A1a119047 Nadyaadp Kse r002
A1a119047 Nadyaadp Kse r002
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
NIM. A1A119047
UNIVERSITAS JAMBI
2020
PEREKONOMIAN INDONESIA DAN PERIODESASINYA
Pertumbuhan ekonomi bisa dibilang sebagai indikator berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan
dalam menjalankan, mengelola, dan membangun negara. Meskipun, ada banyak faktor baik di
dalam negeri maupun di tataran global yang menjadi faktor penentu.
Menurut ekonom Amerika Serikat, Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah suatu kenaikan
kemampuan jangka panjang dari negara untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada
penduduknya.
Kemampuan tersebut akan tumbuh seiring dengan adanya perkembangan atau kemajuan
teknologi dan juga penyesuaian kelembagaan serta ideologi. Menurut salah seorang peraih Nobel
Ekonomi ini, pertumbuhan ekonomi dicapai oleh tiga faktor, yakni peningkatan persedian barang
yang stabil, kemajuan teknologi, serta penggunaan teknologi secara efisien dan efektif.
Indonesia mengalami tiga fase perekonomian di era Presiden Soekarno. Fase pertama yakni
penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, kemudian fase memperkuat pilar ekonomi, serta fase
krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per kapita
Indonesia sebesar Rp 5.523.863. Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan
ekonomi sebesar 5,74 persen. Setahun berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia tumbuh
5,74 persen. Lalu, pada 1963, pertumbuhannya minus 2,24 persen. Angka minus pertumbuhan
ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Angka minus pertumbuhan ekonomi
tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) defisit minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi melambung atau hiperinflasi sampai
600 persen hingga 1965. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali
ke angka positif pada 1964, yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965, angka itu
masih positif meski turun menjadi 1,08 persen. Terakhir di era Presiden Soekarno, 1966,
ekonomi Indonesia tumbuh 2,79 persen.
2. Soeharto (1967-1998)
Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu
tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan
minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. Habibie menerbitkan berbagai
kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke masa
kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni
1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998. Pada masa Habibie, Bank
Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.
4. AbdurrahmanWahid (1999-2001)
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY,
ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen. Perlambatan tersebut merupakan
dampak krisis finansial global yang tak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain.
Pada tahun itu, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang
membuat harga komoditas global naik.
Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi walaupun
melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di dunia. Lalu,
pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen. Pemerintah juga
mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang. Pada
2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen
pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan
capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.
Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak
struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan
melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing. Namun, grafik pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan
pada era SBY.
Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus melemah
terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen. Dalam kondisi itu, tak
diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang lebih fokus dan
pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga. Pada 2016, ekonomi Indonesia
mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun
2017 sebesar 5,17. Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi
pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan
ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen. Sementara
pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun
lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Dari sisi sektoral, pemerintah mendorong sektor yang punya nilai tambah dan menciptakan
kesempatan kerja lebih luas. Jokowi juga menekankan pentingnya mengembangkan iklim
investasi. Maka, mekanisme untuk mengurus perizinan harus diperbaiki agar efisien dan terukur.
Salah satu solusi yang diberikan adalah dibentuknya Online Single Submission (OSS) yang
mempermudah investor mengurus perizinan. Penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
dan OSS diyakini akan efektif mengurangi rantai birokrasi dan mempermudah para pelaku
usaha.
Tantangan perekonomian Indonesia pada 2020 dan tahun-tahun mendatang pun diperkirakan
tidak akan berkurang. Malah, sejak jauh-jauh hari banyak ekonom nasional dan global yang
memperkirakan tantangan lebih berat menanti di masa mendatang.
Isu perang dagang yang memanaskan Amerika Serikat dan China pun sudah terbukti menyeret
peta ekonomi politik global. Belum lagi kondisi ekonomi di Amerika Serikat yang diperkirakan
bakal memperketat kebijakan moneternya, ditakar bakal menarik pulang greenback ke negeri
asalnya, yang sudah pasti menekan nilai tukar mata uang negara lain termasuk rupiah.
Dari dalam negeri, persoalan dasar industrialisasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya,
juga masih menjadi pekerjaan rumah tiada usai bagi pemerintahan, siapa pun itu yang berkuasa.
Menjelang tutup tahun 2018, terbukti sejumlah kebijakan yang muncul juga kembali berkutat
pada komoditas mentah, yang pada beberapa tahun sempat diupayakan untuk dikurangi dengan
mengedepankan nilai tambah ketika diekspor, selain relaksasi.