Anda di halaman 1dari 5

NAMA : RANI SAFITRI

NlM : 19113091
KELAS : PAI 3 H

ARTIKEL

PERKEMBANGAN PAHAM AHLUSUNNAH WAL JAMAAH DI INDONESIA

A. Penyebaran Islam di Nusantara 


Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses menyebarnya
agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang
dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara
sebelumnya. Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah
penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan
bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau
timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika
agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan
perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar
Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan,
termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan
Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri
di Sumatra Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara
beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain
dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam
dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan
gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses
konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah
Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga
pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara
peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala
itu.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu
nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa
umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa
menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama
baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak
bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka
proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam;
namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung
di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun
demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa
dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang
Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai
"Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi
"Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat
setelah penaklukan ini.

B. Penyebaran Aswaja Asy'ariyah dan Maturidiyah


Asy'ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al
Asy'ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. bertepatan dengan tahun 935 M. Beliau wafat
di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun.
Al Asy'ari menganut paham mu'tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-
tiba mengumumkan di hadapan jama'ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
faham mu'tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir yang
melatarbelakangi Al Asyari meninggalkan faham mu'tazilah adalah pengakuannya telah
bermimpi bertemu dengan Rosulullah sebanyak tiga kali, dimana Rosulullah
memperingatkannya agar meninggalkan faham mu'tazilah dan mmbela faham yang
diriwayatkan dari beliau.
Adapun formulasi pemikiran Al asy'ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya
sintesis antara formulasi ortodokx ekstrim di satu sisi dan mu'tazilah di lain sisi. Maksudnya,
dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas
formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu'tazilah, suatu reaksi yang tak dapat
dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab
(tokoh sunni yang wafat pada 854 M)
Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Abul Hasan Al Asy'ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia
berhadapan dengan kelompok mujasimah dan musyabihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan daam Al-Qur'an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus
dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan mu'tazilah yang
menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa,
mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat , tetapi substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang
disebut dalam Al-Qur'an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al asy'ari erpendapat bahwa Allah memang
memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan mu'tazilah) namun tidak boleh diartikan secara
harfiah. Selanjutnya Al asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak
dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sedangkan Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi. Latar
belakang lahirnya alliran ini hamper sama dengan aliran Asy'ariyah, yaitu sebagai reaksi
penolakan terhadap ajaran mu'tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang
dianutnya hampir sama dengan pandangan mu'tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam
system teologinya.
Abu Mansur Al Maturidi dilahirkan sekitar pertengahan abad ke-3 H di Maturid,
sebyah kota kecil di daerah Samarkand Tarsoxiana di Asia Tengah daerah yang sekarang
disebut Uzbeistan. Ia wafat tahun 333 H / 944 M.
Karir pendidikan Al Maturidi lebih menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini
dilakukan untuk emperkuat pengetahuan dalam meghadapi paham-paham teologi yang
banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah
yang benar menurut akal dan syara'.
Pemikiran dan doktrin-doktrin Maturidiyah dengan Akal dan wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya mendasarkan pada Al Qur'an dan akal
sebagaimana Asy'ariyah, namun Al Maturidi memberikan porsi lebih besar terhadap akal dari
pada porsi yang diberikan oleh Asy'ariyah
Menurut Al Maturidi mengetahui Tuha dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketaui melalui akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhlik ciptaan-Nya. Kalau akal tidak memperoleh
kemampuan dalam memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak memerintahkan
manusia untuk melakukanya. Dan orang yang tidak amu menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan yang mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban
yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al Maturidi tidak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban lainya.
C. Tantangan Penyebaran Aswaja di Nusantara
Pada era kini, berbagai tantangan mesti dihadapi para penjaga Aswaja di
Nusantara. Sebagai contoh, adanya paham-paham transnasional yang memiliki
kecenderungan ekstrem dan takfiri. Kiai Musthofa mengatakan, jangan sampai
kelompok-kelompok tersebut dibiarkan sehingga dapat menciptakan kegaduhan di
Tanah Air.
Tantangan zaman kini lebih “berat” karena pesatnya perkembangan teknologi
informasi. Tak sedikit orang yang terbuai belajar agama secara mandiri melalui
konten-konten di internet yang dapat diaksesnya. Padahal, dalam tradisi Aswaja,
menuntut ilmu-ilmu agama haruslah dengan sanad keilmuan yang jelas
Dalam menjawab persoalan tersebut, NU tidak bisa menafikan kemajuan
teknologi. Justru, yang mesti dilakukannya adalah memanfaatkan teknologi itu untuk
lebih menyebarluaskan paham Aswaja. Tidak hanya di Indonesia, melainkan juga
dunia internasional.
Untuk itu, warga Nahdliyin diharapkan lebih kreatif lagi dalam menyuguhkan
konten-konten dakwah yang menarik sekaligus berisi. Menurut data yang
diterima Republika, ada sekitar 23 ribu pesantren yang berafiliasi dengan NU.
Bahkan, jam’iyah ini telah melebarkan kiprahnya hingga ke dunia pendidikan tinggi.
Tercatat, sebanyak 248 universitas berdiri di bawah bendera NU.
Semua pesantren dan kampus itu, sambung Kiai Mujib, hendaknya menjadi
motor penggerak dakwah Aswaja. Dengan demikian, pesan-pesannya lebih bisa
menyasar generasi milenial, Generasi X, dan Generasi Z.
Adaptasi menjadi kunci kemajuan dunia pesantren saat ini. Tidak ada alasan bagi
enerasi Nahdliyin untuk menjadi jumud di tengah gegap-gempita perubahan. Di satu
sisi, kemampuan mendayagunakan dan bahkan menciptakan teknologi mesti dikuasai.
Di sisi lain, tradisi sebagaimana diwariskan ulama-ulama Nusantara dahulu tetap
dijaga sebaik-baiknya.

Referensi
https://www.academia.edu/24271472/AsyAriyah_dan_Maturidiyah
https://www.republika.id/posts/14028/nahdlatul-ulama-menjawab-tantangan-masa-kini

Anda mungkin juga menyukai