Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Resiko merupakan keadaan adanya ketidakpastian dan tingkat

ketidakpastiannya terukur secara kuantitiatif. Resiko dapat dikategorikan ke dalam

resiko murni dan resiko spekulatif. Resiko murni merupakan resiko yang dapat

mengakibatkan kerugian, tetapi tidak ada kemungkinan menguntungkan.

Sedangnkan resiko spekulatif adalah resiko yang dapat mengakibatkan dua

kemungkinan, merugikan atau menguntungkan.

Seluruh kegiatan yang dilakukan baik perseorangan ataupun

organisasi/perusahaan juga mengandung resiko. Semakin besar resiko yang

dihadapi umumnya dapat diperhitungkan bahwa pengembalian yang diterima juga

akan lebih besar.

Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap yang berbeda terhadap

pengambilan resiko. Resiko adalah ketidakpastian dan dapat menimbulkan

terjadinya peluang kerugian terhadap pengambilan keputusan. Ketidakpastian

merupakan situasi yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, mendefinisikan resiko

sebagai peluang terjadinya hasil yang tidak diinginkan sehingga resiko hanya

terkait dengan situasi yang memungkinkan munculnya hasil negatif serta berkaitan

dengan kemampuan memperkirakan terjadinya hasil negatif tadi.

Manajeme resiko adalah suatu cara dalam mengorganisir suatu resiko yang

akan dihadapi baik itu sudah diketahui maupun yang belum diketahui atau yang tak

terpikirkan yaitu dengan cara memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari
resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menantang sebagian atau semua

konsekuensi resiko tertentu.

Resiko yang melekat dari tindakan pelayanan kesehatan adalah bahwa

dalam pelayanan kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan (inspaning

verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante verbintennis). IFRS merupakan


salah satu komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Setiap kegiatan

pelayanan yang dilakukan di Instalasi Farmasi pasti mengandung resiko, baik yang
sudah diketahui maupun yang belum diketahui. Oleh karena itu, dengan manajemen
resiko, diharapkan kerugian yang ditimbulkan dari ketidakpastian dapat dikurangi
bahkan dihilangkan untuk kelangsungan pelayanan kesehatan khususnya di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

1.2 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manajemen risiko

Manajemen risiko adalah suatu upaya mengelola risiko K3 untuk mencegah


terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif, terencana dan
terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik. Manajemen risiko K3 berkaitan dengan
bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja yang dapat menimbulkan kerugian bagi
peusahaan (Ramli, 2010).

Menurut Clough and Sears (1994 dikutip dalam Anonim 2009), Manajemen
risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif untuk menangani
semua kejadian yang menimbulkan kerugian.

Menurut Fahmi (2010:2) manajemen resiko adalah suatu bidang ilmu yang
membahas tentang bagaimana suatu organisasi menerapkan ukuran dalam memetakan
berbagai permasalahan yang ada dengan menempatkan berbagai pendekatan
manajemen secara komperhensif dan sistematis.

Menurut Darmawi (2014) manajemen risiko adalah suatu usaha untuk


mengetahui, menganalisis serta mengendalikan risiko dalam suatu kegiatan
perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektivitas dan efesiensi yang lebih
tingi.

Pelaksanaan manajemen risiko haruslah menjadi bagian integral dari


pelaksanaan sistem manajemen perusahaan/ organisasi. Proses manajemen risiko Ini
merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk terciptanya perbaikan
berkelanjutan (continuous improvement). Proses manajemen risiko juga sering
dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi.
Manajemen risiko adalah metode yang tersusun secara logis dan sistematis
dari suatu rangkaian kegiatan: penetapan konteks, identifikasi, analisa, evaluasi,
pengendalian serta komunikasi risiko. Proses ini dapat diterapkan di semua tingkatan
kegiatan, jabatan, proyek, produk ataupun asset. Manajemen risiko dapat memberikan
manfaat optimal jika diterapkan sejak awal kegiatan. Walaupun demikian manajemen
risiko seringkali dilakukan pada tahap pelaksanaan ataupun operasional kegiatan.

2.2 Manfaat manajemen risiko


Manajemen risiko memiliki manfaat yang baik untuk perusahaan, antara lain
sebagai berikut (Fahmi, 2010:3):
1. Perusahaan memiliki ukuran kuat sebagai pijakan untuk mengambil setiap
keputusan, sehingga para manajer menjadi lebih berhati- hati dan selalu
menmpatkan ukuran-ukuran dalam berbagai keputusan.
2. Mampu memberi arah bagi suatu perusahaan dalam melihat pengaruh-
pengaruh yang mungkin timbul baik secara jangka pendek dan jangka
panjang.
3. Mendorong para manajer dalam mengambil keputusan untuk selalu
menghindari dari pengaruh terjadinya kerugian khususnya dari segi financial.
4. Memungkinkan perusaan memperoleh risiko kerugian yang minimum.
5. Dengan adanya konsep manajemen risiko yang dirancang secara detail maka
artinya perusahaan telah membagun arah dan mekanisme secara
berkelanjutan.

