DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH:
NAMA : DWIKI REVANSA MOKODOTO
NIM : 1941099
PRODI : EKONOMI SYARIAH
KELAS/SEMESTER : C/III
2020
MATERI 1
Hadits tentang Nilai Dasar Ekonomi Islam
Pokok Bahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
5. Kandungan Hadits
Hadis yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang pedagang yang
memiliki sifat-sifat ini, karena dia akan dimuliakan dengan keutamaan besar dan
kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dikumpulkan bersama
para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat.
Imam ath-Thiibi mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Barangsiapa
yang selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia termasuk golongan orang-
orang yang taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang
shiddiq dan orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat
dusta dan khianat, maka dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang yang fasik (buruk/rusak
agamanya) atau pelaku maksiat”.1
6. Beberapa Faidah Penting Yang Dapat kita Petik Dari Hadis Ini:
Maksud sifat jujur dan amanah dalam berdagang adalah dalam keterangan yang
disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan penjelasan tentang cacat atau
kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacatnya.2
Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual
beli, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya
(pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan
atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli
tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut),
maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”.3
Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang disebutkan dalam hadis ini
adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang shahih.4
Adapun hadis “Sembilan persepuluh (90 %) rezeki adalah dari perniagaan”, maka ini
adalah hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani.5
Maksud dari keutamaan dalam hadis ini: “…bersama para Nabi, orang-orang shiddiq
dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)” bukanlah berarti derajat
dan kedudukannya sama persis dengan derajat dan kedudukan mereka, tapi
maksudnya dikumpulkan di dalam golongan mereka, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa
Ta’ala:
HADITS KE-2 Hadits tentang Celaan bagi Orang Tidak Mau Bekerja
Pokok Bahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Asbabul Wurud
6. Kandungan Hadits
7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
ِدF َع ْن َع ْب،اَفِ ٍعF َع ْن ن، ِهFَئ َعل َْْيَ ُِِرFُ Fا قFF فيِ َم،س ٍ َك ب ِْن أن ِ ِ َع ْن َمال،بةَُ ب ُْن َس ِعي ٍدFََحدثَّنَا َ قتُ َْْي
ٌرNا َخ أيNNَع ألُيNN «ا أليَ ُد اأ ل:ال َ َ ق، ِه َو َسل ََّمFَى هللاُ َعل َْْي
َّ صلَ ُِول هللا َ أن َرس ََّ ،هللاِ ب ِْن ُع َم َر
» ُسائِلَة
َّ أفلى ال
َ الس ُّ َو،َُ َوا أليَ ُد ا ألع ألُيَا ا أل ُم أنفِقة،الس أفلَى ُّ ِم َن ا أليَ ِد
Terjemahan;
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dari Malik bin Anas -sebagaimana
yang telah dibacakan kepadanya- dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda di atas mimbar, beliau menyebut tentang sedekah
dan menahan diri dari meminta-minta. Sabda beliau: "Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang dibawah. Tangan di atas adalah tangan pemberi sementara
tangan yang di bawah adalah tangan peminta-minta." (Hadits Riwayat Imam Muslim)
َ “ ِمنَ ْاليَ ِد ال ُّس ْفmenurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”.
“لى
Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mau memberi.” Menurut pendapat
yang lain lagi, “tangan yang meminta.
ْ yaitu pemberi/ penginfak. Sedangkan ْاليَ ِد ال ُّس ْفل َىberarti
Secara keseluruhan berarti ُ ال ُم ْنفِقَة
3. Status Hadis
Hadits di atas dalam shahih Bukhari diriwayatkan melalui dua belas jalur. Dari
kedua belas jalur tersebut, ada dua jalur berderajat hasan, satu dhaif, dan selebihnya
shahih.
Sanad JALUR SANAD KE - 1
Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail
(Sahabat)
4. Asbabul Wurud
Latar belakang munculnya hadis di atas, dan beberapa hadis lain yang senada
dengannya, adalah sebagaimana diceritakan oleh Hakim bin Hizam r.a., bahwasanya,
suatu ketika ia (Hakim) meminta sesuatu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam., dan beliau memberikannya, kemudian ia meminta lagi hingga beberapa kali,
dan Rasulullahpun selalu memberikannya, hingga akhirnya, beliau bersabda, “Wahai
Hakim, sesungguhnya harta itu seperti barang yang manis dan menyenangkan,
barangsiapa mengambilnya dengan sikap diri rendah hati, Allah akan memberkati apa
yang dia ambil. Barangsiapa yang mengambilnya dengan sikap diri berlebih-lebihan,
Allah tidak akan memberkahi apa yang diambilnya, dan apa yang ia makan tidak akan
mengenyangkannya.
Sesungguhnya tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah”
5. Kandungan Hadis
Hadis ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah
lebih dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu
barulah kepada yang lain. Disamping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa Allah akan
mencukupi seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya berkecukupan
tidak mau meminta belas kasihan orang lain.
Ungkapan ini dapat dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan bagi orang
kaya atau yang berkecukupan agar member kepada yang miskin dengan pemberian yang
dapat menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang mempunyai usaha
sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-minta
(mengharapbelaskasihan orang).
Meminta-minta adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah Subhaanahu wa ta’ala,
karena selama ia mampu untuk bekerja keras, pasti akan menumbuahkan hasil yang
manis. Meminta-minta diidentikkan kepada orang yang malas, karena mereka tidak mau
bekerja keras, sehingga kerjaannya hanya meminta – minta. Bekerjasama saja dengan
menjaga kehormatan dirinya dari sifat tercela.
Perspektif Ekonomi
HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN
ISLAM:
Meminta-minta sumbangan atau mengemis tidak disyari’atkan dalam agama
Islam, apalagi jika dilakukan dengan cara menipu atau berdusta dengan cara
menampakkan dirinya seakan-akan dalam kesulitan ekonomi, atau sangat membutuhkan
biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit,
atau untuk membiayai kegiatan tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa
besar.
Kesimpulan
Dari hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih baik
dari pada orang yang meminta-minta, karena perbuatan meminta-minta merupakan
perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina. Sebenarnya
memintaminta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam
keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu. Dengan kata lain yaitu dalam keadaan
mendesak atau sangat terpaksa sekali. Dan perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina
jika orang yang melakukan pekerjaan itu dalam keadaan cukup, sehingga akan
merendahkan dirinya baik di mata manusia maupun pada pandangan Allah swt di akhirat
nanti.
Orang yang memberi lebih utama dibandingkan orang yang meminta-minta saja.
Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan bagi orang yang
membutuhkan,sebab islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk
memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya, yaitu melalui zakat, maupun sedekah. Dan islam tidak menganjurkan hidup
dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain islam tidak menyukai pengangguran
dan mendorong manusia untuk berusaha. Membuka jalan atas dirinya untuk meminta-
minta dalam arti kata meminta dengan ketiadaan mudharat maka Allah akan membuka
pintu kemiskinan atas dirinya.
Pembahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
ُ ُ ُِّي فَق ْل
صلَّى ال ََّّل َعلَ ْي ِه
َ ِّي
ِ ب ِ َِّّي فَقا َ َل َع ْن الن
ِ ت َع ْن النَّب ِ ارِ صَ Fََع ْن أبَ ِي َم ْسعُو ٍد اأْل َْْن
ُان أت لَه َ َُُها َكNَ ِسب
Nََِ ي أحت َ ق ا أل ُم أسلِ ُم نَفَقَةً َعلَى أ أ َهلِ ِه َو ُه َو َ ََو َسلَّ َم ق
َ َال إِذاَ أ أنَف
ًص َدقَةَ
Terjemahan
Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar Abdullah bin
Yazid Al-Anshari dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah 1
pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah
sedekah." (HR. al-Bukhari).
2. Kosakata/Mufradat قَ فFَأ َْْن :
memberi nafkah لِ ِهFَأ َْْه :
keluarganya
ِسبهَُاFََِ يَحْ ت : dengan mengharap pahala
3. Asbabul Wurud
Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar Abdullah bin
Yazid Al Anshari dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah
pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah
sedekah."
1
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan
dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya
berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya. Nafkah ini juga mencakup keperluan
isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya
obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
6. Kandungan Hadits
Diantara hadits yang menjadi penguat terhadap hadits di atas adalah
sebagaimana hadits yang bersumber dari Sa’ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu
'anhu, bahwa ia memberitahukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk
mencari wajah Allah (ridho-Nya), melainkan engkau diberi pahala karenanya,
sampai pun apa yg engkau berikan ke mulut isterimu (juga akan diberi pahala oleh
Allah, pent)." (Hadits SHOHIH. Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (no. 1295) &
Muslim (no. 1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu).
