yang universal makin
mendekati kebenaran dengan munculnya prinsip etika internasional pertama dalam
bidang bisnis yang dihasilkan dalam pertemuan para eksekutif puncak bisnis dari
Amerika, Eropa, dan Jepang pada bulan Juli 1994. Pertemuan itu dikenal dengan Caux
Round Table. Bisa dipahami bahwa prinsip-prinsip etika bisnis ini merupakan suatu
kombinasi yang dilandasi secara bersama oleh konsep etika Jepang kyosei yang sifatnya
lebih menekankan kebersamaan (communitarian) dan konsep etika Barat yang lebih
menekankan pada penghormatan terhadap martabat/nilai-nilai individu (human
dignity). Prinsip-prinsip etika bisnis menurut Caux Round Table adalah:
1) Tanggung Jawab Bisnis: dari Shareholders ke Stakeholders
Menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara luas (stakeholders), bukan
hanya terbatas untuk kepentingan shareholders—para pemegang saham (pemilik
perusahaan). Dengan demikian, para eksekutif puncak perusahaan menurut
paradigma baru adalah mewakili dan memperhatikan kepentingan semua
pemangku kepentingan (stakeholders). Menurut teori keagenan (paradigma lama),
para eksekutif puncak perusahaan diangkat oleh para pemegang saham sehingga
maka para eksekutif ini hanya bekerja untuk kepentingan para pemegang saham
saja. Jadi, orientasinya adalah menciptakan keuntungan dan kekayaan bagi para
pemegang saham.
Menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara luas (stakeholders), bukan
hanya terbatas untuk kepentingan shareholders—para pemegang saham (pemilik
perusahaan). Dengan demikian, para eksekutif puncak perusahaan menurut
paradigma baru adalah mewakili dan memperhatikan kepentingan semua
pemangku kepentingan (stakeholders). Menurut teori keagenan (paradigma lama),
para eksekutif puncak perusahaan diangkat oleh para pemegang saham sehingga
maka para eksekutif ini hanya bekerja untuk kepentingan para pemegang saham
saja. Jadi, orientasinya adalah menciptakan keuntungan dan kekayaan bagi para
pemegang saham.
2) Dampak Ekonomis dan Sosial dari Bisnis: Menuju Inovasi, Keadilan dan
Komunitas Dunia
Prinsip ini menyiratkan bahwa kegiatan bisnis tidak semata mencari keuntungan
ekonomis, tetapi juga mempunyai dimensi sosial dan perlunya menegakkan
keadilan dalam setiap praktik bisnis mereka. Prinsip ini juga menyiratkan bahwa
kegiatan bisnis ke depan harus selalu didasarkan atas inovasi dan keadilan. Semua
pihak harus menciptakan suatu iklim dan kesadaran agar aktivitas bisnis dapat bebas
bergerak secara global melampaui batas-batas suatu negara menuju satu kesatuan
masyarakat ekonomi dunia.
3) Perilaku Bisnis: dari Hukum yang Tersurat ke Semangat Saling Percaya

Prinsip ini menekankan pentingnya membangun sikap kebersamaan dan sikap


saling percaya yang dapat dikembangkan bila para pelaku bisnis mempunyai
integritas dan kepedulian sosial.
4) Sikap Menghormati Aturan

Prinsip ini menyiratkan perlunya dikembangkan perangkat hukum dan aturan


yang berlaku secara multilateral dan diharapkan semua pihak dapat tunduk dan
menghormati hukum/aturan multilateral tersebut.
5) Dukungan bagi Perdagangan Multilateral

Prinsip ini merupakan prinsip yang memperkuat prinsip kedua agar semua pihak
mendukung perdagangan global dalam mewujudkan satu kesatuan ekonomi dunia.
6) Sikap Hormat bagi Lingkungan Alam
Prinsip ini meminta kesadaran semua pelaku bisnis akan pentingnya bersama- sama
menjaga lingkungan bumi dan alam dari berbagai tindakan yang dapat memboroskan
sumber daya alam atau mencemarkan dan merusak lingkungan hidup.