2.3 Proses Manajemen Risiko


a. Menentukan Konteks
Dalam menentukan konteks dilakukan dengan cara melihat visi misi
perusahaan, ruang lingkup bisnis perusahaan mulai dari proses kerja awal
sampai akhir. Hal ini dilakukan karena konteks risiko disetiap perusahaan
berbeda-beda sesuai dengan kegiatan bisnis yang dilakukan. Kemudian
langkah selanjutnya adalah menetapkan kriteria risiko yang berlaku untuk
perusahaan berdasarkan aspek nilai kerugian yang dapat ditanggulangi oleh
perusahaan. Kriteria risiko didapat dari kombinasi kriteria tingkat
kemungkinan dan keparahan
b. Identifikasi Risiko
Identifikasi bahaya adalah salah satu tahapan dari manajemen risiko k3 yang
bertujuan untuk mengetahui semua potensi bahaya yang ada pada suatu
kegiatan kerja/ proses kerja tertentu. Identifikasi bahaya memberikan berbagai
manfaat antara lain :
 Mengurangi peluang kecelakaan karena dengan melakukan identifikasi
dapat diketahui faktor penyebab terjadinya keceakaan,
 Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi
bahaya yang ada dari setiap aktivitas perusahaan, sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan karyawan untuk meningkatkan kewaspadaan
dan kesadaran akan safety saat bekerja,
 Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi
pencegahan dan penanganan yang tepat, selain itu perusahaan dapat
memprioritaskan tindakan pengendalian berdasarkan potensi bahaya
tertinggi.
 Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya
dalam perusahaan.
c. Analisis Risiko
Setelah semua risiko dapat diidentifikasi, dilakukan penilaian risiko melalui
analisa risiko dan evaluasi risiko. Analisa risiko dimaksudkan untuk
menentukan besarnya suatu risiko dengan mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya dan besarnya akibat yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil analisa
dapat ditentukan peringkat risiko sehingga dapat dilakukan pemilahan risiko
yang memiliki dampak besar terhadap perusahaan dan risiko ringan atau dapat
diabaikan.
d. Evaluasi Risiko
Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar. Setelah itu
tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan prioritas
manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah, maka risiko tersebut
masuk ke dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya
memerlukan pemantauan saja tanpa harus melakukan pengendalian.
e. Pengendalian Risiko
Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada dengan
menggunakan berbagai alternatif metode, bisa dengan transfer risiko, dan lain-
lain.
f. Pemantauan dan telaah ulang
Pemantauan dan telaah ulang terhadap hasil sistem manajemen risiko yang
dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu dilakukan.
g. Koordinasi dan komunikasi Koordinasi dan komunikasi dengan pengambil
keputusan internal dan
eksternal untuk tindak lanjut dari hasil manajemen risiko yang dilakukan.
2.4 Hirarki pengendalian risiko
Tujuan hirarki pengendalian risiko adalah untuk menyediakan pendekatan
sistematik guna peningkatan keselamatan dan kesehatan, mengeliminasi
bahaya dan mengurangi atau mengendalikan risiko keselamatan dan
kesehatan kerja. Dalam hirarki pengendalian bahaya, pengendalian yang
lebih atas disepakati lebih efektif daripada pengendalian yang lebih bawah.
Berikut adalah 5 tahap hirarki pengendalian risiko berdasarkan ISO 45001:
1. Eliminasi
Eliminasi berarti menghilangkan bahaya. Contoh tindakan eliminasi adalah
berhenti menggunakan zat kimia beracun, menerapkan pendekatan ergonomic
ketika merencanakan tempat kerja baru, mengeliminasi pekerjaan yang
monoton yang bisa menghilangkan stress negatif, dan menghilangkan aktifitas
forklift dari sebuah area.
2. Substitusi
Substitusi berarti mengganti sesuatu yang berbahaya dengan sesuatu
yang memiliki bahaya lebih sedikit. Contoh tindakan substitusi adalah
mengganti aduan konsumen dari telepon ke on line, , menggnti cat dari
berbasis solven ke berbasis air, mengganti lantai yang berbahan licin ke
yang tidak licin, dan menurunkan voltase dari sebuah peralatan.
3. Rekayasa Teknik, Reorganisasi dari Pekerjaan, atau Keduanya
Tahapan rekayasa teknik dan reorganisasi dari pekerjaan merupakan tahapan
untuk memberikan perlindungan pekerja secara kolektif. Contoh perlindungan
dalam rekayasa teknik dan reorganisasi pekerjaan adalah pemberian pelindung
mesin, system ventilasi, mengurangi bising, perlindungan melawan
ketinggian, mengorganisasi pekerjaan untuk melindungi pekerja dari bahaya
bekerja sendiri, jam kerja dan beban kerja yang tidak sehat

4. Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi merupakan pengendalian risiko dan bahaya dengan
peraturan-peraturan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja yang
dibuat. Contoh pengendalian administrasi adalah melaksanakan inspeksi
keselamatan terhadap peralatan secara periodik, melaksanakan pelatihan,
mengatur keselamatan dan kesehatan kerja pada aktivitas kontraktor,
melaksanakan safety induction memastikan operator forklift sudah
mendapatkan lisensi yang diwajibkan, menyediakan instruksi kerja untuk
melaporkan kecalakaan, mengganti shift kerja, menempatkan pekerja sesuai
dengan kemampuan dan risiko pekerjaan (missal terkait dengan pendengaran,
gangguan pernafasan, gangguan kulit), serta memberikan instruksi terkait
dengan akses kontrol pada sebuah area kerja.
5. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 8 Tahun
2010 adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari
potensi bahaya di tempat kerja. Contoh pelindung diri adalah baju, sepatu
keselamatan, kacamata keselamatan, perlindungan pendengaran dan sarung
tangan.

2.5 Manajemen Risiko K3 di Dalam Gedung


2.6 Manajemen Risiko K3 di Luar Gedung

BAB III
PENUTUP
3.1 Gh
3.2 gf
Daftar Pustaka

British Standard Institution. (2018, Mar 12). ISO 45001: 2018 Occupational
Health and Safety management systems. Geneva, Swiss.

Fahmi, Irham. 2010. Manajemen Kinerja. Bandung: Alfabeta.

Darmawi,H. 2014. Manajemen Perbankan. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai