Anda di halaman 1dari 243

INDONESIA HORTICULTURAL INNOVATION,

TECHNOLOGY AND SCIENCE

Sumber Daya Genetik


Tanaman Buah
Subtropika Potensial

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana No. 3,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/01.2020
Judul Buku:
INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Penyunting Bahasa:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
Korektor:
Atika Mayang Sari
Editor:
Kuswanto
Titut Yulistyarini
Dita Agisimanto
Dwi M. Nastiti
Desain Sampul:
Zainuri Hanif
Penata Isi:
Makhbub Khoirul Fahmi
Jumlah Halaman:
122 + 14 hal romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2019

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com

ISBN: 978-623-256-049-9

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Tanaman buah subtropika merupakan salah satu komoditas hortikultura yang telah
banyak dikenal masyarakat dan dibudidayakan oleh pelaku usaha di Indonesia.
Beberapa tanaman subtropika yang berhasil dikembangkan di Indonesia adalah
jeruk, apel, lengkeng, stroberi dan anggur. Lebih dari sebelas provinsi di Indonesia
memiliki sentra-sentra produksi jeruk dengan variasi jenis seperti jeruk keprok,
manis dan siam. Komoditas jeruk juga mempunyai posisi yang strategis pada
perdagangan domestik dan internasional. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun dan mencapai 3,58 kg/kapita/tahun atau setara
dengan 94,8 ribu ton per tahun pada tahun 2018. Sedangkan pada komoditas apel,
lengkeng, stroberi dan anggur, nilai perdagangan Indonesia masih terbilang kecil
sehubungan dengan masih terbatasnya pengusahaan tanaman buah tersebut di
dalam negeri.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis, mempunyai potensi pengembangan
agribisnis tanaman buah subtropika yang tinggi. Pengembangan komoditas
tanaman buah subtropika ini tidak terbatas pada jenis-jenis asli Indonesia, tetapi
juga tanaman-tanaman introduksi yang telah beradaptasi dan tumbuh baik pada
kondisi tropis. Hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasi mengenai tanaman buah
subtropika sudah cukup banyak. Namun publikasi yang bersifat ilmiah dan populer
serta mudah dicerna untuk para pelaku usaha tanaman buah atau masyarakat
umum masih perlu ditingkatkan.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan komunikasi dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, promosi, dan komersialisasi hasil-hasil penelitian,
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, serta percepatan diseminasi
dan menginformasikan hasil-hasil penelitian kepada pengguna tanaman buah
subtropika perlu dilakukan untuk mendorong pengembangan agribisnis hortikultura
di Indonesia secara luas. Harapannya adalah dengan membaiknya perekonomian
vi INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

nasional, maka agribisnis tanaman buah subtropika dapat terus berkembang dan
manjadi komoditas unggulan hortikultura pada perdagangan nasional, regional
dan internasional.
Buku INDO HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science)
seri sumber daya genetik tanaman buah subtropika potensial menarik pembaca
untuk lebih mengenal tentang jenis-jenis tanaman buah subtropika potensial mulai
dari aspek morfologis, asal dan distribusi geografis, diversitas dan kekerabatan
genetik serta kegunaan lain dari jenis-jenis tanaman buah subtropika yang masih
sedikit dibudidayakan secara komersial di Indonesia. Buku ini juga dilengkapi
dengan foto-foto untuk memberikan gambaran visual dan memudahkan pembaca
untuk memahami isi buku. Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada insitusi/lembaga seperti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan
Buah Subtropika, Kebun Raya Purwodadi, Universitas Brawijaya dan individu kolektor
tanaman buah subtropika, serta pengelola situs-situs internet terkait seperti
https://pixabay.com, https://unsplash.com, https://search.creativecommons.
org, https://farm66.static.flickr.com yang telah memberikan izin penulis untuk
melakukan studi dan pengambilan objek visual pada tanaman koleksinya.
Buku INDO HITS seri sumber daya genetik tanaman buah subtropika potensial ini
diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat dan mendorong
pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan pemanfaatan sumber
daya genetik diharapkan dapat mendorong materi tersebut menjadi bernilai
ekonomi tinggi, sehingga dapat menjadi salah satu upaya dalam pemanfaatan dan
pelestarian sumber daya genetik serta menjadi elemen pengungkit kesejahteraan
masyarakat. Kritik dan saran serta berbagai masukan dari pembaca sangat kami
nantikan untuk perbaikan selanjutnya.

Editor
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... v
PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang & A. R. Ferguson(Actinidiaceae).................. 3
Diospyros kaki Thunb.(Ebenaceae)......................................................................... 17
Ficus carica L.(Moraceae)....................................................................................... 35
Litchi chinensis Sonn(Sapindaceae)........................................................................ 51
Macadamia spp.(Proteaceae)................................................................................ 63
Morus alba L.(Moraceae)....................................................................................... 83
Passiflora edulis Sims(Passifloraceae).................................................................... 97
Plinia spp.(Myrtaceae)......................................................................................... 115
Prunus armeniaca L.(Rosaceae)........................................................................... 127
Prunus avium L.(Rosaceae)................................................................................... 139
Prunus persica (L.) Batsch(Rosaceae)................................................................... 153
Punica granatum L.(Lythraceae)........................................................................... 173
Rubus idaeus L.(Rosaceae)................................................................................... 189
Vaccinium corymbosum L. (Ericaceae)................................................................. 207
INDEX.................................................................................................................... 227
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman kiwi yang telah berbuah (foto: pixabay.com)....................... 4


Gambar 2. Bunga kiwi (foto: pixabay.com)............................................................ 6
Gambar 3. Penampilan buah kiwi (Actinidia deliciosa) (foto: lizia_zamzami)....... 6
Gambar 4. (a) Pohon kesemek dan (b) morfologi daun kesemek
(Foto: titistyas_gusti_aji) .................................................................. 19
Gambar 5. (a) Buah kesemek pada pohon dan (b) penampang melintang
buah kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji & kurniawan_budiarto)...... 20
Gambar 6. Morfologi dan perkembangan daun tin; (a) daun muda,
(b). daun tua (foto: rudy_harianto).................................................... 38
Gambar 7. Struktur buah tin masak fisiologis (foto: rudy_harianto)................... 39
Gambar 8. Morfologi buah tin pada tahap akhir perkembangan buah
dan siap panen (foto: rudy_harianto)................................................ 40
Gambar 9. Pohon leci di kebun Balitjestro, Batu (foto : baiq_dina_mariana)..... 52
Gambar 10. Tipe bunga (I) dan (III) bunga jantan dan (II) bunga betina
(foto : D. C. Menzel, 2002)................................................................. 54
Gambar 11. Karakteristik buah leci (foto : D. C. Menzel, 2002)............................. 54
Gambar 12. Penampilan buah leci (foto : baiq_dina_mariana)............................ 55
Gambar 13. Karakteristik buah Macadamia a. buah masak fisiologis,
b. biji di dalam testa (nut in shell) dan c. kacang (nut) Macadamia
(foto: dita_agisimanto)...................................................................... 65
Gambar 14. Posisi daun Macadamia integrifolia yang membentuk posisi
melingkar pada ranting (foto : dita_agisimanto)............................... 66
x INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 15. Organ kluster bunga (raceme) Macadamia Integrifolia dan posisi
keluarnya pada ujung apical tunas. a. kluster bunga (raceme)
yang baru keluar, b. raceme yang sudah dipolinasi dan c. organ
bunga individual yang mekar dan kuntum
(foto : dita_agisimanto)..................................................................... 67
Gambar 16. Perkembangan buah Macadamia; (a) Buah kecil setelah
penyerbukan, (b) perkembangan cepat buah menuju pematangan,
(c) buah mulai masak dan retak, dan (d) kulit buah (husk)
sudah pecah dan biji siap panen (foto : dita_agisimanto). ............... 72
Gambar 17. Daun murbei (foto :anis_andrini)...................................................... 85
Gambar 18. Bunga betina murbei (foto : anis_andrini)......................................... 86
Gambar 19. Buah murbei belum masak hingga masak (kiri ke kanan)
(foto: anis_andrini, tiffany_anindya_arisanti)................................... 87
Gambar 20. (a) Tanaman markisa yang merambat pada para-para,
(b) merambat pada pucuk bambu, dan (c) merambat pada
pohon (foto: karsinah)....................................................................... 99
Gambar 21. Bunga markisa dengan variasi korona: (a) bunga markisa ungu
(P. edulis f. edulis Sims), (b) bunga markisa merah
(P. edulis f. edulis Sims), dan (c) bunga markisa kuning
(P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) (foto: karsinah)............................ 100
Gambar 22. Buah markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda
berwarna hijau dan berwarna ungu setelah tua atau masak,
serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah).......... 101
Gambar 23. Buah markisa merah (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda
berwarna hijau dan berwarna merah berbintik putih setelah tua
atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning orange
(foto: karsinah)................................................................................ 101
Gambar 24. Buah markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) pada saat
muda berwarna hijau dan berwarna kuning berbintik putih
setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning
(foto: karsinah)................................................................................ 102
xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 25. Sulur pengait (tendril) pada tanaman markisa yang berfungsi
untuk mengait pada batang untuk menopang tegaknya tanaman
(foto: karsinah)................................................................................ 105
Gambar 26. Keragaan tanaman Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati).... 117
Gambar 27. Keragaan bunga dan buah muda Jaboticaba di Pasuruan
(foto : emi_budiyati)........................................................................ 118
Gambar 28. Keragaan buah Jaboticaba (foto : emi_budiyati).............................. 118
Gambar 29. Morfologi bunga aprikot (foto :Ugurtan & Gurc, 2012)................... 129
Gambar 30. Keragaman buah aprikot di Asia Tengah
(foto : Zaurov et al., 2013)............................................................... 130
Gambar 31. Kebun ceri di Belgia dengan tajuk tanaman yang dipertahankan
dengan ketinggian 3.5 - 4.5 m dalam sistem budidaya trellis.
(foto: oka_ardiana_banaty)............................................................. 141
Gambar 32. Bunga ceri (foto: akhirta_atikana)................................................... 142
Gambar 33. Buah ceri manis (foto: oka_ardiana_banaty).................................. 143
Gambar 34. Karakteristik bunga genus Prunus (Keterangan: putik tunggal
dengan satu kepala dan tangkai putik dengan satu bakal biji
(warna biru dan oranye) (foto : USDA)............................................. 144
Gambar 35. Aneka warna bunga persik (foto: zainuri_hanif).............................. 155
Gambar 36. Biji buah persik (foto: Sara Cervera on Unsplash)............................ 157
Gambar 37. Tanaman persik dalam kondisi matang optimal, siap petik
(foto: Joshua Ness on Unsplash)...................................................... 163
Gambar 38. (a) Tanaman delima dewasa dan (b) duduk daun pada tangkai
yang saling berseberangan (foto : kurniawan_budiarto). ............... 175
Gambar 39. (a) Bunga dan (b) buah delima (P. granatum L.)
(foto : (a) kurniawan_budiarto, (b) www.pixabay.com).................. 176
Gambar 40. (a) Tanaman raspberry merah dan (b) variannya (kuning)
(foto: oka_ardiana_banaty)............................................................. 193
xii INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 41. Daun raspberry dengan 5 anak daun (pentafoliata)


dan 3 anak daun (trifoliata) (foto : oka_ardiana_banaty).............. 194
Gambar 42. Buah raspberry merah (foto : oka_ardiana_banaty)....................... 194
Gambar 43. Tanaman blueberry (foto : (a) https://search.creativecommons.org,
(b) oka_ardiana_banaty)................................................................. 210
Gambar 44. Bunga tanaman highbush blueberry
(foto : https://farm66.static.flickr.com)........................................... 210
Gambar 45. Buah blueberry (foto : trifena_honestin)......................................... 211
PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati adalah keberagaman tumbuhan, hewan dan makhluk


hidup lain yang tumbuh serta hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu.
Keanekaragaman hayati pada satu daerah atau wilayah akan berbeda dengan
daerah atau wilayah lainya, keadaan ini yang akan membedakan tiap daerah apabila
dilihat dari keberagaman makhluk yang hidup pada tiap-tiap daerah tertentu
dan menjadi ciri dari daerah itu tersebut. Keanekaragaman hayati penting dalam
kehidupan manusia dan salah satu bagian penting dari keanekaragaman hayati
adalah keanekaragaman tanaman atau disebut agrobiodiversitas. Pemanfaatan
tanaman tidak terbatas untuk bahan makanan, rumah dan kesehatan, namun
juga bermanfaat sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian
khususnya hortikultura dan berpeluang besar dalam meraih pangsa pasar, baik
nasional maupun internasional.
Tanaman buah subtropika merupakan tanaman yang umumnya berasal dari
daerah yang mempunyai 3-4 musim klimatologis per tahun. Masuknya tanaman
di Indonesia diduga dibawa oleh bangsa asing yang singgah di Indonesia sejak
zaman dulu kala. Tanaman ini ada yang sengaja ditanam atau terbawa dan
tersebar bijinya pada daerah-daerah yang memungkinkan tanaman ini untuk
tumbuh dan berkembang. Penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari manusia
juga diduga menjadi salah satu faktor tanaman-tanaman ini dikembangkan lebih
lanjut dan bernilai ekonomi sehingga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Pada perdagangan internasional, nilai ekspor tanaman buah subtropika memang
terbilang masih sangat kecil, kecuali pada komoditas tertentu seperti jeruk. Kondisi
peluang pasar yang masih sangat lebar ini tentunya merupakan suatu peluang
yang besar dalam pengusahaan buah subtropika di dalam negeri, seiring dengan
peningkatan areal tanaman dan kebijakan pertanian yang semakin kondusif.
Sejak diintroduksi oleh bangsa asing ke Indonesia, tanaman buah subtropika ini
ditanam secara terus-menerus dan diusahakan secara turun-temurun secara
tradisional. Proses seleksi yang dilakukan oleh petani dari puluhan hingga ratusan
2 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

tahun, menjadikan tanaman-tanaman ini pada akhirnya mempunyai daya adaptasi


dengan variasi yang spesifik di setiap lokasi. Variasi ini meliputi keberagaman pola
pertumbuhan tanaman, ketahanan terhadap OPT dan cekaman abiotik, kandungan
senyawa tertentu, penampakan, rasa hingga rasa buah hingga keberterimaan
konsumen terhadap karakter tertentu pada buah. Kondisi ini sudah barang tentu
sangat menguntungkan dalam upaya peningkatan kualitas buah subtropis melalui
upaya perbaikan genetik tanaman.
Pemanfaatan sumber daya genetik yang berasal dari Indonesia maupun hasil
introduksi dari negara lain perlu ditingkatkan, tidak hanya untuk merangsang
keterlibatan masyarakat luas dalam melakukan pelestarian sumber daya genetik
dan pemanfaatannya, namun juga ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Langkah awal dari upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik
adalah dengan melakukan pengenalan dan sosialisasi sumber daya genetik
tersebut yang meliputi deskripsi morfogenetik, adaptasi ekologis potensi ekonomi
hingga pemanfaatannya.
Buku INDO HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) seri
sumber daya genetik tanaman buah subtropis berisi informasi populer dan semi
ilmiah jenis-jenis tanaman yang umum digunakan dan memilki nilai ekonomis, dan
dapat dijadikan untuk usaha komersial tanaman buah subtropis. Informasi yang
diberikan meliputi penamaan ilmiah dan sinonim keterangan publikasi penamaan
ilmiahnya, nama umum yang mungkin berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya,
nama umum yang mungkin berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, klasifikasi
dan karakteristik botani, asal dan distribusi geografis, diversitas dan kekerabatan
genetik, evolusi dan risiko erosi genetik, budidaya, kegunaan dan pemanfaatan
pada bidang lain serta potensi ekonominya. Gambar, ilustrasi dan foto yang terkait
juga disajikan untuk meningkatkan deskripsi visual terhadap informasi yang
disajikan.
Actinidia deliciosa (A.Chev) C.
F. Liang & A. R. Ferguson
(Actinidiaceae)

Protologue
Actinidia deliciosa  (A. Chev.) C. F. Liang & A. R. Ferguson,  Guihaia 4(3): 181
(1984).

Sinonim
• Actinidia deliciosa  var.  chlorocarpa  (C. F. Liang) C. F. Liang & A. R.
Ferguson, Guihaia 4(3): 182 (1984).
• Actinidia deliciosa  var.  coloris  T. H. Lin & X. Y. Xiong,  Guihaia 11(2): 117
(1991).
• Actinidia deliciosa  var.  longipila  (Liang & R. Z. Wang) C.F.Liang &
A.R.Ferguson, Guihaia 4(3): 182 (1984).

Nama umum
Kiwi (Indonesia), kiwifruit (New Zealand), mihoutao (China).

I. Pendahuluan
Kiwi (Actinidia deliciosa) merupakan sejenis buah beri yang dapat dimakan dari
tanaman merambat berkayu dan berasal dari suku Actinidiaceae. Sebenarnya
marga Actinidia terdiri atas banyak jenis, yaitu dilaporkan ada sekitar 75 spesies,
namun hanya ada dua spesies utama yang penting yang telah dikembangkan secara
komersial, yaitu A. deliciosa dan A. chinensis (Burdon & Lallu, 2011; Hu, Zhao, Li,
& Shen, 2018). Perbedaan yang menonjol adalah A. deliciosa mempunyai daging
buah yang berwarna hijau terang, yang disebabkan oleh keberadaan klorofil yang
4 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

tetap tertahan selama pematangan buah dan buah masak. Sedangkan A. chinensis
mempunyai daging buah yang berwarna kuning keemasan, yang disebabkan oleh
hilangnya sebagian atau seluruh klorofil, sehingga jenis ini lebih dikenal dengan
sebutan golden kiwi (Padmanabhan & Paliyath, 2016; Ward & Courtney, 2013).
Produksi kiwi dunia sebanyak 90% berasal dari kultivar A. deliciosa dan 10% dari
kultivar A. chinensis (Huang, 2016d).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Kiwi termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas:
Magnoliopsida, Bangsa: Ericales, Suku: Actinidiaceae, Marga: Actinidia, Jenis:
Actinidia deliciosa. Kiwi merupakan tanaman merambat berkayu, yang vigoritas
tanamannya bervariasi bergantung jenis dan ketinggian tempat (Ferguson, 2013).

Gambar 1. Tanaman kiwi yang telah berbuah (foto: pixabay.com)

Tanaman kiwi adalah tanaman berumah dua, di mana terdapat bunga jantan dan
bunga betina pada tanaman yang berbeda, sehingga untuk memastikan terjadinya
penyerbukan silang dan pembentukan set buah maka tanaman jantan dan betina
harus ditanam secara berdekatan di dalam kebun dengan perbandingan delapan
tanaman betina dan satu tanaman jantan (Ferguson, 2013; Padmanabhan &
Paliyath, 2016). Penyerbukan dapat terjadi secara alami, seperti penyerbukan
oleh angin maupun serangga, seperti lebah. Lebah dan serangga lain tertarik pada
bunga karena warna dari mahkota bunga dan nektar yang dihasilkan oleh bunga.
Bunga tanaman kiwi berwarna putih susu saat baru mekar, namun berubah warna
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 5
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

menjadi kuning atau cokelat kekuningan setelah beberapa hari (Huang, 2016a).
Penyebaran alami biji kiwi jauh dari tanaman induknya diduga dilakukan oleh
burung dan hewan mamalia. Di mana tanaman kiwi mampu melepaskan senyawa
organik yang mudah menguap (Volatile Organic Compounds/VOC) seperti ester,
aldehida dan lakton dari bagian buahnya, sehingga dapat menarik burung maupun
hewan penyebar biji lainnya. Dengan cara demikian akan memungkinkan proses
reproduksi dan evolusi tananam kiwi dapat terjadi (Rodriguez, Alquezar, & Pena,
2013).
Selain itu, penyerbukan juga dapat dilakukan secara buatan oleh manusia dan
mesin. Dua metode penyerbukan buatan tersebut sudah banyak dilakukan pada
perkebunan kiwi modern di China, New Zealand dan Italia, namun biayanya
memang sangat mahal (Huang, 2016b).
Bunga betina dan jantan pada tanaman kiwi sebenarnya secara morfologi adalah
bunga yang sempurna dan berkelamin ganda (hermaphrodite). Namun, tanaman
betina mempunyai bunga dengan bakal buah (ovary) dan putik yang berkembang
dengan baik, tapi benang sarinya tidak berkembang. Setelah penyerbukan, bakal
biji (ovule) akan berkembang menjadi biji, dan bakal buah (ovary) berkembang
menjadi buah. Sedangkan tanaman jantan mempunyai bunga dengan bakal buah
(ovary) yang tidak berkembang dan tidak mengandung bakal biji (ovule) yang
layak sehingga tidak dapat berkembang menjadi biji, dan bakal buah (ovary) tidak
berkembang menjadi buah (Ferguson, 2013).

Gambar 2. Bunga kiwi (foto: pixabay.com)


6 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Buah kiwi yang normal berbentuk oval, kira-kira sebesar telur ayam (5-8 cm dan
diameter 4,5–5,5 cm). Buah ini mempunyai kulit berwarna cokelat dan berambut.
Namun saat buah dipanen, rambut-rambut ini akan mati dan mudah dihilangkan.
Di dalam buah terdapat biji-biji kecil berwarna hitam dan bisa dimakan. Tekstur
buah ini sangat halus dan rasanya unik (Burdon & Lallu, 2011; Ward & Courtney,
2013). Namun, rasa dan aroma buah dari jenis kiwi hijau dan kiwi kuning berbeda
satu sama lain. Buah dari jenis kiwi kuning lebih beraroma dan rasanya lebih manis
dari pada jenis kiwi hijau, serta mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi (Li &
Zhu, 2017).

Gambar 3. Penampilan buah kiwi (Actinidia deliciosa) (foto: lizia_zamzami)

III. Asal dan distribusi geografis


Tanaman kiwi berasal dari China, yang mana tanaman ini tumbuh secara liar
(Burdon & Lallu, 2011; Li & Zhu, 2017; Padmanabhan & Paliyath, 2016). Pada
perkembangan selanjutnya, kiwi diintroduksi ke New Zealand pada awal abad ke-
20, di mana kiwi ditanam secara komersial di sana untuk pertama kalinya (Follett,
Jamieson, Hamilton, & Wall, 2019). Pada saat itu tahun 1904, seorang guru sekolah
di New Zealand bernama Isabel Fraser mengunjungi Yichang, Provinsi Hubei di
China, dia mendapatkan benih kiwi dan membawanya kembali ke New Zealand.
Pertanaman dari benih asli inilah yang kemudian menjadi produksi kiwi pertama
di luar China. Selanjutnya banyak ahli tanaman dan pemburu tanaman dari Eropa
yang mengintroduksi kiwi dari China ke negara-negara Eropa dan Amerika Utara
selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Huang, 2016d).
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 7
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

Sejak itu, penanaman dan produksi kiwi terus meningkat, terutama sejak akhir
tahun 1970-an ketika produksi kiwi secara komersial telah menyebar ke seluruh
penjuru dunia (Huang, 2016d). Hingga kini total area penanaman kiwi di seluruh
dunia sekitar 170.000 ha, di mana beberapa negara yang menjadi produsen kiwi
terbesar, di antaranya yaitu China, Italia dan New Zealand (Statista, 2017). Negara
penghasil kiwi lainnya termasuk Chile, Yunani, Perancis, Jepang, Iran, USA dan
Spanyol (Ward & Courtney, 2013).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Marga Actinidia sepertinya telah mengalami peristiwa poliploidisasi. Dalam
marga ini ada yang diploid, tetraploid, heksaploid dan oktoploid. Marga Actinidia
memiliki jumlah kromosom dasar yang tinggi (x = 29) dan variasi ploidi yang luas.
Sebagai contoh, jenis A. kolomikta dipastikan adalah diploid, A. arguta ada yang
diploid, tetraploid dan heksaploid, sedangkan A. melanandra ada yang diploid dan
tetraploid (Bogacioviene et al., 2019).
Hasil studi kromosom Actinidia menyimpulkan bahwa Actinidia diploid (2n = 58)
kemungkinan adalah sebuah paleotetraploid (Shi, Huang, & Barker, 2010). Jumlah
poliploid meningkat seiring dengan ketinggian tempat, di mana pola yang nyata
tampak dalam penyebarannya berdasarkan ketinggian tempat, yaitu diploid pada
wilayah dengan ketinggian yang paling rendah, tetraploid pada wilayah dengan
ketinggian menengah dan heksaploid pada wilayah yang paling tinggi (Huang,
2016e).
Adanya hubungan filogenetik dalam marga Actinidia dengan tiga marga terkait
lainnya, yaitu Clematoclethra, Saurauia, dan Sladenia masih menjadi sebuah
kontroversi. Namun, studi berdasarkan karakter mikromorfologi trikoma daun
menunjukkan bahwa Actinidia merupakan sebuah kelompok monofiletik,
sedangkan Clematoclethra, dan Saurauia membentuk kelompok monofiletik yang
lain (He, Zhang, Zhong, & Ye, 2000). Adanya gen clpP yang hilang yang terdeteksi
pada Clematoclethra dan Actinidia kemungkinan besar merupakan tanda yang
mencolok terjadinya evolusi genom cp kedua marga tersebut, menunjukkan bahwa
kejadian kehilangan gen clpP mungkin terjadi pada tetua mereka yang sama (W.
Wang, Chen, & Zhang, 2016).
8 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Sementara itu, dalam marga Actinidia sendiri, sebuah studi pada kloroplas DNA
menunjukkan bahwa A. deliciosa mempunyai kekerabatan yang dekat dengan
A. chinensis. Bahkan literatur ada yang menyebutkan bahwa keduanya adalah
dua varietas yang berbeda dari satu spesies, yaitu A. chinensis var. chinensis dan
A. chinensis var. deliciosa, di mana ada kesepakatan umum bahwa A. chinensis
var. chinensis diploid kemungkinan adalah tetua dari A. chinensis var. deliciosa
heksaploid. Namun, masih ada perdebatan panjang tentang apakah A. chinensis
var. chinensis sebagai tetua tunggal atau ada spesies Actinida lainnya yang terlibat
dalam evolusi poliploid spesies tersebut (Guanglian et al., 2019; Huang, 2016e).
Selain itu, sebuah studi lain dengan menggunakan polimorfisme nukleotida
tunggal yang dideteksi dari genotip dengan cara sequencing (genotyping-by-
sequencing/GBS) juga telah dilakukan, dan menunjukkan bahwa asesi-asesi A.
deliciosa mempunyai keturunan campuran dengan A. chinensis. Dengan demikian,
hasil ini juga mendukung kemungkinan bahwa A. chinensis merupakan induk dari
A. deliciosa (Oh et al., 2019).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Sebuah studi terkait evolusi mitogenom dan mekanisme diversifikasi menyebutkan
bahwa mitogenom kiwi dapat menunjukkan keadaan tetua dari mitogenom
asteroid, karena kiwi mempunyai genom yang paling besar dan rangkaian gen yang
paling lengkap di antara spesies-spesies asteroid. Adanya rekonstruksi filogenetik
menunjukkan bahwa pertambahan maupun kehilangan garis keturunan spesifik
dari gen mitokondria dan intron sering terjadi selama evolusi asterid (S. Wang et
al., 2019).
Ada beberapa cara poliploidi terlibat dalam evolusi Actinidia. Salah satu
kemungkinannya yaitu adanya bencana alam ekstrem yang menyebabkan tetua
diploid Actinidia menjadi punah, namun tetua-tetua yang mengalami poliploidisasi
selamat dari kondisi yang keras tersebut. Kemungkinan lainnya adalah ketika
lingkungan berubah, tetua Actinidia diploid dan poliploid menjadi terisolasi secara
reproduktif, tetua Actinidia diploid berevolusi menjadi spesies lain dan tetua
Actinida poliploid berevolusi menjadi spesies Actinidia (Huang, 2016e).
Dengan adanya wilayah yang luas untuk terjadinya kontak antara A. deliciosa dan
A. chinensis, maka pertukaran gen juga dapat terjadi secara alami. Berdasarkan
data molekul inti, kloroplas dan mitokondria, diperkirakan bahwa cukup banyak
taksa yang mengalami setidaknya satu kali kejadian persilangan dalam sejarah
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 9
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

evolusinya. Namun, relatif tingginya tingkat ketidaksuburan spesies yang


mengarah ke alopoliploid atau bisa juga ke persilangan homoploid menyebabkan
kesimpangsiuran taksonomi yang sampai saat ini masih terjadi (Chat, Jauregui,
Petit, & Nadot, 2004).
Sebuah studi dengan menggunakan primer kloroplas mikrosatelit menunjukkan
bahwa A. deliciosa mempunyai keragaman genetik yang paling rendah, namun
perbedaan genetik antar populasinya adalah paling tinggi. Selain itu, tidak ada
hubungan yang signifikan antara jarak genetik dan jarak geografis pada kebanyakan
spesies Actinidia (Zhang, Li, Liu, Jiang, & Huang, 2007). Berdasarkan analisis
filogenetik homolog MPK6 menunjukkan bahwa penanda yang berasal dari A.
deliciosa secara individu lebih terkait erat dengan penanda A. chinensis dari pada
dengan satu sama lain (Fraser et al., 2015).

VI. Aspek budidaya


Syarat tumbuh untuk tanaman kiwi agar dapat berkembang dengan baik adalah
membutuhkan lahan yang cukup luas, mengandung bahan organik tanah yang
tinggi, kondisi lingkungan cukup sinar matahari serta tanaman kiwi membutuhkan
air yang cukup, sehingga jangan sampai tanaman mengalami kekeringan, terutama
saat musim panas yang kering (Huang, 2016b). Suhu optimum bagi tanaman
kiwi berkisar 20 – 30o C, namun beberapa jenis Actinidia yang lain bahkan tahan
terhadap suhu dingin di bawah 0oC (Burdon & Lallu, 2011).
Perbanyakan tanaman kiwi dapat dilakukan melalui perbanyakan generatif (melalui
biji) dan vegetatif (melalui okulasi - grafting), serta kultur jaringan (Huang, 2016b).
Untuk biji diambil dari buah yang telah sepenuhnya matang dan dibersihkan dari
daging buah, kemudian dikeringkan. Sebelum melakukan penyemaian, biji diberi
perlakuan tertentu seperti stratifikasi pasir, fluktuasi suhu, maupun perlakuan
hormon. Hal ini dilakukan untuk memecah dormansi, meningkatkan tingkat
perkecambahan dan meningkatkan kualitas benih. Selanjutnya, penyemaian
benih dapat dilakukan dengan ditanam menggunakan baris lebar dan sempit
bergantian, maupun disebar secara merata pada bedengan penyemaian. Benih
dapat dipindahtanamkan setelah muncul 3-5 daun sejati. Pada perbanyakan
secara okulasi, hal-hal penting untuk keberhasilan okulasi adalah mengiris secara
bersih dengan pisau okulasi yang tajam, menempelkan batang atas secara tepat,
mengikat dan menutup tempelan secara rapat, serta menjaga tempelan tetap
lembap dan batang bawah disiram dengan baik (Huang, 2016b).
10 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Untuk penanaman benih kiwi hasil okulasi perlu diperhatikan agar titik okulasi
tidak tertutup oleh tanah (3 – 5 cm di atas permuakaan tanah). Kerapatan
penanaman bergantung di antaranya pada kultivar kiwi yang ditanam, kondisi
kebun, dan sistem pendukungnya (Huang, 2016b). Untuk pemupukan, kebun
kiwi membutuhkan setidaknya 130 kg N, 50 kg P dan 210 kg K per hektare per
tahun. Jumlah dan frekuensi pupuk yang diberikan ini bergantung pada umur
tanaman, vigoritas tanaman, kebutuhan nutrisi pada berbagai tahap fenologis
dan hasil buahnya. Pupuk tersebut diberikan tiga kali dalam setahun, yaitu untuk
merangsang pertumbuhan tunas baru dan inisiasi bunga, saat perkembangan
buah, dan setelah masa panen (Huang, 2016b).
Pemeliharaan lain yang perlu dilakukan meliputi penyiangan, pengairan, dan
pemangkasan. Penyiangan dilakukan secara rutin untuk mengurangi kompetisi
nutrisi antara gulma dengan tanaman kiwi. Bisa juga dilakukan dengan memberikan
mulsa organik dari jerami untuk mengatasi gulma. Tanaman kiwi sensitif terhadap
kekeringan maupun genangan air, jadi lebih menyukai tanah yang lembap dan
berdrainase baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pengairan saat musim kering dan
drainase yang baik saat musim hujan. Untuk pemangkasan, perlu dilakukan saat
tanaman muda (pertumbuhan vegetatif) yang bertujuan untuk membentuk
struktur kanopi. Pemangkasan selanjutnya saat tanaman dewasa, di mana
semakin banyak percabangan untuk buah, sehingga pemangkasan bertujuan
untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan vegetatif dan generatif. Selain
itu, jenis tanaman kiwi yang sudah dibudidayakan secara komersial umumnya
mempunyai sifat sangat vigor dan membutuhkan struktur penyangga yang kuat.
Oleh karena itu, tanaman kiwi diberi struktur penyangga pergola atau palang T,
sistem busur, struktur pagar sederhana, tiang dari batang pohon, dan sebagainya
sehingga tanaman dapat diatur dengan mudah (Burdon & Lallu, 2011; Ferguson,
2013; Huang, 2016b).
Untuk mendapatkan hasil buah dengan ukuran yang seragam dan kualitas yang
baik maka perlu dilakukan penjarangan buah. Buah yang muncul di cabang lateral
ukurannya lebih kecil, maka dibuang. Demikian juga dengan buah yang berkembang
di kedua ujung tunas bunga harus dibuang, sedangkan buah yang berada di bagian
tengah tetap dipertahankan. Selanjutnya pemberongsongan buah dilakukan untuk
menjaga buah tetap bersih, bebas dari residu pestisida dan mencegah pembusukan
buah (Huang, 2016b).
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 11
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

Hama yang menyerang tanaman kiwi umumnya adalah kutu sisik, wereng daun,
dan ngengat. Sedangkan penyakit utama yang menyerang tanaman kiwi adalah
kanker bakteri (Pseudomonas syringae pv. actinidiae, PSA). Penyakit ini sangat
merusak dan menjadi ancaman utama bagi pertanaman kiwi di dunia, karena sudah
menyebar ke berbagai negara penghasil kiwi dunia. Sampai saat ini belum ada
pengendalian yang efektif untuk mengatasi penyakit kanker bakteri. Oleh karena
itu, pengendalian dilakukan dengan upaya preventif melalui pertahanan secara
kimia maupun alami dan pengelolaan kebun secara baik. Sedangkan penyakit lain
yang umumnya menyerang adalah penyakit akibat jamur, seperti busuk akar dan
pangkal batang, serta busuk buah, dan penyakit akar simpul akibat nematoda
(Huang, 2016b). Selain itu, busuk pada buah juga dapat terjadi tidak hanya di
lapang, tapi juga dapat terjadi saat dalam masa penyimpanan (Pennycook, 1985).
Pematangan buah kiwi tercapai pada 120 – 200 hari sejak bunga gugur, maka buah
dapat dipanen ketika kandungan padatan terlarut telah mencapai 7 – 9%. Buah
yang siap panen telah mencapai ukuran maksimal dan terasa lunak ketika disentuh.
Tekstur kulitnya juga menjadi lebih lembut dan buah mengeluarkan bau harum
yang khas (Huang, 2016c, 2016a). Buah kiwi termasuk buah klimaterik, sehingga
proses pemasakan buah tetap berlangsung setelah buah dipetik (Hu et al., 2018).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Buah kiwi mempunyai kandungan gizi yang penting, termasuk kaya akan vitamin C,
serat, mineral dan sumber fitokimia, yaitu fenolik, flavonoid dan klorofil yang mana
mempunyai manfaat kesehatan yang penting bagi konsumen, di antaranya sebagai
anti karsinogen dan untuk sistem kekebalan tubuh (Fazayeli, Kamgar, Nassiri,
Fazayeli, & De la Guardia, 2019; Hunter, Skinner, & Ferguson, 2016; Soquetta et
al., 2016). Buah Kiwi juga merupakan sumber beberapa molekul bioaktif alami
untuk antioksidan, seperti asam askorbat, fenolat, karotenoid dan tokol, sehingga
mempunyai efek untuk meningkatkan kesehatan. Bahkan, mengonsumsi satu buah
kiwi saja dapat memenuhi kebutuhan harian akan vitamin C yang direkomendasikan
(D’Evoli et al., 2015). Selain dikonsumsi sebagai buah segar, kiwi juga bisa diolah
menjadi jus, selai, es krim, buah kalengan, buah kering, keripik, dan sebagainya (Li
& Zhu, 2017; Ward & Courtney, 2013). Sebuah studi menyebutkan bahwa irisan
12 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

buah kiwi kering dan selai kiwi mengandung elemen mineral yang tinggi. Dengan
demikian, buah kiwi dapat memberikan suplai zat gizi yang paling lengkap (Ma et
al., 2019).
Sebanyak 70% dari total produksi kiwi dunia adalah dari jenis A. deliciosa dengan
varietas Hayward (kiwi hijau). Meskipun buah kiwi kuning dari jenis A. chinensis
telah diperkenalkan dan tersedia di pasar internasional, namun sampai saat ini
buah kiwi hijau masih yang paling banyak diperdagangkan secara internasional
(Ferguson, 2013). Produksi buah kiwi di seluruh dunia mencapai 4,04 juta ton, di
mana negara-negara yang menjadi produsen utama buah kiwi yaitu China, Italia,
New Zealand, Iran, Yunani, Chile, Perancis, Turki, Portugal dan USA (Statista, 2017).
Bahkan buah kiwi menjadi komoditas untuk ekspor yang utama bagi New Zealand
(Follett et al., 2019). Nilai ekspor buah kiwi dari New Zealand tiap tahunnya bisa
mencapai lebih dari satu miliar dollar (Li & Zhu, 2017).
Di Indonesia, buah kiwi masih menjadi buah impor. Volume impor kiwi pada
tahun 2017 mencapai 4.908 ton (Pusdatin Pertanian, 2017). Pertanaman kiwi yang
ada di Indonesia saat ini hanya bersifat setempat dan dalam skala kecil, seperti
yang ada di Tangerang dan Tasikmalaya, sehingga hasilnya belum bisa memenuhi
kebutuhan lokal dan belum dapat dirasakan dalam skala nasional. Oleh karena
itu, peluang untuk mengembangkan kiwi di Indonesia dirasa cukup potensial.
Meskipun tanaman ini berasal dari daerah subtropis, namun dapat tumbuh di
daerah beriklim tropis termasuk Indonesia, seperti yang ada di Tangerang dan
Tasikmalaya tersebut. Namun demikian, penanaman kiwi di Indonesia tetap perlu
memperhatikan syarat tumbuh, serta perlu perlakuan khusus, seperti pemenuhan
kebutuhan air yang cukup dan sangat dibutuhkan oleh tanaman kiwi.

Pustaka
1. Bogacioviene S, Cesoniene L, Ercisli S, Valatavicius A, Jakstys B, Satkauskas S,
& Paulauskas A. 2019. Ploidy levels and genetic diversity of Actinidia arguta
(Siebold & Zucc.) Planch. ex Miq., A. kolomikta (Rupr. & Maxim.) Maxim.,
A. callosa Lindl., and A. melanandra Franch., accessions. Genetic Resources
and Crop Evolution, 66(5), 1107–1118. https://doi.org/10.1007/s10722-019-
00775-9
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 13
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

2. Burdon J, Lallu N. 2011. Kiwifruit (Actinidia spp.). In Postharvest biology and


technology of tropical and subtropical fruits: 3 (1904): 326–362). Cocona
to mango Woodhead Publishing Limited. https://doi.org/10.1016/B978-1-
84569-735-8.50014-0
3. Chat J, Jauregui B, Petit R J, & Nadot S. 2004. Reticulate evolution in kiwifruit
identified by comparing their maternal and paternal phylogenies. American
Journal of Botany, 91(5): 736–747. https://doi.org/10.3732/ajb.91.5.736
4. D’Evoli L, Moscatello S, Lucarini M, Aguzzi A, Gabrielli P, Proietti S, Lombardi-
Boccia, G. 2015. Nutritional traits and antioxidant capacity of kiwifruit (Actinidia
deliciosa Planch., cv. Hayward ) grown in Italy. Journal of Food Composition
and Analysis, 37(2015): 25–29. https://doi.org/10.1016/j.jfca.2014.06.012
5. Fazayeli A, Kamgar S, Nassiri S M, Fazayeli H, & De la Guardia M. 2019.
Dielectric spectroscopy as a potential technique for prediction of kiwifruit
quality indices during storage. Information Processing in Agriculture, (xxxx).
https://doi.org/10.1016/j.inpa.2019.02.002
6. Ferguson A R. 2013. Kiwifruit : The wild and the cultivated plants. In Advances
in Food and Nutrition Research Vol. 68: 15–32). https://doi.org/10.1016/
B978-0-12-394294-4.00002-X
7. Follett P A, Jamieson L, Hamilton L, & Wall M. 2019. New associations and
host status : Infestability of kiwifruit by the fruit fly species Bactrocera
dorsalis, Zeugodacus cucurbitae, and Ceratitis capitata (Diptera :
Tephritidae). Crop Protection, 115(2019): 113–121. https://doi.org/10.1016/j.
cropro.2018.09.007
8. Fraser L G, Datson P M, Tsang G K, Manako K I, Rikkerink E H, & McNeilage M A
2015. Characterisation, evolutionary trends and mapping of putative resistance
and defence genes in Actinidia (kiwifruit). Tree Genetics & Genomes, 11(21).
https://doi.org/10.1007/s11295-015-0846-1
9. Guanglian L, Zhangyun L, Chunhui H, Min Z, Junjie T, Xueyan Q, … Xiaobiao X.
2019. Genetic diversity of inner quality and SSR association analysis of wild
kiwifruit (Actinidia eriantha). Scientia Horticulturae, 248(January): 241–247.
https://doi.org/10.1016/j.scienta.2019.01.021
10. He Z, Zhang X, Zhong Y, & Ye L. 2000. Phylogenetic relationships of Actinidia and
related genera based on micromorphological characters of foliar trichomes.
Genetic Resources and Crop Evolution, 47(6): 627–639.
14 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

11. Hu H, Zhao S, Li P, & Shen W. 2018. Postharvest biology and technology


hydrogen gas prolongs the shelf life of kiwifruit by decreasing ethylene
biosynthesis. Postharvest Biology and Technology, 135(2018): 123–130.
https://doi.org/10.1016/j.postharvbio.2017.09.008
12. Huang H. 2016a. Biology, genetic improvement, and cultivar development. In
Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp. 211–237). https://doi.org/10.1016/B978-
0-12-803066-0.00005-8
13. Huang H. 2016b. Cultivation and management. In Kiwifruit: The Genus
ACTINIDIA (pp. 265–295). China Science Publishing & Media Ltd. https://doi.
org/10.1016/B978-0-12-803066-0.00007-1
14. Huang H. 2016c. Harvest and storage. In Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp.
297–307). https://doi.org/10.1016/b978-0-12-803066-0.00008-3
15. Huang H. 2016d. Introduction. In Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp. 1–7).
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803066-0.09999-8
16. Huang H. 2016e. Systematics and genetic variation of Actinidia. In Kiwifruit:
The Genus ACTINIDIA. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803066-0.00001-0
17. Hunter D C, Skinner M A, & Ferguson A R. 2016. Kiwifruit and health. In Fruits,
Vegetables, and Herbs (pp. 239–270). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/
B978-0-12-802972-5.00012-3
18. Li D, & Zhu F. 2017. Physicochemical properties of kiwifruit starch. Food
Chemistry, 220, 129–136. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.09.192
19. Ma T, Lan T, Geng T, Ju Y, Cheng G, Que, Z., … Sun, X. 2019. Nutritional properties
and biological activities of kiwifruit (Actinidia) and kiwifruit products under
simulated gastrointestinal in vitro digestion. Food and Nutrition Research,
63(1674).
20. Oh S, Lee M, Kim K, Han H, Won K, Kwack Y, … Kim D. 2019. Genetic diversity
of kiwifruit (Actinidia spp.), including Korean native A . arguta, using single
nucleotide polymorphisms derived from genotyping ‑ by ‑ sequencing.
Horticulture, Environment, and Biotechnology, 60: 105–114. https://doi.
org/10.1007/s13580-018-0106-z
21. Padmanabhan P & Paliyath G. 2016. Kiwifruit. In Encyclopedia of Food and
Health (pp. 490–494). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-384947-2.00409-8
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 15
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

22. Pennycook S R. 1985. Fungal fruit rots of Actinidia deliciosa (kiwifruit), 13(4):
289–299. https://doi.org/10.1080/03015521.1985.10426097
23. Pusdatin Pertanian. 2017. Impor komoditi pertanian subsektor hortikultura
(segar) tahun 2017. Retrieved from http://database.pertanian.go.id/
eksim2012asp/hasilimporSubsek.asp
24. Raharto S. 2016. Institutional development model cocoa farmers in east java
province district blitar. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 9: 95–
102. https://doi.org/10.1016/j.aaspro.2016.02.131
25. Rodriguez A, Alquezar B, & Pena L. 2013. Fruit aromas in mature fleshy fruits as
signals of readiness for predation and seed dispersal. New Phytologist, 197.
26. Shi T, Huang H, & Barker M S. 2010. Ancient genome duplications during the
evolution of kiwifruit (Actinidia) and related Ericales. Annals of Botany, 106:
497–504. https://doi.org/10.1093/aob/mcq129
27. Soquetta M B, Stefanello F S, Huerta K da M, Monteiro S S, da Rosa C S, & Terra
N. N. 2016. Characterization of physiochemical and microbiological properties,
and bioactive compounds, of flour made from the skin and bagasse of kiwi
fruit (Actinidia deliciosa). Food Chemistry, 199(2016): 471–478. https://doi.
org/10.1016/j.foodchem.2015.12.022
28. Statista. 2017. Global leading kiwi producing countries 2017. Retrieved from
https://www.statista.com/statistics/812434/production-volume-of-leading-
kiwi-producing-countries/
29. Wang S, Li D, Yao X, Song Q, Wang Z, Zhang Q, … Huang H. 2019. Evolution
and diversification of kiwifruit mitogenomes through extensive whole-
genome rearrangement and mosaic loss of intergenic sequences in a highly
variable region. Genome Biology and Evolution, 11(4): 1192–1206. https://
doi.org/10.1093/gbe/evz063
30. Wang W, Chen S, & Zhang X. 2016. Chloroplast genome evolution in
Actinidiaceae : clpP loss , heterogenous divergence and phylogenomic practice.
Plos One, 11(9): 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162324
31. Ward C, & Courtney D. 2013. Kiwifruit : Taking its place in the global fruit bowl.
In Advances in Food and Nutrition Research 68: 1–14. https://doi.org/10.1016/
B978-0-12-394294-4.00001-8
16 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

32. Zhang T, Li Z, Liu Y, Jiang Z, & Huang H. 2007. Genetic diversity, gene introgression
and homoplasy in sympatric populations of the genus Actinidia as revealed by
chloroplast microsatellite markers. Biodiversity Science, 15(1): 1–22. https://
doi.org/10.1360/biodiv.060277
Penulis:
Lizia Zamzami dan Zainuri Hanif
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Diospyros kaki Thunb.
(Ebenaceae)

Protologue
Diospyros kaki Thunb. -- Nova Acta Regiae Societatis Scientiarum Upsaliensis. 3:
208. 1780.

Sinonim
• Diospyros kaki L.f -- Supplementum Plantarum. 439. 1782
• Diospyros chinensis Blume -- Cat. Gew. Buitenzorg (Blume) 110. 1823
• Diospyros kaki Thunb., Fl. Jap. (Thunberg) 157 (1784).
• Diospyros kaki L.f., Suppl. Pl. 439 (1782).
• Diospyros kaki Blanco, Fl. Filip. [F.M. Blanco] 302 (1837).
• Diospyros kaki Thunb., Nova Acta Regiae Soc. Sci. Upsal. iii. 208 (1780); Thunb.
Fl. Jap. 157 (1784).
• Diospyros kaki Thunb., Syst. Veg., ed. 14 (J. A. Murray). 918 (1784).
• Diospyros kaki var. aurantium André. Rev. Hort. 59: 349 1887
• Diospyros kaki var. domestica Makino. Bot. Mag. (Tokyo) 22: 159 1908
• Diospyros kaki var. elliptica André. Rev. Hort. 59: 349 1887
• Diospyros kaki var. glabra A.DC. Prodr. 8: 22 1844
• Diospyros kaki var. macrantha Hand.-Mazz. Symb. Sin. 7: 802 1936.
• Diospyros kaki var. sahuti André. Rev. Hort. 59: 349 1887.
• Diospyros kaki var. silvestris Makino. Bot. Mag. (Tokyo) 22: 159 1908
18 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Nama umum
Kesemek (Indonesia), Japanese persimmon, Chinese persimmon, oriental
persimmon, kaki persimmon (Inggris), kakibaum, kakipflaume (Jerman), pisang
kaki (Malaysia), caqui, caqui del Japón, placa minera (Spanyol), Japansk persimon,
kakiplommon, kinesisk persimon (Swedia), kaki (Belanda, Slovenia, Italia, Perancis,
Finlandia), 柿 (Mandarin)

I. Pendahuluan
Tanaman kesemek termasuk ke dalam suku Ebenaceae dan marga Diospyros.
Marga ini memiliki lebih dari 350 spesies dan merupakan marga yang paling
penting secara ekonomi. Mayoritas spesies dari marga Diospyros terdistribusi di
daerah tropis Asia, Afrika, dan Amerika. Hanya beberapa spesies yang merupakan
tanaman dari daerah beriklim sedang, termasuk kesemek (Rauf et al., 2017;
Wallnöfer, 2001; Yonemori, Sugiura, & Yamada, 2000). Spesies dalam marga
Diospyros merupakan penghasil buah yang dapat dimakan serta kayu yang sangat
berharga. Spesies Diospyros yang dikenal sebagai penghasil buah terbaik dan
paling banyak dibudidayakan adalah Diospyros kaki Thunb (oriental persimmon),
yang merupakan spesies yang berasal dari Asia. Spesies lain seperti D. virginiana
L. (common persimmon) yang berasal dari Amerika juga dimanfaatkan buahnya
untuk dikonsumsi. Spesies ini merupakan spesies sekunder penghasil buah
dan digunakan sebagai batang bawah oriental persimmon di beberapa daerah
budidaya (Tetsumura, Giordani, & Tao, 2008; Yonemori et al., 2000). Spesies
penghasil buah penting lainnya adalah D. lotus (Asia Tengah dan Timur Tengah),
D. mespiliformis (Afrika), D. blancoi (Filipina), D. digyna (Amerika Tengah) D.
decandra, D. malabarica, D. glandulosa, D. rhodocalyx (Thailand) (Mallavadhani,
Panda, & Rao, 1998; Utsunomiya et al., 1998; Wallnöfer, 2001). Adapun spesies
dari marga Diospyros penghasil kayu adalah D. ebenum (Sri Lanka), D. melanoxylon
(India), D. celebica (Indonesia), D. dendo dan D. mespiliformis (Afrika) (Rauf et al.,
2017; Wallnöfer, 2001).
19
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Kesemek termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas:
Rosopsida, Subkelas: Dilleniidae, Bangsa: Ericales, Subbangsa: Ebenineae, Suku:
Ebenaceae, Marga: Diospyros, Jenis: Diospyros kaki Thunb. (Butt et al., 2015).
Tanaman kesemek adalah tanaman tahunan berbentuk pohon berumur panjang
yang tingginya bisa mencapai 18 meter bila tidak dipangkas (Gambar 4a). Kanopinya
berbentuk tegak, semi tegak, atau menyebar dengan lebar kanopi mencapai 4.5 –
6 meter. Batangnya berwarna abu-abu hingga cokelat tua dengan banyak celah/
retakan tidak teratur. Tanaman ini memiliki tipe percabangan simpodial dengan
ranting yang tegak, berliku, dan sering rapuh. Cabang berumur 1 tahun berwarna
cokelat atau abu-abu dengan banyak lentisel yang pucat (Baswarsiati, Suhardi,
& Rahmawati, 2006; Hanafiah, Sanggita, & Lubis, 2018; Intrigliolo et al., 2018;
Morton, 1987; Orwa, Mutua, Kindt, Jamnadass, & Anthony, 2009; Tetsumura et
al., 2008).

(a) (b)

Gambar 4. (a) Pohon kesemek dan (b) morfologi daun kesemek


(Foto: titistyas_gusti_aji)

Daun kesemek berbentuk bulat lonjong (ovate), ellips (elliptic), hingga bulat
lonjong dengan salah satu bagian lebih besar (obovate) dengan tata daun berseling
(alternate). Ukuran daun bervariasi tergantung kultivar dengan lebar antara 5-10
cm dan panjang antara 7.5-25 cm (Gambar 4b). Daun kesemek kasar dan keras,
20 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

daun mudanya berwarna hijau muda atau hijau kebiruan kemudian berubah
menjadi hijau gelap dan mengkilat seiring pertumbuhan daun. Pada saat musim
gugur, kebanyakan daun berubah menjadi berwarna kuning, oranye, atau merah
sebelum akhirnya gugur (Baswarsiati et al., 2006; Hanafiah et al., 2018; Intrigliolo
et al., 2018; Morton, 1987; Orwa et al., 2009; Tetsumura et al., 2008).
Kesemek memiliki sistem reproduksi yang sangat unik, yaitu berumah satu,
berumah dua, dan hermafrodit. Mayoritas kultivar komersial termasuk ke
dalam jenis berumah dua. Namun demikian, beberapa termasuk ke dalam jenis
hermafrodit dan berfungsi sebagai pollinator (Garcia-Carbonell et al., 2002.)
Bunga kesemek terletak di ketiak daun. Bunga betina berukuran besar, tunggal dan
terjuntai, dengan mahkota kecil berwarna kuning keputihan dan kaliks berwarna
hijau. Bunga jantan berukuran lebih kecil dan muncul dalam kluster berjumlah 3-5
bunga (Tetsumura et al., 2008).
Buah kesemek adalah buah buni dengan bentuk bervariasi, mulai datar hingga
bulat, atau memanjang, dengan bobot buah berkisar antara 50 hingga 500 g. Buah
berwarna kuning-jingga dan berubah menjadi merah atau jingga gelap seiring
proses pematangan. Daging buah tersusun atas struktur sel yang padat, berwarna
jingga kekuningan hingga cokelat kemerahan tergantung jenisnya dan ada atau
tidaknya biji pada buah (Gambar 5) (Hanafiah et al., 2018; Orwa et al., 2009;
Tetsumura et al., 2008; Woolf & Ben-Arie, 2011).

(a) (b)

Gambar 5. (a) Buah kesemek pada pohon dan (b) penampang melintang buah
kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji & kurniawan_budiarto).
21
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

III. Asal dan distribusi geografis


Kesemek diyakini berasal dari China dan merupakan sumber makanan yang
penting di China, Jepang, dan Korea sejak masa prasejarah (Tetsumura et al., 2008;
Yonemori et al., 2000). Kesemek telah tumbuh di Vietnam, Indonesia dan Filipina
sejak lama (Morton, 1987). Kesemek juga tumbuh di Amerika Serikat, Brasil,
Australia, Rusia dan Uni Soviet, serta beberapa negara di Asia Tenggara (Orwa et
al., 2009). Penyebaran kesemek ke benua lain disebabkan karena daya adaptasinya
yang tinggi di daerah beriklim sedang dan tropis (Kluge & Tessmer, 2018). Secara
alami, penyebaran kerabat kesemek, yaitu D. virginiana, dibantu oleh beragam
mamalia. Tanaman yang tumbuh dari biji yang telah dicerna oleh rakun dan anjing
hutan (coyote) memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan tanaman yang
berasal dari biji pada buah utuh. Biji yang telah melewati sistem pencernaan gajah
juga cenderung menghasilkan tanaman dengan kualitas yang lebih baik (Everitt,
1984; Rebein et al., 2017). Chavez-Ramirez & Slack (1993) mengamati penyebaran
benih D. virginiana dengan bantuan karnivora. Frekuensi adanya biji D. virginiana
pada feses karnivora yang diamati mengikuti pola kematangan buah, yaitu antara
bulan September hingga Januari. D. virginiana lebih disukai oleh karnivora selama
musim gugur ketika buah matang dan jumlahnya melimpah. Penurunan frekuensi
adanya biji D. virginiana pada feses karnivora dimulai pada bulan Desember,
menunjukkan penurunan buah di musim dingin.
Kesemek menyebar ke daerah beriklim sedang yaitu, Jepang pada abad ke-7
dan Korea pada abad ke-14. Jepang dan Korea dapat dianggap sebagai pusat
diversifikasi sekunder untuk tanaman kesemek. Catatan kuno tentang keberadaan
kesemek di Jepang dilaporkan dalam Honzo-Wamei, ensiklopedia herbal tertua
yang diterbitkan pada tahun 918 dan deskripsi pertama tentang kultivar kesemek
“Zenjimaru”, bertanggal 1241 (Tetsumura et al., 2008). Pada awal abad ke-14,
Marco Polo mencatat bahwa masyarakat China melakukan perdagangan kesemek
(Morton, 1987). Kesemek dibawa ke benua Eropa antara abad ke-17 hingga ke-
19 karena kegunaannya sebagai kayu mebel. Sedangkan untuk area Mediterania,
spesies dari marga Diospyros bercampur antara tanaman hias dan tanaman buah,
dan banyak ditanam bersama jeruk dan zaitun untuk konsumsi lokal. Kesemek
diintroduksi di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1800-an dan kultivarnya
beradaptasi dan menyebar pada awal tahun 1900-an. Selanjutnya, kultivar kesemek
juga diintroduksi di Australia dan Selandia Baru. Pada akhir abad ke-19, kesemek
22 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

juga diintroduksi di Brasil. Mulai tahun 1920-an, teknologi produksi dan varietas
yang adaptif terhadap iklim di Brasil mulai berkembang seiring dengan kedatangan
imigran Jepang (Kluge & Tessmer, 2018).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Tiga spesies dalam marga Diospyros dari daerah sedang, yaitu D. kaki, D. lotus,
dan D. virginiana, bersifat monofiletik dengan spesies subtropis D. ehretioides.
Hal ini menunjukkan hubungan evolusi yang erat di antara mereka (Giordani,
2002; Yonemori et al., 1998). Kesemek adalah tanaman hexaploid dengan jumlah
kromosom 90 (2n = 6x = 90). Namun demikian, dilaporkan terdapat kultivar
octoploid (2n = 8x = 120), yaitu Hasshu, dan nonaploid (2n = 9x = 135), yaitu
Hiratanenashi dan Tonewase. Oleh karena itu, jumlah kromosom dasar pada
marga Diospyros diperkirakan adalah 15 (Yonemori et al., 2008; Zhuang et al,
1990). Ukuran genom kesemek telah diuji dengan menggunakan flow cytometry.
Kesemek memiliki kandungan DNA sekitar 5.00-5.21 pg/2C pada kultivar hexaploid
dan 7.51-8.12 pg/2C pada kultivar nonaploid (Tamura et al., 1998).
Walaupun kesemek adalah tanaman hexaploid, namun bunga betina bersifat
cukup fertil. Berdasarkan pengamatan perilaku kromosom sel induk serbuk sari
saat meiosis, Zhuang et al. (1990) berhipotesis bahwa kesemek Jepang bukan
autohexaploid. Penulis ini juga melaporkan bahwa pembentukan bivalen terjadi
secara teratur, dan beberapa multivalen dan asosiasi sekunder bivalen teramati
pada meiosis. Namun, kurangnya multivalen tidak selalu menunjukkan poliploid
disomic (Kanzaki, Yonemori, Sugiura, Sato, & Yamada, 2001). Hasil ini menunjukkan
bahwa kesemek termasuk allopolyploid.
Varietas kesemek dikelompokkan berdasarkan respons tanaman terhadap
penyerbukan, perubahan warna daging buah, dan rasa sepat pada buah yang
telah matang (Kluge & Tessmer, 2018; Yesiloglu, Cimen, Incesu, & Yilmaz, 2018).
Pengelompokan tersebut adalah pollination constant (PC), yaitu daging buah tidak
mengalami perubahan warna akibat penyerbukan, dan pollination variant (PV),
yaitu daging buah berwarna cerah bila bersifat partenokarpik, dan berwarna gelap,
terutama di sekitar biji, bila berbiji. Kedua kelompok ini dibagi menjadi berasa
sepat/astringent (A) dan tidak berasa sepat/non astringent (NA) berdasarkan ada
atau tidaknya rasa sepat pada buah yang telah matang (Tetsumura et al., 2008;
Yonemori et al., 2000). Oleh karena itu, kultivar kesemek dapat dikelompokkan
23
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

menjadi PCA (pollination-constant astringent), PCNA (pollination-constant non-


astringent), PVA (pollination-variant astringent), dan PVNA (pollination-variant
non-astringent). Contoh varietas PCA antara lain Saijo, Atago, Hachiya, Pomelo,
Rubi; varietas PCNA antara lain Fuyu, Jiro, Izu, Matsumotowase-Fuyu, Maekawa-
Jiro; varietas PVA antara lain Hiratenashi, Aizumishirazu, Rama Forte, Giombo;
dan PVNA yaitu Nishimurawase, Fudegaki, Zenjimaru, Shogatsu, Mizushima (Kluge
& Tessmer, 2018; Sato & Yamada, 2003; Tetsumura et al., 2008; Yonemori et al.,
2000).
Analisis hubungan kekerabatan genetik buah kesemek dengan menggunakan
penanda SSR pada 51 genotipe dalam marga Diospyros yang berasal dari China,
Korea, dan Jepang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara D.
kaki, D. oleifera, D. glaucifolia dan D. lotus (Yang, Jing, Ruan, & Cheng, 2015).
Sedangkan 71 kultivar kesemek yang berasal dari Eropa, di mana di dalamnya
sudah termasuk aksesi dari Jepang, Italia, dan Spanyol dianalisis menggunakan
penanda 19 polimorfik mikrosatelit menunjukkan adanya variasi genetik yang
signifikan sebesar 73,3% dan 85,2% berturut-turut untuk tipe astringent (berasa
sepat) dan daerah asalnya (Naval et al., 2010).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Kompleksitas hubungan kekerabatan tampaknya adalah fitur utama dalam marga
Diospyros. Ketidaksesuaian taksonomi di antara spesies dalam marga Diospyros
menunjukkan bahwa hibridisasi atau peristiwa introgresi selama pembentukan
spesies ini mungkin terjadi. Pada marga Diospyros, walaupun tidak terdapat pola
yang jelas, banyak sekuen teramati pada beberapa spesies, yaitu D. lycioides, D.
oleifera, D. confertiflora, D. glandulosa, D. virginiana, D. rhodocalyx, tiga kultivar D.
kaki, dan D. lotus cv. Kunsenshi. D. kaki sebagai spesies yang paling penting dalam
marga Diospyros dan satu-satunya tanaman buah yang dibudidayakan, memberi
kesan sebagai spesies dengan asal hibrida. Dengan demikian, ketidaksesuaian
taksonomi mungkin merupakan hasil dari sejarah hibridisasi, introgresi, dan/atau
poliploidisasi di antara spesies nenek moyang marga Diospyros di zona beriklim
sedang (Yonemori et al., 2008).
Beberapa tanaman yang berasal dari Amerika Utara diduga telah kehilangan
penyebar benih alaminya, yang punah selama masa Pleistosen. Oleh karena itu
tanaman ini dianggap sebagai tanaman anakronis (anachronistic plants). Biji
24 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

common persimmon (D. virginiana), yang merupakan kerabat kesemek, dapat


melewati sistem pencernaan (usus) rakun, anjing hutan (coyote), dan gajah, yang
merupakan spesies asli. Sistem pencernaan spesies asli ini tidak memengaruhi
keberhasilan tumbuh biji-biji tersebut, malah cenderung mempercepat waktu
berkecambah dan meningkatkan kualitas bibit. Pengamatan pada hewan pemakan
common persimmon menunjukkan bahwa rusa berekor putih (Odocoileus
virginianus) terdeteksi paling banyak memakan buah ini. Namun mereka bukan
penyebar benih yang efektif karena termasuk ruminansia yang mengunyah dan
memfermentasi makanan mereka. Sebaliknya, keberadaan penyebar benih yang
potensial jarang ditemukan. Common persimmon diduga berevolusi untuk menarik
berbagai penyebar benih dan dengan demikian tidak termasuk tanaman anakronis.
Perubahan yang disebabkan oleh manusia pada komunitas mamalia juga mungkin
memengaruhi keberhasilan penyebaran benih (Rebein et al., 2017).
Kultivar kesemek Italia dan Spanyol memiliki kumpulan gen yang sama, sementara
kultivar Jepang, China dan Korea membentuk kelompok yang berbeda. Keragaman
dalam kelompok lebih besar daripada keragaman antar kelompok, di mana sebagian
besar kultivar cukup polimorfik (hanya 0,60-0,80 kesamaan di antara kultivar). Di
dalam kumpulan gen yang sama terdapat subset dari kultivar yang agak berbeda
dan lebih beragam daripada sebagian besar kultivar, yaitu kultivar ‘Kaki Tipo’,
yang banyak dibudidayakan di Eropa. Sampel ‘Kaki Tipo’ terpilih yang diuji secara
genetik berbeda nyata dan tidak boleh diklasifikasikan sebagai kultivar tunggal.
Tingkat keragaman di antara sampel ‘Kaki Tipo’ terpilih ini mirip dengan seluruh
kelompok kultivar Eropa, menunjukkan bahwa ‘Kaki Tipo’ tidak memiliki asal yang
sama dengan kelompok kultivar Eropa pada umumnya. Keragaman dalam ‘Kaki
Tipo’ menunjukkan bahwa mereka mungkin telah diseleksi atau dikembangkan
dari tetua yang berbeda. Selain itu, kehadiran beberapa kultivar Jepang dalam
kelompok Eropa dan sekelompok kultivar Eropa dalam kelompok China dan
Korea menunjukkan bahwa nenek moyang yang mirip tetapi berbeda digunakan
dalam pengembangan kultivar Eropa saat ini. Kultivar baru dikembangkan melalui
hibridisasi dan seleksi segera setelah introduksi awal tanaman kesemek ke Eropa
(Yonemori et al., 2008).
25
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

VI. Aspek budidaya


Kesemek membutuhkan iklim sedang hingga sedang-ringan (mild temperate)
untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Kesemek mungkin tidak dapat
berbuah pada dataran rendah di daerah tropis. Di Brasil, kesemek dianggap cocok
dan dapat ditanam pada semua zona yang menguntungkan bagi tanaman jeruk.
Namun demikian, zona dengan suhu terdingin pada musim salju menginduksi hasil
buah tertinggi (Orwa et al., 2009).
Kesemek dapat tumbuh pada ketinggian 0-2500 meter di atas permukaan laut.
Tanah yang paling baik untuk budidaya kesemek adalah tanah dengan tekstur
medium dan dalam, namun kesemek dapat juga tumbuh pada tanah dengan
kandungan liat dengan drainase yang baik. Kesemek menyukai tanah dengan tingkat
keasaman 6.0 hingga 7.5 (Orwa et al., 2009; Tetsumura et al., 2008; Yesiloglu et al.,
2018). Di Indonesia, kesemek tumbuh pada daerah dengan ketinggian 900 – 1500
m dpl. Produsen kesemek Indonesia termasuk Sumatera Utara (Brastagi, Toba,
dan Karo), Sumatera Barat (Solok), Jawa Barat (Garut, Sumedang, Majalengka, dan
Ciloto), dan Jawa Timur (Magetan, Malang, dan Batu) (Baswarsiati et al., 2006;
Hanafiah et al., 2018; Ishaq & Noch, 2006; Kusumawati, Putri, Azhar, & Swasti,
2018; Ridwan & Ishaq, 2005).
Kesemek adalah spesies yang mudah tumbuh dan mudah beradaptasi pada
lingkungan yang bervariasi. Teknik perbanyakan kesemek tidak maju, perbanyakan
dilakukan melalui biji, teknik stek dan sambung, serta mikropropagasi. Kepadatan
penanaman tidak tinggi, karena saat ini belum ada batang bawah kerdil yang
diperbanyak secara masif untuk kesemek (Bellini & Giordani, 2002). Petani kesemek
di Kabupaten Garut melakukan perbanyakan kesemek menggunakan tunas akar
yang keluar dari bagian bawah tanaman induk (Ridwan & Ishaq, 2005).
Sistem pemangkasan yang paling umum dilakukan adalah palmette (pembentukan
cabang menyerupai telapak tangan) dan vase (pemilihan dan pemeliharaan 3-4
cabang yang paling vigor dan selanjutnya dipangkas untuk merangsang tumbuhnya
tunas yang menghasilkan buah). Pemangkasan cabang yang sudah menghasilkan
buah dan tunas yang panjang juga dilakukan sebagai pemangkasan pemeliharaan
(Bellini & Giordani, 2002).
Sistem perakaran kesemek dalam dan sangat aktif dalam penyerapan air. Meskipun
kesemek dapat beradaptasi pada kondisi kekeringan, ketersediaan air sangat
penting terutama pada saat pembungaan, fruit set, dan pengisian buah. Sedangkan
26 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

untuk pemupukan, kesemek menunjukkan permintaan yang rendah dibandingkan


dengan spesies pohon buah-buahan lainnya dari daerah beriklim sedang (Bellini
& Giordani, 2002).
Petani kesemek di Indonesia tidak melakukan sistem budidaya yang intensif untuk
tanaman ini meskipun mereka memetik hasilnya setiap tahun. Namun demikian,
petani memangkas cabang lateral dan membersihkan tanaman pengganggu saat
kesemek menggugurkan daunnya. Selain itu, petani juga melakukan pemanenan
tunas akar untuk dipelihara di dalam polybag pada masa gugur daun ini. Beberapa
petani memanfaatkan lahan di bawah tegakan kesemek untuk budidaya sayuran.
Pemupukan dan penyiraman sayuran secara tidak langsung akan memengaruhi
pertumbuhan kesemek sehingga petani merasa tidak perlu melakukan teknik
budidaya khusus untuk tanaman kesemek. Meskipun tanpa perawatan yang
intensif, tanaman kesemek tetap menghasilkan buah setiap tahunnya (Kusumawati
et al., 2018; Ridwan & Ishaq, 2005).
Spesies berikut dianggap sebagai hama penting yang mengancam produksi
kesemek di beberapa negara: Aceria diospyri (Brasil), Retithrips syriacus (Palestina),
Pseudaulacaspis pentagona dan Onsideres cingulatus (Amerika Serikat), Ceroplastes
japonicus Green (China dan Italia), C. pseudoceriferus Green (Korea), Coccus
hesperidum L. (Australia) dan Parthenolecanium persicae (Fabricius) (Israel). Lalat
buah juga banyak menyerang buah, terutama saat musim kering. Buah kesemek
yang telah matang di pohon juga banyak diserang oleh burung dan mamalia kecil
(Morton, 1987; Swirski, Ben-Dov, & Wysoki, 1997; Yesiloglu et al., 2018).
Pembentukan buah dan produktivitas berkorelasi positif dengan penyerbukan,
sedangkan gugur buah muda sebagian besar terkait dengan sifat partenokarpi
pada sebagian besar kultivar kesemek, terutama pada kultivar PCNA. Namun
demikian, kultivar Kaki Tipo (PVNA) dan Rojo Brillante (PVA), yang paling banyak
dibudidayakan di Italia dan Spanyol, menunjukkan pembentukan buah tanpa biji
yang sangat tinggi (Bellini & Giordani, 2002). Partenokarpi adalah faktor yang
penting dalam mengendalikan produktivitas karena gugur buah pada tipe kesemek
berbiji adalah masalah yang banyak dijumpai. Semakin tinggi sifat partenokarpi,
maka semakin sedikit gugur buah muda. Partenokarpi juga menghilangkan masalah
kebutuhan pollinator untuk kultivar dengan bunga betina. Selain itu, konsumen
juga lebih menghendaki buah tanpa biji (Janick, 2010).
27
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

Kesemek berbunga setahun sekali. Di Indonesia, kesemek berbunga sekitar bulan


Oktober-Januari setelah beristirahat selama 4-7 bulan pada musim kemarau.
Selama musim kemarau, tanaman menggugurkan daun dan tunas muda
muncul di awal musim hujan (Baswarsiati et al., 2006). Banyak kultivar kesemek
mulai berbuah pada umur 3-4 tahun setelah tanam, sisanya setelah 5-6 tahun.
Pengguguran banyak bunga, buah yang belum matang dan hampir matang adalah
karakteristik kesemek. Terdapat kecenderungan sifat alternate bearing pada
kesemek (Orwa et al., 2009). Waktu panen berbeda-beda untuk setiap kultivar,
dan dapat pula berubah bergantung kondisi lingkungan dan kultur teknis yang
diterapkan. Pemanenan dilakukan pada 6 bulan pertama di negara belahan bumi
selatan, seperti Brasil, Australia, dan Selandia Baru. Sedangkan di negara-negara
Eropa dan Asia, panen dilakukan pada 6 bulan terakhir, yaitu antara Oktober dan
Desember (Kluge & Tessmer, 2018). Di Indonesia, kesemek dipanen antara bulan
April dan Juli, dengan buah paling banyak dipanen pada bulan Juni. Petani di
Indonesia memanen buah kesemek saat buah belum masak. Sesudah dipanen,
buah dibawa ke gudang penyimpanan untuk selanjutnya diberi perlakuan untuk
menghilangkan rasa kelat. Perendaman dalam larutan kapur dengan konsentrasi
3-5% selama 48-72 jam umum dilakukan oleh petani. Saat dikeringkan, buah
kesemek tampak seperti dibedaki (Baswarsiati et al., 2006). Penghilangan rasa
kelat juga dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol (Setiawan, 2014) dan gas
karbon dioksida (Rauf et al., 2017).