Pokok Bahasan
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan
A. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
َّ ََّةF ِعي ِد ْب ِن َع ِطيF دثَّنَا َ َو ْهبُ ب ُْن َسFقِ ُّي َحF ِد ال ِِّد َم ْشFاَّسُ ب ُْن ْال َولِيFََحدثَّنَا َ ْالعب
لَ ِم ُّيFالس
و ُلF ا َ َل َر ُسF ا َ َل قF َر قFََِّل ْب ِن ُع َمFََِّّّ ْسل َم ع َْن أبَيِ ِه ع َْن َع ْب ِد الFََْ َحدثَّنَا َ َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َز ْي ِد ب ِْن أ
ُ
ُُيِجفَّ َع َرق ه
َِNَ َأج َرهُ ق أبَ َل أ أن َ َِِجNَ ِه َو َسلَّ َم أ أعَط ُوا ا أ ْلFَى ال ََّّل عَل َْْي
َ ير أ َ ال ََِّّل
َّ صل
Terjemahan:
Dari Abdullah bin Umaria berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah:)
B. Kosakata/Mufradat
ْعط ُواFََْ أ: berikanlah
ِجي َرFََِ اأْل : kepada
pekerja
ُ أْج َره Fََْ upah :
َلFَ ق َْْب: sebelum
فَّ أْن يَ ِج Fََْ kering :
ُ ُ ع ََرقه: keringatnya
C. Status Hadits
Hadis shahih li ghairihi yaitu hadis hasan yang derajatnya naik menjadi
shahih li ghairihi sebab terdapat jalur periwayatan lain yang secara kualitas sama atau
lebih kuat darinya.
E. Penjelasan Hadits
Di antara kewajiban seorang majikan adalah memperhatikan upah pekerjanya.
Janganlah ia sengaja menunda padahal ia mampu menunaikannya tepat waktu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memberikan upah sebelum
keringat si pekerja kering. ُرقه َّ ِجFََِ أْن ي
َ ف َع َ ِجFََِ ْعطُوا اأْلFََْ ُ أ
Fََْ َلFَْج َرهُ ق َْْبFََْ ير أ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu
Majah, shahih).
Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan
ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas mendapatkan
hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan
Saudi
Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada
para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka,
yaitu setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena
mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”
Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan
gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan
tetapi jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan
terakhir setelah satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ المسلمون على شروطهمKaum muslimin
wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad
Daimah, 14: 390).
(bahasa Arab: ذلَیFFُبيب الهFFل بن حFFعود بن غافFF عبدهللا بن مسyang dikenal dengan Ibn
Mas'ud, termasuk salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
muhaddits dan mufassir Alquran di era permulaan Islam. Menurut penuturannya, ia
adalah orang keenam pertama yang memeluk Islam. Ibnu Mas'ud termasuk kelompok
muhajirin pertama yang pergi ke Habasyah. Ia berhijrah dari Mekkah menuju
Madinah dan ikut berpartisipasi dalam pertempuran Badar dan Uhud. Setelah
Rasulullah wafat, ia juga ikut serta dalam peperangan Riddah dan penaklukan Syam.
Pada tahun 21 H/642, Umar bin Khattab mengutus Ibnu Mas'ud bersama
Ammar untuk mengawasi Baitul Mal dan pengadilan. Ibnu Mas'ud pada masa
kekhilafahan Utsman berseteru dengan Sa'ad bin Abi Waqqash dan Utsman pun
mengembalikannya lagi ke Madinah. Ia meninggal di Madinah, dua tahun sebelum
Utsman bin Affan meninggal.
Ia termasuk orang pertama yang hafiz Alquran dan mendengar langsung
sekitar 70 surah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Ashim
mengambil riwayat Alqurannya dari Ibnu Mas'ud. Ia membacakan mushaf Alquran
kepada sebagian orang dan mereka menulisnya dan ketika Utsman memerintahkan
untuk mengumpulkan semua mushaf yang ada, awalnya ia menolak, namun akhirnya
ia terpaksa melakukan hal tersebut. Ibnu Mas'ud termasuk kalangan sahabat yang
dihormati semua kaum muslim, baik Syiah maupun Ahlusunah. Riwayat tentang
jumlah para imam (berjumlah 12 orang) diriwayatkan dari dirinya.
5. Kandungan Hadits
Pada hadits di atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
menjelaskan bahwa pahala dua kali mengutangkan sama dengan pahala satu kali
sedekah. Dari situ kita pahami bahwa pahala sedekah lebih besar daripada pahala
mengutangkan. Hal tersebut masuk akal karena orang yang menyedekahkan hartanya,
pada umumnya tidak mengharapkan pengembalian. Ikhlas begitu saja. Sedangkan
orang yang mengutangkan, tentu berharap harta yang diutangkannya itu akan
dikembalikan di kemudian waktu.
Tetapi, dalam kesempatan lain Nabi menemukan kenyataan berbeda. Ketika
Nabi melaksanakan Isra’ Mi’raj , Nabi sempat diajak jalan-jalan ke surga. Di salah
satu pintu surga Nabi menemukan sebuah tulisan yang terasa agak janggal. Isi tulisan
tersebut bertentangan dengan apa yang selama ini Nabi ketahui bahwa pahala sedekah
lebih besar dari pahala mengutangkan. Tetapi tulisan tersebut malah menyatakan
sebaliknya, Nabi pun heran dan langsung menanyakan hal tersebut kepada malaikat
Jibril. Kisah selengkapnya bisa kita simak dalam hadis berikut ini yang artinya:
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,”Aku melihat pada waktu malam
di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh
delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari
sedekah? Ia menjawab, karena peminta, meminta sesuatu padahal ia punya,
sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” (HR.
Ibnu Majjah).
Dalam hadis di atas Jibril menjelaskan bahwa bisa jadi pinjaman yang kita
berikan kepada orang yang sedang membutuhkan, lebih besar pahalanya daripada
pahala sedekah. Karena orang yang meminjam, biasanya dalam keadaan butuh.
Sehingga pinjaman yang kita berikan lebih tepat guna.
Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang meminta-minta sedekah itu bukan
orang miskin atau sedang dalam keadaan butuh. Bahkan dalam beberapa kasus,
pengemis yang meminta-minta di jalanan di kota-kota besar, yang pakaiannya terlihat
lusuh, compang-camping, ada yang membawa anak kecil yang tertidur atau mungkin
‘sengaja’ dibuat tidur, ternyata di kampung halamannya punya rumah mewah lengkap
dengan kolam renang. Memang pada dasarnya, beberapa pengemis di lampu merah itu
tidak mengemis karena terpaksa melainkan sudah menjadi profesi dan memang
passion-nya dalam bidang itu. Sehingga masuk akal jika dalam hadits di atas
dikatakan bahwa pahala meminjamkan kadang-kadang lebih besar dari pahala
sedekah.
Hadits selanjutnya menjelaskan secara umum anjuran untuk meringankan
beban saudara kita sesama muslim, salah satunya dengan memberikan pinjaman.
ة ُمنFFلم ُكربFعن ُمسُ ُمن نفُس: ا ُ ُلFلم قFFه ُوسFFل ُعليFFُلى الFص ُ عن أبُي هرُيرة ُعن الُنبي
دنياFFُى ال
ُ ُومن يسُر ُعلى ُمعسر ف،ُكربُ الدنيا نفُس الُل ُعنه ُكربة ُمن ُكرب ي ُوم الُقيامة
ُ ه فFFل ُعليFFُتر الFدنيا ُسFFُي ال
ي ُ ُ ُومن ستُر ُعلى ُمسلم ف، ى الُدنيا ُواألخرة ُ يسُر الُ ُل عليه ف
ي ُعون أ ُخيه ُ ي ُعون الُعبد ُما ُكان الُعبد فُ ُ والل ف، ُواألخرة. الُدنيا
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka
Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang
memberikan kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia,
maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan
barangsiapa yang menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi
‘aibnya di dunia dan di akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya,
selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)
Pokok Bahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
2. Kosakata/Mufradat
Menunda-nunda : ط ُل ْ َم
ِ: Orang kaya (mampu) ِ َْالغن
ِّي
: Kezhaliman ظ
: Mengikuti dan mengiringi
ُْل
: Salah seorang dari kalian
ٌم
ٍ: Orang kaya yang mampu membayar hutang َِِعFَ أتُ ْب
: Maka hendaklah ia mengalihkan hutangnya
ْمFُُْ أحد ُك َ
3. Sanad Hadis Sanad Abdur Rahman bin Shakhr (Abu Hurairah) َم ِل ِّي
(Sahabat)
فَ ْليتَ ْب َْع
Hammam bin Munabbih bin Kamil bin Syaikh
(Perawi yang mempunyai sifat adil dan kuat hafalannya)
Matan
Matan dari hadits utama adalah orang kaya yang menunda-nunda membayar hutang
termasuk kepada perbuatan dzalim, perbedaan matan dari hadits penguat (Hadits Nasa’i
No. 4609) adalah kedzaliman adalah orang kaya yang menunda pembayaran hutang yang
tanpa adanya udzur. Jadi, dalam penguat lebih dijelaskan dengan adanya udzur.
