PERTANIAN ORGANIK
Diah Setyorini dan Wiwik Hartatik
Peneliti Baiitbangtan di Balai Penelitian Tanah
Pendahuluan
Sayuran merupakan komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi, dimana nilai
jualnya sangat dipengaruhi oleh kualitas hasil panennya, khususnya penampilan visual
produk. Komoditas tersebut banyak ditanam baik di kawasan dataran tinggi, medium
maupun rendah.
Sejalan dengan berkembangnya gaya hidup back to nature di abad ini, produk
pertanian organik mulai diminati masyarakat luas. Diantara produk komoditas tersebut,
yang paling diminati dan berkembang di pasar domestik adalah sayuran dan beras
organik. Berbagai sayuran khususnya dari dataran tinggi sudah biasa dibudidayakan
dengan sistem pertanian organik, diantaranya kubis {Brassica oieraceae var. capitata L),
brokoli {Brassica oieraceae var. itaiica Pienk.), bunga kol (Brassica oieraceae var.
brotritys.), andewi (Chicorium endive), lettuce (Lactuca sativa), kentang (Soianum
tuberosum L.), wortel {Daucus carota), sawi {Brassica sp), pakcoy (Brassica rapa
cv.Pakchoy), kangkung {Ipomoea aquatica Forsk.), dan bayam {Amaranthussp.). Sayuran
ini, mengandung vitamin dan serat yang cukup tinggi selain mengandung antioksidan
yang dipercaya dapat menghambat perkembangan sel kanker. Semua jenis tanaman ini
ditanam secara terus menerus setiap minggu, namun ada juga beberapa jenis tanaman
seperti kacang merah (Vigna sp.), kacang babi (Ficia faba), Sawi {Brassica sp) yang
ditanam pada saat tertentu saja sekaligus dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan
pengalih hama (Prihandarini, 2012).
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia pada budi daya sayuran secara
konvensional sangat nyata menurunkan aktivitas mikroba di dalam tanah yang
ditunjukkan dengan menurunnya aktivitas enzim dehydrogenase. Pada daerah tropis
seperti di Jawa Barat, budi daya pertanian organik dapat memperbaiki fungsi biologis
(keragaman dan aktivitas mikroba) di dalam tanah dalam waktu 2 tahun (Moeskops et al
2009). Bending (2002) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata antara
sistem pertanian konvensional dan organik dalam penilaian kualitas tanah (sifat fisik,
kimia dan biologi). Kualitas biologi tanah di kebun organik sangat nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan kebun konvensional, namun perbedaan sifat kimia tanahnya
tidakterlalu nyata.
Sistem pertanian organik diyakini mengurangi kehilangan hara yang tercuci ke
lapisan bawah, meningkatkan stok karbon (Drinkwater etal. 1995), mengurangi erosi
(Reganold et al. 1987), mengurangi pencemaran residu pestisida di dalam tanah dan
badan air (Mader et al. 2002), meningkatkan keragaman hayati seperti burung yang
makan serangga serta mikroba di dalam tanah (Bengtsson et al. 2005).
Persiapan lahan
Syarat utama yang diperlukan untuk membudidayakan sayuran organik adalah kondisi
lingkungan seperti suhu, kelembapan dan intensitas cahaya yang baik, udara dan air
yang tidak tercemar bahan kimia, tanah yang subur, remah, drainase tanah baik, serta
pengairan lokal yang mencukupi.
Lahan pertanian yang digunakan untuk budi daya sayuran organik dapat
diperoleh dengan dua cara yaitu : (1) membuka lahan pertanian baru atau lahan
pertanian yang dikelola tidak intensif (tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia)
atau lahan yang sudah tidak digunakan untuk budi daya pertanian dalam jangka waktu
lama (bera); dan (2) mengkonversi lahan pertanian intensif yang menggunakan input
pupuk kimia menjadi lahan pertanian organik. Ketentuan lama waktu konversi ditetapkan
dalam SNI: 6729-2013 adalah sebagai berikut:
(a) 2 tahun sebelum tebar benih untuk tanaman semusim;
(b) 3 tahun sebelum panen pertama untuk tanaman tahunan;
(c) Masa konversi dapat diperpanjang atau diperpendek, namun tidak boleh kurang dari
12 bulan.
Jika seluruh areal lahan yang akan digunakan tidak dapat dikonversi secara
bersamaan, maka boleh dikerjakan secara bertahap dimulai pada bagian lahan yang di
kehendaki hingga seluruhnya dapat dijadikan lahan pertanian organik. Konversi dari
pertanian konvensional menjadi pertanian organik harus efektif menggunakan teknik
yang ditetapkan dalam standar. Secara fisik lahan yang digunakan untuk pengembangan
pertanian organik harus terpisah, misalnya oleh parit, jalan, semak, pohon-pohonan, atau
barisan kosong dari kegiatan pertanian nonorganik. Selama masa konversi ini, produk
pertanian yang dihasilkan tidak diakui sebagai produk organik.