VII. Kegunaan, karakteristik lain, dan potensi


ekonomi
Di Indonesia, kesemek merupakan salah satu buah subtropis yang semakin langka
namun tetap memiliki potensi pasar. Hal ini terlihat dari tren impor buah kesemek
dari tahun 2012 hingga tahun 2018, yang mengalami kenaikan 97,8%, dari 52 ton
menjadi 102,9 ton. Di sisi ekspor, peluang yang terbuka belum dapat ditangkap
sepenuhnya oleh Indonesia, salah satunya permintaan dari Singapura. Beberapa
sentra kesemek di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat
dan Sumatera Utara.
Kesemek di Indonesia memiliki kandungan tanin yang tinggi, di mana mengandung
zat astringent, sehingga membuat rasanya sepat. Perendaman dengan air kapur
merupakan praktik yang biasa digunakan di Indonesia untuk menghilangkan
28 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

kandungan tanin. Perendaman dilakukan selama 3-5 hari (Prabawati, 1985;


Setiawan, 2014). Perbandingan antara kapur dengan jumlah buah yang direndam
adalah 1:30, yakni 3-4 kg kapur untuk 100 buah kesemek (Baswarsiati et al., 2006).
Hal ini membuat kesemek yang dijual di pasar sering dijumpai dalam kondisi
berbedak. Kandungan lain dalam 100 g buah segar kesemek yaitu: kalori 88 kal;
protein 0,80 g; lemak 0,40 g; karbohidrat 15 g; kalsium 6 mg; fosfor 26 mg; besi
0,30 mg; vitamin A 813 SI; vitamin B1 0,05 mg; vitamin C 20mg; air 78 g; serat tidak
terlarut 3,7 g (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996; Taylor & Kennedy,
1993). Serat tidak terlarut pada kesemek lebih tinggi dibandingkan blueberry 2,4
g, pir 2 g dan apel 1,8 g. Tingginya serat pada kesemek menjadikannya baik untuk
kesehatan, mencegah kanker saluran pencernaan dan mencegah sembelit. Buah ini
juga memiliki kandungan likopen dan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan
kanker dan mencegah penyakit jantung serta menurunkan kolesterol jahat (Chen,
Fan, Yue, Wu, & Li, 2007; Salunkhe, 1995).
Produk olahan dari kesemek yang umum dibuat masyarakat Garut adalah sale
(manisan), meski kesemek dapat juga dibuat menjadi puree, es krim, selai dan jeli.
Di samping itu kesemek dapat digunakan sebagai bahan pewarna pakaian, kertas
atau bahan kerajinan dan bahan baku industri kosmetik (Lin, Peng, & Ren, 2015;
Ridwan & Ishaq, 2005).

Pustaka
1. Baswarsiati, Suhardi, & Rahmawati D. 2006. Potensi dan wilayah pengembangan
kesemek Junggo. Buletin Plasma Nutfah, 12(2): 56. https://doi.org/10.21082/
blpn.v12n2.2006.p56-61
2. Bellini E, & Giordani E. 2002. Cultural practices for persimmon production.
CIHEAM Options Mediterraneennes, (51): 39–52.
3. Butt M S, Sultan M T, Aziz M, Naz A, Ahmed W, Kumar N, & Imran M. 2015.
Persimmon (Diospyros kaki) Fruit: Hidden Phytochemicals and Health Claims.
EXCLI Journal, 14: 542–561.
4. Chavez-Ramirez F & Slack R. D. 1993. Carnivore fruit-use and seed dispersal of
two selected plant species of the Edwards Plateau, Texas. The Southwestern
Naturalist, 38(2): 141. https://doi.org/10.2307/3672066
29
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

5. Chen X N, Fan J F, Yue X, Wu X R, & Li L T. 2007. Radical scavenging activity


and phenolic compounds in persimmon (Diospyros kaki L. cv. Mopan).
Journal of Food Science, 73(1): C24–C28. https://doi.org/10.1111/j.1750-
3841.2007.00587.x
6. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
7. Everitt J H. 1984. Germination of Texas persimmon seed. Journal of Range
Management, 37(2): 189–192. https://doi.org/10.2307/3898913
8. Garcia-Carbonell S, Yague B, Bleiholder H, Hack H, Meier U, & Agusti M. 2002.
Phenological growth stages of the persimmon tree (Diospyros kaki). Annals
of Applied Biology, 141(1): 73–76. https://doi.org/10.1111/j.1744-7348.2002.
tb00197.x
9. Giordani E. 2002. Varietal assortment of persimmon in the countries of the
Mediterranean area and genetic improvement. First Mediterraneennes
Symposium on Persimmon, 37: 23–37.
10. Hanafiah D S, Sanggita S, & Lubis K. 2018. The phenotypic appearance of
Japanese persimmon (Diospyros kaki L.f.) in Karo District, North Sumatra,
Indonesia. Biodiversitas, 19(2): 509–514. https://doi.org/10.13057/biodiv/
d190226
11. Intrigliolo D S, Visconti F, Bonet L, Parra M, Besada C, Abrisqueta I, … de Paz J
M. 2018. Persimmon (Diospyros kaki) trees responses to restrictions in water
amount and quality. In Water Scarcity and Sustainable Agriculture in Semiarid
Environment (pp. 149–177). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813164-
0.00008-9
12. Ishaq I & Noch M. 2006. Buah kesemek: potensi sumberdaya genetik Kabupaten
Garut Jawa Barat. Lokakarya Nasional Pengelolaan Dan Perlindungan Sumber
Daya Genetik Di Indonesia: Manfaat Ekonomi Untuk Mewujudkan Ketahanan
Nasional, 108–118.
13. Janick J. 2010. The origins of fruits, fruit growing, and fruit breeding. Plant
Breeding Reviews, 25: 255–321. https://doi.org/10.1002/9780470650301.
ch8
30 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

14. Kanzaki S, Yonemori K, Sugiura A, Sato A, & Yamada M. 2001. Identification


of molecular markers linked to the trait of natural astringency loss of
Japanese persimmon (Diospyros kaki) fruit. Journal of the American
Society for Horticultural Science, 126(1): 51–55. https://doi.org/10.21273/
JASHS.126.1.51
15. Kluge R A, & Tessmer M A. 2018. Caqui — Diospyros kaki. In Exotic Fruits
Reference Guide (pp. 113–119). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803138-
4.00016-2
16. Kusumawati A, Putri N E, Azhar N O, & Swasti E. 2018. Karakterisasi plasma
nutfah buah lokal di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Solok. Jurnal
Agrosains Dan Teknologi, 3(1): 19–29.
17. Lin P M C, Peng K L, & Ren L. 2015. Xinpu persimmon dye: evolution from a
local to a global industry. Journal of China Tourism Research, 11(2): 214–228.
https://doi.org/10.1080/19388160.2015.1043066
18. Mallavadhani U V, Panda A K, & Rao Y R. 1998. Pharmacology and
chemotaxonomy of Diospyros. Phytochemistry, 49(4): 901–951. https://doi.
org/10.1016/S0031-9422(97)01020-0
19. Morton J. 1987. Japanese Persimmon (Diospyros kaki L.). In J. F. Morton (Ed.),
Fruits of Warm Climates (pp. 411–416). Retrieved from https://hort.purdue.
edu/newcrop/morton/japanese_persimmon.html
20. Naval M del M, Zuriaga E, Pecchioli S, Llácer G, Giordani E, & Badenes M L. 2010.
Analysis of genetic diversity among persimmon cultivars using microsatellite
markers. Tree Genetics & Genomes, 6(5), 677–687. https://doi.org/10.1007/
s11295-010-0283-0
21. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, & Anthony S. 2009. Diospyros kaki L.
22. Prabawati S. 1985. Pengaruh perendaman air kapur terhadap sifat sensori dan
perubahan kimia buah kesemek. Jakarta Selatan.
23. Rauf A, Uddin G, Patel S, Khan A, Halim S A, Bawazeer S, … Mubarak M S.
2017. Diospyros, an under-utilized, multi-purpose plant genus: A review.
Biomedicine & Pharmacotherapy, 91: 714–730. https://doi.org/10.1016/j.
biopha.2017.05.012
31
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

24. Rauf R F, Purwanto Y A, & Sobir. 2017. Perlakuan pascapanen buah kesemek
Reundeu (Diosphyros kaki L.) menggunakan gas karbon dioksida. Comm.
Horticulturae Journal, 1(1): 14–19. https://doi.org/10.29244/chj.1.1.14-19
25. Rebein M, Davis C N, Abad H, Stone T, del Sol J, Skinner N, & Moran M D. 2017.
Seed dispersal of Diospyros virginiana in the past and the present: Evidence for
a generalist evolutionary strategy. Ecology and Evolution, 7(11): 4035–4043.
https://doi.org/10.1002/ece3.3008
26. Ridwan H & Ishaq I. 2005. Kajian sistem usahatani buah kesemek (Diosphyros
kaki L.f) dan permasalahannya di Kabupaten Garut – Jawa Barat. Jurnal
Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(1): 94–110.
27. Salunkhe D K. 1995. Handbook of fruit science and technology. In Handbook
of Fruit Science and Technology. https://doi.org/10.1201/9781482273458
28. Sato A & Yamada M. 2003. Leading persimmon cultivars for commercial
production and breeding targets in Japan. Acta Horticulturae, 601(601): 25–
30. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2003.601.2
29. Setiawan E. 2014. Perbaikan kualitas buah kesemek dengan penyemprotan
alkohol. Agrovigor, 7 (September): 121–125.
30. Swirski E, Ben-Dov Y, & Wysoki M. 1997. Persimmon. In Y. Ben-Dov & C. J.
Hodgson (Eds.), Soft Scale Insects - Their Biology, Natural Enemies and Control
(pp. 265–270). Elsevier B.V.
31. Tamura M, Tao R, Yonemori K, Utsunomiya N, & Sugiura A. 1998. Ploidy Level
and Genome Size of Several Diospyros Species. Journal of the Japanese Society
for Horticultural Science, 67(3): 306–312.
32. Taylor D W, & Kennedy J F. 1993. Complex carbohydrates in foods. In
Carbohydrate Polymers 21. https://doi.org/10.1016/0144-8617(93)90121-j
33. Tetsumura T, Giordani E, & Tao R. 2008. Persimmon (kaki). In C. Kole & T. C.
Hall (Eds.), Compendium of Transgenic Crop Plants: Transgenic Legume Grain
and Forages (pp. 235–257). Blackwell Publishing Ltd.
34. Utsunomiya N, Subhadrabandhu S, Yonemori K, Oshida M, Kanzaki S, Nakatsubo
F, & Sugiura A. 1998. Diospyros species in Thailand: their distribution,
fruit morphology and uses. Economic Botany, 52(4): 343–351. https://doi.
org/10.1007/BF02862064
32 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

35. Wallnöfer B. 2001. The biology and systematics of Ebenaceae: a review.


Annalen Des Naturhistorischen Museums in Wien. Serie B Für Botanik Und
Zoologie, 485–512.
36. Woolf A B & Ben-Arie R. 2011. Persimmon (Diospyros kaki L.). In Postharvest
Biology and Technology of Tropical and Subtropical Fruits 4: 166–194. https://
doi.org/10.1533/9780857092618.166
37. Yakushiji H & Nakatsuka A. 2007. Recent persimmon research in Japan.
Japanese Journal of Plant Science, 1(2): 42–62. Retrieved from http://sir.lib.
shimane-u.ac.jp/meta-bin/mt-pdetail.cgi?smode=1&edm=0&tlang=1&cd=00
026258
38. Yang Y, Jing Z B, Ruan X F, & Cheng J M. 2015. Development of simple sequence
repeat markers in persimmon (Diospyros L.) and their potential use in related
species. Genetics and Molecular Research, 14(1): 609–618. https://doi.
org/10.4238/2015.January.30.2
39. Yesiloglu T, Cimen B, Incesu M, & Yilmaz B. 2018. Genetic diversity and breeding
of persimmon. In Breeding and Health Benefits of Fruit and Nut Crops (pp.
21–46). https://doi.org/10.5772/intechopen.74977
40. Yonemori K, Honsho C, Kanzaki S, Ino H, Ikegami A, Kitajima A, … Parfitt D E.
2008. Sequence analyses of the ITS regions and the matK gene for determining
phylogenetic relationships of Diospyros kaki (persimmon) with other wild
Diospyros (Ebenaceae) species. Tree Genetics & Genomes, 4(2): 149–158.
https://doi.org/10.1007/s11295-007-0096-y
41. Yonemori K, Honsho C, Kitajima A, Aradhya M, Giordani E, Bellini E, & Parfitt
D E. 2008. Relationship of European persimmon (Diospyros kaki Thunb.)
cultivars to Asian cultivars, characterized using AFLPs. Genetic Resources and
Crop Evolution, 55(1): 81–89. https://doi.org/10.1007/s10722-007-9216-7
42. Yonemori K, Kanzaki S, Parfitt D E, Utsunomiya N, Subhadrabandhu S, &
Sugiura A. (1998). Phylogenetic relationship of Diospyros kaki (persimmon) to
Diospyros spp. (Ebenaceae) of Thailand and four temperate zone Diospyros
spp. from an analysis of RFLP variation in amplified cpDNA. Genome, 41(2):
173–182. https://doi.org/10.1139/gen-41-2-173
33
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

43. Yonemori K, Sugiura A, & Yamada M. 2000. Persimmon genetics and


breeding. In J. Janick (Ed.), Plant Breeding Reviews 19: 191–225. https://doi.
org/10.1002/9780470650172.ch6
44. Zhuang D H, Kitajima A, Ishida M, & Sobajima Y. 1990. Chromosome numbers
of Diospyros kaki cultivars. Journal of the Japanese Society for Horticultural
Science, 59(2): 289–297. https://doi.org/10.2503/jjshs.59.289
Penulis :
Titistyas Gusti Aji, Norry Eka Palupi, dan Emi Budiyati
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Ficus carica L.
(Moraceae)

Protologue
Ficus carica L., Sp. Pl. 2: 1059 (1753).

Sinonim
• Ficus carica var. caprificus (Risso) Tschirch, Ber. Deutsch. Bot. Ges. 29(Heft 3):
90 (1911).
• Ficus carica subsp. rupestris (Hausskn. ex Boiss.) Browicz, et in Fl. Turkey & E.
Aegean Is. 7: 644 (1982): (1982).
• Ficus carica subsp. rupestris (Hausskn. ex Boiss.) Browicz, Fl. Iranica [Rechinger]
153: 8 (1982).

Nama Umum
Tin (Indonesia), fig, fig tree (Inggris),  higo, higuera, higuera comun (Spanyol),
caprifiguier, carique, figuier, figuier commun (Perancis), teen (Arab), wu hua
guo, wuhuagus (China), figueira (Portugal), figueira da Europa, figueira do reino
(Brasil), monamona, suke (Cook Islands), higo extranjero (Republik Dominica),
viikuna (Finlandia), Echter Feigenbaum, Essfeigenbaum, feige (Jerman), figuier
blanc (Haiti), anjir (India), fico (Italia), te biku (Kiribati), muhwagwanamu (Republik
Korea), wojke piik, wõjke-piik (Federated states of  Micronesia), thinbaw-thapan
(Myanmar), vijgeboom (Belanda), uosech (Palau), bebereira (Portugal), mati
(Samoa), fikontraed, getfikon (Swedia) dan fiki (Tonga). 
36 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

I. Pendahuluan
Tin (Ficus carica L.) adalah salah satu spesies Mediterania tradisional yang
termasuk dalam famili Moraceae (Ikten, Solak, & Yilmaz, 2018; Vallejo, Marin, &
Tomas-Barberan, 2012). Berdasarkan catatan sejarah, tin termasuk tanaman buah
tertua di dunia (Solomon et al., 2006) dan dianggap sebagai simbol kehormatan
serta kesuburan (Leonel, 2008). Tanaman ini dapat beradaptasi di berbagai kondisi
(kekeringan dan suhu dingin -9o0oC), bahkan di padang pasir sekalipun, sehingga
terkadang disebut sebagai pohon kehidupan (Refli, 2012).
Tanaman tin telah masuk ke Indonesia pada abad ke-19 dan beradaptasi. Salah
satu keuntungan budidaya tin di wilayah tropis adalah kemampuannya berbuah
sepanjang tahun (Masithah, 2018). Kandungan gizi dan fitokimia dari buah tin
yang dibudidayakan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan produksi luar negeri,
di mana bermanfaat bagi kesehatan dan memberi peluang untuk dibudidayakan
secara luas (Damanik, 2014).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Famili Moraceae terdiri atas 60 genera dan lebih dari 2000 spesies tanaman pohon-
pohonan, semak dan herbal (Ikten et al., 2018). Selanjutnya dijelaskan bahwa genus
Ficus meliputi lebih dari 1000 spesies yang diklasifikasikan menjadi 48 subgenera.
Namun, satu-satunya spesies Ficus yang dibudidayakan untuk menghasilkan buah
adalah F. carica dan F. sycamorus. Ficus diyakini sebagai salah satu genera terbesar
dari kelompok Angiospermae (Frodin, 2004). Berdasarkan Interagency Taxonomic
Information System, taxonomi tanaman Ficus  carica L. (Taxonomic Serial No.
19093) adalah sebagai berikut Kerajaan: Plantae, Divisi: Tracheophyta, Kelas:
Magnoliopsida, Bangsa: Rosales, Suku: Moraceae dan Marga: Ficus.
Di alam, tin hadir dalam 2 tipe seksual: 1) tin yang dibudidayakan yaitu tipe
bunga betina yang menghasilkan buah dan 2) tipe caprifig yaitu pohon jantan
yang menyediakan bunga jantan (pollen) untuk tin komersial (Lazreg-Aref,
Gaaliche, Ladhari, Hammami, & Hammami, 2018). Pohon caprifig menghasilkan
tanaman syconium seperti tanaman musim semi (spring crop), tanaman musim
panas (summer crop) dan tanaman musim gugur (fall crop) (Gaaliche, Zarrouk, &
Mars, 2017). Buah tin yang dapat dikonsumsi (edible fig) dapat berbuah dengan
37
Ficus carica L.(Moraceae)

penyerbukan atau tanpa penyerbukan. Buah tin partenokarpi tidak menghasilkan


biji-biji yang dapat digunakan (viable) untuk perkecambahan (Moniruzzaman,
Yaakob, & Taha, 2017).
Tin adalah pohon atau semak-semak yang menggugurkan daunnya pada musim
gugur (deciduous), tingginya berkisar 3-6m dengan kayu cenderung lunak dan padat.
Kulit kayu berwarna keabuan, halus dan tanpa retakan. Cabang dan batang tanaman
tin cenderung besar. Akar menyebar dan halus (fibrous), di mana penyebarannya
dangkal dipermukaan tanah (Crisosto et al., 2011). Daun tin berbentuk palmate,
berukuran besar, dan memiliki petiol (petiolate). Daun menjadi karakter pembeda
di antara varietas-varietas tin. Salah satu bentuk morfologi daun tin adalah seperti
pada Gambar 6.
Berdasarkan struktur morfologinya, tin adalah tanaman berumah dua
(gynodioecious), namun secara fungsional adalah memiliki organ reproduksi
tunggal (dioecious). Pembuahan atau polinasinya antara caprifig dan edible figs.
Tanaman tin memiliki rongga penyimpanan (receptacle) yang disebut syconium.
Berdasarkan kebiasaan polinasinya dan biologi bunga, tin dikelompokkan ke dalam
4 tipe berdasarkan kelamin dan polinasi, yaitu common fig (F. carica var. hortensis
Shinn.), Smyrna (F. carica var. smyrnica Shinn.), San Pedro (F. carica var. intermedia
Shinn.), dan caprifig (F. carica var. sylvestris Shinn.) (Crisosto et al., 2011). Tipe
caprifig berperan sebagai tanaman jantan dan dikategorikan sebagai tipe utama,
sementara common-type adalah tipe yang lebih maju dan varietas komersial
yang memiliki organ pistil (pistillate) dan menghasilkan buah tanpa fertilisasi
(buah partenokarpi). Sementara Smyrna dan San Pedro diketahui sebagai tipe
intermediet yang memerlukan polinasi dari pollen tipe caprofig (caprification),
untuk membentuk buah. San Pedro-type memiliki pengecualian yang membentuk
buah partenokarpi pada cabang-cabang yang lebih tua (Aradhya, Stover, Velasco, &
Koehmstedt, 2010) dan tanaman berikutnya melalui polinasi (Gaaliche, Saddoud,
& Mars, 2012).
38 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 6. Morfologi dan perkembangan daun tin; (a) daun muda, (b). daun tua
(foto: rudy_harianto).

Tipe Common fig dan San Pedro mengalami 2 kali panen, yang pertama buah
partenokarpi pada musim semi (spring) dan partenokarpi atau non partenokarpi
pada periode musim panas dan gugur (summer-autumn) dan tipe kedua,
Smyrna, tanaman menghasilkan hanya pada periode summer-autumn (Hmimsa,
Aumeeruddy-Thomas, & Ater, 2012). Sementara Caprifig berbuah 3 kali setahun
(Crisosto et al., 2011). Domestikasi tin banyak dilakukan karena sifat partenokarpi
ini.
Buah tin berasal dari rangkaian bunga yang kompleks disebut syconium yang
mengeliling ratusan buah. Buah yang terlihat merupakan perkembangan dari
syconium, disebut false fruit. Buah yang sebenarnya adalah kumpulan daging
buah “fleshy” yang berasal dari bunga-bunga di dalam syconium. Struktur buah tin
dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
39
Ficus carica L.(Moraceae)

Gambar 7. Struktur buah tin masak fisiologis (foto: rudy_harianto)

Bentuk buah tin adalah membulat sedikit lonjong (oblong, oblate dan globose)
dengan indeks berkisar 0,80 dan 1,22. Indeks buah diukur berdasarkan rasio lebar
dan panjang. Buah mudah dikupas dengan ketebalan kulit buah berkisar sedang
sampai tebal. Tekstur kulit berbeda mulai dari kasar, sedang sampai halus.

III. Asal dan distribusi geografis


Meski asal tanaman prasejarah ini tidak diketahui dengan pasti, namun diyakini
tin berasal dari sebelah barat Asia (Stover, Aradhya, Ferguson, & Crisosto, 2007).
Informasi lain menyatakan bahwa tanaman tin adalah spesies tanaman yang berasal
dari daerah cekungan (basin) Mediterania (Berg, 2003), ditemukan menyebar di
daerah tropis dan subtropis. Kislev, Hartmann, and Bar-Yosef (2006) menjelaskan
bahwa temuan tanaman tin yang tumbuh pada kisaran 11.200-11.400 tahun yang
lalu, pada era awal Neolithik, di daerah lembah Jordania menunjukkan bahwa
tanaman ini telah dibudidayakan pada masa itu mendahului domestikasi tanaman
sereal.
40 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 8. Morfologi buah tin pada tahap akhir perkembangan buah dan siap
panen (foto: rudy_harianto)

Penyebaran tin sudah berlangsung lama. Proses ini berawal dari kawasan
Mediterania dan kemudian dibawa ke Selatan Arabia untuk dibudidayakan
(Stover et al., 2007). Sejak itu proses domestikasi tanaman tin menyebar ke
sebelah barat Asia, Negara-negara Timur Tengah dan seluruh dunia (Aradhya et
al., 2010), Arab bagian selatan (Southern Arabia), Asia bagian timur (Western
Asia) termasuk Mesopotamia, Anatolia, Transcaucasia, Persia, dan daerah Timur
Tengah adalah pusat keragaman tanaman tin. Tin sudah dibudidayakan dengan
baik di daerah Mediterania 6.000-an tahun yang lalu dan mencapai Inggris pada
kisaran 500 M. Menariknya, Stover et al. (2007) menyebutkan bahwa fosil Ficus
carica menunjukkan distribusi prasejarahnya di sepanjang selatan Eropa. Tanaman
ini menyebar ke daerah Mediterania dan abad ke-5 sudah menyebar ke seluruh
Mediterania dan sepanjang atlantik. Distribusi tanaman ini dipermudah karena
buah tin dapat dikeringkan. Pada tahun 1520 tin masuk ke Amerika dibawa oleh
orang-orang Spanyol (Spaniards) dan tahun 1769 masuk ke California melalui
Meksiko oleh Misionaris Franciscan.
41
Ficus carica L.(Moraceae)

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Tanaman Tin F. carica adalah spesies yang menyerbuk silang yang memiliki
kromosom diploid 2n=26 (Ikten et al., 2018; Lazreg-Aref et al., 2018). Berbagai
tanaman tin yang dibudidayakan atau liar ditemukan dengan berbagai keragaman.
Sebagai contoh di Turki keragaman ditunjukkan pada warna, ukuran, bentuk
dan aroma. Nama tanaman biasanya berdasarkan asal geografi daerah. Selain
karakter morfologi itu, perbandingan gula dan asam menjadi faktor penting dalam
mengukur keragaman kualitas buah. Rasio ini menjadi indikator pilihan konsumen
dalam kualitas buah dan untuk penggunaan spesifik.
Pada berbagai analisis genotipe tanaman tin dari berbagai daerah, genotipe-
genotipe mengelompok berdasarkan asal tanaman. Diversitas ini diyakini
bergantung pada seleksi dari populasi alamiahnya. Keluarga Ficus ini diyakini
memiliki varietas dengan basis genetik yang sempit. Pembiakan vegetatif secara
klonal hasil seleksi memberi sumbangan dalam rendahnya heterogenitas genetik
(Caliskan & Polat, 2008).
Analisis morfologi dan genetik 10 aksesi tin yang dikoleksi di Italia dilakukan untuk
memperoleh kekerabatan di antara tin tersebut. Analisis morfologi dilakukan
berdasarkan 24 karakter fenotipe mendapatkan kemiripan 10 aksesi di atas 98,1%.
Sementara analisis molekuler menggunakan 16 primer RAPD menghasilkan
79,13% pita polimorfis dengan kemiripan genetik berkisar 0,149 hingga 0,921
(Ciarmiello, Piccirillo, Carillo, De Luca, & Woodrow, 2015). Sementara 47 aksesi
lokal Turki dikarakterisasi secara genetik menggunakan 24 marker DNA SSR yang
menghasilkan polymorphism information content (PIC) berkisar dari 0,42 hingga
0,98 (Sevin et al., 2017).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa taksonomi dan klasifikasi tanaman tin
cukup kompleks karena sejarah domestikasi yang panjang. Selain karena hubungan
intraspesies yang kental dan diikuti dengan pembiakan vegetatif, perubahan
genetik tin diperoleh dari aktivitas penyerbukan silang. Proses perubahan pada
dioecious tin terjadi atas bantuan serangga pembantu penyerbukan (pollinator),
sehingga meningkatkan keragaman genetik tanaman ini (Hmimsa et al., 2012).
42 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Di daerah sebaran tin dengan jumlah plasma nutfah (germplasm) tinggi, sejumlah
kultivar dipilih oleh petani berdasarkan kebutuhan sosial budaya dan ekonomi
mereka. Plasma nutfah yang telah didomestikasi dipelihara dalam kebun untuk
produksi buah. Tipe yang disukai akan menyebar ke berbagai area dan mendapat
tekanan perubahan eco-geographical sehingga terjadi erosi genetik karena faktor
cekaman biotik dan abiotik (Ghada, Ahmed, Messaoud, & Amel, 2013).
Di berbagai area negara, tanaman tin diperbanyak secara vegetatif seperti stek
(cutting) yang menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi lingkungannya. Oleh
karena itu, keragaman tanaman sangat sedikit pada beberapa dekade terakhir,
menyebabkan hambatan dalam pengembangan budidaya. Penyebaran yang luas
dan domestikasi yang panjang ini membuat akurasi varietas rendah karena “mis-
labelling” yaitu nama sama (homonymy dan synonymy) sering ditemukan (Baraket,
Abdelkrim, Mars, & Salhi-Hannachi, 2011), membuat taksonominya sama namun
genetiknya berbeda dan adanya kompleksitas nama (Hmimsa et al., 2012).
Karakter vegetatif tin memiliki keragaman rendah karena interaksi intraspesies
sehingga evaluasi berdasarkan struktur eksternal menjadi sulit terutama
berdasarkan karakteristik daun dan buah. Selain itu, karakter morfologi tin mungkin
dapat beragam sepanjang tahun karena kondisi pertumbuhan dan lingkungan.
Tanaman tin diketahui sangat rentan terhadap interaksi genotipe (genotype) dan
lingkungan (Baziar, 2018).

VI. Aspek budidaya


Tanaman tin sangat banyak dibudidayakan diberbagai belahan dunia, karena
mudah beradaptasi pada tanah dan iklim setempat (Czaja, Moreira, Rozwalka,
Figueiredo, & L.L.M. Mio, 2016). Kondisi ideal yang diinginkan adalah total hujan
500–550 mm, kelembapan udara rendah 40–45% selama musim kering dan rata-
rata suhu 18°–20°C daerah Mediterania (Polat & Caliskan, 2008) yang musim
dinginnya moderat (sejuk) dan musim panas yang kering dengan suhu 32–37°C,
pencahayaan matahari yang kuat. Tanaman ini tumbuh di berbagai lingkungan dan
tipe tanah (Vemmos, Petri, & Stournaras, 2013).
Secara umum perbanyakan tin dilakukan dengan cara-cara vegetatif konvensional
melalui stek (cutting) (Aljane & Nahdi, 2014; Chalfun, Pasqual, Norberto, Dutra,
& Cavalcante-Alves, 2003), penyambungan (grafting) (Hosomia, 2017) dan
perundukan (layering) (Dolgun & Tekintas, 2008). Metode konvensional ini
43
Ficus carica L.(Moraceae)

memerlukan materi perbanyakan dan mengorbankan pohon induk (Moniruzzaman


et al., 2017). Perbanyakan tin telah pula dilakukan menggunakan bioteknologi
melalui mikropropagasi (Shatnawi, Shibli, Shahrour, Al-Qudah, & Abu-Zahra,
2019). Perbanyakan tin menggunakan metode grafting dapat meningkatkan
produktivitas tanaman tin. Penggunaan kerabat liar Ficus (palmata, F. septica, F.
pumila, and F. stipulate) sebagai batang bawah (rootstock) dapat menurunkan
potensi penurunan hasil batang atas/mata tunas (scion) komersial karena serangan
patogen, nematoda dan kondisi tanah yang tidak ideal (Boliani, Ferreira, Monteiro,
Silva, & Rombola, 2019; Hosomia, 2017)
Pertumbuhan tin menurut musim dan bergantung pada faktor-faktor klimatologi.
Pertumbuhan vegetatif dan generatif yang menyelesaikan satu siklus pertumbuhan
akan diikuti dengan masa dormansi yang dipengaruhi suhu rendah dan panjang
musim dingin atau di periode musim dingin di kawasan tropikal (Flaishman, 2008).
Kemampuannya beradaptasi dengan sejumlah faktor lingkungan ditunjukkan oleh
berbagai indikator sebagai contoh perlambatan pertumbuhan (Rostami & Rahemi,
2013). Dalam hal pemangkasan, perlu dilakukan pada awal musim panas untuk
induksi pertumbuhan.
Pohon tin mulai belajar berbuah pada usia 12-15 bulan dan kemampuan produksi
untuk komersial didapatkan pada usia 3-5 tahun setelah tanam (Stover et al., 2007).
Tin termasuk tanaman berumah dua, di mana kedua pohon tin (jantan dan betina)
dapat menghasilan buah, namun buah pohon betina lebih layak untuk dikonsumsi
(Leonel, 2008). Berdasarkan hasil analisis kelayakan budidaya tin baik untuk
produksi maupun untuk perbenihan memberikan keuntungan yang menjanjikan,
dengan harga jual yang tinggi yakni Rp250.000/kg untuk buah dan Rp50.000 untuk
benih ukuran 30 cm (Masithah, 2018).
Proses pembentukan buah tin mengikuti pola tanaman dioecious. Pembentukan
buah diawali dengan tahapan polinasi yang disebut caprification. Proses ini
dilakukan melalui interaksi special dengan Blastophaga psenes L., serangga
pembantu proses polinasi yang menghabiskan daur hidupnya pada tanaman tin
jantan. Untuk keperluan komersialisasi, pohon-pohon Caprifig ditanam terpisah
dengan tanaman Smyrna atau San Pedro untuk mengendalikan caprification dan
menghindari penyakit.
44 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Potensi hasil buah tin dipengaruhi pula oleh ketersediaan nutrisional. Pada kondisi
spesifik, penggunaan kalsium dan kalium berpengaruh penting terhadap proses
pembentukan buah (fructification) (Orozco‐Rodríguez et al., 2017). Faktor lain yang
memengaruhi adalah manajemen agronomis, kondisi tanah, dan keseimbangan
air (Turk & Aksoy, 2011). Faktor-faktor ini umumnya menjadi karakteristik daerah
pengembangan.

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Ficus termasuk tanaman sumber genetik yang memiliki nilai ekonomis dan
nutrisional tinggi. Menurut data FAO (2012) luas tanam Tin mencapai 427.000 ha
di seluruh dunia yang menghasilkan lebih dari 1 juta metrik ton buah. Luas ini
tentu terus bertambah karena potensi ekonominya (Moniruzzaman et al., 2017).
Lebih dari 82% produsen buah tin dan produk olahannya adalah Negara-negara
Mediteran, dengan penghasil utama adalah Turki, Mesir dan Iran (Dessoky, Attia,
& Mohamed, 2016). Dalam perkembangannya, pada dekade terakhir ini, Turki
dan Mesir menjadi negara penghasil utama buah tin, yang berkisar 50% dari
total produksi dunia. Produsen berikutnya adalah Iran, Algeria, dan Maroko yang
bersama kedua negara di atas menyuplai 64% produksi dunia.
Famili Ficus yang dibudidayakan ini (Ficus carica L.) diyakini sebagai sumber
makanan yang sangat penting dan hanya menjadi satu-satunya spesies Ficus
yang dibudidayakan untuk dipanen buahnya (Crisosto, Ferguson, & Bremer,
2011) . Tanaman ini menjadi populer karena rasanya, di samping itu tanaman ini
kaya akan mineral, vitamin, polifenol, serat pangan, bebas lemak dan kolesterol
serta aktivitas antioksidan yang tinggi (Solomon et al., 2006). Adanya kandungan
nutrisional (Flaishman, 2008) dan potensinya sebagai bahan pengobatan (Barolo,
Mostacero, & López, 2014), menjadikan tin sebagai buah konsumsi yang diminati
sejak lama.
Tanaman tin mulai dibudidayakan di Indonesia melihat permintaan yang cenderung
mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tren impor dari tahun 2009-2018, dari
1,7 ton menjadi 21 ton sehingga menyerap devisa sebesar 109 ribu US$ atau setara
297 juta rupiah. Sebaran pengusaha tin di Indonesia yaitu Jawa Timur enam orang,
Jawa Tengah empat orang, Jawa Barat tiga orang, DKI Jakarta dan Daerah Istimewa
Yogyakarta masing-masing dua orang (Rahimah and Pujiastuti 2016).
45
Ficus carica L.(Moraceae)

Buah tin biasanya dikonsumsi dalam rentang waktu yang lama sebagai buah segar
atau dikeringkan (Trad, Bourvellec, Gaaliche, Renard, & Mars, 2014). Pada jumlah
yang lebih terbatas dikonsumsi dalam bentuk selai dan minuman alkohol (Gaaliche
et al., 2012). Kandungan gizi dalam 100 g buah tin segar di antaranya energi
74 kkal, 2,9 g serat, 232 mg potasium, 35 mg kalsium, 0,4 mg besi. Kandungan
gizi dalam 40 g buah tin kering 102 kkal, 4,9 g serat, 285 mg potasium, 57,6 mg
kalsium dan 0,9 mg besi. Buah tin memiliki konsentrasi polifenol tinggi yakni 486
mg per 100 g buah segar dan 32 per 100 g buah kering, 5,8% (w/w) serat kasar
(Vinson, Zubik, Bose, Samman, & Proch, 2005), bahkan menurut penelitian Vinson
(1999), kandungan buah tin segar dapat mencapai 1.090-1.110 mg/100 g. Hasil
ini membuat buah tin segar maupun kering menjadi salah satu sumber gizi yang
baik dengan kandungan serat dan polifenol yang tinggi, dan baik untuk kesehatan,
salah satunya untuk kanker (Joseph et al., 2011; Rubnov et al., 2001).
Buah, akar dan daun tanaman tin juga dapat digunakan sebagai obat tradisional.
Dalam pengobatan tradisional ini, akar tin digunakan untuk mengobati leucoderma
dan ringworms sementara buahnya untuk antipyretic, purgative, aphrodisiac dan
inflammations serta paralysis (Ross & Kasum, 2002). Dia juga memiliki aktivitas
biologi sebagai antiviral, antibacterial, hypoglycemic, anthelmintic (Solomon et
al., 2006), antimicrobial, antifungal (Lazreg-Aref et al., 2010), nematicidal (Liu et
al., 2011), allelopathic (Gaaliche, Ladhari, Medeiros, Mimoun, & Hajlaoui, 2017).
Peran ini disebabkan tin memiliki metabolit sekunder seperti flavonoids, phenolic
compounds, phytosterols dan fatty acids pada ekstrak daun dan buahnya (Vallejo
et al., 2012).
Baik buah, akar dan daun tanaman tin juga dapat digunakan sebagai obat
tradisional mengatasi gangguan pencernaan (kolik, kehilangan nafsu makan dan
diare); pernafasan (sakit tenggorokan, batuk dan masalah pada bronkial; gangguan
kardiovaskular serta sebagai obat anti inflamasi dan antipasmodik(Mawa et al.,
2016; Lukitasari et al., 2014; Duke et al., 2002; Werbach 1993).
46 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pustaka
1. Aljane F., & Nahdi, S. (2014). Propagation of some local Fig (Ficus carica
L.) cultivars by hardwood cuttings under the field conditions in Tunisia.
International Scholarly Research Notices, 1-5.
2. Aradhya, M. K., Stover, E., Velasco, D., & Koehmstedt, A. (2010). Genetic
structure and differentiation in cultivated fig (Ficus carica L.). Genetica, 138,
681-694.
3. Baraket, G., Abdelkrim, A. B., Mars, M., & Salhi-Hannachi, A. (2011). Cyto-
nuclear discordance in the genetic relationships among Tunisian fig cultivars
(Ficus carica L.): Evidence from non coding trnL-trnF and ITS regions of
chloroplast and ribosomal DNAs. Scientia Horticulturae, 130 203-210.
4. Barolo, M. I., Mostacero, N. R., & López, S. N. (2014). Ficus carica L. (Moraceae):
an ancient source of food and health. . Food Chemistry, 164, 119-127.
5. Baziar, G. (2018). Evaluation of Genetic Diversity among Persian Fig Cultivars
by Morphological Traits and RAPD Markers Hortscience, 53, 613-619.
6. Berg, C. C. (2003). Flora Malesiana precursor for the treatment of Moraceae 1:
The main subdivision of Ficus: The subgenera. Blumea, 48, 166-177.
7. Boliani, A. C., Ferreira, A. F. A., Monteiro, L. N. H., Silva, M. S. a. C. d., &
Rombola, A. D. (2019). Advances in propagation of Ficus carica L. Rev. Bras.
Frutic., Jaboticabal, 41, 1-13.
8. Caliskan, O., & Polat, A. A. (2008). Fruit characteristics of fig cultivars and
genotypes grown in Turkey. Scientia Horticulturae, 115 360-367.
9. Chalfun, N. N. J., Pasqual, M., Norberto, P. M., Dutra, L. F., & Cavalcante-Alves,
J. M. (2003). Rooting of Fig (Ficus carica L.) Cuttings: Cutting Time and IBA.
Acta Horticulturae, 605, 137-140.
10. Ciarmiello, L. F., Piccirillo, P., Carillo, P., De Luca, A., & Woodrow, P. (2015).
Determination of the genetic relatedness of fig (Ficus carica L.) accessions using
RAPD fingerprint and their agro-morphological characterization. South African
Journal of Botany, 97, 40-47. doi: https://doi.org/10.1016/j.sajb.2014.11.012
11. Crisosto, H., Ferguson, L., & Bremer, V. (2011). Fig ( Ficus carica L.): Woodhead
Publishing Limited.
47
Ficus carica L.(Moraceae)

12. Czaja, E. A. R., Moreira, R. R., Rozwalka, L. C., Figueiredo, J. A. G., & L.L.M.
Mio. (2016). Gray mold in immature fig fruit: pathogenicity and growth
temperature. Ciência Rural, Santa Maria, 46, 1524-1527.
13. Dessoky, E.-D. S., Attia, A. O., & Mohamed, E.-A. A. M. (2016). An efficient
protocol for in vitro propagation of Fig (Ficus carica sp) and evaluation of
genetic fidelity using RAPD and ISSR markers. Journal of Applied Biology &
Biotechnology, 4 057-063.
14. Dolgun, O., & Tekintas, F. E. (2008). Production of fig (Ficus carica L.) nursery
plants by stem layering method. Agriculturae Conspectus Scientificus, 73, 157-
160.
15. FAO. (2012). FAOSTAT agricultural data.
16. Flaishman, M. A. (2008). The Fig: Botany, Horticulture, and Breeding.
Horticultural Reviews, 34, 113-197.
17. Frodin, D. G. (2004). History and concepts of big plant genera. Taxon, 53, 753-
776.
18. Gaaliche, B., Ladhari, A., Medeiros, A. G. d., Mimoun, M. B., & Hajlaoui,
M. R. (2017). Relationship between phytochemical profiles and phytotoxic
proprieties of Tunisian fig leaf cultivars. South African Journal of Botany, 112,
322-328.
19. Gaaliche, B., Saddoud, O., & Mars, M. (2012). Morphological and pomological
diversity of fig (Ficus carica L.) cultivars in northwest of Tunisia. ISRN Agronomy,
1-9.
20. Gaaliche, B., Zarrouk, I., & Mars, M. (2017). Agro-phenological behaviour
of several caprifigs grown in two different ecological areas in Tunisia. Acta
Horticulturae, 1173, 149-156.
21. Ghada, B., Ahmed, B. A., Messaoud, M., & Amel, S.-H. (2013). Genetic
diversity and molecular evolution of the internal transcribed spacer (ITSs) of
nuclear ribosomal DNA in the Tunisian fig cultivars (Ficus carica L.; Moracea).
Biochemical Systematics and Ecology, 48 20-33.
22. Hmimsa, Y., Aumeeruddy-Thomas, Y., & Ater, M. (2012). Vernacular taxonomy,
classification and varietal diversity of fig (Ficus carica L.) among Jbala cultivators
in Northern Morocco. Hum Ecol, 40, 301-313.
48 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

23. Hosomia, A. (2017). Variation in graft compatibility of wild Ficus species as


rootstock for common fig trees (Ficus carica). Acta Horticulturae, 1173, 199-
206.
24. Ikten, H., Solak, S. S., & Yilmaz, Y. (2018). Transferability of ssr markers from
related Ficus species to Ficus Carica L. and assessment of effectiveness of the
markers Applied Ecology And Environmental Research, 16, 1909-1918.
25. Kislev, M. E., Hartmann, A., & Bar-Yosef, O. (2006). Early domesticated fig in
the Jordan Valley. Science, 312, 1372-1374.
26. Lazreg-Aref, H., Gaaliche, B., Ladhari, A., Hammami, M., & Hammami, S. O.
(2018). Co-evolution of enzyme activities and latex in fig (Ficus carica L.) during
fruit maturity process. South African Journal of Botany, 115 143-152.
27. Lazreg-Aref, H., Salah, K. B., Chaumont, J. P., Fekih, A., Aouni, M., & Said, K.
(2010). In vitro antimicrobial activity of four Ficus carica latex fractions against
resistant human pathogens (antimicrobial activity of Ficus carica latex).
Pakistan Journal of Pharmaceutical Sciences, 23, 53-58.
28. Liu, F., Yang, Z., Zheng, X., Luo, S., Zhang, K., & Li, G. (2011). Nematicidal
coumarin from Ficus carica L. Journal of Asia-Pacific Entomology, 14, 79-81.
29. Moniruzzaman, M., Yaakob, Z., & Taha, R. A. (2017). In vitro production of fig
(Ficus carica L.) plantlets. Acta Horticulturae, 1173, 231-135.
30. Orozco‐Rodríguez, R., Chacón‐Cerdas, R., Rosales‐Flores, J., Arguello‐Delgado,
F., Schmidt‐Durán, A., Alvarado‐Marchena, L., . . . Flores‐Mora, D. (2017).
Description of the growth and development of the fig tree (Ficus carica) and
its environmental interaction in Costa Rica. Acta Horticulturae, 1173, 221-
226.
31. Polat, A., & Caliskan, O. (2008). Fruit characteristics of table fig (Ficus carica)
cultivars in subtropical climate conditions of the Mediterranean region. New
Zealand Journal of Crop and Horticultural Science, 36, 107-115.
32. Ross, J. A., & Kasum, C. M. (2002). Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic
effects and safety. Annual Review of Nutrition, 22, 19-34.
33. Rostami, A. L., & Rahemi, M. (2013). Responses of caprifig genotypes to water
stress and recovery. Journal Biology Environmental Science, 7, 131-139.
49
Ficus carica L.(Moraceae)

34. Sevin, T., Meryem, I., Umran, E., Nesrin Aktepe, T., Erdem, D., Erdogan, B., . . .
Ahmet, I. (2017). Assessment of Genetic Relationship among Male and Female
Fig Genotypes Using Simple Sequence Repeat (SSR) Markers. Notulae Botanicae
Horti Agrobotanici Cluj-Napoca, 45(1). doi: 10.15835/nbha45110756
35. Shatnawi, M. A., Shibli, R. A., Shahrour, W. G., Al-Qudah, T. S., & Abu-Zahra, T.
(2019). Micropropagation and Conservation of Fig (Ficus Carica L.). Journal of
Advances in Agriculture, 10 1669-1679.
36. Solomon, A., Golubowicz, S., Yablowicz, Z., Grossman, S., Bergman, M., Gottlieb,
H. E., . . . Flaishman, M. A. (2006). Antioxidant activities and anthocyanin
content of fresh fruits of common fig (Ficus carica L.). Journal of Agricultural
and Food Chemistry, 54, 7717-7723.
37. Stover, E., Aradhya, M., Ferguson, L., & Crisosto, C. H. (2007). The fig: Overview
of an ancient fruit. Hortscience, 42 1083 - 1087.
38. Trad, M., Bourvellec, C. L., Gaaliche, B., Renard, C. M. G. C., & Mars, M. (2014).
Nutritional compounds in figs from the Southern Mediterranean Region.
International Journal of Food Properties, 17, 491-499.
39. Turk, F. H., & Aksoy, U. (2011). Comparison of organic, biodynamic and
conventional fig farms under rainfed conditions in Turkey. Cell Plant Sci, 2,
22-33.
40. Vallejo, F., Marin, J., & Tomas-Barberan, F. (2012). Pheolic compound content
of fresh and dried figs, (Ficus carica L.). Food Chemistry, 130, 485-492.
41. Vemmos, S., Petri, E., & Stournaras, V. (2013). Seasonal changes in
photosynthetic activity and carbohydrate content in leaves and fruit three fig
cultivars (Ficus carica L.). Sci Hortic, 160, 198-207.
42. Vinson, J. A., Zubik, L., Bose, P., Samman, N., & Proch, J. (2005). Dried fruits:
Excellent in vitro and in vivo antioxidants. J. Amer. College Nutr, 24, 44-50.
Penulis :
Dita Agisimanto, Lyli Mufidah dan Harwanto
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika.
Litchi chinensis Sonn
(Sapindaceae)

Protologue
Litchi chinensis, Sonn. --Voy. Indes Orient. Chine 2: 230, t. 129 (1782).

Sinonim
ssp. chinensis :
• Dimocarpus litchi Lour. (1790),
• Litchi sinense J. Gmelin (1791),
• Nephelium litchi Cambess. (1829);
ssp. philippinensis (Radlk.) Leenh. :
• Euphoria didyma Blanco (1837) nom. illeg.,
• Litchi philippinensis Radlk. (1914);
ssp. javensis Leenh.:
• Litchi chinensis Sonn. f. glomeriflora Radlk. (1932).

Nama umum
ssp. chinensis  : leci (Indonesia), lychee, litci (Inggris), Cerisier de la Chine, litchi
de Chine (Perancis), laici (Malaysia), letsias (Filipina), kyet-mouk, lin chi, lam yai
(Myanmar), kuléén (Kamboja), ngèèw (Laos), linchee, litchi (Thailand), vai, cây vai,
tu hú (Vietnam).
ssp. philippinensis : alupag, arupag (Filipina - Tagalog), mamata (Subanum).
ssp. javensis : klengkeng (Indonesia - Jawa), lengkeng (Indonesia- Sunda), kalengkeng
(Indonesia - Madura)
52 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

I. Pendahuluan
Leci (Litchi chinensis, Sonn.) adalah salah satu buah yang berkerabat dekat
dengan lengkeng dan rambutan. Diperkirakan leci yang ada di Indonesia saat ini
pada awalnya berasal dari pohon induk yang ada di kebun Istana Tapaksiring di
Bali. Asal pohon tersebut juga tidak diketahui (Winarno, 2002). Namun terdapat
informasi dari beberapa penangkar buah menyebutkan bahwa ada upaya-upaya
introduksi leci yang telah dilakukan namun belum banyak informasi keberhasilan
pengembangan selanjutnya. Penanaman leci di Indonesia banyak dilakukan untuk
tanaman pekarangan rumah dan peneduh di pinggir jalan.
Di Batu, Jawa Timur, beberapa pohon leci tampak ditanam di pekarangan hotel dan
tempat wisata sebagai peneduh. Balitjestro sendiri memiliki pohon leci di kebun
dengan umur lebih dari 50 tahun sisa peninggalan Belanda (Gambar 9). Pada tahun
2009 lalu, pohon leci tersebut sempat berbunga namun sayangnya tidak sempat
berkembang menjadi buah. Penyebab pastinya tidak diketahui karena hingga saat
ini leci tersebut belum pernah lagi berbunga.

Gambar 9. Pohon leci di kebun Balitjestro, Batu (foto : baiq_dina_mariana).


Litchi chinensis Sonn 53
(Sapindaceae)

Di Indonesia, konsumsi leci sebagai buah segar masih kurang populer dibanding
lengkeng dan rambutan. Masyarakat lebih banyak mengenal olahan leci dalam
kaleng yang pada umumnya lebih mudah diperoleh daripada leci segar. Hal ini
berkaitan dengan daya simpan leci yang relatif pendek sehingga buah leci dalam
bentuk olahan dipandang lebih menguntungkan. Selain sebagai buah kaleng,
buah leci juga dapat dikeringkan. Olahan buah leci dalam bentuk buah kering
merupakan metode pengolahan yang paling tua dan telah dikembangkan di China
sebelum metode pengolahan lain ditemukan. Bentuk olahan leci lainnya antara
lain jus buah dan buah beku (C. M. Menzel & Waite, 2005).
Produsen buah leci terbesar dunia ada di Asia dengan produksi paling tinggi dari
China, Taiwan, Thailand dan India dengan jumlah total lebih dari lima ratus ribu
ton. Di luar itu, dari Afrika, Madagaskar dan Afrika Selatan masing-masing di
tempat kelima dan keenam dengan total produksi mencapai enam puluh ribu ton
(Sawe, 2018).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Leci termasuk Kerajaan Plantae, Sub Kerajaan Tracheobionta (tumbuhan
berpembuluh), Superdivisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Divisi Magnoliophyta
(tumbuhan berbunga), Kelas Magnolopsida (dikotil), Subkelas Rosidae, Suku
Sapindaceae, Marga Litchi Sonn., Jenis Litchi chinensis Sonn (plants.usda.gov).
Leci adalah tanaman tahunan dengan daun hijau sepanjang tahun yang dapat
mencapai tinggi hingga 30 m. Bentuk tajuk bervariasi bergantung varietas
dengan cabang menyebar mendatar atau tumbuh membentuk kanopi yang padat
menyerupai mahkota. Daun leci adalah daun majemuk dengan jumlah mencapai
6-9 helai dengan letak berhadapan atau berseling. Daun berbentuk memanjang
(oblong/lanceolate) dengan ujung runcing dan berukuran 5 – 15 cm. Daun muda
berwarna merah kecokelatan dan daun tua berwarna hijau (Singh & Babita,
2002).
Bunga tersusun dalam malai (panicle) dengan jumlah dapat mencapai 3.000
bunga. Bunga berukuran kecil dengan warna putih kehijauan. Dalam satu malai
dapat ditemukan bunga jantan, betina maupun bunga banci yang mekar secara
bergantian susul-menyusul. Bunga jantan dan banci berfungsi sebagai bunga
jantan karena putik pada umumnya tidak berkembang (Gambar 10).
54 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 10. Tipe bunga (I) dan (III) bunga jantan dan (II) bunga betina (foto : D. C.
Menzel, 2002).

Gambar 11. Karakteristik buah leci (foto : D. C. Menzel, 2002)


Litchi chinensis Sonn 55
(Sapindaceae)

Gambar 12. Penampilan buah leci (foto : baiq_dina_mariana).

Buah leci berbentuk bulat atau bentuk hati dengan kulit yang tipis dan memiliki
tonjolan-tonjolan kecil (Gambar 11). Warna kulit buah bervariasi dari merah hingga
merah muda (Gambar 12). Daging buah berwarna putih dan sedikit bening dengan
aroma yang manis dan rasa yang enak (Ibrahim & Mohamed, 2015). Ukuran biji
proporsional dengan ukuran buah tetapi pada beberapa kultivar terdapat biji
dengan ukuran kecil karena penyerbukan yang tidak sempurna. Kultivar jenis ini
berharga lebih tinggi karena proporsi daging buah yang lebih banyak (Singh &
Babita, 2002).

III. Asal dan distribusi geografis


Leci komersial yang dibudidayakan saat ini berasal dari daerah China Selatan,
Vietnam bagian utara dan Malaysia. Pohon leci yang tumbuh liar masih dapat
ditemukan di dataran menengah dan hutan di dataran rendah, terutama
Guangdong dan Hainan di mana leci adalah salah satu spesies utama (Fan, Chen,
& Zhou, 2014).
56 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Leci sampai di India melalui Myanmar pada tahun 1789 dan kemudian menyebar
ke Bangladesh dan Nepal. Sementara itu, penyebaran leci di Australia dimulai pada
tahun 1850-an melalui biji (D. C. Menzel, 2002). Di Thailand, asal mula penanaman
leci tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan telah ada sekitar 300 tahun
yang lalu, dibawa oleh pedagang dan pelaut dari China. Dari benih yang dibawa
tersebut, sebagian beradaptasi dengan iklim tropis Thailand bagian tengah dan
kemudian diberi nama oleh penduduk lokal. Leci yang beradaptasi dengan iklim
di dataran rendah tersebut dapat berbunga tanpa memerlukan paparan suhu
dingin yang panjang. Di lain pihak, leci yang berkembang di Chiang Mai merupakan
jenis leci subtropika yang memerlukan periode dingin selama beberapa waktu.
Leci ini awalnya dibawa oleh imigran dari Yunnan yang berimigrasi melalui Laos
atau Myanmar. Varietas-varietas leci tersebut masih dipertahankan dengan nama
asal China meskipun dengan pelafalan dan cara penulisan yang sudah disesuaikan
dengan kultur setempat (Subhadrabandhu & Yapwattanaphun, 2001).
Pada periode antara 1760 dan 1860, varietas leci Chong Yun Hong dan Haak Yip
diintroduksi dari daratan China ke Taiwan utara. Produksi berskala besar untuk
tujuan komersial baru dimulai pada akhir 1920-an ketika buah leci dibawa dari utara
ke bagian selatan Taiwan. Tanaman leci berkembang baik di daerah selatan karena
terlindung dari angin Lautan Pasifik yang kuat. Saat ini leci berkembang terutama
di daerah bagian selatan dan tengah Taiwan. Kultivar utama yang dikembangkan
adalah Haak Yip, mencapai 80% dari total leci yang ditanam (Sawe, 2018).
Di Indonesia sendiri, selain di Bali dan Jawa Timur, beberapa laporan menyebutkan
adanya leci tumbuh di berbagai daerah lain, misalnya Ambon (Silahooy, 2013) dan
Bogor, serta di Palembang, Balikpapan, dan Solo yang sebagian besar merupakan
upaya pengembangan oleh kolektor/hobiis dengan jumlah tanaman yang terbatas
(Syariefa, 2005). Sayangnya, tidak diketahui dengan jelas jenis atau varietas leci
yang dikembangkan di daerah-daerah tersebut.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Marga Litchi Sonn. (Sapindaceae) hanya memiliki satu jenis spesies yaitu L.
chinensis Sonn., yang terdiri atas tiga subspesies: L. chinensis subsp. Chinensis
Forest&KimStarr, L. chinensis subsp. philippinensis Radlk, dan L. chinensis subsp.
javensis Leenh (Ibrahim & Mohamed, 2015). L. chinensis subsp. chinensis adalah
leci komersial. Subspesies ini bisa ditemukan tumbuh liar di hutan di daerah
Litchi chinensis Sonn 57
(Sapindaceae)

provinsi Yunnan, Guangxi, Pulau Hainan dan Guangdong bagian barat. Subspesies
philippinensis berasal dari Filipina, Papua Nugini, Semenanjung Malaya dan
Indonesia sedangkan subspesies javensis endemik di Jawa. Kedua subspesies
ini tidak dibudidayakan secara komersial karena daging buah yang tidak dapat
dimakan (D. C. Menzel, 2002).
Kultivar leci memiliki variasi yang tinggi dari pola pertunasan, warna tunas dan
pembungaan. Variasi agroklimat, pola pertumbuhan, warna buah, bentuk dan
ukuran buah menyebabkan beragam nama muncul untuk kultivar yang sama.
Keragaman genetik leci banyak ditemukan di China dan India yang menjadi sumber
daya genetik untuk pengembangan varietas baru (Khurshid, Ahmad, & Anjum,
2004).
Beberapa karakter utama sebagai pembeda varietas adalah bentuk segmen
pada kulit dan tonjolan pada kulit karena stabil secara genetik. Namun hasil
studi di China menggunakan marka SNP dengan 96 aksesi leci menunjukkan
bahwa pengelompokan yang terbentuk menggambarkan adanya kesamaan
karakter berdasarkan lama periode pemasakan buah (W. Liu et al., 2015). Hal
ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut lebih akurat untuk menunjukkan
kekerabatan leci. Dalam penelitian tersebut terdapat empat kelompok leci yaitu
early-ripening, mid-ripening, late-ripening, dan extremely early ripening. Ini
sejalan dengan yang diperoleh Liu & Mei (2005) dengan marka RAPD dan Fu et al.
(2011) dan marka SSR.
Di Indonesia sendiri belum ada informasi keragaman leci yang berkembang, baik
secara morfologi maupun genetik. Sementara itu, dari segi impor buah, leci yang
didatangkan untuk buah segar semakin bervariasi penampilannya. Salah satunya
adalah adanya Green lychee yang diperkirakan berasal dari China. Buah leci ini
berwarna dominan hijau muda dengan sedikit semburat warna merah muda yang
tidak beraturan.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Evolusi adalah salah satu cara makhluk hidup termasuk tanaman untuk bertahan
hidup pada lingkungan tumbuhnya. Evolusi menghasilkan keragaman yang
kaitannya dengan variasi genetik dan memunculkan spesies baru. Menilik dari
jenis (Genus) Litchi Sonn. yang hanya memiliki satu spesies, diperkirakan leci tidak
banyak mengalami evolusi yang dapat menimbulkan keragaman dan memunculkan
spesies baru.
58 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Erosi genetik pada leci tidak banyak diketahui. China sebagai daerah asal
subspesies chinensis memiliki sumber daya genetik leci komersial yang lebih
lengkap, ditambah lagi aktif dalam melakukan pemuliaan untuk menghasilkan
varietas-varietas baru. Demikian juga halnya dengan Vietnam, India dan Thailand
yang awalnya mendapatkan materi tanaman dari China (C. Menzel, 2002). Dengan
asumsi bahwa sumber daya genetik yang ada diperlukan untuk keperluan perakitan
varietas, maka erosi genetik khusus untuk subspesies chinensis dapat dikatakan
rendah. Sebaliknya, kondisi terkini dari leci subspesies philippinensis dan javensis
tidak banyak diketahui. Hingga tulisan ini dibuat, tidak ditemukan literatur khusus
terkait kedua subspesies ini.

