Jurnal Belum Siap
Jurnal Belum Siap
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA : PANGONDIAN ULI TEACHER SIAGIAN
NIM : 51911121013
PRODI : Pendidikan Teknik Mesin
DOSEN PENGAMPU : Dr. Ir. Riski Elpari Siregar, M.T.
Binsar Maruli Tua Pakpahan, ST., M.Eng.
Pangondian Siagian
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………..............…
Daftar Isi ……………………………………………..........…………….
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ….......…………………...............………......…........
B. Tujuan Pembuatan Cricital Jurnal ………………..............................................….....
C. Manfaat Pembuatan Jurnal.................................................................................................
D. Rasionalisasi Cricital Jurnal…………………………………………………………………………….
BAB II Pembahasan
A.Identitas Jurnal 1…………………………………………………………
B.Identitas Jurnal 2…………………………………………………………
C.Identitas Jurnal 3…………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..........……..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai metode pemurnian metallurgy grade silicon (MG-Si) telah banyak berkembang
dengan kelebihan dan kekurangannya dalam menghasilkan Solar Grade Silicon (SoG-Si).
Beberapa metode pemurnian silikon seperti proses Siemen (Yu et al., 2011; Zhang, Wang,
Ma, Xie, & Hu, 2013), fluidized bed reactor (Zhang et al., 2013)dan proses dekomposisi(Yu
et al., 2011) merupakan proses dengan biaya yang sangat tinggi. Alternatif proses
pemurnian lain dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah serta biaya yang murah dapat
diatasi dengan metode pelindian (Zhang et al., 2013). Proses pelindian MG-Si menggunakan
asam termasuk dalam kategori pemurnian secara hidrometalurgi. Berbagai jenis larutan
asam telah digunakan dalam pelindian MG-Si seperti aqua regia, asam hidrofluorik, asam
hidroklorik, dan lain-lain(Norman et al., 1985; Zhang et al., 2013). Beberapa penelitian
menyatakan bahwa efektifitas proses pelindian selain dipengaruhi oleh jenis larutan, juga
dipengaruhi oleh ukuran partikel. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa ukuran ideal
partikel MG-Si yang akan dilakukan pelindian adalah 20 – 150 µm. (Dietl, 1983; Ma,
Zhang, Wang, & Li, 2009; Sun et al., 2013; Zhang et al., 2013).
Berdasarkan hasil karakterisasi awal menggunakan XRF, MG-Si memiliki kandungan
pengotor utama berupa Fe, Al dan Ti. Setiap unsur pengotor memiliki pengaruh yaitu
menurunkan performa dengan membentuk intersisi pada batas butir Si (Coletti, 2011).
Selain itu, unsur pengotor juga menyebabkan penurunan umur pakai, mengganggu proses
regenerasi elektrik sehingga mendegradasi kemampuan elektrik material itu sendiri.(Coletti,
2011; Yu et al., 2011). Menurut peneliti lain (Hofstetter, Lelièvre, del Cañizo, & Luque,
2009), terdapat batas yang diijinkan untuk pengotor terkandung dalam sel surya silikon.
Batas ini kemudian dijadikan sebagai acuan dalam mengendalikan pengotor pada setiap
proses pemurnian. Mekanisme pemurnian yang terjadi pada proses pelindian terjadi pada
batas butir Si tempat dimana pengotor bertindak sebagai intersisi. Oleh karena hal tersebut,
sangat penting dalam memperhitungkan ukuran butir material MG-Si yang akan dilindi.
