Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

EFEKTIFITAS KOMUNIKASI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
Latar Belakang Masalah.....................................................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................................................1
Tujuan penulis...................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Mendefinisikan efektifitas dan kemampuan komunikasi..............................................................2
B. Berbagai pendekatan terhadap studi efektifitas komunikasi..........................................................5
C. Komponen-komponen pembentuk kemampuan komunikasi.........................................................7
D. Mengatur konflik dengan orang lain...........................................................................................14
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUPAN.....................................................................................................................................17
Kesimpulan......................................................................................................................................17
Saran................................................................................................................................................17
Daftar pustaka......................................................................................................................................18

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa sekarang ini, arus informasi berkembang semakin pesat.Hal itu
berpengaruh pula pada perkembangan dunia usaha, dimana perusahaan maupun para pelaku
usaha menghadapi tantangan yang semakin besar dan kompleks. Diantara tantangan tersebut
adalah bagaimana cara mempertahankan pelanggan yang merupakan aset dari sebuah
perusahaan yang memberikan keuntungan jangka panjang. Supaya perusahaan mampu
mempertahankan hubungan dan kerjasama yang baik dengan konsumen dalam kurun waktu
yang lama (jangka panjang), maka perlu adanya sebuah komitmen dan kepercayaan yang ada
dalam hubungan tersebut. Morgan dan Hunt (1994) menyebutkan faktor-faktor pendukung
yang bisa menyukseskan hubungan dengan konsumen antara lain adalah komitmen dan
kepercayaan. Untuk membentuk ataupun menciptakan komitmen dan kepercayaan konsumen,
maka perusahaan atau para pelaku usaha harus mampu dan bisa melakukan komunikasi yang
efektif dengan konsumen didalam menjalin hubungan dan kerjasama. Proses komunikasi juga
sangat mempengaruhkesuksesan hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya, karena
kelangsungan hubungan tergantung pada cara mereka berkomunikasi.

B. Rumusan masalah
1. Mengidenfinisikan Efektifitas komunikasi?
2. Menganalisis lebih dalam tentang proses komunikasi?
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhikemampuan komunikator?
4. Apakah Efektifitas komunikasi mempunyai pengaruh terhadap persepsi kualitas fungsional
dan kualitas teknis ?
C. Tujuan penulis
1. Mengetahui Efektifitas komunikasi.
2. Mengetahui tentang proses komunikasi.
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhikemampuan komunikator.
4. Mengetahui pengaruh terhadap persepsi kualitas fungsional dan kualitas teknis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mendefinisikan efektifitas dan kemampuan komunikasi

Dalam sebuah film CoolHand Luke, Paul Newton berperan sebagai luke, seorang yang
dipenjara karena merusak rambu-rambu parincir. Luke menpatmasaalah dengan salah satu
pejaga penjara. Penjaga penjara tersebut kemudian berbicara pada Luke bahwa “masaalah
yang kita alami adalah karena kegagalan kita dalam berkomunikasi”. Apa yang dikatakan
oleh penjaga penjara itu masuk akal. Luke dan penjaga penjara kemudian berkomunikasi
meskipun tidak efektif.

1. Efektifitas Komunikasi
Komunikasi adalah proses pertukaran pesan dan pembuatan makna. Orang-orang tau
akan dapat menangkap makna suatu pesan yang persis sama. Jadi komunikasi yang efektif
sangat tergantung dari kemampuan kita memahami makna pesan pada saat proses interaksi
(pertukaran pesan). Dengan kata lain, komunikasi yang efektif dapat mengurangi
kesalapahamanterhapa makna pesan yang diterima ataupun disampakan. Meskipun kita tak
dapat menangkap makna pesan yang betul-betul sama dengan orang lain, bukan berarti
komunikasi yang efektif tak dapat dilakukan, hanya saja sulit dilakukan atau tidak sempurna
(Fisher, 1978 ).
       Pada saat berkomunikasi, kita menangkap makna (menginterpretasi) pesan yang kita buat
dan diberikan ke orang lain. Kita biasanya tidak sadar akan hal ini tetapi sebenarnya kita
sering melakukannya. Dua orang yang berkomunikasi dapat dikatakan berkomunikasi secara
efektif jika dapat memaknai pesan yang dikirim dan diterima meskipun maknanya tidak
sepenuhnya sama. Powers dan Lowrey (1984) mengatakan bahwa komnikasi yang efektif
dapat terjadi jika terjadi kesesuaian antara 2 orang atau lebih pada saat berkomunikasi.
Triandis (1977) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif terdiri dari pembuatan makna
yang sifatnya isomorpik (isomorpik berarti menjadi sama,memahami sifat melalui pernyataan
kualitas dan karakteristik terhadapsesuatu).
Komunikasi yang tidak efektif dengan orang asing dapat terjadi karena beberapa alasan.
Mungkin karena itu tidak menyampaikan pesan dengan baik kepada orang lain. Orang asing
juga salah memahami pesan yang kita sampaikan. Kedua, hal ini dapat terjadi secara
bergantian. Masalah tersebut dapat terjadi disebabkan cara pengucapan kata yang tidak tepat
(pronounciation), struktur kalimat yang salah (grammar), tidak memahami topik
pembicaraan, tidak saling mengenal, tidak memahami bahasa orang lain tidak fasih
menggunakan bahasa orang lain. Dan juga disebabkan oleh faktor sosial (Gass dan Varonis,
1984). Jika kita saling mengenal satu sama lain atau fasih menggunakan bahasa orang lain
maka kita akan lebih mudah untuk saling mengenal baik perilaku ataupun makna bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi.
Dengan demikian, secara umum semakin besar pengetahuan budaya dan linguistic kita
maka semakin kita yakin/percaya terhadap orang asing yang berkomunikasi dengan kita.

