ID Politik Kehutanan Dalam Penegakkan Hukum
ID Politik Kehutanan Dalam Penegakkan Hukum
Abstrak
Penyelamatan bumi yang semakin panas akibat berkurangnya pohon penyerap karbondioksida dan gas rumah
kaca yang banyak ditebang, sejatinya, adalah karena ulah manusia dengan dalih untuk peningkatan ekonomi
dan perluasan lapangan pekerjaan bahkan perumahan liar. Padahal, upaya pengalihan fungsi hutan yang
tidak sesuai dengan konsep lestari lingkungan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan fungsi lahan hutan dengan merusak
lingkungan hidup menjadi lahan perkebunan maupun lahan pertanian merupakan salah satu penyebab
munculnya deforestasi yang menjadi isu sentral dunia, karena Indonesia menjadi salah satu negara penyebar
pencemaran lingkungan melalui asap kebakaran hutan. Sebagaimana diketahui, setiap perubahan maupun
pengalihan fungsi hutan, seperti penebangan pohon secara liar, merusak permukaan tanah dan membakar kayu
atau hutan tersebut untuk percepatan perluasan lahan, sungguh tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, termasuk pembakaran kayu hutan secara liar yang menyebabkan kebakaran
juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan
menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan peraturan perundang-undangan, maka, tampak dengan
jelas betapa perubahan-perubahan terhadap fungsi lahan yang merusak lingkungan secara deforestasi dapat
segera dihentikan dengan upaya penegakkan hukum secara maksimal melalui peraturan perundang-undangan.
Abstract
Save the earth is getting warmer due to reduced trees absorbing carbon dioxide and greenhouse gases, where
the trees are used to absorb carbon dioxide and parse geothermal has been cleared for the benefit and human
greed itself in order to survive. And people really do not realize the importance of the forest, so that forests are
used as well as a pretext for economic improvement and expansion of employment opportunities as well as
good business for plantations, agriculture, illegal housing even without considering the concept of sustainable
forest environment both flora and fauna. Also do not care if there is a disaster that will befall the human-caused
forest diversion efforts are not in accordance with the concept of environmentally sustainable and not based
on Law No. 32 of 2009 on the Protection and Management of theEnvironment. Changes in forest land with
environmental damage to plantations and farmland is one cause of deforestation. Indonesian deforestation is
also a central issue in the world, because Indonesia has one of the spreader environmental pollution through
forest fire smoke. Therefore, any change or conversion of forest to land that is not used for the benefit of the forest
itself is deforestation. Change or transfer of forest functions such as illegal logging, damage the soil surface, and
burning wood or forest land for expansion acceleration, indeed it is not in accordance with Law No. 41 Year 1999
on Forestry, including the burning of forest wood wild causing a fire is also not in accordance with Law No. 24
of 2007 on Disaster Management, due to the presence of forest fires is one of the scope of the disaster response
in both the regional and national levels.Of changes to land use are environmentally destructive deforestation was
time to be stopped by law enforcement efforts to the maximum through legislation, which will be able to suppress
the reduction of disaster risk and deforestation are not desired by our country.
2009-2011. Bahkan pada 2012 mencapai 0,84 Ordonansi hutan 1927 dan sampai pada Undang-
hektar. Sungguh sebuah angka yang fantatis undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
dan ironis untuk sebuah ukuran kemunduran PERPU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
dalam penurunan hutan atau penurunan sumber Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999,
daya alam yang lain termasuk kerusakan daerah terakhir Undang-Undang Nomor 19 Tahun
aliran sungai, rusaknya ekosistem atau rusaknya 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti
keanekaragaman hayati hutan. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
penurunan hutan dianggap sebagai akibat sistem Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
sumber daya alam --- khususnya hutan --- sebagai Undang. Kemudian, ditambah dengan munculnya
sumber pendapatan yang dapat dieksploitasi, baik Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
untuk kepentingan politik maupun keuntungan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pribadi. Kondisi semacam ini, sudah barang dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentu dapat membuat hutan mengalami degradasi tentang Penanggulangan Bencana.
secara besar-besaran. Bahkan menjadi sebuah Adanya pemberlakuan beberapa
kebencanaan secara ekologis. Padahal, bencana peraturan perundang-undangan di atas, ternyata,
ekologis tersebut menimbulkan korban jiwa tidak menyurutkan permasalahan deforestasi di
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta Indonesia. Padahal, pemerintah sudah berusaha
benda, dan dampak psikologis. Dalam hal ini, untuk bertanggung jawab sesuai amanah alenia
bencana ekologis itu disebabkan karena alih ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
fungsi hutan pada dataran tinggi, kehilangan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
hutan mangrove (bakau), dan pendangkalan serta sebagai berikut.