7) Menghindari Operasi-operasi yang Tidak Etis

Prinsip ini mewajibkan semua pelaku bisnis untuk mencegah tindakan-tindakan


tidak etis, seperti: penyuapan, pencucian uang, korupsi, dan praktik-praktik tidak
etis lainnya.
b. Prinsip etika bisnis menurut Sonny Keraf (1998)

Setidaknya ada lima prinsip etika bisnis yang dapat dijadikan titik tolak pedoman
perilaku dalam menjalankan praktik bisnis, yaitu:
1) Prinsip Otonomi

Prinsip otonomi menunjukkan sikap kemandirian, kebebasan, dan tanggung


jawab. Syarat mutlak yang harus diciptakan untuk membentuk sikap mandiri adalah
mengembangkan suasana kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Namun harus
disadari bahwa kebebasan dalam hal ini harus disertai dengan kesadaran
memunculkan manusia pengecut dan munafik, sedangkan kebebasan disertai
tanggung jawab akan pentingnya memupuk rasa tanggung jawab. Kebebasan tanpa
rasa tanggung jawab akan akan menumbuhkan "sikap kesatria", yaitu sikap berani
bertindak dan mengatakan hal yang benar sekaligus berani dan berjiwa besar
mengakui suatu kesalahan, serta berani menanggung konsekuensinya.
2) Prinsip Kejujuran

Prinsip kejujuran menanamkan sikap bahwa apa yang dipikirkan adalah yang
dikatakan, dan apa yang dikatakan adalah yang dikerjakan. Prinsip ini juga
menyiratkan kepatuhan dalam melaksanakan berbagai komitmen, kontrak, dan
perjanjian yang telah disepakati. Prinsip kejujuran menjadi prasyarat untuk
membangun jaringan bisnis dan kerja tim yang dilandasi oleh rasa saling percaya
dengan semua mitra usaha dan mitra kerja.
3) Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan menanamkan sikap untuk memperlakukan semua pihak secara


adil, yaitu suatu sikap yang tidak membeda-bedakan dari berbagai aspek, baik dari
aspek ekonomi, aspek hukum, maupun aspek lainnya, untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam hal perekrutan karyawan, promosi jabatan, pemilihan
mitra usaha, dan sebagainya.
4) Prinsip Saling Menguntungkan

Prinsip saling menguntungkan menanamkan kesadaran bahwa dalam berbisnis


perlu ditanamkan prinsip win-win solution, artinya dalam setiap keputusan dan
tindakan bisnis harus diusahakan agar semua pihak merasa diuntungkan. Prinsip ini
melandasi lahirnya konsep stakeholders dalam proses keputusan dan tindakan
bisnis.
5) Prinsip Integritas Moral

Prinsip integritas moral adalah prinsip untuk tidak merugikan orang lain dalam
segala keputusan dan tindakan bisnis yang diambil. Prinsip ini dilandasi oleh
kesadaran bahwa setiap orang harus dihormati harkat dan martabatnya. Inti dari
prinsip ini adalah apa yang disebut sebagai the golden rule atau kaidah emas, yaitu:
"Perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan dan jangan dilakukan
pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain perlakukan kepada Anda."
c. Prinsip etika bisnis menurut Lawrence, Weber, dan Post (2005)

Prinsip etis merupakan tuntunan bagi perilaku moral. Contoh prinsip etika antara
lain: kejujuran, pegang janji, membantu orang lain, dan menghormati hak-hak orang
lain. Sementara itu. berbohong, mencuri, menipu, membahayakan/merugikan orang
lain adalah contoh penyimpangan dari prinsip perilaku etis. Lawrence, Weber, dan Post
sendiri tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang prinsip-prinsip etika bisnis ini
karena prinsip-prinsip tersebut mungkin sudah dianggap jelas dengan sendirinya.
d. Weiss (2006)

