C.01/01.2020
Judul Buku:
INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Penyunting Bahasa:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
Korektor:
Atika Mayang Sari
Editor:
Kuswanto
Titut Yulistyarini
Dita Agisimanto
Dwi M. Nastiti
Desain Sampul:
Zainuri Hanif
Penata Isi:
Makhbub Khoirul Fahmi
Jumlah Halaman:
122 + 14 hal romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2019
ISBN: 978-623-256-049-9
Tanaman buah subtropika merupakan salah satu komoditas hortikultura yang telah
banyak dikenal masyarakat dan dibudidayakan oleh pelaku usaha di Indonesia.
Beberapa tanaman subtropika yang berhasil dikembangkan di Indonesia adalah
jeruk, apel, lengkeng, stroberi dan anggur. Lebih dari sebelas provinsi di Indonesia
memiliki sentra-sentra produksi jeruk dengan variasi jenis seperti jeruk keprok,
manis dan siam. Komoditas jeruk juga mempunyai posisi yang strategis pada
perdagangan domestik dan internasional. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun dan mencapai 3,58 kg/kapita/tahun atau setara
dengan 94,8 ribu ton per tahun pada tahun 2018. Sedangkan pada komoditas apel,
lengkeng, stroberi dan anggur, nilai perdagangan Indonesia masih terbilang kecil
sehubungan dengan masih terbatasnya pengusahaan tanaman buah tersebut di
dalam negeri.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis, mempunyai potensi pengembangan
agribisnis tanaman buah subtropika yang tinggi. Pengembangan komoditas
tanaman buah subtropika ini tidak terbatas pada jenis-jenis asli Indonesia, tetapi
juga tanaman-tanaman introduksi yang telah beradaptasi dan tumbuh baik pada
kondisi tropis. Hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasi mengenai tanaman buah
subtropika sudah cukup banyak. Namun publikasi yang bersifat ilmiah dan populer
serta mudah dicerna untuk para pelaku usaha tanaman buah atau masyarakat
umum masih perlu ditingkatkan.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan komunikasi dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, promosi, dan komersialisasi hasil-hasil penelitian,
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, serta percepatan diseminasi
dan menginformasikan hasil-hasil penelitian kepada pengguna tanaman buah
subtropika perlu dilakukan untuk mendorong pengembangan agribisnis hortikultura
di Indonesia secara luas. Harapannya adalah dengan membaiknya perekonomian
vi INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
nasional, maka agribisnis tanaman buah subtropika dapat terus berkembang dan
manjadi komoditas unggulan hortikultura pada perdagangan nasional, regional
dan internasional.
Buku INDO HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science)
seri sumber daya genetik tanaman buah subtropika potensial menarik pembaca
untuk lebih mengenal tentang jenis-jenis tanaman buah subtropika potensial mulai
dari aspek morfologis, asal dan distribusi geografis, diversitas dan kekerabatan
genetik serta kegunaan lain dari jenis-jenis tanaman buah subtropika yang masih
sedikit dibudidayakan secara komersial di Indonesia. Buku ini juga dilengkapi
dengan foto-foto untuk memberikan gambaran visual dan memudahkan pembaca
untuk memahami isi buku. Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada insitusi/lembaga seperti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan
Buah Subtropika, Kebun Raya Purwodadi, Universitas Brawijaya dan individu kolektor
tanaman buah subtropika, serta pengelola situs-situs internet terkait seperti
https://pixabay.com, https://unsplash.com, https://search.creativecommons.
org, https://farm66.static.flickr.com yang telah memberikan izin penulis untuk
melakukan studi dan pengambilan objek visual pada tanaman koleksinya.
Buku INDO HITS seri sumber daya genetik tanaman buah subtropika potensial ini
diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat dan mendorong
pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan pemanfaatan sumber
daya genetik diharapkan dapat mendorong materi tersebut menjadi bernilai
ekonomi tinggi, sehingga dapat menjadi salah satu upaya dalam pemanfaatan dan
pelestarian sumber daya genetik serta menjadi elemen pengungkit kesejahteraan
masyarakat. Kritik dan saran serta berbagai masukan dari pembaca sangat kami
nantikan untuk perbaikan selanjutnya.
Editor
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... v
PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang & A. R. Ferguson(Actinidiaceae).................. 3
Diospyros kaki Thunb.(Ebenaceae)......................................................................... 17
Ficus carica L.(Moraceae)....................................................................................... 35
Litchi chinensis Sonn(Sapindaceae)........................................................................ 51
Macadamia spp.(Proteaceae)................................................................................ 63
Morus alba L.(Moraceae)....................................................................................... 83
Passiflora edulis Sims(Passifloraceae).................................................................... 97
Plinia spp.(Myrtaceae)......................................................................................... 115
Prunus armeniaca L.(Rosaceae)........................................................................... 127
Prunus avium L.(Rosaceae)................................................................................... 139
Prunus persica (L.) Batsch(Rosaceae)................................................................... 153
Punica granatum L.(Lythraceae)........................................................................... 173
Rubus idaeus L.(Rosaceae)................................................................................... 189
Vaccinium corymbosum L. (Ericaceae)................................................................. 207
INDEX.................................................................................................................... 227
DAFTAR GAMBAR
Gambar 15. Organ kluster bunga (raceme) Macadamia Integrifolia dan posisi
keluarnya pada ujung apical tunas. a. kluster bunga (raceme)
yang baru keluar, b. raceme yang sudah dipolinasi dan c. organ
bunga individual yang mekar dan kuntum
(foto : dita_agisimanto)..................................................................... 67
Gambar 16. Perkembangan buah Macadamia; (a) Buah kecil setelah
penyerbukan, (b) perkembangan cepat buah menuju pematangan,
(c) buah mulai masak dan retak, dan (d) kulit buah (husk)
sudah pecah dan biji siap panen (foto : dita_agisimanto). ............... 72
Gambar 17. Daun murbei (foto :anis_andrini)...................................................... 85
Gambar 18. Bunga betina murbei (foto : anis_andrini)......................................... 86
Gambar 19. Buah murbei belum masak hingga masak (kiri ke kanan)
(foto: anis_andrini, tiffany_anindya_arisanti)................................... 87
Gambar 20. (a) Tanaman markisa yang merambat pada para-para,
(b) merambat pada pucuk bambu, dan (c) merambat pada
pohon (foto: karsinah)....................................................................... 99
Gambar 21. Bunga markisa dengan variasi korona: (a) bunga markisa ungu
(P. edulis f. edulis Sims), (b) bunga markisa merah
(P. edulis f. edulis Sims), dan (c) bunga markisa kuning
(P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) (foto: karsinah)............................ 100
Gambar 22. Buah markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda
berwarna hijau dan berwarna ungu setelah tua atau masak,
serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah).......... 101
Gambar 23. Buah markisa merah (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda
berwarna hijau dan berwarna merah berbintik putih setelah tua
atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning orange
(foto: karsinah)................................................................................ 101
Gambar 24. Buah markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) pada saat
muda berwarna hijau dan berwarna kuning berbintik putih
setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning
(foto: karsinah)................................................................................ 102
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 25. Sulur pengait (tendril) pada tanaman markisa yang berfungsi
untuk mengait pada batang untuk menopang tegaknya tanaman
(foto: karsinah)................................................................................ 105
Gambar 26. Keragaan tanaman Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati).... 117
Gambar 27. Keragaan bunga dan buah muda Jaboticaba di Pasuruan
(foto : emi_budiyati)........................................................................ 118
Gambar 28. Keragaan buah Jaboticaba (foto : emi_budiyati).............................. 118
Gambar 29. Morfologi bunga aprikot (foto :Ugurtan & Gurc, 2012)................... 129
Gambar 30. Keragaman buah aprikot di Asia Tengah
(foto : Zaurov et al., 2013)............................................................... 130
Gambar 31. Kebun ceri di Belgia dengan tajuk tanaman yang dipertahankan
dengan ketinggian 3.5 - 4.5 m dalam sistem budidaya trellis.
(foto: oka_ardiana_banaty)............................................................. 141
Gambar 32. Bunga ceri (foto: akhirta_atikana)................................................... 142
Gambar 33. Buah ceri manis (foto: oka_ardiana_banaty).................................. 143
Gambar 34. Karakteristik bunga genus Prunus (Keterangan: putik tunggal
dengan satu kepala dan tangkai putik dengan satu bakal biji
(warna biru dan oranye) (foto : USDA)............................................. 144
Gambar 35. Aneka warna bunga persik (foto: zainuri_hanif).............................. 155
Gambar 36. Biji buah persik (foto: Sara Cervera on Unsplash)............................ 157
Gambar 37. Tanaman persik dalam kondisi matang optimal, siap petik
(foto: Joshua Ness on Unsplash)...................................................... 163
Gambar 38. (a) Tanaman delima dewasa dan (b) duduk daun pada tangkai
yang saling berseberangan (foto : kurniawan_budiarto). ............... 175
Gambar 39. (a) Bunga dan (b) buah delima (P. granatum L.)