Pengelolaan lahan
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 89
Sebelum lahan mulai diolah, perlu dibuat sketsa/peta lahan dengan tujuan untuk
perencanaan tata letak kebun meliputi batas dan luas kebun, letak dan arah teras, letak
dan luas bedengan, serta untuk pemilihan jenis tanaman, perhitungan benih, pupuk
organik, pertisida nabati, biaya dan jumlah tenaga kerja, dan sebagainya. Peletakan bak
air, lokasi persemaian dan pembibitan harus diperhitungkan dengan baik agar
pengelolaan tanaman efektif dan memenuhi kebutuhan kebun sepanjang waktu produksi.
Bedengan dibuat secara permanen, agar pengelolaan kesuburan tanah dan
tanaman terjaga dengan baik. Di sekeliling bedeng ditanam rumput gajah mini
(Pennisetum purpureum schamach) untuk mencegah aliran permukaan atau pencucian
akibat air hujan dan penyiraman yang berlebihan serta memperkuat bedengan agar tidak
tererosi atau longsor. Bedeng dibuat arah timur barat agar tanaman dalam bedeng
mendapatkan sinar matahari maksimal untuk proses fotosintesis. Dimensi bedeng standar
adalah lebar lm x panjang 10m x tinggi (20-30) cm dengan jarak antar bedeng 50 cm.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengolahan tanah minimum, pemeliharaan
tanaman, dan pemanenan hasil secara manual. Gambar petak guludan dibuat permanen
dengan tananam rumput penguat gulud (Gambar 1).
Sistem budi daya yang diterapkan dalam budi daya sayuran organik adalah
pertanaman campuran (mix cropping) dan rotasi tanaman yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman serta memutus siklus hama dan penyakit.
Rotasi tanaman diatur sedemikian rupa sehingga setiap petakan atau guludan
mempunyai siklus yang sama dengan jenis tanaman pada petak berbeda. Tanaman
kacang-kacangan dan legum, pupuk hijau ditanam bergantian atau bersisipan dengan
tanaman sayuran utama . Jenis legum yang ditanam antara lain Crotalaria juncea dan
Crotalaria muconoides yang ditanam hingga berumur sekitar 3 bulan, kemudian daun
hijauannya dipotong secara berkala, dikomposkan atau dibenamkan dalam bentuk segar
ke dalam petakan tersebut. Setiap petakan akan mendapatkan perlakuan yang sama
dalam satu siklus pergiliran tanaman.
Gambar 1. Penataan lahan di kebun organik Bina Sarana Bakti, Cisarua (atas) dan bedeng
sayuran organik yang diperkuat rumput gajah mini (Foto : Diah Setyorini)
Konservasi Tanah dan Air
Sistem pertanian organik unggul dalam berbagai kondisi lingkungan seperti mencegah
penurunan sumber daya (air, energi, hara), meningkatkan stok karbon di dalam tanah,
berkontribusi dalam penurunan gas rumah kaca (GRK) serta meningkatkan biodiversitas
pada tingkat yang lebih luas (Alfoeldi et al. 2002).
Lahan pertanian yang digunakan untuk budi daya sayuran organik pada umumnya
terletak di dataran tinggi dengan tingat kemiringan di atas 15%. Oleh karena itu
diperlukan teknik konservasi tanah untuk mempertahankan kelestarian tanah dan air
90 Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan
Konservasi tanah
Metode konservasi tanah yang dapat dilakukan yaitu (1) metode vegetatif, dan metode
mekanik (Arsyad 2006).
a. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian tanaman atau sisa-
sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatuh, mengurangi jumlah
dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah. Teknik
konservasi tanah dan air cara vegetatif antara lain, pertanaman lorong (alley
cropping) dan pemberian mulsa. Pertanaman lorong adalah sistem bercocok tanam
dan konservasi tanah dimana barisan tanaman perdu leguminosa ditanam rapat (jarak
10-25 cm) menurut garis kontur (nyabuk gunung) sebagai tanaman pagar dan
tanaman semusim ditanam pada lorong di antara tanaman pagar. Biaya penerapan
sistem pertanaman lorong pada lahan miring jauh lebih murah dibandingkan dengan
pembuatan teras bangku, tetapi tetap efektif untuk menahan erosi. Setelah 3-4 tahun
sejak tanaman pagar tumbuh akan terbentuk teras secara alami dan berangsur-
angsur, sehingga sering disebut teras kredit.