VI. Aspek budidaya


Leci adalah buah subtropika dan tumbuh paling baik pada iklim subtropika yang
lembap dengan curah hujan merata. Leci dapat tumbuh hingga ketinggian 800 m
dpl dan menghendaki tanah berlempung dengan drainase baik, kaya bahan organik
dengan pH 5-7. Suhu yang diperlukan untuk tumbuh berkisar 30-32°C tetapi
diperlukan suhu rendah untuk merangsang pembungaan. Hujan terus-menerus
juga tidak diinginkan saat leci berbunga karena akan menghambat penyerbukan
bunga. Leci pada umumnya diperbanyak dengan cara vegetatif melalui cangkok.
Cara lain yang juga dilakukan yaitu okulasi dan stek. Perbanyakan dengan biji
tidak disarankan karena memerlukan waktu 7-10 tahun untuk mulai berbunga
(Agrifarming, n.d.)
Cangkokan pada umumnya ditanam langsung di lahan. Lahan yang hendak
digunakan harus diratakan terlebih dahulu dan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman
lain. Tanaman penghalang angin di tepi-tepi lahan diperlukan jika lahan rawan
terkena angin kencang yang kering selama musim panas. Tanaman border yang
dapat digunakan adalah tanaman yang memiliki tajuk tinggi seperti mangga. Jarak
tanam yang digunakan berkisar antara 12 m x 12 m, 70-80 tanaman/ha. Di India,
Australia, Thailand, dan China kebun leci yang sudah tua memiliki populasi 80 -
150 tanaman/ha. Kebun-kebun yang lebih baru menggunakan jarak lebih pendek
6 m x 8 m atau 4 m x 6 m atau 7 m x 3 m, setara 200 - 600 tanaman/ha (C. Menzel,
2002).
Litchi chinensis Sonn 59
(Sapindaceae)

Ukuran lubang tanam 1 m x 1 m x 1 m dan dibiarkan terlebih dahulu beberapa


minggu sebelum ditanami. Tanaman diberi pupuk kandang 25kg/lubang ditambah
pupuk NPK 100g/pohon. Pupuk NPK dengan takaran 200-300 gram/tahun perlu
diberikan untuk tanaman muda hingga umur 3-4 tahun. Pada lingkungan asam,
unsur mikro seperti Mn, Zn dan Fe perlu ditambahkan (Mitra, 2002).
Di China, pekebun biasanya memberikan 0,6 kg urea, 1,2 kg super-phosphate dan
0,6 kg KCL pada tanaman umur 5 tahun dengan rasio N:P:K 1:0.96:1.3. Pupuk perlu
diberikan pada tiga tahapan yaitu, saat tunas bunga muncul, pembesaran buah
dan setelah panen. Panduan umum yang digunakan untuk tanaman berumur 10 -
11 tahun dengan lebar kanopi 4 - 4,5 m adalah 500 g N, 170 g P2O5 and 700 g K2O.
Pupuk diberikan sebagian saat bunga muncul dan sebagian lagi setelah fruit set.
Pupuk kandang 40-50kg/pohon diberikan setelah panen.
Tanaman muda harus disiram secara teratur untuk mendukung pertumbuhannya.
Setelah tanaman mulai berbunga pada umur 3-4 tahun, penyiraman dilakukan
dari saat muncul bunga hingga panen. Pada kondisi alami di daerah temperate,
bunga leci muncul setelah terpapar suhu dingin di bulan November-Februari di
belahan bumi utara atau April-Agustus di belahan bumi selatan. Selain itu, leci
dapat dirangsang berbunga dengan perlakuan mekanis, misalnya dengan pelukaan
batang. Pelukaan batang dilakukan saat daun mulai berubah menjadi hijau (daun
muda menjadi tua). Pelukaan batang dibuat dengan bentuk spiral dengan lebar
2-4 mm pada batang berukuran diameter 10cm. Kemudian untuk meningkatkan
jumlah fruitset, pelukaan batang dilakukan pada cabang dengan ukuran diameter
5 cm setelah bunga muncul (Mitra, 2002).
Di Indonesia, musim berbunga leci pada umumnya serupa dengan musim berbunga
lengkeng lokal di dataran tinggi yaitu pada bulan September-Oktober. Stimulasi
bunga terjadi karena adanya periode suhu dingin pada bulan Juni-Agustus yang
umum ditemui di dataran tinggi Indonesia. Suhu pada periode ini dapat turun
hingga 16-18ºC pada malam hingga pagi hari.
Leci dapat dipanen saat buah berumur 80-112 hari setelah bunga mekar bergantung
varietasnya. Panen dilakukan dengan memotong cabang yang menyangga malai
buah beserta beberapa daun. Standar masak buah diukur dengan rasio TPP/asam,
berat buah, warna kulit dan lain-lain (Mitra, 2002).
60 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Buah leci dapat dikonsumsi sebagai buah segar atau buah olahan. Bijinya
dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk sakit perut. Riset farmakologi
menyebutkan biji leci mengandung khasiat untuk melawan tumor, diabetes,
kolesterol, virus dan juga berkhasiat sebagai antioksidan (Ibrahim & Mohamed,
2015; S. Liu, Lin, Wang, Chen, & Yang, 2009).
Leci merupakan salah satu buah dengan kandungan gizi yang memadai untuk
karbohidrat, vitamin C dan kalium, masing-masing senilai 16,5 g, 71,5 mg, dan
171 mg per 100 g buah. Selain itu leci juga mengandung mineral kalsium, besi,
magnesium, fosfor, natrium dan serat buah (Crane, Balerdi, & Maguire, 2016).
Data BPS tahun 2018 menunjukkan nilai perdagangan leci Indonesia terutama
untuk impor cukup besar, mencapai total 2,6 juta US dolar untuk buah segar
dan 3,7 juta US dolar untuk olahan, sedangkan nilai ekspor tidak signifikan.
Dengan nilai impor cukup besar, maka masih ada peluang menguntungkan untuk
pengembangan leci di Indonesia. Karena Indonesia bukanlah negara native leci,
maka diperlukan introduksi varietas-varietas unggul leci untuk diadaptasi di
Indonesia. Menilik keberhasilan Thailand mengembangkan leci dataran rendah,
maka tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan sumber daya genetik yang
sama untuk dikembangkan di Indonesia.
Leci yang berkerabat dekat dengan lengkeng memiliki syarat tumbuh dan teknik
budidaya yang mirip dengan lengkeng. Oleh karena itu petani dan pekebun
yang sudah memiliki keahlian dalam pengembangan lengkeng memiliki peluang
keberhasilan yang lebih baik untuk mengembangkan leci sebagai alternatif
komoditas di daerah pengembangan lengkeng. Selain itu, karena olahan leci lebih
banyak diminati oleh masyarakat, maka potensi pengembangan produk pascapanen
menjadi terbuka lebar. Dengan pengolahan produk, buah leci mendapatkan nilai
tambah yang berguna untuk meningkatkan pendapatan bagi petani, pekebun dan
produsen produk olahan. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan dukungan pihak-
pihak terkait agar potensi ekonomi yang ditawarkan dari pengembangan leci dapat
tercapai.
Litchi chinensis Sonn 61
(Sapindaceae)

Pustaka
1. Agrifarming. (n.d.). Litchi Fruit Farming Information Guide | Agri Farming.
Retrieved June 30, 2019, from https://www.agrifarming.in/litchi-fruit-
farming
2. Crane, J. H., Balerdi, C. F., & Maguire, I. (2016). Lychee Growing in the Florida
Home Landscape 1, 1–10.
3. Fan, Q., Chen, S., & Zhou, R. (2014). Genetic variation of wild litchi (Litchi
chinensis Sonn . subsp. chinensis) revealed by microsatellites, (June). https://
doi.org/10.1007/s10592-011-0182-4
4. Fu, J.-X., Wang, Y., Zhou, J., Zhao, H.-Y., Huang, S.-S., Hu, Y., … Liu, C.-M. (2011).
Genetic diversity of germplasm resources of litchi and longan using SSR
analysis. Acta Hort, 918, 363–370.
5. Ibrahim, S. R. M., & Mohamed, G. A. (2015). Litchi chinensis : Medichinal uses,
phytochemistry, and pharmacology. Journal of Ethnopharmacology, 174,
492–513. https://doi.org/10.1016/j.jep.2015.08.054
6. Khurshid, S., Ahmad, I., & Anjum, M. A. (2004). Genetic diversity in different
morphological characteristics of litchi (Litchi chinensis Sonn.). International
Journal of Agriculture and Biology, 6(6), 1062–1065.
7. Liu, C., & Mei, M. (2005). Classification of lychee cultivar with RAPD analysis.
Acta Hort, 665, 149–160.
8. Liu, S., Lin, J., Wang, C., Chen, H., & Yang, D. (2009). Antioxidant
properties of various solvent extracts from lychee (Litchi chinenesis Sonn
.) flowers. Food Chemistry, 114(2), 577–581. https://doi.org/10.1016/j.
foodchem.2008.09.088
9. Liu, W., Xiao, Z., Bao, X., Yang, X., Fang, J., & Xiang, X. (2015). Identifying litchi
(Litchi chinensis Sonn.) cultivars and their genetic relationships using single
nucleotide polymorphism (SNP) markers. PLoS ONE. https://doi.org/10.1371/
journal.pone.0135390
10. Menzel, C. (2002). Lychee Production in Australia. In M. K. Papademetriou
& F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 14–27).
Retrieved from http://www.fao.org/docrep/005/ac684e/ac684e09.htm
62 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

11. Menzel, C. M., & Waite, G. K. (2005). Litchi and longan: botany, production and uses.
Wallingford: CABI Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851996967.0000
12. Menzel, D. C. (2002). the Lychee Crop in Asia and the Pacific. Bangkok: FAO
United Nations.
13. Mitra, S. K. (2002). Overview of lychee production in the Asia- Pacific region.
In M. K. Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-
Pacific Region (pp. 5–13). FAO United Nations.
14. Sawe, B. E. (2018). Top Lychee Producing Countries in the World - World Atlas.
com. Retrieved August 16, 2019, from https://www.worldatlas.com/articles/
top-lychee-producing-countries-in-the-world.html
15. Silahooy, C. (2013). Penentuan kesesuaian lahan tanaman leci di Desa Naku
Kota Ambon. Agrologia, 2(1), 17–24.
16. Singh, H. P., & Babita, S. (2002). Lychee production in India. In M. K.
Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region
(pp. 55–77). FAO United Nations.
17. Subhadrabandhu, S., & Yapwattanaphun, C. (2001). Lychee and longan
production in Thailand. Acta Horticulturae, (558), 49–57. https://doi.
org/10.17660/ActaHortic.2001.558.5
18. Syariefa, E. (2005). Leci Manis & Genjah di Tepi Laut | Majalah Pertanian.
Retrieved June 30, 2019, from https://www.trubus-online.co.id/leci-manis-a-
genjah-di-tepi-laut/
19. Winarno, M. (2002). Lychee production in Indonesia. In M. K. Papademetriou
& F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 78–80).
FAO United Nations.
Penulis :
Baiq Dina Mariana dan Hidayatul Arisah
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Macadamia spp.
(Proteaceae)

Protologue
1. Macadamia integrifolia Maiden & Betche, Proc. Linn. Soc. New South Wales
Ser. II, xi. 624 (1896).
2. Macadamia tetraphylla  L.A.S.Johnson,  Proc. Linn. Soc. New South Wales
lxxxix. 15(1954).

Nama Umum:
Macadamia (Indonesia), Macadamia nut, the Queensland nut, Australian nut,
bopple nut, bauple nut, popple nut, kindal, boombera, dan burrawang, nut-in-husk
and nut-in-shell (Inggris)

I. Pendahuluan
Macadamia adalah tanaman dari keluarga Proteaceae yang paling bernilai ekonomi.
Tanaman ini tumbuh evergreen, yang tunas barunya selalu tumbuh. Macadamia
adalah tanaman kawasan asli subtropika dari bagian pantai timur Australia. Ada
dua spesies Macadamia yang dibudidayakan yaitu spesies Macadamia integrifolia
Maiden dan Betche dan Macadamia tetraphylla Johnson. Keduanya banyak
dipelihara sebagai tanaman produktif di Australia dan daerah tropika serta
subtropika di berbagai belahan dunia lainnya untuk didapatkan bijinya (John D.
Wilkie, Sedgley, Morris, Muldoon, & Olesen, 2009).
Tanaman Macadamia memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia, merujuk
iklim dan jenis tanah di Indonesia yang sesuai dengan daerah sentra produksi
Macadamia yang berada di Australia dan Hawai (Hasanah, 1998). Macadamia
yang berasal dari sambungan belajar berbuah pada usia dua sampai tiga tahun
64 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

dan dapat berbuah sepanjang tahun. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada tahun
1971 dan di telah dibudidayakan di kebun PTPN XII di Blawan, Bondowoso, Jawa
Timur.

II. II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Suku dari Macadamieae terdiri atas 91 spesies., 16 genera; Proteaceae
(Mast, Willis, Jones, Downs, & Weston, 2008). Genus Macadamia terdiri
atas banyak spesies yaitu antara lain: Macadamia integrifolia, Macadamia
tetraphylla, Macadamia ternifolia, Macadamia jansenii, Macadamia
whelani, Macadamia claudiensis dan Macadamia grandis, Macadamia
neurophylla dan Macadamia hildebrandii (Abubaker et al., 2017; C. M.
Hardner et al., 2009; Peace, Ming, Schmidt, Manners, & Vithanage, 2008).
Berdasarkan The Integrated Taxonomic Information System klasifikas
lengkap Macadamia adalah Kerajaan: Plantae, Divisi: Tracheophyta,
Kelas: Magnoliopsida, Bangsa:  Proteales, Suku: Proteaceae  dan Marga:
Macadamia, Jenis: Macadamia F. Muell.
Secara botani, buah Macadamia di pohon adalah folikel dan kacang-kacangan
merupakan bijinya. Buah Macadamia memiliki tiga komponen dasar yaitu
pericarp (kulit atau kulit hijau luar) dengan ketebalan 2-4mm, testa (kulit
biji atau kulit cokelat bagian dalam) dengan ketebalan 2-3 mm, embrio
(daging kacang atau kernel/inti). Buah Macadamia secara populer disebut
dengan kacang dalam kulit (nut in husk), sedangkan secara komersial disebut
dengan istilah kacang dalam cangkang (nut in shell). Kacang adalah biji yang
sebenarnya pada Macadamia; mantel biji mengandung kernel (Wallace &
Walton, 2011). Pada tahap matang, sekitar 69% dari berat yang membentuk
buah Macadamia merupakan penutup luar dan dalam, sedangkan 31%
sisanya tetap sebagai kernel yang dapat dikonsumsi. Gambaran kacang
Macadamia ditunjukkan oleh Gambar 13.
Macadamia spp. 65
(Proteaceae)

Gambar 13. Karakteristik buah Macadamia a. buah masak fisiologis, b. biji di


dalam testa (nut in shell) dan c. kacang (nut) Macadamia (foto: dita_
agisimanto).

Buah Macadamia memiliki hilum yang lokasinya di dekat embrio. Micropyle di sisi
yang bersebrangan dengan embrio. Micropyle ditandai dengan titik putih pada
bagian kacang Macadamia. Bagian luar integumen memiliki bagian epidermis
dalam yang kuat, terdiri atas 5-7 lapisan tebal testa. Embrio yang sudah dewasa
kemungkinan menempel ketat pada lapisan yang keras ini. Embrio Macadamia yang
sudah dewasa terdiri atas dua cotyledons dan embrio berada di antara keduanya.
Wallace and Walton (2011) menjelaskan bahwa spesies Macadamia dapat
dibedakan dari daun dan bunganya. Daun M. integrifolia memiliki ukuran panjang
20 - 25 cm, melingkar di cabang pohon dan sedikit tulang daunnya (Gambar 14 ).
Daun tumbuh membentuk posisi mengelilingi ranting atau cabang yang tumbuh
dan berkembang selama periode pertunasan. Sementara M. tetraphylla memiliki
daun dengan panjang hingga 50 cm, melingkar di cabangnya dan memiliki banyak
tulang daun. Bunga M. integrifolia berwarna putih krem, memiliki kluster bunga
lengkap dengan panjang 15 - 30 cm, sedangkan bunga M. tetraphylla berwarna
krem atau merah muda dengan panjang kluster hingga 38 cm. Bunga Macadamia
dapat melakukan polinasi sendiri atau bersilangan dengan bantuan lebah sebagai
agen penyerbuk.
66 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 14. Posisi daun Macadamia integrifolia yang membentuk posisi melingkar
pada ranting (foto : dita_agisimanto).

Bunga-bunga Macadamia keluar dalam bentuk kluster (inflorescences) yang disebut


pendant racemes, panjangnya bervariasi dari 6 - 30 cm (Huett, 2004). Tanaman
dewasa dapat menghasilkan bunga berkisar 2.500 racemes yang masing-masing
raceme memiliki 100–300 tangkai bunga. Bunga Macadamia dipolinasi oleh lebah
penyengat (stingless bees) dan lebah madu Eropa (European honeybees) (Howlett,
Nelson, Pattemore, & Gee, 2015; Trueman, 2013). O’Connor, Hayes, and To (2018)
menjelaskan bahwa Macadamia secara umum tidak dapat melakukan penyerbukan
sendiri (self-incompatible) melalui beberapa mekanisme di antaranya protandri.
Meskipun ada fakta bahwa tanaman ini melakukan penyerbukan sendiri (self-
compatibility) pada beberapa kultivar. Self-incompatibility pada beberapa tanaman
dapat dikendalikan oleh beberapa gen multi-allelic yang bekerja pada berbagai
tahapan perkembangan bunga. Sebagai contoh self-fertility pada almond (Prunus
dulcis) dikendalikan oleh gen-gen mayor. Varietas M. integrifolia memiliki kualitas
pertumbuhan tabung polen yang lebih rendah dari polennya sendiri dibandingkan
dengan polen bunga lain dan pembentukan buahnya lebih sedikit. Macadamia
tetraphylla juga menunjukkan sejumlah self-compatibility, meski penyerbukan
silang (cross pollen) menghasilkan lebih banyak biji per raceme (Pisanu, Gross, &
Flood, 2009).
Macadamia spp. 67
(Proteaceae)

Gambar 15. Organ kluster bunga (raceme) Macadamia Integrifolia dan posisi
keluarnya pada ujung apical tunas. a. kluster bunga (raceme) yang baru
keluar, b. raceme yang sudah dipolinasi dan c. organ bunga individual
yang mekar dan kuntum (foto : dita_agisimanto).

Pembungaan memainkan peran penting pada produksi buah. Oleh karena faktor-
faktor yang memengaruhi perkembangan bunga perlu dipahami. Trueman (2013)
mengatakan bahwa Macadamia menghasilkan banyak bunga pada musim semi
dan memerlukan penyerbukan silang untuk pembuahan dan pembentukan buah.
Bunga yang muncul pada setiap gugusan (raceme) berkisar 200–300 bunga dan
hanya satu atau dua buah dewasa pada setiap raceme. Macadamia memiliki ovari
yang terdiri atas dua orthotropous ovules pada saat anthesis. Setelah penyerbukan,
tabung polen tumbuh ke bawah menuju ovari, dan menyerbuki satu dari kedua
ovul itu. Kadang kedua ovul pun diserbuki menghasilkan dua kacang kembar. Pada
saat terjadi penyerbukan hanya ovul yang berukuran besar yang dibuahi, jika
kedua ovul mengalami pembuahan maka akan terbentuk buah yang memiliki dua
hemispherical. Diameter buah Macadamia akan meningkat dengan cepat setelah
usia buah berkisar antara 2–3 minggu setelah anthesis hingga 12–15 minggu
68 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

kemudian. Pertumbuhan buah melambat setelah 15 minggu, diikuti dengan


pengerasan integumen bagian luar. Sekitar 20 minggu setelah antesis, bagian
selular endosperma digantikan seutuhnya oleh cotyledons. Ini menunjukkan akhir
dari pembesaran buah dan akumulasi minyak akan dimulai. Pengisian minyak akan
dilakukan pada setiap sel-sel embrio. Akumulasi minyak pada inti (kernel) embrio
akan berakhir segera sebelum buah itu lepas dari induknya (Wallace & Walton,
2011). Akumulasi minyak berakhir pada umur 80 sampai 165 hari setelah anthesis.
Kulit buah dapat pecah pada saat di atas pohon dan kacang (nuts) Macadamia
jatuh ke tanah atau semua buah jatuh ke tanah (C. M. Hardner et al., 2009). Secara
ekonomi sangat menguntungkan bila kacangnya jatuh dari pohon.

III. Asal dan distribusi geografis


Macadamia adalah tanaman yang unik dibandingkan dengan tanaman hortikultura
lainnya. Macadamia adalah satu-satunya tanaman dari Australia yang sudah
dibudidayakan pada skala komersial sebagai tanaman pangan (Wallace & Walton,
2011). Spesies Macadamia integrifolia, M. tetraphylla, M. ternifolia, and M.
jansenii asli dari dataran rendah hutan basah subtropika di sepanjang pantai
timur Australia di antara gunung Bauple, Queensland, dan Lismore, New South
Wales Australia (C. M. Hardner et al., 2009; Mast et al., 2008; Peace et al., 2008)
dan penyebarannya terputus dari sebelah tenggara sampai timur laut New South
Wales (Powell, Accad, & Shapcott, 2014).
M. integrifolia dianggap sebagai Macadamia bercangkang halus sedangkan M.
tetraphylla bercangkang kasar. Macadamia tetraphylla L.A.S. Johnson dibudidayakan
untuk diambil kacangnya (C. M. Hardner et al., 2009). Wallace and Walton (2011)
merangkum bahwa M. integrifolia memiliki karakteristik kacang bundar dengan
cangkang halus, tiga daun di setiap simpul dan margin daun tanpa duri. Tanaman
ini hanya ditemukan di pantai timur 25.5° dan 28.3°S. Distribusi M. tetraphylla
lebih mengarah ke selatan (27.6°-29°S) dan dibedakan oleh spindle, kacang yang
dikupas kasar, memiliki empat daun pada setiap node serta bergerigi dan margin
daun berduri.
Penyebaran M. integrifolia dari Australia ke Hawaii terjadi pada tahun 1880-an
dan 1890-an oleh W. Purvis dari Kukuihaele, Hawaii. Pada kisaran tahun yang sama
(1882-1885) E.W. Jordan dan R.A. Jordan membawa Macadamia ke Honolulu,
Oahu. Kultivar Macadamia Hawaiian kemudian diseleksi dari material-material
Macadamia spp. 69
(Proteaceae)

yang telah dibawa dari hasil anakan penyerbukan bebas. Industri Macadamia di
California dan Australia berkembang belakangan dengan menggunakan tanaman
yang diseleksi dari varietas yang dikembangkan di Hawaii (Denise L. Steiger, Moore,
Zee, Liu, & Ming, 2003).
Hingga saat ini kultivar yang dikembangkan di Hawaii masih menjadi varietas
yang dikembangkan untuk industri Macadamia di seluruh dunia. Sebagaian besar
industri ini menggunakan M. integrifolia atau hibrida M. integrifolia dan M.
tetraphylla. Kultivar M. integrifolia yang dikembangkan di Hawaii menjadi pilihan
utama dan sebagai genotipe induk untuk program pemuliaannya (C. Hardner,
2016). Saat ini Macadamia dibudidayakan secara komersial di Australia, Hawaii,
California, Afrika Selatan, Brasil, Guatemala, Kenya, serta di New Zealand, Malawi,
China, Asia Tenggara dan Paraguay (C. Hardner, 2016; Wallace & Walton, 2011).
Kenya adalah produsen Macadamia terbesar keempat setelah Australia, Hawaii
dan Afrika Selatan dengan produksi tahunan mencapai 10.000 ton (J.D. Wilkie,
Sedgley, & Olesen, 2008) (Wilkie, 2008).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Proteaceae adalah kelompok besar keluarga tanaman Gondwanan yang termasuk
dalam kelompok basal eudicot. Tanaman ini termasuk anggota kelompok
paraphyletic yang terdiri atas beberapa lineage yang menyimpang dari kelompok
asalnya kelompok angiospermae berbunga ‘core eudicots’ (Nock, Baten, & King,
2014; Soltis et al., 2011). Tanaman Macadamia modern saat ini memiliki tipe
kromosom diploid (2n = 28), bersifat heterozigot tinggi dan memiliki kekerabatan
yang dekat dengan tetua liarnya (Nock, Elphinstone, et al., 2014). Kultivar modern
ini berasal dari silangan M. integrifolia dan M. tetraphylla (C. Hardner, 2016; C. M.
Hardner et al., 2009). Macadamia memiliki ukuran genom berkisar dari 652 Mb
(Nock et al., 2016) hingga 780 Mb (Chagné, 2015).
Kultivar Macadamia dan materi pemuliaannya berdasarkan gene-pool yang
terbatas dan keragaman genetik dibatasi oleh sumber-sumber yang terbatas itu
(Denise L. Steiger et al., 2003). Namun demikian level variasi di antara kultivar
cukup tinggi (Denise L. Steiger et al., 2003) dibandingkan dengan kopi (D.L. Steiger
et al., 2002). Denise L. Steiger et al. (2003) menyimpulkan bahwa keragaman ini
disebabkan oleh terciptanya heterozigositi yang tinggi pada populasi alamiah dan
70 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

metode seleksi. Sudah diketahui bahwa kultivar berkembang dari penyerbukan


sendiri dan silang serta kultivar terpilih yang diperbanyak secara vegetatif untuk
menghindari segregasi (C. M. Hardner et al., 2009).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Domestikasi Macadamia tergolong baru untuk tanaman keras. Sejak budidaya
Macadamia mulai dilakukan di sekitar akhir 1800-an masehi (C. Hardner, 2016;
C. M. Hardner et al., 2009; Peace et al., 2008), tanaman ini mulai diseleksi dari
populasi leluhurnya. Di negeri leluhurnya, Macadamia mulai dikebunkan di Lismore,
NSW berkisar tahun 1880, dan di Queensland pada tahun 1910 (C. M. Hardner et
al., 2009). Periode ini diyakini menjadi awal evolusi Macadamia selain perubahan
natural akibat tekanan biotik dan abiotik di kawasan hutan hujan tropika. Seleksi
gen-gen yang bermanfaat dilakukan untuk mendapatkan kultivar terbaik dalam
memperbaiki kualitas tanaman (Nock et al., 2016).
Wall (2010) menyatakan bahwa kultivar Macadamia diseleksi berdasarkan karakter
pertumbuhan seperti vigor dan tegakan pohon, ketahanan terhadap penyakit dan
serangga hama, keseragaman, berat kacang nut, ketebalan kulit kernel, berat kernel,
persentase total kernel, karakter olahan buah dan kualitas kernel. Variabel genetik
yang diperhatikan adalah termasuk karakter panen per pohon dan persentase
kernel terbaik dan total per pohon (C. M. Hardner, Winks, Stephenson, Gallagher,
& Mcconchie, 2002).
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa M. integrifolia dan M. tetraphylla adalah
spesies unggul Macadamia yang menjadi perhatian industri buah Macadamia.
Keduanya mengalami evolusi menjadi hibrida-hibrida unggul dan erosi genetik
terjadi dalam proses seleksi keunggulan sifat agronomis tanaman. Sementara
spesies lain Macadamia seperti Macadamia whelani, Macadamia claudiensis
dan Macadamia grandis yang berasal dari Australia, Macadamia neurophylla
yang berasal dari New Caledonia dan Macadamia hildebrandii yang berasal dari
Sulawesi di Indonesia (Abubaker et al., 2017; C. M. Hardner et al., 2009; Peace
et al., 2008) semakin jarang ditemukan dan terancam punah (Mast et al., 2008;
Powell et al., 2014). Spesies M. jansenii pada tahun 2011 hanya berkisar kurang
dari 50 individu yang tumbuh liar (Wallace & Walton, 2011).
Macadamia spp. 71
(Proteaceae)

VI. Aspek budidaya


Struktur pohon Macadamia umumnya berukuran besar, periode juvenilnya panjang,
kayunya berwarna hijau dan cukup keras, dan dapat tumbuh hingga 20 m (Abubaker
et al., 2017; O’Connor et al., 2018). Kultivar Macadamia diperbanyak menggunakan
metode grafting untuk memastikan keseragaman mata tempel. Macadamia mulai
berbuah pada umur 4-5 tahun setelah tanam, dan pohon memasuki tahap dewasa
setelah berumur 10-15 tahun. Pohon dapat berproduksi dengan produktivitas
tinggi hingga berumur 60 tahun (C. M. Hardner et al., 2009).
Buah-buah tua akan jatuh ke tanah pada saat matang, dipungut tangan atau
mesin. Segera setelah panen (kurang dari 24 jam) kulit harus segera dikupas untuk
mencegah panas akibat respirasi, pertumbuhan mikroba dan mencegah reaksi-
reaksi biokimia lain yang menurunkan kualitas panen (Munro & Garg, 2008).
Tanaman Macadamia tumbuh hijau (evergreen) sepanjang tahun. Pertumbuhan
vegetatif tunas yang terus-menerus bergantung kepada suhu, cahaya matahari
dan kelembapan tanah. Siklus pertumbuhan tunas bergantung pada faktor-faktor
lingkungan tadi (Olesen, Whalan, Muldoon, Robertson, & Meyer, 2006). Suhu ideal
untuk pertumbuhan dan perkembangan Macadamia berkisar 15°C - 25°C. Proporsi
pertumbuhan kanopi menurun selama periode cekaman air (R. A. Stephenson,
Gallagher, & Doogan, 2003). Selama pertumbuhan tunas, mata tunas tumbuh
dan berkembang diikuti oleh pemanjangan cabang/ranting dan ekspansi daun.
Periode dormansi mata tunas terjadi di antara periode pertumbuhan tunas baru.
Pada dasarnya tunas baru dapat tumbuh setiap saat setelah dormansi, namun
mayoritas terjadi pada awal musim semi dan akhir musim panas.
Di perkebunan Australia pemangkasan rutin dilakukan pada sisi tanaman atau
bagian atas kanopi. Pengelolaan kanopi ini penting untuk Macadamia. Pertunasan
diikuti dengan pemangkasan ini akan menghilangkan penghambat pertumbuhan
bakal tunas (apex). Waktu pertunasan dan karakter Macadamia itu sendiri, akan
memengaruhi produktivitasnya (J.D. Wilkie, Sedgley, & Olesen, 2009). Lebih lanjut
J.D. Wilkie et al. (2009) menjelaskan bahwa pemangkasan akan merangsang
pertumbuhan tunas samping (axillary buds) di bawah bagian yang dipotong.
Jumlah tunas yang tumbuh dan berkembang menjadi percabangan baru akan
meningkat seiring dengan peningkatan suhu dari 15 hingga 25°C, meskipun ada
72 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

pendapat yang menyatakan bahwa pemotongan kanopi ini akan menurunkan


total panen Macadamia. Namun demikian diyakini bahwa panen Macadamia akan
meningkat sejalan dengan volume kanopi yang mampu ditembus cahaya hingga
94% (McFadyen et al., 2004).
Pemotongan kanopi pada bulan September berkisar pada waktu anthesis, biasa
dilakukan di perkebunan Macadamia di Australia. Hasil yang lebih rendah terjadi
pada tanaman yang dipangkas pada bulan April. Hal ini dikarenakan kompetisi
antara pertumbuhan tunas baru dengan perkembangan buah yang pesat di bulan
Oktober dan November. Keseluruhan fotosintesis di kanopi juga akan lebih rendah
pada tanaman yang kanopinya ternaungi berikut asimilasi CO2 dibandingkan
dengan tanaman yang dipangkas (Huett, 2004). Tahapan perkembangan buah
dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Perkembangan buah Macadamia; (a) Buah kecil setelah penyerbukan,
(b) perkembangan cepat buah menuju pematangan, (c) buah mulai
masak dan retak, dan (d) kulit buah (husk) sudah pecah dan biji siap
panen (foto : dita_agisimanto).
Macadamia spp. 73
(Proteaceae)

Sejak awal budidaya modern Macadamia, McFadyen et al. (2004) menyatakan


bahwa isu utama perkebunan Macadamia adalah pohon-pohon yang rapat dan
percabangan yang tidak beraturan. Peningkatan kepadatan tanaman per luasan
seperti dari 200 tanaman/ha menjadi 357 tanaman/ha menyebabkan kepadatan
kanopi pada tahun ke-11 setelah tanam. Kanopi yang padat akan menutup
rapat tanah di bawah pohon, menyebabkan erosi karena hilangnya vegetasi di
bawah pohon, risiko tinggi infeksi penyakit karena berkurangnya aliran udara
dan keringnya bunga dan buah. Kepadatan daun menyebabkan mereka saling
menaungi, menyebabkan pengaruh negatif dalam distribusi atau aliran cahaya
di dalam kanopi. Hasil penelitian pada tanaman muda menunjukkan bahwa
pertumbuhan pohon yang ditumbuhkan di bawah naungan akan mendapatkan
cahaya matahari (photosynthetic photon flux atau PPF) di bawah 1.300 µmol/
m2.s. Hal ini menyebabkan penurunan pembungaan, jumlah kacang, kernel
dan kandungan minyak. Sementara pada tanaman dewasa, bila hanya 25% PPF
yang mencapai bagian bawah kanopi akan menurunkan produktivitas cabang,
jumlah raceme per cabang dan jumlah kacang per raceme. Disimpulkan bahwa
peningkatan volume kanopi hingga 42.500 m3/ha dan intersep cahaya mencapai
94% akan menaikkan produksi, sementara jika volume kanopi lebih dari 43.500
m3/ha akan menyebabkan efek negatif dalam produksi.
Bunga Macadamia muncul sebagai respons atas musim dingin. Di luar faktor ini
pembungaan kadang ditemukan pula. Kemunculan tunas aksilar diperlukan untuk
produksi raceme. Kadang raceme juga muncul dari ujung tunas apikal (Olesen &
Mcphan, 2003; John D. Wilkie et al., 2009). Bunga akan tumbuh pada setiap raceme
(Olesen, 2005). Pembungaan Macadamia ini terjadi dalam dua tahapan proses
yaitu, keluarnya tunas aksilar dan diferensiasi bagian floral atas pengaruh suhu
dingin (Olesen, 2005). Kehadiran tunas aksilar dapat dikendalikan oleh a flushing
secara keseluruhan (Olesen et al., 2006), dan dipengaruhi pula oleh posisinya di
dalam kanopi (John D. Wilkie et al., 2009).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Macadamia integrifolia and M. tetraphylla dan hibrida mereka, dibudidayakan di
seluruh dunia untuk produksi komersial akan kacang (biji) yang dapat dikonsumsi
(C. Hardner, 2016; C. M. Hardner et al., 2009; Nock et al., 2016), terutama M.
74 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

integrifolia (R. Stephenson, 2005). Macadamia integrifolia adalah salah satu


tanaman utama di dunia. Selain nilai gizinya, Macadamia juga mengandung
sejumlah phytochemicals yang bertanggung jawab untuk berbagai bioaktivitas
(Abubaker et al., 2017).
Kernel adalah bagian yang dapat dimakan dari Macadamia. Kernel berwarna putih
krem dan hampir membentuk bola dengan dua bagian kotidon. Mereka memiliki
rasa halus yang unik, tekstur renyah dan kandungan minyak yang tinggi. Kacang
ini kaya kalori, sumber nutrisi yang baik seperti protein, vitamin dan mineral
juga kandungan fitokimia, sehingga dapat mengurangi kolesterol serum ketika
dimasukkan dalam diet sehat (Abubaker et al., 2017; Wall, 2013). Macadamia yang
kaya kalori sebagian besar disebabkan oleh kandungan lemak (lipid) yang tinggi
(Abubaker et al., 2017). Ini menunjukkan bahwa kernel adalah sumber energi yang
kaya (718.244 Kcal /100 g) dan mampu memasok kebutuhan energi harian tubuh
(Abubaker et al., 2017).
Biji Macadamia disiapkan sebagai buah segar (dimakan mentah), digoreng,
dipanggang dan dapat juga diberikan garam (sebagai asinan). Komoditas ini juga
digunakan untuk hidangan penutup dan makanan ringan serta sebagai bahan
dalam berbagai permen, es krim dan cokelat. Minyak Macadamia juga diekstraksi
dari kernel dan digunakan untuk salad (Abubaker et al., 2017), minyak goreng dan
sebagai bahan makanan dan kosmetik (Wallace & Walton, 2011).
Kacang Macadamia mengandung phytochemical yang mungkin memiliki efek positif
pada kesehatan manusia dan sementara itu melindungi kernel dari reaksi oksidasi
selama penyimpanan dan pemasaran. Perlindungan oksidasi akan membantu
memperpanjang umur simpan. Fitokimia adalah senyawa aktif biologis yang
terdapat dalam makanan alami termasuk pada buah-buahan, sayuran, biji-bijian,
kacang-kacangan, yang berpotensi mencegah atau menunda timbulnya penyakit
kronis, seperti penyakit kanker dan kardiovaskular (CVD) (Wall, 2010).
Secara umum, kernel Macadamia tersusun oleh kelembapan (moisture) (1,4-2,1%),
lemak (lipid) (66,2-75,8%), protein (7,9-8,4%), abu (1,1-1,2%), dan gula (1,4-4,6%),
pada kacang yang dapat dikonsumsi (edible nuts) (Abubaker et al., 2017; Sathe,
Monaghan, Kshirsagar, & Venkatachalam, 2008). Sekitar 70% dari berat kernel
adalah lemak, menyediakan jumlah kalori yang tinggi dan diindikasikan sebagai
sumber minyak nabati yang baik (Abubaker et al., 2017). Lemak pada kacang
Macadamia kaya akan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFAs). Lemak ini dapat
membantu mengurangi kolesterol serum, sehingga dapat menurunkan risiko
Macadamia spp. 75
(Proteaceae)

penyakit kardiovaskular. Konsumsi lemak tak jenuh tunggal secara teratur dikaitkan
dengan penurunan kolesterol darah, di mana ada bukti yang menunjukkan bahwa
konsumsi kacang Macadamia secara teratur dapat mengurangi kolesterol dan
membantu mengurangi risiko penyakit arteri koroner (Wallace & Walton, 2011).
Bahkan konsumsi jangka pendek dapat meningkatkan biomarker dari stres
oksidatif, trombosis dan peradangan serta menurunkan kolesterol (Garg, Blake,
Wills, & Clayton, 2007). Konsentrasi serum total kolesterol dan kolesterol LDL dari
penelitian Griel et al. (2008) menunjukkan nilai yang lebih rendah untuk subjek
dengan diet yang menggunakan kacang macadamia sebagai asupan dibandingkan
dengan diet tanpa kacang macadamia sebagai asupan. Hal ini menunjukkan bahwa
kacang Macadamia dapat membantu mengurangi risiko penyakit kardiovaskular
(Griel et al., 2008).
Kandungan protein yang terdapat pada kacang Macadamia mampu berkontribusi
pada kebutuhan protein harian orang dewasa, seperti yang direkomendasikan
untuk asupan program diet. Namun, kernel Macadamia menunjukkan jumlah
karbohidrat yang lebih rendah (5.801%) daripada daun dan pericarp, yang masing-
masing mengandung (72,352%) dan (77,581%) (Abubaker et al., 2017).
Minyak Macadamia adalah salah satu minyak paling tak jenuh tunggal. Minyak
ini mengandung 83–85% asam lemak tak jenuh dan 15–17% asam lemak jenuh
(Robbins, Shin, Shewfelt, Eitenmiller, & Pegg, 2011). Asam lemak dominan
adalah asam oleat (56–65%), palmitoleat (18–23%), dan palmitat (7–9%). Kernel
Macadamia dianggap matang setelah akumulasi minyak selesai (Wall, 2013).
Macadamia integrifolia memiliki minyak yang punya kemiripan dengan minyak
zaitun. Minyaknya disusun oleh monounsaturated fatty acids (MUFA) dengan
persentase hingga 58,2% dengan kandungan dominan asam oleat (oleic acid)
(~60%) dan asam palmitoleat (palmitoleic acids) (~20%). Oleh karena itu, biji
tanaman ini diyakini sebagai sumber makanan sehat karena tidak mengandung
kolesterol dan menurunkan level kandungan kolesterol LDL. Minyak Macadamia
mampu meningkatkan keseimbangan asam lemak omega 6 dan omega 3 sehingga
memudahkan sirkulasi darah melalui arteri koroner. Kehadiran tokoferol, fitosterol
dan squalene di dalam buah Macadamia juga berperan menurunkan kolesterol
(Wall, 2010). Minyak dari Macadamia ini juga digunakan dalam pembuatan
kosmetik. Dengan seleksi varietas superior, teknik pembiakan vegetatif yang tepat
dan dilengkapi dengan paket agronomis lainnya, nilai penting ekonomi Macadamia
akan berlanjut (Abubaker, Hawary, Mahrous, & El-Kader, 2017).
76 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Kernel Macadamia mengandung tokoferol, tokotrienol, fenolat, pitosterol, dan


squalene. Kernel buah ini juga menghadirkan α –tokoferol dan δ -tokoferol (0,6
hingga 2,8 μ g/g minyak) yang lebih rendah untuk sebagian besar jenis kacang
lainnya (Franke, Murphy, Lacey, & Custer, 2007; Robbins et al., 2011; Wall, 2010).
Tokotrienol memadamkan reaksi radikal bebas lebih mudah daripada tokoferol
(Packer, Weber, & Rimbach, 2001), hal ini memungkinkan dapat meningkatkan
stabilitas oksidatif kernel Macadamia. Tokotrienol memiliki sifat penurun
kolesterol, anti-karsinogenik dan nueroprotektif, selain sifat antioksidan yang
ditingkatkan (Packer et al., 2001; Sen, Khanna, & Roy, 2007). Kacang Macadamia
mengandung tiga homolog tokotrienol, dengan jumlah total berkisar antara 20
to 92 μ g/g minyak (Franke et al., 2007; Wall, 2010). Macadamia mengandung
setidaknya 3 bentuk utama vitamin E yang terbentuk secara alami. Vitamin ini
disentesis oleh tanaman dari asam homogentistic. Alfa dan gamma tokoferol adalah
dua bentuk utama vitamin, dengan proporsi relatif bergantung pada sumbernya
(Rizvi et al., 2014). Daun, kernel dan pericarp Macadamia mengandung vitamin
E dan nutrisi makro seperti natrium, kalium dan kalsium dalam jumlah yang
cukup banyak. Makanan yang kaya kalsium dan kalium sangat direkomendasikan
American Heart Association sebagai tindakan perlindungan terhadap hipertensi
(Alasalvar & Shahidi, 2008; He & MacGregor, 2009). Kandungan vitamin E pada
Macadamia integrifolia dalam daun, kernel dan pericarp masing-masing adalah
(133,18, 61,49 dan 98,78 mg/100gm). Di sini terlihat daun mengandung vitamin E
yang tertinggi diikuti pericarp dan kernel. Vitamin E diterima dengan baik sebagai
antioksidan alami yang paling mudah larut dalam lemak, sebagai rantai pemecah
dan melindungi membran sel dari kerusakan peroksidatif.
Jumlah nutrisi dalam biji Macadamia dapat bervariasi sesuai dengan kultivar
mereka, tingkat kematangan saat panen dan lokasi penanaman serta kondisi
(Munro & Garg, 2008). Kernel Macadamia integrifolia dan M. tetraphylla memiliki
konsentrasi tokoktrienol yang cukup signifikan (Franke et al., 2007; Wall, 2010)
Robbins et al., 2011;). Kernel Macadamia integrifolia mengandung 68–79%
minyak dan dianggap sebagai kacang yang memiliki kandungan minyak tinggi
seperti kacang pinus (68–75%), pecan (70–73%), dan kacang walnut (63–70%)
(Robbins et al., 2011; Wall, 2010). Kernel M. tetraphylla mengandung lebih sedikit
minyak dari pada M. integrifolia (Wall, 2013). Kandungan serat makanan dari biji
macadamia yang dibudidayakan di Australia (6,4%) sedikit lebih rendah dari kernel
yang dibudidayakan di Amerika Serikat (8,6%) (Munro & Garg, 2008). Macadamia
Macadamia spp. 77
(Proteaceae)

integrifolia pericarp dianggap sebagai sumber kalium yang baik dengan nilai
sejumlah 7.803,68 mg/kg, diikuti bagian kernelnya (3.458,4 mg/kg). Sedangkan
daun macadamia mengandung konsentrasi kalium terendah, yakni sebesar 838,16
mg/kg.
Macadamia merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena
biji yang dihasilkan menjadi bahan baku dalam industri makanan serta dapat
digunakan untuk kesehatan. Potensi pasar Indonesia untuk produk ini cukup
menjanjikan, dilihat dari pertumbuhan impor yang terjadi pada tahun 2009-2018
yakni sebesar 62%. Dari 9,4 ton pada tahun 2009 menjadi 15,3 ton pada tahun
2018, meski sempat terjadi penurunan impor di antara tahun 2012 hingga 2016.
Peluang budidaya terlihat dari ekspor yang dilakukan oleh Perkebunan Kopi Kalisat
Jampit, PT Perkebunan Nusantara XII, yang terletak di Pegunungan Ijen, Jawa
Timur. Peningkatan harga per kg ekspor dari tahun 2016 yang bernilai 3,2$ menjadi
20$ pada tahun 2018 dapat menjadi indikasi peningkatan kualitas dari produk biji
Macadamia yang dihasilkan.
Tanaman Macadamia memiliki manfaat mulai dari batang sebagai kayu, biji yang
dapat dikonsumsi dan diambil minyaknya serta cangkang kulit pembungkus biji
dapat digunakan sebagai arang. Kandungan dari biji Macadamia di antaranya
lemak 57,90%, protein 13,45%, pati 9,55%, air 5,89%, gula 5,05% dan abu 2,22%
(Sukmasari et al. 2004). Lemak yang terkandung lebih dari 77% merupakan
lemak tak jenuh yang didominasi lemak tak jenuh tunggal, sehingga baik untuk
kesehatan (USDA, 2009). Beberapa studi menunjukkan bahwa kacang macadamia
dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, meliputi hiperkolesterolmia,
stres oksidatif, dan peradangan (Garg et al., 2007; Griel et al., 2008)(Wood and
Garg 2011; Griel et al., 2008; Garg et al., 2003; Hiraoka-Yamamoto et al., 2004).
Di samping itu Macadamia kaya akan zat besi, magnesium, fosfor, kalsium dan
thiamin. Hal ini membuat Macadamia dapat digunakan untuk membantu mengatasi
anemia, gangguan hati dan kecanduan alkohol, memperbaiki kekebalan tubuh dan
meningkatkan kesehatan secara umum.
Tiga produsen terbesar kacang Macadamia adalah Australia, Amerika Serikat dan
Afrika Selatan. Dari sisi volume produksi secara global selama tahun panen 2006-
2007, dibandingkan pohon kacang sejenis, Macadamia menduduki peringkat ke
delapan. Peringkat pertama hingga kelima adalah almond, hazelnut, mete, walnut,
dan pistachio (Alasalvar & Shahidi, 2008).
78 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pustaka
1. Abubaker, M., Hawary, S. S. E., Mahrous, E. A., & El-Kader, E. M. A. (2017).
Study of nutritional contents of Macadamia integrifolia Maiden and Betche
leaves, kernel and pericarp cultivated in Egypt. International Journal of
Pharmacognosy and Phytochemical Research, 9, 1442-1445.
2. Alasalvar, C., & Shahidi, F. (2008). Tree nuts: Composition, phytochemicals,
and health effects: An overview. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree Nuts:
Composition, Phytochemicals, and Health Effects (pp. 1-10). Boca Raton: CRC
Press.
3. Chagné, D. (2015). Whole genome sequencing of fruit tree species. In P.
Christophe & A. B. Anne-Françoise (Eds.), Advances in botanical research (Vol.
74, pp. 1-37): Academic Press.
4. Franke, A. A., Murphy, S. P., Lacey, R., & Custer, L. J. (2007). Tocopherol and
tocotrienol levels of foods consumed in Hawaii. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 55, 769-778.
5. Garg, M. L., Blake, R. J., Wills, R. B. H., & Clayton, E. H. (2007). Macadamia nut
consumption modulates favourably risk factors for coronary artery disease in
hypercholesterolemic subjects. Lipids, 42, 583-587.
6. Griel, A. E., Cao, Y. M., Bagshaw, D. D., Cifelli, A. M., Holub, B., & Kris-Etherton,
P. M. (2008). A macadamia nut-rich diet reduces total and LDL-cholesterol in
mildly hypercholesterolemic men and women. Journal of Nutrition, 138 761-
767.
7. Hardner, C. (2016). Macadamia domestication in Hawai’i. Genetic Resources
and Crop Evolution, 63, 1411-1430.
8. Hardner, C. M., Peace, C., Lowe, A. J., Neal, J., Pisanu, P., Powell, M., . . .
Williams, K. (2009). Genetic resources and domestication of Macadamia.
Hortic Rev, 35, 1-126.
9. Hardner, C. M., Winks, C. W., Stephenson, R. A., Gallagher, E. G., & Mcconchie,
C. A. (2002). Genetic parameters for yield in macadamia. Euphytica, 225 255
- 264.
10. He, F. J., & MacGregor, G. A. (2009). A comprehensive review on salt and health
and current experience of worldwide salt reduction programmes. Journal of
Human Hypertension, 23, 363-384.
Macadamia spp. 79
(Proteaceae)

11. Howlett, B. G., Nelson, W. R., Pattemore, D. E., & Gee, M. (2015). Pollination
of macadamia: review and opportunities for improving yields. Scientia
Horticulturae, 197, 411-419.
12. Huett, D. O. (2004). Macadamia physiology review: a canopy light response
study and literature review. Australian Journal of Agricultural Research, 55,
609–624.
13. Mast, A. R., Willis, C. L., Jones, E. H., Downs, K. M., & Weston, P. H. (2008).
A smaller Macadamia from a more vagile tribe: Inference of phylogenetic
relationships, divergence times, and diaspore evolution in Macadamia and
relatives (tribe Macadamiae; Proteaceae). American Journal of Botany, 95,
843-870.
14. McFadyen, L. M., Morris, S. G., Oldham, M. A., Huett, D. O., Meyers, N. M.,
Wood, J., & McConchie, C. A. (2004). The relationship between orchard
crowding, light interception, and productivity in macadamia. Australian
Journal of Agricultural Research, 55, 1029-1038.
15. Munro, I. A., & Garg, M. L. (2008). Nutrient composition and health beneficial
effects of macadamia nuts. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree nuts:
Composition, phytochemicals, and health effects (pp. 249-258). Boca Raton:
CRC Press.
16. Nock, C. J., Baten, A., Barkla, B. J., Furtado, A., Henry, R. J., & King, G. J. (2016).
Genome and transcriptome sequencing characterises the gene space of
Macadamia integrifolia (Proteaceae). BMC Genomics, 17, 937.
17. Nock, C. J., Baten, A., & King, G. J. (2014). Complete chloroplast genome
of Macadamia integrifolia confirms the position of the Gondwanan early-
diverging eudicot family Proteaceae. BMC Genomics, 15 Suppl 9:1.
18. Nock, C. J., Elphinstone, M. S., Ablett, G., Kawamata, A., Hancock, W., Hardner,
C. M., & King, G. J. (2014). Whole genome shotgun sequences for microsatellite
discovery and application in cultivated and wild Macadamia (Proteaceae).
Appl Plant Sci, 2, 1300089.
19. O’Connor, K., Hayes, B., & To, B. (2018). Prospects for increasing yield in
macadamia using component traits and genomics. Tree Genetics & Genomes
() 14:7, 14, 7.
80 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

20. Olesen, T. (2005). The timing of flush development affects the flowering of
avocado (Persea americana) and macadamia (Macadamia integrifolia x
tetraphylla). Australian Journal of Agricultural Research, 56, 723-729.
21. Olesen, T., & Mcphan, A. (2003). Some observations on the flowering of
macadamia. Australian Macadamia Society News Bulletin, 30, 38-40.
22. Olesen, T., Whalan, K., Muldoon, S., Robertson, D., & Meyer, R. (2006). On
the control of bud release in macadamia (Macadamia integrifolia). Australian
Journal of Agricultural Research, 57, 939-945.
23. Packer, L., Weber, S. U., & Rimbach, G. (2001). Molecular aspects of α
-tocotrienol antioxidant action and cell signaling. Journal of Nutrition, 131,
369S-373S.
24. Peace, C., Ming, R., Schmidt, A., Manners, J., & Vithanage, V. (2008). Genomics
of Macadamia, a recently domesticated tree nut crop. In P. Moore & R. Ming
(Eds.), Genomics of tropical crop plants, vol 1. Plant genetics and genomics:
crops and models (pp. 313-332). New York: Springer.
25. Pisanu, P. C., Gross, C. L., & Flood, L. (2009). Reproduction in wild populations of
the threatened tree Macadamia tetraphylla: interpopulation pollen enriches
fecundity in a declining species. Biotropica, 41, 391-398.
26. Powell, M., Accad, A., & Shapcott, A. (2014). Where they are, why they are
there, and where they are going: using niche models to assess impacts of
disturbance on the distribution of three endemic rare subtropical rainforest
trees of Macadamia (Proteaceae) species. Aust J Bot., 62, 322-334.
27. Rizvi, S., Raza, S. T., Ahmed, F., Ahmad, A., Abbas, S., & Mahdi, F. (2014). The
role of vitamin E in human health and some diseases. Sultan Qaboos University
Med J, 14, e157-165.
28. Robbins, K. S., Shin, E., Shewfelt, R. L., Eitenmiller, R. R., & Pegg, R. B. (2011).
Update on the healthful lipid constituents of commercially important tree
nuts. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 59, 12083-12092.
29. Sathe, S. K., Monaghan, E. K., Kshirsagar, H. H., & Venkatachalam, M. (2008).
Chemical composition of edible nutcseeds and its implications in human health.
In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree nuts: Composition, phytochemicals, and
health effects (pp. 11-36). Boca Raton: CRC Press.
Macadamia spp. 81
(Proteaceae)

30. Sen, C. K., Khanna, S., & Roy, S. (2007). Tocotrienols in health and disease: the
other half of the natural vitamin E family. Molecular Aspects of Medicine, 28,
692-728.
31. Soltis, D. E., Smith, S. A., Cellinese, N., Wurdack, K. J., Tank, D. C., Brockington,
S. F., . . . Carlsward, B. S. (2011). Angiosperm phylogeny: 17 genes, 640 taxa.
Am J Bot, 98, 704-730.
32. Steiger, D. L., Moore, P. H., Zee, F., Liu, Z., & Ming, R. (2003). Genetic
relationships of macadamia cultivars and species revealed by AFLP markers.
Euphytica, 132, 269-277.
33. Steiger, D. L., Nagai, C., Moore, P. H., Morden, C. W., Osgood, R. V., & Ming,
R. (2002). AFLP analysis of genetic diversity within and among Coffea arabica
cultivars. Theor Appl Genet, 105, 209-215.
34. Stephenson, R. (2005). Macadamia: Domestication and commercialisation.
Horticultural Science Focus, 45, 11-15.
35. Stephenson, R. A., Gallagher, E. C., & Doogan, V. J. (2003). Macadamia
responses to mild water stress at different phonological stages. Australian
Journal of Agricultural Research, 54, 67-75.
36. Trueman, S. J. (2013). The reproductive biology of macadamia. Scientia
Horticulturae, 150, 354-359.
37. Wall, M. M. (2010). Functional lipid characteristics, oxidative stability, and
antioxidant activity of macadamia nut (Macadamia integrifolia) cultivars.
Food Chemistry, 121, 1103-1108.
38. Wall, M. M. (2013). Improving the quality and safety of macadamia nuts:
Woodhead Publishing Limited.
39. Wallace, H. M., & Walton, D. A. (2011). Macadamia (Macadamia integrifolia,
Macadamia tetraphylla and hibrids): Woodhead Publishing Limited.
40. Wilkie, J. D., Sedgley, M., Morris, S., Muldoon, S., & Olesen, T. (2009).
Characteristics of flowering stems and raceme position in macadamia. Journal
of Horticultural Science & Biotechnology, 84 387-392.
41. Wilkie, J. D., Sedgley, M., & Olesen, T. (2008). Regulation of floral initiation in
horticultural trees. Journal of Experimental Botany, 59, 3215-3228.
82 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

42. Wilkie, J. D., Sedgley, M., & Olesen, T. (2009). A model of vegetative flush
development and its potential use managing macadamia (Macadamia
integrifolia) tree canopies. Crop & Pasture Science, 60, 420-426.
Penulis :
Dita Agisimanto dan Lyli Mufidah
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Morus alba L.
(Moraceae)

Protologue
Morus alba Linnaeus - Species Plantarum. 2: 986 (1753)

Sinonim
• Morus alba vulgaris f. pendula Dippel, Handb. Laubholzk. 2: 8 (1892)
• Morus alba Bureau, Prodr. [A. P. de Candolle] 17: 243, partim (1873).
• Morus alba pendula Sudw., Bull. Div. Forest. U.S.D.A. 14: 189 (1897).
• Morus alba var. emarginata Y.B.Wu, Acta Bot. Yunnan. 16(2): 120, as
‘emargenata’ (1994).
• Morus alba var. laciniata Beissn., Mitt. Deutsch. Dendrol. Ges. no. 12: 127
(1903).
• Morus alba f. skeletoniana (C.K.Schneid.) Rehder, Bibliogr. Cult. Trees 147
(1949).

Nama umum
Murbei (Indonesia), Walot (Sunda), Malur (Batak), Andalas (Sumatera Barat), nagas
(Ambon) dan tambara merica (Makassar), Besaran (Jawa), mulberry (Inggris),
Sangye (China), morera/mora (Spanyol), moreira (Portugis), Murier (Prancis)

I. Pendahuluan
Murbei merupakan tanaman berkayu yang awalnya masuk ke dalam bangsa
Urticales. Linnaeous (1753) membagi bangsa Urticales, suku Moraceae, marga
Morus menjadi 7 spesies yaitu Morus alba, Morus indica, Morus nigra, Morus
papyrifera, Morus rubra, Morus tartarica, Morus tinctoria. Namun tahun 1873
84 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Bureau meringkasnya hanya menjadi 5 spesies berdasarkan keragaan daun dan


pistillate catkins (bentuk buah). Terdapat 12 spesies yang sebelumnya merupakan
spesies tersendiri berdasarkan Linnaeous, dikelompokkan menjadi spesies Morus
alba, di antaranya spesies Morus tartarica dan Morus indica (Empat spesies yang
diidentifikasi sebagai spesies tersendiri yaitu Morus nigra, Morus rubra, Morus
celtidofolia, dan Morus insignis. Greene (1910) membagi bangsa Urticales menjadi
14 spesies, menjadikan Morus alba var mongolica menjadi Morus notabilis. Pada
tahun 1930, Dr. Koidzumi dari Jepang mengklasifikasikan genus Morus L menjadi
30 spesies. Pada tahun 2009, Botanical Journal of Linnean Society mengganti
klasifikasi bangsa Urticales menjadi bangsa Rosales, suku Moraceae, dan marga
Morus L (Jian et al., 2012)
Di Indonesia sendiri, murbei merupakan tanaman yang dikenal luas sebagai pakan
ulat sutera. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-II/2007
tentang HHBK, bahwa tanaman murbei merupakan salah satu jenis Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) (Isnan & Muin, 2015). Murbei di Indonesia terdapat 7 spesies
yang cukup dikenal yaitu Morus alba, Morus nigra, Morus cathayana, Morus
Australis, Morus multicaulis, Morus indica, dan Morus macroura (Andadari et al.,
2013; Nurhaedah et al., 2012)
Awalnya tanaman murbei hanya dikenal masyarakat sebagai pakan ulat sutera.
Namun, atas perkembangan teknologi dan penelitian menunjukkan bahwa
tanaman murbei ternyata memiliki ragam manfaat baik sebagai bahan pangan,
obat-obatan/kesehatan dan lingkungan. Buah murbei dapat dimakan sebagai buah
meja, jus maupun minuman olahan lainnya. Minuman teh murbei telah diproduksi
dan dipasarkan secara komersial. Beberapa di antaranya sudah dapat ditemukan di
pasaran maupun di apotek. Kegunaan murbei sebagai minuman kesehatan dapat
menambah nilai guna bagi petani murbei yang selama ini hanya memanfaatkan
tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera (Isnan & Muin, 2015)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Murbei termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Tracheophyta, Bangsa: Rosales,
Marga: Morus, Jenis: Morus alba (ITIS, 2011). Tanaman Morus alba merupakan
tanaman tahunan (perennial) dengan tipe habitus menyebar (spreading) dan
ada yang tegak dengan tinggi 3 – 10 m dengan kulit batang sedikit berkerut dan
Morus alba L. 85
(Moraceae)

berwarna abu-abu. Cabang pohon berbulu halus, tunas pada musim dingin cokelat
kemerahan dengan bentuk ovoid dan berbulu halus. Stipula berbentuk lanceolate
2-3,5 cm tertutup rapat dengan bulu halus pendek (Krishna et al., 2018, Shu,
2003)
Tata letak daun Morus alba berseling/tidak saling berhadapan (alternate).
Tangkai daun Morus alba berwarna sedikit merah, berukuran 1,5 -5,5 cm
dan berbulu. Helai daun berbentuk bulat telur (ovate/bagian terlebar dekat
pangkal daun) sampai bulat telur melebar (broadly ovate) dengan lekukan
tepi daun (lobus) tidak beraturan berukuran 5-30 cm x 5 x 12 cm. Pangkal
daun berbentuk membulat sampai seperti jantung (cordate), dengan tepi
daun kesat, serrate (tepi daun dengan sinus dan annulus tajam) sampai
crenate (tepi daun dengan sinus tajam dan angulus tumpul), ujung daun
acute (runcing), acuminate (meruncing) atau obtuse (membulat). Tulang
daun berwarna hijau cerah. Sepanjang tulang daun di permukaan bawah
daun terdapat bulu halus tidak rapat tetapi tulang daun dipermukaan daun
bagian atas mengkilap (tidak berbulu). Tulang daun berwarna hijau cerah.
Daun Morus alba var multicaulis seperti Morus alba, berbeda pada helaian
daun lebih tebal dan berkerut (Andadari, Pudjiono, Suwandi, & Rahmawati,
2013; Krishna et al., 2018a; Shu, 2003).

Gambar 17. Daun murbei (foto :anis_andrini)

Morus alba merupakan tanaman subdioceous dengan rasio tanaman uniseksual


dengan tanaman hermaprodit rata-rata 8:1. Rata-rata 10% dari tanaman Morus
alba berganti seksualnya setiap tahun (Nepal, 2008). Bunga murbei merupakan
bunga berbentuk untaian (catkins). Catkins jantan menggantung (pendulous)
86 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

dengan panjang 2-3,5 cm berambut putih rapat. Catkins bunga betina inflorescentia
dengan panjang 1-2 cm, berbulu pendek dan halus (pubescent), tangkai bunga 5-10
mm berbulu halus dan pendek (pubescent). Kuntum bunga jantan berkelopak hijau
pucat berbentuk elip meluas, tangkai benang sari tertanam di dalam tunas; kepala
benang sari terdiri atas 2 lokulus (ruangan) berbentuk globose (bulat) sampai
reniform (bentuk ginjal). Kuntum bunga betina tidak bertangkai (sessile); bentuk
kelopak bulat telur (ovoid) sampai gepeng (compressed), berbulu pendek dan halus
(pubescent), ovarium tidak bertangkai (sessile), berbentuk bulat telur (ovoid),
tanpa tangkai putik (stilus); kepala putik (Stigma) berupa tonjolan (mastoidlike
protuberance), percabangan memencar, berpapila (modifikasi jaringan epidermis,
berupa tonjolan yang ada pada bagian mahkota bunga) (Shu, 2003).

Gambar 18. Bunga betina murbei (foto : anis_andrini)

Buah morus merupakan buah Syncarp (karpel bersatu) berwarna merah saat
mentah, ungu tua, ungu atau putih kehijauan saat masak, berbentuk ovoid, elips
atau silinder berukuran 1-2,5 cm (Shu, 2003). Biji Morus alba berdasarkan hasil
karakterisasi 5 varietas Morus alba di Cuba (Reino-molina et al., 2017) menunjukkan
biji berbentuk bulat telur (ovate) sampai dengan membulat (rounded), warna
cokelat terang dengan permukaan kulit seperti pasir (granulated) sampai berbentuk
bulat-bulat rapat (colliculated). Di dalam biji terdapat lapisan tipis endosperm yang
menyelimuti embrio.
Morus alba L. 87
(Moraceae)

Gambar 19. Buah murbei belum masak hingga masak (kiri ke kanan)
(foto: anis_andrini, tiffany_anindya_arisanti).