(foto : (a) kurniawan_budiarto, (b) www.pixabay.com).................. 176
Gambar 40. (a) Tanaman raspberry merah dan (b) variannya (kuning)
(foto: oka_ardiana_banaty)............................................................. 193
xii INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Protologue
Actinidia deliciosa (A. Chev.) C. F. Liang & A. R. Ferguson, Guihaia 4(3): 181
(1984).
Sinonim
• Actinidia deliciosa var. chlorocarpa (C. F. Liang) C. F. Liang & A. R.
Ferguson, Guihaia 4(3): 182 (1984).
• Actinidia deliciosa var. coloris T. H. Lin & X. Y. Xiong, Guihaia 11(2): 117
(1991).
• Actinidia deliciosa var. longipila (Liang & R. Z. Wang) C.F.Liang &
A.R.Ferguson, Guihaia 4(3): 182 (1984).
Nama umum
Kiwi (Indonesia), kiwifruit (New Zealand), mihoutao (China).
I. Pendahuluan
Kiwi (Actinidia deliciosa) merupakan sejenis buah beri yang dapat dimakan dari
tanaman merambat berkayu dan berasal dari suku Actinidiaceae. Sebenarnya
marga Actinidia terdiri atas banyak jenis, yaitu dilaporkan ada sekitar 75 spesies,
namun hanya ada dua spesies utama yang penting yang telah dikembangkan secara
komersial, yaitu A. deliciosa dan A. chinensis (Burdon & Lallu, 2011; Hu, Zhao, Li,
& Shen, 2018). Perbedaan yang menonjol adalah A. deliciosa mempunyai daging
buah yang berwarna hijau terang, yang disebabkan oleh keberadaan klorofil yang
4 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
tetap tertahan selama pematangan buah dan buah masak. Sedangkan A. chinensis
mempunyai daging buah yang berwarna kuning keemasan, yang disebabkan oleh
hilangnya sebagian atau seluruh klorofil, sehingga jenis ini lebih dikenal dengan
sebutan golden kiwi (Padmanabhan & Paliyath, 2016; Ward & Courtney, 2013).
Produksi kiwi dunia sebanyak 90% berasal dari kultivar A. deliciosa dan 10% dari
kultivar A. chinensis (Huang, 2016d).
Tanaman kiwi adalah tanaman berumah dua, di mana terdapat bunga jantan dan
bunga betina pada tanaman yang berbeda, sehingga untuk memastikan terjadinya
penyerbukan silang dan pembentukan set buah maka tanaman jantan dan betina
harus ditanam secara berdekatan di dalam kebun dengan perbandingan delapan
tanaman betina dan satu tanaman jantan (Ferguson, 2013; Padmanabhan &
Paliyath, 2016). Penyerbukan dapat terjadi secara alami, seperti penyerbukan
oleh angin maupun serangga, seperti lebah. Lebah dan serangga lain tertarik pada
bunga karena warna dari mahkota bunga dan nektar yang dihasilkan oleh bunga.
Bunga tanaman kiwi berwarna putih susu saat baru mekar, namun berubah warna
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 5
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)
menjadi kuning atau cokelat kekuningan setelah beberapa hari (Huang, 2016a).
Penyebaran alami biji kiwi jauh dari tanaman induknya diduga dilakukan oleh
burung dan hewan mamalia. Di mana tanaman kiwi mampu melepaskan senyawa
organik yang mudah menguap (Volatile Organic Compounds/VOC) seperti ester,
aldehida dan lakton dari bagian buahnya, sehingga dapat menarik burung maupun
hewan penyebar biji lainnya. Dengan cara demikian akan memungkinkan proses
reproduksi dan evolusi tananam kiwi dapat terjadi (Rodriguez, Alquezar, & Pena,
2013).
Selain itu, penyerbukan juga dapat dilakukan secara buatan oleh manusia dan
mesin. Dua metode penyerbukan buatan tersebut sudah banyak dilakukan pada
perkebunan kiwi modern di China, New Zealand dan Italia, namun biayanya
memang sangat mahal (Huang, 2016b).
Bunga betina dan jantan pada tanaman kiwi sebenarnya secara morfologi adalah
bunga yang sempurna dan berkelamin ganda (hermaphrodite). Namun, tanaman
betina mempunyai bunga dengan bakal buah (ovary) dan putik yang berkembang
dengan baik, tapi benang sarinya tidak berkembang. Setelah penyerbukan, bakal
biji (ovule) akan berkembang menjadi biji, dan bakal buah (ovary) berkembang
menjadi buah. Sedangkan tanaman jantan mempunyai bunga dengan bakal buah
(ovary) yang tidak berkembang dan tidak mengandung bakal biji (ovule) yang
layak sehingga tidak dapat berkembang menjadi biji, dan bakal buah (ovary) tidak
berkembang menjadi buah (Ferguson, 2013).
Buah kiwi yang normal berbentuk oval, kira-kira sebesar telur ayam (5-8 cm dan
diameter 4,5–5,5 cm). Buah ini mempunyai kulit berwarna cokelat dan berambut.
Namun saat buah dipanen, rambut-rambut ini akan mati dan mudah dihilangkan.
Di dalam buah terdapat biji-biji kecil berwarna hitam dan bisa dimakan. Tekstur
buah ini sangat halus dan rasanya unik (Burdon & Lallu, 2011; Ward & Courtney,
2013). Namun, rasa dan aroma buah dari jenis kiwi hijau dan kiwi kuning berbeda
satu sama lain. Buah dari jenis kiwi kuning lebih beraroma dan rasanya lebih manis
dari pada jenis kiwi hijau, serta mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi (Li &
Zhu, 2017).
Sejak itu, penanaman dan produksi kiwi terus meningkat, terutama sejak akhir
tahun 1970-an ketika produksi kiwi secara komersial telah menyebar ke seluruh
penjuru dunia (Huang, 2016d). Hingga kini total area penanaman kiwi di seluruh
dunia sekitar 170.000 ha, di mana beberapa negara yang menjadi produsen kiwi
terbesar, di antaranya yaitu China, Italia dan New Zealand (Statista, 2017). Negara
penghasil kiwi lainnya termasuk Chile, Yunani, Perancis, Jepang, Iran, USA dan
Spanyol (Ward & Courtney, 2013).
Sementara itu, dalam marga Actinidia sendiri, sebuah studi pada kloroplas DNA
menunjukkan bahwa A. deliciosa mempunyai kekerabatan yang dekat dengan
A. chinensis. Bahkan literatur ada yang menyebutkan bahwa keduanya adalah
dua varietas yang berbeda dari satu spesies, yaitu A. chinensis var. chinensis dan
A. chinensis var. deliciosa, di mana ada kesepakatan umum bahwa A. chinensis
var. chinensis diploid kemungkinan adalah tetua dari A. chinensis var. deliciosa
heksaploid. Namun, masih ada perdebatan panjang tentang apakah A. chinensis
var. chinensis sebagai tetua tunggal atau ada spesies Actinida lainnya yang terlibat
dalam evolusi poliploid spesies tersebut (Guanglian et al., 2019; Huang, 2016e).
Selain itu, sebuah studi lain dengan menggunakan polimorfisme nukleotida
tunggal yang dideteksi dari genotip dengan cara sequencing (genotyping-by-
sequencing/GBS) juga telah dilakukan, dan menunjukkan bahwa asesi-asesi A.
deliciosa mempunyai keturunan campuran dengan A. chinensis. Dengan demikian,
hasil ini juga mendukung kemungkinan bahwa A. chinensis merupakan induk dari
A. deliciosa (Oh et al., 2019).
Untuk penanaman benih kiwi hasil okulasi perlu diperhatikan agar titik okulasi
tidak tertutup oleh tanah (3 – 5 cm di atas permuakaan tanah). Kerapatan
penanaman bergantung di antaranya pada kultivar kiwi yang ditanam, kondisi
kebun, dan sistem pendukungnya (Huang, 2016b). Untuk pemupukan, kebun
kiwi membutuhkan setidaknya 130 kg N, 50 kg P dan 210 kg K per hektare per
tahun. Jumlah dan frekuensi pupuk yang diberikan ini bergantung pada umur
tanaman, vigoritas tanaman, kebutuhan nutrisi pada berbagai tahap fenologis
dan hasil buahnya. Pupuk tersebut diberikan tiga kali dalam setahun, yaitu untuk
merangsang pertumbuhan tunas baru dan inisiasi bunga, saat perkembangan
buah, dan setelah masa panen (Huang, 2016b).
Pemeliharaan lain yang perlu dilakukan meliputi penyiangan, pengairan, dan
pemangkasan. Penyiangan dilakukan secara rutin untuk mengurangi kompetisi
nutrisi antara gulma dengan tanaman kiwi. Bisa juga dilakukan dengan memberikan
mulsa organik dari jerami untuk mengatasi gulma. Tanaman kiwi sensitif terhadap
kekeringan maupun genangan air, jadi lebih menyukai tanah yang lembap dan
berdrainase baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pengairan saat musim kering dan
drainase yang baik saat musim hujan. Untuk pemangkasan, perlu dilakukan saat
tanaman muda (pertumbuhan vegetatif) yang bertujuan untuk membentuk
struktur kanopi. Pemangkasan selanjutnya saat tanaman dewasa, di mana
semakin banyak percabangan untuk buah, sehingga pemangkasan bertujuan
untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan vegetatif dan generatif. Selain
itu, jenis tanaman kiwi yang sudah dibudidayakan secara komersial umumnya
mempunyai sifat sangat vigor dan membutuhkan struktur penyangga yang kuat.
