Anda di halaman 1dari 41

PENERAPAN HUKUM PERDATA ISLAM

DALAM KAJIAN GENDER DAN KEADILAN

MAKALAH

Oleh:
KIKI RASDIAN NINGSAH
NIM: 2021040203009

PROGRAM STUDI MAGISTER AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI
PASCASARJANA
2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan taufik karunia hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini tanpa hambatan yang berarti.
Shalawat serta salam kami haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang
dengan penuh perjuangan dan kesabaran memberikan teladan dengan ilmu dan
hikmah kepada kita sehingga kita dapat keluar dari zaman jahiliyah menuju
kehidupan yang berperadaban hingga saat ini.
Tidak ketinggalan berkat doa restu kedua orang tua tercinta sehingga kita dapat
mengenal pengetahuan mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa, yang mana
saat ini penulis diberikan kesempatan untuk memaksimalkan bekal pengetahuan
tersebut di bangku perkuliahan Pascasarjana IAIN Kendari.
Dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada yang terhormat bapak Dr. Ashadi L. Diab, M.H selaku dosen
Pengampu pada mata kuliah Tarikh Tasyrikh & Kelembagaan Peradilan Islam yang
telah memberikan pengarahan dan masukan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis berharap akan kritik dan saran demi perbaikan di kemudian hari.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dalam menambah
wawasan dan berperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan.

Kendari, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 4
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 4
BAN II PEMBAHASAN ..........................................................................................
2.1 Pengertian Hukum Islam ................................................................................... 5
2.2 Sumber-Sumber Hukum Islam .......................................................................... 10
2.3 Hukum Perdata Islam ........................................................................................ 16
2.4 Gender ............................................................................................................... 29
2.5 Penerapan Hukum Perdata Islam dalam Kajian Gender .................................. 31
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 36
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kajian tentang gender terus berkembang hingga saat ini dalam berbagai
perspektif, khususnya dalam perspektif sosiologis dan agamis. Gender sebagai
fenomena sosial tidak dapat dipisahkan dari pergumulan sosiologis yang berjalan
secara dinamis, sehingga melahirkan dinamika pemikiran gender.
Gender sebagai konstruksi sosial kultural tentang sifat yang melekat pada
laki-laki dan perempuan (Fakih, 2008: 8) merupakan persoalan sosial yang menyita
perhatian masyarakat luas, gender tidak hanya tentang perempuan namun juga laki-
laki dan relasi antara keduanya. Perempuan banyak dikaji dalam isu gender karena
diasumsikan sebagai kodrat yang membawa ketidakadilan dalam relasinya dengan
laki-laki dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype,
beban kerja yang lebih banyak, kekerasan, dan sosialisasi ideologi peran gender
(Fakih, 2008: 12-13). Perempuan dimitoskan sebagai makhluk yang kurang akal dan
agama, mitos ini berkaitan erat dengan budaya patriarkis yang memposisikan relasi
laki-laki dan perempuan secara hierarkis. Laki-laki sebagai makhluk yang superior,
sedangkan perempuan adalah makhluk yang inferior. (Suhandjati, 2010:2-3).
Beranjak dari isu gender inilah kemudian lahir kaum feminis yang bertujuan
agar perempuan memperoleh perlakuan secara adil dalam semua aspek kehidupan,
baik domestik, politik, sosial, ekonomi dan pendidikan. Sehingga lahir pula teori
tentang persamaan kelamin (sexual equality) pada tahun 1895 (Mustaqim, 2008:
83), terciptanya sistem dan struktur masyarakat yang menghargai keadilan (justice)
dan kesetaraan (equality) merupakan kepedulian dari feminisme (Mustaqim, 2008:
86). Oleh karena itu kaum feminis menuntut adanya kesetaraan peran laki-laki dan
perempuan di ranah publik, kebebasan berekspresi, berserikat, dan beraktualisasi
sebagai salah satu komponen utama hak asasi manusia.
Pada abad 19, feminisme memfokuskan pada agenda transformasi kultural
untuk penguatan aspek agama, perkawinan dan rumah tangga (Donovan,
2007:17,47). Pada abab 20 feminisme memfokuskan pada agenda politik yang
menjadi kekuatan utama untuk melakukan perubahan praktis (Donovan, 2000: 183)
pada abad 21, feminisme memfokuskan pada penghapusan kelas, etnik, ras, dan
seksualitas anatar laki-laki dan perempuan (Donovan, 2000: 199). Semua bentuk

1
perjuangan feminis bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan laki-laki
dan perempuan di ranah domestik dan publik agar keduanya dapat saling
melengkapi dalam proses perkembangan transformasi sosial.
Perjuangan menegakkan keadilan dan kesetaraan dalam gender berhadapan
dengan dominasi agama dan budaya yang patriarkis. Patriarki adalah sistem struktur
atau praktek sosial yang memberikan kewenangan kepada laki-laki untuk
mendominasi, menekan dan mengeksploitasi perempuan. Dominasi laki-laki
terhadap perempuan terjadi pada badannya , seksualnya, pekerjaan, peran, dan
statusnya dalam keluarga dan masyarakat. Patriarki inilah yang melahirkan norma
sosial, hukum, dan moral yang mengunggulkan laki-laki atas perempuan, sehinga
perempuan tersubordinasi dan termarginalkan (Baidowi, 2011: 32-33). Ada banyak
sekali isu gender yang digunakan untuk mendobrak patriarki baik dalam konteks
sejarah, ibadah, pernikahan dan politik, seperti asal usul perempuan, azan, imam
salat, khatib, batas aurat, kepemimpinan perempuan dalam politik, menjadi wanita
karir, waris, saksi, hak memilih pasangan, poligami, hak, reproduksi, aborsi,
kekerasan dalam rumah tangga, idah (‘iddah), nikah beda agama, talak, wali nikah,
beban ganda, dan TKW (tenaga kerja wanita) (Hamidah, 2011: 59-184, Hasyim,
2001: 17-420.
Isu gender di atas menjadi polemik berkepanjangan di kalangan umat islam
Indonesia (Fakih & kawan-kawan, 1996: vi-vii). Dalam merespons isu tersebut umat
Islam ada yang terbuka karena sesuai nilai substantial Islam, ada yang menolak
karena bertentangan dengan teks-teks Islam dan kodrat perempuan. Ada yang
selektif dengan menerima isu yang sesuai dengan nilai Islam, dan menolak isu yang
tidak sesuai. Secara global dalam konteks dunia Islam, perdebatan tentang gender
selalu berlangsung sengit karena tidak lepas dari doktrin Islam yang mengatur
kehidupan manusia dalam semua aspek kehidupan hingga unit paling kecil seperti
keluarga (Baroroh, 2002:81). Banyak cendekiawan muslim dunia yang aktif
merespon isu gender dalam karya mereka, salah satunya Yusuf al-Qaradawi yang
membahas persoalan perempuan mulai dari dugaan bahwa perempuan sumber
fitnah, suara perempuan, hukum laki-laki memandang perempuan dan
sebaliknya,mengucapkan salam kepada perempuan, berkumpulnya laki-laki dan
perempuan, bersalaman antara laki-laki dan perempuan, serta perempuan sebagai
seorang pekerja.

