Anda di halaman 1dari 19

Bangunan Hijau (Green Building) sebagai salah satu penerapan Konsep

Pembangunan Berkelanjutan

DISUSUN OLEH :

AYU ELPINA

Nim: 422019019
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ISLAM OGAN KOMERING ILIR

TAHUN 2021

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................3
1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. Pengertian Bangunan Gedung...............................................................3
2.2. Green Building atau Bangunan Hijau....................................................4
2.3. Sistem Penilaian Green Building atau Bangunan Hijau........................13
BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 14
3.1. Kesimpulan .................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugrahkan
banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun Proposal ini dengan baik. Proposal ini berisi
tentang Analisis Penerapan Green Building Pada Gedung SMA N 2 Kayuagung.

Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa hasil laporan Proposal ini masih jauh
dari kata sempurna. Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian. Akhir kata Semoga laporan Proposal ini dapat memberikan
manfaat untuk saya khususnya, dan teman-teman semua.

Kayuagung, November 2021


Penyusun

AYU ELPINA
Nim: 422019019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondisi alam dan lingkungan telah mengalami banyak perubahan termasuk


permasalahan lingkungan khususnya pemanasan global menjadi isu fenomenal.
Pemanasan global yaitu meningkatnya temperatur dan suhu rata–rata di lapisan
atmosfer, daratan, laut di permukaan bumi. Salah satunya disebabkan oleh
industri konstruksi seperti pembangunan gedung atau efek rumah kaca. Bangunan
gedung adalah wujud nyata fisik hasil pekerjaan konstruksi yang berada diatas
tanah atau air berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat manusia melakukan
segala kegiatan.
Salah satu upaya yang dapat di lakukan untuk menangani kondisi tersebut
muncul konsep penerapan green building atau bangunan hijau berkelanjutan yang
ramah lingkungan khususnya oleh pembangunan gedung di Indonesia yang
semakin pesat dan kebutuhan energi yang semakin meningkat juga.
Green building atau bangunan hijau adalah konsep bangunan dimana
prosesnya berdasarkan pada dokumen kontrak mulai awal hingga akhir seperti
mulai dari mendesain, memilih tempat, memilih material, pelaksaan konstruksi,
menggunakan, memelihara, hingga menata ulang bangunan dilakukan dengan
bertangung jawab seefesien mungkin tehadap lingkungan dan sumber daya guna
mengurangi atau menghilangkan dampak negatif dari pembangunan gedung yang
dapat menyebabkan pemanasan global.
Berdirinya lembaga Green Building Council Indonesia (GBCI) sebagai lembaga
sertifikasi yang diakui secara internasional yang merupakan upaya pemerintah
dalam menggalakkan konsep bangunan gedung yang ramah lingkungan yang
mampu mengatasi dampak pembangunan. Lembaga ini memiliki standar nasional
yang berisi kriteria-kriteria tolak ukur yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan
agar layak dikatakan bangunan hijau, yang disebut standar Greenship.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka


rumusan masalah yang dapat diuraikan adalah:
1. Bangunan Hijau (Green Building) sebagai salah satu penerapan Konsep Pembangunan

Berkelanjutan

2. Apa saja Fitur pada Green Building atau Bangunan Hijau ?

3. Bagaimana Sistem Penilian pada Bangunan Hijau

3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui Bangunan Hijau (Green Building) sebagai salah satu penerapan Konsep
Pembangunan Berkelanjutan
2. Mengetahui Fitur pada Green Building atau Bangunan Hijau.
3. Mengetahui Sistem Penilian pada Bangunan Hijau
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bangunan Hijau (Green Building) sebagai salah satu penerapan Konsep

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development adalah sebuah konsep

yang dewasa ini sering kita dengar. Pembangunan berkelanjutan pertama kali dicetuskan

pada tahun 1983 pada saat PBB membentuk World Commission on Environment and

Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem

Brundtland. Pembangunan berkelanjutan mempunyai banyak definisi, salah satu definisi

yang paling umum adalah menurut Komisi Brundtland adalah “development that meets the

needs of the present witout compromising the ability of the future generation to meet their

own need” yang artinya pembangunan berkelanjutan adalah suatu upaya yang mendorong

tercapainya kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam konsep tersebut terkandung dua

gagasan penting yaitu:

a. Gagasan kebutuhan khususnya kebutuhan esensial;

b. Gagasan keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan kini dan generasi di masa

depan.

Pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga pilar utama yaitu pembangunan

ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Ketiga pilar tersebut saling

terkait dan merupakan pendorong utama bagi pembangunan berkelanjutan. Pembangunan

berkelanjutan merupakan titik temu ketiga pilar tersebut. Dengan demikian pembangunan

berkelanjutan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai
alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual serta

pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan.

Gambar 1. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (sumber id.wikipedia.org)

Beberapa dekade terakhir populasi manusia di bumi ini terus meningkat.

Pertumbuhan jumlah manusia yang terus meningkat berbanding lurus dengan kebutuhan

akan lahan perumahan, hal tersebut dikarenakan kebutuhan dasar hidup manusia adalah

sandang, pangan, dan papan. Peningkatan kebutuhan lahan perumahan menyebakan tingkat

alih fungsi lahan dari persawahan, perkebunan menjadi perumahan, gedung-gedung juga

semakin meningkat. Industri kontruksi dan pembangunan memiliki peran besar dalam

penggunaan sumber energi global dan peningkatan polusi. Industri kontruksi dan bangunan

menggunakan sekitar 25% sampai 40% dari total penggunaan energi, 30% dari penggunaan

bahan baku, dan menghasilkan 30% sampai 40% dari emisi gas rumah kaca global serta

menghasilkan sebesar 30% sampai 40% dari total sampah dunia. Di beberapa negara maju

dan berkembang orang-orang menghabiskan 90% dari waktu mereka di dalam bangunan

baik dalam gedung maupun rumah, oleh kerena itu lingkungan dalam bangunan yang sehat

dan nyaman memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan

kesejahteraan, serta menawarkan potensi besar untuk mengurangi biaya untuk biaya

pengobatan akibat suatu penyakit tertentu.

2.2 Bangunan Hijau


Dewasa ini di beberapa negara-negara maju dan berkembang terdapat gagasan

baru terhadap desain dan konstruksi bangunan hijau atau Green Building. Bangunan hijau

adalah bangunan dengan kinerja tinggi yang mengurangi dampak terhadap lingkungan pada

semua tahapan pembuatannya (mulai dari pemilihan lahan, bentuk desain, konstruksi,

operasi, pemeliharaan, renovasi, dan pembongkaran), konservasi dan efiensi energi dan

sumber daya, serta meningkatkan kesehatan dan produktivitas penghuninya. Tujuan umum

bangunan hijau adalah untuk mengurangi keseluruhan dampak terhadap lingkungan yang

dibangun baik pada kesehatan manusia dan lingkungan alam.

Sebuah bangunan hijau secara bertahap harus dapat mengadopsi prinsip-prinsip

"zero waste" yang artinya  proses dilakukan tidak menghasilkan sisa bahan atau limbah

yang tidak berguna, sehingga efisien dalam pengelolaan bahan yang terpakai, apabila

terdapat sisa bahan tersebut dapat dimanfaatkan kembali atau diolah kembali untuk proses

yang lain. Pendekatan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan

berkelanjutan dan pengurangan emisi GRK. Jika prinsip ini dapat diterapkan pada suatu

kota hal ini dapat mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan di kota atau di wilayah

tersebut, dan sampah-sampah yang masih ada dapat didaur ulang untuk produksi bahan

sekunder yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi termasuk konstruksi.