Sedangkan dalam hadits penguat (Hadits Ahmad No.5138 dan Hadits Ahmad
No.7034)dinyatakan bahwa orang kaya yang menunda membayar hutang termasuk
dalam suatu kedzaliman, dan apabila hutang itu dipindahkan kepada orang yang berharta
maka orang yang berhutang hendak mengikutinya.
5. Kandungan Hadis
Dari teks hadits utama diatas, terdapat kandungan yaitu : Maksud dari kata
“Mathlu” ialah menunda-nunda iddah dan hutang. Dan di dalam istilah ahli fikih
“Mathlu” artinya adalah menahan penunaian sesuatu yang berhak ditunaikan.Haram
menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu tanpa ada alasan.
Hadist tersebut mengandung tuntunan untuk menyegerakan pembayaran hutang
bagi orang yang mampu untuk membayarnya. Selain itu pula juga terdapat peringatan
bahwa menunda-nunda pembayaran hutang termasuk perbuatan dzolim. Akan tetapi
yang dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang seharusnya segera dilaksanakan
oleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur. Berbeda halnya dengan orang
yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran hutangnya hingga mampu.
Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu termasuk dosa
besar, terlebih jika orang yang berpiutang membebankan bunga kepada orang yang
berhutang karena pada saat jatuh tempo tidak terbayar dan hal ini termasuk riba.
Jadi dapat disimpulkan, nahwa bagi orang yang mampu untuk membayar hutang,
harus membayar hutangnya karena dalam menunda-nunda pembayaran hutang termasuk
perbuatan dzalim. Akan tetapi yang dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang
seharusnya segera dilaksanakan oleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur.
Berbeda halnya dengan orang yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran
hutangnya hingga ia mampu.
Bahan Kajian;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Asbabul Wurud
4. Status Hadits
5. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
6. Kandungan Hadits
7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
ُ ُ
ل ََّمF ِه َو َسFَ ََّّل عَل َْْيFى الَّ لFصَ ََِّلFََِّّّ Fو ُل الFا َ َل َر ُسFض َي ال ََّّل َع ْنهُ قا َ َل ق
ِ َام َر ٍ ع َْن َح ِك ِيم ب ِْن ِحز
َعا ِنFََِْالب ِِّي
في ب ْيَ ِع ِه َما
ِ َُ َماFَك لُه َ صدقَا َ َوب يَنَّا َ ب ُو ِر َ ى يتَفَرَّقا َ فإ َ ْ ِن َّ ْو قا َ َل َحتFََْ بِ ْال ِخيا َ ِر َما لَ ْم يتَفَ ََّرقا َ أ
ِ ْ َو
إن
ُ ةFFFت بَ َر َك ْ َذبَا َ ُم ِحقFFFا َو َكFFFَكت َم
ب ْيَ ِع ِه َما
Artinya:
Dari Hakim bin Hizam –radliyallahu`anh- ia berkata : Rasulullah –shallallahu`alaihi
wa sallam- bersabda : “Dua orang yang berjual beli itu haruslah bebas memilih
sebelum mereka berpisah. Apabila keduanya jujur dan berterus terang di dalam
berjual beli, maka keduanya akan mendapatkan berkah. Tetapi apabila keduanya
menyembunyikan dan dusta, maka jual belinya itu tidak akan membawa berkah.
(Riwayat Imam AlBukhari dan Imam Muslim).
2. Kosakata/Mufradat
ْالب ِّيَ ِعا َ ِن: Artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan kepada keduanya, yang
termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing masing dari dua
lafazh ini dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
با ِ ْل ِخيا َ ِر : Merupakan mashdar dari ikhtara, dari al-ikhtiar, berarti meminta yang
َ صدقَا
َ : Keduanya jujur
3. Asbabul Wurud
Ibnu Umar Ra berkata, “Ada seseorang (bernama Habban bin Munqidz)
mengadu kepada Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bahwa ia tertipu dalam jual
beli. Lalu beliau bersabda, “Jika engkau berjual beli, katakanlah, “Jangan melakukan
tipu daya” (yakni penipuan). (Muttafaq ‘Alaih).
Ishaq menambahkan dalam riwayat Yunus bin Bakir dan Abdil A’la lafazh.
4. Status Hadits
Kuantitas hadis utamanya adalah Ahad Gharib karena, Gharib ialah hadits
yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad.
Sedangkan Matannya ada Keterkaitan antara hadis utama dan hadis penguat
yaitu apa bila ada dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar,
selama keduanya belum berpisah, dan apabila keduanya jujur dan menampakkan cacat
dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan
cacat dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya.
Jika di lihat dari kualitasnya hadis utama ini kualitasnya tergolong hadis shahih
5. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
Hakim bin Hizam dilahirkan di dalam Ka’bah, pada 12 tahun sebelum Tahun
Gajah. Kehidupan Hakim bin Hizam sebelum Islam sangat baik. Ia pun disebutkan
menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam Sayang,
ketika Islam datang, Hakim bin Hizam belum ditakdirkan mendapatkan hidayah,
sehingga ia masih bergabung bersama kafir Quraisy lain. Hanya saja, ia bukan seperti
Abu Jahal atau Uqbah bin Abi Mu’aith yang tangan dan lisan mereka sangat senang
menyakiti Nabi.
Hakim bin Hizam berbeda, karena nilai-nilai fitrahnya masih bagus. Hal itu
dibuktikan dengan banyaknya harta yang telah ia sedekahkan untuk orang-orang yang
membutuhkan dan ratusan budak yang dia merdekakan.
Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam sangat berharap orang-orang Quraisy yang
baik segera masuk Islam. Hal itu karena beliau sangat kasihan terhadap mereka, yang
sebenarnya punya hati yang baik, namun karena pengaruh lingkungan dan pergaulan,
akhirnya mereka-mereka yang berhati baik pun kalah dan ikut bersama orang-orang
yang jelek itu.
Kaum muslimin sudah hijrah ke Madinah, namun Hakim bin Hizam belum
juga masuk Islam. Dalam peperangan Badar, Hakim bin Hizam juga terpaksa ikut di
barisan kaum kafir Quraisy. Hanya saja, Allah berkehendak lain. Ketika Umayyah bin
Khalaf,
Utbah bin Rabi’ah dan Abu Jahal tewas, Hakim bin Hizam dibiarkan oleh Allah tetap
hidup, supaya kelak bila tiba masanya, ia akan menerima hidayah.
Telah berlalu perang Uhud, Khandaq, hingga penaklukan Khaibar, namun Hakim bin
Hizam belum juga mau beriman. Sedangkan Rasulullah masih senantiasa mendoakan
dirinya agar segera mendapatkan hidayah.
Doa Rasulullah lalu terjawab ketika kaum muslimin berhasil –dengan izin
Allah- menaklukkan kota Makkah pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Saat itu Hakim
bin Hizam termasuk golongan orang-orang Quraisy yang masuk Islam. Namun ada
satu perasaan yang amat mengganjal dalam diri Hakim. Ia pun membebaskan seratus
orang budak, menyedekahkan seratus ekor unta lengkap dengan barang bawaan yang
ada di punggungnya, lalu dia menemui Nabi dan mencoba mengutarakannya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan segala amal kebajikan yang aku lakukan
semasa jahiliah dan ibadahku saat itu, apakah aku bisa mendapatkan pahala darinya?”
Rasulullah mencoba mengobati kegundahan Hakim dengan berkata, “Engkau masuk
Islam dengan membawa serta kebaikanmu di masa lalu.”
Setelah itu semakin bagus keislaman Hakim, ia pun semakin dermawan, dan
pada akhirnya ia diberi usia panjang. Disebutkan, bahwa Hakim bin Hizam wafat
pada tahun 50-an Hijriah, dalam usia 120 tahun. Dengan perincian, 60 tahun dia
habiskan di masa jahiliah, sedangkan sisanya di dalam Islam.Semoga Allah meridhai
beliau.
6. Penjelasan Hadits
Di antara keistimewaan agama Islam adalah tentang kasih sayangnya kepada
ummat ini agar tidak menyusahkan mereka dalam berjual-beli. Dalam praktik jual beli
terkadang terjadi sebuah penyesalan baik oleh pihak penjual maupun pembeli
disebabkan kurang hati-hati, atau tergesa-gesa, atau sebab lainnya.
Dalam Islam prinsip berlakunya jual beli adalah atas dasar suka sama suka,
maka syariat Islam memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang
melakukan akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu antara
melanjutkan jual beli ataukah membatalkannya. Hak pilih ini dikenal dengan AL-
KHIYAR (HAK PILIH).
Definisi Al-Khiyar
Secara bahasa, Al-Khiyar bermakna memilih, menyisihkan dan mengayak/menyaring.