2
ajaran Islam menjadi rahmat bagi kaum perempuan karena Islam mengajarkan
persamaan antara manusia, baik antara laki-laki dan perempuan maupun antar
bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang hanya dapat terlihat dari tinggi
rendahnya nilai pengabdian dan ketakwaannya manusia kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini dapat dipahami lebih lanjut pada firman Allah SWT dalam Surah Al-
Hujurat [49]: 13 yang artinya sebagai berikut:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Islam sangat memuliakan perempuan dan menempatkannyaa dalam posisi
yang terhormat, baik sebagai manusia, perempuan, anak perempuan, istri, ibu, dan
sebagai angggota masyarakat. (al-Qaradawi, 1996: 10-11).
Kajian gender dalam perspektif hukum Islam selalu berjalan penuh
kontroversi, gender disinyalir banyak bertentangan dengan hukum Islam yang
sifatnya sakral dan final. Hukum Islam adalah firman Allah SWT yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukalaf (akil-baliq), baik secara iqtida’ (tuntutan), takhyir
(pilihan), dan wad’ (penetapan) (Zaidan, 1987: 23). Settiap ucapan dan perbuatan
manusia baik yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, pidana, perdata,
macam-macam transaksi dan penggunaan sesuatu, ada status hukumnya dalam
syariat Islam. Hukum yang dijelaskan langsung dalam al-Qur’an dan sunah atau
hadis, atau ada suatu petunjuk syariat sebagai tanda yang digunakan mujtahid untuk
melahirkan hukum.
Dalam konteks islam persoalan Gender merupakan contoh nyata betapa
antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks sosial yang melingkupi
sering terjadi benturan –benturan dan ketegangan. Keberagaman ini perlu dikritisi
karena sama-sama mengklaim dirinya berpegang pada kitab suci al Qur’an. Isu
gender sesungguhnya lahir dari kesadaran kritis kaum perempuan terhadap
keterbelakangan kaumnya. Bila kita telusuri sejarah kelam kaum perempuan pada
masa lampau khususnya eksistensi atau keberadaan perempuan dimata agama-
agama, misalnya saja agama yahudi yang menjauhi perempuan yang haid dan
diasingkan ke suatu tempat yang khusus. Demikian juga dengan agama-agama lain
seperti agama kristen dan hindu yang selalu menganggap rendah kaum perempuan.

3
Kemunculan gender ini banyak diwarnai ketidakjelasan terutama dalam hal
emansipasi perempuan karena kodrat itulah salah satu batasannya yang diusung
oleh kementrian agama maupun Negara.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas tentang gender dan hukum Islam,
maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Islam?
2. Apa saja Sumber-sumber Hukum Islam?
3. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perdata Islam?
4. Apa itu Gender?
5. Bagaimana penerapan Hukum Perdata Islam dalam Kajian Gender?

1.3 Tujuan
Setiap penulisan makalah atau karya tulis apapun pasti memiliki tujuan dari
penulisan tersebut, demikian halnya pada makalah ini dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa secara khusus, agar dapat mengetahui pengertian
gender, kesetaraan gender, hukum perdata Islam, dan sumber-sumber hukum
Islam.
2. Untuk memberikan pengetahuan pada pembaca tentang penerapan dan
pengembangan hukum perdata Islam dalam kajian gender dan keadilan,
sehingga masyarakat pada umumnya dapat memahami dan mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Islam


Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak menyebutkan kata
hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam al-Quran adalah kata
syarî’ah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum Islam
merupakan terjemahan dari islamic law dalam literatur Barat. Istilah ini kemudian
menjadi populer. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang makna hukum Islam
maka perlu diketahui lebih dulu arti masing-masing kata. Kata hukum secara
etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu ‫َ َم َكح‬-‫ م ُ ُ ْك َحي‬hakama-yahkumu yang
kemudian bentuk mashdar-nya menjadi ‫ ا ً ْم ُكح‬hukman. Lafadz ُ ‫ ْمك ُحْ اَل‬al-hukmu adalah
bentuk tunggal dari bentuk jamak ُ ‫ ما َ ْك َْحاَل‬al-ahkâm (Rohidin, 2019).
Berdasarkan akar kata َ‫ َمك َح‬hakama tersebut kemudian muncul kata ‫ ة ُ َ ْم ِكحْ اَل‬al-
hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang
memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka
dianggap sebagai orang yang bijaksana. Arti lain yang muncul dari akar kata
tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum
pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-
hal yang dilarang oleh agama. Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah
satu arti dari lafadz hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah
ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak
mafsadat lainnya (Rohidin, 2019).
Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di
Indonesia ia menyebutkan bahwa “‫”نىَع ِْم َ َح َ َكم ب ْ َف َص ْل وال ى َ ض َق‬. Hukum bermakna
memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan.
Islam adalah bentuk mashdar dari akar kata -‫ا َْس*ل ًم**ا س**ل ْي‬-ِ ‫ َم َ ْ أسل ِ ُم‬/ ُaslama-
yuslimu-islâman dengan mengikuti wazn -‫اف يف‬-ِ ‫ ل َ ْع َ َف أ ْ َعال ْ ِع ُل‬/ُaf’ala-yuf’ilu-if’âlan
yang mengandung arti ُ ْ ِ‫أ‬, ‫ قَي ُاد َ و ّ الط َ اع*ة ِن َْل‬ketundukan dan kepatuhan serta bisa
juga bermakna Islam, damai, dan selamat. Namun kalimat asal dari lafadz islâm
adalah berasal dari kata ً َ ُ ‫ي ْس**ل سل‬-َ ‫و ََس *لَمة ِ َم‬-‫ َس *ل ًم َ ا‬- َ ‫َ م‬salima-yaslamu-salâman-wa
salâmatan yang memiliki arti selamat (dari bahaya), dan bebas (dari cacat) (Rohidin,
2019).

5
2.1.1 Ruang Lingkup Hukum Islam
Membicarakan syariat dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan-
pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam
tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik,
seperti yang dipahami dalam ilmu hukum Barat. Hal ini karena dalam hukum privat
Islam terdapat segi-segi hukum publik; demikian juga sebaliknya. Ruang lingkup
hukum Islam dalam arti fiqih Islam meliputi: ibadah dan muamalah.
Ibadah mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan
muamalat dalam pengertian yang sangat luas terkait dengan hubungan antara
manusia dengan sesamanya. Dalam konteks ini, muamalah mencakup beberapa
bidang, di antaranya: (a) munâkahat, (b) wirâtsah, (c) mu’âmalat dalam arti khusus,
(d) jinâyat atau uqûbat, (e) al-ahkâm as-shulthâniyyah (khilafah), (f) siyâr, dan (g)
mukhâsamat.
Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum Indonesia,
maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai
berikut:
1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
dan perceraian serta segala akibat hukumnya;
b. Wiratsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut juga
hukum faraidh;
c. Mu’amalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.

2. Hukum Publik
Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd (pidana berat) maupun
dalam jarîmah ta’zîr (pidana ringan). Yang dimaksud dengan jarîmah adalah
tindak pidana. Jarîmah hudûd adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan

6
bentuk dan batas hukumnya dalam al-Quran dan asSunnah (hudûd jamaknya
hadd, artinya batas). Jarîmah ta’zîr adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk
dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya (ta’zîr artinya ajaran atau pelajaran);
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasalahan yang berhubungan
dengan kepala negara/ pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang
pajak, dan sebagainya;
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk
agama lain dan negara lain;
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

Dalam hukum Islam dikenal konsep kecakapan hukum yang biasa disebut
ahliyyah. Kecakapan ini terkait dengan mampu tidaknya seseorang menjalankan
fungsinya sebagai subjek hukum yang sempurna. Ada dua klasifikasi ahliyyah, yakni
ahliyyah al-adâ’ dan ahliyyah al-wujûb. Yang pertama terkait dengan kecakapan
seseorang untuk menunaikan tindakan hukum. Sedangkan yang kedua terkait
dengan kecapakan seseorang untuk menerima hak, meskipun belum mampu
menunaikan kewajiban, misalnya ahliyyah al-wujûb dalam hak waris bagi bayi
(Rohidin, 2019).
Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum dalam
hukup positif di Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang dimaksud dengan
subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi
pendukung (dapat memiliki hak dan kewajiban). Dalam kamus Ilmu Hukum subjek
hukum disebut juga dengan “Orang atau pendukung hak dan kewajiban”. Dalam
artian subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata cara yang
ditentukan dan dibenarkan hukum. Sehingga di dalam ilmu hukum yang dikenal
sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum (Rohidin, 2019).