Semakin kecil ukuran butir MG-Si, maka semakin mudah larutan pelindian dalam
melarutkan pengotor. Untuk lebih jelasnya, tahapan proses pelindian dapat dilihat pada
gambar 1.(Adjiantoro & Mabruri, 2012)
ABSTRAK
Efisiensi dalam proses pemurnian silikon tingkat metalurgi (MG-Si) menggunakan larutan asam
HNO3+3HCl (aqua regia) dan HCl telah dilakukan dalam penelitian ini. Proses pemurnian
menggunakan mekanisme pelindian dengan variasi pH = 1, pH = 2 dan pH = 3 dengan durasi
pelindian 9 jam dan suhu 80 °C untuk masing-masing sampel. Dimana setiap sampel dilakukan
pembilasan dengan aquades setiap 3 jam selama proses pelindian. Target pelindian yaitu untuk
mengurangi unsur pengotor utama berupa Fe, Al dan Ti. Selanjutnya sampel hasil proses
pelindian dikarakterisasi menggunakan Inductively Coupled Plasma (ICP) untuk mengetahui
komposisi sampel hasil pelindian. Dari data yang dihasilkan oleh ICP kemudian dihitung
efisiensi ekstraksi dan keefektifan larutan. Nilai optimum untuk efisiensi ekstraksi yaitu dengan
larutan aqua regia pada pH = 3 sebesar 99,99889 % untuk unsur Ti. Kemudian nilai optimum
untuk keefektifan larutan yaitu pada larutan HCl dengan pH = 1 sebesar 99,91897 %. Dengan
kata lain, kedua larutan baik HCl dan aqua regia lebih efektif untuk mereduksi pengotor berupa
unsur Ti, kemudian unsur Al dan terakhir unsur Fe. Sedangkan keefektifan larutan antara larutan
HCl dibandingkan dengan larutan aqua regia tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
A..PROSEDUR PERCOBAAN
Preparasi Sampel
Persiapan bahan baku dilakukan dengan menghancurkan bongkahan MG-Si menggunakan jaw
crusher dan dilanjutkan dengan disc mill. Target ukuran sampel yang akan dilakukan pelindian
yaitu 325# atau setara dengan 44 µm. Selanjutnya yaitu dilakukan pemisahan sampel
menggunakan magnetic separator baik dengan metode basah maupun metode kering. Konsentrat
dari proses magnetic separating kemudian disisihkan untuk dipersiapkan proses selanjutnya.
Proses Pelindian
Larutan pelindian yang digunakan yaitu HCl dan aqua regia dengan variasi pH masingmasing 1-
3. Suhu pelindian yang digunakan yaitu 80°C dengan durasi pelindian 9 jam. Sampel hasil
pelindian kemudian dicuci menggunakan aquades setiap 3 jam proses pelindian. Sehingga
selama 9 jam proses pelindian, terdapat tiga kali pembilasan. Selanjutnya masing-masing sampel
yang telah dilakukan pembilasan, disaring kemudian dikeringkan.
Karakterisasi
Sampel yang sudah dikeringkan kemudian dipersiapkan untuk dilakukan analisis komposisi
kimia menggunakan Induced Coupled Plasma (ICP). Analisis menggunakan ICP ini akan
menghasilkan jumlah unsur pengotor yang terkandung dalam sampel hasil pelindian dalam
satuan part per million (ppm). Sebelum dilakukan analisis menggunakan ICP, diperlukan adanya
larutan standar unsur pengotor yang akan diamati yaitu Fe, Al dan Ti. Larutan standar tersebut
berfungsi sebagai database dalam mengkonfirmasi ada tidaknya unsur pengotor didalam larutan
yang dianalisis.
Al Fe Ti Si
300 320 285 Balance
Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat terdapat penurunan signifikan antara sampel MG-
Si sebelum dan sesudah dilakukan proses pelindian sehingga terbukti bahwa mekanisme
pelindian yang dilakukan berhasil melarutkan sebagian besar pengotor baik Fe, Al dan Ti.