Sebuah bangunan hijau harus memiliki fitur unik tertentu dan dirancang dengan

tujuan bangunan berkelanjutan seperti berikut ini:

a. Penilaian Siklus Hidup (LCA)

Penilaian siklus hidup (Life Cycle Assessment/LCA) adalah prosedur untuk

menilai dampak lingkungan yang terkait pada semua tahap pembangunan

suatu bangunan, mulai dari pemilihan lokasi, ekstraksi bahan baku melalui

pengolahan bahan, manufaktur, distribusi, penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan, serta pembuangan atau daur ulang. LCA dapat membantu

menghindari pandangan sempit tentang masalah lingkungan dengan cara:

 Menyusun inventarisasi energi dan bahan yang akan digunakan dan

perubahan lingkungan yang relevan;


 Mengevaluasi dan mengidentifikasi dampak potensial yang terkait

pengunaan bahan baku dan sampah yang dihasilkan;

 Menafsirkan hasil yang didapat untuk membantu membuat keputusan

yang lebih tepat.

LCA adalah prosedur menyeluruh penilaian bahan baku produk, manufaktur,

distribusi, penggunaan dan pembuangan termasuk semua langkah yang

diperlukan transportasi, intervensi atau disebabkan oleh keberadaan produk.

Proses penilaian siklus pembuatan didefinisikan pada ISO 14040/14044.

Proses pembangunan suatu bangunan terdapat interaksi antara semua tahap

pembangunan, misalnya apabila modal atau investasi yang digunakan dalam

tahap konstruksi sangat kecil (misal menggunakan jenis bahan yang murah)

maka pengeluaran yang dibutuhkan pada tahap operasional dan pemeliharaan

akan meningkat.

Gambar 2. Life Cycle Assessment of Green Building (sumber

http://www.capem.eu/)

b. Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan


Sebuah bangunan memiliki dampak yang penting pada lingkungan dan

penggunaan energi. Di Amerika Serikat sebuah bangunan komersial dan

perumahan menggunakan hampir 40% energi utama dan sekitar 70% energi

listrik (EIA, 2005). Energi yang digunakan oleh sektor bangunan terus

meningkat, hal tersebut dikarenakan bangunan-bangunan baru dibangun lebih

cepat daripada bangunan yang lama. Konsumsi listrik di sektor bangunan

komersial meningkat dua kali lipat pada tahun 1980 dan 2000 dan

diperkirakan akan meningkat 50% pada tahun 2025 (EIA, 2005).

Secara sederhana efisiensi energi merupakan perbandingan antara energi

yang dikeluarkan dengan energi yang digunakan, hal ini berarti upaya

mendapatkan hasil maksimal dari setiap unit energi yang kita dapat. Secara

teknis efisiensi energi menyebabkan perputaran peralatan, dimana peralatan

lama diganti dengan peralatan yang lebih baru dan lebih efisien. Teknologi

energi terbarukan menghasilkan energi dengan cara mengubah fenomena

alam ke dalam bentuk energi yang berguna. Teknologi ini menggunakan

energi yang melekat pada sinar matahari baik secara langsung maupun tidak

langsung (seperti energi foton, angin, air yang jatuh, efek pemanasan, dan

pertumbuhan tanaman), gaya gravitasi (pasang surut), dan energi panas dari

inti bumi sebagai sumber energi. Bangunan yang hemat energi menggunakan

lebih sedikit energi, sehingga biaya operasional juga berkurang,

meningkatkan kenyamanan, sehingga menjadi lebih baik bagi pemilik rumah

maupun usaha.

c. Efisiensi Air

Dalam beberapa tahun terakhir efisiensi dan konservasi air menjadi elemen

yang sangat penting dalam konsep bangunan hijau. Menurut Program

Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environmental

Program/UNEP) sebuah bangunan mengkonsumsi hampir 20% dari sumber

daya air yang ada, sehingga jumlah air yang tersedia di bumi ini semakin

berkurang tiap tahunnya. Efisiensi air berarti penggunaan teknologi agar


memberikan maanfaat atau layanan yang sama atau lebih baik dengan hanya

menggunakan air dalam jumlah yang sedikit, hal tersebut sekaligus dapat

menekan biaya overhead. Meningkatkan efisiensi air dapat mengurangi biaya

operasi (seperti biaya pompa dan perlakuan air), mengurangi kebutuhan

untuk mengembangkan persedian air baru dan biaya pengembangan

infrastruktur air. Efisiensi air juga dapat mengurangi pengambilan persediaan

air tawar yang jumlahnya terbatas, sehingga terjadi peningkatan persediaan

air bagi generasi di masa yang akan datang dan meningkatkan kualitas air dan

habitat air (www.epa.gov).