III. Asal dan distribusi geografis


Tanaman murbei (Morus alba) berasal dari China yang menyebar ke beberapa
daerah Temperate (iklim sedang) dan Tropis Africa, Indonesia, Amerika Selatan
(Shu, 2003). Tanaman murbei mempunyai daya adaptasi terhadap tanah yang
subur maupun tidak subur sehingga penyebarannya luas dan vigor tanamannya
tinggi. Sebagai spesies dengan distribusi geologi yang luas, murbei dapat hidup
pada berbagai tipe ekologi. Di negara China, tanaman murbei terdistribusi merata
dan dibudidayakan dari dataran tinggi dengan ketinggian 3.600 m, dari Xinjiang di
barat China ke pantai di timur China, dan dari selatan Hainan ke utara Heilongjiang
(Jian et al., 2013).
Murbei terdistribusi secara alami di India, daerah sub-Himalayan sepanjang 3.000
meter dari sungai Indus sampai dengan sungai Bramasta dengan agroklimat
temperate sampai dengan tropis. Terdapat 4 spesies di India yang salah satunya
merupakan tipe liar Morus serrate, 3 spesies lainnya yaitu Morus alba, Morus indica,
dan Morus laevigata. Koleksi Murbei di India barat laut terdapat 261 aksesi terdiri
atas 4 spesies. Morus alba tersebar di daerah terendah pegunungan Himalaya
dan terdapat di 10 distrik di India Barat Laut (Tikader, 2011). Koleksi Murbei di
Rajastahan, India terdapat 75 aksesi dari 3 spesies di antaranya Morus alba, Morus
laevigata, Morus indica, dan 8 aksesi merupakan hibrid. Koleksi tersebut diperoleh
dari 19 distrik di Rajastan (Rao et al., 2011).
Murbei di Indonesia banyak dikembangkan di Jawa Barat sebagai bagian usaha
persuteraan alam. Spesies Murbei di Jawa Barat yang berkembang antara lain M
bombycs, M alba, M multicaulis, M nigra dan M cathayana (Andadari et al., 2013,
88 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Dalimarta, 1999). Selain 5 spesies di atas terdapat spesies Morus macraura yang
terdapat daerah Sumatera Barat; di lembah gunung Merapi dan gunung Sago Batu
Sangkar, di kaki gunung Talang, di sekitar Maninjau, Sungai Puar dan Batang Barus
(Syamsuardi, 2015)

IV. Diversitas dan keragaman genetik


Secara umum, murbei merupakan tanaman diploid dengan 28 kromosom (2n=28).
Namun demikian murbei kaya akan varietas ploidy dan triploid alami di antaranya
Morus bombysis Koidz. Di Jepang terdapat 4 varietas triploid secara alami yang
tersebar di daerah Tohoku (Jepang bagian utara). Morus serrate Roxb (asal india)
dan Morus tiliaefolia Makino yang asli Jepang dan Korea bersifat hexaploid.
Morus bininensis Koidz bersifat tetraploid. Hasil Pemuliaan poliploidi di Jepang
menunjukkan sampai dengan tahun 2003 terdapat 5 varietas triploid (Machii et al.,
2002). Morus nigra bersifat decosaoploid 2n= 22x (2n = 308), merupakan jumlah
kromosom terbesar di antara phanerogams ((Basavaiah et al., 1990).
Studi keragaman genetik berbasis penanda molekuler telah banyak dilakukan.
Keragaman genetik berdasarkan penanda RAPD, ISSR, AFLP telah dianalisis di
antara varietas dan beberapa spesies Morus sp. Sebelas genotype Morus alba
yang dikoleksi dari populasi alami India, Jepang dan Italia dianalisis dengan 10
primer RAPD dan 10 primer ISSR menunjukkan kemiripan genetik 0,73 – 0,89.
Phenogram yang diperoleh dari keseluruhan data dengan UPGMa menunjukkan
ada 2 kelompok. Kelompok 1 terdiri atas genotipe dari India dan China sedangkan
kelompok lainnya genotipe-genotipe dari Jepang, Italia dan 1 genotipe dari Filipina
(Srivastava et al., 2004). Keragaman genetik 43 aksesi Murbei (Morus alba, Morus
nigra dan Morus rubra) dari 4 daerah ekogeografi Turki diuji dengan 6 primer AFLP
dan dianalisis dengan UPGMA. Berdasarkan dendogram, kemiripan genetik dari 43
aksesi yaitu 0,38 – 0,99% dan mengelompok menjadi 3 berdasarkan spesies. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan keragaman genetik Morus nigra sangat rendah
(Kafkas et al., 2008). Analisis keragaman genetik 26 genotipe murbei (Morus alba,
Morus nigra dan Morus rubra) di Turki dengan 10 primer RAPD menunjukkan
pengelompokan berdasarkan spesies. Dendogram menunjukkan 26 genotipe
murbei yang dianalisis terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok 1 terdiri atas 3
genotip dari spesies Morus nigra, Kelompok 2 terdiri atas 21 genotip dari spesies
Morus alba L. 89
(Moraceae)

Morus alba, Kelompok 3 terdiri atas 1 genotipe dari Morus alba dan Kelompok
4 yaitu 1 genotipe dari Morus rubra yang paling jauh jarak genetiknya (Orhan &
Ercisli, 2010).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Domestikasi murbei sudah dimulai beberapa tahun yang lalu untuk pemenuhan
kebutuhan pangan ulat sutera (FAO, 1990). Spesies M. alba, M. australis dan M.
nigra sudah lama menjadi objek domestikasi dan seleksi artifisial. Spesies-spesies
tersebut di introduksi, di domestikasi dan tidak melalui budidaya (penyebaran biji
oleh burung dan kelelawar) (Tang et al., 2007).
Spesies yang populer di dunia diketahui adalah Morus alba dan Morus indica.
Kedua spesies menjadi subjek seleksi secara intensif dari penyerbukan terbuka,
hibridisasi terkontrol, seleksi terkontrol, pemuliaan mutasi di beberapa negara,
menghasilkan ratusan varietas, termasuk beberapa poliploidi. Di Brasil terdapat 90
varietas yang termasuk Morus alba (de Almeida dan Fonseca, 2000).
Sementara di Indonesia, terdapat ratusan spesies murbei dari genus Morus namun
hanya beberapa yang dikenal seperti Morus alba, Morus nigra, Morus cathayana,
Morus macraura (Andadari et al., 2013). Persilangan juga telah dilakukan untuk
meningkatkan performa tanaman murbei dengan tujuan mendapatkan pakan
yang produksi dan kualitas daunnya lebih baik daripada spesies yang telah ada.
Persilangan antara Morus cathayana x Morus amakusaguwa, Morus shiwasuguwa
x Morus tsukasuguwa, Morus australis x Morus indica menghasilkan 5 hibrid
unggul untuk pakan ulat sutera (Andadari et al., 2016).
Program-program pemuliaan yang menghasilkan kultivar baru dapat menghilangkan
ras baru yang berkembang secara alami melalui penyerbukan dengan bantuan
angin dan penyebaran benih oleh burung. Kemungkinan besar ada ancaman
terhadap integritas spesies asli dan juga memperumit taksonomi (Nepal, 2008).
Dampak dari persilangan itu sendiri menyebabkan salah satu spesies yaitu Morus
bininensis Koidz terancam punah akibat persilangan dengan Morus acidosa Griff.
Di Indonesia sendiri terdapat spesies Morus macroura (Andalas) yang mempunyai
daerah penyebaran dan habitat yang agak khusus di daerah Sumatera Barat dan
keberadaannya di alam semakin sedikit. Jarak tanaman jantan dan betina yang
jauh menjadi faktor yang menyebabkan sulitnya terjadi penyerbukan yang berarti
90 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

berkembangbiaknya menjadi terbatas. Status tumbuhan Andalas menurut kategori


yang ditetapkan oleh Survival service Commision for Plants and Animals The World
Conservation Union tergolong ke dalam “vulnerable status” yaitu kategori untuk
taksa yang sedang menuju status terancam (endangered)(Gusmailina, 2014).

VI. Aspek budidaya


Murbei dapat tumbuh baik di Indonesia dengan ketinggian tempat pada 400-
800 meter di atas permukaan laut, Curah hujan berkisar antara 800-3.500 mm/
tahun. Kondisi curah hujan yang baik tersebar sepanjang tahun selama musim
pertumbuhan murbei (CH ±150 mm/bulan). Tanah bertekstur lempung, lempung
berliat, dan lempung berpasir, serta banyak mengandung mineral dengan komposisi
40% mineral, 30% air, 20% udara dan 10% bahan organik dengan pH 6,5-7.
Kebun murbei yang mendapatkan sinar matahari penuh dari pagi hingga sore hari
dapat menghasilkan kualitas daun yang baik, suhu 12-40°C dan suhu optimum 24-
28°C, kelembapan antara 80-95% (Andadari et al.,2013). Hasil penelitian Sasmita
et al. ( 2019) bibit Morus alba yang diuji di Cianjur (ketinggian 1.200 mdpl, suhu
15-20oC dan rata-rata hujan per tahun 3.000-3.600 mm), BPTH Bali (ketinggian
100 mdpl, suhu 26-32oC and rata-rata hujan per tahun 1.900-2.600 mm), dan Kutai
Timur (ketinggian 300 m dpl, suhu 27-35oC dan rata-rata hujan per tahun 1.700-
2.000 mm) menunjukkan pertumbuhan terbaik di Cianjur.
Perbanyakan generatif menggunakan biji dihasilkan dari peleburan dua sel kelamin
jantan dan betina yang sudah matang. Selanjutnya, biji ditumbuhkan dalam media
semai dan dilakukan perawatan hingga menjadi bibit siap tanam. Bibit dari biji
telah siap tanam setelah berumur 3-4 bulan dari persemaian biji (Andadari et al.,
2013).
Teknik perbanyakan vegetatif dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu stek, merunduk
(layering), penyambungan (grafting) dan menempel tunas (okulasi). Stek cabang
yang digunakan berumur 4-6 bulan dengan panjang stek 20-25 cm (3-4 mata
stek). Stek dapat dipindahkan ke kebun setelah berumur 3 bulan. Teknik layering
(merunduk) dilakukan dengan memangkas tanaman murbei sebelumnya,
kemudian setelah berumur 2,5-3 bulan, cabang dibengkokkan dan dimasukkan ke
dalam tanah. Setelah bertunas dan sudah mencapai tinggi ±50 cm (berumur2-3
bulan), tanaman tersebut dapat dipindahkan. Teknik Grafting (penyambungan)
dimaksudkan untuk mengganti kebun murbei yang sudah tidak produktif (M.
Morus alba L. 91
(Moraceae)

nigra) dengan jenis murbei unggul tanpa membongkar tanaman yang sudah ada.
Teknik okulasi dilakukan untuk memperbanyak jenis murbei yang dianggap unggul
tetapi sukar untuk diperbanyak dengan stek (misalnya jenis M. ichinose) dan
memperbanyak dalam waktu singkat. Sebagai batang bawah dapat dipergunakan
tanaman yang sudah ada, mempunyai perakaran kuat, tahan terhadap pengaruh
dari luar tetapi produksi daunnya relatif lebih rendah atau yang tidak begitu disukai
oleh ulat sutera (misalnya M. macroura) (Andadari et al., 2013). Pada pembibitan
dengan stek, pertumbuhan dapat dipacu dengan pemupukan NPK 20% dalam
bentuk pupuk slow release 9 gram/bibit yang telah berumur 15 hari dari stek,
terutama pada tanah podzolik merah (Suwandi et al., 2005).
Tanah yang akan ditanami murbei terlebih dahulu dilakukan pencangkulan,
pembuatan guludan dan pembuatan drainase. Tanaman murbei tidak akan tahan
terhadap kekeringan, sehingga sebaiknya penanaman dilakukan pada awal musim
hujan. Dengan demikian, tanaman murbei pada musim kemarau sudah cukup
kuat menahan kekeringan karena perakarannya sudah menjalar. Tanaman murbei
dapat ditanam di lahan bukaan baru, lahan bekas tebangan atau lahan bekas
tanaman murbei yang sudah tidak produktif. Jarak tanam bergantung varietas
yang digunakan antara lain 0,5 x 0,5 m (40.000 pohon/hektare), 1x0,5 m (20.000
pohon/ha) dan jarak tanam 1 x 1 m (10.000 pohon/hektare). Penanaman dapat
dilakukan dengan system lubang tanam dengan ukuran 40 x 40 x 40 em atau 50
x 50 x 50 cm atau dengan system rorakan dengan jarak 1 m lubang memanjang
seperti penanaman tebu, dengan ukuran rorakan sedalam 50cm dan lebar 40 cm.
Murbei memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan dan menjaga kelembapan
tanah agar porositas tanah menjadi baik. Bila kelembapan tanah kurang, maka
pertumbuhan murbei akan terhambat, bahkan kalau sudah parah, pertumbuhan
akan terhenti (Andadari et al., 2013).
Pemupukan adalah salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan
pertumbuhan dan produksi murbei. Saat ini di Indonesia budidaya murbei lebih
diutamakan untuk diambil daunnya sebagai pakan ulat sutera sehingga pemupukan
anjuran lebih kepada peningkatan kualitas dan produktivitas daun. Pemupukan
dilakukan 3 kali setahun yaitu setelah tanaman murbei dipangkas. Saat yang tepat
adalah 2 minggu setelah pemangkasan. Jenis pupuk yang sering diberikan pada
tanaman murbei adalah Urea, KCI dan SP-36 serta pupuk organik seperti kompos
dan pupuk kandang. Adapun banyaknya pupuk yang diberikan adalah Urea 350
92 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

kg/ha, KCl 150 kg/ha dan SP-36 sebanyak 50 kg/ha. Pupuk organik berupa pupuk
kandang diberikan sebanyak 15 ton/ha (Andadari et al., 2013). Pemupukan yang
digunakan (Krishna et al., 2018b) di India dalam penelitiannya untuk studi karakter
vegetatif sampai dengan buah 10 genotipe murbei digunakan pupuk yang seimbang
antara N, P dan K.
Pada dasarnya teknologi budidaya mulbery yang sudah banyak diterapkan petani
di Indonesia merupakan budidaya yang lebih banyak kepada budidaya murbei
untuk diambil daunnya sebagai pakan ulat sutra. Namun demikian, pembungaan
dan pembuahan murbei ini di Indonesia hampir tidak mengenal musim. Sebagai
gambaran di daerah Batu, Jawa Timur, murbei yang tumbuh dan/atau ditumbuhkan
di tepi jalan dapat berbuah lebat seperti halnya di daerah persawahan yang
subur.
Jenis hama yang paling menyebabkan kerusakan yaitu kutu daun (Maconellicoccus
hirsutus Green) dan belalang (Valanga sp.), sedang jenis penyakit yang banyak
menyebabkan kerusakan adalah bercak daun (Septogleum mori Briosi et Cavapa)
dan karat (Aecideum mori Barclay) (Prayudyaningsih et al., 2006).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Tanaman Murbei di Indonesia lebih banyak digunakan daunnya sebagai pakan
ulat sutera. Namun demikian hasil penelitian (Ginting et al., 2013), menunjukkan
murbei juga berpotensi sebagai pakan ruminansia yaitu M. multicaulis memiliki
palatabilitas paling tinggi seperti diindikasikan oleh tingginya taraf konsumsi dan
M. chatayana memiliki taraf kecernaan paling tinggi.
Morus alba L merupakan tanaman yang bagus untuk mengurangi polusi udara
karena termasuk tanaman sink karbon yang baik. 1 mu murbey dapat menyerap
sekitar 4.162 kg Co2 setara dengan 135 kg karbon dan melepas 3.064 kg oksigen
dalam 1 tahun (1ha = 15 mu). Tanaman Morus alba sangat menyerap polusi udara
seperti chlorine, hidrogen florida dan sulfur dioksida. Selama 6 jam fumigasi sulfur
dioksida dengan konsentrasi 0,79×10-6, 1 kg daun kering murbei menyerap 5,77
gram sulfur dioksida dan 1 m3 hutan murbei menyerap 20m l sulfur dioksida setiap
hari (Lu & Jiang, 2003 cit Jian et al., 2012).
Morus alba L. 93
(Moraceae)

Tanaman murbei dapat digunakan sebagai obat, baik daun, kayu batang, kayu
akar maupun buahnya. Jus buah dan biji Morus alba berpotensi sebagai anti virus
influenza. Hasil penelitian Kim & Chung (2018) menunjukkan jus dan biji Morus
alba dapat melawan virus influenza BR59 (A/Brisbane/59/2007 (H1N1), KR01 (A/
Korea/01/2009(H1N1)) (KR01), dan FL04 (B/Florida/4/2006).
Ekstrak buah dan daun murbai juga dapat dimanfaatkan sebagai anti disentri.
Hasil penelitian Hastuti, Oktantia, & Khasanah menunjukkan ekstrak daun dengan
konsentrasi 95% dan ekstrak buah murbei (M. alba L.) dengan konsentrasi 85%
efektif dalam menghambat pertumbuhan Shigella dysenteriae secara in vitro.
Ekstrak daun dan buah Murbei dengan konsentrasi 85% menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus secara in vitro.
Buah Morus nigra di Negara Turki mempunyai kandungan total flavonoid dan fenol
lebih tinggi dari pada Morus alba. Morus nigra mengandung total flavonoid 276
mg QE/100 g berat segar dan total fenol 0,16 mg GAE/100 g berat segar. Sementara
itu Morus alba mengandung total flavonoid 181 mg QE/100 g berat segar dan total
fenol 0,16 mg GAE/100 g berat segar. Total ascorbic kedua spesies tidak terlalu
berbeda yaitu Morus alba 22,4 mg/100ml, Morus nigra 21,8 mg/100ml (Ercisli &
Orhan, 2007).
Kandungan buah murbei kaya antioksidan karena kandungan antosianin yang
banyak. Hasil penelitian pada Morus alba dan Morus cathayana di Indonesia
menunjukkan kedua spesies tersebut mengandung 2 antosianin dominan yaitu
sianidin-3-O-glukosida dan sianidin-3-O-rutinosida (Sitepu et al., 2016). Hasil
penelitian dan Hakim dkk. 2008), menyimpulkan bahwa senyawa-senyawa
oksiresveratrol, andalasin A, dan andalasin B yang diisolasi sebagai komponen
utama tumbuhan Andalas (M Macroura), dan senyawa resveratrol yang banyak
ditemukan pada spesies Dipterocarpaceae, merupakan senyawa-senyawa yang
sangat potensial sebagai bahan antioksidan atau inhibitor tirosinase (bahan
pemutih kosmetik).
Selaian sebagai obat, Andalas (M. macroura) di kenal oleh masyarakat Minang
sebagai kayu yang bagus dalam pembangunan rumah adat di Minangkabau.
Kayu Andalas sudah menjadi tradisi sejak lama dipakai dalam pembuatan rumah,
baik sebagai tiang utama, balok untuk landasan lantai rumah, papan lantai dan
dinding rumah. Sering pula kayunya dipakai sebagai bahan perabot rumah tangga
(Gusmailina, 2014).
94 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pustaka
1. Andadari, L., Dewi, R., & Pudjiono, S. (2016). Uji adaptasi lima tanaman
murbei hibrid baru untuk meningkatkan produktivitas persutraan alam.
Widyariset, 2(2), 96–105. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14203/
widyariset.2.2.2016.96-105
2. Andadari, L., Pudjiono, S., Suwandi, & Rahmawati, T. (2013). Budidaya Murbei
dan Ulat Sutera (M. Kaomini, N. F. Haneda, & T. Herawati, Eds.). Bogor: Forda
Press.
3. Basavaiah, L., Dandia, S. B., Dhar, A., & Sengupta, K. (1990). Meiosis in natural
Decosaploid (22x) Morus nigra. Cytologia, 55(3), 505–509. https://doi.
org/10.1508/cytologia.55.505
4. Ercisli, S., & Orhan, E. (2007). Chemical composition of white (Morus alba),
red (Morus rubra) and black (Morus nigra) mulberry fruits. Food Chemistry,
103, 1380–1384. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2006.10.054
5. Ferlinahayati, Hakim, E. H., Syah, Y. M., & Juliawaty, L. D. (2012). Senyawa
Morusin dari tumbuhan murbei hitam (Morus nigra). Jurnal Penelitian Sains,
15(April), 70–73.
6. Ginting, S. P., Hutasoit, R., & Yuliastiani, D. (2013). Seminar nasional teknologi
peternakan dan veteriner. Karateristik Morfologik Dan Agronomik Serta
Kualitas Nutrisi Beberapa Spesies Murbei, 468–477.
7. Gusmailina. (2014). Seminar Nasional XVII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
(MAPEKI) 11 November 2014. ANDALAS (Morus Macroura Miq) ; PROFIL DAN
PROSPEK SEBAGAI TUMBUHAN OBAT DAN KOSMETIKA ASAL HUTAN. Medan.
8. Hastuti, U. S., Oktantia, A., & Khasanah, H. N. (n.d.). Seminar Nasional
IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 529. Daya Antibakteri Ekstrak Daun Dan
Buah Murbei (Morus Alba L)Terhadap Staphylococcus Aureus Dan Shigella
Dysenteriae, 529–534.
9. Isnan, W., & Muin, N. (2015). Tanaman Murbei : Sumber Hutan MultiManfaat.
Info Teknis Eboni, Vol. 12(2), 111–119.
10. ITIS. (2011). ITIS Standard Report Page: Morus. Retrieved from https://
www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_
value=825867#null
Morus alba L. 95
(Moraceae)

11. Jian, Q., Ningjia, H., Yong, W., & Zhonghuai, X. (2012). Ecological issues of
Mulberry and sustainable development. Journal of Resources and Ecology,
3(4), 330–339. https://doi.org/10.5814/j.issn.1674-764x.2012.04.006
12. Kafkas, S., Özgen, M., Doǧan, Y., Özcan, B., Ercişli, S., & Serçe, S. (2008).
Molecular characterization of mulberry accessions in Turkey by AFLP markers.
Journal of the American Society for Horticultural Science, 133(4), 593–597.
https://doi.org/10.21273/JASHS.133.4.593
13. Kim, H., & Chung, M. S. (2018). Antiviral activities of mulberry (Morus alba)
juice and seed against influenza viruses. Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine, 2018, 1–10. https://doi.org/10.1155/2018/2606583
14. Krishna, H., Singh, D., Singh, R. S., Kumar, L., Sharma, B. D., & Saroj, P. L.
(2018a). Morphological and antioxidant characteristics of mulberry (Morus
spp.) genotypes. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences Xxx.
https://doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.002
15. Krishna, H., Singh, D., Singh, R. S., Kumar, L., Sharma, B. D., & Saroj, P. L.
(2018b). Morphological and antioxidant characteristics of mulberry (Morus
spp.) genotypes. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. https://
doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.002
16. Machii, H., Koyama, A., & Yamanouchi, H. (2002). Mulberry breeding,
cultivation and utilization in Japan. FAO Electronic Conference on Mulberry For
Animal Production (Morus 1-L), 1–10.
17. Nepal, M. P. (2008). Systematics and reproductive biology of the genus morus
l. (Moraceae). Kansas State University.
18. Orhan, E., & Ercisli, S. (2010). Genetic relationships between selected Turkish
mulberry genotypes (Morus spp) based on RAPD markers. Genetics and
Molecular Research : GMR, 9(4), 2176–2183. https://doi.org/10.4238/vol9-
4gmr958
19. Prayudyaningsih, R., Tikupadang, H., & Santosa, B. (2006). Hama dan penyakit
jenis murbei eksot dan tingkat kehilangan daunnya pada akhir musim kemarau.
Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 3(4), 429–435.
20. Rao, A. A., Chauhan, S. ., Radhakrishnan, R., Tikader, A., Borpuzari, M. ., &
Kamble, C. . (2011). Distribution, variation and conservation of Mulberry (Morus
spp.) genetic resources in the arid zone of Rajasthan, India. Bioremediation,
Biodiversity and Bioavaiilability, 5(1), 52–62.
96 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

21. Reino-molina, J. J., Montejo-valdés, L. A., Sánchez-rendón, J. A., & Martín, G.


J. M. (2017). Seed characteristics of five mulberry (Morus alba L.) varieties
harvested in Matanzas, Cuba. Pastos y Forrajes, 40(4), 259–263.
22. Sasmita, N., Purba, J. H., & Yuniti, I. G. A. D. (2019). Adaptation of Morus alba
and Morus cathayana plants in a different climate and environment conditions
in Indonesia. Biodiversitas, 20(2), 544–554. https://doi.org/10.13057/biodiv/
d200234
23. Shu, S. (2003). 2. MORUS Linnaeus, Sp. Pl. 2: 986. 1753. In Flora of China 5
(pp. 22–26).
24. Sitepu, R., Brotosudarmo, T. H. P., & Limantara, L. (2016). Karakterisasi
antosianin buah murbei spesies Morus alba dan Morus cathayana di
Indonesia (Anthocyanin characterization of Morus alba and Morus cathayana
in Indonesia). Online Journal of Natural Science, 5(2), 158–171.
25. Srivastava, P. P., Vijayan, K., Awasthi, A. K., & Saratchandra, B. (2004). Genetic
analysis of Morus alba through RAPD and ISSR markers. Indian Journal of
Biotechnology, 3, 527–532.
26. Suwandi, Novriyanti, & Janneta, S. (2005). Aplikasi pupuk lambat tersedia
terhadap pertumbuhan beberapa jenis stek Murbei (Morus spp.) pada media
tanah podzolik merah kuning. Journal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam,
2(6), 631–637.
27. Syamsuardi (Laboratorium Systematika Tumbuhan Jurusan Biologi, FMIPA, U.
A. (2015). Prosiding Workshop : Improving appreciation and awareness on
conservation of high vaue indegenous wood spesies of Sumatera. In K. B. P.
T. S. T. Hutan, D. Rahmanto, R. G. H. Rahmanto, A. Subiakto, A. Susilowati,
Sudarmalik, … Sulastri (Eds.), Diversitas morfologis & genetik pohon andalas
(Morus macroura miq.), flora identitas Sumatera Barat, dan pemanfaatannya
secara berkelanjutan (pp. 42–53). Pekanbaru: Balai Penelitian Teknologi Serat
Tanaman Hutan Pekanbaru.
28. Tikader, A. (2011). Distribution , Diversity , Utilization and Conversation of
Mulberry (Morus spp.) in North West of India.
Penulis :
Anis Andrini, Yunimar dan Chaireni Martasari
Balai Penelitiah Jeruk dan Buah Subtropika
Passiflora edulis Sims
(Passifloraceae)

Protologue
Passiflora edulis Sims – Botanical Magazine. 45/48 t. 1989. 1818.

Sinonim :
• Passiflora edulis Sims var. kerii (Spreng.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
• Passiflora edulis var. pomifera (Roem.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
• Passiflora edulis var. rubricaulis (Jacq.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
• Passiflora edulis var. verrucifera (Lindl.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.

Nama umum
Markisa (Indonesia), Maracujá (Portugis), maracuyá (Spanyol), passion fruit
(Inggris), granadilla (Amerika Selatan dan Afrika Selatan), pasiflora (Israel), liliko’i
(Hawaii), lc tiên, chanh dây, chanh leo (Vietnam).

I. Pendahuluan
Markisa (Passiflora edulis Sims) merupakan salah satu spesies pada marga Passiflora
pada Suku Passifloraceae. Nama Passiflora diberikan Carl Linnaeus (1753) dari
Bahasa latin ‘flos passionis’ yang berarti bunga penderitaan. Marga Passiflora
dilaporkan mempunyai lebih dari 520 spesies yang merupakan marga dengan
anggota spesies terbesar pada Suku Passifloraceae (Rome & D’Eeckenbrugge,
98 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

2017). Keragaman genetik marga Passiflora terbesar terdapat di daratan Amerika


Tropis terutama Amerika bagian Selatan yang mencapai 95% dari total spesies
marga Passiflora. Kolombia merupakan daerah dengan diversitas tertinggi dengan
164 spesies, diikuti Brasil dengan 127 spesies (Mendoza et al., 2018). Hanya
sekitar 24 spesies dari marga Passiflora yang mempunyai habitat asli di daerah
Asia Tenggara, Australia hingga Pasifik. Secara umum, spesies-spesies Passiflora
ditemukan dan beradaptasi baik pada daerah dengan rentang lintang hingga
40o Utara atau Selatan, rentang ketingggian tempat 0 – 4500 m dpl dan rentang
ekosistem dari hutan basah tropis hingga kering (De Giovanni & Bernacci, 2015).
Marga Passiflora terbagi menjadi 4 submarga yaitu : submarga Passiflora yang
memiliki anggota spesies terbanyak sekitar lebih dari 230 spesies, submarga
Decaloba dengan 214 spesies, dan Astrophaea serta Deidamiodes yang masing-
masing beranggotakan 57 dan 13 spesies (Cutri et al., 2013). Semua spesies
Passiflora berasal dan beradaptasi baik pada lingkungan di bawah tegakan
hutan pada intensitas cahaya rendah. Pertumbuhan merambat merupakan pola
adaptasi untuk mencapai suatu ketinggian atau ruang untuk mendapatkan cahaya.
Kemampuan tumbuh merambat ditopang oleh organ sulur pengait (tendril)
yang tumbuh dari buku pada batang (Godinho et al., 2010). Sulur pengait juga
dipunyai tanaman tanaman lain pare/peria (Momordica charantia) dan kelompok
Cucurbitaceae. Berbeda dari pare/peria dan kelompok Cucurbitaceae, sulur
pengait pada markisa merupakan organ modifikasi dari inflorensens/bunga (Patel
et al., 2011).
Di Indonesia, terdapat 2 jenis markisa yang umum dibudidayakan yaitu jenis markisa
dengan kulit buah berwarna ungu dan berwarna kuning. Menurut Karsinah et al.
(2010), markisa berkulit ungu merupakan salah satu forma P. edulis, yaitu P. edulis
f. edulis bersama-sama dengan jenis markisa asam berkulit merah atau hitam
(black granadilla). Markisa berkulit ungu umumnya tumbuh dan berkembang baik
di daerah subtropis dan dataran tinggi tropis, sedangkan markisa berkulit merah
dapat berdaptasi pada dataran rendah tropis. Jenis markisa berkulit buah kuning
termasuk dalam forma flavicarpa atau sering disebut yellow passion fruit (P. edulis
Sims. f. flavicarpa Deg.). Jenis markisa pada forma ini dapat beradaptasi di dataran
rendah tropis (Marpaung et al., 2016).
Passiflora edulis Sims 99
(Passifloraceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Markisa termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Magnoliphyta, Bangsa: Violales,
Suku: Passifloraceae, Marga: Passiflora, Jenis: Passiflora edulis Sims. (Fauza et al.,
2015). Jenis P. edulis Sims mempunyai dua forma yaitu forma flavicarpa dan forma
edulis yang telah dijelaskan sebelumnya. Markisa merupakan tanaman tahunan
(perennial) dengan tipe pertumbuhan merambat (Gambar 20) hingga mencapai
ketinggian 20 m dengan bantuan sulur pengait (tendril). Tanaman markisa sangat
jarang mempunyai tipe pertumbuhan seperti pohon atau menyemak. Duduk daun
berseling dan daun mempunyai banyak variasi dari tipe tunggal dengan bentuk
bulat memanjang dengan ujung runcing atau tunggal yang umumnya dijumpai
saat tanaman masih dalam fase juvenil, hingga daun tunggal dengan 2-5 belahan
(lobe) (Patel et al., 2011). Batang tanaman sedikit berkayu, berbuku tempat duduk
daun serta berwarna hijau saat muda dan berubah menjadi hijau kecokelatan saat
dewasa (Hutabarat et al., 2016).

(a) (b) (c)

Gambar 20. (a) Tanaman markisa yang merambat pada para-para, (b) merambat
pada pucuk bambu, dan (c) merambat pada pohon (foto: karsinah).

Bunga markisa bertipe tunggal, sempurna (hermaphrodite) dengan diameter


hingga 7 cm. Petal bunga berwarna putih dengan korona berwarna putih hingga
ungu bergantung jenis dan mempunyai filamen dengan panjang sekitar 2,5-4,0 cm
berwarna putih dari pangkal hingga ujung, putih dengan pangkal berwarna ungu
(Gambar 21). Kelopak bunga berkembang seperti helaian membentuk 3-5 sepal
dengan pangkal saling melekat atau terpisah. Bakal buah sangat menonjol dan
putik terletak di atas tangkai sari (Rendón et al., 2013).
100 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

(a) (b) (c)


Gambar 21. Bunga markisa dengan variasi korona: (a) bunga markisa ungu (P.
edulis f. edulis Sims), (b) bunga markisa merah (P. edulis f. edulis Sims),
dan (c) bunga markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) (foto:
karsinah).

Bakal buah akan berkembang menjadi buah setelah terjadi penyerbukan. Bunga
umumnya mekar saat menjelang siang atau saat suhu lingkungan hangat. Mekarnya
bunga pada saat lingkungan hangat diduga berhubungan dengan meningkatnya
aktivitas serangga penyerbuk yang umumnya dari kelompok lebah Xylocopa spp.,
burung kelompok Trochillidae (Rendón et al., 2013) dan kelelawar (Sazima &
Sazima, 1987). Buah yang terbentuk dari penyerbukan alami umumnya berasal dari
pernyerbukan silang sehubungan dengan sifat tanaman yang tidak bisa menyerbuk
sendiri (self incompatibility) (Do Rêgo et al., 1999; Madureira et al., 2014).
Kedua forma spesies P. edulis yaitu P. edulis f. edulis Sims dan P. edulis Sims f.
flavicarpa Deg. yang umum terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik
morfologis yang berbeda. P. edulis f. edulis Sims mempunyai daun berbentuk
menjari dengan helaian lebih tipis dan berukuran lebih kecil dari P. edulis Sims f.
flavicarpa Deg., dengan dimensi 9-12 x 7-9 cm. Panjang tangkai daun sekitar 2-3
cm dengan tangkai berwarna hijau muda. Dibandingkan P. edulis Sims f. flavicarpa
Deg., ruas batang P. edulis f. edulis Sims juga lebih pendek dengan sulur pengait
(tendril) berwarna hijau muda, ukuran bunga lebih kecil dan berwarna hijau saat
muda dan berubah menjadi ungu saat mekar. Buah berwarna hijau dengan bintik
putih saat muda dan berwarna ungu-merah berbintik putih saat tua atau masak
dengan kulit buah agak tipis dan keras (Gambar 22-23). Buah berbentuk bulat
sampai bulat agak lonjong atau oval, sari buah berwarna kuning oranye, berasa
asam hingga asam manis dengan aroma kuat (Karsinah et al., 2010).
Passiflora edulis Sims 101
(Passifloraceae)

Gambar 22. Buah markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna
hijau dan berwarna ungu setelah tua atau masak, serta sari buahnya
berwarna kuning orange (foto: karsinah).

Gambar 23. Buah markisa merah (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna
hijau dan berwarna merah berbintik putih setelah tua atau masak,
serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah).

Sementara P. edulis Sims f. flavicarpa Deg. mempunyai ukuran daun lebih besar dari
P. edulis f. edulis Sims dengan dimensi 10-13 x 9-12 cm dengan tangkai berwarna
kecokelatan. Ruas batang sekitar 7-10 cm berwarna kecokelatan. Ukuran bunga
besar dengan diameter mencapai 7-8 cm. Buah muda berwarna hijau dan berubah
menjadi kuning muda hingga kuning berbintik putih saat tua atau masak (Gambar
24). Kulit buah tebal dan agak keras. Sari buah berwarna kuning dengan rasa asam
manis beraroma seperti jambu biji (Karsinah et al., 2010).
102 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 24. Buah markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) pada saat muda
berwarna hijau dan berwarna kuning berbintik putih setelah tua atau
masak, serta sari buahnya berwarna kuning (foto: karsinah).

III. Asal dan distribusi geografis


Tanaman markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) diperkirakan berasal dari Brasil
bagian Selatan, Paraguay hingga bagian Utara Argentina. Sementara asal markisa
kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) belum diketahui secara pasti. Beberapa
studi menyebutkan markisa kuning adalah hibrid dari P. edulis dengan P. ligularis,
namun demikian studi sitologi mengindikasikan bahwa markisa kuning bukan
turunan keduanya (Cerqueira-Silva et al., 2014). Tanaman markisa paling banyak
ditemukan pada kisaran ketinggian 100 – 2000 m dpl dan merupakan salah satu
tanaman yang telah lama dikenal dalam kehidupan manusia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa tanaman markisa telah dibudidayakan sejak zaman suku
Aztecs dan dikonsumsi buahnya dan pengobatan, terutama jenis P. edulis (Mendoza
et al., 2018).
Tanaman markisa diperkenalkan dan diintroduksi ke wilayah Eropa pada tahun
1629 oleh pelaut Spanyol (Bernacci et al., 2008). Tanaman markisa tersebut
diintroduksikan ke sejumlah daerah di dunia dan hingga kini banyak pertanaman
intensif markisa ungu ditemukan di daerah-daerah seperti Hawaii, Australia, Afrika
Selatan, Venezuela, Peru, Ekuador, dan Kolombia, terutama. Masuknya markisa
ke Indonesia diduga juga dibawa oleh orang-orang Spanyol termasuk ke daerah-
daerah Malaysia, Thailand dan Amerika Selatan (Mezzonato-Pires et al., 2017). Di
Kolombia, spesies-spesies Passiflora menyebar dari daratan dengan ketinggian 100
hingga 5.400 m dpl (Ocampo et al., 2010). Selain manusia, hewan-hewan primata
diduga menjadi agen penyebaran alami markisa. Hewan-hewan ini memakan
buahnya dan tanaman baru tumbuh dari biji yang tidak tercerna yang keluar
bersama dengan kotoran (Ocampo Pérez & Coppens d’Eeckenbrugge, 2017).
Passiflora edulis Sims 103
(Passifloraceae)

Di Indonesia, markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) banyak dibudidayakan di


dataran tinggi. Pusat penghasil markisa ungu yaitu Provinsi Sumatera Utara, yaitu
Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi dan Tapanuli Utara, serta Provinsi Sulawesi
Selatan, yaitu Kabupaten Gowa, Sinjai, Tator, Enrekang dan Polmas. Di sisi lain,
markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) umumnya ditanam di pekarangan
di daerah Jawa Barat seperti Pelabuhan Ratu, Sukabumi, dan Bogor serta Provinsi
Sumatera Utara seperti Simalungun, Langkat dan Medan. Beberapa daerah seperti
Kotanopan, Mandailing Natal, Pematang Siantar juga merupakan sentra produksi
markisa merah (Karsinah et al., 2010).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Studi sitogenetika spesies-spesies Passiflora dilaporkan pertama kali dengan
kisaran jumlah kromosom 2n = 12 (P. puchella) hingga 84 (P. lutea) pada tahun
1940-an (Storey, 1950). Secara umum marga Passiflora terbagi menjadi 4 kelompok
karyologi yaitu dengan jumlah basis kromosom x= 6, 9, 10 dan 12. Hampir semua
spesies Passiflora adalah diploid dengan jumlah kromosom somatis 2n = 12, 2n =
18 atau 2n = 20. Namun demikian, beberapa studi juga melaporkan keberadaan
asesi alami dengan jumlah kromosom tetraploid (2n = 24), heksaploid (2n = 36)
dan oktoploid (2n = 72) (De Melo & Guerra, 2003). Spesies-spesies pada submarga
Passiflora kebanyakan mempunyai jumlah kromosom 2n = 18 (n = 9) sedangkan
pada submarga Decaloba, speses-spesiesnya kebanyakan mempunyai jumlah
kromosom somatik 2n = 24 (n = 12). Tanaman markisa jenis P. edulis mempunyai
jumlah kromosom 2n = 18 (n = 9) (Silva et al., 2018).
Studi kekerabatan dan diversitas genetik pada marga Passiflora telah banyak
dilakukan di antaranya dengan menggunakan analisis hubungan morfologi-ITS
DNA ribosome (Ramaiya et al., 2014b), marka RAPD (Pereira et al., 2010), SSR (Pio
Viana et al., 2014; Wu et al., 2018), dan SARP (Oluoch et al., 2018). Kajian genom
Passiflora dengan menggunakan deteksi mikro satelit DNA pun telah dilakukan
(Araya et al., 2017). Studi kekerabatan genetik menggunakan ITS DNA ribosom
mengindikasikan bahwa P. edulis (submarga Passiflora) mempunyai jarak genetik
terdekat dengan P. incarnata, P. vitifolia, dan P. caerulea (Ramaiya et al., 2014b).
Analisis kekerabatan antara spesies-spesies Passiflora juga telah dilakukan
melalui studi persilangan (pre breeding). Amorim et al. (2013) melaporkan bahwa
keberhasilan persilangan resiprokal P. rubra x P. capsularis mencapai kurang dari
50%. Pada spesies-spesies lain yang melibatkan P. cincinnata, P. maliformis, P.
104 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

caerulea, P. mucronata, P. vitifolia, P. alata dan P. edulis f. flavicarpa menunjukkan


bahwa keberhasilan persilangan mencapai 22,2 – 60% bila P. vitifolia, P. mucronata,
P. edulis f. edulis dan P. edulis f. flavicarpa menjadi tetua betina. Rendahnya
perkecambahan biji disebabkan oleh hambatan pasca pembentukan zigot (post
zygotic barriers) yaitu gagalnya pembentukan endosperm (Ocampo et al., 2016).
Studi persilangan antar spesies Passiflora yang melibatkan P. alata, P. cincinnata, P.
caerulea, P. amethystine, P. edulis f. edulis dan hibrida P. ‘violacea’ mengungkapkan
bahwa P. alata dan P. caerulea dapat disilangkan secara resipokral dengan
keberhasilan yang tinggi. Sedangkan persilangan P. caerulea x P. amesthystina dan
P. caerulea x P. alata menunjukkan inkompatibilitas yang tinggi yang disebabkan
oleh hambatan perkecambahan lanjut serbuk sari pada tabung putik (Bugallo et
al., 2011).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Studi evolusi pada marga Passiflora hingga kini masih terfokus pada jumlah basis
kromosom, perbedaan bentuk daun serta pembentukan sulur pengait (tendril).
Hingga kini jumlah basis kromosom pada marga Passiflora masih menjadi
perdebatan para ahli. Hasil studi saat ini, jumlah kromosom basis yaitu n= x = 3,
6, 9, dan 12. Pada spesies-spesies kelompok n= 6, kromosom mempunyai jumlah
intron yang lebih sedikit dibandingkan kelompok n = 9. Namun demikian, secara
morfologi, kelompok n = 9 mempunyai keseragaman pada bentuk bunga seperti
lonceng atau tabung, pelindung bunga berbentuk filamen, braktea yang berbentuk
helaian dan serbuk sari yang berpelindung dan mempunyai 3 sisi. Sedangkan
kelompok n= 12 diduga merupakan hasil penambahan kromosom (aneuploidy) dari
kelompok n = 11. Spesies-spesies dengan n = 11 dan n = 12 umumnya merupakan
anggota submarga Decaloba (Hansen et al., 2006).
Bentuk daun pada setiap spesies marga Passiflora sangat variatif. Studi pada
bentuk daun 40 spesies Passiflora merujuk pada penggolongan bentuk daun
menjadi beberapa kelompok berdasarkan bentuk bentangan helaian dan lekukan
(Chitwood & Otoni, 2017). Perbedaan bentuk daun pada marga Passiflora tidak
hanya terlihat antar spesies, namun juga tahapan pertumbuhan. Pada beberapa
spesies termasuk P. edulis, bentuk daun tanaman saat fase juvenil dan dewasa juga
mengalami perubahan. Saat tanaman dewasa yang ditandai dengan munculnya
bunga pada buku, bentuk daun yang awalnya oval dengan ujung meruncing
berubah menjadi trifoliate dengan 3 ujung meruncing dan 2 lekukan. Kondisi ini
Passiflora edulis Sims 105
(Passifloraceae)

berhubungan dengan aktivasi gen pengatur pembungaan APETALA1 AP1/FUL


homolog (PeAP1 dan PeFUL). Aktivasi gen ini juga berhubungan dengan munculnya
sulur pengait (Scorza et al., 2017).
Tumbuhnya sulur pengait (tendril) juga menarik perhatian para ahli botani.
Sulur pengait pada Passiflora muncul pada buku batang hasil modifikasi dari
pembentukan bakal bunga, tidak seperti keluarga Cucurbitaceae yang berasal
dari modifikasi tunas. Pembentukan suatu organ dengan fungsi yang sama namun
dari asal organ yang berbeda ini merupakan bukti adanya evolusi konvergen pada
angiospermae (Sousa-Baena, Sinha, Hernandes-Lopes, & Lohmann, 2018). Pada
markisa, pembentukan sulur pengait berkorelasi dengan respons pertumbuhan
merambat apikal pucuk untuk memperoleh ruang dan sinar (Sousa-Baena et
al., 2018). Respons perkembangan ini dilaporkan berhubungan dengan aktivitas
gen homolog APETALA1/FRUITFULL (Scorza et al., 2017). Pada kondisi ternaungi
(intensitas cahaya rendah), tunas aksiler ini akan berkembang lebih lanjut menjadi
sulur pengait (tendril) yang berfungsi menopang pertumbuhan tanaman lanjut
untuk memperoleh ruang dengan kondisi lingkungan lebih kondusif. Sedangkan
pada cahaya matahari cukup, maka bakal tunas aksiler akan berkembang menjadi
bunga (Cutri et al., 2013). Sulur pengait umumnya tumbuh lurus awalnya,
kemudian membengkok membentuk spiral dan mengait batang/ranting tanaman
lain (Gambar 25) sebagai penopang tegaknya tubuh tanaman dari terpaan angin
atau faktor lainnya (Godinho et al., 2010).

Gambar 25. Sulur pengait (tendril) pada tanaman markisa yang berfungsi untuk
mengait pada batang untuk menopang tegaknya tanaman (foto:
karsinah).
106 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Tanaman markisa umumnya diperbanyak secara vegetatif melalui stek batang


dan okulasi. Perbanyakan dengan biji akan menghasilkan keturunan yang tidak
sama dengan induknya karena fenomena outcrossing yang tinggi. Saat ini belum
ada laporan mengenai proses kepunahan jenis ini di alam. Hal ini diduga karena
penggunaan tanaman tersebut sebagai tanaman penghasil buah konsumsi maupun
keperluan lain di kehidupan manusia masih sangat intensif.

VI. Aspek budidaya


Tanaman markisa tumbuh baik pada ketinggian 600 hingga 1.500 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan minimal 1200 mm/tahun, kelembapan nisbi
antara 80- 90%, suhu lingkungan antara 20-30 °C, dan sedikit berangin. Tanaman
markisa dapat tumbuh di berbagai jenis tanah dengan kandungan bahan organik
tinggi dan mempunyai pH antara 6,5-7,5 serta berdrainase baik. Perbanyakan
tanaman markisa dapat melalui perbanyakan generatif (melalui biji) dan vegetatif
melalui stek batang dan sambung pucuk (grafting). Tanaman induk yang digunakan
sebagai bahan perbanyakan dipilih dari tanaman produktif varietas unggul yang
telah berumur lebih dari 3 tahun, dalam kondisi sehat dan berpenampilan optimal.
Tanaman muda hasil perbanyakan generatif dan vegetatif kemudian ditanam pada
polybag (wadah tunggal) dan dipelihara hingga berumur 3-4 bulan bulan (Suswati
et al., 2015).
Tanaman muda hasil perbanyakan ditanam di lahan setelah berumur 4-6 setelah
penyemaian biji atau 3 bulan setelah sambung pucuk. Tanaman ditanam pada
lobang tanam berukuran 50 x 50 x 50 cm dengan jarak tanam 3-4 hingga 4-5
meter. Dua minggu sebelum tanam, media penanaman berupa campuran humus
dan pupuk kandang 1:1 (v/v) disiapkan. Setelah ditanam, tanaman muda diberi air
secukupnya untuk mengurangi stres awal tanam (Karsinah et al., 2010).
Tanaman diberi penegak berupa lanjaran kayu dan para-para untuk media rambatan
tanaman. Agar tanaman tumbuh dan berproduksi optimal, pemupukan dilakukan
dengan pupuk organik berupa pupuk kandang dengan dosis 10 kg/tanaman pada
saat tanam dan setiap 6 bulan hingga tanaman tidak lagi produktif. Pemupukan
dengan menggunakan pupuk anorganik dilakukan dengan Urea sebanyak 50 g/
tanaman, SP-36 100 g/tanaman, KCl 100 g/tanaman dan NPK (15-15-15) 50 g/
tanaman setiap 3 bulan sekali. Pemeliharaan lain meliputi pengairan, penyiangan,
dan pemangkasan. Markisa umumnya mulai berbunga saat berumur 3-6 bulan
Passiflora edulis Sims 107
(Passifloraceae)

setelah tanam. Pengairan yang dilakukan secara teratur terutama saat musim
kemarau dapat menjaga pembungaan dan pembentukan buah secara terus-
menerus. Pemangkasan tanaman dilakukan pertama kali saat fase awal setelah
tanam. Pemangkasan awal tanam dilakukan dengan menyisakan 2 cabang utama.
Pemangkasan lanjutan ditujukan untuk menjaga tajuk agar tidak terlalu rimbun.
Pemangkasan lanjutan umumnya dilakukan pada cabang-cabang tua, karena
bunga markisa muncul dari percabangan yang muda (Karsinah et al., 2010).
Hama utama yang menyerang buah markisa adalah lalat buah yang umumnya
menyerang saat stadia perkembangan buah. Sedangkan penyakit yang umum
dijumpai adalah bercak cokelat (Altenaria passiflorae), layu Fusarium (Fusarium
oxysporum f. sp. passiflorae). Pengendalian dilakukan dengan upaya preventif
melalui sanitasi kebun dan pembuangan bagian/organ tanaman yang bergejala.
Bila serangan meningkat, upaya kuratif dilakukan dengan menggunakan pestisida
hayati dan sistemik sesuai dosis anjuran (Karsinah et al., 2010).
Buah markisa dapat dipanen pada umur 85 hingga 95 hari dari bunga mekar. Tanda-
tanda buah markisa ungu yang siap dipanen adalah warna buah ungu kehijauan.
Sedangkan indikator buah masak pada markisa kuning adalah bila warna buah
telah berubah menjadi kuning. Begitu juga markisa merah, panen buah dilakukan
saat warna buah sudah berubah menjadi merah (Karsinah et al., 2010).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Markisa merupakan salah satu tanaman yang telah dekat dengan kehidupan
manusia sejak dulu kala. Buah markisa dapat dikonsumsi baik sebagai buah segar
maupun olahan dalam bentuk jus. Kini buah markisa pun sudah dapat dikonsumsi
dalam bentuk sirup dalam kemasan (Dewayani et al. 2004). Total produksi buah
markisa Indonesia mencapai 2 juta ton menduduki peringkat ke-3 di Asia setelah
India dan Filipina. Buah markisa asal Indonesia kini telah merambah pasar
internasional dan telah diekspor ke sejumlah negara seperti Australia dan negara-
negara Timur Tengah dalam bentuk buah segar dan sirup (Susanti & Putri, 2014).
Buah markisa telah lama digunakan sebagai bahan obat-obatan dan mengandung
beberapa senyawa kimia yang berguna untuk kesehatan manusia. Saat bangsa
Eropa melakukan misi ke Amerika Utara, mereka mencatat suku Indian Algokian
dan Creek di Florida menggunakan buah markisa untuk obat penenang. Hal yang
108 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

sama juga dilakukan penduduk asli Benua Amerika terutama di Peru, Argentina dan
Brasil (Dhawan et al. 2004). Di beberapa negara, pemanfaatan tanaman markisa
tidak hanya pada buahnya saja, tapi juga organ lainnya. Ekstrak daun digunakan
untuk pengobatan kecanduan alkohol, migrain, dan insomnia. Bagian bunga juga
digunakan untuk pengobatan asma, bronchitis dan batuk menahun (Sharan Patel,
2009). Buahnya banyak dikonsumsi dan dimanfaatkan untuk pengobatan diare,
disentri, darah tinggi, gejala menopause dan gangguan pencernaan. Minyak bijinya
pun banyak digunakan untuk pijat (Ingale & Hivrale, 2010).
Tanaman markisa juga dikenal mengandung berbagai senyawa kimia seperti
kelompok flavonoid, alkaloid, fenol, senyawa sianogenik, glikosida, vitamin, mineral
dan senyawa terpenoid. Senyawa-senyawa flavonoid yang terkandung dalam buah
markisa antara lain isoskatosida, orientin, isoviteksin, luteolin-6-cinovosida dan
luteolin-6-C-fokosida. Senyawa kelompok glikosida yang terdeteksi di antaranya
siklopentenoid sianohodrin glikosida, passicapsin, passibiflorin, sianogenik glikosida,
passikoriasin, apipasikoriasin, epitetrapilin B sianogenik -ß-rutinosida, amigdalin,
prunasin, mandelonitril, rhamnopiranosil-ßd-glucopiranosida, sambunigrin, benzil
alkohol, 3 methyl-but-2en-1-ol, metil salisilat, eugenol, apigenin, benzoflavone,
homoorientin, kaempferol, lucenin, luteolin, passiflorine, quercetine, rutin,
saporanin, vicenin, viteksin dan chrysin. Buah markisa juga mengandung senyawa
dalam kelompok alkaloid seperti harmalin, harmalol, harmin, harmol dan beta-
carbolin harmala alkaloid serta senyawa terpenoid seperti 4-hidroxi-ß-ionol,
4-oxo-ß-ionol, 4-hidroxi-7,8-dihidro-ß-ionol, 4-oxo-7,8-dihidroß-ionol, 3-oxo-a-
ionol, isomeric 3-oxo retro-a-ionols, 3-oxo-7,8-dihidro-a-ionol, 3-hydroxi-1,1,6-
trimethyl-1,2,3,4-tetra hidro nafthalen vomifoliol dehydrovomifoliol, terpene
alkohol linalool, a-terpeneol, terpen diols (E), (Z)-2,6-dimethylocta-2,7-diene-
1,6-diol, 2,6-dimethyl-octa-3,7-dien-2,6-diol, 2,6-dimethyl-1,8-octanediol, 2,6-
dimethyl-octa-1,7-diene-3,6-diol, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy-3-(2H)-furanone
(Sakalem et al. 2012).
Selain senyawa alkaloid, fenol, senyawa sianogenik, glikosida, vitamin, mineral dan
senyawa terpenoid, tanaman markisa juga banyak mengandung senyawa organik
seperti formik, butirat, linoleat, linolenik, malik, miristik, olek, asam palmitate
serta asalm amino α-alanin. Aroma buah yang khas berasal dari etil butirat, etil
kaproat, n-hexil butirat, dan n-hexil kaproat. Senyawa gula yang terkandung dalam
buah berasal dari senyawa D-fruktosa, D-glukosa dan rafinosa. Buah markisa juga
mengandung enzim-enzim seperti katalase, pectin metil esterase dan fenolase.
Passiflora edulis Sims 109
(Passifloraceae)

Senyawa-senyawa organik lain yang terkandung dalam buah antara lain koumarin,
maltol, fitosterol, dan saponin (Ramaiya et al., 2014; Asadujzaman et al. 2014;
Macoris et al. 2011; Chóez-Guaranda et al. 2017).

Pustaka
1. Amorim, J. dos S., Souza, M. M., Viana, A. J. C., & Freitas, J. C. de O. (2013).
Self-, cross- and interspecific pollinations in Passiflora capsularis and P. rubra.
Revista Brasileira de Botanica, 34(4), 537–544. https://doi.org/10.1590/
s0100-84042011000400007
2. Araya, S., Martins, A. M., Junquiera, N. T. V, Costa, A. M., Faleiro, F. G., & Ferreira,
M. E. (2017). Microsatellite marker development by partial sequencing of the
sour passion fruit genome (Passiflora edulis Sims). BMC Genomics, 18(1), 549.
https://doi.org/10.1186/s12864-017-3881-5
3. Asadujzaman, M., Mishuk, A. U., Hossain, M. A., & Karmakar, U. K. (2014).
Medichinal potential of Passiflora foetida L. plant extracts: biological and
pharmacological activities. Journal of Integrative Medicine, 12(2), 121–126.
https://doi.org/10.1016/S2095-4964(14)60017-0
4. Bernacci, L. C., Soares-Scott, M. D., Junqueira, N. T. V., Passos, I. R. D. S., & Meletti,
L. M. M. (2008). Passiflora edulis Sims : The correct taxonomic way to cite the
yellow passion fruit (and of others colors). Revista Brasileira de Fruticultura,
30(2), 566–576. https://doi.org/10.1590/s0100-29452008000200053
5. Bugallo, V., Cardone, S., Gabriela, P., & Facciuto, G. (2011). Breeding advances in
Passiflora spp. (Passion flower) native to Argentina. Floriculture and Ornamental
Biotechnology, 5(1), 23–34. Retrieved from http://www.globalsciencebooks.
info/Online/GSBOnline/images/2011/FOB_5(1)/FOB_5(1)23-34o.pdf
6. Cerqueira-Silva, C. B. M., Jesus, O. N., Santos, E. S. L., Correa, R. X., &
Souza, A. P. (2014). Genetic breeding and diversity of the genus Passiflora:
Progress and perspectives in molecular and genetic studies. International
Journal of Molecular Sciences, 15(8), 14122–14152. https://doi.org/10.3390/
ijms150814122
7. Chitwood, D. H., & Otoni, W. C. (2017). Morphometric analysis of Passiflora
leaves: The relationship between landmarks of the vasculature and elliptical
Fourier descriptors of the blade. GigaScience, 6(1), 1–13. https://doi.
org/10.1093/gigascience/giw008
110 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

8. Chóez-Guaranda, I., Ortega, A., Miranda, M., & Manzano, P. (2017). Chemical
composition of essential oils of Passiflora edulis f. flavicarpa agroindustrial
waste. Emirates Journal of Food and Agriculture, 29(6), 458–462. https://doi.
org/10.9755/ejfa.2016-10-1542
9. Cutri, L., Nave, N., Ami, M. Ben, Chayut, N., Samach, A., & Dornelas, M. C. (2013).
Evolutionary, genetic, environmental and hormonal-induced plasticity in the
fate of organs arising from axillary meristems in Passiflora spp. Mechanisms of
Development, 130(1), 61–69. https://doi.org/10.1016/j.mod.2012.05.006
10. De Giovanni, R., & Bernacci, L. C. (2015). Progressively approaching the
distribution of Passiflora ischnoclada (Passifloraceae) from a single occurrence
record. Check List, 11(4), 1717. https://doi.org/10.15560/11.4.1717
11. De Melo, N. F., & Guerra, M. (2003). Variability of the 5S and 45S rDNA sites
in Passiflora L. species with distinct base chromosome numbers. Annals of
Botany, 92(2), 309–316. https://doi.org/10.1093/aob/mcg138
12. Dewayani, W., Muhammad, H., Armiati, & Nappu, M. B. (2004). Uji teknologi
pembuatan sirup markisa skala rumah tangga. Jurnal Pengkajian Dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 7(1), 69–75.
13. Dhawan, K., Dhawan, S., & Sharma, A. (2004). Passiflora: A review update.
Journal of Ethnopharmacology, 94(1), 1–23. https://doi.org/10.1016/j.
jep.2004.02.023
14. Do Rêgo, M. M., Bruckner, C. H., Da Silva, E. A. M., Finger, F. L., De Siqueira,
D. L., & Fernandes, A. A. (1999). Self-incompatibility in passion fruit: Evidence
of two locus genetic control. Theoretical and Applied Genetics, 98(3–4), 564–
568. https://doi.org/10.1007/s001220051105
15. Fauza, H., Sutoyo, & Putri, N. E. (2015). Status keberadaan plasma nutfah
markisa ungu (Passiflora edulis) di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat. In Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas Indonesia (Vol. 1, pp. 1559–
1564). https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010703
16. Godinho, M. H., Canejo, J. P., Feio, G., & Terentjev, E. M. (2010). Self-winding
of helices in plant tendrils and cellulose liquid crystal fibers. Soft Matter, 6(23),
5965–5970. https://doi.org/10.1039/c0sm00427h
Passiflora edulis Sims 111
(Passifloraceae)

17. Hansen, A. K., Gilbert, L. E., Simpson, B. B., Downie, S. R., Cervi, A. C., &
Jansen, R. K. (2006). Phylogenetic relationships and chromosome number
evolution in Passiflora. Systematic Botany, 31(1), 138–150. https://doi.
org/10.1600/036364406775971769
18. Hutabarat, R. C., Tarigan, R., Barus, S., & Nasution, F. (2016). Karakterisasi
morfologi dan anatomi markisa F1 di kebun percobaan Berastagi. Jurnal
Hortikultura, 26(2), 189–196.
19. Ingale, A. G., & Hivrale, A. U. (2010). Pharmacological studies of Passiflora
sp . and their bioactive compounds. African Journal of Plant Science, 4(10),
417–426.
20. Karsinah, Hutabarat, R. C., & Manshur, A. (2010). Markisa asam (Passiflora
edulis Sims), Buah eksotik kaya manfaat. IPTEK Hortikultura, 6(6), 30–35.
21. Macoris, M. S., Janzantti, N. S., Garruti, D. dos S., & Monteiro, M. (2011).
Volatile compounds from organic and conventional passion fruit (Passiflora
edulis f. flavicarpa) pulp. Ciência e Tecnologia de Alimentos, 31(2), 430–435.
https://doi.org/10.1590/s0101-20612011000200023
22. Madureira, H. C., Pereira, T. N. S., Da Cunha, M., Klein, D. E., de Oliveira, M. V.
V., de Mattos, L., & de Souza Filho, G. A. (2014). Self-incompatibility in passion
fruit: Cellular responses in incompatible pollinations. Biologia (Poland), 69(5),
574–584. https://doi.org/10.2478/s11756-014-0353-0
23. Marpaung, A. E., Karsinah, & Karo, B. B. (2016). Karakterisasi dan evaluasi
markisa asam hibrid hasil persilangan markisa asam ungu dan merah (Passiflora
sp.). Jurnal Hortikultura, 26(2), 163–170.
24. Mendoza, C. H. G., Cerón-Souza, I., & Arango, L. V. (2018). Agronomic evaluation
of a colombian passion fruit (Passiflora edulis sims) germplasm collection.
Agronomy Research, 16(4), 1649–1659. https://doi.org/10.15159/AR.18.190
25. Mezzonato-Pires, A. C., Mendonça, C. B. F., Milward‑de-Azevedo, M. A.,
& Gonçalves-Esteves, V. (2017). Distribution extensions for species of the
Passiflora subgenus Astrophea (DC.) masters from Brasil (Passifloraceae s.s.).
Check List, 13(5), 467–473. https://doi.org/10.15560/13.5.467
26. Ocampo, J., Arias, J. C., & Urrea, R. (2016). Interspecific hibridization between
cultivated and wild species of genus Passiflora L. Euphytica, 209(2), 395–408.
https://doi.org/10.1007/s10681-016-1647-9
112 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

27. Ocampo, John, d’Eeckenbrugge, G. C., & Jarvis, A. (2010). Distribution of the
genus Passiflora L. Diversity in Colombia and its potential as an indicator for
biodiversity management in the coffee growing zone. Diversity, 2(11), 1158–
1180. https://doi.org/10.3390/d2111158
28. Ocampo Pérez, J., & Coppens d’Eeckenbrugge, G. (2017). Morphological
characterization in the genus Passiflora L.: an approach to understanding its
complex variability. Plant Systematics and Evolution, 303(4), 531–558. https://
doi.org/10.1007/s00606-017-1390-2
29. Oluoch, P., Nyaboga, E. N., & Bargul, J. L. (2018). Analysis of genetic diversity of
passion fruit (Passiflora edulis Sims) genotypes grown in Kenya by sequence-
related amplified polymorphism (SRAP) markers. Annals of Agrarian Science,
16(4), 367–375. https://doi.org/10.1016/j.aasci.2018.08.003
30. Patel, S. S., Soni, H., Mishra, K., & Singhai, A. K. (2011). Recent updates on the
genus Passiflora : A review. Int. J. Res. Phytochem. Pharmacol., 1(1), 1–16.
31. Pereira, A. S., Santos, E. S. L., Cardoso-Silva, C. B., Conceição, L. D. H. C. S.,
Cerqueira-Silva, C. B. M., Corrêa, R. X., & Oliveira, A. C. (2010). Genetic diversity
in yellow passion fruit (Passiflora edulis Sims) based on RAPD. Crop Breeding
and Applied Biotechnology, 10(2), 154–159. https://doi.org/10.12702/1984-
7033.v10n02a08
32. Pio Viana, A., Lougon Paiva, C., Azevedo Santos, E., de Oliveira, E. J., Oliveira
Silva, R. N., & de Oliveira Freitas, J. C. (2014). Genetic variability assessment in
the genus Passiflora by SSR marker. Chilean Journal of Agricultural Research,
74(3), 355–360. https://doi.org/10.4067/s0718-58392014000300015
33. Ramaiya, S. D., Bujang, J. S., & Zakaria, M. H. (2014a). Assessment of total phenolic,
antioxidant, and antibacterial activities of Passiflora apecies. The Scientific
World Journal, 2014, ID 167309. https://doi.org/10.1155/2014/167309
34. Ramaiya, S. D., Bujang, J. S., & Zakaria, M. H. (2014b). Genetic diversity in
passiflora species assessed by morphological and ITS sequence analysis.
Scientific World Journal, ID 589313. https://doi.org/10.1155/2014/598313
35. Rendón, J. S., Ocampo, J., & Urrea, R. (2013). Study of pollination and floral
biology of Passiflora edulis f. edulis Sims. as a basis for pre-breeding. Acta
Agronómica, 62(3), 232–241. https://doi.org/10.15446/acag
Passiflora edulis Sims 113
(Passifloraceae)

36. Rome, M., & D’Eeckenbrugge, G. C. (2017). Delimitation of the series Laurifoliae
in the genus Passiflora (Passifloraceae). Phytotaxa, 309(3), 245–252. https://
doi.org/10.11646/phytotaxa.309.3.5
37. Sakalem, M. E., Negri, G., & Tabach, R. (2012). Chemical composition of
hydroethanolic extracts from five species of the Passiflora genus. Brasilian
Journal of Pharmacognosy, 22(6), 1219–1232. https://doi.org/10.1590/
S0102-695X2012005000108
38. Sazima, M., & Sazima, I. (1987). Additional observations on Passiflora
mucronata, the bat-pollinated passion flower. Ciência e Cultura, 39(3), 310–
312.
39. Scorza, L. C. T., Hernandes-Lopes, J., Melo-de-Pinna, G. F. A., & Dornelas,
M. C. (2017). Expression patterns of Passiflora edulis APETALA1/FRUITFULL
homologues shed light onto tendril and corona identities. EvoDevo, 8(1),
1–15. https://doi.org/10.1186/s13227-017-0066-x
40. Sharan Patel, S. (2009). Morphology and pharmacology of Passiflora edulis: A
review. Journal of Herbal Medicine and Toxicology, 3(1), 1–6. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/228485208
41. Silva, G. S., Souza, M. M., de Melo, C. A. F., Urdampilleta, J. D., & Forni-
Martins, E. R. (2018). Identification and characterization of karyotype in
Passiflora hibrids using FISH and GISH. BMC Genetics, 19(1), 1–11. https://doi.
org/10.1186/s12863-018-0612-0
42. Sousa-Baena, M. S., Sinha, N. R., Hernandes-Lopes, J., & Lohmann, L. G.
(2018). Convergent evolution and the diverse ontogenetic origins of tendrils
in Angiosperms. Frontiers in Plant Science, 9(April), 1–19. https://doi.
org/10.3389/fpls.2018.00403
43. Storey, W. B. (1950). Chromosome numbers of some species of Passiflora
occurring in Hawaii. Pasific Science, 4(1), 37–42.
44. Susanti, Y. I., & Putri, W. D. R. (2014). Pembuatan minuman serbuk markisa
merah (Passiflora edulis f . edulis) (kajian konsentrasi Tween 80 dan suhu
pengeringan). Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 2(3), 170–179.
45. Suswati, Indrawati, A., & Masitoh, B. (2015). Sosialisasi dan pelatihan budidaya
tanamanan markisa kuning pemanfaatan pekarangan di Kota Medan. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 21(82), 1–10.
114 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

46. Wu, Y., Tian, Q., Liu, J., Huang, Y., Huang, W., Xia, X., … Mou, H. (2018).
High-throughput identification and marker development of perfect SSR for
cultivated genus of Passion fruit (Passiflora edulis). Molecular Plant Breeding,
9(13), 92–96. https://doi.org/10.5376/mpb.2018.09.0013
Penulis :
Kurniawan Budiarto1), Hardiyanto2), Djoko Sudarso3) dan Karsinah3)
1)
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
3)
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Plinia spp.
(Myrtaceae)

Protologue
Plinia cauliflora (Mart.) Kausel -- Ark. Bot. a.s. 3:508. 1956

Sinonim
• Eugenia cauliflora (Mart.) DC -- Prodr. 3: 273. 1828.
• Eugenia jaboticaba Kiaersk -- Enum. Myrt. Bras. 185
• Myrcia jaboticaba Baill -- Hist. Pl. 6: 345 1876.
• Myrciaria cauliflora (Mart.) O. Berg -- Fl. Bras. 14(1): 361.1857.
• Myrciaria jaboticaba (Vell.) O.Berg -- Fl. Bras. 14(1): 361 1857.
• Myrtus cauliflora Mart. (basionimo) -- Reise Bras. 1: 285 1823.
• Myrtus jaboticaba Vell -- Fl. Flumin. 5: 214, t. 62 1829.
• Plinia jaboticaba (Vell.) Kausel -- Ark. Bot. a.s., 3: 508 1956.