Pemberian mulsa dimaksudkan untuk menutupi permukaan tanah agar terhindar dari
pukulan butir air hujan. Mulsa merupakan teknik pencegahan erosi yang cukup
efektif. Jika bahan mulsa berasal dari bahan organik, maka mulsa juga berfungsi
dalam pemeliharaan bahan organik tanah. Bahan organik yang dapat dijadikan mulsa
dapat berasal dari sisa tanaman, hasil pangkasan tanaman pagar dari sistem
pertanaman lorong, hasil pangkasan tanaman penutup tanah atau didatangkan dari
luar lahan pertanian (Gambar 2).
Gambar2. Aplikasi mulsa sisa tanaman (kiri) dan bangunan teras (kanan) di kebun
sayuran organik, Bina Sarana Bakti, Cisarua, Bogor (Foto : Diah Setyorini)
Konservasiair
Pengelolaan air mencakup upaya untuk memberikan air untuk tanaman (air irigasi) serta
membuang kelebihan air yang tidak dimanfaatkan tanaman (drainase). Sumber air yang
digunakan untuk menyiram tanaman sayuran harus bersumber dari air yang tidak
tercemar oleh bahan agrokimia yang berasal dari pupuk dan pestisida, limbah rumah
tangga dan limbah industri.
Sumber air yang dapat langsung dimanfaatkan adalah air dari sumber mata air,
air hujan atau air dari sumur bor tanah. Penggunaan air dari saluran irigasi atau sungai
yang dilalui pertanian konvensional harus dikelola terlebih dahulu sebelum digunakan
untuk menyiram tanaman. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bahan pencemar
melalui penyaringan atau pengendapan dengan biofilter atau menggunakan tanaman
penjerap polutan. Air irigasi dari saluran tersier atau sekunder dialirkan ke suatu bak atau
kolam penampung yang stagnan (airnya tidak mengalir) dan berisi tanaman biofilter
seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes). Air tersebut dapat digunakan untuk
menyiram tanaman setelah diendapkan beberapa waktu.
Upaya yang dilakukan untuk konservasi air sejalan dengan upaya untuk
konservasi tanah, yaitu teknik pengelolaan tanah seperti terasering, mulsa, dan
konservasi vegetatif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya erosi dan aliran
permukaan serta memberikan kesempatan sebesar-besarnya agar air hujan dapat
meresap masuk ke dalam tanah sebagai cadangan air tanah.
Daftar bahan baku untuk penyubur tanah yang diperbolehkan, dibatasi dan
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 93
dilarang dalam sistem pertanian organik secara rinci disajikan pada Bab Pupuk organik di
dalam buku ini. Jenis bahan yang diperbolehkan sebagai bahan penyubur tanah adalah
pupuk organik dari limbah sisa tanaman, limbah ternak organik (kotoran, urin, tulang
serta bagian lain), limbah jamur organik, tanaman hijauan legum (pupuk hijau), pupuk
hayati mikroba, bakteri penambat N 2 udara bebas azolla, ganggang hijau, dan ganggang
hijau biru (b/ue green a/gae). Bahan yang dibatasi penggunaannya sebagai bahan
penyubur tanah adalah kompos atau pupuk organik dari limbah sisa tanaman, dan limbah
ternak yang bersumber dari tanaman dan ternak non-organik. Pembatasan penggunaan
bahan penyubur tanah dari bahan pertanaman dan peternakan non-organik dapat
dilakukan apabila : (a) pada awal pembukaan kebun organik tersebut belum tersedia
pertanaman dan peternakan organik sebelumnya; (b) pertanaman mengalami gejala
kekurangan unsur hara tertentu dimana sumber hara tersebut berasal dari bahan yang
dibatasi. Penggunaan bahan yang dibatasi ini harus dilaporkan ke lembaga sertifikasi.
Bahan mineral alami seperti batuan fosfat, dolomit, kapur, clay, zeolite, dan
batuan kalium dapat digunakan sebagai bahan penyubur karena berfungsi ganda sebagai
pembenah tanah dan sumber hara tanaman seperti Ca, Mg, P, K. Pembatasan bahan
tambang alami disebabkan kandungan logam berat yang terikut dalam bahan ini, seperti
Pb, Cd, Hg, dan As. Bahan-bahan alam ini digunakan dalam budi daya pertanian organik
sejauh tidak membahayakan lingkungan dan teknik produksinya dilakukan secara fisik
(penghalusan, pengayakan) tanpa adanya rekayasa kimia di pabrik (SNI 6729:2013).
Bahan penyubur tanah yang dilarang penggunaannya untuk budi daya pertanian
organik-organik adalah pupuk kimia sintetis (urea, SP-36, TSP, DAP, KCI, ZK), kelat
EDTA, zat pengatur tumbuh, mikroba yang menggunakan media kimia sintetis serta
semua produk yang mengandung GMO.