2.1.2 Asas-Asas Hukum Islam


asas berasal dari lafal bahasa Arab, asâsun yang mengandung arti dasar,
basis, dan pondasi. Kata asas yang dihubungkan dengan hukum memiliki arti
berupa suatu kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum adalah

7
suatu aturan dasar dan prinsip- prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya
melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum.
a. Asas Keadilan
Tuntunan mengenai seorang Muslim harus berlaku adil sangatlah banyak
dijumpai dalam al-Quran. Berlaku adil adalah sebuah upaya seseorang dalam
menempatkan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (‫هللحم يف ءيشال عضو‬/ wadl’u
as-syai-i fî mahallihi). Hukum Islam menempatkan asas keadilan sebagai asas
umum yang harus diterapkan dalam semua bidang atau praktek keagamaan.
Demikian pentingnya, penyebutan asas keadilan dalam al-Quran hingga lebih dari
seribu kali. Berlaku adil diperuntukkan kepada seluruh manusia termasuk di
dalamnya penguasa, khalifah Allah, orangtua maupun rakyat biasa. Berlaku adil
salah satunya ditekankan dalam surat an- Nisa’: 135.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah…
Asas kepastian hukum menjadi penentu bahwa hukum tidak boleh berlaku
surut. Sehingga Allah dalam hal ini menegaskan Allah memaafkan apa pun yang
dilakukan di masa lampau sebelum adanya aturan yang disampaikan oleh
Rasulullah Muhammad saw. (‫ )فلس امع هلال افع‬Allah memaafkan apa yang telah lalu,
Q.S. Al-Mâidah: 95.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang
yang adil di antara kamu sebagai hadd-nya yang dibawa sampai ke Kakbah, atau
dendanya membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan
akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu.
Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.
Allah Maha Kuasa lagi memepunyai kekuasaan untuk menyiksa.”

b. Asas Kemanfaatan

8
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi pelaksanaan asas keadilan
dan asas kepastian hukum. Dalam menegakkan hukum, selain mempertimbangkan
dimensi keadilan dan penjaminan kepastiannya, maka juga perlu diperhatikan
dimensi kemanfaatan di dalam penerapan hukum tersebut, baik untuk diri sendiri
ataupun masyarakat banyak.
c. Asas Tauhid (Mengesakan Tuhan)
Prinsip keesaan Tuhan (tauhid) memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap
cara seseorang memahami Tuhan dan firman- Nya. Karena keesaan Allah yang
melambangkan kedaulatan Tuhan, maka tidak ada pihak manapun yang dapat
menyamai kedaulatan-Nya. Firman Allah:
Artinya: “Dan tiada sesuatu pun yang sebanding dengan Dia” (Q.S. al-
Ikhlas:4)
d. Asas Kemerdekaan atau Kebebasan
Islam mengenal asas kemerdekan (al-hurriyyah) bagi pemeluknya. Islam
memberikan kebebasan kepada setiap umatnya sejauh tidak bertentangan dengan
syariat atau melanggar kebebasan orang lain. Kebebasan tersebut meliputi
kebebasan beragama, kebebasan bertindak atau berbuat sesuatu, kebebasan
berpikir, dan kebebasan individu dalam batas-batas norma yang dibenarkan hukum.
Bahkan Allah swt. secara tegas dalam firman-Nya menjelaskan bahwa tidak ada
paksaan bagi setiap orang untuk memasuki agama Islam, semua boleh memilih
dengan konsekuensi pilihannya masing- masing. Firman Allah surat al-Baqarah:
256:
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
e. Asas Berangsur-angsur dalam Menetapkan Hukum
Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat, bahkan
menurut peristiwa-peristiwa yang menghendaki turunnya ayat tertentu. Hal ini terjadi
lantaran kondisi sosial dunia Arab saat itu, hukum adat yang sudah mengakar kuat
seringkali bertentangan dengan syariat Islam.

2.2 Sumber-sumber Hukum Islam

9
Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah asal
sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum Islam.
Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam sering diartikan dengan dalil
hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam (Rohidin, 2019). Dalil
menurut bahasa berarti petunjuk terhadap sesuatu baik hissiy (konkret) maupun
maknawi (abstrak); baik petunjuk itu kepada kebaikan ataupun kepada kejelekan.
Pengertian dalil menurut ketetapan para ahli Ushûl al-Fiqh adalah:
Artinya: “Sesuatu yang menurut pemikiran yang sehat menunjukkan pada
hukum syara’ yang amali, baik dengan jalan pasti (yakin) ataupun dengan jalan
dugaan kuat.”
Pengertian dalil secara lebih sempit sebagaimana dikemukakan oleh para ahli
Ushûl al-Fiqh, yaitu sesuatu yang daripadanya diperoleh hukum syara’ yang amali
atas dasar keyakinan belaka. Sedangkan yang didasarkan pada dugaan (zhann),
mereka namakan ‘amarah’.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, di antara dalil-dalil yang disepakati oleh
jumhur ulama sebagai sumber-sumber hukum Islam (Rohidin, 2019) adalah:
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Al-Ijmâ’
4. Al-Qiyas.
Penggunaan keempat dalil sebagaimana di atas berdasarkan firman Allah
swt: Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalil syar’i menurut Mahmud Syaltut ada tiga:
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ar-Ra’yu (Ijtihad)
Menurutnya, istilah ar-ra’yu sama dengan ijtihad. Pendapat Mahmud Syaltut
itu lebih sesuai dengan hadits Nabi saw yang berupa dialog antara beliau dengan
Muaz bin Jabal pada waktu akan diutus ke Yaman.

10
“Bagaimana engkau dapat memutuskan jika kepadamu diserahkan urusan
peradilan? Ia menjawab, ‘Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah.’ Bertanya
lagi Nabi saw., ‘Bila tidak kau jumpai dalam kitabullah?’ Ia menjawab, ‘Dengan
sunah Rasulullah saw.’ Lalu Nabi bertanya, ‘Bila tidak kau dapati dalam sunah
Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah?’ Ia menjawab, ‘Saya lakukan ijtihad bi
ar- ra’yi dan saya tidak akan mengurangi (dan tidak berlebih-lebihan).’ Berkatalah
Muaz, ‘Maka Nabi menepuk dadaku dan bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah telah
meridlainya.”
Hadits ini menunjukkan tata tertib atau urutan penggunaan dalil- dalil tersebut.
Pada hakikatnya dalil syar’i hanya satu saja, yatu al- Quran, sebab semua dalil yang
lainnya hanya merupakan penjelasan al-Quran. Kesemua dalil itu tidak boleh
bertentangan dengan al- Quran.
2.2.1 Sumber Al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw
sebagai Rasul-Nya selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Mula-mula diturunkan di Mekah
kemudian di Madinah sebagai terdapat beberapa hukum umat terdahulu yang juga
diakui oleh al-Quran sebagai hukum yang juga harus dijadikan pedoman oleh umat
manusia saat ini(Rohidin, 2019).
Kita diperintahkan oleh al-Qur’an supaya memperhatikan keadaan-keadaan
masyarakat umat manusia sebelum kita, untuk mengetahui hukum-hukum yang
sudah menegakkan masyarakat itu, dan hukum-hukum apa pula yang sudah
merobohkannya. Hukum- hukum yang baik kita pakai dan yang tidak baik kita
buang.
Al-Quran senantiasa eksis dan terpelihara pada kalbu Muhammad, sampai
tertransformasi ke dalam kalbu umat muslim dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Al-Quran juga terpelihara pada kalbu setiap muslim. Terpeliharanya al-
Quran dalam bentuk mushhaf tersebar ke seluruh penjuru dunia. Allah dalam surat
Hud ayat 1 menggambarkan bagaimana al-Quran sebagai kitab suci hendaknya
dijadikan pedoman.
Artinya: “Kitab al-Quran yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi dan
dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui.”

