Anda di halaman 1dari 3

Ulasan Novel “Bumi Manusia” oleh Pramoedya Ananta Toer

Identitas Ulasan / Resensi

Judul: Bumi Manusia


Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Cetakan: 17 Januari 2011
Penerbit: Lentera Dipantara
Jumlah Halaman: 535

Orientasi
Bumi Manusia merupakan buku pertama dari tetralogi “Buru” yang ditulis oleh
salah satu sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, ketika
mendekam di penjara di pulau Buru pada tahun1975. Buku ini sempat dilarang
terbit pada tahun 1981 karena dianggap mengandung ajaran yang kurang baik.

Padahal, nyatanya buku ini justru kaya akan sejarah terutama di masa
penjajahan Belanda dan pesan yang terkandung justru membangkitkan rasa
nasionalisme. Novel ini dianggap sangat berpengaruh besar dan Pramoedya
Ananta Toer hampir mendapatkan diusulkan untuk mendapatkan penghargaan
Nobel karenanya. Bagaimana tidak, hingga tahun 2005 saja buku ini telah telah
diterbitkan ke 33 bahasa yang berbeda.

Isi Ulasan / Resensi

Novel ini berlatar akhir abad 18, menampilkan suasana dengan sangat apik dan
detail. Lokasi yang diceritakan pada buku Bumi Manusia yatiu Wonokromo
pada akhir abad 19, yang merupakan kawasan perkebunan tebu, Surabaya,
Blora.
Ketika membacanya seolah-olah pembaca berada pada abad masa itu.
Pembaca akan dibuat seolah-olah berada pada zaman itu dengan hiruk pikuk
suasana kolonial yang menimbulkan romansa tersendiri.

Kisahnya dimulai dengan cerita seorang keturunan pribumi, yakni Minke. Ia


sering diolok-olok oleh kaum totok Belanda karena kulitnya yang gelap dan
intinya karena ia adalah seorang keturunan pribumi. Namun untuk ukuran
pribumi di masa itu, Minke termasuk sosok yang terpelajar.

Tidak seperti kebanyakan pribumi lainnya, Minke mendapatkan kesempatan


untuk belajar di sekolah Hindia Belanda. Ia belajar di sekolah yang guru-
gurunya berasal dari tanah Eropa (kebanyakan Belanda). Berbagai literasi dan
kebudayaan Eropa telah terbentuk di dalamnya.

Ia kemudian sangat mengagumi kebudayaan Eropa dan hampir melupakan


negerinya sendiri. Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa ternyata
kekagumannya itu hanya terhadap ilmu pengetahuannya saja. Ia dipukul oleh
kenyataan bahwa bangsanya tengah menjadi budak jajahan Eropa yang tidak
menghargai hak asasi manusia pribumi.

Dalam kisahnya untuk memperjuangkan hak pribumi ia bertemu dengan


seorang pribumi keturunan Belanda yang memilik wajah Eropa namun
berambut dan bermata Indonesia. Ia pun akhirnya terpikat padanya.

Namun pertemuannya dengan Annelies sang gadis keturunan itu justru


membawanya pada puncak masalah yang harus ia hadapi di pengadilan Hindia
Belanda yang sama sekali tidak memperhatikan hak pribumi di mata hukum.

Kelebihan
Keunggulan dari buku ini adalah cerminan sejarah yang sangat kaya dan
mendetail. Novel dengan seksama memperhatikan seluruh suasana dan
keadaan sosial politik pada masa itu. Apa yang dibawakan tidak seklise kisah
penjajahan semata, namun kepelikan yang jarang tersoroti justru muncul dan
dibawakan dengan lebih lirih dalam kisahnya.

Kepiawaian Pram dalam menulis benar-benar diperlihatkan dalam buku ini.


Gaya bahasanya yang mengalun, buah pikirannya yang tajam, gaya cerita,
pemilihan kata, dan bagaimana ia berhasil menyihir pembacanya untuk ikut
masuk dan merasakan kisah dan imaji yang tercipta dalam novel ini adalah hal
yang langka ditemui.

Kekurangan
Hampir tidak ada kekurangan yang menyelubungi novel ini. Pada sebagian
bagian mungkin terdapat beberapa istilah dan pemikiran yang akan lebih sulit
untuk dicerna. Terutama bagi kaum awam atau seseorang yang literasinya
tidak secemerlang Pram.

Namun justru itulah salah satu keistimewaan novel ini, mampu membukakan
cakrawala ilmu pengetahuan baru sembari memberikan hiburan baik secara
konkret lewat narasi dan kisahnya yang mendebarkan maupun secara spiritual
melalui pemikiran baru yang mencerahkan.

Anda mungkin juga menyukai