Anda di halaman 1dari 10

PANDANGAN MAZHAB TERKAIT MENYENTUH PEREMPUAN

DAPAT MEMBATALKAN WUDHU

DISUSUN OLEH :

1. RAHMAWATY AT THAHIRAH (210102001)


2. MUNAJAT DUILA (210102002)
3. SITI MARYAM DUILA (210102003)
4. SULISTIYAWATI (210102004)
5. ABDUL GANI KAREPESINA (210102008)
6. RISKI WALLI (210102009)
7. KALSUM (210102010)
8. ALI .S. DAHLAN RETTOB (210102014)
9. RIMON WALLY (210102016)
10. UTARI TAMNGE (210102022)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AMBON

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih banyak kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam proses penyusunan makalah ini dari awal
hingga akhir. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya.

Ambon, 12 Oktober 2021

Penulis

DAFTAR ISI

1
KATA PENGANTAR ………………………………………………….1

DAFTAR ISI ……………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ……………………………………………….3

B. RUMUSAN MASALAH …………………………………………….3

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WUDHU …………………………………………….4

B. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU …………………...4

C. PANDANGAN MAZHAB TERKAIT MENYENTUH PEREMPUAN


DAPAT MEMBATALKAN
WUDHU………………………………………………………………….6

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ……………………………………………………….8

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..9

BAB I

2
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Syariat Islam memiliki kandungan seluruh ketentuan yang ada


hubungannya antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya,
dan manusia dengan alam sekitarnya. Ketiga komponen tersebut merupakan
kata kunci untuk menciptakan manusia hidup bahagia dunia akhirat. Salah satu
aspek terpenting dari hubungan manusia dengan Tuhannya adalah masalah
ibadah mahdhah . Berwudu merupakan salah satu syarat penting diterimanya
shalat sebagai bagian dari ibadah mahdhah, jika seseorang telah batal dari
wudhunya maka diwajibkan untuk melakukannya kembali.

Sebagian umat muslim masih berselisih paham tentang batal atau


tidaknya wudu ketika laki-laki dan perempuan saling bersentuhan tanpa adanya
penghalang seperti kain dan sejenisnya. Terlebih lagi ketika tawaf di baitullah,
tentu akan sangat sulit untuk tidak bersentuhan antara laki-laki dan perempuan.

Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan mencoba membahas
terkait pandangan mazhab mengenai menyentuh perempuan bisa membatalkan
wudhu dan diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu menambah
wawasan pembaca.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan wudhu?


2. Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan wudhu?
3. Bagaimana pandangan mazhab terkait menyentuh perempuan dapat
membatalkan wudhu?

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wudhu

Wudhu adalah suatu kewajiban bagi orang yang sudah akil baligh ketika
akan melaksanakan shalat, atau ketika akan melakukan sesuatu yang
keabsahannya diisyaratkan harus berwudu seperti shalat, dan tawaf di Ka’bah.
Menurut Imam Syafi’i wudu adalah salah satu syarat sah shalat yang paling
penting. Sedangkan dalam KBBI istilah wudu dikenal dengan nama wudu yang
artinya menyucikan diri (sebelum shalat) dengan membasuh muka, tangan,
kepala dan kaki sebelum shalat. Wudu juga merupakan sarana dalam
menentukan sah atau tidaknya ibadah sebagaimana diatur dalam Al-Quran
surah Al-Maidah ayat 6, yang berbunyi:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Ayat diatas menjelaskan tentang wudu yang mana menjadi sarana sah
atau tidak nya shalat. Ayat diatas juga menjelaskan hal-hal yang membatalkan
wudu, yaitu : sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur, dan menyentuh
perempuan.

B. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu

Para Imam Mazhab berbeda pendapat mengenai hal-hal yang


membatalkan wudhu. Menurut Imam Hanafi keluarnya sesuatu dari tubuh,
bagaimanapun dan dalam kondisi apa pun juga, seperti keluarnya darah dari
hidung atau mulut yang banyak. Sedangkan menurut Imam Syafi’i apa saja
yang keluar dari dua lubang adalah membatalkan wudu baik darah, kerikil, atau
air liur, dan bagaimana pun keluarnya, dalam keadaan sehat atau pun sakit. Dan
Imam Malik berpendapat menurut jenis sesuatu keluarnya, tempat keluarnya,

4
dan cara keluarnya. Sedangkan Imam Hambali mengecualikan orang yang
sentiasa berhadas, baik yang keluar itu sedikit atau banyak dan yang keluar itu
biasa atau luar biasa.