Disisi lain, dengan adanya variasi pH untuk masing-masing larutan pelindian juga diperoleh
efisiensi ekstraksi dan keefektifan larutan yang berbeda-beda. Untuk mengetahui efisiensi
ekstraksi maka digunakan persamaan 1.(Tavengwa, Cukrowska, & Chimuka, 2015)
Ep Eq
Efisiensiekstraksi
100
setelah
%
Eq = konsentrasi tiap unsur pengotor setelah pelindian (dalam ppm)
Dengan persamaan 1 maka diperoleh nilai efisiensi ekstraksi dari masing-masing larutan
pelindian pada tiap unsur pengotor dan tiap kondisi pH. Untuk larutan pelindian HCl, nilai
efisiensi ekstraksi optimum terjadi pada kondisi pH = 3 untuk unsur Ti, kemudian diikuti
unsur Al pada pH = 2 dan terakhir unsur Fe pada pH = 1. Hal serupa juga terjadi pada larutan
aqua regia dimana efisiensi ekstraksi optimum diperoleh oleh unsur Ti dengan kondisi pH =
3. Agar mempermudah dalam mengetahui fluktuasi efisiensi ekstraksi yang diperoleh, maka
penyajian data ditampilkan dalam bentuk grafik pada gambar 3 dan gambar 4.
dimana: Ep = konsentrasi tiap unsur pengotor sebelum pelindian (dalam ppm)
Gambar 3. Nilai efisiensi ekstraksi unsur pengotor dengan larutan HCl dan variasi pH
Gambar 4. Nilai efisiensi ekstraksi unsur pengotor dengan larutan aqua regia dan variasi pH
Dari gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa dari masing-masing larutan pelindian, nilai efisiensi
ekstraksi paling tinggi terjadi pada unsur pengotor Ti dengan nilai sebesar 99,9988%
menggunakan larutan pelindian aqua regia pada pH = 3. Begitu juga yang terjadi pada larutan
pelindian HCl, nilai efisiensi ekstraksi terbesar terjadi pada unsur pengotor Ti dengan nilai
sebesar 99,9984% pada pH = 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik dari larutan HCl dan
larutan aqua regia sangat efektif dalam mengurangi unsur pengotor Ti karena memiliki nilai
efisiensi ekstraksi yang tidak jauh berbeda. Selanjutnya, untuk mengetahui keefektifan larutan
terhadap keseluruhan pengotor yang terkandung dalam sampel MG-Si maka digunakanlah
persamaan.
dimana: n = jumlah total konsentrasi unsur pengotor sebelum pelindian (dalam ppm)
p = jumlah total konsentrasi unsur pengotor setelah pelindian (dalam ppm)
ISSN : 2252-6978
Volume : 2 no 1
Tahun :2013
Abstrak
Telah dilakukan pemanfaatan sampah anorganik dengan mendaur ulang magnet bekas
loudspeaker dan cult menjadi magnet komposit menggunakan teknik metalurgi serbuk. Serbuk
magnet dan cult dicampur dengan cara milling basah selama 6 jam yang bertujuan untuk
menghindari menempelnya bahan campuran pada dinding milling dan bola-bola penggilingnya.
Hasil campuran dikeringkan menggunakan oven, kemudian disaring dengan kain sablon T150.
Campuran kemudian ditambah dengan PVA (Poly Vynil Alcohol), selanjutnya dicetak
menggunakan hydraulic press. Pembuatan magnet komposit difokuskan untuk menentukan
struktur kristal, unsur-unsur penyusun, dan sifat magnetik. Karakterisasi dengan XRD dan XRF
digunakan untuk menentukan struktur kristal dan unsur-unsur penyusun. Untuk karakterisasi
sifat magnetik menggunakan Permagraph. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa struktur
kristal yang terbentuk pada sampel adalah yang tergolong dalam space group cubic dengan
parameter lattice a= 5.8864Å dan b= 23.1741Å.Senyawa dari serbuk magnet bekas mengandung
dua fraksi berat yang cukup besar yaitu berupa Fe (76,91%) dan Ba (19,6%). Karakterisasi sifat
magnetik didapatkan induksi remanen yang semakin meningkat seiring dengan penambahan
komposisi bahan magnetiknya. Pada nilai koersifitasnya terjadi penyimpangan pada komposisi
50%:50% yaitu 0,233kOe. Ini dimungkinkan pada komposisi 50%:50% ukuran butiran termasuk
dalam rentang Single Domain/ SD sehingga harga koersifnya menjadi maksimum
Kurva magnetisasi. (a) Induksi awal B versus medan magnet H. (b) Loophisterisis (magnet
lunak). (c) Loop histerisis (magnet keras).