11
2.2.2 Sumber Al-Hadist/As-Sunnah
Menurut bahasa kata as-sunnah berarti jalan atau tuntunan, baik yang terpuji
atau tercela, sesuai dengan sabda Nabi:
Artinya: “Barang siapa yang memberi contoh tuntunan perbuatan yang baik,
ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala mereka yang
mengikutinya sampai hari kiamat. Dan baarang siapa yang memberikan contoh
perbuatan yang buruk, ia akan mendapatkan siksaan perbuatan tersebut dan
siksaan mereka yang menirunya sampai hari akhir”. (H.R. Muslim)
Secara terminologi, para ahli hadits mengartikan sunah/hadits sebagai
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam bentuk qaul
(ucapan), fi’il (perbuatan), taqrîr, perangai, dan sopan santun ataupun sepak terjang
perjuangannya, baik sebelum maupun setelah diangkatnya jadi Rasul. Menurut
sementara ahli hadits menyamakan arti dari hadits dan sunah.
Sunah sebagai dasar hukum (dalil) menduduki urutan kedua setelah
Al-Quran. Sunah juga bisa menjadi hujjah, sumber hukum dan menjadi tempat
mengistinbatkan hukum syara’ karena didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:
a. Allah memerintahkan umatnya untuk taat kepada Rasulullah sebagai bentuk
ketaatan terhadap Allah, sebagaimana ayat Al- Quran:
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7).
b. Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan al- Quran, seperti
dijelaskan dalam firman Allah: ‘
Artinya: “Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati
Allah. Dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (An-Nisa: 80).
c. Sunah adakalanya menerangkan ayat al-Quran yang masih mujmal dan
adakalanya menambah hukum yang tidak diatur secara jelas dalam al-Quran.
Sehingga sudah barang tentu Sunah yang menjelaskan al-Quran akan
menempati posisi kedua setelah al-Quran.
d. Wurûd al-Quran qath’iy seluruhnya, sedangkan Sunah banyak yang wurûd-nya
dzanniy.

12
e. Urutan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang menempatkan
Sunah pada tempat yang kedua.

2.2.3 Ijtihad
Ijtihad secara bahasa adalah berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti
kemampuan, potensi, dan kapasitas. Dalam Lisân al-‘Arab disebutkan bahwa al-juhd
berarti mengerahkan segala kemampuan dan maksimalisasi dalam menggapai
sesuatu (Rohidin, 2019). Berdasarkan pengertian ini, ijtihad menurut bahasa artinya
mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan untuk sampai pada
satu hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung konsekuenssi kesulitan
dan keberatan (masyaqqah).
Artinya, “Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan suatu
urusan atau suatu perbuatan.”
Sedangkan menurut istilah adalah
Artinya, “Pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan
hukum syara’ yang ‘amaliy dari dalil-dalilnya yang tafshîlî”
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa metode atau cara-cara ijtihad adalah:
1. Ijma
Ijma’ menurut bahasa ialah “sepakat atas sesuatu”. Sedangkan menurut
istilah ahli Ushul Fiqih adalah:
Artinya “Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah
wafat Rasulullah saw. atas suatu hukum syara’ pada peristiwa yang terjadi.”
Tolak pangkal perumusannya didasarkan kepada dalil-dalil yang terdapat
dalam al-Quran dan Sunnah (hadits sahih). Apabila telah terdapat ijma’ maka harus
ditaati, karena hukum baru itu merupakan perkembangan hukum yang sesuai
dengan kebutuhan hukum masyarakat.
2. Qiyas
Qiyas secara etimologi bermakana menyamakan sesuatu. Sedangkan
menurut istilah sebagaimana disampaikan oleh para ulama ahli ushul fiqih adalah:
Artinya: “Menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash mengenai
hukumnya, dengan suatu peristiwa yang telah ada nash hukumnya, karena adanya
persamaan ‘illah.

13
analogi bahwa hukum setiap minuman yang memabukkan seperti wiski,
vodka, bir, dan lainnya adalah haram. Dijadikannya qiyâs sebagai metode sumber
Hukum Islam berdasar kepada al-Quran surat al-Hasyr: 2 yang menyatakan bahwa :
Artinya: “Maka ambillah iktibar hai orang-orang yang mempunyai pandangan
pikiran.”
Adapun yang dimaksud dengan mengambil iktibar adalah mengambil
pelajaran dari masalah yang telah lalu dan terdapat hukumnya. Surat an-Nisâ’: 83
juga menyebutkan bahwa :
Artinya: “Jika mereka serahkan masalah itu kepada Rasul dan orang-orang
cerdik pandai (ulil amri) di antara kamu niscaya akan diketahuilah masalah itu oleh
mereka orang-orang yang pandai mengeluarkan ilmu.”
3. Mashlahah Mursalah
Ahli ushul fiqih mendefinisikan mashlahah mursalah dengan …
“Memberikan hukum syarâ’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash
atau ijmâ’ atas dasar memelihara kemaslahatan.”
Tujuan syariat di dalam menetapkan suatu hukum adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia dibagi dalam tiga komponen, yakni
primer, sekunder, dan tersier. Apabila syarâ’ menetapkan hukum terhadap suatu
peristiwa serta menunjukkan kepada kemaslahatan yang dimaksudkan dan
menerangkan pula ‘illah yang menjadi dasar ditetapkannya hukum tersebut, maka
segala kejadian yang tidak ada nash-nya, dapat diterapkan hukum dengan engacu
pada kesamaan ‘illah- nya. Yang demikian dinamakan qiyâs. Namun apabila
terhadap peristiwa tersebut tidak terdapat nash, dan syarâ’ juga tidak menunjukkan
secara nyata ‘illah-nya, tetapi ada kemaslahatan yang dianggap sesuai untuk
menetapkan hukum maka hal tersebut dinamakan mashlahah mursalah
4. Istihsân
Istihsân menurut bahasa adalah menganggap sesuatu sebagai hal yang baik.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan penjelasan dari kalangan madzhab,
di antaranya ialah:
Menurut ulama Hanafiah…
Artinya: “Beralih pandangan dari dalil qiyas yang lain yang lebih kuat atau
mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat (Al-Bazdawi)

Menurut ulama Malikiah…

14
Artinya: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisnâ’
(pengecualian) dan tarkhîs (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya
hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian tersebut (Ibnul Arabi).

Menurut ulama Hanabilah…


Artinya: “Beralih pada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang
lainnya, karena adanya dalil syarâ’ yang lebih khusus (Ath-Thufi)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi


istihsân adalah berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain dengan jalan
meninggalkan atau mengambil suatu hukum yang lain, mengecualikan hukum dari
yang berlaku umum ke khusus atau sebaliknya.
5. Urf
Urf dapat didefinisikan berdasarkan dalil..
Artinya: “Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka
menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun sikap
meninggalkan sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan.”
Mengenai kehujjahan, ‘urf yang sahih dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun hakim untuk penetapan hukum atau keputusan. Banyak ulama
Malikiah menetapkan hukum berdasarkan pada perbuatan-perbuatan penduduk
Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat
dapat diterima selama tidak bertentangan syarâ’. Sebaliknya, ‘urf tidak dapat
diterima jika bertentangan dengan syarâ’ baik nash maupun ketentuan umum dari
nash.
6. Sadd adz-Dzarî’ah
Sadd adz-dzarî’ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan
larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah (boleh).
Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang
dilarang.35 Metode ini lebih tepatnya mengarah pada upaya preventif. Para ahli
ushul mendefinisikan sadd adz-dzarî’ah sebagai berikut:
Artinya: “Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan. Baik
untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat sarana yang dapat
menyampaikan seseorang pada kerusakan.”
Di antara kasus yang ditetapkan hukumnya menggunakan metode ini adalah
pemberian hadiah (gratifikasi) kepada hakim. Seorang hakim dilarang menerima

15
hadiah dari para pihak yang sedang berperkara sebelum perkara itu diputuskan,
karena dikhawatirkan akan membawa kepada ketidakadilan dalam menetapkan
hukum atas kasus yang ditangani. Meski pada hakikatnya menerima pemberian atau
hadiah adalah boleh, hanya saja dalam kasus ini harus dilarang.
7. Istishhâb
Istishhâb menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang selalu menyertai.
Sedangkan menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah:
Artinya: “Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan
pada masa lampau dan masih memerlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali
jika ada dalil lain yang mengubahnya”.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhâb adalah melanjutkan ketetapan suatu hukum
yang telah ada atau meniadakan sesuatu hukum yang sejak semula tidak ada.
Dengan kata lain, istishhâb dapat diartikan sebagai tindakan melangsungkan
berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang
membatalkannya.