Langkah pertama untuk meningkatkan efisiensi air di dalam suatu bangunan

adalah mengurangi penggunaan air untuk tujuan selain untuk dikonsumsi.

Ada dua cara untuk melakukan efesiensi ini yaitu pertama dengan

mengumpulkan air hujan dan yang kedua dengan menggunakan kembali air

yang telah digunakan dalam ruangan. Kita dapat memasang tangki air di atas

atau di bawah tanah yang berfungsi untuk mengumpulkan dan menyimpan air

limpasan dari atap dan permukaan yang tahan air lainnya, serta dari mesin

cuci, mesin pencuci piring, bak mandi dan bak cuci (air jenis ini

diklasifikasikan sebagai air abu-abu, yang artinya air yang tidak termasuk

kotoran manusia atau limbah).

d. Spesifikasi dan bahan bangunan yang ramah lingkungan.

Di Amerika Serikat selama proses konstruksi atau proses pembongkaran

bangunan, komponen-komponen yang tidak digunakan sering dibuang dalam

bentuk puing-puing bangunan yang jumlahnya diperkirakan sebesar 28% dari

total timbunan sampah. Penilaian bahan bangunan yang ramah lingkungan

dimulai dengan menetapkan kriteria untuk evaluasi bahan bangunan. Kriteria

bahan bangunan yang digunakan mungkin berbeda antara proyek satu dengan

lainnya. Kriteria tersebut tergantung pada apakah proyek tersebut adalah

konstruksi baru, renovasi atau bangunan yang ada. Menurut Froeschle 1999

ada enam belas kriteria bahan lingkungan. Kriteria-kriteria ini dapat


membantu menciptakan bangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Penentuan spesifikasi Proyek dapat membantu dalam tiga hal yaitu:

 dalam prosedur lingkungan;

 bahan bangunan yang ramah lingkungan; dan

 dalam aplikasi lingkungan.

No
Kriteria/Variabel Deskripsi
.
Bahan dengan tingkat toksisitas
1. Kadar racun rendah
atau konsentrasi racun rendah
Bahan tanpa emisi kimia atau emisi
2. Emisi minimal
kimia rendah (VOC, CFC)
Bahan yang dapat mengurangi
Konsentrasi VOCs
3. jumlah kontaminan udara dalam
rendah
ruangan
Kandungan hasil Produk dengan identifikasi konten
4.
daur ulang daur ulang
Produk yang diproduksi dengan
Sumber daya yang
5. konsumsi energi, limbah & GRK
efisien
yang sedikit
Bahan yang dapat didaur ulang di
6. Bahan daur ulang
akhir masa pakainya
Komponen yang Komponen bangunan yang dapat
7. dapat digunakan digunakan kembali atau
kembali diselamatkan
Bahan-bahan alami terbarukan
Sumber
8. yang dibuat menggunakan sumber
berkelanjutan
yang berkelanjutan
Bahan yang sebanding bahan
9. Bahan tahan lama tradisional dengan harapan hidup
yang panjang
Produk yang tahan terhadap
10. Tahan kelembaban kelembaban atau menghambat
pertumbuhan kontaminan
Bahan yang membantu mengurangi
11. Hemat energi
konsumsi energi pada bangunan
Produk dan sistem yang dapat
12. Pelestarian air membantu mengurangi konsumsi
air
Sistem atau peralatan yang
13. Meningkatkan IAQ
menghasilkan IAQ yang sehat
Bahan yang memerlukan
Pemeliharaan yang
14. pembersihan sederhana dan tidak
sehat
beracun
Bahan lokal sehingga menghemat
15. Produk lokal energi untuk transportasi ke lokasi
proyek
Biaya pembuatan bangunan
16. Bahan terjangkau
sebanding pembuatan dengan
bahan konvensional