Secara umum, Al-Khiyar bermakna menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih)
untuk dijadikan peninjauan sebelum menentukan sikap.
Macam-Macam Al-Khiyar
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi Al-Khiyar menjadi tujuh jenis,
yaitu:
a) Khiyar Al-Majlis
b) Khiyar Asy-Syart
c) Khiyar Al-‘Aib
d) Khiyar At-Tadlis
e) Khiyar Al-Ghabn
f) Khiyar Fi Al-Bai’ Bi Takhyirits –tsaman
Materi ke 8
Larangan bersumpah dalam jual beli Bahan
Kajian:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
ِه َو َسل ََّم يَق ُو ُل إيِا َّ ُك أمFَى ال ََّّ ُل عَل َْْي َ ََِّلFََِّّّ ي أنَهَُّ َس ِم َع َرسُو َل ال
َّ صل ِ ِّ ار
ِ صَ َFع َْن أبَ ِي قتَاَدةَ اأْل َْْن
ََو َكثأ َرة
ق
ُ مح َ ق ث َُّم
َ يأ َِ Nَ ُفي ا ألب أيَ ِع فَإِنَّهُ ين
ُ ِف ِ فِ ِلحل
َ اأ
Artinya:
Dari Abu Qatadah Al Anshari, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang,
karena ia dapat melariskan (dagangan) dan menghilangkan (keberkahan). (HR.
Muslim).
4. Penjelasan Hadits
Hadits ini maknanya adalah bersumpah palsu atau banyak bersumpah untuk
melariskan penjualan (dalam perkiraan orang yang menjual) akan menghilangkan
berkah penjualan. Hilangnya berkah bisa dengan kerusakan hartanya atau ia
membelanjakan hartanya dalam hal yang tidak bermanfaat untuknya di dunia dan
akhirat, atau hartanya tetap tapi tidak bisa dimanfaatkan, atau harta itu diwarisi oleh
orang yang tidak ia suka.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas berisi larangan banyak
bersumpah dalam menjual dagangan. Karena sumpah tanpa ada hajat dihukumi
terlarang. Tujuan sumpah ini hanya ingin melariskan dagangan, namun maksud
sebenarnya adalah ingin mengelabui si pembeli dengan sumpahnya. Wallahu a’lam.”
Dan juga hadits di atas, kita dilarang untuk bersumpah dalam berjual beli,
konteks bersumpah pada hadits ini hanyalah agar menarik konsumen dan menjadikan
konsumen lebih percaya terhadap barang yang dijual. Seperti yang kita ketahui di
pasar para penjual bersumpah barang dagangan nya adalah kualitas terbaik tetapi
kenyataannya barang tersebut dicampuri dengan yang kualitas buruk, praktek inilah
yang akan menghapus keberkahan rezeki yang didapatnya. Dan para pedagang ini
termasuk dalam ciri-ciri orang munafik seperti dalam hadits.
ْ َلف َوإِذا
َِمنَ َخانFُُِ اؤت Fََْ ذب َوإِذاَ َو َع َد
َ أْخ َ ث َك ٌ ََق ثل
ََّ ث إ ِذاَ َحد
ِ ِآيةَُ ْال ُمناَف
Artinya : tanda-tanda orang munafik itu ada tiga jika berbicara ia berbohong, jika
berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat. (HR Bukhari)
Islam sangat menganjurkan supaya berniaga secara sehat dan melarang berniaga
secara bathil seperti dalam Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 29
ُٓ
ۗ اض ِّ ِم ْن ُك ْم
ٍ ارةً ع َْن ت َر Fََْ ِٰٓلFََََِّّٓ ٰ َُُك ْم ب ْيَن َُك ْم با ِ ْلبا َ ِط ِل اFَ ْم َوالFََْ ْٰٓوا اFُْ ٰ ْوا َل تأ َ ْ ُكلFُُْ ٰيٰٓا يَهَُّا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن
َ اْن ت َُكوْ نَ تِ َج
ُٓ
ُُِِك ْم َر ِح ْي ًماF اِن هال ََّل َكانَ ب Fَِّ َّ ۗ ْٰٓوا ا ْنَف َُس ُك ْمFُْ ٰ َو َل ت ْقَت ُل
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya ALLAH adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa’ :29)
Dalam ayat tersebut sudah jelas larangan berniaga atau jual beli secara bathil.
Dan Islam menganjurkan supaya kita berniaga secara jujur, adil, dan amanah. Berikut
adalah praktek-praktek dalam jual beli yang dilarang dalam Islam :
• Tallaqi rukban pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat
keuntungan dari ketidaktahuan dari kampung akan harga yang berlaku di kota
sehingga menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
• Mengurangi timbangan
• Menyembunyikan barang yang cacat dan penjual memberikan harga seperti
barang kualitas bagus
• Menukar kurma kering dengan kurma basah, ini akan mempengaruhi timbangan
nya
• Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas
sedang, dilarang karena harganya berbeda.
• Transaksi najasy penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar
dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
• Ikhtibar mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih
sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
• Ghaban faa-hisy (besar) menjual diatas harga pasar.
• Praktek-praktek diatas dilarang oleh islam karena akan merugikan orang lain dan
akan merusak harga dan nama baik penjual yang jujur. Jadi jauhilah praktek
tersebut agar kita mendapatkan rezeki yang halal dan mendapatkan keberkahan
dari Allah Ta’ala supaya harta yang kita punya berguna di dunia dan di akhirat
kelak dan kita terhindar dari laknat Allah Ta’ala.
Bahan Kajian:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
ََِّل قَا َل الَ إيِ َمانَ لِ َم أن َلFََِّ ِه َو َسل ََّم إFَى ال ََّّلُ عَل َْْي َ ََِّلFََِّّّ ِي الFُُِّّ َك قا َ َل َما َخطَبنَا َ نب
َّ صل َِ Fَ َع ْن أن
ٍ َِِس ْب ِن َمال
ُ َأ َمانةَ لهَُ َوالَ ِدينَ لِ َم أن اَل َع أه َد له
Terjemah:
" Tidaklah Nabiyullah (Muhamamad) shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di
hadapan kami kecuali beliau bersabda:" Tidak ada keimanan (yang sempurna) bagi
orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi seseorang yang tidak memenuhi
janji." (HR.
imam Ahmad )
2. Kosakata/Mufradat
َ خطَبنَا
َ : mengkhutbahi kami/ berkhutbah dihadapan
kami
َإيِ َمان : Iman
َِدين : Agama
3. Status Hadits
Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh imam Ahmad rahimahullah dalam
Musnad Ahmad, dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul
Jami' no. 7179, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 3004. Dan dinyatakan hasan oleh
syaikh al-Arna'uth rahimahullah dalam Ta'liq beliau terhadap Musnad imam Ahmad)
Melayani Rasulullah
Selama 10 tahun lamanya anas Bin Malik hidup bersama dan dengan setia melayani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun kenyataan bagaimana perlakuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Anas bukan seperti perilaku majikan terhadap pelayannya, melainkan seperti ayah
kepada anak yang disayanginya. Bahkan Rasulullah saw memiliki panggilan sayang
kepada Anas, yaitu Unais.
Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu
hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat, tetapi aku menuju
anakanak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul, aku ingin
bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah
anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku
menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tersenyum,
beliau bersabda, “Wahai Unais, apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?”
Maka aku pun salah tingkah aku menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Anas Bin Menyatakan, “Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau selama
sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Mengapa
kamu melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan,
“Mengapa kamu tinggalkan ini?” Dan Rasulullah saw apabila memanggil Anas,
memanggilnya dengan panggilan Unais, yaitu dengan panggilan yang penuh dengan
kasih sayang. Terkadang Beliau juga memanggilnya dengan panggilan wahai Anakku,
panggilan yang penuh dengan keakraban.
Walaupun beliau menjadi seorang pelayan dan pesuruh Rasulullah saw, dan tetap
dalam kedudukan itu sampai wafat beliau saw, Rasulullah tak pernah berucap kasar,
tidak pernah menegurnya tanpa ramah dan tidak pernah memberi tugas yang lebih berat
dari pada kemampuannya bekerja.
Selama Rasuluillah saw tinggal di Madinah, Anans tinggal bersama beliau saw. Oleh
karena itu kesaksian Anas menyingkapkan watak Rasulullah saw selama beliau
bermukim di Medinah sebagai seorang Utusan Allah dan sekaligus pemegang tampuk
kekuasaan.
Wafat
Setelah wafatnya Rasulullah saw, Anas Bin Malik menetap di Damaskus dan
kemudian ke Basrah. Pada tahun 93 H atau 712 M, di sana beliau jatuh sakit dan
meninggal. Beliau tinggal di kota Bashsrah hingga usianya lebih dari 100 tahun. Beliau
termasuk Sahabat Nabi yang paling akhir meninggal dunia.
Anas Bin Malik, namanya abadi dalam sejarah Islam, menjadi orang yang terpelajar
dan kaya-raya. Berumur panjang, dikarunia keturunan yang banyak dan sangat dihormati.