2.3 Hukum Perdata Islam


Perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia merupakan salah satu
ekses dari perubahan sosial dan politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Terutama perubahan sosial, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dari
kehidupan yang nyata, termasuk asumsi dan pandangan sebagian muslim bahwa
hukum Islam adalah suatu hal yang sakral dan eternal. Sehingga muncul asumsi
bahwa perubahan sosial harus menyesuaikan dengan hukum Islam, bukan
sebaliknya, perubahan sosial mempengaruhi penetapan hukum (Saefudin, 2014).
Hukum Perdata Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam
itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam
sebagai sebuah agama. perkembangan hukum perdata di Indonesia secara garis
besar terdiri dari dua bagian penting. Pertama, perkembangan hukum perdata Islam
pra kemerdekaan. Kedua, perkembangan hukum perdata Islam pasca
kemerdekaan. Perkembangan hukum perdata Islam pra kemerdekaan terdiri dari
dua bagian yaitu hukum perdata Islam sebelum masa penjajahan dan Hukum
perdata Islam zaman kolonial. Selanjutnya hukum perdata Islam pasca
kemerdekaan, meliputi masa awal kemerdekaan, pada Orde Lama, pada Orde Baru,
dan hukum perdata Islam era Reformasi (Saefudin, 2014).

16
2.3.1 Pengertian Hukum Perdata Islam
Hukum perdata Islam di Indonesia merupakan hukum positif yang berlaku di
Indonesia yang berasal dari hukum islam, yang bersumber dari Al Quran, Hadist,
Ijma dan sumber hukum lain. Melalui proses positivisasi telah menjadi hukum positif.
Positivisasi yang terjadi merupakan transformasi atas nilai-nilai hukum islam baik
sebagian maupun seluruhnya yang menjadi norma substantif dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Misalnya UU perkawinan, UU Wakaf, UU Haji, UU
Perbankan (baik UU No 10/1998 maupun UU 21/2008), dan yang tidak kalah
pentingnya adalah adanya Kompilasi Hukum Islam yang berdasarkan Instruksi
Presiden No 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 serta Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2008. Dengan demikian, yang termasuk
kedalam hukum perdata Islam dapat mencakup hukum keluarga, hukum ekonomi,
hukum politik, hukum acara dan lain sebagainya.
Hukum Keluarga dan Keperdataan merupakan bagian dari Hukum Islam.
Istilah Hukum Islam adalah istilah yang dipergunakan di Indonesia yang dilawankan
dengan Hukum Positif. Hukum Islam, yaitu seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah dan /atau sunnah rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat yang beragama Islam (Onainor, 2019).
2.3.2 Ruang lingkup Hukum Perdata Islam
Ruang lingkup Hukum Perdata Islam di Indonesia meliputi: Hukum keluarga
Islam (munakahat/perkawinan, faraid/kewarisan, Hukum Keperdataan Islam
(muamalat) membahas harta, transaksi dalam hukum keperdataan.
1. Munakahat (Perkawinan)
Perkawinan merupakan salah satu bidang fiqh, munakahat terdiri dari 2 kata
yaitu nikah (‫ )حكن‬dan zawaj ( ‫) زجاو‬. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Alquran
dengan arti kawin, salah satunya terdapat dalam QS. Al-Nisa [4]:3.7
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Begitu juga banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Alquran dalam arti kawin.
Contoh QS. Al-Ahzab[33]:37

17
…maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Kata nikah atau zawaj berarti “bergabung”, hubungan kelamin dan juga berarti
akad. Dalam terminologi kitab-kitab fiqh, nikah adalah akad atau perjanjian yang
mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan kata
nakaha atau zawaja (Onainor, 2019).
Prinsip-prinsip perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan
Agama.
d. Undang-undang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus siap jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian,
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur, karena

18
perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka
untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya
perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Sebab batas
umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju
kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih
tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang Perkawinan ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan
Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama suami isteri.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berasal dari Hukum Islam dan
Hukum Adat (Onainor, 2019). Oleh karena itu dalam Alquran terdapat penjelasan
tentang asas- asas yang telah pemakalah uraikan di atas.
a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan syarat calon suami isteri,
QS. Al-Rum[30]:21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.

b. Asas monogami, QS. Al-Nisa>[4]:3


Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan

19
dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
c. Asas mempersulit terjadinya perceraian, sabda Rasulullah saw, riwayat Ibn
Umar:
Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talaq/perceraian (HR. Abu
Daud, Ibn Majjah dan disaksikan…..)
d. Asas hak dan kedudukan suami isteri seimbang, QS. Al-Nisa[4]:32
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.

2. Faraid (Kewarisan)
Faraid (kewarisan) adalah salah satu bidang fiqh yang membahas peralihan
hak dari orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (pewaris)
kepada orang yang masih hidup (ahli waris). Harta waris yaitu harta yang beralih dari
pewaris ke ahli waris. Ketentuan faraid (kewarisan) diatur dalam al-Quran. Dalam
QS Al-Nisa[4]:7 dijelaskan :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.”
QS. Al-Nisa[4]:8
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang baik.
QS. Al-Nisa[4]:11
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk

20
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
QS. Al-Nisa[4]:12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing- masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Penyantun.
QS. Al-Nisa[4]:33
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya[288]. dan (jika ada) orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah

21
kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.
QS. Al-Nisa>[4]:176
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
Dalam faraid atau kewarisan dijelaskan hubungan kewarisan menurut Islam
ada beberapa bentuk :
a. Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah.
Hubungan disini bersifat alamiah menghubungkan darah ditentukan oleh
kelahiran dasar dari hubungan kekerabatan sebagai hubungan kewarisan
ditentukan dalam QS. Al-Nisa[4]:7
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat

22
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. Hubungan perkawinan. Apabila seorang laki-laki telah melangsungkan akad
nikah yang sah dengan seorang perempuan, maka diantara keduanya telah
terdapat hubungan kewarisan, dalam arti isteri menjadi ahli waris bagi suaminya
yang telah meninggal dunia dan suami menjadi ahli waris bagi isteri yang telah
meninggal dunia. Dasar hukum adanya hubungan kewarisan antara suami dan
isteri adalah QS. Al-Nisa[4]:33
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya[288]. dan (jika ada) orang-orang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

3. Harta
Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Ia
termasuk salah satu sendi bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa harta
atau secara khusus adalah makanan manusia tidak akan dapat bertahan oleh
karena itu Allah swt menyuruh manusia memperolehnya, memilikinya dan
memanfaatkannya bagi kehidupan manusia dan Allah swt melarang berbuat sesuatu
yang akan merusak dan meniadakan harta itu. Ia dapat berupa materi dan immateri.
Harta dalam bentuk materi bergerak dan ada yang tidak bergerak, sedang harta
dalam bentuk immateri berupa hak-hak (Onainor, 2019).
Dalam hukum perdata Islam, bahwa hakikat kepemilikan adalah Allah swt.
Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an, antara lain:
QS. Al-Maidah[5]:17:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah
itu ialah Al masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan)
yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak
membinasakan Al masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh
orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". kepunyaan Allahlah
kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

