Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nadia Pebriyanti

NIM : A1B120042

Kelas : Reguler C

Pendekatan Struktural Semiotik dalam Karya Sastra

1. Strukturalisme Dalam Ilmu Sastra


Istilah strukturalisme merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris structuralism. Dari
segi pandangan yang lebih luas, strukturalisme diartikan sebagai cara pencarian realitas
dengan cara meneliti hubungan antara individu dengan individu di dalam satu kelompok.
Sehubungan dengan itulah untuk dapat memahami strukturalisme pertama-tama yang perlu
dipahami adalah ide yang mendasarinya, yaitu struktur.
Struktur adalah seperangkat unsur di mana antara unsur atau subperangkat unsur
tersebut terdapat satu hubungan yang sangat erat. Luxemburg, dkk (1984) menyebut istilah
struktur sebagai kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Menurut paraphrase
Hawkes (1977:16) yang memanfaatkan difinisi struktur dari Jean Piaget, dijelaskan bahwa
struktur sebagai satu sistem transformasi di mana sistem tersebut terdiri atas elemen-
elemen. Konsep struktur dalam hal ini dikatakan berawal dari anggapan bahwa segala
sesuatu di dunia ini terbentuk dari sistem relasi, bukan sebagai ujud yang berdiri sendiri.
Karena itulah antarhubungan merupakan faktor yang sangat menentukan dan penting
dalam totalitas karya. Hawkes selanjutnya merumuskan adanya tiga aspek konsep struktur
sebagai berikut:
(a) adanya gagasan keseluruhan (the idea of wholeness)
(b) adanya gagasan transformasi (the idea of transformation)
(c) adanya gagasan regulasi diri (the idea of self-regulation).
Sedangkan menurut Teeuw (1984: 140) konsep struktur dalam pengertian ilmu sastra
dikatakan mempunyai makna ambiguitas yang ada kalanya mengelirukan, sebab istilah
struktur dipakai pada dua tataran yang sangat berbeda dan tidak dapat dicampurbaurkan :
pertama, digunakan pada tataran sistem sastra; dan kedua pada tataran karya sastra.