Metalurgi serbuk merupakan proses pembuatan produk dengan menggunakan bahan dasar
dengan bentuk serbuk yang kemudian disinter yaitu proses konsolidasi serbuk pada temperatur
tinggi yang di dalamnya termasuk juga proses penekanan atau kompaksi. Sehingga partikel-
partikel logam memadu karena mekanisme transportasi massa akibat difusi atom antar permukaan
partikel. Metode metalurgi serbuk memberikan kontrol yang teliti terhadap komposisi dan
penggunaan campuran yang tidak dapat difabrikasi dengan proses lain. Bentuk dan ukuran dari
sampel ditentukan oleh luas cetakan dan penyelesaian akhir (finishing touch) (Murjito, 2010).
Perlu diketahui bahwa untuk mendapatkan sampel magnet permanen melalui teknik metalurgi
serbuk, ukuran serbuk yang akan dikonsolidasi harus kurang lebih sama dengan ukuran partikel
berdomain tunggal (single domain particle) untuk material adalah sebesar 0,6 μm (Fiandimas
dan Azwar Manaf, 2003).
Karakterisasi sifat magnetik pada sampel diperoleh dari pengukuran kurva histerisis
dengan peralatan Permagraph C tipe MPS produk Jerman, di Laboratorium Komponen Bahan
Magnet (P2ET) LIPI Bandung.
Kekuatan magnet ditentukan oleh besarnya nilai induksi remanen (Br) dari bahan, yaitu
nilai induksi B yang sisa apabila suatu bahan dimagnetisasi jenuh, kemudian medan magnet luar
diturunkan menjadi nol, sering juga disebut magnetisasi sisa (Billah, 2006). Pada penelitian ini
tinggi rendahnya nilai induksi remanen bergantung pada perbandingan komposisi sifat magnetik
penyusunnya. Semakin banyak komposisi sifat magnetik yang diberikan, maka semakin besar
nilai induksi remanen yang dihasilkan. Dari tabel 2. menunjukkan nilai Br sesuai dengan teori
yaitu semakin meningkat dengan bertambahnya kandungan serbuk magnet bekas yang diketahui
berbahan dasar BaO.6Fe2O3 di dalam komposit.
ISSN : 0854-3046
Tahun : 2010
ABSTRAK
Karakteristik yang dimiliki arang dari bahan alam sangat dipengaruhi oleh kondisi saat proses
karbonisasi berlangsung, salah satunya yaitu parameter suhu. Penelitian tentang pengaruh
perubahan suhu karbonisasi terhadap mikrostruktur dan konduktivitas listrik arang serabut
kelapa telah dilakukan. Proses karbonisasi serabut kelapa dilakukan pada suhu 500oC, 900oC
dan 1300oC. Untuk pembuatan arang suhu 500oC dan 900oC, proses karbonisasi dilakukan
selama 1 jam di dalam tungku dengan suasana inert (gas N2), sedangkan pembuatan arang
1300oC dilakukan menggunakan Spark Plasma Sintering (SPS). Karakterisasi mikrostruktur
arang serabut kelapa dilakukan menggunakan teknik XRD dan SEM, sedangkan pengukuran
konduktivitas listrik dilakukan menggunakan LCR meter. Analisis data XRD menunjukkan
bahwa peningkatan suhu karbonisasi hingga 1300oC menyebabkan peningkatan derajat
kristalinitasnya, dan struktur karbon yang dihasilkan mendekati struktur kristal karbon grafit.