23
QS. Ali Imran[3]:104
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.
QS. Al-Maidah[5]:17
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-
Nya.
Berdasarkan penjelasan surat Alquran di atas dapat dipahami bahwa hakekat
harta adalah Allah swt, namun seluruh yang dimiliki oleh Allah swt dijadikan Allah
swt untuk manusia semuanya sebagaimana dinyatakan dalam18 QS. Al-
Baqarah[2]:29
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu. QS. Al-Jumuah[62]:10 Apabila telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, yang disebut harta (Onainor, 2019) adalah:
a. Nama selain manusia yang diciptakan Allah swt untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola (tasaruf) dengan
jalan ikhtiar.
b. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia
maupun oleh sebagian manusia.
c. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai harga seperti sebiji beras dapat
dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan.
d. Sesuatu yang berwujud sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil
manfaatnya tidak termasuk harta misalnya manfaat, karena manfaat tidak
berwujud sehingga tidak termasuk harta.
e. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat
diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

24
2.3.3 Asas-Asas Hukum Perdata
Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang diakui oleh pemerintah memiliki
asas-asas yang dianggap penting dalam meng-lmplementasikan-nya atau yang
sering disebut sebagai Asas Umum yang meliputi semua bidang dan lapangan
Hukum Islam (Khoerudin Ar-Ridho, 2006), yakni:
1. Asas Keadilan
Asas Keadilan adalah asas yang penting dan mencakup semua asas dalan1
bidang Hukum Islam. Akibat dari pentingnya asas dimaksud, sehingga Allah SWT
Mengungkapkan di dalam Al-Qur'an lebih dari 1.000 kali, terbanyak disebut setelah
kata Allah dan ilmu pengetahuan. Banyak ayat Al- Qur'an yang memerintahkan
manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan (Khoerudin Ar-Ridho, 2006).
Artinya : Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, 1\!faka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafeu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
2. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah asas yang menya1akan bahwa tidak ada satu
perbuatan yang dapat di hukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada
dan berlaku pada perbuatan itu.7 Oleh karena itu, tidak ada sesuatu pelanggaran
sebelum ada ketentuan hukum yang mengatumya. asas 1111 berdasarkan atas Al-
Qur'an surah Al-Israa' (17) Ayat 15 sebagi berikut:
Artinyah : Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (kese/amatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa
yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan
meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.
3. Asas Kemanfaatan
Asas Kemanfaatan adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian
hukum. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogianya
dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik kepada yang bersangkutan sendiri
maupun kepada kepentingan masyarakat (Khoerudin Ar-Ridho, 2006). Dalam
melakukan pencatatan setiap aqad, misalnya, dapat dipertimbangkan

25
kemanfaatannya bagi orang yang ber-'aqad dan bagi masyarakat. sebagaimana
yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 282 di sebut:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dalam praktik Hukum Perdata terdapat asas-asas Hukum Islam yang menjadi
tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang, ha! ini
sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Muhammad Daud Ali, SH dalam bukunya,
asas-asas itu di antaranya adalah :
a. Asas Kebolehan
Asas ini menunjukan kebolehan melakukan semua hubungan perdata
(sebagian dari hubungan mu'amalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Al-
Qur'an dan As-Sunah. Dengan kata lain, pada dasarnya segala bentuk hubungan
perdata adalah boleh dilakukan, kecuali kalau telah ditentukan lain dalarn Al-Qur'an
dan As-Sunnah.
Islam memberi kesempatan luas kepada yang b1~rkepentingan untuk
mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Tuhan memudahkan dan tidak
menyempitkan kehidupan manusia seperti yang dinyatakan-Nya antara lain dalam
Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2) ayat 185:
Artinya : …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu ...
b. Asas Kemaslahatan Hidup
Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
berguna, berfaedah bagi kehidupan. Asas kemaslahatan hidup adalah asas yang
mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal
hubungan itu mendatangkan kebaikan, berguna serta berfaedah bagi kehidupan
manusia pribadi dan masyarakat, kendatipun tidak ada ketentuuannya dalam Al-
Qur'an dan As-Sunnah. Asas ini sangat berguna untuk pengembangan berbagai
lembaga hubungan perdata dan dalam menilai lembaga-lembaga hukum non-Islam
yang ada dalam sesuatu masyarakat.
c. Asas Kebebasan dan Kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus
dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak para pihak yang

26
melahirkan ke-sukarela-an dalam persetujuan harus senantiasa di perhatiakan. Asas
ini juga mengandung arti bahwa selama teks Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak
mengatur suatu hubungan p<:rdata, selama itu pula para pihak bebas mengatumya
atas dasar kesuka:relaan masing-masing. Asas ini bersumber dari Al-Qur'an surat
An-Nisa (4) ayat 29.
d. Asas Menolak Mudharat dan Mengambil Manfaat
Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat adalah asas
hubungan perdata yang disandarkan pada hormat-menghormati, kasih-mengasihi
serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini menunjukkan
suatu hubungan perdata antara para pihak yang menganggap diri masing-masing
sebagai anggota satu keluarga, kendatipun, pada hakikatnya, bukan keluarga. 12
Asas ini dialirkan dari Surat Al-Maidah (5) ayat 2 :
Artinya : …Dan to/ong-meno/onglah kamu dalam (menge1jakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-meno/ong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
e. Asas Adil dan Berimbang
Asas keadilan mengandung makna bahwa hubungan perdata tidak boleh
mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada
waktu pihak lain sedang kese:mpitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil
yang diperoleh harus berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang dilakukan.
f. Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengadakan hubungann
perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalan1 hubungan
perdatanya. Merusak harta, kendatipun tidak merugikan diri sendiri, tetapi merugikan
orang lain, tidak dibenarkan dalam Hukum Islam. Ini berarti bahwa menghancurkan
atau memusnahkan barang, untuk mencapai kemantapan harga atau keseimbangan
pasar, tidak dibenarkan oleh Hukum Islam (QS. 2:188, 2:195, 3:130, 4:2, 4:29, 5:2,
66:6).
g. Asas Mendapatkan Hak Karena Usaha dan Jasa
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapat hak,
misalnya, berdasarkan usaha dan jasa, baik yang dilakukannya sendiri maupun
yang diusahakannya bersama-sama orang lain. Usaha dan jasa haruslah usaha dan
jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang
mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor. Usaha dan jasa yang dilakukan

27
melalui kejahatan, kekejian dan kekotoran tidak dibenarkan oleh Hukum Islam. Asas
ini bersumber dari Al-Qur'an antara lain surat 6:164, 8:26, 16:72, 17:15, 17:19,
35:18, 39:7, 40:64, 53:38, 53:59.
h. Asas Perlindungan Hak Asas
Asas ini mengandung arti bahwa semua hak yang di peroleh seseorang
dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itn dilanggar oleh salah satu
pihak dalam hubungan perdata, pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut
pengembalian hak itu atau menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian
pada pihak yang merugikannya.
i. Asas Yang Beri 'tikad Baik Harus Dilindungi
Asas ini berkaitan erat dengan asas lain yang menyatakan bahwa orang
melakukan perbuatan tertentu be1ianggung jawab atau menanggung resiko
perbuatanya. Namun, jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak
mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai i 'tikad baik dalam hubungan
perdata, kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia
dirµgikan karena i'tikad baiknya.
j. Asas Mengatur dan Memberi Petunjuk
Sesuai dengan sifat hukum keperdataan pada umumnya, dalam Hukum Islam
berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan Hukum Perdata, kecuali
yang bersifat ijbari karena ketentuannya telah qath 'i hanyalah bersifat mengatur dan
memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam
mengadakan hubungan perdata. Para pihak dapat memilih ketentuan lain
berdasarkan kesukarelaan, asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan
Hukum Islam.
k. Asas Tertulis Atau Diucapkan Di Depan Saksi Asas
Asas ini mengandung makna babwa hubungan perdata selayaknya
dituangkan dalam perjanjian tertulis dihadapan saksi:-saksi. Namun, dalam keadaan
te1ientu, perjanjian itu dapat saja dilakukan secara lisan dihadapan saksi-saksi yang
memenuhi syarat baik mengenai jumlahnya maupun mengenai kualitas orangnya.
Sebagaimana yang disebut dalam Surat Al-Baqarab (2): 282)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka

28
hendaklah ia menu!is, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).