Weiss mengemukakan empat prinsip etika, yaitu: martabat/hak, kewajiban,


kewajaran, dan keadilan. Weiss tidak memberikan uraian lebih lanjut tentang prinsip-
prinsip etika bisnis yang diungkapkannya.
4. Etika Lingkungan Hidup
Isu Lingkungan Hidup
Pada umumnya, masalah etika selama ini hanya dipahami sebatas pengaruh perilaku
manusia terhadap manusia lainnya. Baik teori deontologi (teori kewajiban). teori teleologi
(teori konsekuenai akibat), maupun teori teonom (kepercayaan kepada Tuhan, kekuatan
transendental, potensi tak terbatas), semuanya lebih banyak menyorot etika dari sudut
pandang manusia sebagai satu-satunya pusat pertimbangan moral, yang menurut istilah
Frankena disebut sebagai moral patient (dalam Alois A. Nugroho, 2001).
Persoalan lingkungan hidup—yaitu hubungan dan keterkaitan antara manusia dengan
alam dan pengaruh tindakan manusia terhadap kerusakan lingkungan—baru mulai disadari
pada paruh kedua abad ke-20, bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis modern
dengan dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesadaran ini mulai muncul
setelah ada indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi global yang ditulang punggungi oleh
perusahaan-perusahaan raksasa berskala global (multinasional) telah mulai mengancam
eksistensi bumi. Sebagaimana dikatakan oleh Bertens (2001). pertumbuhan ekonomi global
saat ini telah memunculkan enam persoalan lingkungan hidup, yaitu: akumulasi bahan
beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforestasi dan
penggurunan, serta kematian bentuk-bentuk kehidupan.
a. Akumulasi Bahan Beracun

Sudah bukan rahasia lagi bahwa pabrik-pabrik yang berdiri selama ini umumnya
membuang limbahnya ke dalam saluran yang pada akhirnya mengalir ke sungai dan
laut. Berbagai kasus pencemaran air akibat limbah beracun sudah sering kali muncul di
media massa sehingga sudah menjadi berita biasa saja.
Bukan saja air sungai dan laut yang mulai tercemar. Udara di sekitar kita—terutama
di kota kota besar—juga telah tercemar oleh asap hitam yang mengandung gas beracun
yang keluar dari knalpot berbagai merek dan jenis kendaraan bermotor. Produksi
kendaraan bermotor yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik otomotif secara terus panjang
jalan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan produksi kendaraan bermotor.
Akibatnya, kemacetan di jalan raya makin parah dan dengan sendirinya makin
memperparah polusi udara di sekitarnya.
Banyaknya penggunaan berbagai jenis pupuk kimia non-organik dengan takaran tak
terkendali untuk meningkatkan produksi pertanian telah terbukti mulai mencemari hasil
produk pertanian. Belum lagi, saat ini makin banyak dijumpai kasus di mana produk
hasil pertanian dan hasil olahan industri rakyat seperti tahu, tempe, bakso, diawetkan
dengan formalin. Minuman dan makanan pun ada yang dicampur dengan zat pewarna
yang berbahaya untuk kesehatan. Penemuan teknologi muklir untuk pembuatan
berbagai jenis senjata jelas merupakan ancaman besar bagi keberadaan bumi beserta
seluruh isinya.
b. Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect)
Pada bulan Desember 2007, Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah
Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim yang diadakan
di Bali yang dihadiri oleh utusan pemerintah, pejabat PBB, dan pakar lingkungan dari
hampir seluruh negara di dunia. Konferensi ini dapat dikatakan cukup berhasil karena
seluruh peserta telah menyadari bahaya pemanasan global serta sepakat untuk bersama-
sama menanggulangi dan memberikan kontribusi nyata, termasuk dalam hal pendanaan
untuk menanggulangi permasalahan akibat pemanasan global. Untuk pertama kalinya,
AS dan negara-negara maju lainnya ikut menyepakati program kerja, termasuk skema
pendanaan bersama dalam menanggulangi masalah pemanasan global.