Pengamatan SEM menampilkan pembentukan pori dengan diameter ±10 µm pada permukaan
arang serabut kelapa hasil karbonisasi. Peningkatan suhu karbonisasi juga menyebabkan
konduktivitas listrik arang meningkat yaitu sebesar (0,39x10-5 )S/m - (0,43x10-5 )S/m untuk
arang 500oC; 0,21 S/m – 0,23 S/m untuk arang 900oC, dan (0,12x102 )S/m - (0,18x102 )S/m
untuk arang 1300oC
TEORI
Fuel cell merupakan divais elektrokimia yang dapat mengkonversi energi kimia menjadi energi
listrik [3]. Salah satu jenis fuel cell yang sekarang sedang dikembangkan yaitu Proton Exchange
Membrane Fuel Cell (PEMFC). Fuel cell jenis ini memproduksi energi listrik dari hasil reaksi
elektrokimia antara gas hidrogen dan gas oksigen. Sebuah sel PEMFC terdiri dari komponen
elektrolit atau proton exchange membrane dan GDE yang tersusun dari lembaran gas diffusion
layer (GDL) dan GDL merupakan salah satu komponen utama dalam sel PEMFC memiliki
beberapa fungsi antara lain bertugas mendifusikan gas hidrogen (anoda) dan gas oksigen
(katoda), sebagai catalytic support, dan sebagai media penghantar pergerakan elektron [1]. GDL
saat ini diproduksi dari material berbasis karbon seperti dari carbon paper [5], carbon cloth [6],
atau carbon nanotube [7]. Materialmaterial karbon tersebut membutuhkan proses produksi yang
relatif rumit, sehingga mempengaruhi harga jualnya. Penelitian saat ini masih berkembang untuk
mendapatkan material karbon dari sumber lainnya dengan proses produksi yang relatif
sederhana, jumlahnya melimpah dan berpotensi menggantikan produk karbon komersil tersebut.
Karbon merupakan unsur yang berlimpah jumlahnya di alam. Unsur ini dapat ditemukan
pada material organik seperti kayu, batu bara, atau serat alam. Untuk menghasilkan karbon dari
material organik dilakukan melalui proses penguraian senyawa organik yang disebut dengan
proses karbonisasi. Proses ini merupakan proses untuk mengkonversi material organik menjadi
arang dengan pemanasan tanpa kehadiran oksigen, sehingga senyawa-senyawa kompleks yang
menyusun material organik terurai menjadi arang dengan kandungan unsur karbon yang tinggi.
Senyawa-senyawa kompleks yang menyusun material organik diantaranya terdiri atas
hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Masing-masing senyawa tersebut terurai pada suhu yang
berbeda. Senyawa hemiselulosa yang merupakan polimer dari beberapa monosakarida seperti
pentosan dan heksosan terurai paling awal yaitu pada suhu 200oC-260oC, kemudian diikuti oleh
penguraian selulosa pada suhu 240oC-350oC, dan lignin terurai paling akhir yaitu pada 280oC-
500oC [8]. Hal ini sesuai dengan hasil analisis DTA bahwa proses pelepasan energi pada serabut
kelapa berakhir pada suhu 500oC. Dan material residu yang dihasilkan, yaitu arang, memiliki
kandungan unsur karbon tinggi dan berporous. Karena beberapa karakter yang dimiliki oleh
material karbon, maka material ini banyak diaplikasikan di berbagai bidang contohnya sebagai
bahan penyerap dan penjernih, baterai, hydrogen storage, super kapasitor, dan elektroda fuel
cell. Karakteristik karbon seperti struktur, porositas, dan sifat listrik yang terdapat pada arang
dapat dioptimalkan melalui kondisi proses karbonisasinya, salah satunya suhu proses
Pola difraksi sinar-X dari arang serabut kelapa, pada suhu karbonisasi berbeda,
dibandingkan dengan pola difraksi sinar –X dari grafit
Kurva EDS pada arang serabut kelapa diproses di dalam inert gas pada suhu 500oSedangkan
pada arang suhu 900oC puncak-puncak mineral tersebut intensitasnya menurun dan tidak terlihat lagi
pada pola difraksi arang 1300oC. Hal ini dikarenakan senyawa KCl memiliki melting point sebesar
770oC sehingga akan meleleh pada suhu tersebut. Pola difraksi arang serabut kelapa terdiri dari 2 bukit
dengan luas daerah yang besar dan ujung bukit yang tumpul, hal ini menunjukkan bahwa karbon dalam
arang berkecenderungan berstruktur amorf (amorphous carbon). Dan posisi 2θ puncak bukit arang
tersebut mendekati dengan posisi struktur kristal karbon-grafit. Hal ini mengindikasikan bahwa karbon
yang terbentuk dalam arang memiliki struktur kristal yang belum sempurna sehingga berkecenderungan
bersifat amorf.