Oleh karena itu, tanaman kiwi diberi struktur penyangga pergola atau palang T,
sistem busur, struktur pagar sederhana, tiang dari batang pohon, dan sebagainya
sehingga tanaman dapat diatur dengan mudah (Burdon & Lallu, 2011; Ferguson,
2013; Huang, 2016b).
Untuk mendapatkan hasil buah dengan ukuran yang seragam dan kualitas yang
baik maka perlu dilakukan penjarangan buah. Buah yang muncul di cabang lateral
ukurannya lebih kecil, maka dibuang. Demikian juga dengan buah yang berkembang
di kedua ujung tunas bunga harus dibuang, sedangkan buah yang berada di bagian
tengah tetap dipertahankan. Selanjutnya pemberongsongan buah dilakukan untuk
menjaga buah tetap bersih, bebas dari residu pestisida dan mencegah pembusukan
buah (Huang, 2016b).
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 11
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)
Hama yang menyerang tanaman kiwi umumnya adalah kutu sisik, wereng daun,
dan ngengat. Sedangkan penyakit utama yang menyerang tanaman kiwi adalah
kanker bakteri (Pseudomonas syringae pv. actinidiae, PSA). Penyakit ini sangat
merusak dan menjadi ancaman utama bagi pertanaman kiwi di dunia, karena sudah
menyebar ke berbagai negara penghasil kiwi dunia. Sampai saat ini belum ada
pengendalian yang efektif untuk mengatasi penyakit kanker bakteri. Oleh karena
itu, pengendalian dilakukan dengan upaya preventif melalui pertahanan secara
kimia maupun alami dan pengelolaan kebun secara baik. Sedangkan penyakit lain
yang umumnya menyerang adalah penyakit akibat jamur, seperti busuk akar dan
pangkal batang, serta busuk buah, dan penyakit akar simpul akibat nematoda
(Huang, 2016b). Selain itu, busuk pada buah juga dapat terjadi tidak hanya di
lapang, tapi juga dapat terjadi saat dalam masa penyimpanan (Pennycook, 1985).
Pematangan buah kiwi tercapai pada 120 – 200 hari sejak bunga gugur, maka buah
dapat dipanen ketika kandungan padatan terlarut telah mencapai 7 – 9%. Buah
yang siap panen telah mencapai ukuran maksimal dan terasa lunak ketika disentuh.
Tekstur kulitnya juga menjadi lebih lembut dan buah mengeluarkan bau harum
yang khas (Huang, 2016c, 2016a). Buah kiwi termasuk buah klimaterik, sehingga
proses pemasakan buah tetap berlangsung setelah buah dipetik (Hu et al., 2018).
buah kiwi kering dan selai kiwi mengandung elemen mineral yang tinggi. Dengan
demikian, buah kiwi dapat memberikan suplai zat gizi yang paling lengkap (Ma et
al., 2019).
Sebanyak 70% dari total produksi kiwi dunia adalah dari jenis A. deliciosa dengan
varietas Hayward (kiwi hijau). Meskipun buah kiwi kuning dari jenis A. chinensis
telah diperkenalkan dan tersedia di pasar internasional, namun sampai saat ini
buah kiwi hijau masih yang paling banyak diperdagangkan secara internasional
(Ferguson, 2013). Produksi buah kiwi di seluruh dunia mencapai 4,04 juta ton, di
mana negara-negara yang menjadi produsen utama buah kiwi yaitu China, Italia,
New Zealand, Iran, Yunani, Chile, Perancis, Turki, Portugal dan USA (Statista, 2017).
Bahkan buah kiwi menjadi komoditas untuk ekspor yang utama bagi New Zealand
(Follett et al., 2019). Nilai ekspor buah kiwi dari New Zealand tiap tahunnya bisa
mencapai lebih dari satu miliar dollar (Li & Zhu, 2017).
Di Indonesia, buah kiwi masih menjadi buah impor. Volume impor kiwi pada
tahun 2017 mencapai 4.908 ton (Pusdatin Pertanian, 2017). Pertanaman kiwi yang
ada di Indonesia saat ini hanya bersifat setempat dan dalam skala kecil, seperti
yang ada di Tangerang dan Tasikmalaya, sehingga hasilnya belum bisa memenuhi
kebutuhan lokal dan belum dapat dirasakan dalam skala nasional. Oleh karena
itu, peluang untuk mengembangkan kiwi di Indonesia dirasa cukup potensial.
Meskipun tanaman ini berasal dari daerah subtropis, namun dapat tumbuh di
daerah beriklim tropis termasuk Indonesia, seperti yang ada di Tangerang dan
Tasikmalaya tersebut. Namun demikian, penanaman kiwi di Indonesia tetap perlu
memperhatikan syarat tumbuh, serta perlu perlakuan khusus, seperti pemenuhan
kebutuhan air yang cukup dan sangat dibutuhkan oleh tanaman kiwi.
Pustaka
1. Bogacioviene S, Cesoniene L, Ercisli S, Valatavicius A, Jakstys B, Satkauskas S,
& Paulauskas A. 2019. Ploidy levels and genetic diversity of Actinidia arguta
(Siebold & Zucc.) Planch. ex Miq., A. kolomikta (Rupr. & Maxim.) Maxim.,
A. callosa Lindl., and A. melanandra Franch., accessions. Genetic Resources
and Crop Evolution, 66(5), 1107–1118. https://doi.org/10.1007/s10722-019-
00775-9
Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 13
& A. R. Ferguson (Actinidiaceae)
22. Pennycook S R. 1985. Fungal fruit rots of Actinidia deliciosa (kiwifruit), 13(4):
289–299. https://doi.org/10.1080/03015521.1985.10426097
23. Pusdatin Pertanian. 2017. Impor komoditi pertanian subsektor hortikultura
(segar) tahun 2017. Retrieved from http://database.pertanian.go.id/
eksim2012asp/hasilimporSubsek.asp
24. Raharto S. 2016. Institutional development model cocoa farmers in east java
province district blitar. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 9: 95–
102. https://doi.org/10.1016/j.aaspro.2016.02.131
25. Rodriguez A, Alquezar B, & Pena L. 2013. Fruit aromas in mature fleshy fruits as
signals of readiness for predation and seed dispersal. New Phytologist, 197.
26. Shi T, Huang H, & Barker M S. 2010. Ancient genome duplications during the
evolution of kiwifruit (Actinidia) and related Ericales. Annals of Botany, 106:
497–504. https://doi.org/10.1093/aob/mcq129
27. Soquetta M B, Stefanello F S, Huerta K da M, Monteiro S S, da Rosa C S, & Terra
N. N. 2016. Characterization of physiochemical and microbiological properties,
and bioactive compounds, of flour made from the skin and bagasse of kiwi
fruit (Actinidia deliciosa). Food Chemistry, 199(2016): 471–478. https://doi.
org/10.1016/j.foodchem.2015.12.022
28. Statista. 2017. Global leading kiwi producing countries 2017. Retrieved from
https://www.statista.com/statistics/812434/production-volume-of-leading-
kiwi-producing-countries/
29. Wang S, Li D, Yao X, Song Q, Wang Z, Zhang Q, … Huang H. 2019. Evolution
and diversification of kiwifruit mitogenomes through extensive whole-
genome rearrangement and mosaic loss of intergenic sequences in a highly
variable region. Genome Biology and Evolution, 11(4): 1192–1206. https://
doi.org/10.1093/gbe/evz063
30. Wang W, Chen S, & Zhang X. 2016. Chloroplast genome evolution in
Actinidiaceae : clpP loss , heterogenous divergence and phylogenomic practice.
Plos One, 11(9): 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162324
31. Ward C, & Courtney D. 2013. Kiwifruit : Taking its place in the global fruit bowl.
In Advances in Food and Nutrition Research 68: 1–14. https://doi.org/10.1016/
B978-0-12-394294-4.00001-8
16 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
32. Zhang T, Li Z, Liu Y, Jiang Z, & Huang H. 2007. Genetic diversity, gene introgression
and homoplasy in sympatric populations of the genus Actinidia as revealed by
chloroplast microsatellite markers. Biodiversity Science, 15(1): 1–22. https://
doi.org/10.1360/biodiv.060277
Penulis:
Lizia Zamzami dan Zainuri Hanif
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Diospyros kaki Thunb.
(Ebenaceae)
Protologue
Diospyros kaki Thunb. -- Nova Acta Regiae Societatis Scientiarum Upsaliensis. 3:
208. 1780.
Sinonim
• Diospyros kaki L.f -- Supplementum Plantarum. 439. 1782
• Diospyros chinensis Blume -- Cat. Gew. Buitenzorg (Blume) 110. 1823
• Diospyros kaki Thunb., Fl. Jap. (Thunberg) 157 (1784).