2
Kurangnya pengetahuan linguistic dan budaya akanmengakibatkan kesalahpahaman karena
kita “mendengar pembicaraan, dari hipotesa tentang rutinitas yang telah dilakukan dan
kemudian menjadi pengetahuan latar belakang social dan kesesuaian untuk kita evaluasi
sikap dan perilaku mana yang cocok.
Dalam menjalin hubungan prilaku dengan orang lain, kita biasanya kurang sadar atas apa
yang kita katakan atau lakukan, kita bertindak sepeti terkontrol secara otomatis, hal ini berarti
kurang sadar (tidak berfikir). Namun, hasil penelitian terkini menemukan bahwa kita tidak
sepenuhnya bertindak secara otomatis. Tetapi kita harus lebih memperhatikan proses
berkomunikasi sehingga kita dapat memahami kata kunci yang digunakan dalam percakapan.
Ketika berkomunikasi secara otomatis (automatic pilot), kita akan memaknai pesan nyang
diterimah melalui sistem simbol seperti pada saat kita masih anak-anak. Sistem ini secara
meluas meliputi sistem simbol dalam budaya, etnis, agama, dan keluarga kita untuk
memahami anggota-anggota kelompok itu. Bagian dari sistem simbol kita adalah hal yang
unik dan berdasarkan atas pengalaman khusus. Tak ada dua orang yang dapat memehami
makna simbol dengan pemaknaan yang betul-betul sama. Makna pesan yang kita pahami dan
makna pesan yang orang lain pahami relatif sama. Tetapi, meskipun ada perbedaan dalam
memahami makna pesan bukan berarti kita dapat berkomunikasi secara efektif.
Lebih lanjut bahwa sistem pengelompokan yang menempatkan kita dalam posisi tertentu
dapat menjadi penyebab utama terjadinya komunikasi secara otomatis (automatic pilot) pada
diri kita. Kita mengelompokkan orang-orang kedalam suatu kelompok yang rasional menurut
kita. Proses ini biasanya didasarkan pada faktor fisik (seperti: gender, ras) atau karakteristik
budaya (seperti: latar belakang budaya atau etnis), tetapi kita juga dapat melakukan
pengelompokan berdasarkan prilaku pendekatan yang lain.
Kita menggunakan sistem pengelompokan sebagai upaya untuk mengatur fenomena.
Hasil utama dari sistem ini adalah munculnya berbagai ideologi yakni sistem ide yang
rasional, dianggap benar, dan mensucikan kehidupan kita. Nasionalisme, komunisme,
eksistensialisme, kristen, buddhysme- semua menunjukkan identitas, aturan tindakan, dan
pemakanaan bagaimana dan kenapa sesuatu dapat terjadi dan dilakukan.
Sistem pengelompokan yang membuat kita menempatkan orang-orang pada posisi tertentu
dapat mempengaruhi pemaknaan kita. Menempatkan seseorang dalam suatu kategori,
stereotip pada orang-orang mempengaruhi prediksi dan interpretasiprilaku mereka.
Mendasarkan predksi pada proses pengelompokkan akan menyebabkan prilaku atau tindakan
yang kurang disadari). Meskipun dari informasi dari proses pengelompokkan sangat penting
untuk digunakan tetapi orang-orang dapat ditempatkan dalam berbagai kategori yang
berbeda. Untuk komunikasi yang efektif kita harus memahami identitas dari pelaku
komunikasi.
Komunikasi yang tidak efektif dengan orang asing biasanya terjadi ketika prediksi kita
bergantung hanya pada sistem simbol. Sebagai contoh, seorang buruh berras kulit putih yang
berinteraksi dengan siswa kulit hitam dalam kelas budaya di America Serikat. Guru itu
bertanya kepada siswa kulit hitam. Ketika menjawab, siswa itu tidak menatap mata gurunya.
Secara umum, para guru memaknai prilaku tersebut sebagai prilaku yang tidak menghargai
orang lain atau siswa itu menyembunyikan sesuatu. Bagi siswa kulit putih, menatap mata
orang yang ditemani berbicara adalah prilaku menghargai orang lain atau berkata jujur/benar.

3
Tetapi, bagi siswa kulit hitam, tidak menatap lawan bicara adalah bentuk prilaku menghargai
orang lain. Dalam situasi ini, kesalahpahaman dan komunikasi yang tidak efektif dapat
terjadi. Oleh karena itu, proses komunikasi yang lebih baik sangat dibutuhkan.Sebagai
ringksan, komunikasi efektif meliputi proses meminimalisir kesalahpahaman. Agar dapat
berkomunikasi efektif dengan orang asing maka kita harus lebih berfikir/memahami.
Komunikasi efektif dan berbagai pendekatan adalah aspek yang sangat penting dalam
kemampuan/kecakapan komunikator. Tetapi bagaimana pun kita dapat berkomunikasi secara
efektif dan bisa saja kita tidak memahami kemampuan komunikator.

2. Kemampuan
Ada 2 pandangan tentang kemampuan komunikasi yang muncul secara alami. Satu
pandangan yang menerangkan bahwa kompetisi terdapat pada masing-masing komunikator,
sedangkan pandangan yang lain menerangkan bahwa kompetisi terdapat antara para
komunikator .Y.Y. kim (1991) menerangkan pandangan yang pertama. Dia berpendapat
bahwa pendapat yang pertama dalah kompetensi komunikasi antar budaya.Kita harus
memahami seseorang secara tepat tentang kapasistas dan kemampuannya untuk
memfasilitasio proses komunikasi antara orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya
agar dapat menghasilkan proses interaksi yang sukses. Dalam hal ini, kompetensi
(kemampuan) komunikasi antar budaya sangat dibutuhkan, tetapi tidak hanya itu, karena
tingkat kemampuan pelaku komunikasi bisa saja tak dapat menghindari kecelakaan
(kesalahpahaman) dalam berkomunikasi karena adanya faktor eksternal. Dalam hal ini,
memahami situasi pada saat berkomunkasi dapat menjadi aspek yang sangat penting untuk
dipahami (P.263).
Pendapat kedua tentang kemampuan komunikasi mengasumsikan penilaian kompetisi
(kemampuan) komunikasi muncul pada saat kita berinteraksi. Gudyukunst (1991),
mengungkapkan bahwa penilaian kita terhadap kemampuan komunikasi pada diri sendiri
tidak akan sama dengan penilaian orang lain tentang kemampuan berkomunikasi kita.
Sebagai contoh, anda menilai diri sendiri anda sebagai orang yang memiliki
kemampuan/kecakapan komunikasi yang sangat baik. Teta[pi, pada saat berkomunikasi
dengan teman, bisa saja teman anda menilai bahwa anda memiliki kemampuan komunikasi
yang buruk. Pendapat ini menerangkan bahwa keterampilan khusus dalam berkomunikasi
tidak menjamin anda akan dianggap berkompetensi dalam proses interaksi pada situasi
tertentu. Bagaimana pun keterampilan kita dalam berkomunikasi akan semakin meeningkat
dalam proses interaksi dimana kita mampu menyesuaikan prilaku kita sehingga orang lain
dapat menilai kita sebagai orang yang cakap (kompeten) dalam komunikasi.
Dari penjelasan 2 pendapat diatas, kedua penulis (penggagas) tidak bersepakat. Mereka
hanya bersepakat bahwa motivasi, pengetahuan, dan keterampilan setiap individu dapat
mempengaruhi efektifitas komunikasi mereka. Mereka juga sepakat bahwa setiap orang
memiliki penilaian tentang kemampuan komunikasi terhadap orang lain. Jadi, untuk
memahami kemampuan komunikasi (Perceivedcomperence), kita dapat menggunakan 2
pendapat tersebut diatas.