Pupuk organik yang berasal dari kotoran manusia (tinja dan urin) dilarang
digunakan pada tanaman yang dikonsumsi langsung oleh manusia, khusus di Indonesia
penggunaan tinja sebagai pupuk organik tidak diperbolehkan. Penggunaan pupuk mineral
alami hanya boleh digunakan sebagai tambahan dalam program pemupukan jangka
panjang, hal ini dapat diberikan bersamaan dengan pupuk organik, pupuk hijau, dan
program rotasi dan tanaman kacang- kacangan/ legum.
Dosis pupuk
Dosis pupuk organik harus mempertimbangkan jenis tanaman dan kesuburan tanah. Pada
tanah-tanah yang kurang subur, dosis pupuk organik diberikan lebih tinggi dibandingkan
tanah yang lebih subur. Demikian pula, tanaman yang mengangkut hara lewat panen
lebih tinggi (sayuran berumbi, berbuah atau berbunga) dipupuk lebih banyak
dibandingkan jenis sayuran berdaun. Penggunaan bahan mineral alami hanya
diperbolehkan apabila tanaman mengalami kekahatan hara tertentu yang parah.
Hasil penelitian Hartatik et a/. (2006, 2007, 2008) menunjukkan bahwa dosis
optimal untuk sayuran organik dengan kombinasi sayuran berumbi dan sayuran berdaun;
sayuran berbuah dan sayuran berdaun serta sayuran berbunga dan sayuran berdaun
adalah 20-25 t/ha. Adapun jenis pupuk organik yang terbaik adalah kombinasi antara sisa
tanaman dan kotoran kambing atau ayam dan diperkaya dengan pupuk hayati. Pupuk
organik dari kotoran unggas sangat sesuai untuk tanaman sayuran daun karena
mengandung nitrogen (N) lebih tinggi dan cepat tersedia sehingga sesuai untuk tanaman
sayuran berumur pendek. Sebaliknya, pupuk organik dari kotoran sapi atau kambing
sesuai untuk tanaman sayuran yang berumur lebih panjang karena pelepasan haranya
lebih lambat.
94 Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan
Cara pemupukan
Cara pemupukan menentukan efektivitas pemupukan. Penentuan cara pemupukan
tergantung pada jenis tanaman serta cara tanamnya. Pupuk organik diberikan dengan
berbagai cara, yakni : (1) dicampurkan secara merata dalam bedengan, (2) diberikan
pada lubang tanam benih/bibit; (3) dibuat kompos progresif (Sudaryanto, 2012). Tujuan
utama pemupukan adalah mensuplai hara untuk tanaman, memperbaiki, dan
meningkatkan kesuburan tanah serta aktivitas mikroba tanah.
Pencampuran pupuk organik di dalam bedengan dilakukan secara manual sesuai
dengan dosis dan dilakukan sekitar seminggu sebelum tanam. Setelah itu bedengan
dibiarkan selama beberapa hari sebelum dilakukan penanaman benih/bibit. Cara ini
biasanya dilakukan apabila tanaman yang akan ditanam akan tumbuh tersebar merata di
seluruh bedengan, seperti kangkung dan bayam. Pupuk organik diberikan dalam lubang
tanam atau dilarik di samping tanaman apabila tanaman ditanam dalam larikan/barisan.
Pembuatan kompos progresif merupakan salah satu teknik untuk memperluas
bidang perakaran tanaman serta menambah ketinggian bedengan secara bertahap.
Praktik. pembuatan kompos progresif adalah dengan menambahkan bahan organik segar
ke dalam bedengan dimulai dari salah satu sisi bedengan seluas lm yang tidak ditanami.
Bahan organik segar berasal dari pangkasan rumput penguat bedeng dan sisa tanaman
dari bedeng di sekitarnya (Gambar 3).
Gambar 3. Pembuatan kompos progresif di kebun sayuran organik Bina Sarana Bakti,
Cisarua (kiri) dan kebun Little Farm, Cimahi (kanan) (Foto : Diah Setyorini)
Tumpukan bahan organik yang berasal dari pangkasan rumput dan sisa tanaman
disusun hingga ketinggian 60-80 cm di bagian bedeng paling ujung, kemudian dibiarkan
terdekomposisi secara alami dalam waktu sekitar 1 bulan. Apabila sudah matang, maka
ketinggian tumpukan akan menyusut hingga setengahnya. Tahap selanjutnya adalah
membuat tumpukan baru seluas lm di sebelahnya dengan cara yang sama. Apabila
ukuran panjang bedeng sekitar 10m, maka pembuatan kompos progresif dapat
diselesaikan dalam waktu 10 bulan. Bedengan yang terbentuk akan mempunyai
tambahan tinggi sekitar 20-30 cm serta tanah yang semakin subur karena populasi dan
aktivitas mikroba bertambah.