• Diospyros kaki L.f., Suppl. Pl. 439 (1782).
• Diospyros kaki Blanco, Fl. Filip. [F.M. Blanco] 302 (1837).
• Diospyros kaki Thunb., Nova Acta Regiae Soc. Sci. Upsal. iii. 208 (1780); Thunb.
Fl. Jap. 157 (1784).
• Diospyros kaki Thunb., Syst. Veg., ed. 14 (J. A. Murray). 918 (1784).
• Diospyros kaki var. aurantium André. Rev. Hort. 59: 349 1887
• Diospyros kaki var. domestica Makino. Bot. Mag. (Tokyo) 22: 159 1908
• Diospyros kaki var. elliptica André. Rev. Hort. 59: 349 1887
• Diospyros kaki var. glabra A.DC. Prodr. 8: 22 1844
• Diospyros kaki var. macrantha Hand.-Mazz. Symb. Sin. 7: 802 1936.
• Diospyros kaki var. sahuti André. Rev. Hort. 59: 349 1887.
• Diospyros kaki var. silvestris Makino. Bot. Mag. (Tokyo) 22: 159 1908
18 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Nama umum
Kesemek (Indonesia), Japanese persimmon, Chinese persimmon, oriental
persimmon, kaki persimmon (Inggris), kakibaum, kakipflaume (Jerman), pisang
kaki (Malaysia), caqui, caqui del Japón, placa minera (Spanyol), Japansk persimon,
kakiplommon, kinesisk persimon (Swedia), kaki (Belanda, Slovenia, Italia, Perancis,
Finlandia), 柿 (Mandarin)
I. Pendahuluan
Tanaman kesemek termasuk ke dalam suku Ebenaceae dan marga Diospyros.
Marga ini memiliki lebih dari 350 spesies dan merupakan marga yang paling
penting secara ekonomi. Mayoritas spesies dari marga Diospyros terdistribusi di
daerah tropis Asia, Afrika, dan Amerika. Hanya beberapa spesies yang merupakan
tanaman dari daerah beriklim sedang, termasuk kesemek (Rauf et al., 2017;
Wallnöfer, 2001; Yonemori, Sugiura, & Yamada, 2000). Spesies dalam marga
Diospyros merupakan penghasil buah yang dapat dimakan serta kayu yang sangat
berharga. Spesies Diospyros yang dikenal sebagai penghasil buah terbaik dan
paling banyak dibudidayakan adalah Diospyros kaki Thunb (oriental persimmon),
yang merupakan spesies yang berasal dari Asia. Spesies lain seperti D. virginiana
L. (common persimmon) yang berasal dari Amerika juga dimanfaatkan buahnya
untuk dikonsumsi. Spesies ini merupakan spesies sekunder penghasil buah
dan digunakan sebagai batang bawah oriental persimmon di beberapa daerah
budidaya (Tetsumura, Giordani, & Tao, 2008; Yonemori et al., 2000). Spesies
penghasil buah penting lainnya adalah D. lotus (Asia Tengah dan Timur Tengah),
D. mespiliformis (Afrika), D. blancoi (Filipina), D. digyna (Amerika Tengah) D.
decandra, D. malabarica, D. glandulosa, D. rhodocalyx (Thailand) (Mallavadhani,
Panda, & Rao, 1998; Utsunomiya et al., 1998; Wallnöfer, 2001). Adapun spesies
dari marga Diospyros penghasil kayu adalah D. ebenum (Sri Lanka), D. melanoxylon
(India), D. celebica (Indonesia), D. dendo dan D. mespiliformis (Afrika) (Rauf et al.,
2017; Wallnöfer, 2001).
19
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)
(a) (b)
Daun kesemek berbentuk bulat lonjong (ovate), ellips (elliptic), hingga bulat
lonjong dengan salah satu bagian lebih besar (obovate) dengan tata daun berseling
(alternate). Ukuran daun bervariasi tergantung kultivar dengan lebar antara 5-10
cm dan panjang antara 7.5-25 cm (Gambar 4b). Daun kesemek kasar dan keras,
20 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
daun mudanya berwarna hijau muda atau hijau kebiruan kemudian berubah
menjadi hijau gelap dan mengkilat seiring pertumbuhan daun. Pada saat musim
gugur, kebanyakan daun berubah menjadi berwarna kuning, oranye, atau merah
sebelum akhirnya gugur (Baswarsiati et al., 2006; Hanafiah et al., 2018; Intrigliolo
et al., 2018; Morton, 1987; Orwa et al., 2009; Tetsumura et al., 2008).
Kesemek memiliki sistem reproduksi yang sangat unik, yaitu berumah satu,
berumah dua, dan hermafrodit. Mayoritas kultivar komersial termasuk ke
dalam jenis berumah dua. Namun demikian, beberapa termasuk ke dalam jenis
hermafrodit dan berfungsi sebagai pollinator (Garcia-Carbonell et al., 2002.)
Bunga kesemek terletak di ketiak daun. Bunga betina berukuran besar, tunggal dan
terjuntai, dengan mahkota kecil berwarna kuning keputihan dan kaliks berwarna
hijau. Bunga jantan berukuran lebih kecil dan muncul dalam kluster berjumlah 3-5
bunga (Tetsumura et al., 2008).
Buah kesemek adalah buah buni dengan bentuk bervariasi, mulai datar hingga
bulat, atau memanjang, dengan bobot buah berkisar antara 50 hingga 500 g. Buah
berwarna kuning-jingga dan berubah menjadi merah atau jingga gelap seiring
proses pematangan. Daging buah tersusun atas struktur sel yang padat, berwarna
jingga kekuningan hingga cokelat kemerahan tergantung jenisnya dan ada atau
tidaknya biji pada buah (Gambar 5) (Hanafiah et al., 2018; Orwa et al., 2009;
Tetsumura et al., 2008; Woolf & Ben-Arie, 2011).
(a) (b)
Gambar 5. (a) Buah kesemek pada pohon dan (b) penampang melintang buah
kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji & kurniawan_budiarto).
21
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)
juga diintroduksi di Brasil. Mulai tahun 1920-an, teknologi produksi dan varietas
yang adaptif terhadap iklim di Brasil mulai berkembang seiring dengan kedatangan
imigran Jepang (Kluge & Tessmer, 2018).
Pustaka
1. Baswarsiati, Suhardi, & Rahmawati D. 2006. Potensi dan wilayah pengembangan
kesemek Junggo. Buletin Plasma Nutfah, 12(2): 56. https://doi.org/10.21082/
blpn.v12n2.2006.p56-61
2. Bellini E, & Giordani E. 2002. Cultural practices for persimmon production.
CIHEAM Options Mediterraneennes, (51): 39–52.
3. Butt M S, Sultan M T, Aziz M, Naz A, Ahmed W, Kumar N, & Imran M. 2015.
Persimmon (Diospyros kaki) Fruit: Hidden Phytochemicals and Health Claims.
EXCLI Journal, 14: 542–561.
4. Chavez-Ramirez F & Slack R. D. 1993. Carnivore fruit-use and seed dispersal of
two selected plant species of the Edwards Plateau, Texas. The Southwestern
Naturalist, 38(2): 141. https://doi.org/10.2307/3672066
29
Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)
24. Rauf R F, Purwanto Y A, & Sobir. 2017. Perlakuan pascapanen buah kesemek
Reundeu (Diosphyros kaki L.) menggunakan gas karbon dioksida. Comm.
Horticulturae Journal, 1(1): 14–19. https://doi.org/10.29244/chj.1.1.14-19
25. Rebein M, Davis C N, Abad H, Stone T, del Sol J, Skinner N, & Moran M D. 2017.
Seed dispersal of Diospyros virginiana in the past and the present: Evidence for
a generalist evolutionary strategy. Ecology and Evolution, 7(11): 4035–4043.
https://doi.org/10.1002/ece3.3008
26. Ridwan H & Ishaq I. 2005. Kajian sistem usahatani buah kesemek (Diosphyros
kaki L.f) dan permasalahannya di Kabupaten Garut – Jawa Barat. Jurnal
Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(1): 94–110.
27. Salunkhe D K. 1995. Handbook of fruit science and technology. In Handbook
of Fruit Science and Technology. https://doi.org/10.1201/9781482273458
28. Sato A & Yamada M. 2003. Leading persimmon cultivars for commercial
production and breeding targets in Japan. Acta Horticulturae, 601(601): 25–
30. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2003.601.2
29. Setiawan E. 2014. Perbaikan kualitas buah kesemek dengan penyemprotan
alkohol. Agrovigor, 7 (September): 121–125.
30. Swirski E, Ben-Dov Y, & Wysoki M. 1997. Persimmon. In Y. Ben-Dov & C. J.
Hodgson (Eds.), Soft Scale Insects - Their Biology, Natural Enemies and Control
(pp. 265–270). Elsevier B.V.
31. Tamura M, Tao R, Yonemori K, Utsunomiya N, & Sugiura A. 1998. Ploidy Level
and Genome Size of Several Diospyros Species. Journal of the Japanese Society
for Horticultural Science, 67(3): 306–312.