c. Perusakan Lapisan Ozon


Kegunaan lapisan ozon (03) adalah untuk melindungi semua kehidupan di bumi
dari sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh sinar matahari. Bahaya radiasi sinar
ultraviolet ini, antara lain bisa menyebabkan kanker kulit, penurunan sistem kekebalan
tubuh, katarak, serta kerusakan bentuk-bentuk (spesies) kehidupan di laut dan di
daratan. Fungsi utama lapisan ozon adalah untuk menyaring atau memperlemah daya
sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh sinar matahari sebelum memasuki bumi.
Lapisan ini ada pada ketinggian sekitar 20-30 kilometer di atas permukaan bumi.
d. Hujan Asam (Acid Rain)

Perlombaan pendirian pabrik-pabrik di banyak kawasan industri oleh hampir semua


negara demi memacu pertumbuhan ekonomi tanpa disertai program pengendalian
limbah asap telah mengakibatkan banyaknya volume asap hitam pekat yang terus
menerus dimuntahkan dari cerobong-cerobong pabrik tersebut. Asap tebal yang
berwarna hitam pekat ini kemudian menyatu dengan udara dan awan yang pada
gilirannya menurunkan hujan asam ke bumi di sekitar awan tersebut. Hujan asam ini
sangat berbahaya bagi kehidupan di bumi. Bila ini terus berlangsung, maka hujan asam
itu dapat merusak hutan, mencemari air danau, dan bahkan merusak gedung-gedung.
e. Deforestasi dan Penggurunan
Fungsi dan kegunaan hutan antara lain: menjadi unsur penting dalam mata rantai
proses transformasi awan menjadi hujan; menjaga konservasi/reservoir air tanah,
mencegah erosi; menyerap gas karbon dioksida sehingga mengurangi bahan polutan
yang mencemari udara dan atmosfir bumi konservasi beragam spesis flora dan fauna;
sebagai sumber bahan makanan, minuman, obat-obatan, dan kebutuhan hidup lainnya
baik yang sudah diketahui manfaatnya maupun yang belum; dan sekaligus membentuk
mata rantai beragam kehidupan guna menunjang keseimbangan ekosistem. Mengetahui
bahwa hutan menyimpan harta karun terpendam dan didukung oleh keserakahan umat
manusia untuk mengumpulkan kekayaan, maka manusia dengan dukungan teknologi
maju mulai berlomba-lomba memburu kayu dan berbagai jenis hasil hutan lainnya.
Konsekuensi logis dari eksploitasi hutan tak terkendali ini adalah timbulnya
penyempitan areal hutan serta perusakan hutan yang masih tersisa. Pengalihan lahan
hutan untuk dijadikan areal perkebunan secara besar-besaran oleh para pemodal
besar—apalagi pengalihan lahan dilakukan dengan cara membakar hutan demi alasan
penghematan biaya—makin mempersempit areal hutan dan makin memperparah
kerusakan hutan yang ada.
f. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah keragaman berbagai bentuk dan jenis


kehidupan di bumi ini. Keanekaan hayati selain mencerminkan keindahan dan
menunjukkan kekayaan alam, juga berfungsi sebagai unsur-unsur dalam mata rantai
kehidupan yang membentuk satu kesatuan sistem kehidupan yang utuh, sekaligus
menjaga keseimbangan alam sebagai suatu sistem. Iklim tropis lebih memungkinkan
untuk muncul dan berkembangnya lebih banyak jenis dan bentuk kehidupan baik di
darat maupun di laut. Keragaman ini tentunya dapat memperkaya jenis-jenis bahan
makanan dan obat-obatan, bahan baku industri, dan sebagainya yang berguna untuk
kehidupan umat manusia. Keragaman jenis dan bentuk kehidupan ini juga memperkaya
dan memperindah alam sehingga sangat menunjang industri pariwisata.
Namun dengan terjadinya pencemaran lingkungan, perusakan hutan, dan
pemanasan global, secara pasti telah meyebabkan berkurangnya populasi jenis-jenis
kehidupan tertentu. Bahkan tidak mustahil jenis-jenis kehidupan tertentu telah punah
dari muka bumi, seperti punahnya dinosaurus pada zaman dahulu. Penyempitan dan
perusakan hutan di Jawa dan Bali, secara nyata telah mengancam keberadaan jenis dan
bentuk kehidupan satwa tertentu atau bahkan mungkin telah punah.
5. Paradigma Etika Lingkungan