Tabel 1. Kriteria bahan lingkungan untuk bangunan hijau (Froeschle, 1999)

e. Pengurangan limbah bangunan

Di beberapa negara maju dan berkembang pengelolaan limbah konstruksi dan

pembongkaran bangunan telah menjadi salah satu masalah lingkungan yang

utama. Ada dua jenis utama dari limbah konstruksi dan pembongkaran

bangunan, pertama limbah struktur dan yang kedua limbah penyelesaian atau

finising bangunan. Potongan beton, tulangan batang, meninggalkan pelat

kayu dan potongan-potongan lain yang dihasilkan limbah struktur selama

tahap konstruksi. Limbah finising adalah limbah yang dihasilkan selama

tahap finising bangunan, seperti bahan baku yang rusak seperti mosaik, ubin,

keramik, cat dan bahan plesteran yang terbuang karena penggunaan ceroboh.

Bossink dan Brouwers (1996) menyimpulkan bahwa proyek pembangunan

suatu bangunan menghasilkan limbah bangunan sekitar 1% sampai 10% dari

berat bahan bangunan yang dibangun. Ehshassi (1996) menyimpulkan dari

hasil studi terhadap 86 proyek perumahan di Jalur Gaza bahwa kerugian

material akibat limbah langsung dan tidak langsung berkisar antara 3,6%

sampai 11% dari total biaya bangunan tersebut.

f. Pengurangan bahan bangunan beracun

Pada beberapa dekade terakhir banyak terdapat bahan bangunan yang

mengeluarkan polusi udara. Upaya pengurangan emisi beracun dari bahan

bangunan dapat difokuskan pada tiga kelompok polutan udara dalam ruangan

yaitu:

 Karsinogen;
Karsinogen pada manusia jumlahnya sedikit namun dapat menyebabkan

penyakit yang berat, oleh karena itu penggunaannya harus dihindari

sejauh mungkin.

 Iritasi;

Beberapa kelompok zat kimia dapat menyebabkan iritasi pada mata dan

saluran pernafasan, oleh karena itu zat kimia penyebab iritasi tersebut

harus dapat digantikan dengan zat-zat yang tidak menyebabkan iritasi.

 Bau.

Bahan-bahan yang digunakan pada tahap finising seperti lem, perekat

cat, pernis dan coating dinding maupun lantai sering menimbulkan bau,

oleh karena itu penggunaannya secara umum harus dihindari atau dapat

digantikan dengan bahan-bahan yang tidak menimbulkan bau.

g. Kualitas Udara Dalam Ruangan (Indoor Air Quality/IAQ)

Masalah kualitas udara tidak hanya terbatas pada rumah, banyak gedung-

gedung perkantoran atau perumahan memiliki sumber polusi udara yang

penting, beberapa bangunan ini mungkin tidak memiliki ventilasi yang

memadai. Sistem ventilasi mekanis mungkin tidak dirancang atau

dioperasikan untuk memberikan jumlah udara yang cukup dari luar ruangan

ke dalam suatu ruangan. Menyediakan kualitas udara dalam ruangan yang

baik pada gedung-gedung tidak selalu mengacu pada konsep bangunan hijau.

Orang-orang biasanya kurang memperhatikan kualitas lingkungan dan udara

di kantor mereka daripada di rumah, akibatnya terjadi peningkatan kejadian

masalah kesehatan di beberapa perkantoran. Beberapa senyawa khas VOC

yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dilepaskan dari bahan bangunan

seperti formaldehida, asetaldehida, toluena, isosianat, xylene dan benzene.