Itulah Anas Bin Malik, Sahabat Nabi yang mengabdikan hidupnya untuk melayani
Rasulullah saw.
5. Kandungan Hadits
Rasulullah mengisyaratkan dalam haditsnya bahwa keimananan seseorang masih
perlu dibuktikan dengan ujian menjaga kepercayaan. Bahkan seseorang dicap tidak
beriman manakala tidak mampu menjaga amanat.
Pengkhianatan amanat dalam beragam bentuknya merupakan hal yang terlarang dan
sangat dibenci oleh siapapun. Menurut Zamakhsyari, khianat secara bahasa berarti
AnNuqshan (kurang), sedangkan anonimnya amanat diartikan dengan At-Tamam
(sempurna). Ini berarti segala bentuk amanat agar tidak termasuk mengkhianatinya
haruslah dilaksanakan dengan sempurna dan sesuai dengan tuntunan dan tuntutan sang
pemberi amanat. Jika dilaksanakan apa adanya, cenderung asal-asalan dan tidak
sungguhsungguh meskipun ia telah menjalankannya, maka tetap saja berlaku istilah
khianat untuknya berdasarkan makna bahasa yang cukup tajam ini.
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:
ُٓ ُ َُ ْوا َلFُُْ ٰٰيٓايَهَُّا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن
ََُُموْ نFَ ْعلFََْ ْم تFُُْ ُُِِك ْم َوا ْنَتF ٰم ٰنتFََٰ ْٰٓوا اFُْ ٰ تخوْ ن
َ تخوْ ن ُوا هال ََّل َوال َّرسُوْ َل َو
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Anfaal: 27)
Ayat ini menyebutkan secara prioritas tingkatan amanah yang harus ditunaikan oleh
setiap orang yang beriman; amanah Allah, amanah Rasul-Nya dan amanah antar sesama
orang beriman.
Yang menarik dari redaksi ayat ini adalah bahwa perintah menjaga amanah langsung
menyebutkan lawan dari amanah yaitu khianat. Sehingga kata kunci dari ayat ini lebih
tertuju kepada larangan mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.
Makna Amanah
Secara bahasa, amanah berasal dari kata bahasa Arab: ْمَْن اFَ ِمنَ يأ َ َم ُْن أFََِ ً أyang berarti
aman/tidak takut. Dengan kata lain, aman adalah lawan dari kata takut. Dari sinilah
diambil kata amanah yang merupakan lawan dari kata khianat. Dinamakan aman karena
orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang amanah.
Amanah juga di artikan lawan dari khianat, dan asal kata al-Amnu adalah ketenangan
jiwa dan hilangnya rasa takut.
Secara istilah, ada sebagian orang yang mengartikan kata amanah secara sempit yaitu
menjaga barang titipan dan mengembalikannya dalam bentuk semula. Padahal
sebenarnya hakikat amanah itu jauh lebih luas. Amanah menurut terminologi Islam
adalah setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah Ta’ala seperti kewajiban-
kewajiban agama, atau dari manusia seperti titipan harta.
Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata tentang amanat dalam surat al-Mu'minuun ayat
8:" Semua hal yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya
adalah amanah, wajib bagi hamba tersebut untuk menjaganya dengan cara
melaksanakannya secara sempurna. Demikian juga masuk ke dalamnya amanah-amanah
Adamiyin (manusia), seperti amanah harta, rahasia dan lainnya. Oleh karena itu wajib
atas seorang hamba untuk memperhatikan dua hal ini dan menunaikan kedua amanah
ini. Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada
pemiliknya." (Tafsir as-Sa'di)
Kedudukan Amanah
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati orang-orang mukmin yang shalih yang Allah
tetapkan/taqdirkan bagi mereka keberuntungan, dan petunjuk (hidayah) di dunia dan
akherat, bahwasanya mereka menjaga amanat-amanat yang dibebankan kepada mereka
dan mereka menunaikannya kepada yang berhak dengan sebenar-benarnya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman: َٰم ٰنت ِه ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َرا ُعوْ نFََٰ Fََِْم ِلFُُْ َوالَّ ِذ ْينَ ه
" Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya."
(QS. QS. Al-Mu'minun: 8)
Keempat, Amanah merupakan kekayaan hakiki yang menandingi dunia dan seisinya.
Sebagaimana Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Empat hal jika dia ada dalam dirimu, engkau tidak merugi walupun kehilangan dunia:
Menjaga amanah, berkata dengan jujur, berakhlak yang mulia dan menjaga makanan
(dari yang haram).” (HR. Ahmad)
Kelima, Amanah merupakan salah satu kompentensi terpenting bagi seorang ‘amil
(pekerja).
Hal ini seperti dikisahkan di dalam Al-Qur’an ketika salah seorang putri Nabi Syu’aib
‘alaihis salam merekomendasikan Nabi Musa ‘alaihis salam agar diangkat menjadi
pekerja:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Surah Al-
Qasas:
ayat ke-26)
Materi 10 Hadits tentang Hukum Riba dan Bahayanya
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau
bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]
Penjelasan Kosakata/Mufradat
لَّ َمFFF ِه َو َسFَى هللاُ عَل َْْي َ ِ ُو ُل هللاFFF َع نَ َرسFFFَل.yakni beliau mendoakan orang-orang yang
َّ لFFFص
disebutkan dalam hadis di atas (yakni pemakan riba, wakil dan penulisnya, serta dua
orang saksinya) agar dijauhkan dari rahmat Allah.
Kesungguhan Jabir dalam berperang sudah tampak sejak beliau masih kecil, beliau
mempunyai keinginan yang kuat untuk ikut perang Badar tapir ayahnya tidak
mengizinkannya sebab usianya masih terlalu dini sehingga beliau diberi tuga untuk menjaga
saudara-saudar perempuannya yang berjumlah 9 orang. Saat perang Uhud sahabat Jabir juga
memaksa pada ayahnya agar diperbolehkan ikut perang tapir lagi-lagi beliau diberi amanah
untuk menjaga saudaranya, hingga akhirnya ketika ayahnya menjadi syahid beliau menangis
karena pada saat itu beliau tidak bisa membela agma Islamdan membantu ayahnya, namun
Rosulullah berkata” Apa yang menyebabkan engkau mengeluarkan air mata ? sementara
ayahmu disurga dengan syahid lainnya bergembira, tidakkah engkau senang aku menjadi
ayahmu dan Aisyah menjadi ibumu ?!”. Setelah kejadian iutu sahabat Jabir selalu ikut dalam
peperangan membela agama Islam melawan orang kafir dengan penuh semangat dan tidak
putus asa.
Sahabat Jabir juga termasuk salah satu dari 70 sahabat yang ikut Bai’at Aqabah yang
kedua bersama orang-orang Anshor. Dan pada saat itu beliau termasuk sahabat yang termuda
usianya.
Riwayat-Riwayatnya
Sahabat Jabir bin Abdullah termasuk urutan yang keenam dari 7 sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits, beliau meriwayatkan 1540 hadits dari Rosul, sementara ynag
disepakati oleh Imam Bukhori Muslim ada 60 Hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
sendiri ada 26 Hadits, dan Imam Muslim ada 126 Hadits. Sahabat Jabir mempunyai sebuah
Majlis yang ada dalam masjid, disitulah beliau mengamalkan hadits Rosul, sahabat Jabir
termasuk orang yang senag meneliti hadits Rosul dengan segala kemampuanya ia kerahkan
demi mendapatka kepastian mengenai sohih tidaknya suatu hadits. Pernah beliau mendengar
suatu hadits dari seorang laki-laki kemudian beliau menjual ontanya dan uangnya dipakai
sebagai bekal diperjalanan dalam proses mencari kebenaran hadits tersebut, setelah satu bulan
beliau sampai di Syam ternyata Hadits tersebut berasal dari Umair Al-Anshori.
Kewafatannya
Sahabat Jabir menghembuskan nafas terakhirnya tahun 77 Hijriyah dalam usia 94
tahun, beliau adalah sahabat yang terakhir wafat di Madinah, sebelum beliau wafat Abbas bin
Usman mengirim surat pada anak-anak Jabir agar tidak dimakamkan dulu sebelum dia
mensholatinya, hingga pada akhirnya Abbas pun datang dan mensholatinya.