Ada beberapa paradigma (cara pandang/pola pikir) yang berkembang dalam memahami
etika dalam kaitannya dengan isu lingkungan hidup.
a. Etika kepentingan generasi mendatang
Memandang bahwa suatu keputusan dan tindakan hendaknya jangan hanya
memikirkan kepentingan umat manusia pada generasi saat ini saja, tetapi juga
kepentingan umat manusia pada generasi-generasi mendatang. Pandangan ini sering
dikaitkan dengan upaya manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam (tambang)
yang sifatnya tidak dapat diperbarui (nonrenewable). Manusia diingatkan agar sumber
daya alam (tambang) yang sifatnya tidak dapat diperbarui tersebut dihemat dan tidak
dihabiskan untuk kepentingan generasi saat ini saja. Penggunaannya harus
mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang. Pandangan ini masih tergolong
antroposentrisme karena suatu keputusan dan tindakan dalam mengelola sumber daya
alam hanya dilihat dari sudut kepentingan manusia saja, sedangkan sumber daya alam
atau lingkungan hanya bersifat instrumental, artinya hanya dilihat dalam konteks
manfaat bagi umat manusia.
b. Etika lingkungan biosentris

Memandang perilaku etis bukan saja dari sudut pandang manusia, tetapi juga dari
sudut pandang nonmanusia (flora, fauna, dan benda benda bumi non organisme)
sebagai satu kesatuan sistem lingkungan. Etika lingkungan biosentris memperluas
wilayah kesadaran, kepekaan, dan kepedulian umat manusia untuk memandang seluruh
spesies, seluruh jenis kehidupan, dan seluruh benda yang ada di bumi dan alam semesta
ini sebagai elemen yang semuanya mempunyai hak untuk hidup dan berada, terlepas
dari ada- tidaknya kegunaan dan keindahannya bagi manusia. Semua kehidupan dan
benda di bumi mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. Walaupun etika
lingkungan biosentris ini telah memperluas paradigma tentang etika sampai ke unsur
nonmanusia, tetap saja terdapat perbedaan penafsiran tentang batasan dan lingkup
elemen nonmanusia tersebut. Perbedaan penafsiran ini dapat dikemukakan antara lain:
1) Yang dianggap sebagai nonmanusia sehingga dapat dianggap dan diperlakukan
sebagai moral patients adalah spesies binatang (fauna). Hal ini antara lain
diungkapkan oleh G.J. Warnock dan Richard Rorty.
2) Yang dianggap sebagai nonmanusia adalah seluruh jenis tumbuh-tumbuhan (flora)
dan binatang (fauna). Hal ini antara lain diungkapkan oleh Albert Schweitzer.
3) Yang dianggap sebagai nonmanusia adalah semua jenis binatang (fauna), tumbuh-
tumbuhan (flora), dan benda-benda non-organisme. Hal ini antara lain diungkapkan
oleh Charles Birch.
c. Etika ekosistem (ecosystem)

Menganggap Sang Pencipta (Tuhan) dan seluruh ciptaannya dianggap sebagai


moral patients. Etika dalam hal ini dipahami dalam arti luas dan terpadu antara Pencipta
dengan seluruh ciptaannya, mirip dengan teori etika Nafis yang mencakup: psiko etika,
sosio etika, dan teo etika.

Anda mungkin juga menyukai