Nama umum
Anggur Brasil, jaboticaba (Indonesia), Brasilian grapetree, jaboticaba (Inggris),
jabuticaba, jabuticaba-açu jabuticaba-de-sabará, jabuticaba-murta, jabuticaba-
paulista, Portuguese (Brasil), stamjaboticaba (Swedia)

I. Pendahuluan
Anggur pohon atau jaboticaba (Plinia cauliflora (Mart.) Kausel) merupakan
salah satu anggota spesies dari suku Myrtaceae. Nama jaboticaba berasal dari
istilah“Tupi term, jabotim, for turtle”yang berarti “like turtle fat”, yang mungkin
merujuk pada istilah bubur buah (Morton en Morton, 2004). Tanaman anggur
116 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

pohon dibudidayakan dalam sedikit oleh petani di wilayah selatan Brasil. Buah ini
biasanya panen satu hingga dua kali dalam satu tahun (S. Wu, Long en Kennelly,
2013). Tanaman ini memerlukan waktu 5 – 6 bulan untuk proses pertumbuhan dan
satu bulan untuk proses pengerasan (hardening) sebelum tanaman cukup kuat
untuk dipindahkan ke kebun (Basir et al., 2018).
Jaboticaba memiliki tinggi 10-15 meter dengan daun tunggal yang memiliki
panjang hingga 7 cm. Jaboticaba akan berbunga saat musim semi dan musim
panas, bunga dan buah tumbuh berkelompok di sepanjang batang dan cabang
saat berbunga tanaman ini sangat diminati untuk menjadi tanaman hias (Junior,
Souza en Aparecida, 2019).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Jaboticaba termasuk dalam kerajaaan: Plantae, Magnoliophyta (Tumbuhan
berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil), Sub Kelas: Rosidae, Ordo:
Myrtales, Suku: Myrtaceae (suku jambu-jambuan), Genus: Myrciaria, Spesies: Plinia
cauliflora (Mart.) Kausel (Ark. Bot., a.s., 3:508. 1956). Jaboticaba atau yabuticaba
untuk istilah buah, dan jaboticabeira untuk istilah pohon, memiliki 4 spesies
pohon yang sangat mirip yaitu : M. cauliflora, sabará jaboticaba, dikenal juga
sebagai jabuticaba sabará, jabuticaba de Campinas, guapuru, guaperu, hivapuru,
atau ybapuru; M. jaboticaba Berg., jaboticaba besar, dikenal sebagai jaboticaba de
Sao Paulo, jaboticaba do mato, jaboticaba batuba, jaboticaba grauda; M. tenella
Berg., Jaboticaba macia, dikenal sebagai guayabo colorado, cambui preto, murta
do campo, camboinzinho; M. trunciflora Berg., long-stemmed jaboticaba, yang
juga memiliki nama jaboticaba de Cabinho, atau jaboticaba do Pará (Morton &
Morton, 2004).
Tanaman Jaboticaba tergolong tanaman yang memiliki pertumbuhan lambat,
varietas M. tenella memiliki tinggi 1-1,35 m; varietas M. trunciflora 4-7 atau 12 m;
pada spesies lain biasanya memiliki tinggi 10,5-12 m. Jaboticaba memiliki cabang
yang banyak, terdapat cabang yang dekat dengan tanah dan miring ke atas dan ke
luar hingga ke puncak, bisa berbentuk bulat dan padat, dapat mencapai sebaran
lebar 13,7 m (Morton en Morton, 2004). Spesies Kausel (Myrtaceae) endemik di
Amerika Selatan. Buahnya banyak ditemukan di daerah Brasil, seperti Cerrado,
Caatinga, Hutan Atlantik, Hutan Amazon, dan Pampa (Alan et al., 2019).
Plinia spp. 117
(Myrtaceae)

Gambar 26. Keragaan tanaman Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati).

Plinia cauliflora (DC.) Kausel merupakan spesies dengan sistem reproduksi


menyerbuk sendiri (Vieira en Ferreira, 2013). Pohon jabuticaba di Brasil biasanya
mekar dua kali setahun, pada bulan Juli dan Agustus dan November dan Desember,
dengan buah masak antara Agustus - September serta Januari – Februari (Suguino
et al., 2013). Karakterisasi yang dilakukan oleh (Danner et al., 2011) pada 9
genotype Japoticaba (Plinia cauliflora, P. trunciflora, dan P. jaboticaba) umur 35-
40 tahun pada tahun 2007-2008 di Parana Brasil menunjukkan bahwa fase awal
mekar sampai buah masak berlangsung selama 35-50 hari, bergantung kondisi
agroklimat tahun berjalan. Tahun 2008, fase awal mekar sampai dengan buah
masak lebih lama 8 hari. Hal itu disebabkan pada tahun 2008 rerata suhu lebih
rendah (2007 ; 18oC, 2008 = 20oC) dan rerata curah hujan lebih tinggi (2007 = 234
mm, 2008 = 547 mm) dari pada tahun 2007. Fase pembungaan berlangsung 7-10
hari, sedangkan fase pemasakan buah 10-15 hari.
118 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 27. Keragaan bunga dan buah muda Jaboticaba di Pasuruan


(foto : emi_budiyati).

Gambar 28. Keragaan buah Jaboticaba (foto : emi_budiyati).

III. Asal dan distribusi geografis


Jaboticaba merupakan tanaman yang termasuk dalam keluarga Myrtaceae dan
merupakan tanaman endemik di daerah Brasil tengah, selatan dan tenggara
(Barcellos et al., 2015). Jaboticaba ditemukan di wilayah Barat Daya Negara
Bagian Paraná (Brasil), di sebagian Hutan ‘Araucaria’. Tanaman dewasa Jaboticaba
pada area ini setidaknya berjumlah 4.000 tanaman dengan rata-rata ketinggian
mencapai 15 meter dan diameter 41 cm (Danner et al., 2011). Tanaman jaboticaba
banyak dibudidayakan di kota Casa Branca di State of São Paulo (Brasil) yang
tercatat terdapat lebih dari 41.000 tanaman (Vieira en Ferreira, 2013). Di Brasil
Plinia spp. 119
(Myrtaceae)

jaboticaba bekembang mulai daerah tepi pantai sampai dengan ketinggian 3000
kaki. Beberapa spesies dapat bertahan pada suhu 24oF atau kurang tetapi yang
lain tidak bertahan pada suhu 27oF. Di California, Jaboticaba sukses berkembang di
San Diego, Spring Valley, Bostonia, Encitasm Los Angeles Selatan, San Jose dan San
Fransisco (Morton, 1987).
Tren mengoleksi anggur pohon di Indonesia bermula saat terdengar kabar ada
kebunnya di Taiwan. Sebanyak 50 Plinia cauliflora ditanam Pan Liang Hwa di Chou
Zhou, Ping Tung, Taiwan, di lahan seluas 4,3 ha. Sejak itu banyak penangkar berburu
bibit ke berbagai negara. Kisaran tahun 2010 diketahui ada anggur pohon berumur
lebih 100 tahun di Kebun Raya Cibodas, Cianjur. Tanaman itu diduga sebagai asal
tanaman-tanaman bonsai Jaboticaba di Indonesia. Anggur pohon di Indonesia
dikembangkan oleh kolektor-kolektor buah sebagai bahan bonsai, landscaping,
dan produksi buah hanya 1-50 tanaman dan tersebar di berbagai daerah. Kebun
Jaboticaba yang terbanyak jumlah tanamannya pada tahun 2010 ada di Blitar
sebanyak 3.500 tanaman, dan di Bandung 1.000 tanaman (www.trubusonline.
co.id. 2010). Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada info lebih lanjut
tentang pengembangan anggur pohon ini.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Studi keragaman 33 genotype Jaboticaba Plinia cauliflora berdasarkan kualitas
buah menunjukkan terdapat 5 kelompok besar Jaboticaba. Hasil analisis terpilih
20% genotipe yang lebih baik menunjukkan frekuensi superioritas tertinggi dalam
karakteristik dan evaluasi melalui diversitas genetik tetua potensial (Junior et al.,
2018)
Keragaman genetik 35 genotype Plinia sp di Recôncavo da Bahia, Brasil telah
dianalisis berdasarkan penanda Molekuler ISSR. Hasil dendogram menunjukkan
bahwa 35 genotype terbagi menjadi 5 kelompok besar. Selain itu berdasarkan
penelitian pada 35 genotype Plinia sp. tersebut ternyata bahwa jarak genetik tidak
berkorelasi dengan jarak geografi karena terdapat 2 genotype yang mempunyai
jarak genetik yang dekat (0,11) berada dilokasi yang berbeda (Cruz et al., 2016).
120 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Tanaman Plinia cauliflora berasal dari Brasil, banyak ditemukan di hutan antara
lain hutan Araucaria (wilayah Barat Daya Negara Bagian Paraná). Penyebaran
tanaman ini kemungkinan besar dibantu oleh binatang di dalam hutan tersebut.
Namun demikian, karena perluasan pengembangan jaboticaba dan pemilahan
hutan diduga sebagian spesies Jaboticaba telah punah (Vieira en Ferreira, 2013).
Benih dari biji Jaboticaba dapat ditransplanting kisaran 10 bulan dan benih yang
ditanam baru dapat mencapai tinggi 2 meter dan dapat berproduksi setelah
berumur 10 tahun (Suguino et al., 2013). Pada jenis yang berbeda yaitu Plinia
cauliflora x aureana produksi buah lebih cepat yaitu 3-4 tahun sudah dapat
berproduksi (Regina & Gobato, 2018).

VI. Aspek budidaya


Syarat tumbuh anggur pohon (Jaboticaba) dapat tumbuh pada ketinggian 500-
1500 m dpl, tanah yang dibutuhkan subur, gembur, porous dan agak basah. Iklim
yang cocok pada Tropis-Sub Tropis, sedangkan suhu yang dibutuhkan 18-250 C.
Tanaman ini membutuhkan sinar matahari penuh, berdrainase baik, namun dapat
tetap tumbuh dan berbuah pada jenis tanah pasir, dan alkali sekalipun, pH masam,
tanaman ini toleran terhadap angin tapi tidak tehadap udara asin laut (Balerdi &
Rafie, 2006).
Perbanyakan tanaman Jaboticaba terdiri atas perbanyakan tanaman secara seksual
dan aseksual (vegetatif). Perbanyakan seksual yang umum dilakukan terutama
untuk batang bawah yaitu dengan biji. Biji yang digunakan merupakan biji yang
masih terdapat dalam buah (biasanya buah yang telah masak dan jatuh) tanpa
membuang daging buahnya. Satu kilogram terdiri atas 3.900 biji dengan viabilitas
benih yang rendah. Biji yang telah diperoleh harus segera ditanam ke dalam media
organo-claysubstrate dengan sedikit naungan. Untuk biji yang telah disimpan,
perlu dilakukan perlakuan dengan perendaman dalam air jeruk nipis selama 24 jam
kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringanginkan. Benih yang ditanam
ditutupi dengan media kemudian disiram 2 kali sehari sampai berumur 1 bulan
(Suguino et al., 2013). Perbanyakan tanaman spesies ini secara seksual dengan
biji merupakan perbanyakan yang efisien dan sederhana karena dapat mencapai
keberhasilan 100%. Kelemahan dengan perbanyakan dengan biji yaitu adanya fase
juvenil yang panjang dan segregasi genetic (Cruz et al., 2016)
Plinia spp. 121
(Myrtaceae)

Tanaman yang diperbanyak dengan biji baru dapat berproduksi setelah berumur
3-5 tahun. Perbanyakan dengan klon dapat menghasilkan buah lebih cepat
dan berkualitas sama dengan induknya. Penyambungan dan pencangkokan
merupakan perbanyakan yang umum dilakukan. Tingkat efisiensi penyambungan
mencapai lebih dari 70% sedang pencangkokan menghasilkan akar rata-rata 80%.
Perbanyakan dengan stek hanya dapat menghasilkan perakaran sekitar 10% (da
Silva et al., 2019). Teknik kultur jaringan dapat dijadikan solusi untuk mendapatkan
jumlah bibit yang banyak dan dalam kurun waktu yang relatif cepat.
Jaboticaba dapat ditanam dengan jarak tanam 9 meter. Petani Jaboticaba secara
tradisional di Brasil tidak memberikan pupuk pada tanaman karena mereka percaya
bahwa sistem perakaran Jaboticaba sangat sensitif sehingga pemberian pupuk
justru dapat berakibat buruk pada perakaran. Beberapa agronomis menyarankan
pemupukan dengan membuat lubang di sekitar pangkal pohon dan memberikan
bahan organik diperkaya dengan 1 bagian ammonium sulfat, 2 bagian superfosfat
dan 1 bagian kalium klorat. Lubang tersebut dapat menyimpan nutrisi, melepaskan
nutrisi dan menyimpan air saat musim hujan. Air yang berlimpah sangat penting
untuk kelangsungan pertumbuhan tanaman Jaboticaba. Untuk menginduksi
pembungaan penyiraman dapat dilakukan di musim kemarau karena pembungaan
pada musim hujan akan merugikan (terjadi kerontokan bunga, serangan penyakit)
(Morton, 1987).
Penyakit yang menyerang Jaboticaba hingga sampai menyebabkan kematian dan
masih sulit dikendalikan yaitu penyakit busuk akar (Rosellinia sp.). Penyakit utama
lainnya yang umumnya menyerang tanaman Jaboticaba yaitu karat (Puccinia
psidii). Penyakit tersebut terjadi pada kondisis panas dan hujan dan menyerang
buah. Pembungaan yang terjadi saat hujan deras biasanya terserang penyakit
karat dengan gejala awal bintik melingkar kuning kemudian menjadi cokelat gelap.
Pengendalian penyakit dengan meningkatkan aerasi di kebun dengan memangkas
ranting-ranting tanaman. Sementara pengendalian dengan pestisida dapat
dilakukan penyemprotan dengan pestisida Curprit (Suguino et al., 2013).
Serangan hama yang banyak dialami petani Jaboticaba di Brasil yaitu hama burung
yang banyak memakan buah Jaboticaba. Sementara itu, di Florida, Jaboticaba
banyak diserang oleh rakun dan opossum. Penanggulangan hama burung dapat
dilakukan dengan menutupi cluster buah dengan koran yang diikat di atasnya.
Apabila burungnya terlalu agresif atau angina terlalu kencang, koran dapat diikat
pula dibagian bawahnya (Morton, 1987).
122 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Jaboticaba dapat dikonsumsi segar sebagaimana buah anggur, di Amerika Serikat
biasa difermentasi 3 sampai 4 hari setelah panen, sehingga sering digunakan
untuk membuat selai, kue tar, wine, dan minuman (Reynertson et al., 2008). Buah
Jaboticaba mengandung banyak mineral dan polifenol yang baik untuk kesehatan
(Bolson et al., 2015; Paz et al., 2018). Buah Jaboticaba mempunyai kandungan
mineral yang tinggi yaituMn (1,8–2,7 mg/100 g DW) dan Cu (1,0 mg/100 g DW).
Buah Jaboticaba sangat kaya akan polifenol khususnya antosianin dan sumber
ellagitannins setara buah beri (S. B. Wu & Long 2013). Kandungan antioksidan yang
tinggi membuat Jaboticaba potensial untuk dijadikan bahan untuk pembuatan
obat dan pangan fungsional (Borges, Conceição en Silveira, 2014; Lima et al., 2017;
Teixeira et al., 2019). Jaboticaba dapat diolah menjadi produk pangan seperti selai,
sari buah, manisan permen (Alezandro et al., 2013; Farinazzi-Machado en Fiorini,
2017; Inada et al., 2018; Monalisa-Francisco & Ramos, 2019).
Anggur pohon yang sesuai untuk buah konsumsi dipilih dari segi kadar gula tinggi,
total asam rendah, dan juga produksi yang tinggi. Sementara itu, karakteristik pada
kandungan flavonoid yang tinggi terutama pada kulit buah disertai dengan kulit
buah yang tebal lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan industri (Guedes
et al., 2014).
Buah anggur pohon ini dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk diabetes, kanker,
stroke, dan penyakit paru obstruktif kronik (S. Wu, Long en Kennelly, 2013). Dengan
banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari tanaman dan buah jaboticaba,
membuat tanaman ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Akan
tetapi peluang besar ini memiliki kendala dalam teknik pembudidayaannya karena
hingga saat ini perbanyakan tanaman anggur pohon baru dilakukan melalui sistem
budidaya konvensional yaitu (stek akar, layering dan cangkok) maupun melalui benih
biji. Selain itu, tanaman jaboticaba merupakan tanaman yang pertumbuhannya
lambat dan baru akan berbuah setelah usia 8 – 18 tahun. Dengan jumlah tanaman
dewasa yang terbatas perbanyakan melalui teknik ini hanya mampu menghasilkan
bibit dengan jumlah sedikit.
Plinia spp. 123
(Myrtaceae)

Pustaka
1. Alan, Rhanany Palozi, Calloi Guarnier, Lucas Pires Vitor, Paulo Romão, Moreira
Requena, Samara Calixto, Carlos Luiz, Emerson Lourenço, Botelho Brentan,
Denise Mourão, Francielly Gasparotto, Arquimedes (2019) “Pharmacological
safety of Plinia cauli flora ( Mart .) Kausel in rabbits”, Toxicology Reports.
Elsevier, 6(October 2018), bll 616–624. doi: 10.1016/j.toxrep.2019.06.017.
2. Alezandro, Marcela Roquim Dubé, Pascal Desjardins, Yves Lajolo, Franco Maria
Genovese, Maria Inés (2013) ѐComparative study of chemical and phenolic
compositions of two species of jaboticaba: Myrciaria jaboticaba (Vell.) Berg
and Myrciaria cauliflora (Mart.) O. Berg”, Food Research International. Elsevier
B.V., 54(1), bll 468–477. doi: 10.1016/j.foodres.2013.07.018.
3. Balerdi, C., Rafie, R. en Crane, J. (2006) “Jaboticaba ( Myrciaria Cauliflora, Berg.
) a Delicious Fruit With an Excellent Market Potential”, Proc. Fla. State Hort.
Soc, 119, bll 66–68. Available at: www.fao.org/docrep/t0646e/T0646E.
4. Barcellos, Tamirys Beatriz, Ana Martins, Neves Cristina, Ellen Lacerda, Quirino
Soares, Aline
5. Ferreira, Bernardo Erthal, Ricardo Guedes, Alexandre Perrone, Daniel Monteiro,
Mariana C (2015) “Screening of the chemical composition and occurring
antioxidants in jabuticaba ( Myrciaria jaboticaba ) and jussara ( Euterpe edulis
) fruits and their fractions”, Journal of Functional Foods. Elsevier Ltd, 17, bll
422–433. doi: 10.1016/j.jff.2015.06.002.
6. Basir, Mohamed Hafeifi Sayuti, Zulhazmi Ahmad, Hanim Shafawi, Norsyuhaida
Ahmad Sabrina, Erny Noor, Mohd (2018) “Jabuticaba : Tanaman eksotik
Cameron Highlands”, 14, bll 69–74.
7. Bolson, Mônica Hefler, Sonia Regina Dall’Oglio Chaves, Elisiane Inês Gasparotto
Junior, Arquimedes Cardozo Junior, Euclides Lara (2015) “Ethno-medichinal
study of plants used for treatment of human ailments, with residents of
the surrounding region of forest fragments of Paraná, Brasil”, Journal of
Ethnopharmacology, 161, bll 1–10. doi: 10.1016/j.jep.2014.11.045.
8. Borges, L. L., Conceição, E. C. en Silveira, D. (2014) “Active compounds and
medichinal properties of Myrciaria genus”, Food Chemistry. Elsevier Ltd, 153,
bll 224–233. doi: 10.1016/j.foodchem.2013.12.064.
124 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

9. Cruz, Elaine Silva Da Dantas, Ana Cristina Vello Loyola Carmo, Catia Dias Do
Bastos, Lucimario Pereira (2016) “Molecular Characterization of Jaboticaba
Tree Genotypes Located in the Municipalities of Recôncavo of Bahia”, Revista
Brasileira de Fruticultura, 38(3). doi: 10.1590/0100-29452016510.
10. Danner, M. A., Citadin, I., Sasso, S. A. Z., et al. (2011) “Germplasm
characterization of three jabuticaba tree species”, Revista Brasileira de
Fruticultura. FapUNIFESP (SciELO), 33(3), bll 839–847. doi: 10.1590/s0100-
29452011005000095.
11. Danner, M. A., Citadin, I., Aparecida, S., et al. (2011) “Germplasm
characterization of three jabuticaba tree species 1”, bll 839–847.
12. Guedes, M. N, S., Azevedo, A., Rufini, J.C.M., Dessimoni-Pinto, N.A.V. 2014.
Fruit quality of jabuticaba progenies cultivated in a tropical climate of altitude.
Fruits, vol. 69 (6) doi: 10.1051/fruits/2014030
13. Farinazzi-Machado, F. M. V en Fiorini, A. M. R. (2017) “Jabuticaba Fruit Peel:
Better Than the Pulp?”, International Journal of Health Sciences & Research
(www.ijhsr.org), 7(9), bl 282. Available at: www.ijhsr.org.
14. Inada, Kim Ohanna Pimenta Duarte, Paula Andrés Lapa, Jacqueline Miguel,
Marco Antônio Lemos Monteiro, Mariana. (2018) “Jabuticaba (Myrciaria
jaboticaba) juice obtained by steam-extraction: phenolic compound profile,
antioxidant capacity, microbiological stability, and sensory acceptability”,
Journal of Food Science and Technology, 55(1), bll 52–61. doi: 10.1007/
s13197-017-2769-3.
15. Junior, A. G., Souza, P. De en Aparecida, F. (2019) “( Mart .) Kausel”,
Journal of Ethnopharmacology. Elsevier B.V., bl 112169. doi: 10.1016/j.
jep.2019.112169.
16. Junior, Americo Wagner Paladini, Marcos Villy Danner, Moeses Andrigo
Radaelli, Juliana Cristina De Moura, Gisely Correa Neto, Carlos Kosera.
(2018) “Genetic divergence of native jaboticaba fruit tree (Plinia cauliflora)
based on fruit quality”, Semina:Ciencias Agrarias, 39(6), bll 2409–2424. doi:
10.5433/1679-0359.2018v39n6p2409.
17. Lima, Maria G.A. Dias-Pini, Nívia S. Lima, Élison F.B. Maciel, Gabriela P.S. Vidal-
Neto, Francisco C. (2017) “Identification and pest status of Holopothrips fulvus
(Thysanoptera: Phlaeothripidae) on dwarf-cashew crops in northeastern
Plinia spp. 125
(Myrtaceae)

Brasil”, Revista Brasileira de Entomologia. Elsevier Editora Ltda., 61(4), bll


271–274. doi: 10.1016/j.rbe.2017.07.007.
18. Monalisa-Francisco, N. en Ramos, F. N. (2019) “Composition and Functional
Diversity of the Urban Flora of Alfenas-MG, Brasil”, Floresta e Ambiente, 26(3).
doi: 10.1590/2179-8087.111017.
19. Morton, J. F. (1987) Fruits of Warm Climates, Julia F. Morton. Miami, Florida.
Available at: http://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/index.html.
20. Morton, J. F. en Morton, J. F. (2004) Fruits of Warm Climates.
21. Paz, Weider H.P. de Almeida, Richardson A. Braga, Neila A. da Silva, Felipe
M.A. Acho, Leonard D.R. Lima, Emerson S. Boleti, Ana Paula A. dos Santos,
Edson L. Angolini, Célio F.F. Bataglion, Giovana A. Koolen, Hector H.F.
(2018) “Remela de cachorro (Clavija lancifolia Desf.) fruits from South
Amazon: Phenolic composition, biological potential, and aroma analysis”,
Food Research International. Elsevier Ltd, 109, bll 112–119. doi: 10.1016/j.
foodres.2018.04.019.
22. Regina Risso Gobato, M., Gobato, R. en Alireza, H. (2018) “Planting of Jaboticaba
Trees for Landscape Repair of Degraded Area”, Landscape Architecture and
Regional Planning, 3(1), bll 1–9. doi: 10.11648/j.larp.20180301.11.
23. Reynertson, Kurt A. Yang, Hui Jiang, Bei Basile, Margaret J. Kennelly, Edward
J. (2008) “Quantitative analysis of antiradical phenolic constituents from
fourteen edible Myrtaceae fruits”, Food Chemistry, 109(4), bll 883–890. doi:
10.1016/j.foodchem.2008.01.021.
24. da Silva, José Antonio Alberto, Teixeira, Gustavo Henrique de Almeida,
Martins, Antonio Baldo Geraldo, Citadin, Idemir Junior, Americo Wagner
Danner, Moeses Andrigo (2019) “Advances in the propagation of Jabuticaba
tree”, Revista Brasileira de Fruticultura. FapUNIFESP (SciELO), 41(3), bll 1–10.
doi: 10.1590/0100-29452019024.
25. Suguino, Eduardo Martins, Adriana Novais Turco, Terezinha Monteiro dos
Santos De Faria, Ana Maria (2013) “A Cultura da Jabuticabeira”, Pesquisa &
Tecnologia, 9(1). doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
26. Teixeira, Nayane Melo, Jean C.S. Batista, Luiz F. Paula-Souza, Juliana Fronza,
PãmellaBrandão, Maria G.L. (2019) “Edible fruits from Brasilian biodiversity:
A review on their sensorial characteristics versus bioactivity as tool to select
126 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

research”, Food Research International. Elsevier Ltd, 119, bll 325–348. doi:
10.1016/j.foodres.2019.01.058.
27. www.trubusonline.co.id. 2010. Mereka Tergila Jabuticabeira. 4 Juli 2019.
28. Vieira, V. L. L. de P. en Ferreira, W. R. (2013) “A Festa da Jabuticaba E O
empreendedorismo Feminino no municipio de sabara / MG The Jabuticaba
party and the female entrepreneurship in the municipality of sabara / MG (
1996 ), em dezembro de 1993 , a Assembleia Geral das Nações Unidas aprovou
por princi”, in Revista Brasileira de Gestao e Engenharia. Sao Gotardo, bll
1–28.
29. Wu, S., Long, C. en Kennelly, E. J. (2013) “Phytochemistry and health-benefits
of jaboticaba, an emerging fruit crop from Brasil”, FRIN. Elsevier B.V. doi:
10.1016/j.foodres.2013.06.021.
Penulis :
Emi Budiyati, Anis Andrini, Imro’ah Ikarini
Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika
Prunus armeniaca L.
(Rosaceae)

Protologue
Prunus armeniaca L. - Sp. Pl. 1: 474 (1753).

Sinonim
• Amygdalus armeniaca (L.) - Fl. Belg. 91. 1827
• Armeniaca armeniaca (L.) - Helios, 11: 133. 1893
• Armeniaca batavica - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 359. 1846
• Armeniaca communis - Cat. Jard. Bot. Krz.. 1810
• Armeniaca communis - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 355. 1846
• Armeniaca cordifolia - Rouy & Fouc. Fl. France, 6: 28. 1900
• Armeniaca epirotica - Fl. Wett. 2: 167. 1800
• Armeniaca macrocarpa - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 104. 1846
• Armeniaca malus - Fig. Pl. Anim. Med, t. 153 (1764), Descr. Pl. Anim. 108.
1767
• Armeniaca mongametia - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 273. 1846
• Armeniaca praecox - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 265. 1846
• Armeniaca tardiflora - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 266. 1846
• Armeniaca vulgaris var. meixianensis - Bull. Bot. Res. North-East. Forest. Inst.,
9(3): 66. 1989
• Armeniaca vulgaris var. rushanica Korsh - Byull. Vses. Ord. Lenina Inst. Rast.
N.I. Vavilova, 166: 54. 1986
128 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

• Armeniaca vulgaris var. xiongyueensis - Bull. Bot. Res. North-East. Forest.


Inst., 9(3): 65. 1989
• Prunus nepalensis Hort. - Dendrol. 1: 89. 18. 1869
• Prunus tiliifolia - Prodr. 350. 1796
• Prunus xanthocarpos Hort. - Dendrol. 1: 89. 1869

Nama umum
Aprikot (Indonesia), Apricot tree (Inggris),  albaricoquero; chabacano; damasco
(Spanyol), abricotier; apricotier (Perancis), abrikos (Rusia), xing shu (China), dan
albicoqueiro; alpercheiro; damasqueiro (Portugis).

I. Pendahuluan
Nama ‘aprikot’ (albicocco, albericocco) diperkirakan berasal dari kombinasi
kata Arbor precox dari bahasa Latin praecocia (dewasa sebelum waktunya) atau
precocious dalam bahasa lain. Ini karena buah aprikot temasuk buah yang masak
lebih awal.
Aprikot adalah buah yang lezat dengan rasa dan aroma yang enak. Sebaliknya,
daun, bunga, kulit kayu dan biji aprikot mengandung senyawa beracun yang
menghasilkan sianida dan pada dosis tinggi dapat mematikan. Kernel mengandung
jumlah tertinggi senyawa penghasil sianida (laetrile). Ini telah digunakan untuk
melawan sel-sel tumor (Roussos, Denaxa, Tsafouros, Efstathios, & Intidhar, 2015). Di
beberapa negara, buah aprikot dikonsumsi sebagai buah segar, dan olahan seperti
buah kering, selai, nektar, dan bahkan acar. Biji aprikot yang manis digunakan
sebagai bahan tambahan dalam kue, dan biji yang pahit untuk keperluan kosmetik
dan farmasi (Asma, Mısırlı, Bilgin, & Yanar, 2018).
Aprikot umum tumbuh di daerah yang beraneka ragam geografis mulai dari musim
dingin yang dingin di Siberia hingga iklim subtropis Afrika Utara dan dari padang
pasir Asia Tengah hingga daerah lembap di Jepang dan China bagian timur. Namun,
area produksi komersial masih sangat terbatas. Budidaya aprikot paling berhasil
berada di iklim Mediterania (Hormaza, Yamane, & Rodrigo, 2007). Produsen utama
aprikot di dunia adalah Turki, Iran, Uzbekistan, Aljazair, Pakistan, dan Maroko
(Krška, 2018). Beberapa negara besar di Eropa juga telah membudidayakan aprikot
secara komersial, di antaranya Spanyol, Italia, Prancis, Yunani, Ukraina, Moldova,
dan lainnya.
Prunus armeniaca L. 129
(Rosaceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Nama ilmiah Apricot adalah Prunus armeniaca. Nomenklatur ini didasarkan
pada Klasifikasi Ilmiah Aprikot. Aprikot termasuk dalam Kingdom Plantae, divisi
Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Rosales, famili Rosaceae, genus Prunus
L. dan jenis Prunus armeniaca L. (USDA, 2019).
Aprikot termasuk tanaman buah yang mengalami gugur daun dengan habitus
menyebar atau tegak. Pohon apricot berukuran kecil hingga sedang. Tanaman ini
umumnya mencapai ketinggian sekitar 4 m (tanaman budidaya), tetapi di alam
mereka dapat mencapai ketinggian bahkan 10-15 m. Warna kulit kayu kemerahan
hingga abu-abu, dengan ranting muda dan daun tampak kemerahan. Daun
aprikot berbentuk ovate atau round-ovate memiliki ujung runcing dengan ukuran
5-12 × 5-10 cm. Daun memiliki petiol berwarna merah keunguan dengan bentuk
dasar, truncate atau subcordate dengan ukuran 2-4 cm (Roussos et al., 2015).
Bunga terdiri atas satu putik, dua ovul dan lebih dari 50 benang sari. Warna
mahkota bunga bervariasi (putih, merah muda atau merah) dengan jenis kelopak
bunga bervariasi (tunggal atau ganda) (Gambar 29). Beberapa kultivar memiliki
sifat male sterile atau self incompatibility (Hormaza et al., 2007). Bunga umumnya
muncul pada musim semi (awal Maret hingga awal April) (Roussos et al., 2015).

Gambar 29. Morfologi bunga aprikot (foto :Ugurtan & Gurc, 2012)
130 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Buah aprikot adalah buah klimakterik yang membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk
proses perkembangan buah, namun ini tetap bergantung pada kultivar. Buah
matang lembut jika disentuh (Hormaza et al., 2007). Kulit buah umumnya berwarna
oranye dengan semburat merah pada beberapa kultivar. Buah berbentuk oval dan
glabrous dengan ukuran 3,5–8 cm (Gambar 30) (Roussos et al., 2015; Zaurov et
al., 2013). Buah aprikot terdiri atas endocarp yang mengelilingi biji, mesocarp
berdaging, dan exocarp (kulit buah). Daging buah manis atau asam dengan warna
daging buah sebagian besar adalah oranye, tetapi ada beberapa kultivar berdaging
putih. Aprikot harus dipanen dalam kondisi masak fisiologis. Jika tidak demikian,
rasa buah sangat asam dan sangat tidak enak (Hormaza et al., 2007).

Gambar 30. Keragaman buah aprikot di Asia Tengah (foto : Zaurov et al., 2013)
Prunus armeniaca L. 131
(Rosaceae)

III. Asal dan distribusi geografis


Tiga wilayah yang diyakini sebagai pusat asal untuk aprikot yang dibudidayakan
adalah China bagian tengah (China dan Tibet), Asia Tengah (dari Taiwan hingga
Kashmir), dan Timur tengah (Iran, Kaukasus dan Turki). Kelompok Asia Tengah
termasuk Xinjiang, Afghanistan, Pakistan dan Kashmir adalah kelompok tertua
dengan keanekaragaman genetik tertinggi (Ali Khan et al., 2008; Badenes & Byrne,
2012; Ugurtan & Gurc, 2012).
Hingga saat ini, asal-usul aprikot masih belum sepenuhnya jelas. Para penulis
umumnya meyakini bahwa aprikot pertama dibudidayakan di Tiongkok (Badenes
& Byrne, 2012). Budidaya aprikot diperkenalkan di wilayah Mediterania dari Iran
atau Armenia sekitar abad pertama sebelum Masehi oleh bangsa Arab (Hormaza
et al., 2007). Aprikot menyebar ke Eropa dari Asia Tengah, melalui Iran dan ke
wilayah trans-Kaukasus dan kemudian lebih jauh ke Barat. Pergeseran aprikot ke
arah barat terjadi dalam dua tahap. Aprikot dikenal di Italia dan Yunani sebagai
hasil dari perang Romawi-Persia pada abad pertama SM. Spesies Armeniaca
pertama kali dibawa ke Italia dan Yunani oleh pedagang Armenia (Krška, 2018).
Aprikot diperkenalkan ke Inggris dan Amerika Serikat (Virginia) pada abad ke-17,
kemudian, aprikot diperkenalkan ke California oleh orang Spanyol pada abad ke-18
(Hormaza et al., 2007).
Keyakinan bahwa China sebagai asal-usul tanaman aprikot didukung oleh kegiatan
survei plasma nutfah dan analisis struktur populasi aprikot liar di lembah (Tian-
Ming et al., 2007) dan data molekuler tentang keragaman plasma nutfah aprikot
(Zhebentyayeva, Reighard, Gorina, & Abbott, 2003) menunjukkan bahwa China
merupakan sumber gen aprikot di Asia Tengah dan bertanggung jawab atas
penyebarannya ke daerah-daerah lain. Peta penyebaran aprikot dijelaskan dalam
Gambar 32.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Ahli botani membedakan spesies aprikot dalam beberapa spesies, yaitu P. ansu, P.
armeniaca, P. brigantina, P. mandshurica, P. x dasycarpa, P. holosericea, P. mume
dan P. Siberica. Aprikot yang paling banyak dibudidayakan, termasuk dalam spesies
P. armeniaca L.
132 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Saat ini, aprikot diklasifikasikan ke dalam enam kelompok ekogeografi utama:


Asia Tengah, China Timur, China Utara, Dzhungar-Zailij, Irano-Kaukasia, dan Eropa.
Kelompok Asia Tengah adalah yang tertua. Sebagian besar aprikot milik grup
ini bersifat self-incompatible dan tidak toleran terhadap iklim beku. Kelompok
Dzhungar-Zailij sebagian besar terdiri atas kultivar berbuah kecil yang juga memiliki
karakter self-incompatible. Kelompok Irano-Kaukasia sebagian besar terdiri atas
genotipe yang tidak tahan terhadap iklim beku dari daerah Kaukasia, Iran, Irak,
Afrika Utara dan beberapa kultivar dari Eropa Selatan. Kelompok Eropa adalah yang
terbaru dan paling tidak bervariasi, terdiri atas genotipe yang self-incompatible dan
termasuk kultivar komersial Eropa, Amerika, Afrika Selatan dan Australia. Kultivar-
kultivar aprikot yang banyak dibudidayakan di berbagai negara dengan nama
yang beragam, di antaranya kultivar Hunter, Moonpark, Story, Trevatt, Pannach,
dan Watkins di Australia, kultivar Goldcot, Goldrich, Harcot, Harglow, Hargrand,
Harlayne, Harogem, Veecot, Velvaglo, dan Vivagold di Kanada, kultivar Bak-Ta-Sin,
Caoxing, Chu-In-Sin, Dahongxing, GulotiLochak, Hongjing zhen, Huax-iandjiexing,
Hvang-Sin, Isko-Dari, Liganmeix-ing, Nan zhoudajiexing, Konak Doraz, Kzil Kumet,
Luotao xhuang, Maj-Ho-Sin, Manti-Rujuk, Shi-Sin, Shoyinhouz, dan Tulaki di China,
kultivar Bergeron, Canino, Earlyblush, Fantasme, Goldrich, Hatif Colomer, Helena
du Roussillon, Ivresse, Luizet, Malice, Modesto, Orange Red, Polonais, Rouge de
Roussillon, Rouge de Fournes, Tirynthos, dan Tomcot di Perancis, kultivar Bebeco,
Tirynthos, dan Luizet di Yunani, kultivar Bergeron, Ceglédi Bìborkajszi, Ceglédi
Orìas, Gönci Magyar Kajszi, Magyar Kajszi (Hungarian Best), dan Mandula Kajszi
di Hungaria, kultivar Baracca, Bella di Imola, Boccuccia, Cafona, Canino, Ceccona,
Fracasso, Goldrich, Monaco Bello, Palummella, Portici, Reale di Imola, San Castrese,
Tirynthos, dan Vitillo di Italia, kultivar Tabarza, Tokbam, Damavand, Malayer, dan
Lasgherdi di Iran, kultivar Bulida, Empress, Imperial, Lady Sun, Palsteyn, Peeka,
Royal, Soldonné, dan Super Gold di Afrika Selatan, dan kultivar Aprikoz, Cataloglu,
Cologlu, Darende, Hacihaliloglu, Hasanbey, Kabaasi, Sekerpare, Soganci,Tokaloglu,
Yegen di Turki (Hormaza et al., 2007). Kultivar yang berkembang di masing-masing
negara terus bertambah seiring dengan program pemuliaan tanaman di negara-
negara tersebut.
Kajian keragaman genetik tanaman aprikot telah banyak dilakukan. Secara
sistematis, tanaman aprikot dapat dikelompokkan dalam delapan kelompok
ekogeografis dan tiga belas kelompok regional. Kelompok regional Fergana,
Zeravshan, Semerkand-Shahrisiabz, Horezm dan Kopet-Dagh termasuk kelompok
Prunus armeniaca L. 133
(Rosaceae)

kelopok ekogeografis Asia Tengah. Kelompok regional Iran-Caucasus, Dagestan dan


Afrika Utara termasuk kelompok ekogeografis Irano-Caucasian. Kelompok regional
Eropa Barat, Eropa Timur, dan Eropa Utara termasuk kelopok ekogeografis Eropa.
Kelompok regional Dzhungar dan Zailig termasuk dalam kelompok ekogeografis
Dzhungar-Zailig. Kelompok ekogeografis China Utara, China Timur, Tibet dan China
Utara tidak memiliki kelompok regional (Ugurtan & Gurc, 2012).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Aprikot merupakan salah satu dari lima tanaman asli China yang dibudidayakan
secara tradisional bersama dengan peach, plum, jujube, dan chestnut. Hingga awal
tahun 1980-an, tanaman aprikot tidak boleh ditanam untuk tujuan komersial. Sejak
adanya reformasi ekonomi, tanaman aprikot mulai ditanam secara besar besaran.
Hingga saat ini, tanaman aprikot di China telah mengalami tiga tahap evoluasi
budidaya, yaitu: 1) rekoleksi kultivar lokal yang dipilih dari aprikot asli China, 2)
introduksi kultivar dari negara-negara barat, dan 3) merilis kultivar aprikot baru
hasil pemuliaan (Liu et al., 2012).
Aktivitas pemuliaan tanaman aprikot pada awalnya difokuskan pada seleksi
dari keanekaragaman hayati di alam. Kegiatan koleksi dan karakterisasi plasma
nutfah adalah tahap awal yang penting untuk memulai program pemuliaan.
Aktivitas koleksi dan karakterisasi plasma nutfah dilakukan untuk mendapatkan
karakteristik fenologis, pomologis dan morfologis seperti kekuatan pohon dan
kebiasaan tumbuh, kualitas buah, daun, stone, bunga, stigma dan stylus dan
serbuk sari. Dalam dua dekade terakhir, studi molekuler telah diintegrasikan ke
dalam penelitian karakterisasi plasma nutfah konvensional dan keanekaragaman
genetik dalam aprikot (Ugurtan & Gurc, 2012).
Di Turki, program ini seleksi plasma nutfah aprikot dimulai pada tahun 1933 di
daerah Malatya oleh Profesor Ülkümen, dengan fokus kegiatan identifikasi
karakater morfologis, fisiologis, dan biologis dari populasi aprikot yang ada di alam.
Kegiatan ini menghasilkan 63 jenis aprikot yang berbeda dari Malatya (kabupaten
Darende), 14 jenis dengan karakter masak lambat dari Erzincan, satu jenis yang
cocok sebagai buah kering dari Elazığ (kabupaten Baskil), 28 jenis toleran terhadap
embun beku pada musim semi dari Van (distrik Gevaş), dan tujuh jenis yang cocok
digunakan sebagai buah kering dan enam jenis baru di Malatya dan sekitarnya.
Semua jenis tersebut telah dikarakterisasi dan dipelihara di kebun koleksi plasma
nutfah the Malatya Apricot Research Station (Asma et al., 2018).
134 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Selain kegiatan seleksi dan karaktersasi tanaman aprikot di alam, kegiatan


pemuliaan juga telah dilaksanakan. Secara umum, tujuan pemuliaan tanaman
aprikot adalah: (1) Meningkatkan kemampuan beradaptasi untuk daerah dingin
dan hangat. Adaptasi terhadap suhu dingin dan hangat berkaitan dengan karakter
periode dormansi yang lama atau pendek, perkembangan mikrosporogenesis
serbuk sari yang lambat selama periode pascadormansi, periode berbunga lambat,
sifat tahan beku dan autogami, (2) Menghasilkan tanaman dengan ideotipe buah
unggul. Beberapa karakteristik paling penting untuk pasar segar adalah ukuran
besar (lebih dari 60 g), penampilan menarik (warna kulit), daging renyah, tahan
terhadap keretakan kulit, dan pemasakan yang seragam. Untuk aprikot kaleng,
warna kulit oranye dan daging yang baik lebih disukai serta ukuran sedang yang
seragam, bentuk yang teratur, tekstur yang baik, kandungan gula yang tinggi,
sedikit keseimbangan dan gula asam yang baik. Untuk tujuan pengeringan,
padatan yang larut tinggi. (3). Menghasilkan tanaman tahan terhadap penyakit
dan kematian dini. Di ​​Eropa, tujuan utamanya adalah menghasilkan aprikot yang
resisten terhadap Sharka — PPV, European stone fruit yellows (ESFY), busuk cokelat
oleh Cytospora dan bakteri seperti Pseudonamas spp. dan Xantonomas spp. dan
kematian dini sebagai akibat dari faktor patologis dan lingkungan (Hormaza et al.,
2007; Krška, 2018).
Namun demikian, proses domestikasi dan seleksi tanaman dalam pemuliaan
berdampak pada keanekaragaman tanaman. Proses domestikasi dan seleksi
dapat berdampak pada hilangnya tanaman atau berkurangnya keanekaragaman
sifat tanaman. Secara umum, terdapat dua dampak utama domestikasi terhadap
keanekaragaman tanaman. Pertama, perubahan sifat yang dipilih untuk digunakan
manusia, disebut “sindrom domestikasi” yang menyebabkan tanaman tidak
dapat bereproduksi atau bertahan hidup tanpa campur tangan manusia. Kedua,
domestikasi dan seleksi pergeseran genetik melalui efek bottleneck. Efek bootleneck
terdeteksi dengan penanda mikrosatelit pada aprikot di Mediterania. Hilangnya
keragaman genetik yang signifikan terdeteksi dari kumpulan gen ‘Irano-Kaukasia’,
yang dianggap sebagai pusat diversifikasi sekunder, ke Cekungan Mediterania
utara dan barat daya (Bourguiba et al., 2012).
Prunus armeniaca L. 135
(Rosaceae)

VI. Aspek budidaya


Tanaman aprikot merupakan tanaman yang umumnya tumbuh pada daerah dengan
drainase baik dan air yang cukup. Aprikot rentan terhadap cekaman genangan dan
memiliki ketahanan sedang terhadap pH dan salinitas tinggi. Pada aspek budidaya,
USAID mengeluarkan panduan budidaya aprikot (USAID, 2016). Pemilihan varietas
didasarkan pada kesesuaian untuk zona pertumbuhan, periode pematangan buah,
warna yang bagus, ukuran buah, preferensi konsumen dan resistensi terhadap
penyakit dan hama. Tanaman aprikot tumbuh baik di zona beriklim temperate dan
membutuhkan periode dorman selama 300 - 800 jam (suhu di bawah 70 C) untuk
induksi pembungaan. Tanaman aprikot dapat ditanam dengan jarak tanam 5 x 5
m atau 6 x 6 m bergantung pada varietas yang digunakan. Pemangkasan dilakukan
dengan memotong cabang dan tunas secara selektif, yaitu memotong cabang yang
tidak produktif, mati, rusak atau rusak/berpenyakit dan menciptakan ruang untuk
penetrasi cahaya dan sirkulasi udara. Pemangkasan bertujuan untuk membantu
membentuk kanopi yang lebih baik. Pemangkasan ringan juga dapat dilakukan
setelah panen. Penjarangan buah dilakukan pada 40-45 hari setelah bunga mekar
atau saat buah berdiameter ¾ -1 inci. Pengairan didasarkan pada water holding
capacity tanah, curah hujan dan laju transpirasi tanaman. Penanggulangan gulma
dan hama dilakukan secara rutin. Hama utama aprikot adalah aphids, sedangkan
penyakit utama aprikot adalah shot hole dan Gummosis. Pemupukan disesuaikan
dengan kebutuhan tanaman. Tanaman aprikot membutuhkan enam belas elemen
penting untuk pertumbuhan: (1) Unsur makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan (2) unsur
mikro (boron, klorin, tembaga, besi, mangan, molibdenum, seng, dan nikel).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Aprikot memiliki peranan penting dalam pemenuhan nutrisi manusia. Umumnya,
aprikot dikonsumsi sebagai buah segar, aprikot kering, aprikot beku, selai, jeli,
selai, pure, jus, nektar, dll. Selain itu, biji aprikot digunakan dalam produksi
minyak, benzaldehyde, kosmetik, karbon aktif, dan parfum. Selain itu, aprikot juga
berperan dalam pemeliharaan kesehatan. Aprikot kaya akan mineral seperti kalium
dan vitamin seperti β-karoten, yang merupakan zat pro vitamin yang diperlukan
oleh jaringan epitel yang menutupi tubuh dan organ kita, kesehatan mata,
136 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

pengembangan tulang dan gigi. Selain itu, vitamin A memainkan peran penting
dalam reproduksi dan pertumbuhan fungsi tubuh kita, dalam meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi (Haciseferoǧullari, Gezer, Özcan, & Murat Asma,
2007).
Buah aprikot merupakan sumber karbohidrat yang kaya (baik mono dan
polisakarida), polifenol, karotenoid (ß-karoten), vitamin C dan K, tiamin, niasin, zat
besi, asam organik, fenol, dan senyawa volatil, benzaldehyde, ester, norisoprenoids,
dan terpenoid. Minyak biji aprikot dilaporkan mengandung cyanogenic glycoside
amygdalin (vitamin B17) yang jika dihidrolisis oleh enzim β-glukururididase dalam
lingkungan basa di dalam usus halus akan menjadi glukosa, benzaldehid, dan
asam hidrosianat dan diserap dengan cepat dan bersirkulasi dalam tubuh. Pure
mengandung total padatan (12,4 - 16,7%), padatan tidak larut (2,1 - 3,1%), asam
sebagai asam malat (0,7-2,2%), total gula sebagai gula invert (5,3-8,6%), glukosa
(3,2-4,8) %), fruktosa (1,4-4,25%), sukrosa (1,4-5,4%) dan tanin (0,06-0,10%) (Raj,
Jian, & Chaudhary, 2012).
Selain aspek nutrisi, kelebihan buah aprikot juga terletak pada kandungan
fitokimianya. Beberapa kandungan fitokimia penting dalam buah aprikot adalah
chlorogenic acid, caffeic acid, p-coumaric acid, ferulic acid, cinnamic acid, catechin,
epicatechin, quercetin 3-rutinoside, kaempferol 3-rutinoside, procyanidins,
flavonols, β-carotene, γ-carotene, β-cryptoxanthin, phytofluene, lutein dan
zeaxanthin. Komponen bioaktif tersebut telah terbukti secara farmakologis
efektif melawan gastritis kronis, kerusakan usus oksidatif, steatosis pada hati,
aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan pembentukan tumor (Ali et al., 2015).
Minyak biji aprikot baik yang pahit maupun manis menunjukkan aktivitas anti
bakteri terhadap bakteri Gram-positif Staphylococcus aureus dan bakteri Gram-
negatif Escherichia coli dan aktivitas anti jamur terhadap Candida albicans dan
Candida glabrate. Kandungan glikosida sianogenik (terutama amigdalin) dalam
biji dilaporkan dapat digunakan sebagai obat untuk pengobatan kanker. Di Inggris,
minyak biji aprikot digunakan melawan tumor, pembengkakan, dan bisul bahkan
sejak abad ketujuh belas (Raj et al., 2012).
Hingga saat ini, produk olahan aprikot telah banyak dipasarkan di Indonesia
dalam bentuk buah kering selai, jeli, dan pure. Namun demikian tanaman aprikot
belum dapat dibudidayakan di Indonesia karena keterbatasan varietas yang
mampu beradapasi di daerah tropis. Pengembangan varietas baru yang mampu
Prunus armeniaca L. 137
(Rosaceae)

beradaptasi terhadap suhu yang lebih hangat dan periode dormansi yang lebih
pendek hasil program pemuliaan (Hormaza et al., 2007; Krška, 2018) diharapkan
dapat digunakan untuk pengembangan aprikot di Indonesia.

Pustaka
1. Ali Khan, M., Maghuly, F., Borroto-Fernandez, E. G., Pedryc, A., Katinger, H.,
& Laimer, M. (2008). Genetic diversity and population structure of apricot
(Prunus armeniaca L.) from Northern Pakistan using simple sequence repeats.
Silvae Genetica, 57(3), 157–164. https://doi.org/10.1515/sg-2008-0024
2. Ali, S., Masud, T., Abbasi, K. S., Mahmood, T., Hussain, A., Shah, P. A., & Cell, Q.
E. (2015). Apricot: nutritional potentials and health benefits-a review. Annals.
Food Science and Technology, 16, 175–189.
3. Asma, B. M., Mısırlı, A., Bilgin, N. A., & Yanar, M. (2018). Apricot culture and
breeding studies in Turkey. In XXX International Horticultural Congress (pp.
15–21).
4. Badenes, M. L., & Byrne, D. H. (2012). Fruit breeding. Fruit Breeding. https://
doi.org/10.1007/978-1-4419-0763-9
5. Bourguiba, H., Audergon, J.-M., Krichen, L., Trifi-Farah, N., Mamouni, A.,
Trabelsi, S., … Khadari, B. (2012). Loss of genetic diversity as a signature of
apricot domestication and diffusion into the Mediterranean Basin. BMC Plant
Biology, 12(1), 49. https://doi.org/10.1186/1471-2229-12-49
6. Haciseferoǧullari, H., Gezer, I., Özcan, M. M., & MuratAsma, B. (2007). Post-
harvest chemical and physical-mechanical properties of some apricot varieties
cultivated in Turkey. Journal of Food Engineering, 79(1), 364–373. https://doi.
org/10.1016/j.jfoodeng.2006.02.003
7. Hormaza, J. I., Yamane, H., & Rodrigo, J. (2007). Apricot. In Genome Mapping
and Molecular Breeding in Plants, Volume 4 Fruits and Nuts (Vol. 4, pp. 171–
187).
8. Krška, B. (2018). Genetic apricot resources and their utilisation in breeding.
In Breeding and Health Benefits of Fruit and Nut Crops (pp. 63–82). InTech.
https://doi.org/10.5772/intechopen.77125
138 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

9. Liu, W., Liu, N., Zhang, Y., Yu, X., Sun, M., Xu, M., … Liu, S. (2012). Apricot
cultivar evolution and breeding program in China. Acta Horticulturae, 966,
223–228. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2012.966.35
10. Raj, V., Jian, A., & Chaudhary, J. (2012). Prunus armeniaca (Apricot): An
overview. Journal of Pharmacy Research, 5(8), 3964–3966.
11. Roussos, P. A., Denaxa, N. K., Tsafouros, A., Efstathios, N., & Intidhar, B. (2015).
Apricot (Prunus armeniaca L.). Nutritional Composition of Fruit Cultivars.
Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-408117-8.00002-7
12. Tian-Ming, H., Xue-Sen, C., Zheng, X., Jiang-Sheng, G., Pei-Jun, L., Wen, L.,
… Yan, W. (2007). Using SSR markers to determine the population genetic
structure of wild apricot (Prunus armeniaca L.) in the Ily Valley of West
China. Genetic Resources and Crop Evolution, 54(3), 563–572. https://doi.
org/10.1007/s10722-006-0013-5
13. Ugurtan, K., & Gurc, K. (2012). Genetic diversity in Apricot. Genetic Diversity in
Plants. https://doi.org/10.5772/33361
14. USAID. (2016). Best practices for production and marketing in Afganistan.
CHAMP Farm to Market Guide.
15. USDA. (2019). Classification for Kingdom Plantae Down to Species Prunus
armeniaca L. Retrieved June 25, 2019, from https://plants.usda.gov/java/Clas
sificationServlet?source=display&classid=PRAR3
16. Wikipedia. (2019). List of countries by apricot production. Retrieved June
25, 2019, from https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_apricot_
production
17. Zaurov, D. E., Molnar, T. J., Eisenman, S. W., Ford, T. M., Mavlyanova, R. F.,
Capik, J. M., … Goffreda, J. C. (2013). Genetic resources of apricots (Prunus
armeniaca L.) in Central Asia. HortScience, 48(6), 681–691.
18. Zhebentyayeva, T. N., Reighard, G. L., Gorina, V. M., & Abbott, A. G. (2003).
Simple sequence repeat (SSR) analysis for assessment of genetic variability
in apricot germplasm. Theoretical and Applied Genetics, 106(3), 435–444.
https://doi.org/10.1007/s00122-002-1069-z
Penulis:
Farida Yulianti dan Anang Triwiratno
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Prunus avium L.
(Rosaceae)

Protologue
Prunus avium (L.) L., Fl. Suec., ed. 2 (Linnaeus) 165 (1755).

Sinonim
• Prunus avium  subsp. durachina (L.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez,
Verde & F.Cano,  Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 306
(1997) (1997).
• Prunus avium  var. durachina Arechav., Anales Mus. Nac. Montevideo 3: 449
(1901).
• Prunus avium subsp. juliana (L.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde
& F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 310 (1997).
• Prunus avium subsp. juliana (L.) Schübl. & G.Martens, Fl. Wurtemberg (ed. 1)
311 (1834).
• Prunus avium var. macrocarpa (Ser.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez,
Verde & F.Cano,  Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 305
(1997) (1997). Prunus avium f. nigricans (Ehrh.) P.D.Sell, Fl. Gr. Brit. Ireland 2:
520 (2014).
• Prunus avium var. silvestris Kirschl., Fl. Alsace 1: 210 (1842).
• Prunus avium f. silvestris (Kirschl.) P.D.Sell, Fl. Gr. Brit. Ireland 2: 520 (2014).

Nama umum
Ceri (Indonesia), ceri (Melayu), seresa (Filipina), anh đào (Vietnam), chex r̒ rī̀
p̀ā (Thailand), cherry (Kamboja), cheli (Korea), kers (Belanda), bird cherry, sweet
cherry, wild cherry (Inggris), cerisier des oiseaux (Perancis), herzkirsche (Jerman),
ciliegio (Italia), seiyō-mizakura (Jepang), cerejeira (Portugis), cerezo (Spanyol).
140 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

I. Pendahuluan
Ceri termasuk dalam genus Prunus dalam famili Rosaceae. Genus Prunus
mencakup sekitar 430 spesies tumbuhan deciduous, evergreen, dan semak yang
tersebar luas di seluruh daerah beriklim sedang (temperate) (Vicente, Manganaris,
Cisneros-zevallos, & Crisosto, 2011). Tidak semua spesiesnya menghasilkan buah
yang dapat dimakan dan hanya digunakan untuk dekorasi (segi estetika). Beberapa
spesies lainnya ditanam secara komersil untuk produksi buah dan kacang (almond).
Sebagian besar spesies ini berasal dari Asia atau Eropa Selatan (Vicente et al.,
2011). Hingga saat ini terdapat lebih dari 30 spesies ceri asli Eropa dan Asia yang
telah diidentifikasi, namun hanya buah ceri yang berasal dari spesies Prunus avium
(ceri manis) dan Prunus cerasus (tart ceri/ceri asam) yang diperdagangkan secara
global (Blando & Oomah, 2019).
Ceri disebut sebagai sumber makanan untuk penghuni awal benua Eropa dengan
ditemukannya biji ceri dari sebuah gua dan diperkirakan berasal dari masa 4.000-
5.000 sebelum Masehi. Ceri juga dibudidayakan pada masa Kerajaan Yunani, sekitar
300 SM, dan beberapa abad sebelumnya untuk diambil kayunya. Orang-orang
Romawi memperkenalkan budidaya ceri di Inggris pada abad I (Iezzoni, 2008).
Produsen ceri utama dunia adalah Uni Eropa dengan total produksi 730 ribu ton
di tahun 2017 diikuti Turki dan Amerika Serikat dengan masing-masing produksi
sebanyak 525ribu ton dan 458ribu ton (Chepkemoi, 2017). Di Eropa, ceri manis
lebih banyak diproduksi di Eropa Barat dan ceri asam diproduksi di Eropa Timur.
Sementara di Amerika Utara, produksi ceri segar banyak di bagian barat laut
sedangkan ceri olahan diproduksi di Michigan (Iezzoni, 2008).
Ceri manis paling baik dikonsumsi dalam keadaan segar. Warna kulit dan daging
buah ceri bervariasi dari merah gelap hingga merah muda dan kuning. Ceri asam
digunakan untuk produk olahan dan biasanya digunakan pada pai, selai, jus dan
produk pastri. Ceri yang dikeringkan dengan biji yang sudah dibuang juga dapat
digunakan untuk salad dan makanan yang dipanggang (Iezzoni, 2008).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Ceri manis diklasifikasikan dalam Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas:
Magnoliopsida, Ordo: Rosales, Famili: Rosaceae, Subfamili: Prunoidea, Genus:
Prunus, Jenis: Prunus avium L. Ceri manis (Prunus avium) memiliki pohon yang
kuat/kokoh, batang pohon yang lurus (Russell, 2003; Welk, de Rigo, & Caudullo,
Prunus avium L. 141
(Rosaceae)

2016) dengan kanopi berbentuk piramida tegak yang mampu mencapai tinggi
hingga 50 kaki. Dalam kegiatan budidaya, ketinggiannya dipertahankan pada 12-
15 kaki (Gambar 31). Daunnya relatif besar (yang terbesar di antara spesies Prunus
yang dibudidayakan), berbentuk eliptik dengan tepian agak bergerigi dan ujung
berbentuk acute, memiliki petiol (tangkai daun), dan tulang daun yang tampak
jelas (Rieger, 2006). Warnanya hijau muda saat musim semi, hijau gelap saat
musim panas, lalu menguning, oranye-merah, merah scarlet atau pink saat musim
gugur (Welk et al., 2016).

Gambar 31. Kebun ceri di Belgia dengan tajuk tanaman yang dipertahankan
dengan ketinggian 3.5 - 4.5 m dalam sistem budidaya trellis. (foto:
oka_ardiana_banaty).

Bunga ceri manis berdiameter 2-2,5 cm (Welk et al., 2016), berwarna putih (Rieger,
2006; Russell, 2003; Welk et al., 2016) dengan tangkai bunga yang panjang dan
berada dalam gugusan kluster yang terdiri atas dua hingga lima bunga pada satu
cabang bunga (spurs) yang pendek (Rieger, 2006; Welk et al., 2016) (Gambar 32).
Cabang bunga ini mampu memproduksi bunga hingga 10-12 tahun.
142 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 32. Bunga ceri (foto: akhirta_atikana)

Berdasarkan letak bakal buahnya, bunga ceri termasuk dalam bunga perigynous
sebagaimana halnya karakteristik dari buah batu. Secara individu, bunga ceri
asam sama dengan bunga ceri manis yaitu bunga majemuk yang terdiri atas dua
hingga empat bunga pada satu cabang bunga dengan tangkai bunga yang panjang.
Cabang bunganya memiliki masa produktif yang lebih pendek dari ceri manis yaitu
tiga hingga lima tahun. Ceri manis berbunga lebih awal dari ceri asam. Ceri manis
berbunga sekitar akhir musim semi, sedang ceri asam memiliki waktu berbunga
yang lebih lambat (Rieger, 2006).
Bunga ceri manis tidak dapat menyerbuk sendiri karena bersifat self incompatibility
(SI) (Rieger, 2006; Russell, 2003; Welk et al., 2016), namun ada beberapa kultivar yang
dapat menyerbuk sendiri seperti kultivar Stella da Lapins. Selain self incompatibility,
ceri manis juga memiliki tingkat cross incompatibility yang tinggi. Terdapat sekitar
12 grup incompatibility ceri manis yang telah diidentifikasi. Tingginya tingkat
incompatibility ini dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas buah
sehingga dibutuhkan pollinizer untuk membantu proses penyerbukan. Pollinizer
diletakkan pada setiap pohon ketiga dalam setiap baris ketiga atau dengan rasio
8-9:1. Lebah madu adalah pollinator utama pada penyerbukan ceri manis. Tidak
seperti pada ceri manis, ceri asam bersifat self fertile sehingga tidak memerlukan
pollinizer (Rieger, 2006).
Ceri manis adalah buah berbiji/buah batu (drupe) dengan ukuran berkisar antara
½ - 1 ¼ inci, berbentuk bulat atau hati dan kulitnya tidak berbulu dengan tangkai
buah yang panjang (Gambar 33). Pada umumnya kulitnya berwarna merah tua
atau ungu (seringkali disebut sebagai hitam), kuning, atau putih (jarang). Buah
yang berwarna kuning seringkali memiliki semburat warna merah. Warna daging
Prunus avium L. 143
(Rosaceae)

buahnya bervariasi dari putih hingga merah gelap. Ceri adalah jenis stone fruit
yang paling awal masak dengan waktu masak 2-3 bulan setelah berbunga pada
sebagian besar kultivarnya. Sebagaimana ceri manis, ceri asam adalah buah berbiji/
buah batu (drupe). Ceri asam memiliki ukuran, bentuk dan waktu perkembangan
buah yang sama dengan ceri manis. Ceri asam memiliki kandungan asam organik
yang lebih tinggi dan memiliki kandungan gula yang lebih rendah dari ceri manis.
Pada umumnya sebagian besar kultivar ceri asam berwarna merah terang dan
menunjukkan variasi warna yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan ceri manis
(Rieger, 2006).

Gambar 33. Buah ceri manis (foto: oka_ardiana_banaty).