Penjelasan Hadits
Riba merupakan perbuatan dosa besar dengan ijma’ Ulama, berdasarkan al-Qur`ân,
asSunnah. Dalil dari al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
ُ
أح َّل ال ََّّل ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِِّربَا
َ َو
Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari riba dan
memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
Para Ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya
riba. Riba itu termasuk kabâir (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba
diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-
Mawardi”. [al-
Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391]
Syaikhul Islam oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Melakukan riba hukumnya
haram berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah, dan ijma’.” [Majmû’ al-Fatâwâ, 29/391]
أ َ ْذنَ ُواFF ُوا فFَْم ت ْفَعلFََْ إ ْ ِن لFFَ﴾ ف٢٧٨﴿ َنيِنFFْم ُم ْؤ ِمFُُْ تFُا َ إِ ْن ك ُْْنFا بَقِ َي ِمنَ ال ِِّربFF َمFذُروا َُFَ َََّل َوFّ يا َ أيَُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن ُوا اتقَّ ُوا ال
ٍ ْبِ َحر
ب
ْ ظَلمونَ و َل ت
َظُ لَ ُمون َ ُ ِ ْ ُْم َل تFُْ ْم َوالِكFََْ ُْم فلَ ُك ْم ُر ُءوسُ أFُْ تFََُِّل َو َرس ُولِ ِه ۖ َوإِ ْن ت ُْْبFََِّّّ ِمنَ ال
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 278-279]
Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa yang menjadi hak orang yang berpiutang
adalah pokok hartanya saja, tanpa tambahan. Dan tambahan dari pokok harta itu disebut riba.
[Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, 4/6, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
al-Bassam]
Jika tambahan itu atas kemauan dan inisiatif orang yang berhutang ketika dia hendak
melunasi hutangnya, tanpa disyaratkan maka sebagian ahli fiqih membolehkan. Namun orang
yang berhati-hati tidak mau menerima tambahan tersebut karena khawatir itu termasuk
pintupintu riba, wallahu a’lam. [Lihat Fathul Bâri pada syarh hadits no: 3814]
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangan ini dalam khutbah
wada’ dan hadits-hadits lainnya. Sehingga kaum Muslimin bersepakat tentang keharaman
riba an-nasîah ini.
Riba ini juga disebut riba al-jahiliyyah, karena riba ini yang dilakukan oleh orang-
orang jahiliyah.
Riba ini juga disebut riba jali (nyata) sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim
dalam kitab I’lâmul Muwaqqi’in, 2/154. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/57]
Riba ini juga disebut dengan riba dain/duyun (riba pada hutang), karena terjadi pada hutang
piutang.
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang riba yang tidak diragukan
(keharamannyapen), dia menjawab, “Riba itu adalah seseorang memiliki piutang, lalu dia
berkata kepada orang yang berhutang, “Engkau bayar (sekarang) atau (pembayarannya
ditunda tapi dengan) memberi tambahan (riba)?” Jika dia tidak membayar, maka orang yang
berhutang memberikan tambahan harta (saat pembayaran), dan pemilik piutang memberikan
tambahan tempo. [I’lâmul
Muwaqqi’in]
Imam Ibnul ‘Arabi al-Mâliki rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyyah dahulu
biasa berniaga dan melakukan riba. Riba di kalangan mereka telah terkenal. Yaitu seseorang
menjual kepada orang lain dengan hutang. Jika waktu pembayaran telah tiba, orang yang
memberi hutang berkata, “Engkau membayar atau memberi riba (tambahan)?” Yaitu: Engkau
memberikan tambahan hartaku, dan aku bersabar dengan waktu yang lain. Maka Allâh Azza
wa Jalla mengharamkan riba, yaitu tambahan (di dalam hutang seperti di atas-pen). [Ahkâmul
Qur’an, 1/241, karya Ibnul ‘Arabi]
Dengan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa riba jahiliyyah yang dilarang
dengan keras oleh Allâh dan RasulNya adalah tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari
tambahan tempo yang diberikan, sementara tambahan tempo itu sendiri disebabkan
ketidakmampuannya membayar hutang pada waktunya. Jika demikian, maka tambahan uang
yang disyaratkan sejak awal terjadinya akad hutang-piutang, walaupun tidak jatuh tempo,
yang dilakukan oleh bank, BMT, koperasi, dan lainnya, di zaman ini, adalah riba yang lebih
buruk dari riba jahiliyyah, walaupun mereka menyebut dengan istilah bunga.
. م آ ِك َل ال ِِّربا َ َو ُمو ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َو َشا ِهد ْيَ ِه َوقا َ َل هُ ْم َس َوا ٌءFَ َّ ِه َو َسلFَى هللاُ عَل َْْي َ ََِّلFََِّّّ ابِر قا َ َل لَ َعنَ َرس ُو ُل ال
َّ صل ٍِFٍ ع َْن َج
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau
n bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]
ْ فُر
،ُالغلُ ُول: َُFَ ب التَّ ِي َل ت ُْغ
َ ي َوالذ ُّن ُو َ َّ ”إيِا: ِه َو َسلَّ َمFَى هللاُ عَل َْْي
َّ صل َ ََِّلFََِّّّ قا َ َل َرسُو ُل ال: قا َ َل،ك ٍ ِف بن َمال ِ ْع َْن عَو
ث َُّم,” ُا ً يت ََخبَّطF ِة َمجْ ن ُونFث يَوْ َم ْالقِيا َ َم َ ِعFُُِ َوآ ِك ُل ال ِِّربا َ فَ َم ْن أ َك َل ال ِِّربا َ ب،يْو َم ْالقِيا َ َم ِةFََْ فَ َم ْن َغ َّل َشيْئا ً أتَ َى ب ِه
:َق َرأ
ِ ِّ “الَّ ِذينَ يأ َ ْكلُوُنَ ال ِِّربا َ َل يقَ ُو ُمونَ إِ َل َك َما يقَ ُو ُم الَّ ِذي يت ََخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َم
”س
Dari ‘Auf bin Malik, dia berkata: RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang
sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu
barang, dia akan membawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba. Barangsiapa
memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan
sempoyongan.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang
artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
(alBaqarah/2:275) [HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabîr, no. 14537; al-Khatib
dalam atTârîkh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah, no.
3313 dan Shahîh at-Targhîb, no. 1862]
Fََْ ََِكFَََِّل ۖ َو َم ْن عَا َد فأ َ ُو ٰلِئFََِّّّ ْم ُرهُ إلِ َى الFََْ س لَفَ َوأ
أْص َحابُ النا َّ ِر ۖ هُ ْم َ َى فلَهُ َماFٰ َب ِّ ِه فا َ ْنته
ِ فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َر
َفيِهَا خَالِدوُن
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya. [al-
Baqarah/2:275]
Inilah berbagai ancaman mengerikan bagi pelaku riba. Alangkah baiknya mereka
bertaubat sebelum terlambat. Sesungguhnya nikmat maksiat hanya sesaat, namun akan
membawa celaka di dunia dan di akhirat. Hanya Allâh Azza wa Jalla tempat memohon
pertolongan.
أجمع العلماء على أن المسلف إذا شرط عشر السلف هدية أو زيادة فأسلفه على ذلك أن أخذه الزيادة ربا
“Para ulama sepakat bahwa jika seseorang yang meminjamkan utang dengan
mempersyaratkan 10% dari utangan sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia
meminjamkannya dengan mengambil tambahan tersebut, maka itu adalah riba.” (Al-Ijma’,
hal. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
ٍ َ بِ َغي ِْر ِخل، فَه َُو َح َرا ٌم، َُيِزيده Fََْ ض َش َرطَ فيِ ِه ُ
ف َِ Fَ أْن ٍ ْرFََْ َوكلُّ ق
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa
diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)
Jika tambahan bukan prasyarat awal, hanya kerelaan dari pihak peminjam saat
mengembalikan utang, tidaklah masalah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Raafi’
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seseorang unta yang
masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu
Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya
lebih baik, -pen).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab,
Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan sebutan
asSaghadi, menyebutkan dalam kitab an-Nutf bahwa riba menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Riba dalam hal peminjaman.
2. Riba dalam hal hutang.
3. Riba dalam hal gadaian.
Abu Bakar al-Jashshash rahimahullah berkata, “Riba yang dulu dikenal dan dilakukan
oleh orang-orang Arab hanyalah berupa pinjaman dirham dan dinar sampai batas waktu
tertentu dengan memberikan sejumlah tambahan dalam pinjaman sesuai dengan kesepakatan
mereka. Ini adalah riba nasi-ah dan riba seperti ini sangat masyhur di kalangan orang Arab
pada masa Jahiliyyah, dan ketika al-Qur-an turun, maka datanglah pengharaman ini.
Sifat (gambaran) yang kedua misalnya, si pemberi pinjaman mengambil manfaat
(keuntungan) pribadi dari pinjaman yang ia berikan.
Misalnya, seseorang meminjam sejumlah uang dari orang lain, lalu Muhammad (si pemberi
pinjaman) meminta kepada orang tersebut agar ia menjual sesuatu miliknya kepadanya atau
memberinya sesuatu ataupun yang lainnya sebagai imbalan dari pinjaman yang ia berikan
kepadanya. Maka ia telah mengambil keuntungan pribadi dari pinjamannya, dan ini termasuk
riba.