VOC sering dikeluarkan pada tingkat tinggi dan berkurangnya ke tingkat

yang lebih rendah dari waktu ke waktu. Dalam mengukur kualitas udara

dalam ruangan (IAQ) kontrol yang paling penting dilakukan adalah ventilasi

dan kontrol suhu. Oleh banyak peneliti ventilasi dipandang sebagai proses
yang penting untuk mengkontrol kualitas udara pada ruangan. Menurut Levin

(1991) pertimbangan penggunaan ventilasi untuk mengkontrol kualitas udara

pada ruangan (IAQ) adalah:

 Pengenceran udara melalui ventilasi udara di luar ruangan;

 Lokasi intake ke udara;

 Lokasi bangunan pembuangan udara;

 Membersihkan udara dan penyaringan;

 Distribusi ruang udara;

 Pemulihan panas; dan

 Kontrol mikroba.

h. Pertumbuhan cerdas dan pembangunan berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan telah didefinisikan dalam banyak arti, tetapi

definisi yang paling sering umum adalah dari Our Common Future atau juga

dikenal sebagai Laporan Brundtland (WCED 1987), yaitu pembangunan

yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan

generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pengertian

ini memberi dua konsep kunci:

 Konsep kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok kaum miskin di dunia

yang mejadi prioritas utama untuk diberikan, dan

 Gagasan keterbatasan yang ditetapkan oleh negara dan organisasi sosial

terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi

sekarang dan masa depan.

Dalam kerangka pertumbuhan cerdas dalam pembangunan adalah dengan

melakukan perencanaan kota dan kosnep transportasi yang berkonsentrasi

pada pusat-pusat perkotaan dengan pertumbuhan yang padat. Masyarakat

menggunakan strategi kreatif untuk mengembangkan, melestarikan alam dan

lahan kritis, melindungi kualitas air dan udara, dan menggunakan kembali

lahan yang sudah dikembangkan untuk konservasi sumber daya dengan

investasi pada bidang infrastruktur dan reklamasi bangunan bersejarah.


Dengan merancang lingkungan terpadu yang memiliki toko-toko, kantor,

sekolah, tempat ibadah, taman, dan fasilitas lainnya di dekat rumah, hal

tersebut akan memberikan pilihan kepada masyarakat dan pengunjung untuk

berjalan, bersepeda, menggunakan kendaraan umum, atau mengemudi

kendaraan pribadi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan

bertambahnya usia keluarga muda yang mampu dapat membeli rumah yang

aman, menarik sebagai rumah pertama mereka, dan memungkinkan warga

lanjut usia untuk tetap tinggal di rumah mereka. Pendekatan pertumbuhan

pintar yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi lingkungan sekitar dapat

dilakukan dengan melibatkan penduduk lokal dalam pengambilan keputusan,

mereka dapat menciptakan tempat untuk hidup, bekerja, dan bermain.

Kualitas hidup yang tinggi dalam masyarakat dapat membuat masing-masing

anggota masyarakat bersaing secara ekonomi, menciptakan peluang bisnis,

dan meningkatkan pendapatan melalui pajak.

i. Layanan dan Proyek Lingkungan yang inovatif

Inovasi lingkungan dalam pembangunan adalah pengembangan dari proyek-

proyek yang memberikan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Ini

mencakup berbagai ide, dari kemajuan teknologi yang ramah lingkungan ke

jalur inovatif yang dapat diterima secara sosial menuju keberlanjutan.

Perubahan yang sangat cepat dalam bidang ekonomi dan masyarakat

membuat permintaan untuk konstruksi baru dari lingkungan yang akan

dibangun. Inovasi dalam bidang pembangunan dapat memberikan komponen

penting dari strategi yang kompetitif pada sektor konstruksi. Investasi pada

proyek dan inovasi jasa konstruksi sangatlah penting, namun biaya awal yang

tinggi mungkin dapat menimbulkan masalah yang baru. Sebuah cara untuk

mengukur variasi inovatif tahunan di sektor konstruksi merupakan indikator

campuran yang dapat memberi peringkat kepada negara atau ekonomi atau

proyek dalam hal inovasi dan hasil inovasi mereka terhadap lingkungan.

Indikator ini disebut indeks inovasi global (Global Innovation Index/GII).