III. Asal dan distribusi geografis


Prunus avium muncul secara alami di seluruh kawasan hutan beriklim subtropis
di daerah Eropa, Anatolia, dan daerah yang berdekatan di Maghribi Afrika Utara,
dan Asia Barat. Wilayah distribusi meluas ke utara yaitu Kepulauan Inggris dan
Skandinavia selatan, di mana sulit untuk membedakan tanaman asli dari populasi
yang dinaturalisasi. Batas jangkauan alam utara mencapai 55o Lintang Utara. Di
selatan, rentang meluas ke Afrika Utara, Spanyol Selatan, Italia tengah, dan Balkan.
Di wilayah ini, ceri tumbuh terbatas pada populasi dataran tinggi yang lembap.
Bagian paling timur dari rentang distribusi termasuk Kaukasus dan pegunungan
Elburs di Iran Utara, di mana spesies ini dilaporkan terdapat hingga ketinggian
2.000 m. Di pegunungan Alpen ceri dapat ditemukan hingga 1.700 m dan mencapai
1.900 m di Prancis Tenggara (Welk et al., 2016).
144 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Secara umum, distribusi ceri, dilihat dari ketinggian tempat, membentang dari
dataran rendah hingga dataran tinggi (sub-montane). Di daerah pegunungan tinggi,
ceri liar sering tumbuh berupa semak belukar. Faktor pembatas untuk distribusi
ceri liar terutama terkait dengan curah hujan pada periode musim panas di selatan
dan kondisi yang lebih dingin di Eropa Utara dan Timur. Selain di daerah aslinya,
ceri ditanam secara luas dan berhasil tumbuh secara alami di habitat hutan gugur
dan tanah semak, terutama di daerah subtropis Asia Utara dan Amerika Utara
(Welk et al., 2016).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Kajian tentang genus Prunus (Liu et al., 2013) menyebutkan bahwa Genus Prunus
awalnya diklasifikasi oleh de Tournefort berdasarkan morfologi buah di mana
terdapat 6 subgenus terdiri atas Prunus, Armeniaca Miller, Cerasus Miller, Persica
Miller, Amygdalus L. dan Laurocerasus Tournefort ex Duh. Selanjutnya Linnaeus
membagi subgenus tersebut hanya menjadi dua, yaitu Amygdalus (termasuk
Persica Miller dan Amygdalus) dan Prunus (termasuk Prunus, Armeniaca Miller,
Cerasus Miller, Laurocerasus, dan subgenus tambahan Padus).

Gambar 34. Karakteristik bunga genus Prunus (Keterangan: putik tunggal dengan
satu kepala dan tangkai putik dengan satu bakal biji (warna biru dan
oranye) (foto : USDA)

Genus Prunus diidentifikasi dengan adanya kombinasi karakter berupa adanya


kelenjar pada daun, putik tunggal, kedudukan bakal buah menumpang (superior)
(Gambar 4), bentuk buah batu dan empulur yang padat. Ceri menempati subgenus
Prunus avium L. 145
(Rosaceae)

Cerasus di dalam genus Prunus yang membedakannya dari kerabat stone fruit yang
lain (plum, apricot, peach dan almond). Subgenus cerasus dibagi lagi menjadi tujuh
kelompok yang masing-masing terdiri atas dua hingga 10 spesies. Prunus avium
(ceri manis) dan Prunus cerasus (tart ceri/ceri asam) berada dalam satu kelompok
yang sama (Rieger, 2006). Prunus avium memiliki kromosom 2n=16 sedangkan
Prunus cerasus adalah tetraploid 2n=32.
Karakterisasi morfologi merupakan langkah awal dalam pendeskripsian dan
klasifikasi plasma nutfah, termasuk diversitas. Studi pada pada plasma nutfah ceri
liar di Serbia (Rakonjac, Mratinić, Jovković, & Fotirić Akšic, 2014) menunjukkan
adanya keragaman pada 33 aksesi yang diamati dengan variasi tertinggi pada
karakter kualitatif berkaitan dengan warna eksternal dan internal buah (termasuk
kulit, daging buah dan warna jus). Untuk karakter kuantitatif, variasi tertinggi
ditunjukkan oleh berat buah dan biji. Sementara itu evaluasi kuantitatif dan
kualitatif terhadap koleksi ceri di bank plasma nutfah Portugal (Rodrigues, Morales,
Fernandes, & Ortiz, 2008) menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara ceri
manis dan asam, dengan variabilitas yang lebih nyata dalam kelompok ceri manis
yang mungkin disebabkan oleh proses domestikasi yang lebih intens.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Pada tanaman berbunga, sistem self incompatibility (SI) menjadi salah satu metode
untuk mencegah pernyerbukan sendiri sehingga berperan dalam menghindari
tekanan inbreeding (Vieira, Ferreira, Aguiar, Fonseca, & Vieira, 2010). Mekanisme
SI dikontrol oleh multialel pada lokus S yang mencegah terjadinya penyerbukan
sendiri di mana putik dapat menolak serbuk sari dari individu tanaman yang
berkerabat dekat. Proses evolusi dari Genus Prunus salah satunya dapat diamati
dari evolusi dari alel S dengan diperolehnya 33 spesifisitas dari sampel yang
diamati. Genus Prunus disebut mengalami proses trans-spesifik evolusi yaitu alel
dari satu spesies lebih dekat ke alel spesies lain daripada alel dari spesies yang
sama (Vieira et al., 2008).
Perubahan ukuran populasi dapat menjadi salah satu sebab hilangnya alel S karena
jumlah alel yang dapat dipertahankan dalam populasi tersebut bergantung pada
ukuran populasi yang efektif. Oleh karena itu, dengan membandingkan jumlah
spesifitas pada Genus Prunus dan nenek moyangnya terdapat indikasi terjadinya
146 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

perubahan ukuran populasi (leher botol pupulasi) pada sejarah evolusi Genus
Prunus. Nenek moyang Genus Prunus yang paling dekat diasumsikan setidaknya
memiliki 64 spesifisitas (Vieira et al., 2008).

VI. Aspek budidaya


Pohon ceri paling baik ditanam di tanah dalam, drainase baik, berkerikil hingga
lempung berpasir. Aerasi yang baik sangat penting dalam menunjang sistem
perakaran ceri yang luas. Tanah tergenang atau basah dan dominan liat dapat
memperlambat pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman (Rieger,
2006). Tanaman ceri memiliki toleransi yang luas terhadap pH tanah (5,5-8,5),
namun lebih menyukai kondisi tanah yang sedikit asam (Russel, 2003).
Ceri manis lebih baik ditanam di daerah dengan iklim yang dingin dan kering di
mana bahaya embun beku pada musim semi (spring frost) terbatas, tekanan
penyakit berkurang, dan hujan tidak turun pada saat panen (Rieger, 2006).
Tanaman ini cukup tahan terhadap musim dingin yang kuat, namun bunganya
dapat rusak oleh spring frost (Russel, 2003). Penyakit, suhu dan kelembapan yang
tinggi membuat budidaya ceri manis sangat sulit. Suhu panas yang intens selama
fase pembentukan dan perkembangan bunga menyebabkan terbentuknya bakal
buah ganda sehingga dapat memicu pembuahan yang berlipat (meningkatakan
produksi). Ceri asam baik di tanam di daerah dengan iklim lebih dingin dan lembap
(Rieger, 2006).
Baik ceri manis maupun ceri asam memiliki syarat berada pada suhu dingin yang
cukup tinggi, yaitu sekitar 1.000-1.500 jam. Hal ini menghalangi produksi di daerah
dengan iklim yang lebih hangat. Ceri asam lebih toleran terhadap hawa dingin
daripada ceri manis. Hujan dan kelembapan yang tinggi selama musim tanam
terutama saat berbunga atau panen adalah faktor pembatas terjadinya serangan
penyakit yang disebabkan oleh jamur dan dapat mengakibatkan kerusakan
(kematian) bunga atau tunas dan busuk buah. Turunnya hujan terutama pada
masa panen sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kondisi yang disebut
dengan pecah buah. Oleh karena itu sebagian besar ceri manis ditanam di daerah
beriklim kering. Selain itu hujan dan kelembapan yang tinggi saat mendekati
masa panen juga memperparah serangan busuk cokelat (brown rot) yang sangat
merusak ceri (Rieger, 2006).
Prunus avium L. 147
(Rosaceae)

Perbanyakan ceri dilakukan dengan cara melakukan grafting (T budding) batang


atas (scion) pada batang bawah (rootstock) selama musim panas untuk kemudian
ditanam pada musim selanjutnya. Sampai tahun 1990 terdapat 2 tipe rootstock
utama untuk ceri yaitu Mazzard dan Mahaleb. Mazzard adalah hasil seleksi ceri
manis liar yang menghasilkan pohon yang besar dan kuat sedangkan Mahaleb
merupakan spesies berbeda (Prunus mahaleb) yang tumbuh dengan sangat baik
di tanah dengan drainase yang baik. Di Amerika, Mazzard dijadikan rootstock
untuk sebagian besar ceri manis dan Mahaleb untuk ceri asam. Perbanyakan
keduanya dilakukan baik dengan biji maupun dengan cara klonal. Saat ini telah
dikembangkan beberapa jenis rootstock dengan karakter dwarf, cepat dewasa
(berbuah) dan memiliki efisiensi hasil yang tinggi seperti seri Gisela/Geissen
(Rieger, 2006). Penyebaran biji ceri dilakukan oleh burung-burung, terutama
merpati, jalak dan burung jay juga oleh mamalia kecil. Dormansi biji biasanya
terjadi untuk satu musim dingin tetapi dapat bertahan hingga dua tahun. Tingkat
perkecambahan benih yang disimpan dapat ditingkatkan dengan menerapkan cold
and warm stratification (perlakuan suhu). Ceri juga sering beregenerasi dengan
tunas adventif akar yang membentuk rumpun pohon yang rapat (Russell, 2003).
Ceri manis dapat tumbuh sangat besar, sehingga jumlah pohon per hektarenya
hanya sedikit saja. Ceri dengan rootstock standar dapat ditanam dengan kerapatan
sekitar 100 tanaman per hektare. Ceri dapat ditanam dengan kerapatan lebih
(ratusan tanaman per hektare) bila menggunakan rootstock Gisela. Pollinizer dapat
tersebar di seluruh area pertanaman. Sebagai contoh pada pohon ketiga di setiap
baris ketiga (rasio 8:1) atau dalam satu baris berseling dengan kultivar utamanya.
Untuk produksi buah segar, penanaman pollinizer yang berpencar-pencar/tersebar
bukan merupakan masalah karena panen dilakukan dengan tangan.
Pohon ceri membutuhkan pemangkasan paling sedikit bila dibanding pohon buah
yang lain. Hal ini karena buahnya dihasilkan oleh cabang buah yang berumur
panjang di mana semua titik berbuahnya dibutuhkan untuk produksi penuh.
Selama masa pertumbuhan vegetatif dan tanaman belum menghasilkan, beberapa
tajuk dorman diperlukan untuk mendorong percabangan karena pohon yang
masih muda menghasilkan cabang scaffold (cabang utama yang membetuk kanopi
pohon) yang vertical, sukulen dan panjang. Sebaliknya, cabang yang mati atau
mengganggu diambil secara rutin dan hanya 10% dari cabang buah (fruiting wood)
yang diperbarui setiap tahun.
148 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Hama yang menyerang tanaman ceri yaitu kutu (aphid) ceri hitam, lalat buah ceri/
lalat buah ceri hitam, plum curculio, kutu sisik, ngengat buah oriental, dan tungau.
Selain hama terdapat pula beberapa penyakit yang seringkali dijumpai menyerang
tanaman ceri di antaranya ialah busuk cokelat/hawar bunga, bercak daun ceri,
embun tepung, kanker tahunan, kanker bakteri, dan virus.
Secara tradisional, perubahan warna dan kandungan padatan terlarut (soluble
solid) digunakan sebagai tanda kemasakan. Kandungan padatan terlarut pada ceri
manis yang telah masak mendekati 23%. Akhir-akhir ini food removal force sering
digunakan untuk memprediksi kemasakan dan lebih dapat dipercaya. Pengukuran
ini didasarkan pada absisi progresif buah dari pedicel dimulai sekitar 2 minggu
sebelum masak. Buah ditarik dari pedicel dan diukur dengan menggunakan alat
pengukur gaya tarik untuk mengukur gaya yang diperlukan untuk memindahkan
buah dari pedicel. Baik ceri manis maupun ceri asam termasuk buah non
klimaterik.
Ceri manis untuk konsumsi segar dipanen dengan tangan bersama dengan gagang
buahnya. Pemanenan dilakukan pada fase buah masak namun masih keras untuk
mengurangi kerusakan pada buah. Ceri manis yang dipanen untuk olahan juga
dipanen dengan menggunakan tangan, namun tidak bersama gagang buahnya.
Pemanenan ceri asam untuk olahan, dilakukan dengan menggoyangkan pohon
ceri ketika masak. Dua alat yang diperlukan untuk memanen yaitu penggoyang
batang pohon (trunk shaker) untuk mencengkeram dan menggoyang pohon dan
bingkai penangkap (catch frame) untuk menangkap dan menyalurkan buah yang
jatuh ke dalam conveyor untuk dikumpulkan. Seluruh pohon dipanen dalam waktu
beberapa detik. Senyawa ethepon (senyawa pelepas ethylene) diaplikasikan 2
minggu sebelum panen untuk mengurangi pengambilan buah secara paksa dan
untuk meningkatkan prosentase buah yang akan dipanen. Batang pohon sering
kali rusak karena alat panen, jika tidak digunakan dengan benar. Pohon yang
mengalami pertumbuhan yang cepat lebih cenderung mengalami kerusakan.
Baik ceri manis maupun ceri asam memiliki umur simpan yang sangat pendek
sehingga harus ditangani dengan hati-hati untuk mengurangi memar dan oksidasi.
Untuk prosesing, ceri asam dimasukkan ke dalam air dingin segera setelah panen.
Kemudian segera dipindahkan ke pabrik pengolahan di mana akan dilakukan
proses pencucian, pembuangan batang buah, pengambilan biji, dan pengemasan
untuk dibekukan. Semua dilakukan hanya dalam hitungan jam setelah panen.
Prunus avium L. 149
(Rosaceae)

Ceri manis didinginkan atau dimasukkan ke dalam air dingin oleh pemetik dan
dikemas dalam wadah pengemasan setelah disortir berdasarkan warna dan
ukurannya. Seringkali besarnya 15 atau 16 inci atau lebih. Pengiriman untuk
pemasaran dilakukan segera setelah pengemasan dan untuk buah ekspor seringkali
melalui jalur udara.
Umur simpan ceri segar hanya beberapa hari dalam suhu ruang dan hingga 3
minggu pada suhu 32 F (0 0C). Ceri manis dapat disimpan lebih lama daripada
ceri asam. Ceri asam yang dikalengkan atau dibekukan dapat disimpan selama
beberapa bulan. Ceri adalah subjek bagi penyakit pascapanen yang sama (brown
rot, grey mold, blue mold, Rhizopus, Alternaria, dll) sebagaimana stone fruit yang
lain. Ceri tidak sensitif terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh suhu dingin
(chilling injury).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Buah ceri telah dijadikan sumber makanan bagi manusia selama ribuan tahun. Ceri
banyak dibudidayakan di daerah beriklim sedang di seluruh dunia untuk diambil
buahnya. Ceri manis biasanya dikonsumsi dalam bentuk buah segar ataupun dalam
bentuk olahan (dikeringkan, dibuat maraschino, dll). Ceri asam dikonsumsi dalam
bentuk olahan yaitu dengan cara dikalengkan atau dibekukan untuk kemudian
digunakan sebagai fiiling dalam pembuatan kue atau dibuat selai maupun jeli.
Selain itu ceri asam juga diolah dengan cara dikeringkan (Janick, 2005). Penduduk
lokal di barat laut Anatolia terbiasa menggunakan ceri manis baik sebagai makanan
maupun obat-obatan. Di Turki, tangkai buah ceri manis liar direbus dalam air dan
dijadikan sebagai obat diuretic dan penyakit kandung kemih. Selain dikonsumsi
manusia, ceri juga memilili peran penting dalam ekosistem hutan sebagai sumber
makanan bagi burung, mamalia dan serangga (Ercisli et al., 2011).
Buah ceri merupakan sumber sejumlah vitamin dan mineral. Warna merah atau
ungu pada ceri disebabkan oleh kandungan antosianin. Antosianin merupakan
salah satu golongan senyawa flavonoid yang merupakan fenolat makanan yang
bersifat antioksidan (Verma, 2015). Buah ceri juga mengandung senyawa bioaktif
yang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan (Chockchaisawasdee, Golding,
Vuong, Papoutsis, & Stathopoulos, 2016).
150 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Selain sebagai buah konsumsi, pohon ceri juga merupakan salah satu pohon
berkayu yang sangat penting di Eropa. Pohon ceri memiliki kayu yang solid, padat
dan banyak dicari untuk pembuatan panel dan kabinet serta cocok untuk produksi
parket lantai dan alat musik). Saat ini, kegunaan utama dari kayu ceri adalah
sebagai bahan produksi veneer. Selain penggunaannya untuk estetika, pohon
ceri juga merupakan sumber makanan penting bagi banyak spesies burung dan
serangga (Ducci, Cuyper, Rogatis, Dufour, & Santi, 2013).
Ceri adalah salah satu tanaman buah yang cukup dikenal di Indonesia. Buah
ceri biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan kue atau sebagai hiasan
pada makanan ataupun minuman. Buah ceri pada umumnya dijual dalam bentuk
olahan yaitu berupa maraschino atau buah kaleng. Ceri segar maupun olahan yang
tersedia di Indonesia adalah produk impor.
Ceri merupakan tanaman asli daerah subtropis, namun demikian tidak menutup
kemungkinan buah ceri dapat ditanam di Indonesia yang beriklim tropis. Indonesia
memiliki beberapa tanaman introduksi yang berasal dari daerah subtropis dari
famili Rosaceae yang mampu beradaptasi dengan baik di iklim Indonesia seperti
apel (Malus sp.) sehingga tidak menutup kemungkinan ceri pun bisa berkembang
dengan baik di Indonesia.

Pustaka
1. Blando, F., & Oomah, B. D. (2019). Trends in food science & technology sweet
and sour cherries : Origin, distribution, nutritional composition and health
benefits. Trends in Food Science & Technology, 86(February), 517–529. https://
doi.org/10.1016/j.tifs.2019.02.052
2. Chepkemoi, J. (2017). The Leading Producers Of Cherries In The World -
WorldAtlas.com. Retrieved August 26, 2019, from https://www.worldatlas.
com/articles/the-leading-producers-of-cherries-in-the-world.html
3. Chockchaisawasdee, S., Golding, J. B., Vuong, Q. V, Papoutsis, K., &
Stathopoulos, C. E. (2016). Trends in food science & technology sweet cherry :
Composition, postharvest preservation, processing and trends for its future
use. Trends in Food Science & Technology, 55, 72–83. https://doi.org/10.1016/j.
tifs.2016.07.002
Prunus avium L. 151
(Rosaceae)

4. Ducci, F., Cuyper, B. De, Rogatis, A. De, Dufour, J., & Santi, F. (2013). Chapter
10 Wild Cherry Breeding (Prunus avium L.). https://doi.org/10.1007/978-94-
007-6146-9
5. Ercisli, S., Agar, G., Yildirim, N., Duralija, B., Vokurka, A., & Karlidag, H. (2011).
Genetic diversity in wild sweet cherries (Prunus avium) in Turkey revealed
by SSR markers. Genetics and Molecular Research : GMR, 10(2), 1211–1219.
https://doi.org/10.4238/vol10-2gmr1196
6. Iezzoni, A. F. (2008). Cherries. In Temperate Crop Breeding (pp. 151–176).
Michigan.
7. Liu, X. L., Wen, J., Nie, Z. L., Johnson, G., Liang, Z. S., & Chang, Z. Y. (2013).
Polyphyly of the Padus group of Prunus (Rosaceae) and the evolution of
biogeographic disjunctions between eastern Asia and eastern North America.
Journal of Plant Research, 126(3), 351–361. https://doi.org/10.1007/s10265-
012-0535-1
8. Rakonjac, V., Mratinić, E., Jovković, R., & Fotirić Akšic, M. (2014). Analysis of
morphological variability in wild cherry (Prunus avium L.) genetic resources
from central Serbia. Journal of Agricultural Science and Technology, 16(1),
151–162.
9. Rieger, M. (2006). Introduction to Fruit Crops. New York: Haword Food and
Agricultural Product Press.
10. Rodrigues, L. C., Morales, M. R., Fernandes, A. J. B., & Ortiz, J. M. (2008).
Morphological characterization of sweet and sour cherry cultivars in a
germplasm bank at Portugal. Genetic Resources and Crop Evolution, 55(4),
593–601. https://doi.org/10.1007/s10722-007-9263-0
11. Russell, K. (2003). Technical guidelines for genetic conservation and use wild
cherry (Prunus avium). Euforgen, 6.
12. Verma, M. K. (2015). Cherry production Technology, (January 2014).
13. Vicente, A. R., Manganaris, G. A., Cisneros-zevallos, L., & Crisosto, C. H. (2011).
Prunus. In L. A. Terry (Ed.) (pp. 238–259). CABI International.
14. Vieira, J., Ferreira, P. G., Aguiar, B., Fonseca, N. A., & Vieira, C. P. (2010).
Evolutionary patterns at the RNase based gametophytic self - Incompatibility
system in two divergent Rosaceae groups (Maloideae and Prunus). BMC
Evolutionary Biology, 10(1). https://doi.org/10.1186/1471-2148-10-200
152 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

15. Vieira, J., Fonseca, N. A., Santos, R. A. M., Habu, T., Tao, R., & Vieira, C. P.
(2008). The number, age, sharing and relatedness of S-locus specificities
in Prunus. Genetics Research, 90(1), 17–26. https://doi.org/10.1017/
S0016672307009044
16. Welk, E., de Rigo, D., & Caudullo, G. (2016). Prunus avium in Europe:
distribution, habitat, usage and threats. In A. San-Miguel-Ayanz, J., de Rigo,
D., Caudullo, G., Houston Durrant, T., Mauri (Ed.), European Atlas of Forest
Tree Species (pp. 140–141). Luxembourg, EU.
Penulis :
Tiffani Nindya Arisanti dan Baiq Dina Mariana
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Prunus persica (L.) Batsch
(Rosaceae)

Protologue
Prunus persica (L.) Batsch -- Beytr. Entw. Pragm. Gesch. Nat. Reiche .1. 1801

Sinonim
• Prunus persica Stokes, Bot. Mat. Med. iii. 100. (1812).
• Prunus persica (L.) Batsch, Beytr. & Entwurfe Pragm. Gesch. Naturr. 30 (1801);
cf. E. H. Wilson in Journ.Arn. Arb. 1927, viii. 125.
• Prunus persica var. aposarca Burkart, Darwiniana 17: 451 (1972).
• Prunus persica  subsp.  davidiana  (Carrière) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 299 (1997) (1997).
• Prunus persica  subsp. davidiana (Carrière) Dippel, Handb. Laubholzk. 3: 606
(1893).
• Prunus persica  subsp.  domestica  (Risso) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 293 (1997) (1997).
• Prunus persica  subsp. ferganensis Kostina & Rjabov, Trudy Prikl. Bot., Ser. 8,
Polodovye Jagodnye Kul’t. 1: 323 (1932).
• Prunus persica subsp. floriplena Burkart, Darwiniana 17: 447 (1972).
• Prunus persica  var.  nucipersica  (Suckow) C.K.Schneid.,  Illustriertes
Handw?rterbuch der Botanik (1905).
• Prunus persica  subsp.  nucipersica  (Suckow) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 296 (1997).
154 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

• Prunus persica  var. nucipersica (Suckow) C.K.Schneid., Ill. Handb. Laubholzk.


[C.K.Schneider] 1(5): 594 (1906).
• Prunus persica  subsp. nucipersica (Suckow) Dippel, Handb. Laubholzk. 3: 606
(1893).
• Prunus persica  var.  persica  (L.) Batsch,  Illustriertes Handw?rterbuch der
Botanik (1905).
• Prunus persica  subsp.  platycarpa  (Decne.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 298 (1997) (1997).
• Prunus persica  subsp.  vulgaris  (Mill.) Dippel,  Handb. Laubholzk. 3: 605
(1893).

Nama Umum
Persik (Indonesia), momo (Jepang), malum persicum (Romawi kuno), Persian plum
(Inggris), khukh (Mesir).

I. Pendahuluan
Persik adalah salah satu buah yang paling bervariasi dari semua spesies buah-
buahan. Ada beberapa tipe buah persik berdasarkan bentuknya (bulat, lonjong,
pipih dengan daging buah berwarna putih, merah, atau kuning; dengan daging
buah yang lengket dan tidak lengket; dan kulit dengan berbulu halus dan tidak
(Faust & Timon, 2010). Biji buah persik ada yang manis dan pahit. Bentuk bunganya
besar, sedang atau kecil dengan bunga tunggal atau ganda yang sering mekar pada
awal musim semi. Persik dikenal sebagai buah musim panas yang lezat dan sehat di
sebagian besar daerah beriklim sedang di seluruh dunia. Buah ini memang mudah
rusak tetapi dengan penanganan yang profesional sejak di petani, buah persik
mampu menjadi buah meja favorit (Layne & Bassi, 2008). Produksi buah persik
dunia mencapai 24,7 juta ton, dan sebagai produsen utama buah persik di dunia
yaitu China (57,9%), Spanyol (7,3%), Italia (5,1%), Yunani (3,8%), Amerika serikat
(3,1%), Turki (3,1%), Iran (1,7%), Mesir (1,5%), Chile (1,3%) dan Korea Selatan
(1,2%), serta negara lainnya 14% (FAO, 2017).
Prunus persica (L.) Batsch 155
(Rosaceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Nama botani persik (Prunus persica (L.) Batsch) mengacu pada negara yang diduga
merupakan asal buah ini yaitu Persia (sekarang Iran), dan Linnaeus (1758) adalah
orang yang pertama menyebutkan spesies ini (Amygdalus persica). Pada abad
ke-19 mulai mengemuka pendapat bahwa asal geografis buah persik berasal dari
Timur Jauh (barat China) yang akhirnya diakui oleh banyak ahli dunia (Hedrick,
Howe, Taylor, & Tubergen, 1917); catatan tertulis persik dengan bukti domestikasi
arkeologis setidaknya dapat dilacak sejauh 3000 SM (Zai Long, 1984).
Argumen tentang nama ilmiah persik akhirnya ditetapkan oleh klasifikasi Bailey
and French (1932) yang mengelompokkan semua stone fruits di bawah genus
Prunus. Bailey and French (1932) menyatakan tidak rasional bila klasifikasi spesies
persik hanya berdasarkan pada ciri-ciri morfologi buah secara eksklusif. Akibatnya,
klasifikasi spesies berdasarkan sifat buah atau kebiasaan pertumbuhan pohon
harus dianggap sebagai upaya awal, sebelum hukum Mendel mencerahkan sifat
intraspesifik dari sifat-sifat yang diwarisi secara tunggal. Spesies persik yang
diklasifikasikan di bawah Amygdalus subgenus dalam genus Prunus dan termasuk
dalam subfamili Prunoideae dari Rosaceae yang dibedakan dari subgenera lain oleh
kulit biji bergelombang (Hesse, 1975). Taksonomi persik yaitu kerajaan: Plantae,
divisi: Magnoliophyta, kelas: Magnoliopsida, ordo: Rosales, famili: Rosaceae,
genus: Prunus, dan spesies: P. persica.

Gambar 35. Aneka warna bunga persik (foto: zainuri_hanif).


156 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Prunus davidiana (Carr.) Franch. adalah spesies liar asli China timur laut. Spesies
persik ini biasa digunakan sebagai batang bawah. Keunggulannya sebagai batang
bawah yaitu toleransi terhadap kekeringan, meskipun sangat sensitif terhadap
nematoda. Asesi spesies ini telah dihibridisasi dengan persik untuk meningkatkan
ketahanan penyakit pada kultivar batang atas plum cacar, embun tepung, keriting
daun, dll atau untuk mengembangbiakkan batang bawah interspesifik yang dapat
beradaptasi dengan tanah marginal atau untuk masalah penanaman kembali
(Moing, Poëssel, Svanella-Dumas, Loonis, & Kervella, 2003).
Prunus ferganensis (Kost. Dan Rjab) Kov. & Kost. adalah bentuk liar yang ditemukan
di China barat yang diklasifikasikan sebagai subspesies P. persica; variabilitas
yang luas dalam hal jenis buah dapat ditemukan (persik kuning dan daging putih,
nektarin, dll.); daun memiliki urat paralel dan ada alur paralel di biji, keduanya
mempunyai sifat Mendel tunggal, benih bebas cyanogenik glikosida (tidak pahit).
Hal ini membuatnya memiliki ketahanan terhadap embun tepung. (W. R. Okie &
Rieger, 2003).
Prunus kansuensis Rehd. adalah spesies liar yang ditemukan di China timur laut,
juga digunakan sebagai batang bawah di China. Spesies ini pohonnya lebat dengan
kuncup musim dingin yang gundul, mekar lebih awal, meskipun demikian bunga ini
dianggap agak tahan terhadap embun beku (Meader dan Blake, 1939); daunnya,
terutama epitel ditutupi dengan vili sepanjang pelepah dekat pangkal, terluas
di bawah bagian tengah; lebih panjang dari benang sari. Prunus mira Koehne
adalah spesies liar yang ditemukan di China barat (Tibet timur); pohonnya dapat
mencapai tinggi (hingga 20 m) dan berumur panjang, hingga 1.000 tahun, daunnya
lanset, bunganya putih (Y. Wang, Reighard, Scorza, Jenkins, & Line, 2003). Buahnya
sangat bervariasi dalam bentuk, warna, dan ukuran; bijinya halus, meskipun dalam
beberapa jenis menyerupai P. persica. Beberapa bentuk dibudidayakan di Tibet
dan juga digunakan sebagai batang bawah di beberapa daerah di India. Spesies
terkenal sebagai nenek moyang P. persica, yang telah menyebar ke selatan dan
timur dari pegunungan Himalaya (R. Scorza & Okie, 1991).
Prunus persica (L.) Batsch 157
(Rosaceae)

Gambar 36. Biji buah persik (foto: Sara Cervera on Unsplash)

III. Asal dan distribusi geografis


Persik (Prunus persica L.) adalah tanaman asli Tiongkok dan telah dibudidayakan
di China selama 4.000 hingga 5.000 tahun terakhir (Ahmad et al., 2011; Maynard,
2008). Persik terkait dengan lima spesies liar: Prunus mira Koehne, Prunus
davidiana Franch, Prunus davidiana var. potaninii Rehd., Prunus kansuensis Rehd.,
dan Prunus ferganensis Kost. & Riab. Spesies ini menghasilkan buah yang lebih baik
untuk olahan dan tidak dikonsumsi langsung sebagai buah meja, meskipun spesies-
spesies ini bisa berharga sebagai sumber tanaman yang lebih tahan penyakit atau
sebagai batang bawah (K. Cao et al., 2014).
Faust and Timon (2010) memberi rincian kemungkinan genetik dan asal geografis dan
penyebaran buah persik dan spesies terkait. Mempertimbangkan sejarah panjang
budidaya buah persik, spesies dan perannya terus berkembang di beberapa negara
selama berabad-abad, banyak peneliti mencoba mengklasifikasikan spesies dan
bentuk terkait. Pada awalnya almond dan persik diklasifikasikan di bawah spesies
yang sama, tetapi kemudian diklasifikasikan sebagai terpisah entitas meskipun
mungkin berasal dari leluhur diduga sama. Asal geografis yang berdekatan dapat
menjelaskan hipotesis ini: Persik adalah tanaman asli dari Cekungan Tarim di utara
pegunungan Kun Lun, sedangkang almond adalah tanaman asli di selatan gunung
yang sama (di samping perbatasan utara Afghanistan dan Pakistan).
Perkembangan persik ke arah barat telah membawanya ke Persia (Iran) di Abad
ke-2 sampai ke-1 SM, tak lama sebelum abad kedatangan pasukan Romawi. Para
pelajar Latin menyebutkan Persik sampai di Italia pada abad ke-1 SM. Persik
158 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

‘Gallik’, dijelaskan berasal dari Prancis, menjelaskan kemungkinan kedua yaitu


kedatangan tanaman ini secara independen ke Eropa. Dengan demikian, buah
persik bisa mencapai Prancis melalui rute Balkan hampir bersamaan ke jalurnya
yang tiba di Italia, di sepanjang sungai Danube dan wilayah Laut Hitam. Selain itu,
di Abad Pertengahan, Prancis menjadi kemungkinan titik asal persik kedua utama
setelah China, menurut banyak catatan. Persik dibawa ke benua Amerika dalam
dua gelombang yang berbeda. Pertama dipimpin oleh orang-orang Spanyol, mulai
di Amerika Tengah dari paruh pertama abad ke-16. Di utara Amerika, buah persik
kemudian dibudidayakan oleh penduduk asli dan diperbanyak dengan biji (Layne
& Bassi, 2008).
Pengenalan awal di Amerika telah diberikan ke banyak tuan tanah, sebagian besar
menampilkan buah yang tidak meleleh. Beberapa masih dibudidayakan untuk pasar
segar lokal atau bahkan dieksploitasi sebagai sumber berharga untuk sifat-sifat
menarik seperti ‘Evergreen’ dan ketahanan terhadap penyakit, misalnya embun
tepung atau karat (Diaz, 1974). Menariknya, bahkan sampai hari ini, kultivar lokal
yang tidak meleleh sangat populer untuk pasar segar di selatan Eropa (Yunani,
Italia selatan, dan Spanyol). Gelombang kedua pengenalan buah persik di AS adalah
impor langsung dari China pada tahun pertengahan 1850-an, ketika ‘Chinese Cling’
ditanam di Delaware Experimental Station. Pohon ini berasal ‘Elberta’, salah satu
nenek moyang utama dari kultivar modern yang tumbuh di Amerika Serikat dan di
tempat lain di Amerika Serikat yang menjadi sentra utama tanaman buah persik
(W. Okie, Ramming, & Scorza, 1985).
Perkembangan alami persik terjadi dengan biji. Tanaman persik menyebar dari asal
lokasi di Tiongkok ke seluruh penjuru dunia karena peran manusia yang tertarik
membudidayakannya. Perkembangan yang cepat dalam budidaya buah muncul di
Eropa selama revolusi industri abad ke-16, ketika kelas menengah ke atas mulai
tumbuh dan memperoleh kekayaan besar, kemudian mulai berkebun. Banyak
kultivar dilepaskan selama periode ini oleh pemulia tanaman buah-buahan yang
aktif seperti John Rivers. Banyak dari kultivar ini dilepaskan sebagai klon, meskipun
banyak juga yang mungkin telah didistribusikan dari biji. Pemuliaan persik dimulai
sekitar 100 tahun yang lalu di koloni Amerika Utara, menggunakan dua sumber
utama plasma nutfah, bibit alami dari Amerika Serikat bagian tenggara dan
Meksiko, dan kultivar berasal dari Inggris. Sampai Revolusi Amerika, buah persik
sebagian besar diproduksi di tegakan semai dengan buah yang kecil dan lengket.
Prunus persica (L.) Batsch 159
(Rosaceae)

Pohon tunas pertama ditawarkan untuk dijual oleh Robert Prince di Long Island
tepat sebelum Perang Revolusi dan oleh John Kenrick dari Massachusetts pada
1790-an (Hancock, Scorza, & Lobos, 2008; Hedrick, 1950).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Persik (Prunus persica L.), adalah anggota Rosaceae. Spesies tanaman Rosaceae
lainnya yaitu ceri, aprikot, prem, almond, stroberi, raspberry, dan mawar (Ahmad
et al., 2011). Persik adalah tanaman model untuk keluarga Rosaceae karena
ukuran genomnya yang kecil ~ 230 Mb dengan delapan kromosom haploid (Pozzi &
Vecchietti, 2009). Sejumlah peta penanda molekuler telah dihasilkan untuk spesies
Prunus, beberapa dengan cakupan yang cukup lengkap dari semua kromosom.
Delapan peta persik, dijelaskan oleh Zhebentyayeva et al. (2008) dan Sosinski et
al. (2009), semuanya menggunakan penanda kelas yang berbeda. Dalam banyak
kasus kurang lebih dari 220 penanda telah dipetakan pada masing-masing peta
buah persik, untuk interval penanda rata-rata 0,82 Mb. Tambahan penanda
diperlukan untuk generasi pemetaan dan penemuan gen selanjutnya di kandidat
daerah bunga.
Seperti banyak tanaman buah pohon lainnya, produksi buah persik bergantung
pada susunan genetik dan interaksi dua genotipe yang berbeda keturunan dan
batang bawah (Baird, Estager, & Wells, 1994). Pengembangan plasma nutfah
diperlukan untuk memperluas kemampuan adaptasi buah persik ke daerah
produksi baru dan untuk menahan tekanan biotik dan abiotik secara tradisional di
area produksi. Namun, karena keterbatasan basis data plasma nutfah buah persik,
keberhasilannya sangat terbatas (R Scorza, Mehlenbacher, & Lightner, 1985).
Akibatnya, banyak pemulia yang beralih ke kerabat liar dan plasma nutfah eksotis
terkait untuk mencari sifat-sifat yang berguna untuk mengembangkan kultivar
yang lebih baik (Reighard, Cain, & Newall Jr, 1989; Reighard, Newall Jr, & Cain,
1988; Westcott, Zehr, Newall, & Cain, 1994).
Homogenitas persik baru-baru ini mengakibatkan erosi keanekaragaman genetik.
Faktanya, varietas komersial utama merepresentasikan keragaman genetik yang
sempit, dan ada kekhawatiran bahwa basis genetik yang sempit dari varietas
komersial merupakan hambatan serius untuk meningkatkan produksi (Meng, Peng,
& Guan, 2015). Penelitian untuk meningkatkan keaneragaman buah persik melalui
plasma nutfah persik liar saat ini mulai menjadi topik hangat. Plasma nutfah persik
160 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

liar bermanfaat dalam pengendalian penyakit dan kualitas dan hasil buah (Staudt
et al., 2010; Yu-Lin, 1984). Selain itu, plasma nutfah persik liar telah ditemukan
mengandung sifat-sifat yang terkait dengan toleransi terhadap dingin, kekeringan,
suhu tinggi, dan ketahanan terhadap nematoda (Meloidogyne incognita), kutu daun
(Myzus persicae), dan empedu mahkota (Agrobacterium tumefaciens) (Tsipouridis
& Thomidis, 2005; Ying Wang et al., 2002). Dengan demikian, sumber daya yang
beragam ini memberikan alel yang berguna untuk gen persik yang dibudidayakan,
yang sangat diperlukan dalam pemuliaan persik. Meskipun penting, informasi
tentang hubungan genetik dengan persik liar perlu terus dipelajari.
Penelitian yang dilakukan oleh Villagomez et al. (2009) menjelaskan bahwa dua
puluh empat genotipe persik dari Wilayah Tengah Utara Meksiko telah dikarakterisasi
berdasarkan sifat morfofisiologis. Bobot buah dari genotipe Roxana (135g), San
Gabriel C-167 (141,9g) dan landrace Zacatecas (162,3g) lebih tinggi, masing-
masing dalam kelompoknya karena semua genotipe dikelompokkan berdasarkan
52 monomorf dan 93 fragmen polimorfik yang terkait untuk karakteristik yang
diinginkan dari genotipe Prunus. Informasi ini memberi alat untuk identifikasi
individu awal pohon yang berkinerja tinggi ketika masih tumbuh di pembibitan.
Oleh karena itu, petani dapat menggunakan teknik ini untuk program pemuliaan
berbantuan pada genotipe Prunus mereka.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Sebuah studi terkait hubungan hubungan evolusi gen squamosa promoter binding
protein (SBP)-box dan ekspresi divergensi, peristiwa duplikasi gen berdasarkan
analisis tekanan seleksi lingkungan dan microsynteny dilakukan dengan analisis
komprehensif dan sistematis gen SBP-box dari empat spesies Rosacea, termasuk
stroberi (Fragaria vesca), pir China (Pyrus bretschneideri), persik (Prunus persica),
dan mei (Prunus mume) merekomendasikan bahwa pemilihan pemurnian mungkin
kekuatan utama selama proses evolusi dan mendominasi konservasi gen SBP pada
spesies Rosacea menurut analisis tekanan seleksi lingkungan (Abdullah et al.,
2018). Dari empat spesies Rosacea yang diteliti tersebut, menunjukkan kesamaan
dengan Arabidopsis thaliana. Arabidopsis thaliana adalah tanaman dari famili
Brassicaceae yang dipilih menjadi tanaman yang paling sesuai untuk menjadi
model studi perkembangan tanaman. SBP keluarga gen dapat didistribusikan ke
dalam tujuh kelompok berdasarkan kesamaan struktural.
Prunus persica (L.) Batsch 161
(Rosaceae)

Zhang et al. (2016) melaporkan bahwa gen SBP keluarga lada (pepper) dapat dibagi
menjadi enam kelompok berdasarkan analisis filogenetik. Organisasi struktural
intron-exon menunjukkan rentang variasi tinggi dari 1 hingga 11 dalam satu gen,
mirip dengan Arabidopsis. Jumlah maksimum intron yang dilaporkan dalam lada
berkisar dari 0 hingga 11 dan di Moso Bomboo berkisar dari 0 hingga 10 (Pan et al.,
2017). Kemiripan dan variasi struktural di antara motif-motif ini dapat dipelajari
lebih lanjut.
Duplikasi gen (segmental dan tandem) adalah kekuatan pendorong utama untuk
pemuliaan gen dan ekspansi keluarga gen yang dapat mendukung organisme
untuk beradaptasi lingkungan kompleks yang berbeda. Abdullah et al. (2018)
mengidentifikasi segmental dan tandem duplikasi gen SBP dalam empat spesies
rosacea yang diteliti. Sebanyak 3, 13, dan 2 terkonfirmasi adanya duplikasi di
stroberi, pir, dan mei. Kebanyakan dari tanaman tersebut terduplikasi segmental
dan hanya satu duplikasi tandem PbSBP4 / PbSBP5 yang diketahui. Banyak duplikasi
diamati di pir dibandingkan dengan stroberi dan mei, dan tidak ada peristiwa
duplikasi yang teridentifikasi di persik (Y. Cao et al., 2017; Velasco et al., 2010).

VI. Aspek budidaya


Pohon persik dapat tumbuh dari biji atau stek. Biji persik batang bawahnya umum
digunakan dalam budidaya persik di seluruh dunia karena biaya produksi yang
rendah, persyaratan tanah yang rendah dan kompatibilitas yang tinggi dengan
varietas cangkok (Beckman & Lang, 2003; Rubio-Cabetas, 2012). Dalam budidaya
persik, banyak perawatan teknis perlu dilakukan dan beberapa yang paling krusial
adalah pemangkasan musim panas dan penjarangan buah (Lesičar, Šindrak, Šic
Žlabur, Voća, & Skendrović Babojelić, 2017). Pemangkasan adalah praktik budaya
penting dalam produksi buah persik (Singh & Saini, 2013).
Norton (2001) melaporkan bahwa pemangkasan intensif merangsang proses
regenerasi serta memodifikasi ukuran mahkota pohon, terutama mengurangi
ketinggian pohon yang berlebihan. Pemangkasan diperlukan untuk membuat
bentuk struktur pohon. Seiring bertambahnya usia pohon, pemangkasan diperlukan
untuk menghilangkan kayu yang rusak dan sakit, merangsang pertumbuhan
baru, dan memberikan distribusi cahaya yang penting ke seluruh pohon, untuk
pembentukan tunas buah yang kuat dan untuk mendukung kualitas buah yang
dapat diterima pasar dengan warna buah dan kematangan yang sesuai.
162 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pemangkasan berkontribusi terhadap peningkatan tunas muda dan pertumbuhan


buah persik dan meningkatkan pasokan nutrisi untuk tunas oleh akar (Bussi,
Lescourret, Genard, & Habib, 2005). Namun, pemangkasan berat yang diterapkan
setiap tahun mengakibatkan lemahnya kekuatan pohon dan selanjutnya
menurunkan kualitas dan hasil buah. Beban struktur tanaman telah ditunjukkan
sebagai faktor utama variasi ukuran buah dalam apel (Malus domestica) dan persik
(Blanco, Pequerul, Val, Monge, & Gomez Aparisi, 1995; Marini, 1985). Faktor
yang berbeda dapat memengaruhi ukuran dan kualitas buah dalam buah persik.
Lingkungan cahaya di kanopi pohon persik tampak menentukan karena naungan
berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan buah (Chartzoulakis, Therios, &
Noitsakis, 1993).
Buah persik adalah buah berbiji (buah batu) yang terdiri atas mesokarp berdaging
yang mengelilingi biji (endokarp keras yang mengandung biji). Endokarp tebal
mendorong dormansi panjang sehingga pemulia persik telah mengembangkan
teknik untuk mematahkan dormansi termasuk skarifikasi benih untuk merangsang
perkecambahan (Loreti & Morini, 2008). Biji persik pahit dan biasanya tidak
dimakan karena adanya sianida glukosida (Layne & Bassi, 2008). Persik adalah
tanaman diploid tanpa duplikasi seluruh genom baru-baru ini (The International
Peach Genome et al., 2013). Bunga tanaman ini bersifat biseksual dan bisa
menyesuaikan diri, menyilang dengan kecepatan sekitar lima persen. Penipisan
buah karena tingkat kesuburan yang tinggi diperlukan agar buah mencapai
ukuran komersial (Layne & Bassi, 2008). Kompos organik telah digunakan sebagai
sumber nutrisi dalam pemupukan pra-tanam, pemupukan selama pertumbuhan,
khususnya, pemupukan untuk menjaga kebun buah persik (Prunus persica [L.]
Batsch) (Brunetto, de Melo, Kaminski, & Ceretta, 2007; Melo et al., 2016).
Domestikasi tanaman tahunan, yang sebagian besar (sekitar 75%) diperbanyak
dengan kloning, telah menerima perhatian terbatas dibandingkan dengan
tanaman semusim (Goldschmidt, 2013; Kislev, Hartmann, & Bar-Yosef, 2006; Miller
& Gross, 2011; Zohary & Spiegel-Roy, 1975). Domestikasi buah tanaman tahunan
terutama melibatkan taksa kayu berumur panjang yang menghasilkan buah yang
dapat dimakan (Miller & Gross, 2011). Persik yang didomestikasi yang melakukan
penyerbukan sendiri, hanya P. davidiana di antara anggota subgenus Amygdalus di
China yang melakukan penyerbukan silang (Loreti & Morini, 2008).
Prunus persica (L.) Batsch 163
(Rosaceae)

Sifat-sifat persik yang disukai dapat dipilih tanpa reproduksi vegetatif jika nenek
moyang dari persik juga melakukan penyerbukan sendiri, maka sifat-sifat yang
disukai dapat dipilih tanpa reproduksi vegetatif. Persik matang dengan cepat,
menghasilkan buah yang dimulai pada tahun kedua atau ketiga, jadi seleksi untuk
sifat-sifat yang diinginkan berdasarkan sifat ini memiliki kemungkinan lebih tinggi
untuk memberi hasil yang cepat. Populasi yang berbuah lebih besar, misalnya,
dapat dengan mudah dipisahkan dan seleksi lebih lanjut ditingkatkan oleh produksi
dan pencangkokan batang bawah. Selanjutnya, Prunus spp. umumnya tahan
api sehingga seleksi awal dengan pembakaran lokal mungkin telah mendorong
terbentuknya persik yang tahan api (Li, 1983).

Gambar 37. Tanaman persik dalam kondisi matang optimal, siap petik
(foto: Joshua Ness on Unsplash).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Buah persik dikonsumsi segar atau dalam bentuk cair dan produk olahan lainnya.
Dalam pengobatan tradisional, obat ini digunakan dalam pengobatan disentri
dan diare, rheumatoid arthritis, dan amenore (Gangwar, Singh, & Mandal,
2008). Namun, daun tanaman diketahui memiliki berbagai sifat farmakologis,
164 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

misalnya, diuretik, pencahar, astringen, obat penurun panas, parasitisida,


demulen, ekspektoran, dan obat penenang (Santamour, 1998). Minyak lemak yang
diperoleh dari kernel digunakan dalam persiapan berbagai kosmetik dan produk
farmasi (Him-Che, 1985). Minyak ini kaya akan asam lemak tak jenuh, senyawa
fenolik, dan minyak makanan yang kaya nutrisi (Gangwar et al., 2008). Tanaman
ini dilaporkan memiliki antioksidan (Wu et al., 2011), antiacetylcholinesterase (Liu
& Ng, 2000), antiinflamasi (Suh et al., 2006), hypermenorrhea (Lokesh Deb et al.,
2010; Deb, Tripathi, Bhowmik, Dutta, & Sampath, 2010), dismenore, leiomyoma,
infertilitas, antitumor promotor dan sindrom antioketsu, anthelmintik, pencahar,
obat penenang, antimalaria, hepatoprotektif (Kim et al., 2003), antiastatik,
antikoagulan, antijamur, kolinomimetik, antagonis kalsium, antimit (Gilani, Aziz,
Ali, & Saeed, 2000), antibakteri (Sung, Kim, Lee, & Lee, 2004), dan sifat inflamasi
anti alergi (Rakesh, Harpreet, Bahuguna, Sati, & Badoni, 2011). Selain itu, berbagai
glikosida sianogen, gliserida, sterol, dan asam lemak telah dilaporkan di tanaman
ini. (Fukuda et al., 2003; Shin et al., 2010; Wu et al., 2011).
Menurut studi yang dilakukan Verma et al. (2017), kandungan minyak atsiri dan
benzaldehid ditemukan lebih tinggi pada musim hujan dan musim gugur. Karena
itu, setelah memanen buah di musim panas, petani dapat memanen daun di
musim hujan atau musim gugur untuk ekstraksi minyak atsiri. Dengan demikian,
benzaldehyde alami, produk sampingan dari budidaya persik, dapat menjadi
sumber pendapatan tambahan bagi petani persik. Penelitian yang dilakukan
mengenai fungsi bunga Prunus persica (L.) Batsch, sebagai nutrisi penting untuk
terapi menunjukkan bahwa karakteristik morfo-anatomi spesifik yang terdeteksi
yaitu trikoma multiseluler runcing (sepal), epidermis dengan kutikula lurik dan
papila dengan ujung bulat (petal). Bunga persik memiliki kandungan flavon sedang
dan kandungan asam polifenolkarboksilat yang tinggi, dengan efek antioksidan
yang cukup besar (Hovanet et al., 2018). Studi lainnya menyatakan bahwa pulp
persik segar dan kupas mengandung efek antioksidan dan antiinflamasi yang
tinggi. Penilaian efek antioksidan dan antiinflamasi pada irisan korteks hati, ginjal
dan otak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara produk yang diturunkan
dari buah persik (Gasparotto et al., 2014).
Buah persik berpotensi dikembangkan di Indonesia yang mempunyai musim
kemarau (panas). Hal ini karena di negara subropika, buah persik matang optimal
dapat ditemui di musim panas setelah mengalami pruning di musim gugur secara
alami. Penelitian lebih lanjut diperlukan apakah tanaman persik sesuai untuk
Prunus persica (L.) Batsch 165
(Rosaceae)

dataran rendah, menengah, dataran tinggi atau bahkan sesuai untuk berbagai
wilayah dari dataran rendah sampai tinggi. Dan apakah perlu perlakuan pruning
sebagaimana yang dilakukan pada tanaman apel.

Pustaka
1. Abdullah, M., Cao, Y., Cheng, X., Shakoor, A., Su, X., Gao, J., & Cai, Y. (2018).
Genome-wide analysis characterization and evolution of SBP genes in Fragaria
vesca, Pyrus bretschneideri, Prunus persica and Prunus mume. Frontiers in
genetics, 9, 64.
2. Ahmad, R., Parfitt, D. E., Fass, J., Ogundiwin, E., Dhingra, A., Gradziel, T. M., . . .
Crisosto, C. H. (2011). Whole genome sequencing of peach (Prunus persica L.)
for SNP identification and selection. BMC genomics, 12(1), 569.
3. Bailey, J., & French, A. (1932). The inheritance of certain characters in the
peach. Paper presented at the Proceedings of the American Society of
Horticultural Science.
4. Baird, W. V., Estager, A. S., & Wells, J. K. (1994). Estimating nuclear DNA
content in peach and related diploid species using laser flow cytometry and
DNA hibridization. Journal of the American Society for Horticultural Science,
119(6), 1312-1316.
5. Beckman, T. G., & Lang, G. A. (2003). Rootstcok breeding for stone fruits.
6. Blanco, A., Pequerul, A., Val, J., Monge, E., & Gomez Aparisi, J. (1995). Crop-
load effects on vegetative growth, mineral nutrient concentration and leaf
water potential in ‘Catherine’ peach. Journal of Horticultural Science, 70(4),
623-629. doi:10.1080/14620316.1995.11515335
7. Brunetto, G., de Melo, G. W., Kaminski, J., & Ceretta, C. A. (2007). Adubação
nitrogenada em ciclos consecutivos e seu impacto na produção e na qualidade
do pêssego. Pesquisa Agropecuária Brasileira, 42(12), 1721-1725.
8. Bussi, C., Lescourret, F., Genard, M., & Habib, R. (2005). Pruning intensity and
fruit load influence vegetative and fruit growth in an early-maturing peach
tree (cv. Alexandra). Fruits, 60(2), 133-142.
166 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

9. Cao, K., Zheng, Z., Wang, L., Liu, X., Zhu, G., Fang, W., . . . Wang, J. (2014).
Comparative population genomics reveals the domestication history of the
peach, Prunus persica, and human influences on perennial fruit crops. Genome
Biology, 15(7), 415. doi:10.1186/s13059-014-0415-1
10. Cao, Y., Han, Y., Meng, D., Li, D., Jin, Q., Lin, Y., & Cai, Y. (2017). Genome-wide
analysis suggests high level of microsynteny and purifying selection affect
the evolution of EIN3/EIL family in Rosaceae. PeerJ, 5, e3400. doi:10.7717/
peerj.3400
11. Chartzoulakis, K., Therios, I., & Noitsakis, B. (1993). Effects of shading on
gas exchange, specific leaf weight and chlorophyll content in four kiwifruit
cultivars under field conditions. Journal of Horticultural Science, 68(4), 605-
611. doi:10.1080/00221589.1993.11516391
12. Deb, L., Gupta, R., Dutta, A. S., Yadav, A., Bhowmik, D., & Kumar, K. S. (2010).
Evaluation of antioxidant activity of aqueous fraction of prunus persica L
aqueous extract. Der Pharmacia Sinica, 1(3), 157-164.
13. Deb, L., Tripathi, A., Bhowmik, D., Dutta, A., & Sampath, K. (2010). Anti-
inflammatory activity of n-butanol fraction of prunus persica L. aqueous
extract. Pharma Research, 4, 74-78.
14. Diaz, M. (1974). Vegetative and reproductive growth habits of evergreen peach
trees in Mexico. Paper presented at the Proceedings from the XIX International
Horticulture Congress.
15. FAO. (2017). Top 10 country production of peaches and nectarines. Retrieved
from http://www.fao.org/faostat/en/#rankings/countries_by_commodity
16. Faust, M., & Timon, B. (2010). Origin and dissemination of peach Horticultural
Reviews.
17. Fukuda, T., Ito, H., Mukainaka, T., Tokuda, H., Nishino, H., & Yoshida, T.
(2003). Anti-tumor promoting effect of glycosides from “Prunus persica”
seeds. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 26(2), 271-273. doi:10.1248/
bpb.26.271
18. Gangwar, L. S., Singh, D., & Mandal, G. (2008). Economic evaluation of peach
cultivation in north indian plains21, 123-129. Retrieved from doi:doi.10.22004/
ag.econ.47369
Prunus persica (L.) Batsch 167
(Rosaceae)

19. Gasparotto, J., Somensi, N., Bortolin, R. C., Moresco, K. S., Girardi, C. S., Klafke,
K., . . . Gelain, D. P. (2014). Effects of different products of peach (Prunus persica
L. Batsch) from a variety developed in southern Brasil on oxidative stress and
inflammatory parameters in vitro and ex vivo. Journal of Clinical Biochemistry
and Nutrition, 55(2), 110-119. doi:10.3164/jcbn.13-97
20. Gilani, A. H., Aziz, N., Ali, S. M., & Saeed, M. (2000). Pharmacological basis for
the use of peach leaves in constipation. Journal of Ethnopharmacology, 73(1),
87-93. doi:https://doi.org/10.1016/S0378-8741(00)00288-9
21. Goldschmidt, E. E. (2013). The evolution of fruit tree productivity: a review.
Economic Botany, 67(1), 51-62. doi:10.1007/s12231-012-9219-y
22. Hancock, J. F., Scorza, R., & Lobos, G. A. (2008). Peaches. In J. F. Hancock
(Ed.), Temperate Fruit Crop Breeding: Germplasm to Genomics (pp. 265-298).
Dordrecht: Springer Netherlands.
23. Hedrick, U. P. (1950). A history of horticulture in America to 1860. A history of
horticulture in America to 1860.
24. Hedrick, U. P., Howe, G. H., Taylor, O. M., & Tubergen, C. B. (1917). The peaches
of New York (Vol. 2): JB Lyon Company, printers.
25. Hesse, C. O. (1975). Peaches. Advanced in fruit breeding., 285-335.
26. Him-Che, Y. (1985). Handbook of Chinese herbs and formulas. Institute of
Chinese Medicine, Los Angeles, 1, S219-S224.
27. Horn, R., Lecouls, A.-C., Callahan, A., Dandekar, A., Garay, L., McCord, P., . . .
Abbott, A. G. (2005). Candidate gene database and transcript map for peach, a
model species for fruit trees. Theoretical and Applied Genetics, 110(8), 1419-
1428. doi:10.1007/s00122-005-1968-x
28. Hovanet, M.-V., Oprea, E., Ancuceanu, R. V., Dinu, M., Anghel, A. I., Morosanu,
E., & Dutu, L. E. (2018). Contributions to the pharmacognostical and
phytobiological study of prunus persica (l.) Batsch flowers. FARMACIA, 66(1),
78-82.
29. Kim, Y.-K., Koo, B.-S., Gong, D.-J., Lee, Y.-C., Ko, J.-H., & Kim, C.-H. (2003).
Comparative effect of Prunus persica L. BATSCH-water extract and tacrine
(9-amino-1,2,3,4-tetrahydroacridine hydrochloride) on concentration
of extracellular acetylcholine in the rat hippocampus. Journal of
Ethnopharmacology, 87(2), 149-154. doi:https://doi.org/10.1016/S0378-
8741(03)00106-5
168 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

30. Kislev, M. E., Hartmann, A., & Bar-Yosef, O. (2006). Early domesticated fig in the
Jordan Valley. Science, 312(5778), 1372-1374. doi:10.1126/science.1125910
31. Layne, D. R., & Bassi, D. (2008). The peach: botany, production and uses:
CABI.
32. Lesičar, J., Šindrak, Z., Šic Žlabur, J., Voća, S., & Skendrović Babojelić, M. (2017).
Influence of fruit thinning and summer pruning on the yield and fruit quality
of peach cultivar ‘royal gem’. Agriculturae Conspectus Scientificus, 81(3), 155-
159.
33. Li, H.-l. (1983). The domestication of plants in China: ecogeographical
considerations. The origins of Chinese civilization, 21, 64.
34. Linnaeus, C. v. (1758). Systema naturae, vol. 1. Systema naturae, Vol. 1.
35. Liu, F., & Ng, T. B. (2000). Antioxidative and free radical scavenging activities
of selected medichinal herbs. Life Sciences, 66(8), 725-735. doi:https://doi.
org/10.1016/S0024-3205(99)00643-8
36. Loreti, F., & Morini, S. (2008). Propagation techniques. The peach: botany,
production and uses. Cambridge, CAB International, 221-243.
37. Marini, R. (1985). Vegetative growth, yield, and fruit quality of peach as
influenced by dormant pruning, summer pruning, and summer topping.
Journal of the American Society for Horticultural Science (USA).
38. Maynard, D. N. (2008). Underutilized and underexploited horticultural crops.
HortScience, 43(1), 279a-279a.
39. Melo, G. W. B. d., Sete, P. B., Ambrosini, V. G., Freitas, R. F., Basso, A., &
Brunetto, G. (2016). Nutritional status, yield and composition of peach fruit
subjected to the application of organic compost. Acta Scientiarum. Agronomy,
38(1), 103-109.
40. Meng, F., Peng, M., & Guan, F. (2015). Amplified fragment length polymorphism
analysis of genetic diversity and relationships of wild and cultivated peach
(Prunus persica L.). 50(1), 44. doi:10.21273/hortsci.50.1.44
41. Miller, A. J., & Gross, B. L. (2011). From forest to field: Perennial fruit crop
domestication. American Journal of Botany, 98(9), 1389-1414. doi:10.3732/
ajb.1000522
Prunus persica (L.) Batsch 169
(Rosaceae)

42. Moing, A., Poëssel, J.-L., Svanella-Dumas, L., Loonis, M. l., & Kervella, J.
(2003). Biochemical basis of low fruit quality of Prunus davidiana, a pest
and disease resistance donor for peach breeding. 128(1), 55. doi:10.21273/
jashs.128.1.0055
43. Norton, M. (2001). Fruit wood rejuvenation by reducing tree height and shoot
removal year 2 progress report. Paper presented at the V International Peach
Symposium 592.
44. Okie, W., Ramming, D., & Scorza, R. (1985). Peach, nectarine, and other stone
fruit breeding by the USDA in the last two decades. HortScience (USA).
45. Okie, W. R., & Rieger, M. (2003). Inheritance of Venation Pattern in Prunus
Ferganensis x Persica Hibrids.
46. Pan, F., Wang, Y., Liu, H., Wu, M., Chu, W., Chen, D., & Xiang, Y. (2017).
Genome-wide identification and expression analysis of SBP-like transcription
factor genes in Moso Bamboo (Phyllostachys edulis). BMC genomics, 18(1),
486. doi:10.1186/s12864-017-3882-4
47. Pozzi, C., & Vecchietti, A. (2009). Peach Structural Genomics. In K. M. Folta &
S. E. Gardiner (Eds.), Genetics and Genomics of Rosaceae (pp. 235-257). New
York, NY: Springer New York.
48. Rakesh, R., Harpreet, S., Bahuguna, P., Sati, S. C., & Badoni, P. P. (2011).
Antibacterial and antioxidant activity of methanolic extract of bark of Prunus
persica. Journal of Applied and Natural Science, 3(2). doi:10.31018/jans.
v3i2.205
49. Reighard, G., Cain, D., & Newall Jr, W. (1989). Relationship of chilling requirement
in Prunus persica (L.) Batsch to peach tree short life. Fruit varieties journal
(USA).
50. Reighard, G., Newall Jr, W., & Cain, D. W. (1988). Screening Prunus germplasm
for potential rootstocks for South Carolina replant sites. Paper presented at
the II International Peach Symposium 254.
51. Rubio-Cabetas, M. J. (2012). Present and future trends in peach rootstock
breeding worldwide.
52. Santamour, F. S. (1998). Amygdalin in Prunus leaves. Phytochemistry, 47(8),
1537-1538. doi:https://doi.org/10.1016/S0031-9422(97)00787-5
170 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

53. Scorza, R., Mehlenbacher, S., & Lightner, G. (1985). Inbreeding and coancestry
of freestone peach cultivars of the eastern United States and implications
for peach germplasm improvement. Journal of the American Society for
Horticultural Science (USA).
54. Scorza, R., & Okie, W. R. (1991). Peaches (Prunus).
55. Shin, T.-Y., Park, S.-B., Yoo, J.-S., Kim, I. K., Lee, H.-S., Kwon, T. K., . . . Kim,
S.-H. (2010). Anti-allergic inflammatory activity of the fruit of Prunus persica:
Role of calcium and NF-κB. Food and Chemical Toxicology, 48(10), 2797-2802.
doi:https://doi.org/10.1016/j.fct.2010.07.009
56. Singh, G., & Saini, S. P. (2013). Effect of pruning and fruit thinning on yield
and fruit weight of peach (Prunus persica (L) Batsch) cv. Shan-i-Punjab in sub-
mountain zone of Punjab? An on-farm study. Journal of Applied Horticulture,
15(1), 65-68.
57. Sosinski, B., Shulaev, V., Dhingra, A., Kalyanaraman, A., Bumgarner, R., Rokhsar,
D., . . . Abbott, A. G. (2009). Rosaceaous genome sequencing: perspectives
and progress. In K. M. Folta & S. E. Gardiner (Eds.), Genetics and Genomics of
Rosaceae (pp. 601-615). New York, NY: Springer New York.
58. Staudt, M., Jackson, B., El-Aouni, H., Buatois, B., Lacroze, J.-P., Poëssel, J.-L.,
& Sauge, M.-H. (2010). Volatile organic compound emissions induced by the
aphid Myzus persicae differ among resistant and susceptible peach cultivars
and a wild relative. Tree Physiology, 30(10), 1320-1334.
59. Suh, S.-J., Koo, B.-S., Jin, U.-H., Hwang, M.-J., Lee, I.-S., & Kim, C.-H. (2006).
Pharmacological characterization of orally active cholinesterase inhibitory
activity of Prunus persica L. Batsch in rats. Journal of Molecular Neuroscience,
29(2), 101-107. doi:10.1385/jmn:29:2:101
60. Sung, B. K., Kim, C., Lee, C., & Lee, H. S. (2004). Antimite effect of essential oils
derived from 24 Rosaceae and Umbelliferae species against stored food mite.
Food Science and Biotechnology.
61. The International Peach Genome, I., Verde, I., Abbott, A. G., Scalabrin, S., Jung,
S., Shu, S., . . . Rokhsar, D. S. (2013). The high-quality draft genome of peach
(Prunus persica) identifies unique patterns of genetic diversity, domestication
and genome evolution. Nature Genetics, 45, 487. doi:10.1038/ng.2586
Prunus persica (L.) Batsch 171
(Rosaceae)

62. Tsipouridis, C., & Thomidis, T. (2005). Effect of 14 peach rootstocks on the yield,
fruit quality, mortality, girth expansion and resistance to frost damages of May
Crest peach variety and their susceptibility on Phytophthora citrophthora.
Scientia Horticulturae, 103(4), 421-428.
63. Velasco, R., Zharkikh, A., Affourtit, J., Dhingra, A., Cestaro, A., Kalyanaraman,
A., . . . Viola, R. (2010). The genome of the domesticated apple (Malus ×
domestica Borkh.). Nature Genetics, 42, 833. doi:10.1038/ng.654
64. Verma, R. S., Padalia, R. C., Singh, V. R., Goswami, P., Chauhan, A., & Bhukya,
B. (2017). Natural benzaldehyde from Prunus persica (L.) Batsch. International
Journal of Food Properties, 20(sup2), 1259-1263. doi:10.1080/10942912.201
7.1338728
65. Villagomez, C. M., Espino, H. S., Cedillo, A. N., Montero, L. V., Segovia, C.
P., Guerra, C. M., . . . López, O. P. (2009). Identification of peach genotypes
(Prunus persica (L.) Batsch) in the north-central region, mexico. International
Journal of Botany, 5(2), 160-165.
66. Wang, Y., Georgi, L. L., Zhebentyayeva, T. N., Reighard, G. L., Scorza, R., &
Abbott, A. G. (2002). High-throughput targeted SSR marker development in
peach (Prunus persica). Genome, 45(2), 319-328.
67. Wang, Y., Reighard, G. L., Scorza, R., Jenkins, T. C., & Line, M. J. (2003).
Characterizing the evergrowing phenotype in peach.
68. Westcott, S., Zehr, E., Newall, W., & Cain, D. (1994). Suitability of Prunus
selections as hosts for the ring nematoda (Criconemella xenoplax). Journal of
the American Society for Horticultural Science, 119(5), 920-924.
69. Wu, H., Shi, J., Xue, S., Kakuda, Y., Wang, D., Jiang, Y., . . . Subramanian, J.
(2011). Essential oil extracted from peach (Prunus persica) kernel and its
physicochemical and antioxidant properties. LWT - Food Science and Technology,
44(10), 2032-2039. doi:https://doi.org/10.1016/j.lwt.2011.05.012
70. Yu-Lin, W. (1984). Peach growing and germplasm in China. Paper presented at
the International Conference on Peach Growing 173.
71. Zai Long, L. (1984). Peach germplasm and breeding in China. HortScience.
72. Zhang, H.-X., Jin, J.-H., He, Y.-M., Lu, B.-Y., Li, D.-W., Chai, W.-G., . . . Gong, Z.-H.
(2016). Genome-wide identification and analysis of the SBP-box family genes
under phytophthora capsici stress in pepper (Capsicum annuum L.). Frontiers
in Plant Science, 7(504). doi:10.3389/fpls.2016.00504
172 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

73. Zhebentyayeva, T. N., Swire-Clark, G., Georgi, L. L., Garay, L., Jung, S., Forrest,
S., . . . Abbott, A. G. (2008). A framework physical map for peach, a model
Rosaceae species. Tree Genetics & Genomes, 4(4), 745-756. doi:10.1007/
s11295-008-0147-z
74. Zohary, D., & Spiegel-Roy, P. (1975). Beginnings of fruit growing in the old
world. Science, 187(4174), 319-327. doi:10.1126/science.187.4174.319
Penulis:
Zainuri Hanif, Lizia Zamzami dan Agus Sugiyatno
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Punica granatum L.
(Lythraceae)

Protologue
Punica granatum L. -- Species Plantarum 1. 472. 1753 (1 May 1753).