Varietas tanaman
Benih atau bibit sayuran harus berasal dari tanaman yang ditumbuhkan dengan cara-
cara organik paling sedikit satu generasi atau 2 musim untuk tanaman semusim. Apabila
benih dan bibit yang disyaratkan tersebut tidak tersedia maka : (a) pada tahap awal
dapat digunakan benih atau bibit tanpa perlakuan kimia (coating atau perendaman
dengan bahan kimia) atau (b) jika butir (a) tidak tersedia maka dapat digunakan benih
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 95
dan bibit yang sudah mendapat perlakuan dengan bahan-bahan selain yang dilarang.
Dilarang menggunakan benih hasil rekayasa genetik, benangsari, tanaman atau bahan
tanaman hasil proses transgenik.
Prinsip pemilihan benih/bibit adalah memilih spesies dan varietas yang telah
beradaptasi pada kondisi tanah dan iklim setempat dan resisten terhadap serangan hama
dan penyakit. Biasanya pihak kebun akan melakukan upaya untuk membuat benih sendiri
dari jenis sayuran yang sudah beradaptasi dengan kondisi setempat.
Pengelolaan tanaman
Pengelolaan tanaman sayuran yang dibudidayakan secara organik harus
memperhitungkan kesuburan tanah serta keseluruhan ekosistem untuk menghasilkan
keanekaragaman spesies dengan tujuan menekan serangan hama, gulma, penyakit serta
sekaligus menjaga kesehatan tanah, dan mengurangi kehilangan hara. Keragaman
produksi tanaman dihasilkan melalui:
Gambar 4. Keragaman jenis tanaman sayuran organik dalam sistem tumpang sari di
kebun sayuran Bina Sarana Bakti, Cisarua(Foto: Diah Setyorini)
tumpang sari ini mempunyai kelemahan, yakni adanya persaingan pengambilan hara dan
air dari tanaman legum (Gambar 5).
Gambar 5. Penanaman tanaman legum dengan sayuran dalam sistem tanam campuran
di kebun sayuran organik Little Farm, Cimahi (Foto : Diah Setyorini)
Pengendalian OPT
Pada budi daya sayuran organik, hama, penyakit tanaman, dan gulma yang
tergolong organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan permasalahan
utama yang menyebabkan kegagalan usaha tani (Laba dan Willis 2014). Ketiga
OPT tersebut seyogyakan dikelola dengan cara konsep Pengelolaan Hama
Terpadu (PHT) serta budi daya yang bersifat pencegahan sehingga membatasi
pertumbuhannya, antara lain dengan pemilihan varietas, pergiliran tanaman,
tanaman repeient (penolak), konservasi musuh alami melalui penyediaan
habitatnya, penyiapan tempat pembibitan serta pelepasan musuh alami (Laba
dan Willis 2014), dan pestisida alami serta pengendalian secara mekanis seperti
penggunaan perangkap, cahaya, suara (Kardinan 2014). Musuh alami OPT yang
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 99
Sistem budi daya pertanian organik menggunakan input hara utama yang berasal dari
bahan alami yang berasal dari dalam kebun sendiri atau dari luar kebun yang di ketahui
asal usulnya. Perhitungan neraca hara antara input dan output unsur hara yang
dihasilkan di dalam kebun sayuran organik sangat diperlukan dalam upaya
mempertahankan keberlanjutan sistem usaha tani sayuran organik. Hasil penelitian
neraca hara di 8 kebun organik di negara sub tropik menyatakan bahwa telah terjadi
surplus N dengan rata-rata 83kg N/ha/tahun, surplus P 3,6 kg P/ha/tahun dan K 14kg
K/ha/tahun (Berry etal. 2003).
Berbagai jenis pupuk organik dapat digunakan dalam budi daya sayuran
organik, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk organik dari kotoran hewan
mengandung hara makro N,P,K lebih tinggi dibandingkan sisa tanaman, tanaman hijauan
legum (Tabel 2).
Formulasi beberapa bahan baku pupuk organik dapat meningkatkan mutu dan
kualitas pupuk organik. Campuran pupuk kandang 20 t/ha dengan kompos Tithonia
sebanyak 3 t/ha dapat memenuhi kebutuhan hara sayuran tomat dan caisim, selada, dan
mentimun. Penggunaan Tithonia sebagai sumber pupuk dapat direkomendasikan untuk
sayuran organik, karena merupakan bahan insitu, mudah tumbuh dan mengandung hara
N, P dan K yang cukup tinggi. Tithonia mengandung N berkisar antara 3,1 - 5,5%, K
sebesar 2,5 - 5,5% , P sebesar 0,2 - 0,56%. Namun demikian untuk lebih meningkatkan
produktivitas tanah dan hasil sayuran maka kompos tersebut memerlukan pengkayaan
dengan bahan mineral seperti fosfat alam, dolomit yang diperbolehkan dalam persyaratan
budi daya pertanian organik (Hartatik et al. 2005). Penanaman tanaman legum penutup
tanah memperbaiki sifat kimia, fisik dan kimia tanah (Hartatik et al. 2006). Perubahan
sifat-sifat biologi tanah lebih nyata dibandingkan perubahan sifat kimia dan fisika tanah.