32. Taylor D W, & Kennedy J F. 1993. Complex carbohydrates in foods. In
Carbohydrate Polymers 21. https://doi.org/10.1016/0144-8617(93)90121-j
33. Tetsumura T, Giordani E, & Tao R. 2008. Persimmon (kaki). In C. Kole & T. C.
Hall (Eds.), Compendium of Transgenic Crop Plants: Transgenic Legume Grain
and Forages (pp. 235–257). Blackwell Publishing Ltd.
34. Utsunomiya N, Subhadrabandhu S, Yonemori K, Oshida M, Kanzaki S, Nakatsubo
F, & Sugiura A. 1998. Diospyros species in Thailand: their distribution,
fruit morphology and uses. Economic Botany, 52(4): 343–351. https://doi.
org/10.1007/BF02862064
32 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Protologue
Ficus carica L., Sp. Pl. 2: 1059 (1753).
Sinonim
• Ficus carica var. caprificus (Risso) Tschirch, Ber. Deutsch. Bot. Ges. 29(Heft 3):
90 (1911).
• Ficus carica subsp. rupestris (Hausskn. ex Boiss.) Browicz, et in Fl. Turkey & E.
Aegean Is. 7: 644 (1982): (1982).
• Ficus carica subsp. rupestris (Hausskn. ex Boiss.) Browicz, Fl. Iranica [Rechinger]
153: 8 (1982).
Nama Umum
Tin (Indonesia), fig, fig tree (Inggris), higo, higuera, higuera comun (Spanyol),
caprifiguier, carique, figuier, figuier commun (Perancis), teen (Arab), wu hua
guo, wuhuagus (China), figueira (Portugal), figueira da Europa, figueira do reino
(Brasil), monamona, suke (Cook Islands), higo extranjero (Republik Dominica),
viikuna (Finlandia), Echter Feigenbaum, Essfeigenbaum, feige (Jerman), figuier
blanc (Haiti), anjir (India), fico (Italia), te biku (Kiribati), muhwagwanamu (Republik
Korea), wojke piik, wõjke-piik (Federated states of Micronesia), thinbaw-thapan
(Myanmar), vijgeboom (Belanda), uosech (Palau), bebereira (Portugal), mati
(Samoa), fikontraed, getfikon (Swedia) dan fiki (Tonga).
36 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
I. Pendahuluan
Tin (Ficus carica L.) adalah salah satu spesies Mediterania tradisional yang
termasuk dalam famili Moraceae (Ikten, Solak, & Yilmaz, 2018; Vallejo, Marin, &
Tomas-Barberan, 2012). Berdasarkan catatan sejarah, tin termasuk tanaman buah
tertua di dunia (Solomon et al., 2006) dan dianggap sebagai simbol kehormatan
serta kesuburan (Leonel, 2008). Tanaman ini dapat beradaptasi di berbagai kondisi
(kekeringan dan suhu dingin -9o0oC), bahkan di padang pasir sekalipun, sehingga
terkadang disebut sebagai pohon kehidupan (Refli, 2012).
Tanaman tin telah masuk ke Indonesia pada abad ke-19 dan beradaptasi. Salah
satu keuntungan budidaya tin di wilayah tropis adalah kemampuannya berbuah
sepanjang tahun (Masithah, 2018). Kandungan gizi dan fitokimia dari buah tin
yang dibudidayakan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan produksi luar negeri,
di mana bermanfaat bagi kesehatan dan memberi peluang untuk dibudidayakan
secara luas (Damanik, 2014).
Gambar 6. Morfologi dan perkembangan daun tin; (a) daun muda, (b). daun tua
(foto: rudy_harianto).
Tipe Common fig dan San Pedro mengalami 2 kali panen, yang pertama buah
partenokarpi pada musim semi (spring) dan partenokarpi atau non partenokarpi
pada periode musim panas dan gugur (summer-autumn) dan tipe kedua,
Smyrna, tanaman menghasilkan hanya pada periode summer-autumn (Hmimsa,
Aumeeruddy-Thomas, & Ater, 2012). Sementara Caprifig berbuah 3 kali setahun
(Crisosto et al., 2011). Domestikasi tin banyak dilakukan karena sifat partenokarpi
ini.
Buah tin berasal dari rangkaian bunga yang kompleks disebut syconium yang
mengeliling ratusan buah. Buah yang terlihat merupakan perkembangan dari
syconium, disebut false fruit. Buah yang sebenarnya adalah kumpulan daging
buah “fleshy” yang berasal dari bunga-bunga di dalam syconium. Struktur buah tin
dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
39
Ficus carica L.(Moraceae)
Bentuk buah tin adalah membulat sedikit lonjong (oblong, oblate dan globose)
dengan indeks berkisar 0,80 dan 1,22. Indeks buah diukur berdasarkan rasio lebar
dan panjang. Buah mudah dikupas dengan ketebalan kulit buah berkisar sedang
sampai tebal. Tekstur kulit berbeda mulai dari kasar, sedang sampai halus.
Gambar 8. Morfologi buah tin pada tahap akhir perkembangan buah dan siap
panen (foto: rudy_harianto)
Penyebaran tin sudah berlangsung lama. Proses ini berawal dari kawasan
Mediterania dan kemudian dibawa ke Selatan Arabia untuk dibudidayakan
(Stover et al., 2007). Sejak itu proses domestikasi tanaman tin menyebar ke
sebelah barat Asia, Negara-negara Timur Tengah dan seluruh dunia (Aradhya et
al., 2010), Arab bagian selatan (Southern Arabia), Asia bagian timur (Western
Asia) termasuk Mesopotamia, Anatolia, Transcaucasia, Persia, dan daerah Timur
Tengah adalah pusat keragaman tanaman tin. Tin sudah dibudidayakan dengan
baik di daerah Mediterania 6.000-an tahun yang lalu dan mencapai Inggris pada
kisaran 500 M. Menariknya, Stover et al. (2007) menyebutkan bahwa fosil Ficus
carica menunjukkan distribusi prasejarahnya di sepanjang selatan Eropa. Tanaman
ini menyebar ke daerah Mediterania dan abad ke-5 sudah menyebar ke seluruh
Mediterania dan sepanjang atlantik. Distribusi tanaman ini dipermudah karena
buah tin dapat dikeringkan. Pada tahun 1520 tin masuk ke Amerika dibawa oleh
orang-orang Spanyol (Spaniards) dan tahun 1769 masuk ke California melalui
Meksiko oleh Misionaris Franciscan.
41
Ficus carica L.(Moraceae)
Di daerah sebaran tin dengan jumlah plasma nutfah (germplasm) tinggi, sejumlah
kultivar dipilih oleh petani berdasarkan kebutuhan sosial budaya dan ekonomi
mereka. Plasma nutfah yang telah didomestikasi dipelihara dalam kebun untuk
produksi buah. Tipe yang disukai akan menyebar ke berbagai area dan mendapat
tekanan perubahan eco-geographical sehingga terjadi erosi genetik karena faktor
cekaman biotik dan abiotik (Ghada, Ahmed, Messaoud, & Amel, 2013).
Di berbagai area negara, tanaman tin diperbanyak secara vegetatif seperti stek
(cutting) yang menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi lingkungannya. Oleh
karena itu, keragaman tanaman sangat sedikit pada beberapa dekade terakhir,
menyebabkan hambatan dalam pengembangan budidaya. Penyebaran yang luas
dan domestikasi yang panjang ini membuat akurasi varietas rendah karena “mis-
labelling” yaitu nama sama (homonymy dan synonymy) sering ditemukan (Baraket,
Abdelkrim, Mars, & Salhi-Hannachi, 2011), membuat taksonominya sama namun
genetiknya berbeda dan adanya kompleksitas nama (Hmimsa et al., 2012).
Karakter vegetatif tin memiliki keragaman rendah karena interaksi intraspesies
sehingga evaluasi berdasarkan struktur eksternal menjadi sulit terutama
berdasarkan karakteristik daun dan buah. Selain itu, karakter morfologi tin mungkin
dapat beragam sepanjang tahun karena kondisi pertumbuhan dan lingkungan.
Tanaman tin diketahui sangat rentan terhadap interaksi genotipe (genotype) dan
lingkungan (Baziar, 2018).
Potensi hasil buah tin dipengaruhi pula oleh ketersediaan nutrisional. Pada kondisi
spesifik, penggunaan kalsium dan kalium berpengaruh penting terhadap proses
pembentukan buah (fructification) (Orozco‐Rodríguez et al., 2017). Faktor lain yang
memengaruhi adalah manajemen agronomis, kondisi tanah, dan keseimbangan
air (Turk & Aksoy, 2011). Faktor-faktor ini umumnya menjadi karakteristik daerah
pengembangan.