2. Semiotika Sastra
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda atau lambang-lambang. Semiotik
kadang-kadang disebut juga semiologi, meliputi pengertian tidak terbatas pada tanda atau
lambang, tetapi lebih dari itu meliputi sistem lambang dan proses-proses perlambangan.
Cakupan pengertian ini mengandung implikasi bahwa ilmu bahasa pun dapat dinamakan
ilmu semiotik.
Semiotik atau semiologi sebagai ilmu tentang tanda makin lama semakin popular dan
luas bidangnya, meliputi tidak hanya ilmu bahasa dan sastra tetapi juga pada bidang atau
aspek lain seperti antropologi, seperti halnya yang dikembangkan oleh Levi-Strauss.
Dalam ilmu sastra semiotik merupakan perkembangan lebih lanjut dari strukturalisme.
Bahkan istilah semiologi itu sendiri semula berasal dari seorang peletak dasar aliran
struktural, yaitu Ferdinand de Saussaur yang digunakan untuk mengacu ilmu pengetahuan
yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda. Gagasan yang sama sebenarnya telah
lebih dahulu dikembangkan oleh Charles Sander Peirce (1839-1914), seorang filsuf
kebangsaan Amerika, hanya karyanya yang berjudul semiotics baru sempat diterbitkan
kemudian.
Faktor pertama yang dalam kerangka model semiotik sastra harus diperhatikan adalah
faktor bahasa itu sendiri sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa dalam
hal ini merupakan sistem pembentuk model yang primer, yang mengikat baik penulis
maupun pembaca, tidak terbatas hanya dalam artian kedua pihak (penulis dan pembaca)
yang harus mengetahui bahasa yang ada dalam karya sastra, tetapi juga dalam artian bahwa
keistimewaan struktur bahasa itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi
karya sastra dalam bahasa tersebut. Pernyataan seperti ini tidak mengandung arti bahwa
bahasa merupakan satu-satunya kerangka acuan bagi penulis dan pembaca untuk saling
mengikat dalam sistem komunikasi. Untuk dapat memahami sebuah karya (sastra) dengan
baik diperlukan pemahaman sistem konvensi sastra yang melatarbelakangi karya itu.
Tanpa pengetahuan ini pembaca tidak akan memahami hakikat sebuah karya yang
sesungguhnya. Demikian pula halnya bagi penulis karya sastra. Bagi seorang penulis pun
perlu pengetahuan yang mendalam dalam bidang konvensi yang mengatur karya. Konvensi
inilah yang disebut sebagai sistem pembentuk model sastra yang sekender. Sistem
pembentuk model sekender ini dibentuk atas dasar sistem primer, yaitu bahasa. Sistem
sekender ini mengikat, baik penulis maupun pembaca sebagai bagian dari anggota
masyarakat sastra.
Konsep C.S. Peirce mengenai hubungan antar tanda-tanda dikenal dengan trikotomis-
nya, di mana dikatakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda:
tanda itu sendiri (sign), yang ditandai (semacam ground), dan objek. Antara sign dengan
apa yang ditandai terdapat suatu hubungan representasi. Unsur dari kenyataan yang
diwakili oleh tanda dinamakan "objek" atau denotatum. Denotatum ini dapat merupakan
sesuatu yang kongkret. Tanda dan representasi bersama -sama menuju interpretasi
(tafsiran). Interpretasi merupakan suatu tanda baru, yaitu sesuatu yang dibayangkan oleh
si penerima tanda bila ia menerima atau mengamati tanda yang pertama.
Peirce menyebut hasil intepretasi tersebut dengan istilah interpretant, yang bila
dikongkretkan dalam bidang analisis karya mencakup ringkasan sebuah teks sastra serta
tafsiran mengenai teks (evaluasi).
Dalam penerapan semiotik Peirce terhadap ilmu sastra sering juga digunakan istilah
ikonisitas. Oleh Peirce konsep itu diberi tempat dalam tipologi tandanya. Hubungan antara
tanda dengan denotatumnya biasanya bersifat semena atau berdasarkan konvensi. Peirce
dalam hal ini membedakan tiga kelompok tanda yang ditentukan berdasarkan jenis
hubungan antara pembaca makna dan referensinya:
a. Icon, yaitu tanda yang menggunakan kesamaan, atau ciri-ciri bersama dengan apa
yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis
yang digambarkannya. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan, suatu tanda
disebut icon jika ada kemiripan fisik antara keduanya. Misal: antara objek dengan
fotonya.
b. Indeks, yaitu tanda yang mempunyai kaitan kausalitas dengan apa yang
diwakilinya. Misalnya adanya asap merupakan satu tanda adanya api. Asap dalam
hubungan ini adalah indeksnya. Dengan kata lain, suatu tanda disebut indeks bila
ada kedekatan (prosemity) fisik.
c. Simbol, yaitu hubungan antara penanda (signifiant) dengan yang ditandai (petanda
= signifie) yang tidak bersifat alamiah melainkan bersifat konvensional,
didasarkan kesepakatan masyarakat semata-mata. Jadi tanda disebut simbol atau
lambang jika hubungannya bersifat konvensional (yang harus diterima dalam
bagian dari kebudayaan). Seperti mawar merah sebagai tanda cinta kasih.

Dalam kaitan ini ada baiknya disertakan konsep tanda dari Ferdinand de Saussure,
yang mengatakan ada beberapa aspek tanda yang khas: bahwa tanda adalah arbiter,
konvensional, dan sistematik. Arbitrer dapat berarti tanpa nalar. Misalnya: bahwa dalam
urutan bunyi m-e-j-a itu tidak ada alasan tertentu atau motif-motif tertentu untuk
menghubungkannya dengan perabot rumah. Kombinasi tertentu antara aspek formal
(bentuk) dengan konseptual semata-mata berdasarkan konvensi yang berlaku antara
anggota masyarakat bahasa tertentu; yang disebut meja oleh orang Indonesia disebut table
bagi orang yang berbahasa Inggris. Demikian seterusnya.

Tanda bahasa juga memiliki sifat yang sistematis. Sifat yang demikian pertama-tama
dapat dilihat pada aspek formal, sebagai contoh: pemanfaatan aspek bunyi dalam setiap
bahasa menunjukkan sistem yang cukup ketat secara teratur. Pertama-tama dapat dilihat
berdasarkan prinsip oposisi: misalnya dalam aspek bunyi kemungkinan fonetis yang
tersedia dalam diri manusia tidak terpakai secara sembarangan, melainkan menurut kaidah
yang jelas, dan dari keseluruhan potensi bunyi hanya sebagian kecil saja dipakai untuk
sebuah bahasa. Misalnya bunyi muka dapat dipertentangkan dengan suka, luka dan lain-
lain.

Demikianlah sejumlah oposisi antara bunyi yang biasanya dalam ilmu bahasa disebut
fonem, dalam bahasa Indonesia dimanfaatkan untuk membedakan kata-kata.

Anda mungkin juga menyukai