Terjadi peningkatan total mikroba, pelarut fosfat, selulolitik, rhizobium dan C-mic.
Formula pupuk organik dari pukan ayam 25 t/ha yang diperkaya dengan abu
sekam 50 kg/ha dan fosfat alam 20 kg/ha serta diberi pupuk hayati meningkatkan
produksi brokoli dari 5,2 t/ha menjadi 7,2 t/ha. Hasil pakcoy sebesar 9,87 t/ha dicapai
oleh perlakuan pukan kambing yang diperkaya abu sekam dan fosfat alam di Permata
Hati Farm Cisarua. Pada musim berikutnya, produksi wortel meningkat menjadi 21,6 t/ha
dan selada menjadi 6,3 t/ha. Hasil yang sama juga diperoleh apabila 25t/ha pukan ayam
diganti dengan 25t/ha pukan kambing di Masada Farm. Diperoleh produksi caisim sebesar
5,5 t/ha, wortel 20,1 t/ha (Hartatik etal. 2007) (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil sayuran pada pola tumpangsari brokoli+pakcoy dan wortel+ selada yang
dipupuk beberapa jenis pupuk organik di Kebun Permata Hati, Cisarua,
Bogor
Tabel 4. Rataan tinggi tanaman umur 30 HST dan saat panen dan produksi kembang
kol di kebun Permata Hati Farm, Cisarua, Bogor
Kembang Kol
N
Perlakuan Tinggi tanaman (cm)
o.
30 HST Saat panen Produksi t/ha
1 Pukan ayam (10t/ha) + 22,9 b * 48,33 a 7,30 bc
. arang sekam
2 Pukan ayam (10t/ha) + 26,6 ab 48,27 a 8,93 ab
. arang sekam +
hijauanKirinyu
3 Pukan ayam (10t/ha)+ 28,2a 47,40 a 9,68a
. hijauan Tithonia+ sisa
tanaman
4 Pukan ayam (10t/ha)+ 28,7 a 46,27 a 8,87 ab
. hijauan Tithonia+ batang
pisang
5 Pukan ayam (10t/ha)+ 25,6 ab 50,67 a 9,62a
. hijauan Tithonia
6 Pukan ayam (10 t/ha) 25,2 ab 51,53 a 6,23 c
. 7 taraf Pukan kambing (10t/ha)+
5% uji DMRT 24,9 ab 48,47 a 7,37 bc
.Sumber: Hartatik
arang sekam etal. (2008).
8 Kontrol (pukan ayam: 24,5 ab 50,80 a 10,67 a
.Neraca25t/ha)
hara sayuran organik
Kebutuhan hara tanaman sayuran pada umumnya cukup tinggi dan apabila tidak
dapat terpenuhi dari inputyan^ diberikan maka akan mengambil cadangan hara makro
maupun mikro dari dalam tanah. Apabila /iopyfhara (pupuk) tidak sesuai dengan
output (hasil tanaman) yang dikeluarkan, maka akan terjadi pengurasan hara dari
dalam tanah yang menyebabkan penurunan produktivitas lahan. Berdasarkan
kebutuhan haranya, Tandon (2000) mengelompokkan tanaman sayuran ke dalam 4
kelas, yaitu : (1) sangat tinggi, misalnya kubis, brokoli, bunga kol, knolkhol, seledri,
dan ubi jalar; (2) tinggi: kentang, brinjal, wortel, dan bit,; (3) sedang: bawang putih,
bawang daun, tomat, kacang-kacangan, bayam, peas, dan radish, dan (4) rendah:
Okra, mentimun, labu kuning, lettuce, dan selada (Tabel 5). Berdasarkan data serapan
hara tersebut, dapat disusun
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 105
suatu kombinasi tanaman yang memungkinkan input dipadankan dengan output hara
yang diangkut tanaman dalam suatu sistem tumpang sari.