penyempitan sungai. Kesemuanya ini bermura
pada penataan ruang yang tidak terkendali, “Pemerintah atau Negara Kesatuan
Republik Indonesia melindungi segenap
sehingga menyebabkan terganggu keseimbangan bangsa dan seluruh tumpah darah
ekosisitem yang berdampak menimbulkan Indonesia, memajukan kesejahteraan
bencana alam (Joewono, Benny N (ed). 2013. umum, mencerdaskan kehidupan
“Walhi: 3.846 Desa Indonesia Dilanda Bencana bangsa dan ikut melaksanakan
Ekologis” dalam http://regional.kompas.com/ ketertiban dunia yang berdasarkan
read/2013/06/03/03140443 /walhi.3.846.Desa. kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial”
indonesia dilanda.bencana.ekologis, diakses 11
Oktober 2014).
Tidak hanya sekadar peraturan perundang-
Di samping itu, degradasi hutan yang
undangan, pemerintah, dalam hal ini Kementerian
dimulai pada saat pembaharuan kebijaksanaan
Lingkungan Hidup telah mensosialisasikan
kehutanan selama 32 tahun Orde Baru berkuasa,
program nasional, yaitu Program Menuju
terlihat dengan jelas betapa sektor kehutanan
Indonesia Hijau (MIH) pada April 2013. Program
menempati peranan penting dalam perekonomian
ini telah dicanangkan oleh Presiden Susilo
Indonesia. Sepanjang waktu itu, hutan, seperti
Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari
juga sumber daya alam lainnya, dikuras habis-
Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2006 (Situs
habisan karena industri pembangunan kehutanan
Kementrian Lingkungan Hidup. 2014. “Program
pada masa Orde Baru dibangun semata-mata
Menuju Indonesia Hijau” dalam www.menlh.
hanya untuk mengejar nilai ekonomis, mengabdi
go.id/program-menuju-indonesia-hijau/. Diakses
pada orientasi ekspor dan demi memenuhi
tanggal 11 Oktober 2014). Kenyataannya, masih
pembayaran utang luar negeri, yaitu sejak
sering kali terjadi banyak persoalan-persoalan
berlakunya pelaksanaan Undang-undang Pokok
deforestasi yang tidak tertangani dengan baik
Kehutanan Nomor 5 tahun 1967. Jika dirunut
berdasarkan peraturan perundang-undangan
dengan saksama, sejatinya, degradasi itu sendiri
tersebut. Termasuk program pemerintah yang
terjadi sejak pemerintah Hindia Belanda dengan
belum juga menunjukkan perbaikan yang
munculnya Reglemen Hutan 1865, 1847, 1897,
signifikan.
Oleh karena itu, untuk menjawab menyangkut penguasaan hutan oleh negara telah
bentuk penegakkan hukum lingkungan beserta terjadi penyimpangan-penyimpangan, baik yang
pengendalian pengurangan risiko bencana, maka, dilakukan oleh pembuat kebijaksanaan maupun
penulis menggunakan metode yuridis normatif pelaksana dari kebijaksanaan tersebut. Oleh karena
(Johny Ibrahim, 2005), dengan pendekatan itu, munculnya pelbagai persoalan yang dihadapi
peraturan perundang-undangan (statute approach) sektor kehutanan di Indonesia tidak terlepas
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dari salah langkah (blunder) yang dilakukan
yang beranjakk dari pandangan-pandangan dan oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu kehutanan selama ini (Hasanudin, 1996). Akibat
hukum. dari salah langkah dalam menetapkan suatu
Sementara, sumber bahan hukum kebijakan, maka, kenyataan tersebut telah memberi
dalam tulisan ini berupa bahan hukum primer, peluang bagi lahirnya berbagai kebijaksanaan
yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, yang mengesampingkan kepentingan masyarakat
Lembaran Negara Tahun Nomor 167, Tambahan sebagai tema pokoknya.