Buah tin biasanya dikonsumsi dalam rentang waktu yang lama sebagai buah segar
atau dikeringkan (Trad, Bourvellec, Gaaliche, Renard, & Mars, 2014). Pada jumlah
yang lebih terbatas dikonsumsi dalam bentuk selai dan minuman alkohol (Gaaliche
et al., 2012). Kandungan gizi dalam 100 g buah tin segar di antaranya energi
74 kkal, 2,9 g serat, 232 mg potasium, 35 mg kalsium, 0,4 mg besi. Kandungan
gizi dalam 40 g buah tin kering 102 kkal, 4,9 g serat, 285 mg potasium, 57,6 mg
kalsium dan 0,9 mg besi. Buah tin memiliki konsentrasi polifenol tinggi yakni 486
mg per 100 g buah segar dan 32 per 100 g buah kering, 5,8% (w/w) serat kasar
(Vinson, Zubik, Bose, Samman, & Proch, 2005), bahkan menurut penelitian Vinson
(1999), kandungan buah tin segar dapat mencapai 1.090-1.110 mg/100 g. Hasil
ini membuat buah tin segar maupun kering menjadi salah satu sumber gizi yang
baik dengan kandungan serat dan polifenol yang tinggi, dan baik untuk kesehatan,
salah satunya untuk kanker (Joseph et al., 2011; Rubnov et al., 2001).
Buah, akar dan daun tanaman tin juga dapat digunakan sebagai obat tradisional.
Dalam pengobatan tradisional ini, akar tin digunakan untuk mengobati leucoderma
dan ringworms sementara buahnya untuk antipyretic, purgative, aphrodisiac dan
inflammations serta paralysis (Ross & Kasum, 2002). Dia juga memiliki aktivitas
biologi sebagai antiviral, antibacterial, hypoglycemic, anthelmintic (Solomon et
al., 2006), antimicrobial, antifungal (Lazreg-Aref et al., 2010), nematicidal (Liu et
al., 2011), allelopathic (Gaaliche, Ladhari, Medeiros, Mimoun, & Hajlaoui, 2017).
Peran ini disebabkan tin memiliki metabolit sekunder seperti flavonoids, phenolic
compounds, phytosterols dan fatty acids pada ekstrak daun dan buahnya (Vallejo
et al., 2012).
Baik buah, akar dan daun tanaman tin juga dapat digunakan sebagai obat
tradisional mengatasi gangguan pencernaan (kolik, kehilangan nafsu makan dan
diare); pernafasan (sakit tenggorokan, batuk dan masalah pada bronkial; gangguan
kardiovaskular serta sebagai obat anti inflamasi dan antipasmodik(Mawa et al.,
2016; Lukitasari et al., 2014; Duke et al., 2002; Werbach 1993).
46 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Pustaka
1. Aljane F., & Nahdi, S. (2014). Propagation of some local Fig (Ficus carica
L.) cultivars by hardwood cuttings under the field conditions in Tunisia.
International Scholarly Research Notices, 1-5.
2. Aradhya, M. K., Stover, E., Velasco, D., & Koehmstedt, A. (2010). Genetic
structure and differentiation in cultivated fig (Ficus carica L.). Genetica, 138,
681-694.
3. Baraket, G., Abdelkrim, A. B., Mars, M., & Salhi-Hannachi, A. (2011). Cyto-
nuclear discordance in the genetic relationships among Tunisian fig cultivars
(Ficus carica L.): Evidence from non coding trnL-trnF and ITS regions of
chloroplast and ribosomal DNAs. Scientia Horticulturae, 130 203-210.
4. Barolo, M. I., Mostacero, N. R., & López, S. N. (2014). Ficus carica L. (Moraceae):
an ancient source of food and health. . Food Chemistry, 164, 119-127.
5. Baziar, G. (2018). Evaluation of Genetic Diversity among Persian Fig Cultivars
by Morphological Traits and RAPD Markers Hortscience, 53, 613-619.
6. Berg, C. C. (2003). Flora Malesiana precursor for the treatment of Moraceae 1:
The main subdivision of Ficus: The subgenera. Blumea, 48, 166-177.
7. Boliani, A. C., Ferreira, A. F. A., Monteiro, L. N. H., Silva, M. S. a. C. d., &
Rombola, A. D. (2019). Advances in propagation of Ficus carica L. Rev. Bras.
Frutic., Jaboticabal, 41, 1-13.
8. Caliskan, O., & Polat, A. A. (2008). Fruit characteristics of fig cultivars and
genotypes grown in Turkey. Scientia Horticulturae, 115 360-367.
9. Chalfun, N. N. J., Pasqual, M., Norberto, P. M., Dutra, L. F., & Cavalcante-Alves,
J. M. (2003). Rooting of Fig (Ficus carica L.) Cuttings: Cutting Time and IBA.
Acta Horticulturae, 605, 137-140.
10. Ciarmiello, L. F., Piccirillo, P., Carillo, P., De Luca, A., & Woodrow, P. (2015).
Determination of the genetic relatedness of fig (Ficus carica L.) accessions using
RAPD fingerprint and their agro-morphological characterization. South African
Journal of Botany, 97, 40-47. doi: https://doi.org/10.1016/j.sajb.2014.11.012
11. Crisosto, H., Ferguson, L., & Bremer, V. (2011). Fig ( Ficus carica L.): Woodhead
Publishing Limited.
47
Ficus carica L.(Moraceae)
12. Czaja, E. A. R., Moreira, R. R., Rozwalka, L. C., Figueiredo, J. A. G., & L.L.M.
Mio. (2016). Gray mold in immature fig fruit: pathogenicity and growth
temperature. Ciência Rural, Santa Maria, 46, 1524-1527.
13. Dessoky, E.-D. S., Attia, A. O., & Mohamed, E.-A. A. M. (2016). An efficient
protocol for in vitro propagation of Fig (Ficus carica sp) and evaluation of
genetic fidelity using RAPD and ISSR markers. Journal of Applied Biology &
Biotechnology, 4 057-063.
14. Dolgun, O., & Tekintas, F. E. (2008). Production of fig (Ficus carica L.) nursery
plants by stem layering method. Agriculturae Conspectus Scientificus, 73, 157-
160.
15. FAO. (2012). FAOSTAT agricultural data.
16. Flaishman, M. A. (2008). The Fig: Botany, Horticulture, and Breeding.
Horticultural Reviews, 34, 113-197.
17. Frodin, D. G. (2004). History and concepts of big plant genera. Taxon, 53, 753-
776.
18. Gaaliche, B., Ladhari, A., Medeiros, A. G. d., Mimoun, M. B., & Hajlaoui,
M. R. (2017). Relationship between phytochemical profiles and phytotoxic
proprieties of Tunisian fig leaf cultivars. South African Journal of Botany, 112,
322-328.
19. Gaaliche, B., Saddoud, O., & Mars, M. (2012). Morphological and pomological
diversity of fig (Ficus carica L.) cultivars in northwest of Tunisia. ISRN Agronomy,
1-9.
20. Gaaliche, B., Zarrouk, I., & Mars, M. (2017). Agro-phenological behaviour
of several caprifigs grown in two different ecological areas in Tunisia. Acta
Horticulturae, 1173, 149-156.
21. Ghada, B., Ahmed, B. A., Messaoud, M., & Amel, S.-H. (2013). Genetic
diversity and molecular evolution of the internal transcribed spacer (ITSs) of
nuclear ribosomal DNA in the Tunisian fig cultivars (Ficus carica L.; Moracea).
Biochemical Systematics and Ecology, 48 20-33.
22. Hmimsa, Y., Aumeeruddy-Thomas, Y., & Ater, M. (2012). Vernacular taxonomy,
classification and varietal diversity of fig (Ficus carica L.) among Jbala cultivators
in Northern Morocco. Hum Ecol, 40, 301-313.
48 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
34. Sevin, T., Meryem, I., Umran, E., Nesrin Aktepe, T., Erdem, D., Erdogan, B., . . .
Ahmet, I. (2017). Assessment of Genetic Relationship among Male and Female
Fig Genotypes Using Simple Sequence Repeat (SSR) Markers. Notulae Botanicae
Horti Agrobotanici Cluj-Napoca, 45(1). doi: 10.15835/nbha45110756
35. Shatnawi, M. A., Shibli, R. A., Shahrour, W. G., Al-Qudah, T. S., & Abu-Zahra, T.
(2019). Micropropagation and Conservation of Fig (Ficus Carica L.). Journal of
Advances in Agriculture, 10 1669-1679.
36. Solomon, A., Golubowicz, S., Yablowicz, Z., Grossman, S., Bergman, M., Gottlieb,
H. E., . . . Flaishman, M. A. (2006). Antioxidant activities and anthocyanin
content of fresh fruits of common fig (Ficus carica L.). Journal of Agricultural
and Food Chemistry, 54, 7717-7723.
37. Stover, E., Aradhya, M., Ferguson, L., & Crisosto, C. H. (2007). The fig: Overview
of an ancient fruit. Hortscience, 42 1083 - 1087.
38. Trad, M., Bourvellec, C. L., Gaaliche, B., Renard, C. M. G. C., & Mars, M. (2014).
Nutritional compounds in figs from the Southern Mediterranean Region.
International Journal of Food Properties, 17, 491-499.
39. Turk, F. H., & Aksoy, U. (2011). Comparison of organic, biodynamic and
conventional fig farms under rainfed conditions in Turkey. Cell Plant Sci, 2,
22-33.