Tabel 5. Rerata hasil dan serapan hara N, P, K, Mg, dan S berbagai jenis tanaman
sayuran dataran tinggi
Andriest-Rangel et al. (2006) dalam Agus et al. (2008) menunjukkan bahwa lahan
yang dibudidayakan secara konvensional dan pertanian organik selama 18 tahun
mengalami neraca K negatif sebesar -21 hingga -60 kg K/ha/tahun pada sistem pertanian
konvensional dan -22 s/d -75 kg K/ha/tahun pada sistem pertanian organik. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa pengelolaan hara K sangat dibutuhkan dalam semua sistem
pertanian. Sebaliknya, Khai et al. (2007) menunjukkan bahwa sistem pertanian di Hanoi
memberikan neraca hara surplus N sebesar 85 - 882 kg/ha/tahun, surplus P sebesar 109-
196 kg/ha/tahun, dan surplus K sebesar 20 - 306 kg/ha/tahun, Kondisi surplus N, P, K ini
justru berbahaya bagi lingkungan karena unsur hara akan terkonsentrasi di badan air
yang menyebabkan tumbuhnya gulma air dan berisiko terhadap kualitas airnya.
Hasil perhitungan neraca hara berdasarkan unsur hara yang hilang (nutrient /oss)
atau hara terangkut panen dan unsur yang ditambahkan (nutrient gairi) atau hara yang
ditambahkan, menunjukkan hasil yang bervariasi untuk setiap jenis tanaman (Setyorini
dan Hartatik 2003, Hartatik et al. (2008, 2009); Agus et al. 2009), namun secara umum
sebagian besar pertanaman sayuran organik mengalami kahat K dan N dan surplus hara
P. Kondisi ini didukung oleh informasi dari Tabel 5 yang membuktikan bahwa tanaman
menyerap K lebih banyak dibandingkan unsur lain seperti N dan P.
Tanaman kembang kol menyerap hara N, P, K lebih besar dibandingkan bawang
daun, wortel, dan caisim, hal ini disebabkan karena produktivitasnya yang tinggi. Proporsi
antara produksi bunga dan biomassa daun dan batang pada tanaman umbi seperti
kembang kol atau wortel sekitar 1:3, oleh karena tanaman akan menyerap unsur N dan K
lebih banyak dibandingkan P (Setyorini et al. 2010 dan Hartatik etal. 2009).
Perhitungan neraca hara N,P,K untuk kombinasi tanaman sayuran bunga dan
daun (kembang kol+bawang daun serta wortel+caisim)pada budi daya sayuran organik
menunjukkan neraca hara negatif untuk N dan K, sedangkan untuk P positif. Kisaran
106 Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan
neraca hara untuk N (-21 sampai -117kgN/ha), K (-59 sampai -216kgK/ha) dan P (+25
sampai + 110kgP/ha) (Tabel 6). Perlakuan dengan pupuk organik dari kotoran ayam
10t/ha + hijauan segar tithonia 5t/ha + kompos batang pisang lt/ha memberikan neraca
hara positif. Praktek petani yang memberikan pupuk organik dari kotoran ayam atau
kambing dosis 25t/ha, memberikan neraca hara yang tidak berbeda dengan perlakuan
lainnya sehingga dosis ini dianggap terlalu tinggi. Pengkayaan P yang terjadi pada sistem
pertanaman ini disebabkan karena jenis tanaman sayuran yang ditanam tidak
menghasilkan biji-bijian yang memerlukan P sehingga banyak P yang tersisa di dalam
tanah. P dalam tanah akan terfiksasi atau terjerap ke dalam partikel tanah/bahan organik
yang dapat tersedia kembali dan digunakan oleh tanaman berikutnya.
positif karena jenis tanaman yang ditanam adalah sayuran yang kurang membutuhkan
unsur P dibandingkan tanaman biji-bijian, namun demikian pada perlakuan tanpa
pemupukan, terjadi neraca N, P, K negatif (Hartatik etal. 2009).
Perhitungan neraca hara dalam budi daya sayuran organik yang dilakukan
selama enam musim tanam di Little Farm Cimahi Jawa Barat memberikan hasil serupa.