2.4 Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin (John M. Echols
dan Hassan Shadily, 1983: 265). Dalam Webster's New World Dictionary, gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi nilai dan tingkah laku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561), sedangkan menurut
Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (Ed.), 153). Hilary M. Lips
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men) (Hilary M. Lips, 1993: 4),
menurut H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu
dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam
membedakan laki-laki dan perempuan (H.T. Wilson, 1989: 2).
Menurut World Health Organization (WHO), gender adalah sifat yang melekat
pada perempuan dan laki-laki, seperti norma, peran, dan hubungan antara kelompok
pria dan wanita, yang dikonstruksi secara sosial. Gender dapat berbeda antara satu
kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya, serta dapat berubah sering
waktu. Berdasarkan pengertian tersebut gender dapat diartikan sebagai sesuatu
yang terbentuk secara sosial dan bukan dari bentuk tubuh laki-laki maupun
perempuan, tetapi cenderung merujuk pada peran sosial dan budaya dari
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tertentu.
Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan
sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi per- bedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada
aspek biologis seseorang yang meliputi per- bedaan komposisi kimia dan hormon

29
dalam tubuh, anatomi fisik, repro- duksi dan karakteristik biologis lainnya. Sementara
itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan
aspek-aspek non biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan
maskuli- nitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang.
Sedangkan studi sex lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/dzukurah) dan perempuan
(femaleness/unutsah). Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-
laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender dari
pada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan
reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya di- gunakan istilah gender (Arbain et al.,
2017).
Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis memang hampir selalu
diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang melahirkan diskriminasi,
subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya yang dialami oleh
kaum perempuan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika persoalan perempuan
dapat mengundang rasa simpati yang cukup besar dari masyarakat luas sehingga
muncul upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi kaum perempuan dengan
penyadaran dan pemberdayaan (Siri, 2012).
Dalam konteks islam persoalan Gender merupakan contoh nyata betapa
antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks sosial yang melingkupi
sering terjadi benturan –benturan dan ketegangan. Keberagaman ini perlu dikritisi
karena sama-sama mengklaim dirinya berpegang pada kitab suci al Qur’an. Isu
gender sesungguhnya lahir dari kesadaran kritis kaum perempuan terhadap
keterbelakangan kaumnya. Bila kita telusuri sejarah kelam kaum perempuan pada
masa lampau khususnya eksistensi atau keberadaan perempuan dimata agama-
agama, misalnya saja agama yahudi yang menjauhi perempuan yang haid dan
diasingkan ke suatu tempat yang khusus. Demikian juga dengan agama-agama lain
seperti agama kristen dan hindu yang selalu menganggap rendah kaum per-
empuan. Kemunculan gender ini banyak diwarnai ketidakjelasan terutama dalam hal
emansipasi perempuan karena kodrat itulah salah satu batasan- nya yang diusung
oleh kementrian agama maupun Negara (Arbain et al., 2017).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukaan oleh para ahli, maka
gender dapat diartikan sebagai suatu konsep tentang sifat yang melekat pada laki-

30
laki dan perempuan yang berasal dari kontruksi sosial kultural dalam masyarakat.
Gender bukan suatu yang bersifat kodrati dengan merujuk pada perbedaan jenis
kelamin yang ditentukan berdasarkan aspek biologis ini melekat pada jenis kelamin
tertentu, sehingga tidak dapat dipertukarkan seperti pada organ reproduksi.
Perempuan memiliki alat reproduksi berupa rahim, vagina dan payudara yang
memungkinkan perempuan dapat mengandung, melahirkan dan menyusui,
sedangkan organ reproduksi laki-laki sangat berbeda. Hal inilah yang dimaksud
dengan kodrat, ketentuan dan ciptaan Allah yang tidak dapat berubah, mutlak dan
tanpa kecuali.

2.5 Penerapan Hukum Perdata Islam dalam Kajian Gender


Kenyataan yang mengindikasikan bahwa perempuan masih diposisikan
sebagai warga kelas dua masih terlihat di belahan dunia ini. Hal ini terlihat pada
aturan, kebiasaan, budaya dan penafsiran agama, yang mengarah pada
pengekangan dan perampasan hak-hak perempuan. Tradisi masyarakat Islam ada
yang beranggapan bahwa suara perempuan adalah aurat, sehingga interpretasi ini
dapat menghalangi kaum pemahaman memiliki akses untuk mengaktualisasikan diri
di ranah publik.
Sepanjang sejarah memang tidak banyak perempuan yangmenjadi pemikir,
pemimpin, kaum ulama, sufi, pahlawan, pemuka dan tokoh masyarakat. Dengan
demikian, realitas ini secara sepintas akan menjadi bukti kelemahan eksistensi kaum
perempuan di antara kaum laki-laki. Asumsi ini sangat mempengaruhi kaum
perempuan dalam sosialisasi citra mereka sebagai manusia yang menginginkan
persamaan dalam kehidupan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan seringkali
menjadi perdebatan yang hangat dan tak pernah usai. Sebagian pendapat
menyamakan dan mensejajarkan antara keduanya, sebagian lagi secara tegas
membedakan dalam berbagai hal, dan menganggapnya sebagai kodrat atau takdir.
Dewasa ini agama sering dituduh sebagai sumber terjadinya ketidak adilan
dalam masyarakat, termasuk ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan
yang sering disebut dengan ketidakadilan gender. Gender adalah jenis kelamin
bentukan yang dikonstruksi oleh budaya dan adat istiadat, seperti laki-laki kuat,
berani, cerdas, menguasai, sedangkan perempuan itu lemah, penakut, kurang
cerdas (bodoh), dikuasai dll. Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan
gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidak adilan

31
dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate
atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang
negatif bagi perempuan Citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut 3R (dapur,
sumur, kasur), kekerasan, dan double burden (beban ganda) terhadap perempuan
yang bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah swt.
Fakta sejarah membuktikan bahwa di Indonesia masa lalu, perempuan
Indonesia juga berkesempatan dan berpeluang memegang jabatan ke- kuasaan
sebagai kepala negara, dan berperan aktif dalam berbagai aspek sosial
kemasyarakatan, baik sosial, ekonomi, sosial budaya, maupun politik. Bahkan
memanggul senjata dalam bidang militer tanpa harus meninggalkan perannya di
ruang domestik. Dari fakta-fakta sejarah, dapat disimpulkan bahwa dasarnya
perempuan dan laki-laki adalah sama. Yaitu sama-sama memiliki potensi dan
kecerdasan, keinginan, dan cita-cita, impian, dan harapan, juga rasa khawatir, dan
kecemasan. Dengan kecerdasan ilmu pengetahuan yang diperoleh perempuan, dia
tidak hanya mampu berperan sebagai ibu dari anak-anak atau istri yang hanya
berkutat di ranah domestik. Akan tetapi, mereka juga mempunyai potensi dan
dituntut untuk terus dikembangkan. Kepemimpinan sendiri berarti memperoleh atau
mencapai keunggulan sebagai individu dalam masyarakat atau wilayah yang disebut
publik. Kepemimpinan bisa juga berarti kompetensi dan hirarki, dan juga berkaitan
dengan masalah kekuasaan dan tanggung jawab. Jadi, ke- pemimpinan yang baik
adalah yang punya kemampuan untuk mengambil keputusan dengan adil dan
bijaksana, tanpa memandang jenis kelamin, entah itu laki-laku ataupun perempuan
(Arbain et al., 2017).
Sejalan dengan fakta sejarah Negara Indonesia, tidak ada satu ayatpun
dalam Al-qur‟an yang mengatakan sifat wanita dan laki-laki merupakan ketentuan
atau kodrat. Yang secara tegas dan eksplisit dinyatakan bahwa baik laki-laki
maupun perempuan memiliki potensi untuk beriman dan bertakwa sebagaimana
yang dikatakan dalam firman Allah SWT. surah An-Nisa‟ [4]: 124:)

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan
sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka
tidak dianiaya walau sedikitpun.”