Riba Dalam Hal Hutang
Bentuk riba kedua ialah riba dalam hal hutang, yaitu seseorang menjual barang
kepada orang lain dengan cara diakhirkan pembayarannya, ketika waktu pembayaran tiba si
pemberi hutang memintanya untuk segera melunasi hutangnya dengan berkata, “Berikan aku
tambahan beberapa dirham,” maka perbuatan ini juga termasuk riba.
Misalnya seseorang meminjam uang dari orang lain sebesar 10.000 riyal dan akan
dibayar pada waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan). Ketika waktu pembayaran hutang
telah tiba, ia tidak mampu untuk membayarnya, lalu ia (si pemberi pinjaman) berkata
kepadanya, “Engkau bayar hakku sekarang atau engkau harus memberiku tambahan atas
10.000 riyal yang engkau pinjam dan waktu pembayarannya akan diakhirkan lagi.” Maka ini
juga termasuk riba.
Materi 11
Hadits tentang Salam/Salaf (Jual Beli Pesanan)
B. Kosakata/Mufradat
: Tiba/datang قَ ِد َم
: mereka
memimjamkan َي ْ ُسلِفوُن
: buah-buahan ِما ُرFََِ ِّالث
: tahun ُ َالسَّنة
: memimjam َ ْسFََْ أ
لف
: Kurma ْم ٌرFََْ ت
: Takaran َك ْي ٌل
: Timbangan َو ْز ٌن
: masa tertentu إِل َى أ َج ٍل َمعْل ُو ٍم
C. Status Hadis
Kuantitas Hadits Bukhari No. 2085 ini termasuk Hadits Mutawatir. Mutawatir ialah
hadits yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan perawinya, dan mustahil
mereka bisa berkumpul untuk berdusta membuat hadits itu. Kualitas Hadits Bukhari
No. 2085 ini termasuk Hadits Shahih.
D. Asbabul wurud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah pada saat hijrah, dan
beliau mendapati penduduk Madinah terbiasa untuk melakukan salaf, yaitu terbiasa
melakukan budidaya buah-buahan dan tanaman layak jual lainnya. Pada umumnya
mereka terbiasa untuk menyerahkan uang panjar dan menangguhkan (penyerahan) buah-
buahan yang dijualnya dalam tenggang waktu setahun, dua tahun atau tiga tahun. Dalam
hal ini rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa jual beli dengan cara
ini bukan termasuk jual beli barang yang belum ada (barangnya) ditangan penjual yang
akan dapat menjurus kepada penipuan, karena jual beli salaf ini bergantung kepada
jaminan dan bukan pada barang yang diperjualbelikan.
Periode Khilafah
Para khulafaur rasyidin sangat menghormati Ibnu Abbas. Ia selama periode
khilafah, menduduki posisi Ifta (mengeluarkan fatwa). Ia termasuk orang-orang yang
pendapatnya didengarkan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh
khalifah ke dua dan ketiga. Pada tahun 35 H/655 ketika Utsman terkepung, Ibnu Abbas
menunaikan ibadah haji atas nama (niyabah) Utsman.
Ibnu Abbas pada akhir kehidupannya buta. Ia hidup di Mekah. Ia menyaksikan perang
antara Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwan. Abdullah bin Zubair
menginginkan baiat dari Ibnu Abbas namun ia menolaknya, sehingga mengungsikan ke
Thaif. Sebagian sejarawan melaporkan bahwa Ibnu Abbas meninggal di Thaif pada tahun
68 H/687 dan ketika ia berusia 70 tahun.
F. Syarah Hadis
Salaf (pinjaman) dengan menggunakan fathah yang berarti pesanan dalam segi
wazan dan maknanya. Imam Jazri berkata dalam kitab An-Nihayah; pesanan itu sama
seperti halnya kamu memberikan emas dan perak, atas barang dagangan yang telah
diketahui dan batas yang telah ditentukan.
Maksud dari pengqiyasan pada hadis ini yakni tidak diperbolehkannya melakukan
aqad tersebut, dikarenakan di dalamnya terdapat jual beli sesuatu yang tidak terlihat.
Kecuali ada riwayat lain yang membolehkan malakukan aqad tersebut. Ayat-ayat
Madaniyyah dalam Surat Al-Baqarah mengindikasikan terkait diperbolehkannya
melakukan aqad itu.Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas Ra. Mengatakan;
Rasulullah Saw sampai di Madinah dari Mekah setelah hijrah dan mereka meminjam
atau memesan buah-buahan.Sedangkan dalam riwayat hadis Imam Bukhari dan Muslim
meraka meminjam buah-buahan dalam jangka waktu satu sampai dengan tiga tahun.
Begitupun dalam kitab Al-Misykah, barang siapa yang melakukan salaf maka
lakukanlah dengan takaran dan timbangan serta masa yang diketahui.Hal tersebut
menunjukan wajibnya menentukan takaran dan timbangan dan jangka waktu yang telah
ditentukan.Dikarenakan apabila ada salah satu yang tidak ditentukan maka rusaklah aqad
jual beli tersebut.
Imam An-Nawawi berkata dalam syarah Shahih Muslim; melihat hadis
sebelumnya menunjukan bolehnya melakukan aqad salam (pesanan), dengan syarat
takaran, timbangan serta jangka waktu yang diketahui secara jelas ataupun lainnya yang
berkaitan dengan barang tersebut. Jika barang itu merupakan sesuatu yang memiliki
ukuran seperti baju, maka disyaratkan untuk menyebutkan ukurannya yang sesuai.Akan
tetapi apabila barang tersebut merupakan sesuatu yang dapat dihitung atau ditimbang
seperti hewan maka disyaratkan untuk menyebutkan jumlah atau timbangan yang sesuai.
Makna hadis tersebut yakni apabila memesan barang yang dapat diukur atau
ditimbang, maka timbangannya harus diketahui.Apabila barang tersebut merupakan
sesuatu yang ada temponya, maka batas waktunya harus diketahui, dan tidak boleh
mensyaratkan atau memberi syarat kepada barang pesanan pada batas yang
ditangguhkan.Akan tetapi lebih baik ditentukan terlih dahulu, karena jika boleh
menangguhkan pada batas waktu ketika memesan barang tersebut supaya tidak
terjadinya unsur penipuan.Penjelasan hadis sebelumnya tidak adanya penyebutan tempo
atau batas waktu untuk syarat adanya penangguhan pada tempo tersebut.Akan tetapi
apabila adanya batas waktu pada barang yang dipesan maka harus sesuai.
Para ulama berbeda pendapat terkait menghukumi aqad salam (pesanan) yang
masanya seketika ditentukan dengan hasil Ijma` mereka atas diperbolehkannya memesan
barang yang temponya tersebut ditangguhkan. Ulama yang membolehkan memesan pada
batas waktu yang ditentukan adalahImam Asyafi`i, Imam Ahmad serta Ishak.Sedangkan
sebagian ulama yang melarang terkait menangguhkan suatu barang pesanan yakni Imam
Malik, Imam Abu Hanifah dan yang lainnya.
)ال َّسلَفyang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari.
Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
Fََٰ ِْم ب ِد ْيَ ٍن إFُُْ يا َ أيَهَُّا الَّ ِذينَ آ َمن ُوا إ ِذاَ ت َداَي ْنَت
ُلٰى أ َج ٍل ُم َس ًّمى فا َ ْكتبُ ُوه
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-Baqarah/2:282].
Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini
sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga
tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân.
(Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara
tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. (Hadits ini dishahihkan
al-
Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau t mengatakan, “Hadits ini
dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18).
Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah
tidak dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai, baik
pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah penyerahan
barang maka itu dinamakan bai’us salam.
b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :
َم ْن: ِن فَ قا َ َلFَار السَّنةَ َوالسَّنتَ َْْي ِ َْم ي ْ ُسلِفوُنFُُْ ِه َو َسل ََّم ْال َم ِدينةَ َوهFَى هللاُ عَل َْْي
ِ ِمFََِ ِّفى الث َّ صلَ َِّىFُُِّّ ِد َم النبFََِ ق
لى أ َج ٍل َمعْل ُو ٍم َ ِفى َك ْي ٍل َمعْل ُو ٍم َو َو ْز ٍن َمعْل ُو ٍم إ ِ ف ْ َِْر ف ْلَي ْ ُسل
ٍ ْمFَ فى ت
ِ لف َ ْسFََْ أ
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah
telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau
Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia
memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah
pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]
c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti
diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan
penukilan ijma’ ini. Beliau t menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat
menyatakan as-salam itu boleh.”
d. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan
kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena
kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang
yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai
sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih
murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
mengatakan, “Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan
dan kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan
kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba dan
seluruh larangan Allâh.