4
B. Berbagai pendekatan terhadap studi efektifitas komunikasi

Ada beberapa karakteristik khusus yang mesti dimiliki agar dapat berkomunikasi secara
efektif. Gardener (1975) menemukakan beberapa ciri dari orang yang mampu berkomunikasi
secara efektif dengan orang asing. Orang tersebut menurut Gardener harus memiliki lima
sifat dan ciri berikut: (1) kebiasaan untuk menyatukan diri dan menjaga stabilitas diri, (2)
menyatu pada organisasi yang bersifat umum, (3) menerapkan sistem yang sesuai dengan
perempuan dan laki-laki, (4) bersosialisi dengan masyarakat secara meluas, (5) menggunakan
intuisi dan sensifitas. Kleinjans (1972) berpendapat sama dengan mengajukan bahwa
komunikator yang efektif adalah: (1) memandang orang pada posisi pertama dan representasi
budaya pada posisi kedua, (2) mengenali sesorang dengan dasar kebaikan, (3) mengetahui
nilai budaya orang lain sebagaimana dia mengetahui budayanya sendiri, (4) dapat mengontrol
tindakannya, (5) berbicara dengan hati-hati, (6) memiliki ketahanan diri dan mampu
menyesuaikan diri dengan perbedaan orang lain.
Ada beberapa dimensi perilaku yang dapat meningkatkan kemampuam komunikasi kita
adalah sebagai berikut:
Menampakkan respek positif pada orang lain
Bentuk interaksi yang merupakan kemampuan respon untuk mendeskripsikan  orang lain,
bukan bentuk evaluasi, dan bukan penghakiman terhadap orang lain
Manajemen interaksi yang ditunjukkan melalui pembahasan dan pengenalan terhadap
interaksi yang didasarkan pada pernyataan kebutuhan dan keinginan orang lain secara akurat
dan masuk akal.
Gudykunst, Wiseman, dan Hammer (1977) menegmukakan bahwa orang yang
berkomunikasi secara efektif tidak hanya menggunakan prespektif budayanya sendiri dalam
memaknai perilaku orang lain yang berasal dati budaya yang berbeda. Tetapi
mengikutsertakan prespektif budaya-ketiga, yang secara psikologis berhubungan dengan
budayanya sendiri dan budaya orang asing.  
Kita dapat mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang
persfektif ini akan memiliki karakteristik berikut: 
 mereka terbuka dengan ide-ide dan pengalaman baru.
 mereka memiliki empati terhadap orang-orang yang berlatar belakang budaya yang
berbeda.
  mereka dapat memahami secara tepat tentang perbedaan dan persamaan antara
budayanya dan budaya orang lain.
 mereka akan lebih berupaya untuk memahami prilaku yang tidak mereka mengerti
daripada hanya menilai sebagai prilaku yang buruk, tidak masuk akal, dan tidak
bermakna.
  mereka pandai dalam menganalisa hasil observasi yang tidak cermat tentang
prilakunya dan prilakuorang lain.

5
 mereka mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan orang-orang dimana ia
berada (sebagai pendatang).
  mereka tidak etnosentris (mereka lebih dahulu memahami budaya dan prilaku
dinegara yang mereka datangi berdasarkan standar budaya dimana mereka tinggal)
(P.424).

Gudykunst, Wiseman, dan Hammer menerangkan bahwa orang-orang biasanya tidak


menggunakan perspektif budaya-ketiga (third-culutureprespektif) ketika berkomunikasi.
Mereka berpendapat bahwa keterampilan dan pengetahuan seseorang akan mempengaharui
komunikasi. Tapi, mereka berpendapat bahwa pengetahuan dan keterampilan tidak terikat
dengan kemampuan komunikasi.
Hammer, Gudykunst, dan Wiseman (1978) meninjau ulang efektifitas komunikasi untuk
memperoleh daftar 24 keterampilan yang berkaitan dengan proses interaksi yang efektif
dengan orang asing. Seseorang yang tinggal pada wilayah budaya yang berbeda (lebih dari 3
bulan) terkadang menggunakan keterampilan tersebut untuk dapat berkomunikasi secara
efektif dengan budaya yang berlaku di tempat tersebut. Ada 3 dimensi prilaku yang
berhubungan dengan efektifitas komunikasi.
1.      Kemampuan untuk mengurangi ketegangan secara fisikologis.
2.      Kemampuan berkomunikasi secara efektif
3.      Kemampuan untuk menjalinghubungan yang lebih bermakna.

Dimensi kemampuan untuk mengurangi ketegangan fisikologis meliputi kemampuan untuk


mengurangi (mengatur prustasi, stres, kecemasan, tekanan, aliniasi sosial, kesulitan finansial,
dan konflik antar personal. Dimensi kemampuan berkomunikasi secara efektif meliputi
kemampuan untuk melakukan percakapan yang lebih bermakna denagn orang lain,
menginisiasi dengan oranf lain, bekerja lebih efektif dengan orang lain, dan penyesuaian diri
dengan terhapa perbedaan kebiasaan sosial. Hammer dan kelompoknya menegaskan bahwa
ketiga dimensi tersebut mempengaharui efektivitas komunikasi. Tetapi dimensi tersebut
bukan merupakan isi dari defenisi kemampuan.
Pendapat lain tentang pemahaman lintas budaya mendukung pendapat diatas, seperti Abe dan
Wisman (1983) “Replikasi” dari hammer (1978) melakukan pengkajian dengan turis Jepang
di Amerika Serikat. Penelitian Abe dan Wisman menemukan 5 dimensi yang berhubungan
dengan efektifitas , dimensi tersebut tidak jauh beda dengan 3 dimensi sebelumnya.
Perbedaan dalam penemuan ini dapat dijelaskan secara sederhana yakni pada lamanya
pengalaman seseorang dalam budaya lain.
Penelitian dalam komunikasi yang efektif dengan orang asing dan kompetensi antar budaya
tidak tersusun secara sistematis. Memberikan perhatian lebih untuk mengurangi
ketidakpastian dan kecemasan pada saat berkomunikasi dengan orang asing berarti kita
berfokus pada faktor-faktor yang berhubungan dengan proses komunikasi. Untuk memahami
faktor-faktor tersebut , dibutuhkan pemahaman tentang komponen-komponen yang
membentuk kemampuan konikator.

6
Akhirnya Gudykunst menyimpulkan bahwa orang yang efektif dalam berkomunikasi dengan
orang asing adalah mereka yang tidak menggunakan pespektifnya sendiri ketika
menginterpretasi prilaku orang lain dari satu budaya ke budaya lainnya. Lebih lanjut,
komunikator yang efektif menggunakan perspektif budaya ketiga yakni yang bertindak
sebagai sebuah rantai psikologis yang menghubungkan antara perspektif budaya dan orang
asing tersebut.