40. Vallejo, F., Marin, J., & Tomas-Barberan, F. (2012). Pheolic compound content
of fresh and dried figs, (Ficus carica L.). Food Chemistry, 130, 485-492.
41. Vemmos, S., Petri, E., & Stournaras, V. (2013). Seasonal changes in
photosynthetic activity and carbohydrate content in leaves and fruit three fig
cultivars (Ficus carica L.). Sci Hortic, 160, 198-207.
42. Vinson, J. A., Zubik, L., Bose, P., Samman, N., & Proch, J. (2005). Dried fruits:
Excellent in vitro and in vivo antioxidants. J. Amer. College Nutr, 24, 44-50.
Penulis :
Dita Agisimanto, Lyli Mufidah dan Harwanto
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika.
Litchi chinensis Sonn
(Sapindaceae)
Protologue
Litchi chinensis, Sonn. --Voy. Indes Orient. Chine 2: 230, t. 129 (1782).
Sinonim
ssp. chinensis :
• Dimocarpus litchi Lour. (1790),
• Litchi sinense J. Gmelin (1791),
• Nephelium litchi Cambess. (1829);
ssp. philippinensis (Radlk.) Leenh. :
• Euphoria didyma Blanco (1837) nom. illeg.,
• Litchi philippinensis Radlk. (1914);
ssp. javensis Leenh.:
• Litchi chinensis Sonn. f. glomeriflora Radlk. (1932).
Nama umum
ssp. chinensis : leci (Indonesia), lychee, litci (Inggris), Cerisier de la Chine, litchi
de Chine (Perancis), laici (Malaysia), letsias (Filipina), kyet-mouk, lin chi, lam yai
(Myanmar), kuléén (Kamboja), ngèèw (Laos), linchee, litchi (Thailand), vai, cây vai,
tu hú (Vietnam).
ssp. philippinensis : alupag, arupag (Filipina - Tagalog), mamata (Subanum).
ssp. javensis : klengkeng (Indonesia - Jawa), lengkeng (Indonesia- Sunda), kalengkeng
(Indonesia - Madura)
52 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
I. Pendahuluan
Leci (Litchi chinensis, Sonn.) adalah salah satu buah yang berkerabat dekat
dengan lengkeng dan rambutan. Diperkirakan leci yang ada di Indonesia saat ini
pada awalnya berasal dari pohon induk yang ada di kebun Istana Tapaksiring di
Bali. Asal pohon tersebut juga tidak diketahui (Winarno, 2002). Namun terdapat
informasi dari beberapa penangkar buah menyebutkan bahwa ada upaya-upaya
introduksi leci yang telah dilakukan namun belum banyak informasi keberhasilan
pengembangan selanjutnya. Penanaman leci di Indonesia banyak dilakukan untuk
tanaman pekarangan rumah dan peneduh di pinggir jalan.
Di Batu, Jawa Timur, beberapa pohon leci tampak ditanam di pekarangan hotel dan
tempat wisata sebagai peneduh. Balitjestro sendiri memiliki pohon leci di kebun
dengan umur lebih dari 50 tahun sisa peninggalan Belanda (Gambar 9). Pada tahun
2009 lalu, pohon leci tersebut sempat berbunga namun sayangnya tidak sempat
berkembang menjadi buah. Penyebab pastinya tidak diketahui karena hingga saat
ini leci tersebut belum pernah lagi berbunga.
Di Indonesia, konsumsi leci sebagai buah segar masih kurang populer dibanding
lengkeng dan rambutan. Masyarakat lebih banyak mengenal olahan leci dalam
kaleng yang pada umumnya lebih mudah diperoleh daripada leci segar. Hal ini
berkaitan dengan daya simpan leci yang relatif pendek sehingga buah leci dalam
bentuk olahan dipandang lebih menguntungkan. Selain sebagai buah kaleng,
buah leci juga dapat dikeringkan. Olahan buah leci dalam bentuk buah kering
merupakan metode pengolahan yang paling tua dan telah dikembangkan di China
sebelum metode pengolahan lain ditemukan. Bentuk olahan leci lainnya antara
lain jus buah dan buah beku (C. M. Menzel & Waite, 2005).
Produsen buah leci terbesar dunia ada di Asia dengan produksi paling tinggi dari
China, Taiwan, Thailand dan India dengan jumlah total lebih dari lima ratus ribu
ton. Di luar itu, dari Afrika, Madagaskar dan Afrika Selatan masing-masing di
tempat kelima dan keenam dengan total produksi mencapai enam puluh ribu ton
(Sawe, 2018).
Gambar 10. Tipe bunga (I) dan (III) bunga jantan dan (II) bunga betina (foto : D. C.
Menzel, 2002).
Buah leci berbentuk bulat atau bentuk hati dengan kulit yang tipis dan memiliki
tonjolan-tonjolan kecil (Gambar 11). Warna kulit buah bervariasi dari merah hingga
merah muda (Gambar 12). Daging buah berwarna putih dan sedikit bening dengan
aroma yang manis dan rasa yang enak (Ibrahim & Mohamed, 2015). Ukuran biji
proporsional dengan ukuran buah tetapi pada beberapa kultivar terdapat biji
dengan ukuran kecil karena penyerbukan yang tidak sempurna. Kultivar jenis ini
berharga lebih tinggi karena proporsi daging buah yang lebih banyak (Singh &
Babita, 2002).
Leci sampai di India melalui Myanmar pada tahun 1789 dan kemudian menyebar
ke Bangladesh dan Nepal. Sementara itu, penyebaran leci di Australia dimulai pada
tahun 1850-an melalui biji (D. C. Menzel, 2002). Di Thailand, asal mula penanaman
leci tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan telah ada sekitar 300 tahun
yang lalu, dibawa oleh pedagang dan pelaut dari China. Dari benih yang dibawa
tersebut, sebagian beradaptasi dengan iklim tropis Thailand bagian tengah dan
kemudian diberi nama oleh penduduk lokal. Leci yang beradaptasi dengan iklim
di dataran rendah tersebut dapat berbunga tanpa memerlukan paparan suhu
dingin yang panjang. Di lain pihak, leci yang berkembang di Chiang Mai merupakan
jenis leci subtropika yang memerlukan periode dingin selama beberapa waktu.
Leci ini awalnya dibawa oleh imigran dari Yunnan yang berimigrasi melalui Laos
atau Myanmar. Varietas-varietas leci tersebut masih dipertahankan dengan nama
asal China meskipun dengan pelafalan dan cara penulisan yang sudah disesuaikan
dengan kultur setempat (Subhadrabandhu & Yapwattanaphun, 2001).
Pada periode antara 1760 dan 1860, varietas leci Chong Yun Hong dan Haak Yip
diintroduksi dari daratan China ke Taiwan utara. Produksi berskala besar untuk
tujuan komersial baru dimulai pada akhir 1920-an ketika buah leci dibawa dari utara
ke bagian selatan Taiwan. Tanaman leci berkembang baik di daerah selatan karena
terlindung dari angin Lautan Pasifik yang kuat. Saat ini leci berkembang terutama
di daerah bagian selatan dan tengah Taiwan. Kultivar utama yang dikembangkan
adalah Haak Yip, mencapai 80% dari total leci yang ditanam (Sawe, 2018).
Di Indonesia sendiri, selain di Bali dan Jawa Timur, beberapa laporan menyebutkan
adanya leci tumbuh di berbagai daerah lain, misalnya Ambon (Silahooy, 2013) dan
Bogor, serta di Palembang, Balikpapan, dan Solo yang sebagian besar merupakan
upaya pengembangan oleh kolektor/hobiis dengan jumlah tanaman yang terbatas
(Syariefa, 2005). Sayangnya, tidak diketahui dengan jelas jenis atau varietas leci
yang dikembangkan di daerah-daerah tersebut.
provinsi Yunnan, Guangxi, Pulau Hainan dan Guangdong bagian barat. Subspesies
philippinensis berasal dari Filipina, Papua Nugini, Semenanjung Malaya dan
Indonesia sedangkan subspesies javensis endemik di Jawa. Kedua subspesies
ini tidak dibudidayakan secara komersial karena daging buah yang tidak dapat
dimakan (D. C. Menzel, 2002).
Kultivar leci memiliki variasi yang tinggi dari pola pertunasan, warna tunas dan
pembungaan. Variasi agroklimat, pola pertumbuhan, warna buah, bentuk dan
ukuran buah menyebabkan beragam nama muncul untuk kultivar yang sama.
Keragaman genetik leci banyak ditemukan di China dan India yang menjadi sumber
daya genetik untuk pengembangan varietas baru (Khurshid, Ahmad, & Anjum,
2004).
Beberapa karakter utama sebagai pembeda varietas adalah bentuk segmen
pada kulit dan tonjolan pada kulit karena stabil secara genetik. Namun hasil
studi di China menggunakan marka SNP dengan 96 aksesi leci menunjukkan
bahwa pengelompokan yang terbentuk menggambarkan adanya kesamaan
karakter berdasarkan lama periode pemasakan buah (W. Liu et al., 2015). Hal
ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut lebih akurat untuk menunjukkan
kekerabatan leci. Dalam penelitian tersebut terdapat empat kelompok leci yaitu
early-ripening, mid-ripening, late-ripening, dan extremely early ripening. Ini
sejalan dengan yang diperoleh Liu & Mei (2005) dengan marka RAPD dan Fu et al.