Sinonim
• Punica florida Salisb -- Prodr. Stirp. Chap. Allerton. 354. 1796.
• Punica grandiflora Steud – Nomenclature Botanicus. 1: 669. 1821.
• Punica nana L. – Species Plantarum. Pl. ed. 2. 676. 1762.
• Punica spinosa Lam -- Fl. Franç. 3: 483. 1779.
• Rhoea  punica  St.-Lag. -- Annales de la Société Linnéenne de Lyon 7: 133.
1880.

Nama umum
Delima (Indonesia), chinese apple, love apple, pomegranate (Inggris), Anar (Hindi,
Urdu), dalim, bedana (Bangladesh), granada (Spanyol), grenade (Perancis), thale,
talebin, salebin (Myanmar), melograne, granato, melogranate (Italia), totum
(Vietnam), sinotibetan, phiilaa (Laos), daarim, oriya (Nepal), darabhte-naiy (Arab),
granatapple (Swedia)

I. Pendahuluan
Delima (Punica granatum L.) merupakan salah satu anggota spesies dari suku
Lythraceae. Nama Punica granatum berasal dari kata ‘Pomum’ yang berarti apel
dan ‘granatus’ yang berarti berbiji. Tanaman delima mempunyai habitus tumbuh
pohon dengan percabangan banyak dan menyemak hingga 5-10 meter. Marga
Punica hanya mempunyai 2 spesies yaitu P. granatum dan P. protopunica (La Malfa,
174 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gentile, Domina, & Tribulato, 2009). P. protopunica diketahui tumbuh endemik di


Kepulauan Socotra (Yaman). Tidak seperti P. granatum yang mempunyai bunga
berwarna merah, P. protopunica mempunyai bunga berwarna pink (merah muda)
dengan ukuran lebih kecil dan berbentuk teropet. P. protopunica juga mempunyai
buah yang tidak semanis P. granatum (Sakagami et al., 2001). Terdapat suatu nama
spesies, yaitu P. nana yang sering disebut-sebut sebagai spesies ketiga marga
Punica, walaupun belum mendapatkan kesepakatan para ahli taksonomi dan
botani (P. Melgarejo, Martínez-Valero, Guillamón, Miró, & Amorós, 1997).
Marga Punica awalnya termasuk dalam suku Myrtaceae, namun beberapa
ahli menolaknya sehubungan dengan perbedaan mendasar pada karakteristik
morfofisiologi marga Punica di antaranya tidak terdapatnya kelenjar pada daun
dan tulang daun bagian tepi, kelopak bunga yang menyatu dan tidak terdapatnya
aroma khas pada bagian daun. Beberapa ahli kemudian mengelompokkan marga
ini pada suku Lythraceae, sehubungan dengan kemiripan karakteristik anatomi
seperti terdapatnya bagian floem intraksiler (Rana, Narzary, & Ranade, 2010).
Beberapa ahli lain juga dapat menunjukkan perbedaan mendasar pada
marga Punica dari karakter umum Lythraceae sensu strico, yaitu kulit buah
yang keras, biji yang diselimuti cairan (pulpy) dan bagian bunga betina (ovule)
yang mempunyai lapisan intergumen lebih dari satu serta arkesporium
yang bersel satu dan mengusulkan agar marga Punica dipisahkan menjadi
suku tersediri, Punicaceae (Rana et al., 2010). Namun demikian, hasil
pengamatan anatomi batang, kromosom dan mofologi tepung sari (pollen)
menunjukkan bahwa marga Punica mempunyai koherensi dengan suku
Lythraceae (Martinez-Nicolas, Melgarejo, Legua, Garcia-Sanchez, &
Hernández, 2016) atau setidaknya mempunyai kemiripan dengan beberapa
spesies Lythanceae sensu lato. Dapat disimpulkan bahwa marga Punica
sendiri mempunyai plastisitas morfologi tinggi sebagai indikasi penyebaran
geografis yang luas.

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Delima termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Angiospermae, Bangsa: Myrtales,
Suku: Lythraceae, Marga: Punica, Jenis: Punica granatum L. (Kumari, Dora, Kumar,
& Kumar, 2012). P. granatum sendiri diketahui mempunyai dua subspesies
Punica granatum L. 175
(Lythraceae)

berdasarkan warna ovari yaitu subsp. chlorocarpa yang banyak dijumpai dan
dibudidayakan di daerah Transcaucasus dan subsp. porphyrocarpa yang juga
banyak dibudidayakan di Asia Tengah (Verma, Mohanty, & Lal, 2010).
Tanaman delima mempunyai pertumbuhan menyemak dengan tingkat percabangan
yang masif (Gambar 38a). Jarang ditemukan tipe tanaman delima yang kecil (dwarf).
Batang tanaman mempunyai permukaan yang halus dan kulit kayu berwarna abu-
abu tua. Pada percabangan terkadang terdapat duri, terutama jika umur tanaman
masih muda. Pada tangkai, duduk daun saling berseberangan (opposite) atau
sedikit berseberangan (sub opposite) dengan tangkai daun pendek (Gambar 38b).
Daun berukuran 2-8 cm dengan bentuk memanjang rata dari pangkal hingga ujung
atau agak mengecil di bagian pangkalnya. Permukaan daun mengkilap berwarna
hijau muda (Karimi & Mirdehghan, 2013).

(a) (b)
Gambar 38. (a) Tanaman delima dewasa dan (b) duduk daun pada tangkai yang
saling berseberangan (foto : kurniawan_budiarto).

Bunga delima mempunyai bentuk simeteris radial (actinomorphic) dan dapat


muncul pada ujung (terminal) atau tengah (axillary) tangkai (Gambar 39a).
Bunga terbentuk secara soliter dan jarang bergerombol, berbentuk terompet
dan mempunyai mahkota (petal) berjumlah 5 dengan tepi saling bersinggungan
(overlapping) (Dhinesh Babu, 2010; Manju, Bisht, Rawat, & Thakur, 2015). Delima
mempunyai 3 macam bunga yaitu jantan, betina dan hermaphrodite. Kelopak bunga
hermaphrodite berbentuk seperti kendi (urceolate) dengan organ ovari besar dan
sempurna. Buah umumnya terbentuk dari bunga hermaphrodite. Sedangkan pada
bunga jantan, ukuran kelopak lebih kecil berbentuk seperti bel (campanulate)
dengan bagian ovari tidak berkembang (P. Melgarejo et al., 1997).
176 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Fenomena heterostili sering terjadi pada pembentukan bunga delima. Bunga


sempurna umumnya mempunyai putik lebih besar dengan tangkai putik yang
panjang dan lebih besar dari bunga bertipe intermediate. Proporsi ketiga macam
bunga dalam satu tanaman atau varietas bervariasi pada setiap musim (Derin & Eti,
2001). Bunga dengan tangkai putik panjang akan terbuahi dan membentuk buah
hingga dapat berkembang lebih lanjut hingga masak, sedangkan bunga dengan
tangkai putik intermediate umumnya membentuk buah dan rontok sebelum
matang, demikian pula bunga dengan tangkai putik pendek yang umumnya tidak
pernah terbuahi dan rontok pada stadia bunga (Mira Devi, Arulvasu, & Ilavarasan,
2015). Bunga dengan tangkai putik panjang umumnya terbentuk pada percabangan
batang yang tua, sedangkan bunga dengan tangkai putik pendek umumnya berada
pada pucuk pertumbuhan baru. Buah yang terbentuk juga umumnya banyak dari
bunga-bunga yang muncul saat awal musim yang diduga berhubungan dengan
kondisi meteorologi yang kondusif. Pembungaan delima bervariasi dan sangat
dipengaruhi iklim. Pada daerah beriklim tropis, tanaman dapat menghasilkan bunga
sepanjang tahun. Sedangkan pada daerah subtropis yang terletak di sebelah utara
katulistiwa, pembungaan sporadis umumnya terjadi pada bulan Maret hingga Mei
(Cizmovic, Popovic, Adakalic, Lazovic, & Perovic, 2016).

(a) (b)
Gambar 39. (a) Bunga dan (b) buah delima (P. granatum L.) (foto : (a) kurniawan_
budiarto, (b) www.pixabay.com).
Punica granatum L. 177
(Lythraceae)

Penyerbukan bunga delima dapat melalui penyerbukan sendiri (self pollination)


dan penyerbukan silang (out-crossing). Penyerbukan sendiri umumnya terjadi pada
tipe bunga hermaphrodite. Penyerbukan silang terjadi umumnya melalui bantuan
serangga seperti Camponotus spp., Apis spp. dan Papilio demoleus (Cizmovic
et al., 2016). Pada delima, lebih dari seratus ovary dalam satu ovul yang dapat
berkembang lebih lanjut menjadi embrio biji (Dhinesh Babu, 2010). Buah delima
berbentuk bulat berdiameter 5 – 12 cm dengan ujung dihiasi mahkota kelopak yang
tebal (Gambar 39b). Kulit buah mengkilap dan halus berwarna kuning kecokelatan
hingga merah saat masak. Bagian dalam buah (mesocarp) berongga terbagi dalam
beberapa segmen. Setiap segmen dibatasi jaringan seperti kertas berisi biji-biji
yang mempunyai membran plasenta. Biji-biji diselimuti selaput berair (juicy aril)
yang merupakan bagian buah yang dapat dimakan (edible). Selaput berair ini
terdiri atas sel-sel epidermis yang berwarna merah hingga bening (Yazici, Kaynak,
& Cevik, 2011). Jumlah biji dalam setiap buah bervariasi sekitar 1300 biji perbuah.
Buah delima umumnya masak setelah berumur 6-7 bulan dari saat bunga terbuahi
(Amiryousefi, Zarei, Azizi, & Mohebbi, 2012; Babu et al., 2017).

III. Asal dan distribusi geografis


Delima (P. granatum L.) merupakan salah satu jenis buah-buahan (edible fruit)
tertua yang pernah ditemukan. Delima merupakan salah satu tanaman buah yang
telah lama dikenal seiring dengan perkembangan peradaban manusia, terutama
pada daerah-daerah beriklim agak kering hingga kering. Namun demikian, tanaman
delima juga dapat tumbuh baik pada daratan berhawa sejuk hingga sangat panas.
Beberapa penelitian menunjukkan tanaman delima juga toleran pada tanah
dengan kadar salinitas tinggi, namun tidak tahan dengan penurunan suhu hingga
di bawah -110C (Martinez-Nicolas et al., 2016).
Tanaman delima diperikirakan berasal dari daratan Persia dan daerah sekitarnya.
Spesies-spesies liarnya banyak tumbuh alami di daerah Transcaucasia dan Asia
Tengah dari Iran, Turkmenistan hingga bagian utara India. Setidaknya terdapat 3
pusat diversitas genetik (primer, sekunder dan tersier) serta 5 daerah penyebaran
utama (Timur Tengah, Mediterania, Asia Timur, Amerika dan Afrika Selatan). Pusat
diversitas primer termasuk wilayah Timur Tengah yang mencakup Iran, Afganistan,
dan daerah sekitarnya. Pusat penyebaran dan diversitas sekunder mencakup
wilayah Mediterania dan Asia Timur yang merupakan pintu penyebaran ke arah
Asia dan Eropa. Wilayah pusat diversitas tersier mencakup wilayah-wilayah di
178 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

mana spesies delima didomestikasi/dinaturalisasi maupun diintroduksi. Daerah


penyebaran tersier ini mencakup Afrika Utara, cekungan Mediterania, daratan
Arab, Mesopotamia, India, Pakistan dan daerah pusat penyebaran lainnya
(Chandra, Babu, Jadhav, & Teixeira da Silva, 2010).
Proses domestikasi/naturalisasi tanaman diperkirakan pada era Neolitikum di
daerah-daerah pusat keragaman genetik tinggi seperti wilayah Transcaucasia-
Danau Kaspia hingga sebelah utara Turki. Diperkirakan 13% persilangan bebas
terjadi selama proses domestikasi. Persilangan bebas antara kultivar progenitor
dengan varietas lokal serta proses seleksi ini diduga menyebabkan variasi pada
tanaman yang ada di setiap daerah (Ibrahim Oguz, 2012). Delima diketahui mulai
ditanam di Persia (Iran) pada 3.000 SM dan menyebar ke Israel hingga sekarang.
Pada tahun 2.000 SM, penduduk Pheonesia berkoloni di Afrika Utara dan
membawa dan menanam tanaman delima di tempat tersebut sehingga menyebar
hingga kini ke wilayah Tunisia, Mesir, Turki dan Yunani. Penyebaran kemudian
merambah ke daerah China sekitar 100 SM. Pada tahun 800, tanaman diketahui
telah mencapai wilayah kekaisaran Romawi termasuk Spanyol dan India. Tahun
1.400, tanaman delima masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Spanyol dan
Portugis termasuk ke wilayah Amerika Tengah, Mexico dan Amerika Selatan dan
hingga tahun 1.700-an, delima telah ditanam di wilayah Amerika Serikat (Stover &
Mercure, 2007).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Tanaman delima dikenal mempunyai daya adaptasi pada kisaran iklim yang luas,
sehingga mempunyai distribusi geografis yang beragam pula. Pemanfaatan buah
delima dalam kehidupan manusia sejak lama dan kisaran persilangan bebas alami
(out-crossing) yang tinggi diduga telah menginduksi keragaman genetik tanaman,
walaupun tanaman delima tergolong tanaman menyerbuk sendiri (self-pollinated).
Kondisi ini menyebabkan, tanaman yang dihasilkan dari biji umumnya tidak sama
dengan induknya. Hingga kini diperikirakan terdapat lebih dari 500 varietas delima
di seluruh dunia. Namun demikian, hanya sekitar 50 varietas yang diketahui
ditanam secara komersial (Hota & Dahiya, 2017; Venkatesha & Yogish, 2016).
Studi filogenetik delima pada ordo Myrtales dengan menggunakan ITS (internal
transcribed spacer) menunjukkan bahwa delima (P. granatum) mempunyai
kekerabatan yang dekat anggota marga Punica lainnya yaitu P. protopunica.
Punica granatum L. 179
(Lythraceae)

Sedangkan marga Punica sendiri mempunyai jarak genetik yang sempit dengan
Woodfodia dan Pemphis dibandingkan dengan marga lainnya dalam ordo Myrtales
(Narzary, Ranade, Divakar, & Rana, 2016). Studi molekuler menggunakan AFLP, RAPD
dan SNP juga telah dilakukan pada asesi atau kultivar delima di beberapa tempat.
Secara umum hasil studi menunjukkan bahwa kultivar delima menunjukkan variasi
genetik yang tinggi. Namun demikian, variasi genetik yang ada hanya merujuk
pada 2 struktur kelompok penyebaran yaitu kelompok 1 yang mencakup India,
China dan Iran serta kelompok 2 yang mencakup daerah Mediterania, Asia Tengah,
California, Spanyol hingga daratan Eropa (Ercisli et al., 2011; Kathuria, Bhargava,
Yadav, & Gurjar, 2017; Ophir et al., 2014).
Beberapa penulis melaporkan jumlah kromosom yang berbeda pada delima.
Beberapa laporan menyatakan bahwa jumlah kromosom somatik, 2n = 16 (n = 8),
sedangkan laporan lain menyebutkan 2n = 18 (n = 9). Tanaman dengan struktur
kromosom tetraploid juga ditemukan dengan jumlah kromosom somatik, 2n = 32.
Pada kultivar diploid dengan 2n = 16 diketahui bahwa 7 pasang kromosom tergolong
metasentrik dan 1 pasang kromosom submetasentrik dengan kandungan DNA
sebesar 1,4 pg (1412 Mbp) (Masoud, Khandan, & Nasre-Esfahani, 2005; Hassan
& Gawad, 2013). Beberapa laporan juga menunjukkan 8 pasang kromosom yang
terdapat pada asesi-asesi 2n = 16 mempunyai variasi pada frekuensi chiasma, pola
berpasangan dan segregasi yang menandakan perbedaan genom antarkultivar yang
ada. Keberadaan B-kromosom dan rendahnya kuadrivalen juga mengindikasikan
sumber rekombinan (Shedai, Kolahizadeh, Noormohammadi, Azani, & Nikoo,
2013; Sheidai, 2007).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Studi evolusi pada delima hingga kini masih terfokus pada tingkat genom. Pada
tingkat ini setidaknya tiga karakteristik yang menjadi fokus studi yaitu biosintesis
dan kandungan senyawa antioksidan kelompok ellagitannin dan derivatifnya,
perubahan warna pada selaput biji (konsentrasi antocyanin) dan perkembangan
biologi ovul (Yuan et al., 2018). Sejumlah gen terlibat dalam biosintesis senyawa
ellagitannin pada delima. Namun demikian, ekspresi gen-gen ini cenderung
menurun seiring perkembangan buah dibandingkan dengan tanaman lain seperti
jeruk, anggur dan apel. Hal ini mengindikasikan proses biosintesis senyawa
ellagitannin pada delima mempunyai proses reaksi biokimia lanjutan yang divergen
(Qin et al., 2017).
180 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Antocyanin merupakan pigmen utama yang memengaruhi intensitas warna


merah pada delima. Tidak seperti lecthii dan anggur, kulit dan daging buah (aril)
delima berubah berwarna merah saat masak. Delima dan Arabidopsis mempunyai
sejumlah duplikat gen yang mengatur proses biosintesis antocyanin. Namun
aktivasi dan ekspresi gen-gen duplikat pada setiap proses biokimia berbeda. Hal ini
mengindikasikan mekanisme biosintesis antocyanin pada delima dan Arabidopsis
mempunyai alur yang berbeda (Zhao, Yuan, Feng, & Fang, 2015).
Pada buah delima, lebih dari seratus ovul dapat berkembang dalam satu ovari
hingga membentuk biji dengan selaputnya. Dibandingkan dengan buah yang
mempunyai karakteristik biji yang sama seperti mentimun dan tomat yang hanya
mempunyai satu generasi pertumbuhan pada dua plasenta, pertumbuhan plasenta
pada biji delima mempunyai 2 hingga 3 lapisan pertumbuhan yang berbeda pada
dua tipe plasenta. Hal ini diduga berhubungan dengan ekspansi ekspresi sejumlah
gen yang berhubungan dengan perkembangan ovul pada delima dibandingkan
dengan gen duplikatnya pada mentimun dan tomat (Yuan et al., 2018).
Hingga kini belum terdapat laporan adanya erosi genetik tanaman delima dari daerah-
daerah pusat keragaman dan penyebaran genetik. Namun demikian, sedikitnya
kultivar yang beredar secara komersial (sekitar 50 kultivar) di dunia dibandingkan
dengan asesi delima yang dapat dikonsumsi (500 kultivar) mengindikasikan adanya
potensi asesi-asesi yang kurang komesial akan semakin jarang dibudidayakan
sehingga berpotensi terjadi kepunahan (Karimi & Mirdehghan, 2013). Saat ini di
beberapa negara telah diupayakan konservasi terhadap delima, di antaranya di
Azerbaijan, China, India, Iran, Israel, Rusia, Tajikistan, Thailand, Turkmenistan,
Tunisia, Turki, Ukraina, Amerika Serikat dan Uzbekistan.

VI. Aspek budidaya


Delima dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah kecuali pada tanah-tanah dengan
pH terlalu tinggi atau tanah salin. Tanaman delima menghendaki tanah dengan
drainase baik dan tidak telalu padat untuk perkembangan akar yang optimal.
Delima umumnya diperbanyak melalui biji, pemisahan anakan maupun pembiakan
vegetatif lain seperti cangkok dan setek batang (Andjarikmawati, Mudyantini, &
Marusi, 2005). Tanaman muda hasil perbanyakan umumnya dipelihara dulu dalam
wadah tunggal/polybag selama 2-3 bulan sebelum ditanam di lapang.
Punica granatum L. 181
(Lythraceae)

Tanaman muda yang telah mempunyai tinggi sekitar 50-60 cm ditanam dengan
jarak tanam 4 x 5 meter. Tanaman umumnya diberi penegak untuk membentuk tajuk
tanaman dan menahan pertumbuhan tajuk menggantung. Pemupukan dilakukan
dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik berupa pupuk
kandang dengan dosis 10 kg/tanaman diberikan saat awal tanam dan setiap 6
bulan. Pupuk anorganik yang diberikan meliputi urea sebanyak 100 g/tanaman,
50 g/tanaman SP-36 dan 100 g/tanaman KCl yang diberikan pada saat tanam dan
setiap 4 bulan (Blumenfeld, Shaya, & Hillel, 2000). Pemeliharaan lainnya meliputi
pemangkasan tajuk yang dilakukan 6 bulan sekali. Pemangkasan dilakukan untuk
membuang cabang/ranting yang telah mati. Pemangkasan juga bertujuan untuk
menjarangkan tajuk agar penetrasi sinar matahari dapat masuk ke dalam tajuk
dan merangsang pertumbuhan tunas baru (Hiremath, Patil, Hipparagi, Gandolkar,
& Gollagi, 2018).
Hama yang menyerang tanaman delima umumnya busuk buah yang disebabkan
oleh serangga Virachola livia, Criptoblabos gnidiella dan Planoccocus citri, aphid
(Aphis punica) yang menyerang bagian pucuk apikal, dan Tenupalpus granati yang
menyebabkan kerusakan pada daun (Blumenfeld et al., 2000). Sedangkan penyakit
utama yang menyerang buah adalah bercak dan busuk buah yang disebabkan
cendawan Cercospora sp., Aspergillus foetidus, Colletotrichum gloesporioides,
Pseudocercospora punicae, Curvularia lunata, Cercospora punicae and Alternaria
alternate (Ezra, Kirshner, Hershcovich, Shtienberg, & Kosto, 2014).
Buah dapat dipanen setelah 6 bulan dari masa berbunga. Buah masak ditandai
dengan pertumbuhan maksimal dengan permukaan kulit buah mengkilap. Buah
masak fisiologis juga akan terdengar nyaring bula ditepuk dengan menggunakan jari
secara perlahan. Buah dipanen dengan memotong tangkai buah sedekat mungkin
dengan cabangnya untuk menghindari rusaknya buah. Setelah buah dipanen,
buah kemudian dibersihkan dari ranting dan direndam pada larutan disinfektan.
Setelah dikeringanginkan, buah kemudian dikemas dan dipasarkan (Stein, Kamas,
& Nesbitt, 2011)
182 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Delima umumnya disajikan dalam bentuk buah segar maupun minuman. Buah
delima mempunyai kandungan senyawa kimia yang beragam dan berguna untuk
pengobatan dan kesehatan manusia. Buah yang sudah masak mengandung
sejumlah asam organik seperti asam sitrat, malat, oksalat, asetat, fumarat,
tartarat dan laktat dan gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa dan maltosa (Pablo
Melgarejo, Salazar, & Artés, 2000). Buah delima juga dideteksi mengandung
senyawa antioksidan seperti kelompok senyawa ellagiatannin dan gallotannin,
asam ellagik dan derivatnya, catecin dan procyanidin, kelompok antocyanin dan
antocyanidin (Rahimi, Arastoo, & Ostad, 2012) serta kelompok fenolik seperti
asam benzene dekarbosilat, asam benzoate, asam propinonat (Al-Huqail, Elgaaly,
& Ibrahim, 2018).
Dalam tubuh manusia, senyawa-senyawa organik yang dikandung dalam buah
delima bermanfaat dalam meningkatkan fungsi hati, mengurangi potensi hepatitis,
meningkatkan produksi hormon reproduksi seperti testosteron, mengurangi
risiko hypoglikemik, bersifat antibakteri, antiviral, anti cendawan (antibiotik)
termasuk mengurangi risiko kanker, penyakit malaria hingga serangan jantung,
meningkatkan serapan energi dan menurunkan obesitas, serta mengurangi plak
pada gigi (Rahmani, Alsahli, & Almatroodi, 2017).
Delima banyak diusahakan di daerah-daerah yang dekat dengan pusat penyebaran
utamanya. Sekitar 90% pertanaman delima berada di Asia dan Eropa, 9% di Afrika
Utara dan sekitar 1% di wilayah Amerika Utara. Spanyol merupakan negara
produsen delima terbesar dengan kapasitas lebih dari 22 ribu ton disusul Amerika
Serikat dengan kapasitas produksi sekitar 20 ribu ton. Namun demikian dalam
skala ekspor, Iran merupakan negara eksportir terbesar dengan volume 60 ribu
ton disusul India (35 ribu ton)(Chandra et al., 2010). Hingga kini belum terdapat
data yang akurat perihal luasan tanam dan panen tanaman delima di Indonesia.
Tanaman delima umumnya masih dibudidayakan secara sederhana dalam
pekarangan dan tidak dalam skala besar, sehingga potensi pengembangan secara
lebih komersial masih sangat luas.
Punica granatum L. 183
(Lythraceae)

Pustaka
1. Al-Huqail, A. A., Elgaaly, G. A., & Ibrahim, M. M. (2018). Identification of
bioactive phytochemical from two Punica species using GC–MS and estimation
of antioxidant activity of seed extracts. Saudi Journal of Biological Sciences,
25(7), 1420–1428. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2015.11.009
2. Amiryousefi, M. R., Zarei, M., Azizi, M., & Mohebbi, M. (2012). Modelling
some physical characteristics of pomegranate (Punica granatum L.) fruit
during ripening using artificial neural network. Journal of Agricultural Science
and Technology, 14(4), 857–867.
3. Andjarikmawati, D. W., Mudyantini, W., & Marusi. (2005). Perkecambahan dan
pertumbuhan delima putih (Punica granantum L.) dengan perlakuan Asam
Indol Asetat dan Asam Giberelat. BioSMART, 7(2), 91–94.
4. Babu, K. D., Singh, N. V., Gaikwad, N., Maity, A., Suryavanshi, S. K., & Pal, R.
K. (2017). Determination of maturity indices for harvesting of pomegranate
(Punica granatum). Indian Journal of Agricultural Sciences, 87(9), 1225–
1230.
5. Blumenfeld, A., Shaya, F., & Hillel, R. (2000). Cultivation of pomegranate.
Options Méditerranéennes Ser. A, 42, 143–147.
6. Chandra, R., Babu, D. K., Jadhav, V. T., & Teixeira da Silva, J. A. (2010). Origin,
history and domestication of pomegranate. Fruit, Vegetable and Cereal Science
and Biotechnology, 4(October 2016), 1–6.
7. Cizmovic, M., Popovic, R., Adakalic, M., Lazovic, B., & Perovic, T. (2016).
Characteristics of flowering and fruit set of main pomegranate varieties
(Punica granatum L.) in Montenegro. Agriculture and Forestry, 62(1), 83–90.
https://doi.org/10.17707/AgricultForest.62.1.10
8. Derin, K., & Eti, S. (2001). Determination of pollen quality, quantity and effect
of cross pollination on the fruit set and quality in the pomegranate. Turkish
Journal of Agriculture and Forestry, 25(3), 169–173. https://doi.org/10.3906/
tar-9911-13
9. Dhinesh Babu, K. (2010). Floral Biology of Pomegranate (Punica granatum
L.). Global Science Books, 4(2), 45–50. Retrieved from http://www.
globalsciencebooks.info/Online/GSBOnline/images/2010/FVCSB_4(SI2)/
FVCSB_4(SI2)45-50o.pdf
184 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

10. Ercisli, S., Kafkas, E., Orhan, E., Kafkas, S., Dogan, Y., Esitken, A., … Red, L. (2011).
Genetic characterization of pomegranate (Punica granatum L.) genotypes by
AFLP markers. Biological Research, 44, 345–350.
11. Ezra, D., Kirshner, B., Hershcovich, M., Shtienberg, D., & Kosto, I. (2014). Heart
rot of pomegranate: Disease etiology and the events leading to development
of symptoms. Plant Disease, 99(4), 496–501. https://doi.org/10.1094/pdis-
07-14-0707-re
12. Hassan, N. A., & Gawad, M. H. A. (2013). Morphological karyotype analysis
of eleven pomegranate cultivars. American-Eurasian Journal of Agricultural
& Environmental Sciences, 13(11), 1562–1567. https://doi.org/10.5829/idosi.
aejaes.2013.13.11.11263
13. Hiremath, A., Patil, S. N., Hipparagi, K., Gandolkar, K., & Gollagi, S. G.
(2018). Influence of pruning intensity on growth and yield of pomegranate
(Punica granatum L.) cv . Super Bhagwa under organic conditions. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry, 7(2), 1027–1031.
14. Hota, M., & Dahiya, D. S. (2017). Physico-chemical properties of some varieties
of pomegranate (Punica granatum L.). International Journal of Pure and Applied
Bioscience, 5(5), 979–983. https://doi.org/10.18782/2320-7051.2671
15. Ibrahim Oguz, H. (2012). Diversity of local pomegranate types (Punica
granatum L.) in eastern Turkey. Journal of Food, Agriculture and Environment,
10(2), 683–686.
16. Karimi, H. R., & Mirdehghan, S. H. (2013). Correlation between the
morphological characters of pomegranate (Punica granatum) traits and their
implications for breeding. Turkish Journal of Botany, 37(2), 355–362. https://
doi.org/10.3906/bot-1111-14
17. Kathuria, Ko., Bhargava, R., Yadav, P. K., & Gurjar, K. (2017). Molecular studies
ascertaining the phylogenetic relationships in pomegranate (Punica granatum
L.) cultivars using RAPD markers. International Journal of Current Microbiology
and Applied Sciences, 6(9), 1282–1291. https://doi.org/10.20546/
ijcmas.2017.609.154
18. Kumari, A., Dora, J., Kumar, A., & Kumar, A. (2012). Pomegranate (Punica
granatum) - Overview. International Journal of Pharmaceutical and Chemical
Sciences, 1(4), 1218–1222.
Punica granatum L. 185
(Lythraceae)

19. La Malfa, S., Gentile, A., Domina, F., & Tribulato, E. (2009). Primosole: A new
selection from sicilian pomegranate germplasm. Acta Horticulturae, 818,
125–132. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2009.818.17
20. Manju, Bisht, I., Rawat, S. S., & Thakur, N. (2015). Studies on floral biology
in pomegranate cv. Ganesh and Kandhari under valley conditions of Srinagar
(Garhwal) (bearing habit, time and duration of flowering, bud development,
flower characterters and anthesis). International Journal of Research in
Applied, Natural and Social Science, 5(3), 41–46.
21. Martinez-Nicolas, J. J., Melgarejo, P., Legua, P., Garcia-Sanchez, F., & Hernández,
F. (2016). Genetic diversity of pomegranate germplasm collection from Spain
determined by fruit, seed, leaf and flower characteristics. PeerJ, 4, e2214.
https://doi.org/10.7717/peerj.2214
22. Masoud, S., Khandan, M., & Nasre-Esfahani, S. (2005). Cytogenetical study of
some Iranian pomegranate (Punica granatum L.) cultivars. Caryologia, 58(2),
132–139. https://doi.org/10.1080/00087114.2005.10589443
23. Melgarejo, P., Martínez-Valero, R., Guillamón, J. M., Miró, M., & Amorós, A.
(1997). Phenological stages of the pomegranate tree (Punica granatum L.).
Annals of Applied Biology, 130(1), 135–140. https://doi.org/10.1111/j.1744-
7348.1997.tb05789.x
24. Melgarejo, Pablo, Salazar, D. M., & Artés, F. (2000). Organic acids and sugars
composition of harvested pomegranate fruits. European Food Research and
Technology, 211(3), 185–190. https://doi.org/10.1007/s002170050021
25. Mira Devi, S. P., Arulvasu, C., & Ilavarasan, R. (2015). Morphological and
anatomical studies on ornamental flowers of Punica granatum Linn.
Journal of Pharmaceutical & Scientific Innovation, 4(1), 44–51. https://doi.
org/10.7897/2277-4572.04111
26. Narzary, D., Ranade, S. A., Divakar, P. K., & Rana, T. S. (2016). Molecular
differentiation and phylogenetic relationship of the genus Punica (Punicaceae)
with other taxa of the order Myrtales. Rheedea, 26(1), 37–51.
27. Ophir, R., Sherman, A., Rubinstein, M., Eshed, R., Schwager, M. S., Harel-
Beja, R., … Holland, D. (2014). Single-nucleotide polymorphism markers from
de-novo assembly of the pomegranate transcriptome reveal germplasm
genetic diversity. PLoS ONE, 9(2), e88998. https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0088998
186 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

28. Qin, G., Xu, C., Ming, R., Tang, H., Guyot, R., Kramer, E. M., … Xu, Y. (2017). The
pomegranate (Punica granatum L.) genome and the genomics of punicalagin
biosynthesis. Plant Journal, 91(6), 1108–1128. https://doi.org/10.1111/
tpj.13625
29. Rahimi, H. R., Arastoo, M., & Ostad, S. N. (2012). A comprehensive review of
Punica granatum (Pomegranate) properties in toxicological, pharmacological,
cellular and molecular biology researches. Iranian Journal of Pharmaceutical
Research, 11(2), 385–400.
30. Rahmani, A. H., Alsahli, M. A., & Almatroodi, S. A. (2017). Active constituents of
pomegranates (Punica granatum ) as potential candidates in the management
of health through modulation of biological activities. Pharmacognosy Journal,
9(5), 689–695.
31. Rana, T., Narzary, D., & Ranade, S. A. (2010). Systematics and taxonomic
disposition of the genus Punica L. Pomegranate. Fruit, Vegetable and Cereal
Science and Biotechnology, 19–25.
32. Sakagami, Y., Murata, H., Nakanishi, T., Inatomi, Y., Watabe, K., Iinuma, M., …
Lang, F. A. (2001). Inhibitory effect of plant extracts on production of verotoxin
by enterohemorrhagic Escherichia coli O157 : H7. Journal of Health Science,
47(5), 473–477. https://doi.org/10.1248/jhs.47.473
33. Shedai, M., Kolahizadeh, S., Noormohammadi, Z., Azani, N., & Nikoo, M. (2013).
Correlation between geography and cytogenetic diversity in Pomegranate
(Punica granatum L.) cultivars in Iran. Acta Botanica Brasilica, 26(4), 953–965.
https://doi.org/10.1590/s0102-33062012000400025
34. Sheidai, M. (2007). B-chromosome variablity in pomegranate (Punica
granatum L.) cultivars. Caryologia, 60(3), 251–256. https://doi.org/10.1080/0
0087114.2007.10797944
35. Stein, L., Kamas, J., & Nesbitt, M. (2011). Pomegranates. Texas Fruit and Nut
Production, Texas Agrilife and Extension, E-613(2–13), 1–6.
36. Stover, E., & Mercure, E. W. (2007). The pomegranate: A new look at the fruit
of paradise. HortScience, 42(5), 1088–1092.
37. Venkatesha, H., & Yogish, S. N. (2016). High-yielding varieties of pomegranate.
International Journal of Applied Research, 2(2), 73–75.
Punica granatum L. 187
(Lythraceae)

38. Verma, N., Mohanty, A., & Lal, A. (2010). Pomegranate genetic resources and
germplasm conservation : A review. Fruit, Vegetable and Cereal Science and
Biotechnology, 4(2), 120–125.
39. Yazici, K., Kaynak, L., & Cevik, M. S. (2011). Anatomy of pomegranate (Punica
granatum L. ’Hicaznar’) fruit exocarp. Acta Horticulturae, 890(August 2011),
215–220.
40. Yuan, Z., Fang, Y., Zhang, T., Fei, Z., Han, F., Liu, C., … Zheng, H. (2018). The
pomegranate (Punica granatum L.) genome provides insights into fruit quality
and ovule developmental biology. Plant Biotechnology Journal, 16(7), 1363–
1374. https://doi.org/10.1111/pbi.12875
41. Zhao, X., Yuan, Z., Feng, L., & Fang, Y. (2015). Cloning and expression of
anthocyanin biosynthetic genes in red and white pomegranate. Journal of Plant
Research, 128(4), 687–696. https://doi.org/10.1007/s10265-015-0717-8
Penulis :
Kurniawan Budiarto1), Harwanto1), Agus Sugiyatno1) dan Hardiyanto2)
1)
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
Rubus idaeus L.
(Rosaceae)

Protologue
Rubus idaeus L., Sp. Pl. 1: 492 (1753).

Sinonim
• Rubus idaeus Blanco, Fl. Filip. [F.M. Blanco] 428 (1837).
• Rubus idaeus Vell., Fl. Flumin. 220 (1829).
• Rubus idaeus Pursh, Fl. Amer. Sept. (Pursh) 1: 346 (1813).
• Rubus idaeus Thunb., Fl. Jap. (Thunberg) 216 (1784).
• Rubus idaeus  var.  acalyphaceus  (Greene ex Fedde) Fernald,  Rhodora 21: 98
(1919).
• Rubus idaeus f. albus Fernald, Rhodora 21: 96 (1919).
• Rubus idaeus f. albus Fernald, Rhodora 10: 50 (1908).
• Rubus idaeus  var. americanus Torr., Ann. Lyceum Nat. Hist. New York 2: 196
(1827).
• Rubus idaeus  var.  arizonicus  (Greene ex Fedde) Fernald,  Rhodora 21: 98
(1919).
• Rubus idaeus var. borealisinensis T.T.Yu & L.T.Lu, Acta Phytotax. Sin. 20(3): 297
(1982) (1982).
• Rubus idaeus var. canadensis Richardson, Bot. App. (Richardson) 747 (1823).
• Rubus idaeus var. caudatus (B.L.Rob.) Fernald, Rhodora 52: 71 (1950).
• Rubus idaeus f. caudatus Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
• Rubus idaeus var. egglestonii Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
190 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

• Rubus idaeus  f. erythrochlamydeus  B.Boivin,  Bull. Soc. Bot. France 102: 238
(1955).
• Rubus idaeus var. eucyclus Fernald & Weath., Rhodora 33: 237 (1931).
• Rubus idaeus  var.  glabratus  T.T.Yu & L.T.Lu,  Acta Phytotax. Sin. 20(3): 297
(1982) (1982).
• Rubus idaeus  var.  gracilipes  M.E.Jones,  Bull. Montana State Univ., Biol. Ser.
ser. 15: 35 (1910).
• Rubus idaeus var. heterolasius Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
• Rubus idaeus subsp. komarovii (Nakai) Vorosch., in A.K. Skvortsov (ed.), Florist.
issl. v razn. raĭonakh SSSR 176 (1985): (1985).
• Rubus idaeus subsp. maritimus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3):
473 (1896).
• Rubus idaeus  f. marmoratus (Level. & Vaniot) Kitam., Acta Phytotax. Geobot.
26(1-2): 3 (1974).
• Rubus idaeus  subsp.  melanolasius  (Dieck) Focke,  Abh. Naturwiss. Vereins
Bremen 13(3): 473 (1896).
• Rubus idaeus var. melanolasius (Dieck) R.J.Davis, Contr. Fl. Idaho Leafl. 15: 22
(1946).
• Rubus idaeus  subsp.  melanotrachys  Focke,  Abh. Naturwiss. Vereins Bremen
13(3): 473 (1896).
• Rubus idaeus var. melanotrachys Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
• Rubus idaeus var. nesophilus Hodgdon & R.B.Pike, Rhodora 66: 148 (1964).
• Rubus idaeus subsp. nipponicus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3):
473 (1896).
• Rubus idaeus f. niveus J.W.Moore, Rhodora 52: 57 (1950).
• Rubus idaeus  var.  peramoenus  (Greene ex Fedde) Fernald,  Rhodora 21: 98
(1919).
• Rubus idaeus  subsp.  sachalinensis  (H.Lév.) Focke,  Biblioth. Bot. 72(2): 210
(1911).
• Rubus idaeus  var.  sachalinensis  (H.Lév.) C.L.Hitchc.,  Univ. Wash. Publ. Biol.
17(3): 175 (1961).
Rubus idaeus L. 191
(Rosaceae)

• Rubus idaeus var. shikokianus (Ohwi & Inobe) Kitam. & Naruh., Acta Phytotax.


Geobot. 26(1-2): 4 (1974).
• Rubus idaeus subsp. strigosus (Michx.) Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen
13(3): 473 (1896).
• Rubus idaeus  var.  strigosus  (Michx.) Maxim.,  Bull. Acad. Imp. Sci. Saint-
Pétersbourg 17: 161 (1872).
• Rubus idaeus f. succineus Rehder, J. Arnold Arbor. 23: 377 (1942).
• Rubus idaeus  f.  succineus  (Rehder) B.Boivin,  Bull. Soc. Bot. France 102: 238
(1955).
• Rubus idaeus f. tonsus Fernald, Rhodora 21: 96 (1919).
• Rubus idaeus  f.  tonsus  (Fernald) B.Boivin,  Bull. Soc. Bot. France 102: 238
(1955).
• Rubus idaeus  var. viburnifolius A.Berger, New York Agric. Exp. Sta. Bull. 1925,
pt. 2: 51 (1925).
• Rubus idaeus  subsp. vulgatus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3):
473 (1896).
• Rubus idaeus f. warei W.Deane & Fernald, Rhodora 22: 112 (1920).

Nama umum
Raspberry (Indonesia), Raspberry (Inggris), Framboise (Prancis), Raspberry
(Spanyol), Framboos (Belanda, Afrika), Himbeere (Jerman), RazuberÌ (Jepang),
Lampone (Itali), Hindberjum (Islandia), Santtalgi (Korea), RasabharÌ (Punjabi),
Malina (Rusia), Hallon (Swedia), Framboesa (Portugis), tawatu alealiq (Arab),
Bringebair (Swedia), ‘O Ka Hua (Hawaii)

I. Pendahuluan
Raspberry (Rubus idaeus L.) merupakan salah satu tanaman buah subtropika yang
banyak dikaitkan dengan pengobatan dan dunia kesehatan sejak dahulu kala. Hal
ini disebabkan isu kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam perjalanan
peradaban manusia. Pengobatan zaman dahulu menggunakan bahan alami
kembali menjadi tren kesehatan di satu dekade terakhir. Hal ini disebabkan bahan
kimia terbukti mempunyai efek samping yang berbahaya. Hummer et al. (2010)
melaporkan bahwa raspberry telah digunakan dalam pengobatan tradisional
untuk penyembuhan luka.
192 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Bagian tanaman yang mempunyai khasiat untuk kesehatan adalah buah dan
daun. Bagian tersebut telah biasa digunakan untuk mengobati berbagai penyakit,
termasuk penyakit saluran pencernaan dan sistem kardiovaskular, serta demam,
influenza, dan diabetes. Daun juga dapat diaplikasikan secara eksternal sebagai
agen antibakteri, anti-inflamasi, dan sudorific. Ekstrak daun raspberry telah
dilaporkan memiliki sifat antispasmodik dan relaksan otot (Hummer, 2010).
Raspberry adalah spesies yang termasuk ke dalam genus Rubus. Menurut
Bobinaitė, Viškelis, & Venskutonis (2016), spesies rubus asli berada di belahan
bumi bagian utara; namun pusat keragaman utama terletak di Asia. Subgenus
yang didomestikasi di antaranya adalah raspberry, blackberry, arctic raspberry,
dan flowering raspberry, yang semuanya telah digunakan dalam program
pemuliaan. Idaeobatus (raspberry) adalah yang paling penting dari subgenus yang
didomestikasi, sedangkan spesies raspberry yang banyak dibudidayakan secara
komersial adalah raspberry merah Eropa (R. idaeus L. subsp. Idaeus), raspberry
merah Amerika Utara (R. idaeus subsp. strigosus (Michx.)), dan rasberry hitam (R.
occidentalis L.).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Raspberry termasuk ke dalam Kerajaan Plantae, Divisi Angiospermae, Kelas:
Magnoliopsida, Bangsa: Rosales, Suku Rosaceae, Marga Rubus, Submarga
Idaeobatus, Jenis R. idaeus. Raspberry adalah kelompok beragam tanaman
berbunga yang terkait erat dengan blackberry. Baik raspberry dan blackberry
termasuk dalam marga Rubus. Ahli taksonomi menyatakan bahwa terdapat 12
submarga dalam Rubus, tetapi hanya raspberry (Idaeobatus) dan blackberry
(Eubatus) yang mempunyai nilai komersial tinggi (Pritts, 2003). Dua belas submarga
Rubus tersebut di antaranya; submarga Idaeobatus, Dalibarda, dan Anoplobatus
sebagian besar diploid, sedangkan Dalibardastrum, Malachobatus, dan Orobatus
secara eksklusif poliploid (Thompson, 1995, 1997).
Raspberry merah (Rubus idaeus L.) adalah semak beriklim sedang yang berumur
pendek, dengan sistem perakaran yang berumur panjang. Spesies ini mempunyai
buah lunak penting dan banyak ditanam di seluruh wilayah beriklim sedang dan
dingin di dunia. Secara alami, spesies raspberry mempunyai tipe pertumbuhan
yang membentuk koloni pucuk yang lebat. Pucuk-pucuk baru itu umumnya tumbuh
dan berasal dari batang dan akar pohon induknya. Banyaknya tunas yang tumbuh
Rubus idaeus L. 193
(Rosaceae)

menyebabkan kompetisi dan mengakibatkan banyak tunas yang mati. Tunas yang
dominan dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi percabangan dengan
pertumbuhan akar baru. Percabangan ini kemudian dapat memisahkan diri dari
pohon induknya dan menjadi individu baru setelah didahului dengan kematian
akar yang menghubungkan individu baru dengan induknya (Hudson, 1959).
Penjelasan rinci tentang struktur morfologis tanaman raspberry dan fase musiman
pengembangannya disajikan oleh Hudson (1959), yang juga mendefinisikan
sejumlah istilah untuk merujuk pada berbagai bagian dan struktur tanaman. Tunas
raspberry dapat muncul dalam tiga cara berbeda: (a) tunas adventif yang terbentuk
pada akar; (b) tunas aksiler terletak pada tunas tahunan di permukaan tanah atau,
lebih jarang, (c) sebagai cabang lateral yang keluar dari tunas ketiak. Setiap jenis
berperilaku dengan cara berbeda dalam menanggapi lingkungannya.

(a) (b)
Gambar 40. (a) Tanaman raspberry merah dan (b) variannya (kuning)
(foto: oka_ardiana_banaty).

Menurut Hummer (1996), sebagian besar spesies Rubus adalah semak tahunan.
Kebiasaan tanaman bervariasi dari tegak sampai menjalar. Beberapa tanaman
merambat naik, seperti bush lawyers (R. cissoides Cunn.) di Selandia Baru.
Contoh lainnya, cloudberry (R. chamaemorus L.), adalah bentuk kerdil alpine yang
berkembang melalui stolon di bawah tanah. Sebagian besar spesies rontok berganti
194 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

daun, tetapi ada pula yang selalu hijau. Panjang daun berbeda dari 1-20 cm. Daun
dapat berupa daun utuh, menjari, helaian dengan 3 anak daun (trifoliata), 5 anak
daun (pentifoliata, atau pinnately). Diameter batang bervariasi dari 2 hingga 7 cm.
Spesies rubus dapat mempunyai duri besar yang berulang hingga panjang 1,5 cm.

Gambar 41. Daun raspberry dengan 5 anak daun (pentafoliata) dan 3 anak daun
(trifoliata) (foto : oka_ardiana_banaty)

Raspberry mempunyai warna buah beberapa macam yaitu putih, kuning,


oranye, merah, ungu dan hitam (Hummer, 1996). Raspberry yang merah lebih
banyak dibudidayakan karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi disebabkan
kandungan fenolik yang tinggi (Anttonen & Karjalainen, 2005). Buah Raspberry
merah (Rubus idaeus L.) dapat dikonsumsi, baik dalam bentuk segar dan olahan.
Selain rasa dengan warna yang khas, manfaat yang terkandung dalam buah
menjadikan konsumsi buah raspberry meningkat dari tahun ke tahun (Carvalho,
Fraser, & Martens, 2013).

Gambar 42. Buah raspberry merah (foto : oka_ardiana_banaty)


Rubus idaeus L. 195
(Rosaceae)

III. Asal dan distribusi geografis


Raspberry menurut beberapa sumber dikonsumsi selama berabad-abad
sebagai sumber makanan dan berasal dari Asia kecil dan Amerika Utara.
Palladius seorang petani Romawi menulis tentang budidaya raspberry di
abad yang ke-4. Temuan ekologis di benteng Romawi di Inggris salah satunya
biji raspberry, menyebabkan asumsi bahwa Romawi menyebarkan budidaya
raspberry di Eropa. Raja Edward I (1272-1307) merupakan orang pertama
yang memberikan nama buah, dan akhirnya banyak dibudidayakan di kebun-
kebun di Inggris. Pada abad ke-18 budidaya raspberry telah menyebar ke
Eropa. Para penjajah membawa raspberry yang dibudidayakan ke Amerika
dan William Price menjual tanaman pembibitan komersial pertama pada
tahun 1771. Pada tahun 1867, ada lebih dari 40 varietas tanaman raspberry
yang berbeda. Setelah perang saudara budidaya raspberry menyebar hingga
sekitar 2.000 hektare di daerah New York, Michigan,Washington, Oregon,
Pennsylvania, Illinois, Indiana, dan Ohio. Pada tahun 1949 ada sekitar
60.000 hektare budidaya raspberry. Saat ini Negara bagian Washington
memproduksi hampir 70 juta pon (3.500 ton) raspberry per tahun, yang
merupakan 60% dari produksi raspberry Amerika Serikat. California dan
Oregon juga merupakan produsen utama. Raspberry hitam berlimpah
di Amerika Serikat sebelah timur, yang aslinya dari dari Amerika Utara
(Nutritiousfruit, http://www.nutritiousfruit.com/raspberries.html).
Distribusi geografis raspberry mencakup Eropa ke Asia Utara dan sebagian
besar wilayah beriklim sedang (Blumenthal M, dalam Zhang Ying et al.,
2011). Di daerah di mana spesies Rubus tumbuh, spesies liar ditemukan di
daerah pertumbuhan sekunder yaitu batas hutan dan sepanjang tepi jalan.
Tanaman yang dibudidayakan dan liar memiliki potensi untuk berinteraksi
dalam berbagai cara. Budidaya mempengaruuhi keanekaragaman genetik
dari populasi alami melalui hilangnya gen dan transfer oleh serbuk sari.
Populasi liar dapat berfungsi sebagai tanaman inang hama dan predator
alami mereka. Selain itu, populasi liar merupakan sumber potensial untuk
perbaikan pemuliaan tanaman tersebut. Namun informasi tentang sifat
dan tingkat interaksi serta hubungan antara populasi liar dan spesies Rubus
yang dibudidayakan sangat sedikit (Graham et al, 1997).
196 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Di Indonesia sudah ada penanaman raspberry hutan, namun masih


dibudidayakan sebagai koleksi di Kebun Raya Cibodas. Surya (2015)
melakukan inventarisasi dan karakterisasi 12 jenis dari 25 jenis raspberry asal
pegunungan yang tersebar di Indonesia antara lain R. alpestris, R. rosifolius,
R. pyrifolius, R. moluccanus, R. lineatus, R. fraxinifolius, R. chrysophylius,
R. ellipticus, R. sundaicus, R. beccarii, R. benguetensis, R. glomeratus, R.
sumatranus, R. alceifolius, R. niveous, R. smithii, R. calycius, R. elongatus, R.
clementis, R. malvaceus, R. macregorii, R. banghamii, R. acuminatissimus, R.
plicatus, dan Rubus sp. Penelitiannya menunjukkan bahwa buah raspberry
yang ada di Indonesia memiliki keragaman yang cukup luas mulai dari
warna, bentuk, ukuran dan rasa.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Menurut Hummer (1996) Rubus memiliki jangkauan perkecualian level ploidi (x
= 7) dari diploid, 2n = 14, ke tetradecaploid, 2n = 98. Sementara sebagian besar
spesies dalam kelompok gen raspberry primer dan sekunder adalah diploid ploidi
blackberry bervariasi dari 2n = 14 hingga 2n = 84. Raspberry dan perkawinan
silang blackberry bergantung pada ploidi, sehingga pemulia mencari level tertentu
dalam materi liar. Hasil penelitian Thompson (1995) dari 41 aksesi Subgenus
Idaeobatus (raspberry), 38 aksesi mempunyai struktur kromosom diploid.
Hitungan baru dilaporkan untuk 10 taksa: R. eustephanos (2x), R. hoffmeisterianus
(2x), R. lasiostylus var. hubeiensis (2x), R. mcvaughianus (2x), R. microphyllus
var. subcrataegifolius (2x), R. muelleri (4x), R. palmatus var. coptophyllus (2x), R.
pinfaensis (2x), R. rosifolius var. coronarius (2x), dan hibrida yang diduga dari R.
thibetanus (2x).
Peta genetik Rubus digunakan sebagai penanda dan studi mendalam pada
analisis kuantitatif. Peta genetik Rubus juga mengindikasikan kekerabatan Rubus
dan Fragaria dengan jarak genetik yang lebih dekat dibandongkan ke Malus atau
Prunus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa RLG1 dan RLG6 telah mengalami
penyusunan ulang relatif terhadap Fragaria LG homolog. Analisis kromosom tetua
berkontribusi menunjukkan bahwa dari empat genera, Prunus menunjukkan
penataan ulang paling sedikit dari asal tetua. Wawasan tentang konservasi genom
seluruh famili diperoleh dengan komparatif yang secara ekonomi genera penting
memberikan informasi yang berguna untuk ahli genetika dan pemulia tanaman
Rubus idaeus L. 197
(Rosaceae)

Rosaceae. Misalnya, keseragaman gen asal dapat diekstrapolasi dari dipetakan


ortologis penanda dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi gen yang diminati
dengan sedikit mempelajari tanaman Rosaceae sebelum ketersediaan urutan
genom. Perbandingan kromosom berkembang di sini akan memfasilitasi perakitan
dan penjelasan proyek urutan genom Rosaceae di masa depan (Bushakra et al.,
2012).
 Secara umum semua aksesi raspberry bisa dibedakan dari DNA nya. Dendrogram
dengan jelas menunjukkan keberadaan 2 kelompok utama. Pengelompokan aksesi
yang berasal dari berbagai wilayah geografis yang diamati. Semua raspberry
Bulgaria dikelompokkan dalam satu kelompok bersama-sama dengan 2 negara
Eropa (Schonemone dan Veten), Kanada (Tulameen) dan satu lagi Varietas Amerika
(Willamette). Hibrida - cv. Samodiva (Bulgarski Rubin x Shopska Alena) dan salah
satu tetuanya (B. Rubin) adalah pengelompokan di salah satu subkluster yang
diperoleh. Disarankan menggunakan alur khusus yang perlu dipelajari di daerah
kromosom (alel) dari salah satu tetua ke dalam genom cv. Samodiva. Garis mutan
No23006 dan No23005 (Samodiva 8000 Ro) yang dikarakterisasi dengan tingkat
kemiripan genetik tertinggi dikelompokkan dekat satu sama lain di salah satu
subclusters (Badjakov, Todrovska, Kondakova, Boicheva, & Atanassov, 2006).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Studi evolusi pada Raspberry sudah sampai pada tingkat spesies, termasuk pada
genus Rubus yang mempunyai lebih dari 250 spesies heterozigot dan terbagi dalam
12 subgenerasi (Mabberley,2008). Raspberry termasuk spesies R.idaeus yang
dibudidayakan mempunyai sekitar 200 spesies yang menunjukkan diferensiasi
cukup besar. Raspberry paling komersial adalah red Raspberry Eropa, Raspberry
merah Amerika dan Raspberry hitam. Raspberry merah dan hitam varian alami
warna kuning atau apricot yang dihasilkan dari alel resesif yang menekan produksi
pigmen merah. Produksi etilen meningkat dalam buah ketika buah mulai berubah
warna dan mencapai maksimum saat buah masak. Variasi genetik yang tinggi bisa
memaksimalkan kelayakan populasi dan potensi evolusi tanaman.
Erosi genetik pada Raspberry terutama karena ulah manusia yang dalam waktu
lama bisa memengaruhi kelangsungan hidup populasi varietas yang disebabkan
perubahan iklim (Young, Boyle, & Brown, 1996). Graham et al. (2009) melaporkan
bahwa hanya ditemukan 18 varietas Raspberry yang dibudidayakan dari 80 varietas
198 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

yang ada di alam liar. Secara genetik populai Raspberry merah liar berbeda dengan
Raspberry yang dibudidayakan (J Graham et al, 2003). Tanaman Raspberry merah
liar Skotlandia ada penurunan jumlah populasi (Julie Graham et al., 2009) dan
habitat yang menyebabkan erosi keragaman genetik (Young et al., 1996).
Tanaman Raspberry ini selama periode 10 tahun jumlahnya mengalami penurunan
drastis yang disebabkan oleh sebagian besar intervensi manusia seperti penggalian
tanah dan penggembalaan domba. Setiap tanaman mempunyai bentuk alel
yang unik di mana apabila tanaman kehilangan populasinya maka sama dengan
kehilangan alelnya. Dari banyaknya populasi R. ideaus hanya Clova B merupakan
populasi yang mempunyai ekspansi jumlah tanaman selama peiode 10 tahun,
Glen Clova merupakan populasi yang ada di sekitar hutan yang terisolasi dalam
dua batas yaitu aliran sungai dan dinding. Populasi yang ada di Clova A dan Glen
Clova juga mengalami penurunan jumlah tanaman yang disebabkan oleh adanya
penyakit akar dalam taraf rendah bukan disebabkan oleh intervensi manusia (Julie
Graham et al., 2009). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketinggian
daerah pertanaman menunjukkan variasi yang signifikan pada periode berbunga
dan berbuah di lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhannya sehingga bisa
mengurangi populasi tanaman yang tidak sesuai daerah tumbuhnya. Keadaan
tersebut bisa mengurangi jumlah populasi dan jumlah alel tanaman (Marshall et
al., 2001).
Tanaman Rapberry di Skotlandia dari 13 multilokus genotype 46 turunan tanaman
liar ada 27 turunan tanaman yang sama sekali tidak menghasilkan buah dan ada 19
turunan lainnya semuanya menghasilkan buah. Daerah pertumbuhan yang sama
mewakili genotipe yang sama, tetapi di daerah yang berbeda ketinggiannya telah
terbukti sangat mengurangi keragaman genetik (Lowe, Boshier, Ward, Bacles, &
Navarro, 2005). Jumlah tanaman berkurang dari 150 menjadi 46 selama periode
10 tahun disebabkan adanya gangguan habitat dan pengurangan ukuran populasi
alel langka yang cenderung hilang pertama kali diikuti oleh hilangnya alel umum
selama beberapa generasi (Lande,1988). Hilangnya plasma nutfah akan memiliki
pengaruh serius untuk produksi raspberry merah komersial jangka panjang, dan
juga untuk keberlanjutan populasi alami, yang juga merupakan sumber makanan
yang berharga bagi satwa liar. Sebagian besar kerugian tanaman telah dijelaskan
oleh dampak manusia, dan, akibatnya, pergantian populasi dapat terjadi dalam
siklus yang relatif singkat.
Rubus idaeus L. 199
(Rosaceae)

VI. Aspek budidaya


Dalam budidaya raspberry ada beberapa kondisi ekologi dalam mendukung
pertumbuhan tanaman ini. Tanah yang sesuai digunakan untuk pada penanaman
raspberry adalah tanah dengan kedalama lapisan lebih dari 1 meter, berpori
dan memiliki kelembapan 75%, keasaman rendah, tanah liat, dan subur. Hutan
dan tanah aluvial yang dalam adalah jenis yang paling sesuai untuk penaman
raspberry. Tanaman raspberry sering ditemukan di daerah pegunungan, tempat
yang penuh cahaya tetapi juga teduh, dengan kelembapan udara tinggi, dan suhu
sedikit panas. Meskipun raspberry ditemukan pada ketinggian hingga 2.000 m di
atas permukaan laut (dpl), dianjurkan untuk daerah yang menguntungkan untuk
budidaya raspberry yang harus dipilih adalah pada ketinggian hingga 1.000 m(dpl).
Daerah dengan iklim sedang, dengan suhu rata-rata 10 °C dengan curah hujan
tahunan dari 800 hingga 1000 mm, dengan distribusi yang teratur. Desain yang
bagus untuk kebun raspberry direkomendasikan pada posisi timur laut atau bara
laut dengan kemiringan tanah hingga 10% (Initiative for Agricultural Development
of Kosovo, 2015).
Raspberry tumbuh paling baik di bawah sinar matahari yang penuh dan terlindung
dari angin yang bertiup secara langsung, namun tidak dapat tumbuh pada
iklim yang curah hujanya tinggi. Sirkulasi udara dan pengairan yang baik dapat
membantu dalam proses penanaman. Idealnya raspberry harus ditanam di lereng
bukit sehingga udara dingin dapat mengalir ke daerah yang lebih rendah. Raspberry
sebagian besar dapat tumbuh baik pada tanah mineral yang cukup subur, tanah
lempung berpasir dalam yang mengandung bahan organik 5-7%. Tanah berpasir
ringan juga dapat diterima jika irigasinya tersedia. Raspberry paling baik digunakan
di tanah yang sedikit asam dengan pH 6,0- 6,8. Pada musim dingin raspberry
mudah rusak, sedangkan pada musim panas raspberry dapat tumbuh dengan baik
(Smith, Mahr, Manus, & Roper, 2007)
Pemberian pupuk bisa dilakukan pada tanaman pada 10-14 hari setelah tanam.
Pupuk diatur 3 sampai 4 inchi dari tunas baru dan batang. Untuk mengurangi
kerusakan pada musim dingin karena tunas yang lembut, perlu dihindari aplikasi
pupuk pada akhir musim panas. Mengaplikasikan pupuk dengan jumlah yang sesuai
dengan pertumbuhan dan hasil tanaman sangat penting. Pemeliharaan lain yang
diperlukan adalah pemangkasan yang dilakukan secara teratur (Bordelon, 2012).
200 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Sistem penanaman raspberry menggunakan naungan seperti bentuk terowongan


dapat lebih menekan pertumbuhan penyakit seperti embun tepung dan karat
daun dibandingkan yang ditanaman di lapang secara langsung. Teknik ini dapat
melindungi tanaman dari curah hujan yang bisa memicu berkembangnya penyakit.
Powdery mildew yang disebabkan oleh jamur Sphaerotheca macularis, muncul
dengan gejala bubuk putih (miselium jamur) yang menutupi permukaan tanaman
S. macularis merupakan parasite obligat yang dapat tumbuh pada tanaman
inangnya, jamur ini menyerang pada batang, daun, tangkai daun, dan buah.
Perkembangan miselium jamur menghasilkan spora yang tertular angina (konidia)
yang terus menyebabkan infeksi baru. Penanaman yang jauh dari semak belukar
dapat mengurangi perkembangan dan penyebaran penyakit (Heidenreich, Pritts,
Kelly, & Demchak, 2009).
Tiga penyakit penting yang paling umum adalah virus mosaik, antraknose, dan layu
vetilicium. Untuk mengendalikan virus hal yang perlu dilakukan adalah menanam
tanaman yang bebas penyakit dan berjarak 300 kaki (91,5 m) bila memungkinkan.
Untuk mengontrol antraknosa bisa dilakukan dengan melakukan sanitasi yang baik
dan penyemprotan menggunakan cairan kapur. Untuk mengontrol layu verticilium
bisa dilakukan dengan menghindari tanah yang terinfeksi. Serangga pada budidaya
tanaman raspberry merupakan masalah kecil. Serangga penggerek batang dapat
menyebabkan ujung tunas baru menjadi layu. Terkadang cacing buah merupakan
gangguan, namun dapat dikendalikan dengan penyemprotan teratur. Getah
kumbang dan kumbang terbang yang terjadi ketika buah terlalu masak. Kumbang
jepara juga menyerang buah matang. Panen secara teratur dan tuntas dapat
meminimalisasi kerusakan (Bordelon, 2012).
Berdasarkan syarat tumbuh tersebut, raspberry berpotensi dikembangkan pada
dataran tinggi di Indonesia karena faktor kecocokan suhu. Suhu menjadi faktor
pembatas utama untuk budidaya tanaman ini, di mana rata-rata suhu yang cocok
adalah 10 °C. Daerah pegunungan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur serta
Sumatera berpotensi sebagai lokasi budidaya. Namun, serangan hama dan penyakit
akan lebih variatif jika dibudidayakan di Indonesia dikarenakan suhu optimal yang
dibutuhkan tanaman hanya terjadi pada musim tertentu, tidak sepanjang tahun.
Alternatif solusinya adalah dibudidayakan di dalam screen house yang terkontrol
suhu dan kelembapannya.
Rubus idaeus L. 201
(Rosaceae)