Pengamatan secara visual pada pola XRD arang 500oC, 900oC, dan 1300oC,
menunjukkan bahwa luas daerah 2 bukit pada masing-masing pola XRD semakin menyempit
seiring dengan kenaikan suhu karbonisasi. Kenaikan suhu karbonisasi juga
meningkatkan derajat kristalinitasnya (Tabel 1).
Derajat kristalinitas merupakan tingkat keteraturan struktur suatu material [14]. Penetapan
derajat kristalinitas dapat dilakukan dengan cara membagi luas daerah kristalin dan luas daerah
seluruhnya (kristalin+amorf) [15]. Jadi peningkatan derajat kristalinitas pada arang 500 oC,
900oC, dan 1300oC memperlihatkan bahwa struktur kristal karbon pada arang semakin teratur
mendekati struktur grafit. Menurut Pari [16], struktur kristalin pada arang terbentuk dari
senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal. Grafit merupakan material berbasis
karbon yang berstruktur kristal, bersifat tidak elastis, dan memiliki konduktivitas termal dan
listrik yang baik. Atom-atom karbon dalam grafit tersusun membentuk heksagonal di sistem
cincin planar terkondensasi. Masing-masing atom karbon berikatan kovalen dengan atom
karbon tetangganya, sedangkan antar lapisan membentuk ikatan van der walls. Perubahan suhu
karbonisasi serabut kelapa selain berpengaruh pada struktur kristalnya juga dapat
mempengaruhi sifat listriknya
Morfologi Serabut Kelapa
Serabut kelapa merupakan material organik yang tersusun oleh senyawa utama
berupa hemiselulosa, selulosa, dan lignin dalam jaringannya. Perlakuan panas yang
dialami serabut kelapa pada proses karbonisasi menyebabkan senyawa-senyawa
tersebut terurai dan menghasilkan 3 komponen utama yaitu karbon (arang), tar, dan
gas (volatile matter). Komponen seperti tar dan gas pada bahan mentah atau serabut
kelapa yang belum mengalami proses karbonisasi masih terikat dalam bentuk
senyawa-senyawa dan menutup sebagian besar pori-pori pada permukaan serabut
kelapa. Hal ini terlihat pada struktur mikro serabut kelapa yang belum terkarbonisasi
(Gambar 6a). Pengamatan SEM pada bahan serabut kelapa mentah memperlihatkan
bahwa serabut kelapa berbentuk serat memanjang dengan permukaan yang sebagian
besar masih bebas dari terbentuknya pori-pori. Sementara itu, pada pengamatan
arang serabut kelapa hasil karbonisasi (Gambar 6b) terlihat adanya rongga-rongga
berbentuk silinder sejajar serat yang saling berhimpitan, serta pori-pori
berdiameter
±10 µm yang tersebar di permukaan dan dinding rongga arang serabut. Rongga dan
pori-pori ini terbentuk karena pengaruh panas saat proses karbonisasi yang
menyebabkan terjadinya proses penguraian senyawa organik pada serabut kelapa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
JURNAL 1
Penelitian mengenai pengaruh larutan pelindian pada variasi pH yang telah dilakukan
menghasilkan kesimpulan bahwa larutan HCl dan aqua regia terbukti mampu
mengurangi jumlah pengotor yang terdapat pada sampel MG-Si melalui metode
pelindian. Pengaruh besar pH pada masing-masing larutan memiliki nilai optimum
yang berbeda-beda dalam mengurangi kadar unsur pengotor berupa Al, Fe dan Ti.