C. Komponen-komponen pembentuk kemampuan komunikasi

Kita mungkin memiliki motivasi yang tinggi tetapi kurang pengetahuan dan keterampilan
untuk berkomunikasi secara efektif. Kita juga mungkin punya motifasi dan pengetahuan yang
tinggi tetapi keterampilan yang rendah. Jika kita memiliki motivasi, pengetahuan, dan
keterampilan, itu belum bisa menjamin bahwa kita bisa berkomunikasi secara efektif. Ada
beberapa faktor yang mempengaharuioerilaku kita. Sebagai contoh, mungkin kita memiliki
reaksi emosi yang tinggi terhadap suatu peristiwa. Reaksi emosional tersebut akan
menyebabkan kita bertindak secara langsung diluar dari pemahaman yang telah kita pelajari
sebelumnya. Jika seseorang tidak dapat mengontrol emosinya maka orang lain akan
menilainya sebagi orang yang tidak memiliki kompetensi dalam komunikasi.Lawan bicara
pada saat berkomunikasi bisa saja menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk
kemampuan komunikasi kita. Jika lawan bicara mengatakan bahwa kita tidak memiliki
kompetensi maka kita akan berusaha berperilaku sebagai orang yang tidak kompeten dalam
berkomunikasi. Kita bisa saja berperilaku secara efektif tanpa pemahan tentang cara meniru
perilaku orang lain. Proses ini bisa dapat dilakukan pada saat kita sedang berkomunikasi
dengan orang yang memiliki perilaku yang berbeda jika tidak memiliki pemahaman dengan
orang tersebut, tapi ini bukanlah strategi terbaik. Hal ini menegaskan bahwa “pengetahuan
tanpa keterampilan tak dapat digunakan dalam kehidupan sosial, dan keterampilan tak dapat
tumbuh tanpa kemampuan memahami permintaan permintaan dan paksaan situasi.
Motivasi, pengetahuan, dan keterampilan saling berinteraksi atau
mempengaharuidalmjasil komunikasi dengan oranglain untuk memperluas kemampuan
persepsi kita. Ada 2 hasil yang mungkin terjadi yakni perilaku kita dipandang tepat ataukah
efektif. Hasil lain yang mungkin bisa dicapai adalah meliputi ketertarikan antar personal,
kepercayaan, kepuasan terhadap komunikasi, meningkatkan hubungan antar personal,
konflik, resolusi, adaptasi, denagn budaya lain, dan pengembangan komunitas.
Spitaberg dan Cupach (1984) membatasi tiga komponen utama dari kemampuan
komunikasi itu yakni motivasi, pengetahuan, dan keterampilan. Motivasi merujuk pada
keinginan kita untuk berkomunikasi secara tepat dan secara efektif dengan orang lain.
Pengetahuan merujuk pada kesadaran kita dalam memahami apa
yang mesti dilakukan untukberkomunikasi secara tepat dan efektif. Sementara, keterampilan
adalah kemampuan kita untuk bertindak dalam perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk
berkomunikasi secara tepat dan efektif.

1. Motivasi

7
Menghindari kecemasan atau kegelisahan adalah motivasi faktor penting dalam
komunikasi dengan orang lain. Kecemasan antar kelompok adalh rasa takut yang berlebihan
atas konsikuensi negatif yang mungkin terjadi qpada saat berkomunikasi dengan orang lain
yang berbeda budaya. Jika kecemasan kita semakin meningkat, maka kita akan sangat
membutuhkan pemikiran yang rasional, dan konsep diri yang baik untuk memahami situasi.
Kecemasan yang semakin tinggi akan membuat kita menghidari komunikasi dengan orang
asing.
Kombinasi antara keinginan untuk mengurangi kecemasan dan keinginan untuk
mempertahankan konsep diri akan membuat kita akan mendekati ataukah menghindari tujuan
hubungan antar kelompok. Kebanyakan orang ingin menjadi orang tidak dinilai buruk dan
perhatian. Tetapi bagaimanapun kita ingin berkomunikasi dengan orang asing untuk
memperthankan konsep diri kiat.
Kebanyakan orang lebih memilih menghabiskan waktu untuk berinterkasi dengan orang
yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Interkasi langsung dengan orang yang berbeda latar
belakang dengan kita sangat terbatas. Jika tujuan kita dalam berkomunikasi dengan orang
asing tidak tercapai dan kita tak mampu keluar dari situasi tersebut denganmudah, maka
ketdaksabaran kita buth untuk mengelompokkan masukan-masukan yang menyebabkan
terjadinya ketidakpuasan. Hal ini akan membimbing kecemasan tentang diri dan pemahaman
kita pada pengelompokkan konteks. Hal terpenting yang mesti diketahui bahwa kita dapat
mengatur atau mengurangi kecemasan kita secara sadar melalui peningkatan perhatian atau
tolernsi pada hal-hal yang dianggap ambingu dan berfikirdengn baik pada saat berkomunikasi
(telah dibahas sebelumnya).
Bellah, madsen, sulvivan, swidler, dan tipton (1985) menerangkan bahwa kita perlu
untuk memperhatikan kemampuan pengetahuan kita secara umum karena “ dengan
pemahaman secara eksplisit tentang apa yang kita ketahui dan tujuan yang ingin dicapai
bersama, maka mita dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan
perselisihan pada saat berkomunikasi” (P. 287) dengan mengetahui tingkat pengetahuan kita,
maka kita akan menilai/berfikir dengan baik (mindfullprejudices). “Rasisme, seksisme,
homopobia, agama, dan tidak toleran pada suatu budaya......adalah cara menyangkal bahwa
semua orang adalah sama sengan kita”. 
Penelitian langer menerangkan bahwa kepuasan atas rasa keingintahuan tiap individu
tentang perbedaan-perbedaan dan pemahaman dapat terjadi. Dia berpendapat bahwa rasa
keingintahusan itu adalh salah satu jalan untuk berfikir lebih hati-hait tentang perbedaan –
perbedaan, dan hal tersebut bukan hal yang sifatnya tabu. Salah satu cara agar kita masing-
masing dapat menggunakan proses berfikir yang lebih baik dalam komuniakasi adalah
dengan menerima pernyataan-pernyataan orang laintentang kita dan kelompok kita sebagai
informasi sampai kita memahami adanya motivasi yang lain dalam komunikasi.Kita juga
dapat terbuka dengan informasi baru dengan memperbaiki kembali pengharapan kita. Sebagai
contoh, kita harus fleksibel, terhadap stereotip negatif dari kelompok lain. Kita juga dapat
mengubah isi stereotip atau menganggapnya biasa-biasa saja. Harvey, Hunt, dan Shorder
(1961) menegasakan bahwa orang-orang memiliki tingkat kemaluan/kebijakan yang berbeda
untuk mengubah stereotip yang melekat pada dirinya, atau dengan kata lain, tingkat
keterbukaan-ketertutupan terhapad stereotip mereka. Dalam menerapkan konsep ini untuk
berintraksi lintas simbol/ lambang nasional,  Hal ini  menerangkan bahwa:

8
Image (kesan) akan “tertutup” pada tingkatan dimana seseorang terlalu menghormati
sifat-sifat yang melekat dalam sebuah objek... semakin “terbuka” suatu image maka orang-
orang akan semakin tertarik untuk memahami atau mengetahui sifat-sifat yang melekat pada
suatu objek yang belum dikenali sebelumnya, dan sifat-sifat lain yang diketahui akan
menempatkan persamaan & perbedaan dala hubungan dengan objek,.
Berpegang pada stereotip secara tertutup akan berkaitan secara langsung dengan
munculnya ketidaktepatan pemaknaan dan prediksi tentang prilakuorang asing. Sedangkan
bersikap terbuka pada stereotip akan meningkatkan ketepatan dalam memaknai dan
memprediksi prilaku orang asing. Secara spesifik, jika stereotip kita bersifat terbuka, maka
kita akan membuka persepsi prilaku yang tidak berhubungan dengan stereotip, hal itu akan
memungkinkan kita untuk memaknai dan memprediksi prilaku orang asing dengan tepat. Kita
juga harus memperhatikan apakah stereotip yang kita dapat berlaku pada banyak orang atau
berlaku pada semua dalam satu kelompok.

2. Pengetahuan
Jenis pengetahuan yang sangat berperan dalam membangun komunikasi yang efektif
adalah pengetahuan dan kemampuan kita berbicara dalam bahasa orang lain dan pengetahuan
kita tentang budaya orang lain. Pengetahuan budaya ini dan bagaimana mereka berbeda dan
sama dengan budaya kita memiliki efek langsung dalam mempengaruhi prediksi dan
interpretasi kita terhadap perilaku orang lain. Jika kita tidak tahu apa-apa maka sangat
mungkin kita membuat prediksi dan interpretasi yang tidak akurat tentang budaya orang lain.
Aspek lain dari pengetahuan yang dapat mempengaruhi interaksi yang efektif dengan
orang asing yakni pemikiran kita tentang prilaku manusia. Sangat berbeda antara pemikiran
tentang prilaku manusia. Singkatnya, pernakahanda membaca buku kimia yang
pembukaannya tentang “oxigen 15 great”!? mungkin tiodak pernah. Tapi anda mungkin
pernah membaca buku yang pembukaannya seperti “orang jepang (ataukah membaca buku
yang permulaannya dimulai dengan (oxigenisgreat), anda mungkin akan langsung
meninggalkannya. Sebaliknya, jika kamu mengambil buku yang permulaannya diawali
dengan (orang jepang sangat peramah), anda mungkin tidak akan berfikir yang lain dan akan
melanjutkan membacanya, jika kamu berhenti membaca dan berfikir sejenak, anda akan
menemukan bahwa kedua kalimat tersebut tidak berpengaruh dengan pemahaman kita
terhadap prilaku khusus yang kita pelajari. Keduanya tidak menjelaskan kepada kita tentang
prilaku oksigen dan orang jepang : tetapi keduanya hanyalah cara menulis untuk memaknai
dan mengevaluasi suatu prilaku.
Ada 3 proses kesadaran yang saling berhubungan dalam pembahasan ini : penggambaran
(deskription), pemaknaan (interpretation), dan penilaian (evaluation) (Wendt, unclated).
Komunikator yang efektif pastinya akan membedakan 3 proses ini, sedang komunikator yang
tidak efektif tidak akan membedakan ketiganya. Melalui penggambaran (description) kita
akan memahami laporan aktual tentang apa yang sudah kita observasi dengan tingkat
ganguan yang rendah dan tanpa melekatkan sifat sosial pada suatu prilaku. Deskripsi meliputi
apa yang kita lihat dan dengar dan disatukan dalam suatu catatan observasi.
Untuk menjelaskan proses ini, kita menggunakan contoh berikut :

9
 Deskrpsi
Seorang guru sedang duduk diatas meja, memakai celana jeans yang ketat sudah luntur.

Pernyataan diatas adalah deskripsi yang sifatnya alami. Tidak ada penambahan sifat sosial
didalamnya, hanya mengungkapkan apa yang dilihat oleh observer. Jika kita menambahkan
aspek sosial dalam pernyataan tersebut, maka kita akan terikat dalam suatu pemaknaan.
Dengan kata lain, pemaknaan adalah pemikiran kita terhadap sesuatu yang kita lihat dan
dengar. Hal penting yang mesti diingat adalah beragam pemaknaan dapat muncul pada satu
deskripsi prilaku, contoh yang lain adalah sebagai berikut :
 Deskripsi
Seorang guru sedang duduk diatas meja, memakai jeans yang sudah luntur.
Pemaknaan
Guru itu suka penampilan informal (santai)
Guru itu tidak peduli tentang penampilannya
Guru itu tidak mengikuti aturan dalam berprilaku
Guru itu tidak punya uang yang cukup untuk membeli pakain yang lebih Bagus.

Tentu saja, berbagai penilaian dapat terjadi, tetapi kedua pemaknaan tetrsebut dapat
menjadi potensi dalam perbedaan antar budaya. Di amerika serikat, penilaian pertama sudah
menjadi sesuatu yang biasa karena kebiasaan informal dalam sitem pendidikan mereka.
Tetapi bagi budaya yang lain, penilaian kedua dianggap lebih tepat. Di jepang misalnya, para
guru diharapkan berpenampilan sesuai dengan pekerjaannya dan seorang gurui duduk diatas
meja dianggap sebagai prilaku yang tidak pantas untuk diterapkan.
Jika kita tak mampu membedakan ketiga proses ini, itu sama saja dengan menghapus
proses deskripsi dan lompat pada proses pemaknaan atau penilaian ketika mengalami
kesulitas dalam menghadapi prilaku yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan
kesalahpahaman makna dan menghasilkan komunikasi yang tidak efektif. Kemampuan
membedakan 3 proses ini akan membuat kita mampu memahami makna alternatiof terhadap
prilaku orang asing dan menghasilkan efektifitas komunikasi. Selain itu, kita dapat
mempredikasi secara tepat tentang prilakuornag asing, jika kita mampu menggambarkan
prilaku orang asing, kita akan memprediksi prilakunyascara tepat karena kita dapat melihat
pula prilaku alternatifnya.
Ada 5 prinsip terapi kesadaran (kognitif) yang berguna untuk memahami bagaimana
kesalahan interpretasi dapat terjadi:
1.Kita tidak pernah tahu tentang pikiran, sikap, perasaan orang lain
2.Kita tergantung pada signal yang pada dasarnya bersifat ambigu
3. Kita hanya menggunakan system kode kita

10
4. Bergantung pada cara pandang sendiri serta pada waktu tertentu
5. Tingkat kepercayaan kita dalam mendefinisikan perilaku orang lain tidak didasarkan pada
analisa yang akurat dan aktual.

3. Keterampilan
Keterampilan dalam komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan untuk mengurangi
kegelisahan dan ketidakpastian kita. Ada dua cara atau langkah untuk mengarungi
ketidakpastian dan kegelisahan yakni: berfikir dengan baik (hati-hati) dan lebih
memperhatikan hal yang dianggap masih ambigu. Untuk mengurangi ketidakpastian kita,
dibutuhkan minimal 3 keterampilan: empati, perilaku yang fleksibel, dan kemampuan untuk
megurangi ketidakpastian itu sendiri.
 Langer (1989) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan proses berfikir
(kehati-hatian) dalam komunikasi yakni: (1) Membuat kategori (pengelompokan) baru, (2)
Terbuka terhadap informasi baru, dan (3) Memahami lebih dari satu perspektif (p.62). Dia
menegaskan bahwa proses pengelompokan (kategorisasi) adalah aktifitas manusia yang
tumbuh seacar alami. Hal itu adalah cara untuk lebih memahami dunia.    
Langer mengemukakan bahwa hal yang kita butuhkan adalah belajar lebih banyak tentang
berbagai perbedaan manusia. Untuk mengilustrasikannya, Langer memberi contoh orang
yang dikategorikan sebagai ”orang pincang”. Jika kita melihat semua orang yang ada dalam
kategori ini adalah sama, berarti kita telah mulai untuk mengelompokkan orang berdasarkan
identitasnya. Jka kita menggambarkan perbedaan lain dalam kategori ini (membuat kategori
baru), disisi lain kita tidak akan mengkategorikan seseorang dalam pengelompokan
sebelumnya. Jika kita hanya melihat orang yang memakai ”celana puntung”, kita tak mesti
mengkategorikan mereka sebagai orang ”pincang”.
Bersikap terbuka pada informasi baru dan memahami lebih dari satu persepsi berarti kita
akan lebih fokus pada proses komunikasi bukan pada hasil komunikasi. Langer menegaskan
bahwa:
Berfokus pada hasil komunikasi akan menyebabkan ketidakhati-hatian/ketidakpahaman.
Karena kita mersa tahu bagaimana cara menangani situasi, kita tak akan memberi perhatian
lebih. Jika kita menanggapi situasi tertentu dengan cara yang biasa, kita hanya akan dapat
hal-hal kecil dalam memahami proses komunikasi. Di sisi lain, jika situasi tersebut menjadi
kacau, maka kita kan sulit memahami dan menanganinya karena lemahnya pemahaman kita
terhadap perilaku orang lain dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, kita telah gagal (lemah
dalam berfikir) dalam menanggapi situasi tertentu meskipun kita mungkin telah banyak
berfikir tentang hasil yang diharapkan dari komunikasi. (p.34).       