Lembaran Negara Nomor 3888 juncto Undang- Kebijaksanaan ini telah menyebabkan
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang rusaknya ekosistem hutan tropik Indonesia serta
Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun menimbulkan dampak sosial yang cukup luas
2009, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
140, Tambahan Lembaran Negara Nomor Di samping menyuburkan eksploitasi sumber
5059 tentang Perlindungan dan Pengelolaan daya alam --- khususnya pembangunan ---
Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor kehutanan juga memberi peluang bagi lahirnya
4 Tahun 2001 Lembaran Negara Tahun 2001 berbagai kebijaksanaan yang mengesampingkan
nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor kepentingan masyarakat di sekitar hutan (Nurjaya,
4076, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, 1993). Sebagaimana kita ketahui, berbagai dalih
Lembaran Negara Nomor Tahun 2007 Nomor 66, yang mengatasnamakan pembangunan sering kali
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4723 tentang harus membutuhkan pengorbanan bagi sebagian
Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang masyarakat demi tercapainya pembangunan
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan tersebut. Oleh karena itu, pola pembangunan
Pemberantasan Perusakan Hutan. konvensional merupakan pola yang telah
usang dan harus segera digantikan dengan pola
Hubungan antara Kekuasaan Negara Terhadap pembangunan alternatif, yaitu pola pembangunan
Pembangunan Hutan dengan Deforestasi yang berkelanjutan (sustainable development).
Sebagaimana kita ketahui bersama, walau Apabila hal tersebut dikaji dengan lebih
perhatian terhadap masalah ini masih sangat mendalam, adanya eksploitasi sumber daya hutan
terbatas, sejatinya, hubungan antara politik dan yang begitu besar berawal pada penguasaan negara
hukum merupakan suatu keniscayaan. Meminjam terhadap sumber daya alam ---khususnya hutan
Alfian (1978), mengingat hubungan antara --- secara konstitusional diatur pada UUD Negara
politik dengan hukum berjalan dalam dua arah, Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3).
maka, kedua aspek kehidupan itu sudah barang Hal ini tidak jauh berbeda dengan Undang-undang
tentu saling memengaruhi. Namun, karena apek Nomor 41 Tahun 1999 --- khususnya pada pasal 4
hukum dari kehidupan merupakan indikator ayat (1) dan (2) yang berbunyi.
dalam pertumbuhan kesejahteraan masyarakat, (1) Semua hutan di dalam wilayah Republik
maka, untuk merunut pelbagai faktor yang Indonesia termasuk kekayaan alam yang
memungkinkan tumbuhnya kekuatan hukum, terkandung di dalamnya dikuasai oleh
politik dapat dilihat sebagai variable yang negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
berpengaruh terhadap hukum itu sendiri. rakyat.
Berkait dengan yang tersebut di (2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana
atas, maka, tidak dapat dimungkiri, dalam dimaksud ayat (1) memberi wewenang
pelaksanaannya, kebijaksanaan dan hukum yang kepada pemerintah untuk
Bahkan jauh dari rasa keadilan masyarakat seperti Upaya Penegakan Hukum Lingkungan
yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Terhadap Deforestasi dan Pengendalian dalam
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengurangan Risiko Bencana.
Padahal, mewujudkan keadilan sosial merupakan Adanya perusakan hutan, dalam hal
salah satu sila dalam Pancasila yang dimuat ini pembalakan liar, termasuk di dalamnya
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara penambangan dan perkebunan tanpa izin telah
Republik Indonesia Tahun 1945 yang seharusnya menimbulkan kerugian negara, kerusakan
menjadi panduan dan pedoman, sebagai cita kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup,
hukum dan asas hukum, dalam penyusunan serta meningkatkan pemanasan global yang telah
peraturan perundang-undangan di bidang sumber menjadi isu nasional, regional dan internasional.
daya alam khususnya dalam hal ini adalah hutan Perlu dipahami perusakan hutan sudah menjadi
(Rosadi, 2012). kejahatan berdampak luar biasa, terorganisasi,
Salah satu penyebab ketidakadilan serta dan lintas negara yang dilakukan dengan modus
penyalahgunaan inilah yang menimbulkan operandi yang canggih, telah mengancam
deforestasi tersebut muncul, yaitu munculnya kelangsungan kehidupan masyarakat, sehingga
perusakan hutan, pembalakan yang merusak untuk mencegahnya diperlukan landasan hukum
(destructive logging) berupa penebangan hutan yang kuat dan mampu menjamin efektivitas
yang melanggar prinsip-prinsip kelestarian yang penegakan hukum.
dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang Penegakan hukum lingkungan dapat
memiliki izin resmi dari pemerintah. Termasuk dimaknai dengan penggunaan atau penerapan
adanya pembakaran hutan/ lahan, bisa terjadi instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam
di wilayah/ lahan perkebunan, hutan produksi, lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan
wilayah proyek lahan gambut, hutan konservasi, hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek
lahan perladangan berpindah atau lahan pertanian hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan
berpindah dan bisa jadi dilakukan di wilayah perundang-undangan lingkungan hidup (Rahmadi,
transmigrasi. Dengan demikian, imbas dari hal 2012). Penggunaan instrumen dan sanksi hukum
tersebut di atas menyebabkan kabut asap yang administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah
dirasakan di negara lain. Di wilayah negara kita dan juga oleh warga atau badan hukum perdata.
sendiri hal itu dapat dianggap sebagai bencana Untuk penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana,
ekologis karena telah mengacam kondisi hanya dapat dilakukan oleh istansi-instansi
ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi pemerintah. Sementara itu, penggunaan instrumen
lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak hukum perdata, adalah gugatan perdata, dapat
bisa dibicarakan secara parsial atau terbagi-bagi. dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan
Sekalipun masalah mengenai bencana juga instansi pemerintah (Rahmadi, 2012).
ekologi dalam terminologinya tidak disinggung, Berkait dengan di atas, upaya penegakkan
baik dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 hukum lingkungan terhadap deforestasi ini sendiri
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan sudah dapat dianggap secara tegas ada dalam
Lingkungan Hidup maupun berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang pemaknaan sanksi-sanksi, baik secara hukum
Penanggulangan Bencana. Meski demikian, administrasi, pidana maupun perdata. Walau
negara tidak dapat tinggal diam terhadap masalah pemaknaan deforestasi ini tidak secara tersirat
deforestasi yang berujung pada bencana ekologis. ada dalam peraturan tersebut. Sebenarnya, kondisi
Dengan kata lain, negara harus bertanggung penegakkan dalam arti pelarangan dan pencegahan
jawab terhadap keberlangsungan ekologi dan serta perlindungan tersebut di dalam Undang-
akibat bencana yang ditimbulkannya. Undang Nomor 41 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan,
dalam ketentuan Pasal 47 huruf (a) juncto Pasal
6 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan disebutkan bahwa.
--- meski dalam peraturan perundangan yang secara terencana, terpadu, terkoordinasi
mengatur tentang penanggulangan bencana tidak dan menyeluruh dalam rangka memberikan
menemukan terminologi tersebut. Hanya saja, perlindungan kepada masyarakat dari ancaman,
wacana tentang bencana ekologis tersebut lebih risiko dan dampak bencana.
melihat dari dampak atau risiko lingkungan hidup Namun, dalam pelaksanaan pengendalian
sebagai aspek kerentanan. Dalam penjelasan penanggulangan bencana terkait dengan bencana
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang non alam kebakaran hutan/lahan yang diakibatkan
Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa yang oleh manusia, maka, konstruksi hukumnya adalah
dimaksud dengan bencana yaitu (a) bencana alam berbicara mengenai bentuk penanggulangan
berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung --- meski dalam pelaksanaan pengendaliannya
berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, sudah diupayakan usaha-usaha berupa mitigasi
kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama yang merupakan upaya untuk mengurangi
penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
luar biasa dan kejadian antariksa/ benda-benda maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
angkasa; (b) bencana nonalam yang terdiri dari mengahdapi ancaman bencana.
kebakaran hutan/ lahan yang disebabkan oleh Pada intinya, jika terjadi bencana ekologis
manusia, kecelakaan transportasi, kegagalan berupa kebakaran hutan, maka, dalam undang-
konstruksi/ teknologi, dampak industri, ledakan undang ini hanya memberikan sebuah upaya
nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan pencegahan sampai rehabilitasi dan konstruksi
keantariksaan; dan (c) bencana sosial, yaitu pembangunan pasca terjadinya bencana tersebut
kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam dengan sasaran utama untuk menormalisasikan
masyarakat yang sering terjadi. kehidupan masyarakat dan ekosistem pada
Berdasarkan pemahaman penjelasan wilayah pasca bencana.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, adanya
bencana yang demikian ini perlu diberikan suatu Simpulan
bentuk penanggulangan bencana, dalam Pasal 4 Penegakan hukum lingkungan dalam
dijabarkan bahwa tujuan penanggulangan bencana deforestasi hutan bukan hanya merupakan
adalah sebagai berikut. permasalahan yang terletak pada satu peraturan
1. Memberikan perlindungan kepada perundang-undangan, tetapi merupakan
masyarakat dari ancaman bencana. permasalahan yang harus disikapi secara bijak
2. Menyelaraskan peraturan perundang- karena masalah deforestasi juga berasal dari
undangan yang sudah ada. pemahaman perusakan hutan yang disebabkan oleh
3. Menjamin terselenggaranya pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
penanggulangan bencana secara terencana, yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. undangan. Akan tetapi, pada kenyataannya,
4. Menghargai budaya lokal. meski telah sesuai dengan peraturan perundang-
5. Membangun partisipasi dan kemitraan undangan, tapi masih saja ada yang melakukan
publik serta swasta. perusakan hutan tersebut secara sengaja. Disadari
6. Mendorong semangat gotong royong, atau tidak, penegakan hukum dalam deforestasi
kesetiakawanan dan kedermawaan. hutan sudah dapat menjerat tindakan pelaku yang
7. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan melakukan perusakan hutan tersebut berdasarkan
bermasyarakat, benrbangsa, dan bernegara. hukum pidana.