Sebab perbedaan pendapat tersebut dilatar belakangi, bahwa kaum


muslimin sepakat, batalnya wudu karena ada yang keluar dari dua lubang
berupa; kotoran, air kencing, dan madzi dengan landasan zahir kitab dan zahir
hadist tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, maka hal ini menimbulkan
tiga kemungkinan :

Pertama bahwa hukum ini berlaku hanya terkait dengan jenis, benda dan
zat yang disepakati, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Imam
Malik. Kedua hukum berkaitan dengan benda dan zat dari sisi bahwa benda itu
najis yang keluar dari tubuh. Sedangkan wudu identik dengan suci, yang mana
wudu dapat batal hanya karena terkena najis. Dan ketiga bahwa hukum juga
dikaitkan dengan benda dari segi bahwa benda itu keluar dari lubang kemaluan
atau lubang anus.

Contoh lain, perbedaan pendapat ulama dalam hal-hal yang


membatalkan wudu adalah Tidur dalam keadaan berwudu, menurut Imam
Hanafi hal itu tidak membatalkan wudhu meskipun tidurnya lama. Namun jika
ia rebah ke depan atau ke belakang maka wudu nya batal. Sementara Imam
Malik tidur ketika rukuk dan sujud jika tidak lama maka membatalkan wudu,
namun jika tidurnya ketika berdiri maka wudu nya tidak batal. Sedangkan
Imam Syafi’i berpendapat jika tidurnya ditempat duduknya maka wudhu nya
tidak batal, namun jika tidak wudhu nya batal. Dan pendapat Imam Hambali
jika tidurnya ketika berdiri, duduk, rukuk, dan sujud itu lama maka wudhu nya
batal.

Para Imam Mazhab sepakat bahwa tidur sambil berbaring dan bersandar
dapat membatalkan wudu. Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang
tidur dalam shalat. Perbedaan pendapat Imam Mazhab dalam hal tidur yang
mengakibatkan batalnya wudhu tersebut berpedoman kepada hadis-hadis lain
dan dari Anas bin Malik, yaitu:

Artinya: Anas bin Malik ra berkata, “dulu pada masa Rasullullah saw.,
para sahabat menunggu shalat isya hingga kepala mereka terangguk-
angguk. Kemudian mereka shalat tanpa berwudu lagi.(HR. Muslim)

5
C. Pandangan Mazhab Terkait Menyentuh Perempuan Dapat
Membatalkan Wudhu

Dalam Madzhab Imam Syafi’i, menyentuh perempuan yang bukan


mahromnya (wanita yang boleh di nikahi) membatalkan wudhu, yaitu dengan
empat syarat: laki dan perempuan, sudah sama mencapai batas dewasa, tidak
ada pembatas-nya walaupun tipis dan lawan jenis.

Dalam pandangan Imam Malik, tidak membatalkan kecuali apabila


dibarengi dengan syahwat. Dengan berlandaskan pada hadist ‘Aisyah, dimana
Rasulullah saw pernah mencium kening ‘Aisyah r.a, sedangkan beliau dalam
keadaan berwudhu. Sebagaiman pada hadist berikut:

“Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya
Nabi SAW pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan
tidak berwudhu lagi”. (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-
Baihaqi).

Selain dari pada hadist di atas, Imam Maliki juga berlandaskan pada
hadits yang artinya adalah sebagai berikut:

“Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya


baik dengan syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina
Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra. Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini
adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu Mas’ud. Persoalan ini
dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa awal
sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi
orang lain untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam
Malik, wajib wudhu jika diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa
syahwat,”

Dalam hal ini, Mazhab Imam Hanafi r.a berpendapat bahwa sentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah
ini, Mazhab Hanafi menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

“Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat.


Sementara Aisyah tidur di antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi
SAW hendak sujud beliau geser kaki Aisyah”. (HR.Bukhari dan
Muslim).

Adapun Pendapat Madzhab Imam Hambali r.a, beliau berpendapat


bahwa bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan jika disertai dengan

6
sahwat maka membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat maka tidak
membatalkan wudhu. Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat
Mazhab Maliki.

Dalam masalah ini, Mazhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang


diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

“Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya
Nabi SAW pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk salat dan
tidak berwudhu lagi”. (HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan
Al-Baihaqi).

BAB III

7
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa


terdapat berbagai macam pendapat tentang perkara ini, dan setiap
pendapat memiliki landasan masing-masing dalam melaksanakannya,
untuk penerapannya dalam kehidupan, para ulama memberikan
kebebasan untuk memilih. 

DAFTAR PUSTAKA

8
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hooeve, 1999.

http://pm.unida.gontor.ac.id/menyentuh-perempuan-membatalkan-wudhu/
Diakses pada tanggal 11 Oktober 2021 pukul 20.15 WIT

Nasruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1993.

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Ibadah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2011

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 1, Damaskus: Dar


alFikr, 1985.

Wahbah al-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islam Wa al-Qadaya al-Mu.asirah, Juz


1, Damaskus: Dar al-Fikr, 2010.

Anda mungkin juga menyukai