           Langer yakin bahwa berfokus pada proses komunikasi akan meningkatkan kesadaran
dalam berprilaku dan lebih perhatian terhadap situasi dimana kita dapat menemukan diri kita
sebenarnya. Hanya dengan berfokus pada proses komunikasi, kita akan dapat membedakan
perbedaan pemaknaan yang kita lakukan dengan pemaknaan yang dilakukan orang lain
terhadap suatu pesan.

11
            Kita sering berprilaku lebih hati-hati pada saat berkomunikasi dengan orang asing
karena mungkin perbedaan cara berpakaian atau karena kita tidak tahu petunjuk cara
berkomunikasi dengan mereka. Masalahnya adalah kita lebih sering berfokus pada hasil yang
ingin dicapai daripada berfokus pada proses komunikasi. Jika kita telah mampu memaknai
perilaku orang lain berdasarkan kerangka berfikir kita, maka untuk berkomunikasi secara
efektif dengan orang asing, kita butuh lebih berfokus pada proses komunikasi, bahkan ketika
kita menjalin hubungan yang lebih akrab dengan mereka. Kita tidak perlu mengharpakan
semua orang untuk berfikir hati-hati setiap saat karena hal itu mustahil dilakukan. Kita hanya
mengingatkan bahwa kesalapahaman dapat terjadi dalam komunikasi. Ketika hal itu terjadi,
maka kita harus lebih fokus memperhatikan proses komunikasi yang terjadi.
            Ketika kita berfikir dengan cermat maka kita dapat meningkatkan efektifitas
komunikasi yang kita lakukan. Kita dapat menegosiasikan makna dengan orang lain.
Negosiasi makna meliputi proses klarifikasi (memahami) makna dalam percakapan ketika
terjadi kesalahpahaman (Varonis & Gass, 1985). Tehnik lain yang bisa digunakan jika tejadi
kesalahpahaman adalah ”melakukan pengulangan/repair”. Repair (pengulangan) dapat
dilakukan dengan meminta orang lain mengulangi apa yang sudah dikatakannya ketika kita
belum paham (Gass & Varonis, 1985).
            Negosiasi makna dan pengulangan adalah bentuk dari metakomunikasi –
berkomunikasi tentang apa yang kita telah komunikasikan (metacommunication). Aspek lain
dari metakomunikasi yang relevan dengan proses berfikir dengan baik (mindfull) adalah
feedback (umpan balik). Hal lain yang erat kaitannya dengan proses berfikir dengan baik
adalah proses mendengarkan secara efektif. Untuk dapat mendengarkan secara efektif, maka
kita harus berfikir dengan baik pada saat berkomunikasi.
            Keterampilan kedua yang dibutuhkan untuk megatur kecemasan/ketidakpastian kita
adalah tolerasi (perhatian) terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu. Tolerasi (perhatian)
terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu menghasilkan kemampuan untuk memahami
situasi dengan baik meskipun banyak informasi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi secara
efektif tidak dipahami. Menurut ruben dan Kealey (1979):
Kemampuan untuk berreaksi pada situasi yang ambigu dan baru dengan sedikit
kegelisahan adalah sebuah potensi yang penting untuk menyesuaikan diri dengan budaya
baru... Kegelisahan yang berlebihan muncul dari lingkungan yang baru dan berbeda dari
sebelumnya atau karena adanya perubahan lingkungan yang sebelumnya kita sudah kenal, hal
ini dapat menyebabkan kebingungan, frustasi, dan permusuhan antar personal. Beberapa
orang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan yang baru dengan
mengubah cara pergaulan dalam lingkungan. (p.19)

            Ruben dan Kealey menegaskan bahwa orang yang lebih toleran (perhatian) terhadap
sesuatu yang ambigu dapat meyesuaikan diri secara efektif dengan budaya yang baru
daripada orang yang memiliki toleransi yang rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa orang
yang memiliki toleransi tinggi terhadap sesuatu yang dianggap masih ambigu akan dapat
berkomunikasi secara efektif dengan orang asing daripada orang yang memiliki toleransi
yang rendah terhadap sesuatu yang ambigu.

12
Hal yang berkaitan dengan sikap toleransi terhadap sesuatu yang ambigu adalah
prasangka dan sikap etnosentris. Etnosentrisme adalah pahaman yang menganggap bahwa
kelompok sendiri sebagai kelompok yang paling utama daripada kelompok yang lain dan
selalu membuat penilaian terhadap sesuatu yang ada disekitarnya berdasarkan pandangan
kelompoknya. Orang yang memiliki toleransi yang rendah akan bersikap etnosentris dan
selalu berprasangka. Sedangkan, etnosentris dan prasangka tidak berhubungan dengan
efektivitas komunikasi dengan orang asing. Etnosentris dan prasangka hanya akan membuat
kita memaknai orang asing berdasarkan prespektif budaya kita sendiri. Dengan kata lain,
sikap etnosentris dan prasangka yang berlebihan membuat orang-orang tak dapat memahami
pemaknaan dan penilaian perilaku orang asing. Untuk memahami perilaku komunikasi orang
asing, kita mesti menggunakan prespektif budaya mereka, bukan budaya kita sendiri. Selain
itu, kita mesti mendahulukan sikap empati (keterampilan utama dalam mengurangi
ketidakpastian) daripada sikap simpati.
            Simpati adalah ”membayangkan tentang posisi diri kita berdasarkan penilaian orang
lain” (Bennett, p.411). Simpati sama dengan sikap etnosentris, menggunakan
kerangka/prespektif kita sendiri dalam memaknai rangsang baru dan berbeda. Menurut
Bennett, jika kita menerapkan Golden Rule (berprilaku pada orang lain berdasarkan
kemauan/keinginanmu sendiri) dalam berinteraksi dengan orang asing, maka kita akan
menjadi orang yang simpatik karena kita hanya menggunakan standar perilaku sendiri dalam
berprilaku dengan orang asing. Sedangkan empati adalah berupaya memahami
pengalaman/perasaan orang lain. Prespektif yang digunakandalam empati bukanlah
prespektif kita tetapi prespektif orang asing. Bennet mengajukan hal yang berbeda dengan
Golden Rule yakni, Platinum Rule, yang berarti mendahulukan empati daripada simpati
(berprilaku pada orang lain berdasarkan apa yang diinginkan oleh orang tersebut) (p.422).
singkatnya, menggunakan simpati dalam berinterkasi dengan orang asing bisa saja lebih
banyak mengakibatkan kesalahpahaman daripada kesepahaman. Sedangkan penggunaan
empati akan meningkatkan kesepahaman dengan orang lain.
       Empati adalah faktor penting untuk menciptakan komunikasi yang efektif, bukan saja di
Amerika tetapi juga pda budaya yang lain. Sebagai contoh, Hwang, Chase, dan Kelly (1980)
menyimpulkan bahwa:
Orang Amerika, orang Cina Amerika, dan orang cina secara keseluruhan saling berbagi
tentang beberapa pandangan dasar dalam menciptakan efektifitas komunikasi antar personal.
Dimensi empati menjadi faktor paling penting dalam pandangan mereka. Sekali lagi
ditegaskan bahwa mungkin tak ada faktor yang lebih penting dari empati dalam membangun
hubungn interaksi manusia yang efektif. (p.76)                
           Karakteristik khusus yang melekat dengan empati dalampembahsan ini adalah
”mendengarkan dengan baik (hati-hati) terhadap apa yang dikatakan orang lain”, ”berupaya
memahami perasaan orang lain”, ”menunjukkan ketertarikan dengan apa yang orang lain
katakan”, ”kepekaan terhadap kebutuhan orang”, dan ”memehamidengan mudah pokok
pembicaraan orang lain” (p.74).
            Keterampilan kedua yang dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian adalah
perilaku yang fleksibel. Untuk dapat memahami informasi dan beradaptasi dengan orang
asing maka kita harus berprilaku fleksibel. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahsan
tentang pengetahuan, kita mesti mampu memilih strategi yang tepat untuk dapat memahami