Termasuk pemerintah juga sudah berupaya
Selanjutnya, tujuan yang utama dalam untuk melakukan pengendalian penanggulangan
penyelenggaraan penanggulangan bencana bencana (disaster management) melalui suatu
merupakan kegiatan pencegahan bencana, tanggap badan yang telah dibentuk oleh pemerintah, yaitu
darurat dan rehabilitasi dan konstruksi. Selaras Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Akan
dengan itu, untuk menjamin terselenggaranya tetapi, yang kita harapkan di sini adalah kesigapan
pelaksanaan penanggulangan bencana dilakukan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat benar-
benar tunduk pada peraturan yang ditetapkan Pengusahaan Hutan di Indonesia. Jakarta:
secara tegas. Agar permasalahan deforestasi hutan Walhi.
di Indonesia tidak semakin meluas hanya karena
kepentingan secara ekonomi ataupun politik. Nurjaya, I Nyoman. 2009. Makalah, yang
dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Kepustakaan Reformasi Hukum dan Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk
Alamendah Blogs. 2010. “Kerusakan Hutan Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat,
(Deforestasi) di Indonesia” dalam http:// Harkat dan Martabat Bangsa, Fakultas
alamendah.wordpress.com/2010/03/09/ Hukum Brawijaya bekerjasama dengan
k e r u s a k a n - h u t a n - d e f o re s t a s i - d i - Masyarakat Hutan Rakyat Insdonesia
indonesia/. Diakses 10 Oktober 2014. (MHRI), 19 Pebruari 2009, di Universitas
Brawijaya Malang.
Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia. Jakarta: Gramedia. Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forest, Poor
People, Resource Control and Resistance
Barber, Charles Victor. 1989. The State, The in Java. Berkeley Los Angeles Oxford:
Evironment and Development : the Genesis University of California Press.
and Transformation of Social Forestry
Policy in New Order Indonesia. Califonia: Rosadi, Otong. 2012. Qua Vadis Hukum, Ekologi
Boalt Hall Scholl of Law, University of dan Keadilan Sosial Dalam Perenungan
California at Berkeley. Pemikiran (Filsafat) Hukum. Yogyakarta:
Thafa Media.
Joewono, Benny N (ed). 2013. “Walhi: 3.846 Desa
Indonesia Dilanda Bencana Ekologis” Rahmadi, Takdir. 2012. Hukum Lingkungan di
dalam http://regional.kompas.com/ Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
read/2013/06/03/03140443/walhi.3.846.
Desa.indonesia dilanda.bencana. Situs Kementrian Lingkungan Hidup. 2014.
ekologis. Diakses 11 Oktober 2014. “Program Menuju Indonesia Hijau” dalam
www.menlh.go.id/program-menuju-
Hasanudin, Lili. 1996. “Hutan Tanaman Industri indonesia-hijau/. Diakses tanggal 11
: Blunder Kedua Kebijakan Kehutanan di Oktober 2014.
Indonesia” dalam Kertas Posisi (Position
Paper) Walhi-No.04. Jakarta: Wahana Wibowo, LR. 2009. Konflik Sumber Daya Hutan
Lingkungan Hidup Indonesia-Friends of dan Reforma Agraria (Kapitalisme
the Earth (FoE) Indonesia. Mengepung Desa). Yogyakarta: Alfamedia.
Hestya, Rindu P dan Mashable. 2014
“Kerusakan Hutan Indonesia Terus
Meningkat” dalam tempo.co/read/
news/2014/07/01/095589444/kerusakan-
hutan-indonesia-terus-meningkat. diakses
10 Oktober 2014