Kemudian dari perhitungan nilai efisiensi ekstraksi diperoleh bahwa nilai optimum
untuk efisiensi ekstraksi yaitu dengan larutan aqua regia pada pH = 3 sebesar
99,99889 % untuk unsur Ti. Kemudian nilai optimum untuk keefektifan larutan yaitu
pada larutan HCl dengan pH = 1 sebesar 99,91897 %. Dengan kata lain, kedua
larutan baik HCl dan aqua regia lebih efektif untuk mereduksi pengotor berupa unsur
Ti, kemudian unsur Al dan terakhir unsur Fe. Sedangkan keefektifan larutan antara
larutan HCl dibandingkan dengan larutan aqua regia tidak memiliki perbedaan yang
signifikan.
JURNAL 2
Magnet komposit telah berhasil dibuat dengan teknik metalurgi serbuk. Tahapan-
tahapan dari teknik metalurgi serbuk meliputi 1) pembuatan serbuk, 2)mixing, 3)
compaction, 4) sintering, 5) finishing. Karakterisasi XRD menunjukkan struktur
kristal dari serbuk magnet bekas adalah barium heksaferit ( ).Hasil analisis XRD juga
menunjukkan struktur sampel tergolong dalam space group cubic dengan parameter
lattice a= 5.8864Å dan b= 23.1741Å. Uji XRF mnunjukkan senyawa dari serbuk
magnet bekas mengandung dua fraksi berat yang cukup besar yaitu berupa Fe
(76,91%) dan Ba (19,6%). Hasil karaktersasi sifat magnetik didapatkan induksi
remanen yang semakin meningkat seiring dengan penambahan komposisi bahan
magnetiknya. Sedangkan nilai koersifitasnya terjadi penyimpangan pada komposisi
50%:50% yaitu 0,233kOe. Ini dimungkinkan pada komposisi 50%:50% ukuran
butiran termasuk dalam rentang Single Domain/ SDsehingga harga koersifnya
menjadi maksimum.
JURNAL 3
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin tinggi suhu karbonisasi dapat
meningkatkan derajat kristalinitas arang serabut kelapa, hal ini juga dapat diartikan
bahwa terjadi peningkatan keteraturan susunan atom karbon dalam arang sehingga
memperluas daerah kristalin arang serabut kelapa. Struktur yang terbentuk dalam
arang mendekati struktur kristal karbon grafit.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri. 2011. Tinjauan Aplikasi Serat Sabut Kelapa sebagai Penguat Material Komposit.Jurnal
Mekanikal, 2(1): 10-15. Billah, Arif. 2006. Pembuatan dan Karakterisasi Magnet Stronsium Ferit
dengan Bahan Dasar Pasir Besi.Skripsi. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang
Adjiantoro, B., & Mabruri, E. (2012). Pengaruh Waktu Pelindian Pada Proses Pemurnian Silikon
Tingkat Metalurgi Menggunakan Larutan HCl. MAJALAH
Lister, S. and G. McLean. “PEM Fuel Cell Electodes.” Jurnal of Power Source 130 (2003) pp : 61-76.
2. Nishimiya, K., T. Hata, S. Ishihara. “Mechanism and clarification of electrical conduction through
wood charcoal.” Wood Research 82 (1995): 34-36 . 3. Barbir, Frano. PEM Fuel Cells Theory and
Practice. Elsevier Academic Press : USA, 2005. 4. Crawley, Gemma.”Proton Exchange Membrane
(PEM) Fuel Cells.” Fuel Cell Today (March 2006), http://www.fuelcelltoday.com (diakses 8 Januari
2010).