13
informasi dan beradaptasi dengan orang asing agar dapat berkomunikasi secara efktif dengan
mereka.
            Kita juga mesti mampu beradaptasi dan mengakomodasi perilaku kita terhadap
kelompok yang lain jika ingin sukses dalam berinteraksi dengan mereka. Salah satu aspek
penting untuk beradaptasi adalah kemampuan berbicara dengan menggunakan bahasa orang
lain (seminimal mungkin mampu menggunakan frase bahasa lain). Jika kita hanya
mengharapkan orang asing berbicara menggunakan bahasa kita maka akan sulit tercipta
komunikasi yang efektif dengan mereka. Triandis (1983) mengemukakan bahwa pentingnya
menggunaka bahasa orang lain tergantung pada situasinya, stidaknya ketika anda berada
pada:
Beberapa budaya orang asing tertarik untuk megetahui bahasa lokal. Orang Prancis
yang datang ke Amerika Serikat tanpa kemampuan barbahasa inggris atau orang amerika
yang datang ke Prancis tapi hanya mampu sedikit berbahasa prancis akan berusaha
memahami bahasa lokal. Sebagai contoh, saya mendapatkan pengalaman yang berbeda dari
teman saya pada saat di Paris. Dia menemukan banyak ketidaksopanan orang Prancis
sedangkan saya menemukan orang prancis yang cukup sopan. Perbedaannya adalah saya
berbicara lebih baik dengan orang prancis dibandingkan wisatawan pada umumnya. Dalam
budaya lain, para wisatawan tidak diperkenankan mengetahui bahasa lokal. Sebagai contoh,
di Yunani, orang asing tidak dizinkan untuk mengetahui bahsa yunani meski hanya sedikit,
hal ini dianggap sebagai hal yang normal bagi masyarakat setempat. (p.84)
Beberapa tujuan dalam penggunaan bahasa lokal adalah untuk mengenali
kegemaran/kesukaan orang-orang dan budaya ditempat tersebut.
            Hal yang dibtuhkan agar dapat menyesuaikan perilakuk tidak terbatas hanya pada
penggunaan bahsa orang lain pada saat berbicara. Kita juga perlu untuk menyesuaikan
perilaku non verbal kita. Jika kita hanya menggunakan aturan kita dalam berkomunikasi,
maka akan timbul kesalahpahaman pada saat berkomunikasi dengan orang asing.
            Keterampilan terkahir yang kita bahas adalah kemampuan untuk mengurangi
ketidakpastian itu sendiri. Jika kita berprilaku fleksibel kita akan mendapatkan informasi
yang dibutuhkan untuk mengurangi ketdakpastian kita. Seperti yang telah dijelaskan dalam
pembahasan sebelumnya, mengurangi ketidakpastian berarti kita mampu untuk
menggambarkan perilaku orang lain, menggunakan pemaknaan yang tepat terhadap pesan
yang mereka sampaikan, memprediksi perilaku mereka dengan tepat, dan mampu
menjelaskan perilaku mereka. Jika kita juga mampu mengontrol kecemasan kita, maka
kemampuan-kemapuan diatas dapat digunakan untuk berkomunikasi secara efektif dengan
orang asing.  

D. Mengatur konflik dengan orang lain

Konflik dapat terjadi dalam berbagai hubungan. Konflik pada dasarnya bisa bermakna
positif dan bisa bermakna negatif. Cara kita mengatur konflik dalam hubungn dengan orang
lain memiliki konsekunsi positif dan negatif.
Thomas (1983) mendefinisikan konflik diadik sebagi proses yang dimulai ketika satu
bagian merasa bahwa orang lain itu frustasi. Definisi ini meliputi fenomena secara luas.

14
Konflik dapat muncul melalui sumber instrumental (seperti; perbedaan tujuan dan tindakan)
atau dari ekspresi (seprti; keteganga/perselisihan, atau biasaya karena permusuhan).
Dalam mengatur konflik dengan orang asing, kita perlu membangun apa yang disebut oleh
Gibb (1961) sebagaisupportive climate. Ada beberapa karakteristik dari supportive
climate adalah sebagai berikut:
Karakteristik pertama adalah melakukan deskripsi kemudian melakukan penilaian. Kita tidak
dapat memahami seseorang jika kita menilai mereka terlebih dahulu sebelum memahami
posisi mereka. Dengan deskripsi yang tepat, kita akan memahami bagaimana cara orang lain
memaknai sesuatu yang terjadi.
Karakteristik kedua adalah memahami masalah tujuan yang sebenarnya. Memahami masalah
bersama dan berupaya mendapatkan solusi agar didapatkan hasil/tujuan yang didinginkan
dalam berkomunikasi. Kita mungkin telah memikirkan tujuan yang ingin dicapai dan kita
berupayai memahamkan tujuan tersebut pada orang lainkemudian kita beusaha mengontrol
orang tersebut. Tetapi terkadang hal ini mendapatkan pertentangan dari orang lain.
Karateristik ketiga adalah menggunakan spontanitas sebagai bagian dari strategi. Jika kita
tampak menyembunyikan motif dan berperilaku pada orang lain dengan strategi tertentu,
maka akan menimbulkan  sikap defensif pada orang lain. Tetapi, jika orang lain bersikap
spontan tanpa strategi pada kita maka kita tiadak akan bersikap defensif.
Karakteristik keempat adalah empati. Jika kita berempati dalam komunikasi dengan orang
lain, maka mereka akan tahu bahwa kita fokus pada apa yang ia katakan. Jika orang bersikap
netral pada kita maka kita akan bersikap defensif.
Karakteristik kelima adalah kesetaraan (merasa kedudukannya sama pada saat
berkomunikasi). Jika kita berbicara seolah-olah menjadi sesuatu yang superior, maka orang
lain akan bersikap defensif pada kita. Jika kita ingin mengatur konflik dengan orang asing,
kita mesti mendekatkan persamaan-persamaan yang dimiliki dan lebih sensitif serta
memposisikan diri kita setara dengan mereka.
Karaketristik yang terakhir (keenam) adalah provisionalisme. Jika kita berkomunikasi dengan
orang lain, maka kita terbuka terhadap sudut pandang mereka dan ingin berinteraksi dengan
perilaku kita. Dengan demikian orang lain tidak akan bersikap defensif. Di sisi lain, jika kita
berkomunikasi dengan menampakkan bahwa sikap dan perilaku kitalah yang paling benar
dan pasti maka orang lai akan bersikap defensif.
Karakteristik diatas pastilah sangat sering kita dengarkan. Meskipun mungkin tidak
sepenuhnya sama. Gibbs dan Langer memeiliki pendapat yang sama bahwa sikap dalam
mengatur konflik mesti berdasarkan pertimbangan/pemikiran yang cermat (mindfull). Agar
dapat berfikir dengan cermat maka kita harus membuat kategorisasi/pengelompokan baru
(diperlukan untuk membuat suatu penggambaran sikap dan perilaku orang lain), bersikap
terbuka atas informasi baru, tidak cepat yakin sebelum mendapatkan informasi yang valid.
Hal ini akan lebih berfokus pada proses komunikasi bukan pada hasil yang diinginkan dari
komunikasi.
Roger Fisher dan Scott Brown (1988) dalam Proyek Negosisasi Harvard
menegmukakan beberapa pendekatan yang berhubungan dengan negosiasi. Asumsi awal
mereka adalah bahwa setiap orang dapat mengubah suatu hubungan. Jika kita mengubah