32
Perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan berdasarkan karakter
atau sifat yang muncul dari pembawaan tidak dapat dijadikan sebagai barometer
dalam menentukan posisi atau kedudukan seseorang dalam berperan pada
lingkungan masyarakat. Apabila hal tersebut terjadi maka dapat merugikan atau
mendiskreditkan salah satu pihak. Padahal nash al-Qur,an tersebut telah
menjelaskan persamaan potensi yang dimiliki seseorang.
Dalam Konteks Hukum Perdata sehubungan dengan kajiannya terhadap
Gender dapat dikaji berdasarkan beberapa dalil sekaligus prinsip pokok ajaran Islam
yaitu prinsip egalitarian yakni persamaan antar manusia, baik laki-laki dan
perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan (Suhra, 2013). Hal ini
diisyaratkan dalam QS. al-Hujurat: 13
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.”

Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang persamaan antara


laki-laki dan perempuan baik dalam hal ibadah (dimensi spiritual) maupun dalam
aktivitas sosial (urusan karier profesional). Ayat tersebut juga sekaligus mengikis
tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan
yang memarginalkan salah satu diantara keduanya. persamaan tersebut meliputi
berbagai hal misalnya dalam bidang ibadah. Siapa yang rajin ibadah, maka akan
mendapat pahala lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya. Perbedaan
kemudian ada disebabkan kualitas nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah
swt., Ayat ini juga mempertegas misi pokok al-Qur’an diturunkan adalah untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk
diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya. Namun
demikian sekalipun secara teoritis al-qur’an mengandung prinsip kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan, namun ternyata dalam tatanan implementasi seringkali
prinsip-prinsip tersebut terabaikan.
Konteks khalifatullâh fî al-ardh secara terminologis, berarti “kedudukan
kepemimpinan”. Ini berarti bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan
diamanatkan menjadi pemimpin. Namun demikian, bila dicermati lebih lanjut ternyata
ada nash Al- Qur’an maupun hadis yang kelihatannya berdimensi maskulin, dan

33
secara sepintas menyorot masalah misogoni. Sementara ajaran Islam, diyakini
sebagai rahmat untuk semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin.
Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa ada beberapa variabel yang dapat
digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender
dalam al-Qur’an (Suhra, 2013). Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai
berikut:
a. Laki-laki dan perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al- Zariyat: 56 artinya sebagai berikut:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-
laki dan perempuan siapa yang banyak amal ibadahnya, maka itulah mendapat
pahala yang besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis kelaminnya
terlebih dahulu. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-
orang bertaqwa (muttaqûn), dan untuk mencapai derajat muttaqûn ini tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.

b. Laki-laki dan perempuan sebagai Khalifah di Bumi

Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping
untuk menjadi hamba (âbid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah
Swt., juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fî al-ard).Kapasitas manusia
sebagai khalifah di bumi ditegaskan di dalam QS. al-An’am: 165 artinya sebagai
berikut:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Kata khalifah dalam ayat tersebut tidak menunjuk kepada salah satu jenis
kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi
yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas

34
kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab
sebagai hamba Tuhan.

c. Laki-laki dan perempuan Menerima Perjanjian Primordial

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima


perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak
manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian
dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf: 172 artinya sebagai
berikut:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban
kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengata- kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). Menurut.

35
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perspektif gender dalam Al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian relasi
gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-
Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia),
makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-
Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang QS. al-Syura: 11,
dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan sufi menganggap makhluk-
makhluk juga berpasang-pasangan. Langit diumpamakan dengan suami yang
menyimpan air QS. al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan isteri yang menerima
limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan QS.
al- Thariq: 12. Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq
Yang Maha Esa QS. al-Ikhlas: 14.
Secara umum tampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan
(discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya.
Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur’an, yaitu
terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa
rahmah) di lingkungan keluarga QS. al-Rum: 21, sebagai cikal bakal terwujudnya
komunitas ideal dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan
(baldatunThayyibatun wa rabbun ghafûr) QS. Saba: 15.
Al-Qur’an juga berobsesi untuk mengalihkan pola hidup yang bercorak
kesukuan (tribalism) yang rawan terhadap berbagai ketegangan dan kezaliman,
menuju ke pola hidup ummah, seperti disebutkan dalam QS. al-Baqarah: 213
Artinya sebagai berikut: “Manusia itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembiran dan
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkaran yang mereka
perselisih- kan.Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya.dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”

36
Pola hidup ummah adalah pola hidup yang lebih mendunia dan lebih
menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Dalam pola kesukuan, promosi karier
hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan perempuan sulit sekali memperoleh
kesempatan itu. Dalam pola hidup ummah, laki-laki dan perempuan terbuka peluang
untuk memperoleh kesempatan itu secara adil.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan
mengandung prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki- laki dan perempuan sama-sama
sebagai hamba ( QS. Al-Zariyat ayat 56),laki-laki dan perempuan sama-sama
sebagai khalifah di bumi.(QS.Al-Baqarah:30), laki-laki dan perempuan sama-sama
menerima perjanjian primordial (QS. Al-A’raf:172, Adam dan hawa sama-sama aktif
dalam drama kosmis bukan Hawa yang mempengaruhi Adam untuk makan buah
Huldi melainkan sama-sama tergoda dan sama-sama pula bertaubat kepada Allah
(QS.Al-‘A’raf: 20 sampai 23), laki-laki dan perempuan berpotensi untuk meraih
prestasi optimal (QS.Al-Nahl:97).
Penerapan Hukum Perdata Islam dalam kajian gender berdasarkan perspektif
Al-Qur’an dalam hukum Islam terlihat pada adanya transformasi hukum Islam yang
bertalian dengan isu kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan seperti pada
hukum poligami dan kewarisan dalam Islam. Begitu juga di bidang profesi seperti
hakim perempuan serta memicu lahirnya produk hukum yang berpespektif
kesetaraan dan keadilan gender.

37
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Rizkya El Fitria, Djamhur, dan Hamidah. 2011. Peranan Budaya Organisasi
Dalam Meningkatkan Komitmen Pegawai (Studi Kasus pada PT. Bank
Muamalat Indonesia Cabang Malang). Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya Malang. 2008.
Al-Qaradhawi Yusuf, Fatwa-fatwa Kotemporer jilid 3, penerj. Abdul Hayyie alKattani,
dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Arbain, J., Azizah, N., & Sari, I. N. (2017). Pemikiran Gender Menurut Para Ahli:
Telaah atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan
Mansour Fakih. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 11(1), 75.
https://doi.org/10.21580/sa.v11i1.1447

Baidowi, A. (2011). Etika Bisnis Perspektif Islam.


Donovan, Gary dan Kathy Gibson. 2000. “Environmental Dislosure in The Corporate
Annual Report: A Longitudinal Australian Study Paper For Presentation in The
6th Interdisciplinary Environmental Association Conference”. Monteal,
Canada.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Y okyakarta :
Pustaka Pelajar.

Khoerudin Ar-Ridho. (2006). Perkembangan Hukum Perdata Islam di Indonesia


(Tinjauan UU No. 03 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.

Mustaqim. 2008. Psikologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Pelajar.


Onainor, E. R. (2019). Journal of Islamic Law 105–112.. Universitas Ibn Khaldun.
Bogor

Rohidin. (2019). Pengantar Hukum Islam. In Journal of Chemical Information and


Modeling (Vol. 53, Issue 9).

Saefudin. (2014). Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia. 2(1), 1–27.


http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-hukum-perdata-islam-
di.html

Siri, H. (2012). Gender Dalam Perspektif Islam. An Nisa´a, 7(2), 119–133.

Suhandjati, Sri. 2010. Ragam Pemberdayaan Perempuan Versi Oraganisasi


Perempuan Islam Indonesia. Semarang: Balai Penerbitan dan
Pengembangan Agama.

Suhra, S. (2013). Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-qur’an Dan Implikasinya


Terhadap Hukum Islam. STAIN Watampone. Sulawesi Selatan.

38

Anda mungkin juga menyukai