2.3 Sistem Penilian Bangunan Hijau

Di seluruh dunia berbagai program penilaian bangunan hijau telah dikembangkan

untuk menilai dampak pembangunan suatu bangunan terhadap lingkungan dan energi yang

digunakan. Sistem sertifikasi bangunan hijau pertama kali diciptakan di Inggris pada tahun

1990 oleh The Building Research Environmental Assessment Method (BREEAM). Pada

tahun 1998 Leadership in Energy and Environmental Design (LEED®) memperkenalkan

sistem penilaian bangunan hijau berdasarkan substansial penilaian pada sistem BREEAM.

Pada tahun 2005, Green Building Initiative (GBI) meluncurkan Green Globe sistem

penilaian yang mengadopsi BREEAM versi Kanada dan mendistribusikannya di Amerika

Serikat. Untuk saat ini secara garis besar sistem penilaian bangunan hijau yang terkenal

adalah:

 Building Research Establishment Environmental Assessment Act (BREEAM)

di Inggris;

 Green Building Challenge (GBC) di Kanada;

 Comprehensive Assessment System for Building Environmental Efficiency

(CASBEE) di Jepang;

 Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) di Amerika

Serikat; dan

 Evaluation Standard for Green Building (ESGB) di Cina.

Di Indonesia konsep bangunan hijau dipelopori melalui lahirnya Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dimana dalamnya dipersyaratkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya dan

harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau

yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Sedangkan untuk peraturan

daerah tentang bangunan hijau, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengeluarkan

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau.

Di Indonesia sistem penilaian bangunan hijau dan sertifikasinya saat ini dipegang Lembaga
Konsil Bangunan Hijau Indonesia Atau Green Building Council Indonesia yang merupakan

lembaga mandiri (non government) dan nirlaba (non-for profit).

BAB III

KESIMPULAN

1. Kesimpulan

Sektor pembangunan mencakup aspek-aspek seperti desain, pemilihan bahan,

penggunaan sumber daya alam serta interaksi dengan aspek sosial-ekonomi, peraturan dan

administrasi yang berbeda. Kegiatan konstruksi mengkonsumsi lebih banyak bahan baku

dibandingkan sektor industri lainnya. Perubahan fungsi lahan untuk bangunan menyumbang

emisi gas rumah kaca dalam hal penggunaan energi, selain itu kegiatan konstruksi dan

pembongkaran menghasilkan aliran limbah yang besar, yang sebagian besar dapat didaur

ulang.

Bangunan yang berkelanjutan di masa depan harus mencakup kebutuhan manusia

dalam mempertahankan kualitas hidupnya. Bangunan dari sudut pandang pembangunan

berkelanjutan adalah penilaian siklus hidup bangunan itu sendiri yang merupakan kunci ke

arah peningkatan kualitas lingkungan dan konservasi energi. Manusia harus hidup dalam

lingkungan yang dirancang dan beroperasi menggabungkan unsur-unsur:

 Efisiensi energi dan energi terbarukan;

 Pengurangan bahan beracun;

 Tanpa polusi dalam ruangan;

 Hemat air;

 Kepercayaan dalam proyek-proyek lingkungan yang inovatif;


 Meminimisasi limbah dan pencegahan polusi;

 Penggunaan kembali bahan bangunan ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Konstatinos A. Komnitas. 2011. Potensial of Geopolymer Technology Towards Green

Buildings and Sustainable Cities. Procedia Engineering 21 (2011) 1023 – 1032.

Published by Elsevier Ltd. www.sciencedirect.com.

2. K. I Vatalis, O. Manoliadis, G. Charalampides, S. Platias, S. Savvidis. 2013.

Sustainability Components Affecting Decisions for Green Building Project. Procedia

Economics and Finance 5 (2013) 747 – 756. Published by Elsevier B. V.

www.sciencedirect.com.

3. Chen Jingwei, Zhao Ping, Wang Xue. 2011. The Reaserch on Sino-US Green Building

Rating System. Enegy Procedia 5 (2011) 1205 – 1209. Published by Elsevier Ltd.

www.sciencedirect.com.

4. http://id.wikipedia.org/

5. http://epa.gov/

6. http://www.worldgbc.org/

7. http://www.capem.eu/

8. http://pu.go.id/

9. http://gbcindonesia.org/

Anda mungkin juga menyukai