15
tindakan kita terhadap orang lain, mereka juga akan mengubah tinadakannya pada kita.
Tujuan dari perubahan sikap/tindakan tersebut dalah terciptanya suatu hubungan yang saling
menerima berbagai perbedaan (p.3). melakukan perubahan berarti kita memisahkan suatu
hubungan dengan berbagai masalah kemudian memahamkan tujuan yang ingin dicapai dalam
tiap kondisi komunikasi.
Fisher dan Brown mengemukakan pendapat tentang negosiasi efektif. Pendapat mereka
sederhana, mereka yakin bahwa kita harus selalu bersikap konstruktif. Intinya bahwa kita
mesti:
Lakukan sesuatu yang baik untuk suatu hubungan dan baik bagi diri kita, meskipun orang
lain tak membalas kebaikan kita.
 Rasionalitas. Meskipun orang lain bertindak orang lain,kita mesti menyeimbangkan
emosi kita dengan pertimbangan yang tepat.
  Kesepahaman. Meskipun orang lain salah paham terhadap kita, tetapi kita harus tetap
bisa memahami mereka.
  Komunikasi. Meskipun mereka tidak mendengarkan dengan baik, tetapi kita mesti
membimbing mereka sebelum memutuskan sesuatu yang dapat berpengaruh bagi
mereka.
 Dapat dipercaya. Meskipu orang lain beupaya menipu ataupun tidak percaya pada
kita, tetapi kita tetap berusaha mempercayai mereka. Jadilah orang yang dapat
dipercaya.
 Tidak memaksa orang untuk memepengaruhi. Meskipun orang lain memaksa kita,
tetapi kita tetap berupaya mendekati orang dengan cara yang lebih persuasif.
 Penerimaan. Meskipun orang lain menolak kita, tapi kita berupaya menerimanya,
peduli terhadap mereka, dan bersikap terbuka untuk berinteraksi dengan mereka.

Hanya sedikit orang yang dapat menerapkan keenam hal tersebut dalam komunikasi
sehari-hari dengan orang lain. Untuk menerapkan petunjuk-petunjuk Fisher dan Brown, kita
mesti berfikir dengan baik (mindfull).

BAB III
PENUTUPAN

16
Kesimpulan

Komunikasi yang efektif adalah upaya untuk mengurangi kesalahpahaman. Dengan


kata lain apa yang dikatakan oleh komunikator dapat di maknai oleh komunikan. Untuk dapat
berkomunikasi secara efektif maka kita mesti memperhatikan 3 hal yakni, motivasi,
kemampuan, dan keterampilan komunikasi. Kita harus memiliki motivasi yang tinggi dalam
melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan orang asing. Kita harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang tinggi untuk memngurangi/menghilangkan kesecmasan
dan ketidakpastian. Untuk mengurangi kecemasan, kita harus berfikir lebih hati-hati dan
bersikap toleran/perhatian terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu. Untuk mengurangi
ketidakpastian, kita mesti bersikap empati, fleksibel, dan menggunakan keterampilan untuk
memahami pengetahuan dan budaya serta etnisitas orang lain ketika dibutuhkan.

Konflik bisa saja terjadi pada saat kita berkomuikasi dengan orang asing. Konflik dapat
berdampak positif ataupun negatif. Cara untuk mengatur konflik adalah hal yang sulit. Untuk
mengatur secara konstruktif dan berkomunikasi secara efektif maka kita harus memahami
kondisi orang yang berkonflik dengan kita dan berupaya membangun suasana yang dapat
mendukung penyelesaian konflik.  

Saran

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
meminta agar pembaca berkenan memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan dimasa
mendatang.

Daftar pustaka

17
Fisher, B Aubrey. 1978. Teori-Teori Komunikasi. RemajaRisdakarya.
Triandis, H. C. (1977). InterpersonalBehavior. Monterey, Calif.: Brooks/Cole Pub. Co.
Triandis, H. C. (1980). Values, Attitudes, and InterpersonalBehavior. In University of
Nebraska (Lincoln campus). Dept. of Psychology. (Ed.), NebraskaSymposium on Motivation
(pp. 196-259). [Lincoln, Neb.]
Y kim 1991 Communicationwithstrangers: An approach to interculturalcommunication. New
York:McGraw,Ltd.
Gudykunst, William B. 1991. BridgingDifferences-EffectiveintergroupCommunication.
London:SagePublication.
Bennet, Milton J. (2003). ”Mengatasi Kaidah Emas: Simpati dan Empati” dalam Deddy
Mulyana &Jalalauddin Rakhmat [eds]. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya
Gass, S. M & E. M. Varonis (1984). “TaskVariation and Nonnative/NonnativeNegotiation of
Meaning: In S. Gasss and C. Madden, eds., Input in SecondLanguageAcquisition. Rowley,
MA: Newbury House, 1984.
Gardner, R.C. (1975). Motivation and SecondLanguageacquisition. Canadian Modern
LanguageReview, 31, 218-230.
Bellah, Robert N., Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann Swidler, Steven M. Tipton,
1985. Habit of The Heart: Individualism and Commitment in American Life. Berkley, Los
Angles: University of CaliforniaPress.
Harvey,O.J.,DHunt&H.Schroder. 1961.Conceptual System and Personality Organization.
New York; Wiley.
Langer, Susanne K. Terjemahan F. X. Widaryanto. 1988. Problematika Seni. Bandung:
ASTI.
Gibb, J. (1961). Defensivecommunication. Journal of Communication, 11, 141-148
Fisher, Roger dan Brown, Scott. GettingTogether: Building a RelationshipthatGets to Yes.
New York: Penguin Books, 1988

18

Anda mungkin juga menyukai