KEBUTUHAN MASYARAKAT TERHADAP BAI’US SALAM
Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang yang
memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang cukup untuk
menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Mereka ini bisa menjual sampel produk mereka
(sebelum ada produk dalam jumlah besar) dan mendapatkan uang kontan. Uang kontan ini
bisa mereka manfaatkan untuk menyiapkan bahan baku dan biaya operasinal pengadaan
produk, seperti untuk membeli bibit, alat, pupuk dan lain-lain; Bisa juga untuk memenuhi
kebutuhan diri dan keluarga selama proses pengerjaan produk tersebut. Kemudian setelah
produk siap, mereka bisa menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah
ditentukan. Apabila produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan
mendapatkan produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam
fihi) tidak boleh ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja.
Bila melihat praktik jual beli salam diatas, kita dapati kemaslahatan atau keuntungan
akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh kemaslahtan dan keuntungan
berupa:
1. Mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara halal. Sehingga ia dapat
menjalankan dan mengembangkan usaha tanpa terlibat riba (bunga). Sebelum jatuh
tempo, penjual dapat menggunakan uang ini untuk menjalankan usahanya dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan cukup lama.
3. Tidak perlu upaya dan mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan produk,
karena telah dibeli sebelumnya.
Pembeli pun memperoleh keuntungan dan manfaat, seperti:
1) Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat
waktu.
2) Mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga lebih murah bila dibandingkan
membeli saat membutuhkan barang itu, karena:
a. Pembeli telah memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan) tersebut,
padahal bisa saja ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan lain. Sehingga
pantas bila pembeli mendapatkan harga lebih murah.
b. Pembeli komitmen membeli produk tertentu padahal itu beresiko. Sebab bisa
saja, ketika barang diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena stok
barang banyak atau permintaan kurang.
c. Terkadang, pembeli terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan
barang yang telah dipesan itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan
pribadinya saja.
Dengan ini nampak jelas bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk
menyatukan dua unsur penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan metode
yang diterima semua pihak terkait dalam pembagian hasil.
Namun perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing
ikan di air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan modal
cepat.
Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal “memanfaatkan” jual beli salam
sebagai sarana menekan harga barang hingga sangat terpuruk. Seandaianya bukan karena
kebutuhan mendesak, tentu mereka menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa
dibenarkan dan terlarang karena masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam
keadaan terpaksa).
Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo
penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
َ إلى
أج ٍل َمعْل ُو ٍم
sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
Fََٰ ِْم ب ِد ْيَ ٍن إFُُْ يا َ أيَهَُّا الَّ ِذينَ آ َم ن ُوا إ ِذاَ ت َداَي ْنَت
ُلٰى أ َج ٍل ُم َس ًّمى فا َ ْكتبُ ُوه
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [al-Baqarah/2:282]
Ayat dan hadits diatas menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam
jual beli salam.
• Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada
waktunya. Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat
jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek
tipumenipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at
Islam.
Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka
jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini
juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela.
Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan
pembeli pasti dilarang.
• Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab
penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan
pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki
kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran
atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya
yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain. Persyaratan ini ditetapkan agar
akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh
tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya
atau dari perusahaannya.
Contoh :
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu
misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti
ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual
belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda
dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria
tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang
diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena
barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah
gharar.
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan menyatakan
produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila produk perusahaan
besar yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli mobel mercy seri 200
model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan
selainnya.
Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad
berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat
penyerahannya dalam akad tersebut.
Apabila bisa terjadi kesepakatan tentang tempat penyerahannya maka
diperbolehkan menetapkannya dan bila tidak terjadi kesepakatan maka kembali
ketempat akad terjadi apabila memungkinkan.
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam,
semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini.
D. Kandungan Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan sifat-sifat
tersebut di atas, bahkan semua itu termasuk sifat-sifat utama yang dimiliki oleh
orangorang yang bertakwa, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
ُ ْ
ُِّحبFُُِ س َو ال ََّّل ي
ِ َّ ظَ َو ْالعاَفيِنَ َع ِن الناFَاظ ِمينَ ْالغ َْْي
ِ ضرَّا ِء َو ْال َك ِ َالَّ ِذينَ ينُفِقوُن
َّ في ال َّسرَّا ِء َوال
َْال ُمحْ ِسنيِن
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang (selalu) menahan amarahnya,
serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (Qs. Ali ‘Imran: 134).
‘Sabda Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam ( ص َدقَةٌ ِم أن َما ٍل َ َ‘ ) َما نSedekah
َ قص أت
tidak akan
mengurangi harta’. Para ulama menyebutkan ada dua makna berkaitan dengan hadits ini.
Pertama, Sesungguhnya Allah akan memberkahi hartanya dan mencegah
kemudhorotan menimpanya. Maka Allah akan menggantikan kekurangan jumlah
hartanya dalam bentuk keberkahan yang tidak terlihat pada hartanya (yang lain –pen),
hal ini ini dapat kita ketahui baik secara inderawi dan kebiasaan.
Kedua, sesungguhnya jika berkurang jumlahnya maka pahala akan menambal
kekurangan hartanya dan ditambahkan baginya pahala dengan kelipatan yang
berlipat ganda
Allah Ta’ala berfirman,
ْ
ِ َُ َو ي ُخلِفهُُ َوهُ َو خَ ْي ُر الرFَْم ِم ْن َش ْي ٍء فُهFُُْ فَ ْقتFََو َما أ َْْن
ََّازقيِن
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan
Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba’: 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia
dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713).
Kata al-‘afwu (memaafkan) artinya memaafkan perbuatan salah dan tidak
menghukumnya, asal maknanya secara bahasa: menghapus dan menghilangkan
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia
dimuliakan dan diagungkan di hati manusia, karena sifatnya yang mudah memaafkan
orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi
Allah Ta’ala.
Arti tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah adalah merendahkan diri dari
kedudukan yang semestinya pantas bagi dirinya, untuk tujuan menghilangkan sifat ujub
dan bangga terhadap diri sendiri, dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya, dan bukan
untuk kepentingan duniawi.
Adapun arti ketinggian derajat orang yang merendahkan diri, karena Allah Ta’ala
di dunia adalah dengan ditinggikan dan dimuliakan kedudukannya di hati manusia karena
sifat tersebut, dan di akhirat dengan pahala yang agung dan kedudukan yang tinggi di
sisiNya. Ini termasuk sifat orang-orang yang bertakwa.
Allah Ta’ala
ًاداFFفس ِ ًل ِّ ُواFFدوُنَ ُعFF ُِِريFُ َِّذينَ َل يFَِّ FFا لِلFFَُ َرةُ نَجْ َعلهFFداَّ ُر اآْل ِخFFكَ الFFتِ ْل,berfirman
ِ ْرFََْ في اأْل
َ ض َو َل
َينFَََِّّو ْالعاَقبِةَُ لِ ْل ُم تِق
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu
(surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Qashash: 83).
E. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
1. Hadits di atas memberikan motivasi untuk berinfaq. Bukhari sendiri membawakan
hadits ini dalam Bab “Motivasi untuk bersedekah (mengeluarkan zakat) dan
memberi syafa’at dalam hal itu”. An Nawawi membuat bab untuk hadits ini
“Motivasi untuk berinfaq (mengeluarkan zakat) dan larangan untuk menghitung-
hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan).”
2. Hadits ini menunjukkan tercelanya sifat bakhil dan pelit.
3. Hadits di atas menunjukkan bahwa al jaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan
amalan perbuatan.
4. Ibnu Baththol menerangkan riwayat pertama di atas dengan mengatakan, “Janganlah
engkau menyimpan-nyimpan harta tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya).
Janganlah engkau enggan bersedekah (membayar zakat) karena takut hartamu
berkurang. Jika seperti ini, Allah akan menahan rizki untukmu sebagaimana Allah
menahan rizki untuk para peminta-minta.”
5. Menyimpan harta yang terlarang adalah jika enggan mengeluarkan zakat dan
sedekah dari harta tersebut. Itulah yang tercela
6. Hadits ini menunjukkan larangan enggan bersedekah karena takut harta berkurang.
Kekhawatiran semacam ini adalah sebab hilangnya barokah dari harta tersebut.
Karena Allah berjanji akan memberi balasan bagi orang yang berinfaq tanpa batasan.
Inilah yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani.
7. Hadits di atas menunjukkan bahwa yang mesti diprioritaskan adalah menunaikan
sedekah yang wajib (yaitu zakat) daripada sedekah yang sunnah.
8. Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini menunjukkan sedekah (zakat) itu dapat
mengembangkan harta. Maksudnya adalah sedekah merupakan sebab semakin
berkah
dan bertambahnya harta. Barangsiapa yang memiliki keluasan harta, namun enggan
untuk bersedekah (mengeluarkan zakat), maka Allah akan menahan rizki untuknya.
Allah akan menghalangi keberkahan hartanya. Allah pun akan menahan
perkembangan hartanya.”
9. Sedekah tidaklah mengurangi harta. Artinya harta tersebut akan diberkahi dan akan
dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan
ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan kebiasaan.
10. Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan
ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang
amat banyak.