Kombinasi tanaman sayuran daun-bunga/buah/umbi mengangkut hara N dan K lebih
banyak dibandingkan P. Sisa tanaman yang banyak mengandung N dan K ini harus
dikembalikan lagi ke dalam tanah dalam bentuk residu tanaman. Jika membandingkan
kombinasi jenis sayuran yang ditanam, maka kembang kol, brokoli, kubis, kentang yang
tergolong tanaman mengangkut hara tinggi harus dikombinasikan dengan tanaman yang
mengankut hara lebih sedikit (selada, caisim, okra, mentimum) harus dipupuk dengan
pupuk organik dari kotoran ayam atau sapi dikombinasikan dengan sisa tanaman, hijauan
tithonia, tanaman legum atau pupuk hijau. Pemberian pupuk organik dari sisa
tanaman/legum/tithonia saja tidak akan mencukupi kebutuhan hara tanaman (Agus et al
2008). Pada akhir pertanaman selama enam musim (20052007), terjadi akumulasi P dan
pengurasan N dan K (Gambar 7). Penetapan strategi pengelolaan hara jangka pajang,
sangat penting untuk menyusun kombinasi jenis tanaman yang sesuai serta
menggunakan pupuk organik dari berbagai jenis bahan agar kelestarian lahan tetap
terjaga.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada dosis pupuk organik 20-25 t/ha,
neraca hara untuk berbagai kombinasi sayuran organik yang ditanam menunjukkan
neraca positif untuk N dan P, dan negatif untuk K (Setyorini et al. 2010). Dosis pupuk
organik tersebut dapat dikurangi dari 20 t/ha menjadi 10t/ha dan 5t/ha, tetapi pada akhir
musim kedua, dosis pupuk organik 5t/ha belum mampu mendukung kebutuhan hara
untuk menghasilkan produksi sayuran seperti pada praktik petani menggunakan pukan
ayam 25 t/ha).
| n1 n2 n3 n4 n5 □ □
10~|
| D1 n2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10|
Gambar 7. Neraca hara N ,P,K setelah enam musim tanaman budi daya sayuran
organik di kebun organik Little Farm, Cimahi 2005-2007
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 109
Daftar Pustaka
Agus F, etal. 2009. "Nutrient balance and vegetables crop production as affected
by different sources of organik fertilizers". dalam Korean J. Soil Sci. Fert.
42(1): 1-3.
Alfoeldi, T. 2002. "Organic agriculture anf the environment ". dalam El-hage
Sclalabba, etal (Eds.). Organic Agriculture, Environm entandFood Security.
Food and Agriculture Organization of The United Nation (FAO), Rome.
Chapter2.
Berry P M, etal. 2003. "N,P,K budgets for crop rotations on nine organic farms in
United Kingdom". dalam Soil Use and Management, 19(2):112-118.
HartatikW, etal. 2005. "Penelitian teknologi pengelolaan hara pada budi daya
Pertanian Organik ". Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanah,
Bogor. (Tidak dipublikasikan)
Hartatik W, et al. 2006. "Penelitian teknologi pengelolaan hara pada budi daya
pertanian organik". Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
(Tidak dipublikasikan)
HartatikW, etal.. 2007. "Penelitian teknologi hara pada budi daya pertanian
organik". Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. (Tdak
dipublikasikan)
HartatikW, etal. 2008. "Penelitian pupuk organik dan organisme tanah untuk
110 Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan
HartatikW, etal. 2009. "Penelitian pupuk organik dan organisme tanah untuk
meningkatkan kualitas tanah dan efisiensi pupuk dan produktivitas
tanaman padi dan sayuran > 20% dalam sistem pertanian organik".
Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. (Tidak
dipublikasikan)
Khai M.N , et al. 2007. "Nutrient flows in small scale peri -urban vegetable
farming sistem in Southeast Asia - A case study in Hanoi dalam Agriculture,
Ecosistems andEnvironment,V22\ 192-202.
Koopmans, C.J. and Zanen, M. 2 007. "Organic soil management impact on yield,
soil quality and economic dalam Niggii, etal. (edsjlmproving sustainabiiity
in organic and iow input food production Systems. Proc of the 3rd Int
Congress of the European Integrated Project: Quality Low Input Foof. FiBI.
Laba, I.W. dan M. Willis 2014. Prinsip-Prinsip dan Teknologi Pertanian Organik.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian, h
33 - 40
Mader P, et al. 2002. “Soil fertility and biodiversity in organic farming”. dalam
Science, 296:1694-1697.
Reganold J.P. etal. 1987. “Long-term effects of organik and conventionai farming
on soil erosion”. dalam Nature, 330:370-372.
Setyorini D. etal. 2006. "Kompos"dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Setyorini, D. dan W. Hartatik. 2010. "Neraca hara pada budi daya sayuran
organik". Seminar Nasional Sumber daya Lahan. Balai Besar Litbang
Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Pengelolaan Lahan dan Budi Daya Sayuran Dalam Sistem Pertanian Organik 111
Setyorini, D. dan W. Hartatik. 2014. "Neraca hara tanah pada beberapa pola
tumpang sari sayuran organik", dalam Prinsip-prinsip dan Teknologi
Pertanian Organik. h. 129-132. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 6729. 2013. Sistem Pertanian Organik. Badan
Standarisasi Nasional.
Sudaryanto. 2012. "Prinsip budi daya sayuran organik". Cisarua: Bina Sarana
Bakti.
z&nen M, etal. 2008. So/7 Fertiiity and Biodynamic Effect from Organik
Amendmentin Organik Farming. IFOAM World Conggress. Modena, Italy.