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Raspberry biasa disajikan dalam bentuk segar maupun diproses secara komersial
menjadi buah-buahan cepat saji IQF (Individually Quick Frozen), block frozen,
purée, jus, konsentrat, buah kalengan, atau sebagai buah kering yang digunakan
dalam berbagai produk seperti pai, yogurt, es krim, dan topping makanan
penutup. Bahkan jus raspberry dijadikan salah satu campuran ke anggur/wine
untuk mendapatkan anggur rasa raspberry.
Raspberry kaya akan sumber senyawa bioaktif seperti fenolik, antosianin,
asam organik, mineral, dan lainnya. Selain itu juga memiliki jumlah senyawa
antioksidan yang sangat tinggi. Telah dikonfirmasi bahwa aktivitas antioksidan
dari buah raspberry berasal dari kontribusi senyawa fenolik dalam raspberry (Liu
et al., 2002). Aktivitas antioksidan raspberry terutama didasari oleh antosianin
dan ellagitannin yang memberikan kontribusi sekitar 25% dan 52% terhadap
total aktivitas antioksidan (Beekwilder, Hall, & De Vos, 2005). Ludwig et al.,
(2015) mengkarakterisasi kandungan antosianin dari raspberry merah komersial
terdiri atas cyanidin-3-O-sophoroside, cyanidin-3-O- (2 “-O-glucosyl) rutinoside,
cyanidin-3- O-glucoside, dan cyanidin-3-O-rutinoside.
Menurut Teng et al., (2017), saat ini kepentingan antosianin raspberry untuk
industri makanan dan farmasi terutama didasarkan pada beberapa karya ilmiah
yang yang membuktikan efek potensial mereka pada kemoprevensi (Seeram et
al., 2006; Wang & Stoner, 2008), peradangan (Park et al., 2006), dan kekebalan
tubuh. Manfaat kesehatan ini termasuk pencegahan penyakit kardiovaskular,
diabetes mellitus, obesitas, dan penyakit Alzheimer yang menyangkut hubungan
antara metabolisme kritis, oksidatif, dan peradangan (Burton-Freeman et al.,
2016). Krauze-Baranowska et al., (2013) mempelajari aktivitas antimikroba pada
beberapa varietas raspberry, dan dihasilkan bahwa senyawa dalam ekstrak
raspberry terbukti aktif melawan semua bakteri yang dianalisis, baik gram positif
maupun gram negatif. Hal ini dikaitkan dengan adanya peran dari sanguiin H-6
(ellagitannin utama dalam raspberry), asam ellagic bebas dan antosianin. Rubus
idaeus yang biasa dikonsumsi di Eropa, kaya akan polifenol, termasuk anthocyanin
cyanidin 3-O-sophoroside dan cyanidin 3-O-glucoside serta ellagitannins sanguiin
H-6 dan sanguiin H-10 (Borges, et al., 2010; González-Barrio et al., 2010).
202 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Hummer (2010) mengemukakan bahwa tradisi rakyat dari penduduk asli di seluruh
dunia seperti Yunani, Romawi, Asia (China dan India) juga telah menerapkan Rubus
sebagai obat. Meskipun di zaman modern ini Rubus ditanam untuk dikonsumsi
buahnya yang lezat dan kaya vitamin, namun di zaman dahulu mereka menggunakan
seluruh tanaman dan bagian-bagiannya. Di Australia, penduduk asli menggunakan
rebusan daun raspberry sebagai pengobatan tradisional untuk diare (Symons &
Symons, 1994).
Menurut Pritts (2003), tiga wilayah produksi raspberry yang terbesar adalah (1)
Rusia, (2) Eropa (sebagian besar di Polandia, Hongaria, Serbia, Jerman, dan Inggris),
dan (3) Pantai Pasifik Amerika Utara dan Kanada (Kolumbia Inggris, Washington,
dan Oregon). Banyak buah yang diproduksi di wilayah ini dipanen secara mekanis
dan diproses. Di daerah produksi lain, seperti Amerika Utara bagian timur,
hampir semua produksinya untuk pasar segar. Banyak negara lain, seperti Chili,
Selandia Baru, dan Australia, memiliki produksi yang signifikan karena mereka
memasok pasar segar selama musim dingin di belahan bumi utara. Produksi dunia
diperkirakan mencapai lebih dari 400.000 ton.
Di Serbia, buah Raspberry banyak tumbuh dan dikonsumsi dalam bentuk segar
maupun olahan yang diawetkan, seperti selai atau yogurt buah dan lain-lain.
Raspberry dipasok ke pasar sebagian besar melalui saluran perdagangan yang
terorganisasi, pembelian khusus, dan organisasi perdagangan, maupun pasar
langsung. Pada tahun 2006, di Serbia terdapat 220 pabrik pendingin dengan
kapasitas penyimpanan mulai dari 100 ton hingga 10.000 ton dan Serbia merupakan
pengekspor raspberry terbesar di dunia (Radosavljević, 2008).
Indonesia yang mempunyai junlah penduduk yang banyak maka kebutuhan
di bidang farmasi juga besar. Dengan kandungan raspberry yang baik untuk
kesehatan maka berpotensi mempunyai pasar jika dikembangkan. Tanaman yang
mempunyai kelebihan untuk kesehatan akan bernilai ekonomi tinggi jika dapat
dibuktikan secara ilmiah dan dikemas dengan baik. Nilai ekonomi yang tinggi juga
akan berdampak pada ketertarikan investor untuk mengembangkannya.
Rubus idaeus L. 203
(Rosaceae)

Pustaka
1. Anttonen, M. J., & Karjalainen, R. O. (2005). Environmental and genetic
variation of phenolic compounds in red raspberry. Journal of Food Composition
and Analysis, 18, 759–769. https://doi.org/10.1016/j.jfca.2004.11.003
2. Badjakov, I., Todrovska, E., Kondakova, V., Boicheva, R., & Atanassov, A. (2006).
Assessment the genetic diversity of bulgarian raspberry germplasm collection
by microsatellite and RAPD marker. Journal of Fruit and Ornamental Plant
Research, 14, 61–75.
3. Beekwilder, J., Hall, R. D., & De Vos, C. H. R. (2005). Identification and dietary
relevance of antioxidants from raspberry. BioFactors, 23(4), 197–205. https://
doi.org/10.1002/biof.5520230404
4. Bobinaitė, R., Viškelis, P., & Venskutonis, P. R. (2016). Chemical composition of
raspberry ( Rubus spp .) cultivars. Nutritional Composition of Fruit Cultivars.
Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-408117-8.00029-5
5. Bordelon, B. (2012). Raspberries. Purdue University Cooperative Extension
Service, 1–4.
6. Borges, G., Degeneve, A., Mullen, W., & Crozier, A. (2010). Identification of
flavonoid and phenolic antioxidants in black currants, blueberries, raspberries,
red currants, and cranberries. Journal of Agricultural and Food Chemistry,
58(7), 3901–3909. https://doi.org/10.1021/jf902263n
7. Burton-Freeman, B. M., Sandhu, A. K., & Edirisinghe, I. (2016). Red Raspberries
and Their Bioactive Polyphenols: Cardiometabolic and Neuronal Health Links.
Advances in Nutrition, 7(1), 44–65. https://doi.org/10.3945/an.115.009639
8. Bushakra, J. M., Stephens, M. J., Atmadjaja, A. N., Lewers, K. S., Symonds, V.
V, Udall, J. A., … Chagne, D. (2012). Construction of black ( Rubus occidentalis
) and red (R . idaeus) raspberry linkage maps and their comparison to the
genomes of stroberi, apple, and peach. Journal Theor Appl Genet. https://doi.
org/10.1007/s00122-012-1835-5
9. Carvalho, E., Fraser, P. D., & Martens, S. (2013). Carotenoids and tocopherols
in yellow and red raspberries. Food Chemistry, 139(1-4), 744–752. https://doi.
org/10.1016/j.foodchem.2012.12.047
204 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

10. González-Barrio, R., Borges, G., Mullen, W., & Crozier, A. (2010). Bioavailability
of anthocyanins and ellagitannins following consumption of raspberries by
healthy humans and subjects with an ileostomy. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 58(7), 3933–3939. https://doi.org/10.1021/jf100315d
11. Graham, J., Marshall, B., Squire, G. R., & Graham, J. (2003). Genetic
differentiation over a spatial environmental gradient in wild Rubus ideaus
populations, 667–675.
12. Graham, J., Woodhead, M., Smith, K., Russell, J., Marshall, B., Ramsay, G., &
Squire, G. (2009). New insight into wild red raspberry populations using simple
sequence repeat markers, 134(1), 109–119.
13. Heidenreich, A. C., Pritts, M., Kelly, M. J., & Demchak, K. (2009). High tunnel
raspberries and blackberries (Vol. 47).
14. Hudson, J. P. (1959). Effects of environment on Rubus idaeus L .: I . morphology
and development of the raspberry plant. Journal of Horticultural Science, 34,
163–169. https://doi.org/10.1080/00221589.1959.11513955
15. Hummer, K. E. (1996). Rubus diversity. HortScience, 4, 182–183.
16. Hummer, K. E. (2010). Rubus pharmacology : antiquity to the present.
HortScience, 45(July 2009), 1587–1591.
17. Initiative for Agricultural Development of Kosovo. (2015). Cultivation of
raspberry.
18. Krauze-Baranowska, M., Majdan, M., Hałasa, R., Głód, D., Kulaa, M., Fecka, I.,
& Orzeł, A. (2013). Antimicrobial activity of fruits from some cultivar varieties
of Rubus idaeus and Rubus ocidentalis. Food and Function. https://doi.
org/10.1039/x0xx00000x
19. Liu, M., Li, X. Q., Weber, C., Lee, C. Y., Brown, J., & Liu, R. H. (2002). Antioxidant
and antiproliferative activities of fruits. Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 50, 2926–2930.
20. Lowe, A. J., Boshier, D., Ward, M., Bacles, C. F. E., & Navarro, C. (2005). Genetic
resource impacts of habitat loss and degradation ; reconciling empirical
evidence and predicted theory for neotropical trees, 255–273. https://doi.
org/10.1038/sj.hdy.6800725
Rubus idaeus L. 205
(Rosaceae)

21. Ludwig, I. A., Pedro, M., Calani, L., Borges, G., Pereira-Caro, G., Bresciani, L.,
… Crozier, A. (2015). New insights into the bioavailability of red raspberry
anthocyanins and ellagitannins. Free Radical Biology and Medicine, 89(February),
758–769. https://doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2015.10.400
22. Marshall, B., Harrison, R. E., Graham, J., Mcnicol, J. W., Wright, G., Squire,
G. R., & Marshall, B. (2001). Spatial trends of phenotypic diversity between
colonies of wild raspberry Rubus idaeus, 671–682.
23. Nutritiousfruit. (2019). Raspberries : Origins - Consumption - Nutrition Facts
- Health Benefits.
24. Park, J. H., Oh, S. mee, Lim, S. S., Lee, Y. S., Shin, H. K., Oh, Y. S., … Kim, J.
K. (2006). Induction of heme oxygenase-1 mediates the anti-inflammatory
effects of the ethanol extract of Rubus coreanus in murine macrophages.
Biochemical and Biophysical Research Communications, 351(1), 146–152.
https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2006.10.008
25. Pritts, M. P. (2003). Raspberries and related fruits. In Rapberries and Related
Fruits (pp. 4916–4921).
26. Radosavljević, K. (2008). The market chain of fruit production in Serbia - A
case study of raspberry and sour cherry cultivation. Economic Annals, 53(177),
103–121. https://doi.org/10.2298/EKA0877103R
27. Seeram, N. P., Adams, L. S., Zhang, Y., Lee, R., Sand, D., Scheuller, H. S., & Heber,
D. (2006). Blackberry, black raspberry, blueberry, cranberry, red raspberry,
and stroberi extracts inhibit growth and stimulate apoptosis of human cancer
cells in vitro. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54(25), 9329–9339.
https://doi.org/10.1021/jf061750g
28. Smith, B. R., Mahr, D. L., Manus, P. S. M., & Roper, T. R. (2007). Growing
Raspberries in Wisconsin.
29. Surya, M. I, Ismaini, L, Destri. (2015). Keragaman buah Raspberries (Rubus
spp.) Asal Indonesia. Prosiding seminar nasional Biologi 2014. ISBN: 978-602-
17170-2-8. F MIPA Universitas Negeri Semarang. Hal 296-305.­
30. Symons, P., & Symons, S. (1994). Bush heritage : an introduction to the history
of plant and animal use by Aboriginal people and colonists in the Brisbane and
Sunshine Coast areas. P. and S. Symons.
206 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

31. Teng, H., Fang, T., Lin, Q., Song, H., Liu, B., & Chen, L. (2017). Red raspberry
and its anthocyanins: Bioactivity beyond antioxidant capacity. Trends in Food
Science & Technology. https://doi.org/10.1016/j.tifs.2017.05.015
32. Thompson, M. M. (1995). Chromosome Numbers of Rubus Species at the
National Clonal Germplasm Repository. HortScience, 30(7), 1447–1452.
33. Thompson, M. M. (1997). Survey of Chromosome Numbers in Rubus (
Rosaceae : Rosoideae ). Annals of the Missouri Botanical Garden, 84(1), 128–
164.
34. Wang, L.-S., & Stoner, G. D. (2008). Anthocyanins and their role in cancer
prevention. Cancer Letters, 269(2), 281–290. https://doi.org/10.1016/j.
canlet.2008.05.020
35. Young, A., Boyle, T., & Brown, T. (1996). The population genetic consquences
of habitat fragmentation for plants. Tree, 11, 413–418.
Penulis :
Buyung Al Fanshuri, Unun Triasih, Dina Agustina, dan Trifena Honestin
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Vaccinium corymbosum L.
(Ericaceae)

Protologue
Vaccinium corymbosum L. -- Species Plantarum 1: 350. 1753 [1 May 1753]

Sinonim
• Cyanococcus corymbosus (L.) Rydb. – Brittonia 1: 94. 1931
• Cyanococcus cuthbertii Small – Man. S.E. Fl. [Small] 1015, 1507 (1933)
• Vaccinium constablaei A. Gray – Amer. J. Sci. Arts 42:42. 1842
• Vaccinium corymbosum L. var. albiflorum (Hook.) Fernald – Rhodora 51: 104.
1949
• Vaccinium corymbosum L. var. glabrum A. Gray – Manual (Gray), ed. 2. 250
(1856)

Nama umum
Blueberry (Indonesia), Beri Biru (Melayu), Neelbadri नील बद्री (Hindi), Việt quất
(Vietnam), Blūbexr̒rī̀ บลูเบอร ์รี่ (Thailand), Beullu beli 블루 베리 (Korea), Lánméi
藍莓 (China), Burūberī ブルーベリー (Jepang), Arándano (Spanyol), Tawt ‫توت‬
(Arab), Brusnica (Bulgaria), Mirtilo (Portugal), Mirtillo (Italia), Myrtille (Perancis),
Bosbes (Belanda), Blaubeere (Jerman), Mustikka (Finlandia), Fenjabláber (Islandia),
Borówka amerykańska (Polandia), blåbær (Norwegia), Blåbär (Swedia).

I. I. Pendahuluan
Blueberry merupakan salah satu kelompok tanaman dari family Ericaceae khususnya
genus Vaccinium, bagian Cyanococcus. Genus Vaccinium mengandung lebih dari
450 spesies dan mempunyai karakteristik seperti semak, beberapa di antaranya
208 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

menghasilkan buah yang dapat dimakan. Menurut Song & Hancock (2011), spesies
tanaman Vaccinium yang paling penting ditemukan pada Cyanococcus (blueberry),
Oxycoccus (cranberry), Vitis-Idaea (lingonberry), Myrtillus (dwarf bilberry), dan
Vaccinium (bog bilberry).
Blueberry diklasifikasikan sebagai highbush blueberry atau blueberry semak tinggi
(Vaccinium corymbosum), lowbush blueberry atau blueberry semak rendah (V.
angustifolium), dan rabbiteye blueberry (V. ashei). Menurut Song & Hancock,
(2011), Belakangan ini hampir semua blueberry komersial dipanen dari tiga spesies
(1) highbush (V. corymbosum L.), (2) rabbiteye [V. ashei Reade (syn. V. virgatum
Ait.)], dan (3) lowbush (V. angustifolium dan V. myrtilloides). Untuk tujuan komersial
dan praktis, highbush blueberry adalah spesies yang paling populer karena ukuran
buah yang besar dan matang lebih cepat (Lee et al., 2013). Highbush dan lowbush
blueberry yang merupakan bagian cyanococcus hanya memiliki pigmen dalam kulit
buah, namun pada beberapa anggota bagian myrtillus memiliki pigmen antosianin,
baik dalam kulit maupun daging buah (W. Kalt et al., 2001).
Highbush Blueberry termasuk tanaman bernilai ekonomi tinggi yang berasal dari
wilayah subtropis dan beriklim sedang di sepertiga bagian timur Amerika Utara.
Bahkan blueberry jenis ini juga merupakan jenis tanaman utama yang dibudidayakan
dan ditanam di Amerika Utara serta di dunia (Boches, Bassil, & Rowland, 2006).
Blueberry varietas highbush diperkenalkan ke Eropa pada tahun 1930-an dimulai
dari Jerman dan Belanda (Naumann, 1993). Produksi highbush blueberry cukup
banyak di Amerika Utara khususnya Pasifik barat laut, wilayah Great Lakes, dan
negara bagian Atlantik di Amerika Serikat, sedangkan produksi lowbush blueberry
terlokalisasi di Kanada bagian timur dan Amerika Serikat bagian timur laut (W. Kalt
et al., 2001). Highbush blueberry dibagi menjadi tiga jenis yaitu northern highbush
blueberry (Vaccinium corymbosum L.), southern dan intermediate. Pembagian
ini bergantung pada suhu dingin yang dibutuhkan untuk perkembangan bunga
normal dan tingkat toleransinya terhadap suhu dingin (Hancock, 2010). Varietas
northern highbush blueberry dapat beradaptasi dengan suhu pertengahan musim
dingin yang cukup rendah di bawah -20 0C, tetapi tumbuh dengan baik di daerah
dengan suhu dingin selama 800 – 1.000 jam. Sedangkan varietas southern highbush
blueberry tidak dapat mentoleransi suhu musim dingin jauh di bawah titik beku dan
hanya dapat bertahan pada suhu dingin kurang dari 350 jam. Varietas lainnya yaitu
intermediate highbush blueberry dapat tumbuh baik pada suhu dingin selama 400
Vaccinium corymbosum L. 209
(Ericaceae)

- 800 jam. Menurut Mainland (2012), lebih dari 75% dari luas tanam blueberry saat
ini masih menggunakan hibrida yang dihasilkannya, terutama varietas ‘Bluecrop’,
‘Jersey’, ‘Weymouth’, ‘Croatan’, ‘Blueray’, ‘Bluelay’, ‘Rubel’ dan ‘Berkeley’.

II. Klasifikasi dan deskripsi botani


Blueberry merupakan tanaman semak berbunga yang tumbuh di daerah subtropis
termasuk dalam kingdom: Plantae, subkingdom: Viridiplantae, Divisi: Tracheophyta,
subdivision: Spermathophytina, Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Ericales, Famili:
Ericaceae, Genus: Vaccinium, section: Vaccinium  sect.  Cyanococcus (Gary D.
Wallace, 2013). Ada beberapa tanaman yang termasuk Vaccinium yaitu blueberry,
cranberry, lingonberry, bilberry, dan huckleberry (Richard E. Litz, 2005).
Pada tahun 1886, Gray hanya menemukan 2 macam spesies yaitu V. corymbosum
dan V. formosum Andr. Kemudian pada tahun 1897, Chapman menemukan
5 spesies dan 3 varietas, namun pada tahun 1945 Camp membaginya menjadi
12 spesies yaitu V. fuscatum Aiton, V. atrococcum (Gray) Heller, V. caesariense
Mackenzie, V. elliottii Chapman, V. australe, V. corymbosum, V. arkansanum, V.
marianum, V. simulatum, V. constable Gray, V. ashei, dan V. amoenum Aiton (Kloet,
1980). Di Portugal dilaporkan ada dua kelompok yang berbeda dari dua spesies
yang berbeda, yaitu dari 28 penanda spesifik yang digunakan ada 6 band spesifik
V. corymbosum dan 22 band spesifik V. myrtillus (Carvalho et al., 2018). Vaccinium
myrtillus L. yang disebut sebagai bilberry atau blueberry liar, merupakan semak liar
abadi yang tumbuh di tanah asam, pengunungan bermineral, hutan organik, dan
rawa gambut dari utara hingga Eropa tengah (Thierry Albert, Raspé, & Jacquemart,
2004).
Tinggi tanaman Blueberry bervariasi antara 10 cm sampai 4 meter. Lowbush
blueberry yang dikenal sebagai blueberry liar biasanya mempunyai ukuran lebih kecil
dibandingkan highbush blueberry yang dibudidayakan, sementara jenis highbush
blueberry mempunyai tinggi 1,8 – 4 meter dan bersemak membentuk mahkota.
Ranting tanaman blueberry berwarna kuning-hijau (kemerahan di musim dingin)
dan ditutupi dengan titik-titik seperti kutil (Nesom & Davis, 2002). Daun blueberry
berwarna hijau berbentuk bulat telur atau elips dengan panjang 1-3 cm dan lebar
0,5 sampai 3,5 cm. Sedangkan bunganya berbentuk lonceng putih, merah muda
pucat atau merah dan kadang-kadang ada yang berwarna kehijauan.
210 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

(a) (b)
Gambar 43. Tanaman blueberry (foto : (a) https://search.creativecommons.org, (b)
oka_ardiana_banaty).

Gambar 44. Bunga tanaman highbush blueberry (foto : https://farm66.static.flickr.


com)

Buah blueberry berdiameter 5-16 mm dengan mahkota yang melebar di ujungnya,


awalnya berwarna pucat kehijauan menjadi merah keunguan dan akhirnya berwarna
ungu pekat saat matang serta dilapisi lapisan pelindung bubuk epicuticular atau
Vaccinium corymbosum L. 211
(Ericaceae)

lapisan bubuk putih yang merupakan lapisan lilin pelindung buah dari kerusakan
eksternal. Buah blueberry mempunyai rasa manis dengan keasaman yang beragam.
Organoleptik ini bergantung kepada ketinggian lokasi dari permukaan laut dan
garis lintang.

Gambar 45. Buah blueberry (foto : trifena_honestin)

Blueberry bagian Cyanococcus dapat dibedakan dari bilberry yang terlihat


hampir identik dengan warna dagingnya saat dipotong menjadi dua. Blueberry
yang matang memiliki daging hijau muda, sedangkan bilberry, whortleberry, dan
huckleberry berwarna merah atau ungu. Berbeda dengan buah blueberry abu
(Blueberry ash), buahnya berbentuk bulat oval, berwarna biru gelap berukuran
kecil dengan diameter 7 mm. Buah blueberry abu mempunyai ukuran 10 kali
lebih kecil dibandingkan blueberry genus Vaccinium yang dibudidayakan secara
komersial, beratnya sekitar 0.2 gram dengan berat biji berdiameter sekitar 5 mm
(Cortés-Rojas et al., 2016).

III. Asal dan distribusi geografis


Highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) pada awalnya dideskripsikan oleh
Linnaeus pada 1753 dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Peter Kalm di Amerika
Utara bagian Timur. Highbush blueberry (V. corymbosum L.) adalah tanaman asli
dari Florida tengah hingga Michigan tengah, suatu daerah di mana suhu terendah
yang diperkirakan dalam satu tahun rata-rata berkisar dari 0°C di Florida hingga
212 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

-30°C di Michigan. Jenis northern highbush blueberry ditanam terutama di Australia,


Prancis, Jerman, Michigan, New Jersey, Selandia Baru, Pasifik Barat Laut, Polandia
dan Chili. Kebanyakan blueberry highbush utara tidak tumbuh dengan baik di
Amerika Serikat bagian selatan karena mereka membutuhkan lebih dari 700 jam
dingin untuk mematahkan dormansi di musim semi. Southern highbush blueberry
tumbuh terutama di Australia, Argentina, California, Florida, Chili dan Spanyol
selatan. Sedangkan jenis intermediate highbush blueberry ditanam terutama di
Arkansas, Chili, Carolina utara dan Pasifik Barat Laut (Hancock, 2010).
Tahun 1911, blueberry masih dipanen dari alam atau semak-semak liar dan
kemungkinan tidak dapat hidup ditempat lain. Perbanyakan bluberry dilakukan oleh
petani untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, hal ini membuat blueberry
sebagai tanaman yang ingin dikembangkan di Amerika Utara, juga di seluruh dunia.
A.S. Frederick Coville adalah pakar botani pertanian yang mengatur produksi
komersial dan memecahkan misteri besar pertama tentang mengapa blueberry
tidak dibudidayakan dengan baik ketika ia menunjukkan pada tahun 1910, bahwa
tanaman ini harus ditanam di tanah lembap dan sangat asam. Kemudian dibuatlah
palang-palang pertama yang dirancang untuk meningkatkan sifat penting, seperti
ukuran dan rasa buah (USDA, 2011).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik


Blueberry merupakan kelompok tanaman kayu yang tersebar luas kecuali di
Indonesia. Berdasarkan morfologi vegetatif dan bunganya, blueberry memiliki
lebih dari 1000 spesies, yang sebagian besar dapat ditemukan di daerah tropis
(Luteyn, 2002). Menurut P. M. Lyrene & Perry (1988) V. corymbosum mencakup ras
diploid (2n = 2x = 24) dan tetraploid (2n = 4x = 48). Spesies-spesies pada submarga
Vaccinium memiliki jumlah ploid yang bervariasi, misalnya spesies V. arboerum
memiliki jumlah ploid 2x, V. agustifoluim memiliki jumlah ploid 4x (Ehlenfeldt &
Polashock, 2014) bahkan V. ashei memiliki jumlah ploid 6x (P. M. Lyrene & Perry,
1988).
Spesies Cyanococcus sulit didiskripsikan karena poliploidi dan kromosomnya kurang
dari 3 diferensiasi. Semua spesies berbentuk mahkota dimasukkan ke dalam V.
corymbosum dengan tiga tingkat kromosom. Sebagian besar kalangan hortikultura
dan pemulia blueberry merasa bahwa pola variasi dalam V. corymbosum cukup
berbeda untuk mempertahankan diploid V. elliottii Chapm. dan V. fuscatum Ait.,
Vaccinium corymbosum L. 213
(Ericaceae)

tetraploid V. simulatum V. ashei kecil dan heksaploid V. constablaei A. Gray (J. R.


Ballington, 1990; James R. Ballington, 2001; Galleta & Ballington, 1996; P. Lyrene,
2008).
Berdasarkan filogenetik morfologis, Vander Kloet & Dickinson (2009) membagi
genus Vaccinium menjadi 46 Jenis. Karakter yang digunakan untuk membatasi
pembagiannya berdasarkan taksonominya adalah bunga, buah, biji, dan bagian
vegetatif gagal (Kron, Powell, & Luteyn, 2002). Ratusan spesies Vaccinium yang asli
di dataran tinggi tropis telah diketahui, meskipun banyak yang memiliki potensi
sebagai tanaman hias atau untuk produksi buah.
Studi kekerabatan dan diversitas genetik pada marga Vaccinium dilakukan.
Berbagai penanda berbasis DNA telah digunakan untuk analisis keragaman dalam
genus Vaccinium (Debnath, 2005). Haghighi dan Hancock (1992) merupakan
yang pertama menggunakan AFLP sebagai penanda DNA. Albert et al. (2003)
menggunakan penanda RAPD dan Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP). Belakangan, teknik Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan
Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) juga digunakan (Gawroński, Kaczmarska, &
Dyduch-Siemińska, 2017).
Studi Vaccinium corymbosum menggunakan primer ISSR tunggal menghasilkan
pita polimorfik berkisar dari 5 hingga 9 dengan rata-rata 7,64 per primer dan 4,42
per genotip. Nilai-nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian lain pada
spesies Vaccinium lainnya; Debnath (2007) dalam V. vitis-idaea - 23,7 pita polimorfik,
Debnath (2009) dalam V. angustifolium - 17 pita polimorfik. Meskipun berasal dari
spesies yang sama namun perbedaan kultivar menjadi faktor berbedaan jumlah
pita polimorfik.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik


Studi evolusi pada blueberry sudah sampai pada tingkat spesies di mana genus
Vaccinium sudah mempunyai spesies yang banyak di Himalaya, New Guinea,
dan wilayah Andes Amerika Serikat. Jumlah spesies yang ada diperkirakan sudah
mencapai 150-450 (Luby et al., 1991). Dari berbagai macam spesies tersebut ada
empat macam spesies yang komersial yaitu Cyanococcus, Oxycoccus, Vitis-Idaea
dan Myrtillus. Identifikasi spesies dan kultivar yang tepat bisa menggunakan
spesifik band atau penanda molekuler yang tepat sebagai penanda potensial untuk
genotype suatu kultivar.
214 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Erosi genetik suatu tanaman dapat disebabkan oleh adanya rekayasa genetika
dan adanya penggantian tanaman varietas lokal yang menyebabkan tanaman
tidak dapat berkembang biak secara alami. Selain itu pertanian modern yang
mendorong petani untuk menanam varietas komersial saja sehingga varietas yang
ditanam jadi terbatas. Salah satu penyebab utama erosi genetik suatu tanaman
juga disebabkan oleh upaya pemuliaan tanaman modern, perubahan iklim dan
degradasi lingkungan, efek urbanisasi, praktik pertanian modern, bencana alam
dan konflik antar manusia (Richards et al., 1997).
Ada beberapa penelitian yang melaporkan bahwa terjadi erosi genetik terhadap
blueberry. Adanya penurunan keragaman genetik antara blueberry yang
dibudidayakan dan blueberry yang liar terbukti berdasarkan penelitian dari Brevis
et al. (2008) bahwa southern highbush blueberry kurang beragam secara genetik
dari yang sebelumnya. Heterozigositas highbush blueberry yang dibudidayakan
terus menurun sebagai konsekuensi dari pemuliaan selektif (Brevis et al., 2008).
Di Portugal, blueberry semak rendah (liar) telah mengalami beberapa peristiwa
erosi genetik dalam beberapa dekade terakhir hanya tersisa beberapa populasi di
kawasan lindung di Portugal Utara (Carvalho et al., 2018). Kultivar V. corymbosum
yang ada di Portugal merupakan hasil pengembangan dua persilangan dengan
kultivar Bluecrop.

VI. Aspek budidaya


Tanaman blueberry di Argentina biasanya mulai berbunga dari akhir Juni
hingga awal Agustus (suhu rata-rata harian 10,4 °C) dengan mekar yang
berlangsung selama 4 hingga 6 minggu, bergantung pada kultivar, wilayah
tumbuh, dan kondisi iklim (terutama suhu). Panen buah terjadi dari Oktober
hingga Desember (musim semi), dengan puncak produksi pada Oktober-
November. Setelah panen buah, pada awal musim panas, tanaman tetap
vegetatif sampai musim gugur, ketika tanaman memasuki dormansi (Pescie
et al., 2011).
Blueberry dapat tumbuh dengan baik pada tanah asam dan pengairan yang
baik, dengan keasaman optimal berkisar pada pH 4,3 sampai 4,8 (Eck et
al., 1990). Menurut Sideman (2016), tanah berpasir dan kaya akan organik
cocok untuk budidaya blueberry, sedangkan tanah liat cocok digunakan
bila ditambahkan bahan organik seperti lumut gambut dan pasir. Blueberry
Vaccinium corymbosum L. 215
(Ericaceae)

memiliki sistem perakaran yang dangkal (kedalaman kurang dari 60 cm),


dan jika ditanam pada tanah liat maka perlu diberi mulsa organik dengan
lapisan kurang lebih 10 cm, seperti kulit kayu, serbuk gergaji atau dedaunan.
Pemberian mulsa dapat meningkatkan jumlah bahan organik di tanah,
menjaga kelembapan di tanah, melindungi akar dari panas dan membantu
pengendalian gulma (Prodorutti et.al., 2007).
Mulsa organik dari kulit pinus dapat digunakan namun harganya cukup
mahal, sehingga dilakukan eksplorasi penggunaan mulsa yang lebih murah.
Mulsa plastik hitam-putih ternyata memiliki kemiripan fungsi seperti kulit
pinus dalam hal pertumbuhan tanaman dan hasil buah (Magee & Spiers,
1996). Kombinasi penggunaan abu batubara, limbah kompos dan kompos
daun juga memberikan hasil yang baik (Black & Zimmerman, 2002). Tetapi
mulsa organik juga dapat menjadi sumber inokulum patogen busuk akar,
atau dapat meningkatkan pertumbuhan patogen ini. Misalnya, Armillaria
spp. telah ditemukan pada kulit pohon jenis konifera yang digunakan sebagai
mulsa dalam penanaman highbush blueberry (D. Prodorutti et.al., 2006).
Sistem perakaran blueberry tidak hanya dangkal, tetapi juga memiliki
kapasitas perairan yang dangkal. Oleh sebab itu jumlah air yang
diterapkan dan waktu pengairan secara signifikan akan memengaruhi
produksi. Parameter ekonomi dan teknis, seperti jenis tanah, jarak tanam,
ketersediaan dan kualitas air, tenaga kerja yang tersedia dan biaya,
semua harus dipertimbangkan untuk pemilihan irigasi yang paling tepat
(Holzapfel et al., 2004). Dalam penanaman blueberry pengairan yang
umum digunakan adalah mikrojet dan sistem pengairan tetes, sementara
pengairan menggunakan sprinkler digunakan untuk melindungi tetap basah
dan lembap (Caruso & Ramsdell, 1995; Holzapfel et al., 2004). Penggunaan
sprinkler overhead tidak dianjurkan di daerah yang memiliki masalah
penyakit jamur yang parah, karena tingkat kelembapan yang terlalu tinggi
pada dedaunan menyebabkan infeksi oleh beberapa patogen.
Penggunaan jamur mikoriza dapat berasosiasi simbiosis dengan akar.
Sedangkan penggunaan bahan kimia dan pemupukan mineral secara intensif,
serta pemadatan tanah mencegah perkembangan dan pembentukan
populasi jamur mikoriza di penanaman blueberry (Koron & Gogala, 2000).
Pengembangan jamur mikoriza secara komersial untuk industri pembibitan
216 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

merupakan aspek inovatif dari budidaya blueberry. Inokulasi menggunakan


jamur mikoriza ericoid telah terbukti meningkatkan produktivitas dan
kualitas tanaman pembibitan, dan juga mengurangi kebutuhan pupuk
tambahan (Scagel, 2005).
Studi tentang patologi highbush blueberry terutama berfokus pada masalah
yang ada di Amerika Utara, di mana spesies tersebut berasal. Di wilayah
lain, seperti Eropa, Amerika Selatan dan Jepang, hanya ada beberapa
laporan saja tentang patogen yang parah. Hal ini menyimpulkan bahwa
penyakit pada blueberry di daerah budidaya baru hanya membutuhkan
pestisida yang terbatas. Perawatan yang intensif harus dilakukan untuk
menghindari adanya serangan penyakit baru, dengan menerapkan langkah-
langkah phytosanitary yang baik dan menggunakan benih yang bebas
penyakit. Sebelum mulai menanam di daerah baru sebaiknya dilakukan
survei di daerah tersebut untuk inang alternatif dan vector potensial pada
V. corymbosum, sebab resistensi atau toleransi penyakit merupakan hal
yang penting untuk dipertimbangkan (Prodorutti et al., 2007).
Beberapa penyakit highbush blueberry tersebar luas. Sebagian besar
penyakit tanaman ini terkait dengan lingkungan tertentu, atau terjadi hanya
sesekali. Berbeda dengan tanaman hortikultura lainnya, pengendalian
penyakit pada blueberry relatif sederhana, namun jika terjadi penyakit
bercak daun dan kanker, termasuk mumi daun dan antraknose, yang sangat
merusak. Penggunaan patogen jamur dan bakteri telah banyak diteliti
dan memiliki dampak yang baik, namun varietas yang tahan belum dapat
dikembangkan. Bakteri Bacillus subtilis QRD137 berhasil diterapkan pada
penyakit mumi daun (Scherm et al., 2004) dan Gliocladium virens dapat
meningkatkan luas dan jumlah daun, serta bobot tunas dan akar kering
(de Silva, Patterson, Rothrock, & Moore, 2000). Diagnosis patogen jamur
terutama didasarkan pada identifikasi morfologi, sedangkan virus umumnya
menggunakan metode serologis (ELISA). Hama utama blueberry di Amerika
Utara selain kumbang jepang (Popillia japonica Newman) adalah belatung
blueberry (Rhagoletis mendax Curran) dan cacing buah (Acrobasis vaccinii
Riley) (O’Neal et al., 2005).
Menurut Sholikhah, Aryani Dian, & Listyorini, (2017), di Indonesia ditemukan
tanaman endemik yang memiliki similaritas dengan billberry (V. myrtillus)
dan blueberry (V. corrymbosum) yang disebut Mentigi Gunung atau Cantigi
Vaccinium corymbosum L. 217
(Ericaceae)

Ungu (V. varingiaefolium (Blume) Miq.). Di Jawa, tanaman ini tumbuh secara
alami di sekitar lereng gunung berapi seperti Gunung Batok dan Bromo pada
ketinggian di atas 1.800 sampai 2.000 mdpl. Di daerah sekitar Bandung,
Jawa Barat, mentigi gunung mendominasi vegetasi sekitar kawah gunung
Tangkuban Perahu dan sekitarnya (Bandung Utara), pegunungan Patuha
(Bandung Selatan), serta Gunung Papandayan. Tanaman ini memiliki daun
muda berwarna merah dan berubah menjadi hijau, bunganya berwarna
ungu dan memiliki buah berbentuk bulat yang awalnya berwarna hijau dan
berubah menjadi hitam ketika sudah matang. 
Di Indonesia juga sudah mulai ada penanaman blueberry namun masih
dalam jumlah sedikit dan belum terdata secara nasional baik luas area
penanaman maupun produksinya. Diketahui sejak tahun 2014 Blueberry
sudah dibudidayakan di Cipanas, Kabupaten Cianjur, dalam rumah kaca
dengan merekayasa iklim. Kondisi rumah kaca dibuat optimum untuk
tanaman, yaitu meliputi suhu, intensitas cahaya, kelembapan dan lain-lain
(“Menanam blueberry, blackberry, ghooseberry, stroberi di Indonesia |
Berbagi Tak Pernah Rugi,” n.d.). Dengan adanya kedua informasi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa blueberry berpotensi untuk dikembangkan di
Indonesia, yaitu dengan membudidayakan mentigi gunung yang sudah
tumbuh secara alami di Indonesia untuk tujuan konservasi, maupun
dengan membudidayakan blueberry varietas highbush, lowbush, maupun
rabbit eye, dengan melakukan rekayasa iklim untuk memperoleh kondisi
optimal penanaman blueberry. Di antara ketiganya varietas yang paling
adaptif adalah rabbit eye karena dapat ditanam di habitat yang berbeda
dan beradaptasi dengan baik di lahan terbuka daripada varietas highbush,
selain itu juga karena toleransi yang tinggi terhadap kekeringan, suhu tinggi
dan berbagai tingkat pH tanah, dibandingkan dengan spesies Vaccinium
lainnya (Daniele Prodorutti et al., 2007).
Pada bulan Maret 2019, Kementerian Pertanian memberikan informasi
bahwa dalam waktu dekat, Ezawa, Ketua Asosiasi Petani Blueberry di
Jepang, akan berkunjung ke Indonesia menyampaikan 10 varietas terbaik
benih rabbit eye blueberry (Vaccinium virgatum Aiton) di Jepang untuk
dibudidayakan di tiga lokasi Indonesia, yaitu Bandung (Jawa Barat), Kaliurang
(Yogyakarta) dan Soe (NTT). Dalam setahun penanaman, dari tiga lokasi ini
218 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

akan diteliti manakah varietas yang tumbuhnya paling baik, dan selanjutnya
akan diperbanyak (“Kementerian Pertanian - Blueberry Organik Kisarazu
Siap Dibudidayakan di Indonesia,” n.d.).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi


ekonomi
Tanaman blueberry telah muncul secara internasional karena memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Konsumsi blueberry meningkat di seluruh dunia karena
banyak penelitian tentang efek menguntungkan terhadap kesehatan manusia.
Manfaat kesehatan utama termasuk pengurangan risiko penyakit kardiovaskular
dan neurodegeneratif (Zifkin et al., 2012).
Blueberry biasanya tersedia dalam bentuk buah segar, beku, maupun olahan
makanan dan minuman, seperti puree, buah yang dikeringkan, jus, jeli, selai, pai,
muffin, serta makanan ringan. Menurut Reque et al., (2014) blueberry dan produk
turunannya memiliki nilai pH rendah, yang berarti bahwa blueberry bersifat asam,
salah satu faktor penting dalam proses pengawetan. Buah blueberry seperti
kebanyakan buah beri yang lain, kaya akan flavonoid, tannin dan asam fenolik
(Reque et al., 2014). Blueberry memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan
dianggap sebagai sumber utama antioksidan (Prior et al., 1998).
Genus Vaccinium merupakan buah yang dikenal mempunyai antosianin tinggi
yang bisa memberikan warna biru, merah, ungu dan hitam pada buah blueberry
(Moyer et al., 2002). Antosianin yang dihasilkan tidak stabil biasanya dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti pH, suhu penyimpanan, struktur kimia, konsentrasi,
oksigen, cahaya, pelarut dan keberadaan enzim, protein dan ion logam. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa blueberry memiliki beberapa manfaat untuk
kesehatan karena memiliki senyawa bioaktif terutama antosianin (Heinonen et al.,
1998; Seeram, 2008; Smith et al., 2000).
Manfaat kesehatan itu antara lain dapat mencegah penyakit seperti kanker
(Katsube et al., 2003; Smith et al., 2000), diabetes mellitus (Martineau et al., 2006;
Stull et al., 2010) dan kardiovaskular (Basu et al., 2010; Heinonen et al., 1998)
serta neurodegenerative (Joseph et al., 2003; Krikorian et al., 2010). Selain itu,
blueberry juga dilaporkan memiliki efek menguntungkan pada penglihatan (Kalt
et al., 2010).
Vaccinium corymbosum L. 219
(Ericaceae)

Pada tahun 2010, Amerika Serikat memiliki area penanaman highbush blueberry
terbesar dengan jumlah 46% dari total dunia, diikuti oleh Chili (17%), Kanada
(12%), serta Argentina, Polandia, dan China (masing-masing 4-5%) (Strik, 2014).
Berdasarkan data dari US Highbush Blueberry Council yang dihimpun oleh Brazelton
(2011), area penanaman highbush blueberry di dunia meningkat dalam kurun
waktu 2 tahun dari tahun 2008 sampai 2010 dengan perkiraan 27.001 acre setara
dengan 10.926,92 hektare dari 162.483 acre menjadi 189.484 acre. Perubahan
ini mewakili peningkatan sekitar 17% selama 2 tahun. Penanaman blueberry
tetap berlanjut selama krisis ekonomi global karena didorong oleh meningkatnya
permintaan lokal dan global.
Produksi highbush blueberry di dunia baik dalam bentuk segar maupun sudah
diproses selama tahun 2008 sampai 2010 meningkat sebanyak 146,24 juta lbs atau
setara dengan 66,33 ribu ton dari 606,63 (275,16 ribu ton) menjadi 752,87 juta lbs
(341,50 ribu ton), yang berarti meningkat 24% selama 2 tahun (Brazelton, 2011).
Sejak penurunan di pasar olahan, pengalihan segar dan konsumsi telah tumbuh
pada tingkat yang luar biasa. Konsumsi blueberry di Asia sangat besar selama
dekade tersebut. Dari negara-negara kecil Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan,
konsumsi Jepang yang mapan dan China yang besar, produk blueberry untuk
pasar Asia siap dikembangkan. Dengan tradisi budaya yang meluas, yang berfokus
pada kesehatan dan kecantikan, blueberry sangat cocok untuk meningkatkan
pendapatan, kesadaran akan produk yang bernilai tinggi, sehingga blueberry
akan berkembang karena keinginan untuk sehat, bertambah usia, dan menikmati
makanan yang diinginkan terus meningkat. Produksi dan konsumsi berkembang
di seluruh dunia. Sebagian besar pertumbuhan produksi di daerah baru didorong
oleh pertumbuhan permintaan di tempat-tempat baru. Blueberry ditanam di
lebih banyak tempat dan akan lebih banyak orang mengkonsumsinya di seluruh
dunia (Brazelton, 2011). Di Indonesia juga sudah mulai ada penanaman blueberry
namun masih dalam jumlah sedikit dan belum terdata secara nasional baik luas
area penanaman maupun produksinya.

Pustaka
1. Albert, T., Raspé, O., & Jacquemart, A. ‐L. (2003). Clonal structure in Vaccinium
myrtillus L. revealed by RAPD and AFLP markers. International Journal of Plant
Sciences, 164(4), 649–655. https://doi.org/10.1086/375373
220 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

2. Albert, Thierry, Raspé, O., & Jacquemart, A.-L. (2004). Clonal diversity and genetic
structure in Vaccinium myrtillus populations from different habitats. Belgian
Journal of Botany, 137(2), 155–162. https://doi.org/10.2307/20794549
3. Ballington, J. R. (1990). Fruit varieties journal. Fruit Varieties Journal,
44(2), 54–62. Retrieved from https://www.cabdirect.org/cabdirect/
abstract/19901616805
4. Ballington, James R. (2001). Collection, utilization, and preservation of
genetic resources in Vaccinium. HortScience, 36(2), 206–213. https://doi.
org/10.21273/HORTSCI.36.2.206
5. Basu, A., Du, M., Leyva, M. J., Sanchez, K., Betts, N. M., Wu, M., … Lyons,
T. J. (2010). Blueberries decrease cardiovascular risk factors in obese men
and women with metabolic syndrome 1 – 3, 10–15. https://doi.org/10.3945/
jn.110.124701.chokeberries
6. Black, B. L., & Zimmerman, R. H. (2002). Industrial and municipal by-products
as substrates for highbush blueberry production. Acta Horticulturae, (574),
267–272. https://doi.org/10.17660/actahortic.2002.574.40
7. Boches, P., Bassil, N. V., & Rowland, L. (2006). Genetic diversity in the highbush
blueberry evaluated with microsatellite markers. Journal of the American
Society for Horticultural Science, 131(5), 674–686. https://doi.org/10.21273/
jashs.131.5.674
8. Brazelton, C. (2011). 2010 World blueberry acreage & production. US Highbush
Blueberry Council, 51.
9. Brevis, P. A., Bassil, N. V., Ballington, J. R., & Hancock, J. F. (2008). Impact of
wide hibridization on highbush blueberry breeding. Journal of the American
Society for Horticultural Science, 133(3), 427–437. https://doi.org/10.21273/
jashs.133.3.427
10. Caruso, F. L., & Ramsdell, D. C. (1995). Compendium of blueberry and
cranberry diseases. APS Press; Retrieved from http://www.sidalc.net/cgi-bin/
wxis.exe/?IsisScript=zamocat.xis&method=post&formato=2&cantidad=1&ex
presion=mfn=031021
11. Carvalho, M., Matos, M., & Carnide, V. (2018). Short communication:
Identification of cultivated and wild Vaccinium species grown in Portugal.
Spanish Journal of Agricultural Research, 16(3). https://doi.org/10.5424/
sjar/2018163-12502
Vaccinium corymbosum L. 221
(Ericaceae)

12. Cortés-Rojas, M. E., Mesa-Torres, P. A., Grijalba-Rativa, C. M., & Pérez-


Trujillo, M. M. (2016). Yield and fruit quality of the blueberry cultivars Biloxi
and Sharpblue in Guasca, Colombia. Agronomia Colombiana, 34(1), 33–41.
https://doi.org/10.15446/agron.colomb.v34n1.54897
13. de Silva, A., Patterson, K., Rothrock, C., & Moore, J. (2000). Growth promotion
of highbush blueberry by fungal and bacterial inoculants. HortScience, 35(7),
1228–1230. https://doi.org/10.21273/HORTSCI.35.7.1228
14. Debnath, S. C. (2005). Differentiation of Vaccinium Cultivars and Wild Clones
Using RAPD Markers. Journal of Plant Biochemistry and Biotechnology, 14(2),
173–177. https://doi.org/10.1007/BF03355954
15. Debnath, S. C. (2007). Inter simple sequence repeat (ISSR) to assess genetic
diversity within a collection of wild lingonberry (Vaccinium vitis-idaea L.)
clones. Canadian Journal of Plant Science, 87(2), 337–344. https://doi.
org/10.4141/P06-059
16. Debnath, S. C. (2009). Development of ISSR markers for genetic diversity
studies in Vaccinium angustifolium. Nordic Journal of Botany, 27(February),
141–148. https://doi.org/10.1111/j.1756-1051.2009.00402.x
17. Eck, P., Gough, R. E., Hall, I. V., & Spiers, J. M. (1990). Blueberry management.
In G. J. Galleta & D. G. Himelrick (Eds.), Small Fruit Crop Management (1st ed.,
pp. 273–301). New Jersey, USA: Prentice Hall.
18. Ehlenfeldt, M. K., & Polashock, J. J. (2014). Highly fertile intersectional blueberry
hibrids of Vaccinium padifolium section Hemimyrtillus and V. corymbosum
section Cyanococcus. Journal of the American Society for Horticultural Science,
139(1), 30–38. https://doi.org/10.21273/jashs.139.1.30
19. Galleta, G. J., & Ballington, J. . (1996). Blueberries, cranberries, and
lingonberries. In Fruit Breeding Volume II. Vine and small fruit crops. John
Wiley and Sons, Inc., N Y.
20. Gary D. Wallace. (2013). Ericaceae. In B. G. Baldwin, D. H. Goldman, D. J. Keil,
R. Patterson, T. J. Rossati, & D. H. Wilken (Eds.), The Jepson Manual : Vascular
Plants of California (Second, pp. 2–5). California: University of California.
21. Gawroński, J., Kaczmarska, E., & Dyduch-Siemińska, M. (2017). Assessment of
genetic diversity between Vaccinium corymbosum L. cultivars using RAPD and
ISSR markers. Acta Scientiarum Polonorum, Hortorum Cultus, 16(3), 129–140.
https://doi.org/10.24326/asphc.2017.3.13
222 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

22. Haghighi, K., & Hancock, J. F. (1992). DNA Restriction fragment length variability
in the genomes of highbush blueberry. HortScience, 27(1), 44–47. https://doi.
org/10.21273/HORTSCI.27.1.44
23. Hancock, J. (2010). Highbush blueberry breeding. Latvian Journal of Agronomy,
(12), 35–38.
24. Heinonen, I. M., Meyer, A. S., & Frankel, E. N. (1998). Antioxidant activity of
berry phenolics on human low-density lipoprotein and liposome oxidation.
Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46(10), 4107–4112. https://doi.
org/10.1021/jf980181c
25. Holzapfel, E. A., Hepp, R. F., & Mariño, M. A. (2004). Effect of irrigation on fruit
production in blueberry. Agricultural Water Management, 67(3), 173–184.
https://doi.org/10.1016/j.agwat.2004.02.008
26. Joseph, J. A., Denisova, N. A., Arendash, G., Gordon, M., Diamond,
D., Shukitt-Hale, B., & Morgan, D. (2003). Blueberry supplementation
enhances signaling and prevents behavioral deficits in an Alzheimer
disease model. Nutritional Neuroscience, 6(3), 153–162. https://doi.
org/10.1080/1028415031000111282
27. Kalt, W., Ryan, D. A. J., Duy, J. C., Prior, R. L., Ehlenfeldt, M. K., & Vander Kloet,
S. P. (2001). Interspecific variation in anthocyanins, phenolics, and antioxidant
capacity among genotypes of highbush and lowbush blueberries (Vaccinium
section cyanococcus spp.). Journal of Agricultural and Food Chemistry, 49(10),
4761–4767. https://doi.org/10.1021/jf010653e
28. Kalt, Wilhelmina, Hanneken, A., Milbury, P., & Tremblay, F. (2010). Recent
research on polyphenolics in vision and eye health. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 58(7), 4001–4007. https://doi.org/10.1021/jf903038r
29. Katsube, N., Iwashita, K., Tsushida, T., Yamaki, K., & Kobori, M. (2003).
Induction of apoptosis in cancer cells by bilberry (Vaccinium myrtillus) and
the anthocyanins. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 51(1), 68–75.
https://doi.org/10.1021/jf025781x
30. Kementerian Pertanian - Blueberry Organik Kisarazu Siap Dibudidayakan di
Indonesia. (n.d.). Retrieved December 4, 2019, from https://www.pertanian.
go.id/home/?show=news&act=view&id=3648
Vaccinium corymbosum L. 223
(Ericaceae)

31. Kloet, S. P. Vander. (1980). The taxonomy of the highbush blueberry, Vaccinium
corymbosum. Canadian Journal of Botany, 58(10), 1187–1201. https://doi.
org/10.1139/b80-148
32. Koron, D., & Gogala, N. (2000). The use of mycorrhizal fungi in the growing of
blueberry plants (Vaccinium corymbosum L.). Acta Horticulturae, (525), 101–
106. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2000.525.11
33. Krikorian, R., Shidler, M. D., Nash, T. A., Kalt, W., Vinqvist-Tymchuk, M. R.,
Shukitt-Hale, B., & Joseph, J. A. (2010). Blueberry supplementation improves
memory in older adults. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(7),
3996–4000. https://doi.org/10.1021/jf9029332
34. Kron, K. A., Powell, E. A., & Luteyn, J. L. (2002). Phylogenetic relationships
within the blueberry tribe (Vaccinieae, Ericaceae) based on sequence
data from matK and nuclear ribosomal ITS regions, with comments on the
placement of Satyria. American Journal of Botany, 89(2), 327–336. https://
doi.org/10.3732/ajb.89.2.327
35. Lee, J. I., Yu, D. J., Lee, J. H., Kim, S. J., Lee, H. J., Yu, D. J., & Lee, H. J. (2013).
Comparison of mid-winter cold-hardiness and soluble sugars contents in
the shoots of 21 highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) cultivars.
The Journal of Horticultural Science and Biotechnology, 88(June), 727–734.
https://doi.org/10.1080/14620316.2013.11513031
36. Luby, J. J., Ballington, J. R., Draper, A. D., Pliszka, K., & Austin, M. E. (1991).
Blueberries and cranberries (Vaccinium). In Moore JN, Ballington JR (eds)
Genetic resources of temperate fruit and nut crops. International Society for
Horticultural Science, Wageningen, Netherlands (pp. 393–456).
37. Luteyn, J. L. (2002). Diversity, adaptation, and endemism in neotropical
Ericaceae: biogeographical patterns in the Vaccinieae. The Botanical Review,
68(1), 55–87. https://doi.org/10.1663/0006-8101(2002)068[0055:daaein]2.0
.co;2
38. Lyrene, P. (2008). Breeding southern highbush blueberries. In J. Janick (Ed.),
Plant Breeding Reviews (pp. 353–414). Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons,
Inc. https://doi.org/10.1002/9780470380130.ch8
39. Lyrene, P. M., & Perry, J. L. (1988). Blueberries. In Y. P. S. Bajaj (Ed.), Crops II
(Vol. 6). Berlin.
224 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

40. Magee, J. B., & Spiers, J. M. (1996). Influence of mulching systems on yield and
quality of southern highbush blueberries. Journal of Small Fruit & Viticulture,
3(2–3), 133–141. https://doi.org/10.1300/J065v03n02_14
41. Martineau, L. C., Couture, A., Spoor, D., Benhaddou-Andaloussi, A., Harris, C.,
Meddah, B., … Haddad, P. S. (2006). Anti-diabetic properties of the Canadian
lowbush blueberry Vaccinium angustifolium Ait. Phytomedicine, 13(9–10),
612–623. https://doi.org/10.1016/j.phymed.2006.08.005
42. Menanam blueberry, blackberry, ghooseberry, stroberi di Indonesia | Berbagi
Tak Pernah Rugi. (n.d.). Retrieved December 3, 2019, from https://isroi.
com/2014/09/13/menanam-blueberry-blackberry-ghooseberry-stroberi-di-
indonesia/
43. Moyer, R. A., Hummer, K. E., Finn, C. E., Frei, B., & Wrolstad, R. E. (2002).
Anthocyanins, Phenolics, and antioxidant capacity in diverse small fruits:
vaccinium, rubus, and ribes. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50(3),
519–525. https://doi.org/10.1021/jf011062r
44. Naumann, W. D. (1993). Overview of the Vaccinium industry in Western
Europe. Acta Horticulturae. https://doi.org/10.17660/actahortic.1993.346.6
45. Nesom, G., & Davis, K. (2002). Plant fact sheet blueberry (p. 2). United States
Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Retrieved
from https://plants.usda.gov/factsheet/pdf/fs_vaco.pdf
46. O’Neal, M. E., Mason, K. S., & Isaacs, R. (2005). Seasonal abundance of ground
beetles in highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) fields and response to
a reduced-risk insecticide program. Environmental Entomology, 34(2), 378–
384. https://doi.org/10.1603/0046-225x-34.2.378
47. Pescie, M., Lovisolo, M., De Magistris, A., Strik, B., & López, C. (2011). Flower
bud initiation in southern highbush blueberry cv. O’Neal occurs twice per year
in temperate to warm temperate conditions. Journal of Applied Horticulture,
13(1), 8–12.
48. Prior, R. L., Cao, G., Martin, A., Sofic, E., McEwen, J., O’Brien, C., … Mainland,
C. M. (1998). Antioxidant capacity as influenced by total phenolic and
anthocyanin content, maturity, and variety of Vaccinium species. Journal of
Agricultural and Food Chemistry, 46(7), 2686–2693. https://doi.org/10.1021/
jf980145d
Vaccinium corymbosum L. 225
(Ericaceae)

49. Prodorutti, Daniel, Palmieri, L., Gobbin, D., & Pertot, I. (2006). First report of
Armillaria gallica on highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) in Italy. Plant
Pathology, 55(4), 583. https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.2006.01411.x
50. Prodorutti, Daniele, Pertot, I., Giongo, L., & Gessler, C. (2007). Highbush
blueberry: cultivation, protection, breeding and biotechnology. The European
Journal of Plant Science and Biotechnology, 1(1), 44–56. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/228547443
51. Reque, P. M., Steffens, R. S., Silva, A. M. Da, Jablonski, A., Flôres, S. H., Rios, A.
de O., & Jong, E. V. De. (2014). Characterization of blueberry fruits (Vaccinium
spp.) and derived products. Food Science and Technology (Campinas), 34(4),
773–779. https://doi.org/10.1590/1678-457x.6470
52. Richard E. Litz (Ed.). (2005). Biotechnology of fruit and nut crops. CABI
Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851996622.0000
53. Richards, P., Ruivenkamp, G., Longley, C., Mcguire, S., Drift, R. Van Der,
Gonowolo, M., & Jusu, M. S. (1997). Seeds and survival : crop genetic resources
in war and reconstruction in Africa. Wageningen.
54. Scagel, C. F. (2005). Inoculation with ericoid mycorrhizal fungi alters fertilizer
use of highbush blueberry cultivars. HortScience, 40(3), 786–794. https://doi.
org/10.21273/HORTSCI.40.3.786
55. Scherm, H., Ngugi, H. K., Savelle, A. T., & Edwards, J. R. (2004). Biological
control of infection of blueberry flowers caused by Monilinia vaccinii-
corymbosi. Biological Control, 29(2), 199–206. https://doi.org/10.1016/
S1049-9644(03)00154-3
56. Seeram, N. P. (2008). Berry fruits: Compositional elements, biochemical
activities, and the impact of their intake on human health, performance, and
disease. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 56(3), 627–629. https://
doi.org/10.1021/jf071988k
57. Sholikhah, A., Aryani Dian, F., & Listyorini, D. (2017). Anatomy and morphological
study of mentigi gunung (Vaccinium varingiaefolium (Blume) Miq.) in area
of Mount Batok-Indonesia. KnE Life Sciences, ICBS Proceeding, 3(4), 36–45.
https://doi.org/10.18502/kls.v3i4.685
58. Sideman, B. (2016). Growing fruit : highbush blueberries (p. 4). University of
New Hampshire Education Center. Retrieved from http://extension.unh.edu
226 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

59. Smith, M. A. L., Marley, K. A., Seigler, D., Singletary, K. W., & Meline, B. (2000).
Bioactive properties of wild blueberry fruits. Journal of Food Science, 65(2),
352–356. https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2000.tb16006.x
60. Song, G., & Hancock, J. F. (2011). Vaccinium. In C. Kole (ed.), Wild Crop Relatives:
Genomic and Breeding Resources, Temperate Fruits, Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-16057-8
61. Strik, B. C. (2014). Organic blueberry production systems - Advances in research
and industry. Acta Horticulturae, 1017(September), 257–268. https://doi.
org/10.17660/ActaHortic.2014.1017.33
62. Stull, A. J., Cash, K. C., Johnson, W. D., Champagne, C. M., & Cefalu, W. T. (2010).
Bioactives in blueberries improve insulin sensitivity in obese, insulin-resistant
men and women. The Journal of Nutrition, 140(10), 1764–1768. https://doi.
org/10.3945/jn.110.125336
63. USDA. (2011). The delightful domesticated American Blueberry : some
research challenges for its next 100 years. Agricultural Research, 59(June).
64. Vander Kloet, S. P., & Dickinson, T. A. (2009). A subgeneric classification of
the genus Vaccinium and the metamorphosis of V. section Bracteata Nakai:
More terrestrial and less epiphytic in habit, more continental and less insular
in distribution. Journal of Plant Research, 122(3), 253–268. https://doi.
org/10.1007/s10265-008-0211-7
65. Zifkin, M., Jin, A., Ozga, J. A., Zaharia, L. I., Schernthaner, J. P., Gesell, A., …
Constabel, C. P. (2012). Gene expression and metabolite profiling of developing
highbush blueberry fruit indicates transcriptional regulation of flavonoid
metabolism and activation of abscisic acid metabolism. Plant Physiology,
158(1), 200–224. https://doi.org/10.1104/pp.111.180950
Penulis :
Trifena Honestin, Dina Agustina, Unun Triasih, Imro’ah Ikarini
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
INDEX

A
Actinidia deliciosa 3, 4, 6, 13, 15
Adaptif 22, 217
Anakronis 23, 24
Anggur pohon 115, 119, 122
Antioksidan 11, 28, 44, 60, 76, 93, 122, 149, 164, 179, 182, 201, 218
Antocyanin 179, 180, 182
Apricot 128, 129, 133, 137, 138
Astrophaea 98

B
Blueberry 207, 208, 209, 211, 212, 214, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223,
226
Buah batu 142, 143, 144, 162
Buah subtropika 16, 33, 49, 62, 82, 96, 114, 126, 138, 152, 172, 187, 206, 226
Bunga betina 4, 22, 26, 36, 54, 86, 174
Bunga jantan 4, 36, 53, 54, 86, 175

C
Caprifig 36, 37, 48
Cherry 139, 150, 151, 205
Cyanococcus 207, 208, 209, 211, 212, 213, 221

D
Decaloba 98, 103, 104
Deidamiodes 98
Delima 173, 174, 175, 177, 178, 180, 182
Dioecious 37, 41, 43
Diospyros kaki 17, 18, 19, 28, 29, 30, 32, 33
Domestikasi 38, 70, 89, 162
228 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

E
Edible figs 37, 39
Edulis 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
123, 169
Ellagitannin 179, 201

F
Farmakologis 136, 163
Ficus carica 35, 36, 40, 44, 46, 47, 48, 49
Filogenetik 7, 8, 9, 161, 178, 213
Fitokimia 11, 36, 74, 136
Flavicarpa 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 110, 111

H
Heterostili 176
Hexaploid 22, 88
Highbush 208, 209, 210, 212, 214, 215, 216, 217, 219, 220, 221, 222, 223,
224, 225, 226

I
Intermediate 176, 208, 212
Introduksi 2, 24, 52, 60, 89, 133, 150

J
Jaboticaba 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125

K
Kolesterol 28, 44, 60, 74, 75, 76
Kromosom somatik 103, 179

L
Leci 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62
Lemak tak jenuh 74, 75, 77, 164
Litchi chinensis 51, 52, 53, 61

M
Macadamia tetraphylla 63, 64, 66, 68, 80, 81
Morus alba 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 96
Murbei 83, 84, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 96
229
INDEX

O
Obat 45, 60, 84, 93, 107, 122, 136, 149, 163, 164, 202

P
Partenokarpi 26, 37, 38
Passiflora edulis 97, 99, 109, 110, 111, 112, 113, 114
Pertumbuhan lambat 116
Pistillate catkins 84
Plinia cauliflora (mart.) 115, 116
Kausel
Polifenol 28, 44, 45, 122, 136, 201
Poliploidisasi 7, 8, 23
Prunus armeniaca 127, 129, 137, 138
Prunus avium 139, 140, 143, 145, 151, 152
Prunus persica 153, 154, 155, 157, 159, 160, 162, 164, 165, 166, 167, 168, 169,
170, 171
Punica granatum 173, 174, 183, 184, 185, 186, 187

R
Raspberry 191, 192, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 202
Rosaceae 127, 129, 139, 140, 150, 151, 153, 155, 159, 166, 169, 170, 172,
189, 192, 197, 206
Rubus idaeus 189, 190, 191, 192, 194, 201, 204, 205

S
Sapindaceae 51, 53, 56
Self-incompatibility 66, 110, 111
Self pollination 177
Senyawa bioaktif 149, 201, 218
Sepat 22, 23, 27
Serat 11, 28, 44, 45, 60, 76
Stone fruits 155, 165
Subtropika 16, 33, 49, 62, 82, 96, 114, 126, 138, 152, 172, 187, 206, 226
Sulur pengait 98, 99, 100, 104, 105
Syncarp 86

T
Tanin 27, 28, 136
Tendril 98, 99, 100, 104, 105, 113
Tokoferol 75, 76
230 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

V
Vaccinium 207, 208, 211, 213, 221, 223, 224, 225
corymbosum
Vitamin E 76, 80, 81

Anda mungkin juga menyukai