(2011) dan marka SSR.
Di Indonesia sendiri belum ada informasi keragaman leci yang berkembang, baik
secara morfologi maupun genetik. Sementara itu, dari segi impor buah, leci yang
didatangkan untuk buah segar semakin bervariasi penampilannya. Salah satunya
adalah adanya Green lychee yang diperkirakan berasal dari China. Buah leci ini
berwarna dominan hijau muda dengan sedikit semburat warna merah muda yang
tidak beraturan.
Erosi genetik pada leci tidak banyak diketahui. China sebagai daerah asal
subspesies chinensis memiliki sumber daya genetik leci komersial yang lebih
lengkap, ditambah lagi aktif dalam melakukan pemuliaan untuk menghasilkan
varietas-varietas baru. Demikian juga halnya dengan Vietnam, India dan Thailand
yang awalnya mendapatkan materi tanaman dari China (C. Menzel, 2002). Dengan
asumsi bahwa sumber daya genetik yang ada diperlukan untuk keperluan perakitan
varietas, maka erosi genetik khusus untuk subspesies chinensis dapat dikatakan
rendah. Sebaliknya, kondisi terkini dari leci subspesies philippinensis dan javensis
tidak banyak diketahui. Hingga tulisan ini dibuat, tidak ditemukan literatur khusus
terkait kedua subspesies ini.
Pustaka
1. Agrifarming. (n.d.). Litchi Fruit Farming Information Guide | Agri Farming.
Retrieved June 30, 2019, from https://www.agrifarming.in/litchi-fruit-
farming
2. Crane, J. H., Balerdi, C. F., & Maguire, I. (2016). Lychee Growing in the Florida
Home Landscape 1, 1–10.
3. Fan, Q., Chen, S., & Zhou, R. (2014). Genetic variation of wild litchi (Litchi
chinensis Sonn . subsp. chinensis) revealed by microsatellites, (June). https://
doi.org/10.1007/s10592-011-0182-4
4. Fu, J.-X., Wang, Y., Zhou, J., Zhao, H.-Y., Huang, S.-S., Hu, Y., … Liu, C.-M. (2011).
Genetic diversity of germplasm resources of litchi and longan using SSR
analysis. Acta Hort, 918, 363–370.
5. Ibrahim, S. R. M., & Mohamed, G. A. (2015). Litchi chinensis : Medichinal uses,
phytochemistry, and pharmacology. Journal of Ethnopharmacology, 174,
492–513. https://doi.org/10.1016/j.jep.2015.08.054
6. Khurshid, S., Ahmad, I., & Anjum, M. A. (2004). Genetic diversity in different
morphological characteristics of litchi (Litchi chinensis Sonn.). International
Journal of Agriculture and Biology, 6(6), 1062–1065.
7. Liu, C., & Mei, M. (2005). Classification of lychee cultivar with RAPD analysis.
Acta Hort, 665, 149–160.
8. Liu, S., Lin, J., Wang, C., Chen, H., & Yang, D. (2009). Antioxidant
properties of various solvent extracts from lychee (Litchi chinenesis Sonn
.) flowers. Food Chemistry, 114(2), 577–581. https://doi.org/10.1016/j.
foodchem.2008.09.088
9. Liu, W., Xiao, Z., Bao, X., Yang, X., Fang, J., & Xiang, X. (2015). Identifying litchi
(Litchi chinensis Sonn.) cultivars and their genetic relationships using single
nucleotide polymorphism (SNP) markers. PLoS ONE. https://doi.org/10.1371/
journal.pone.0135390
10. Menzel, C. (2002). Lychee Production in Australia. In M. K. Papademetriou
& F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 14–27).
Retrieved from http://www.fao.org/docrep/005/ac684e/ac684e09.htm
62 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
11. Menzel, C. M., & Waite, G. K. (2005). Litchi and longan: botany, production and uses.
Wallingford: CABI Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851996967.0000
12. Menzel, D. C. (2002). the Lychee Crop in Asia and the Pacific. Bangkok: FAO
United Nations.
13. Mitra, S. K. (2002). Overview of lychee production in the Asia- Pacific region.
In M. K. Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-
Pacific Region (pp. 5–13). FAO United Nations.
14. Sawe, B. E. (2018). Top Lychee Producing Countries in the World - World Atlas.
com. Retrieved August 16, 2019, from https://www.worldatlas.com/articles/
top-lychee-producing-countries-in-the-world.html
15. Silahooy, C. (2013). Penentuan kesesuaian lahan tanaman leci di Desa Naku
Kota Ambon. Agrologia, 2(1), 17–24.
16. Singh, H. P., & Babita, S. (2002). Lychee production in India. In M. K.
Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region
(pp. 55–77). FAO United Nations.
17. Subhadrabandhu, S., & Yapwattanaphun, C. (2001). Lychee and longan
production in Thailand. Acta Horticulturae, (558), 49–57. https://doi.
org/10.17660/ActaHortic.2001.558.5
18. Syariefa, E. (2005). Leci Manis & Genjah di Tepi Laut | Majalah Pertanian.
Retrieved June 30, 2019, from https://www.trubus-online.co.id/leci-manis-a-
genjah-di-tepi-laut/
19. Winarno, M. (2002). Lychee production in Indonesia. In M. K. Papademetriou
& F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 78–80).
FAO United Nations.
Penulis :
Baiq Dina Mariana dan Hidayatul Arisah
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Macadamia spp.
(Proteaceae)
Protologue
1. Macadamia integrifolia Maiden & Betche, Proc. Linn. Soc. New South Wales
Ser. II, xi. 624 (1896).
2. Macadamia tetraphylla L.A.S.Johnson, Proc. Linn. Soc. New South Wales
lxxxix. 15(1954).
Nama Umum:
Macadamia (Indonesia), Macadamia nut, the Queensland nut, Australian nut,
bopple nut, bauple nut, popple nut, kindal, boombera, dan burrawang, nut-in-husk
and nut-in-shell (Inggris)
I. Pendahuluan
Macadamia adalah tanaman dari keluarga Proteaceae yang paling bernilai ekonomi.
Tanaman ini tumbuh evergreen, yang tunas barunya selalu tumbuh. Macadamia
adalah tanaman kawasan asli subtropika dari bagian pantai timur Australia. Ada
dua spesies Macadamia yang dibudidayakan yaitu spesies Macadamia integrifolia
Maiden dan Betche dan Macadamia tetraphylla Johnson. Keduanya banyak
dipelihara sebagai tanaman produktif di Australia dan daerah tropika serta
subtropika di berbagai belahan dunia lainnya untuk didapatkan bijinya (John D.
Wilkie, Sedgley, Morris, Muldoon, & Olesen, 2009).
Tanaman Macadamia memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia, merujuk
iklim dan jenis tanah di Indonesia yang sesuai dengan daerah sentra produksi
Macadamia yang berada di Australia dan Hawai (Hasanah, 1998). Macadamia
yang berasal dari sambungan belajar berbuah pada usia dua sampai tiga tahun
64 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
dan dapat berbuah sepanjang tahun. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada tahun
1971 dan di telah dibudidayakan di kebun PTPN XII di Blawan, Bondowoso, Jawa
Timur.
Buah Macadamia memiliki hilum yang lokasinya di dekat embrio. Micropyle di sisi
yang bersebrangan dengan embrio. Micropyle ditandai dengan titik putih pada
bagian kacang Macadamia. Bagian luar integumen memiliki bagian epidermis
dalam yang kuat, terdiri atas 5-7 lapisan tebal testa. Embrio yang sudah dewasa
kemungkinan menempel ketat pada lapisan yang keras ini. Embrio Macadamia yang
sudah dewasa terdiri atas dua cotyledons dan embrio berada di antara keduanya.
Wallace and Walton (2011) menjelaskan bahwa spesies Macadamia dapat
dibedakan dari daun dan bunganya. Daun M. integrifolia memiliki ukuran panjang
20 - 25 cm, melingkar di cabang pohon dan sedikit tulang daunnya (Gambar 14 ).
Daun tumbuh membentuk posisi mengelilingi ranting atau cabang yang tumbuh
dan berkembang selama periode pertunasan. Sementara M. tetraphylla memiliki
daun dengan panjang hingga 50 cm, melingkar di cabangnya dan memiliki banyak
tulang daun. Bunga M. integrifolia berwarna putih krem, memiliki kluster bunga
lengkap dengan panjang 15 - 30 cm, sedangkan bunga M. tetraphylla berwarna
krem atau merah muda dengan panjang kluster hingga 38 cm. Bunga Macadamia
dapat melakukan polinasi sendiri atau bersilangan dengan bantuan lebah sebagai
agen penyerbuk.
66 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Gambar 14. Posisi daun Macadamia integrifolia yang membentuk posisi melingkar
pada ranting (foto : dita_agisimanto).
Gambar 15. Organ kluster bunga (raceme) Macadamia Integrifolia dan posisi
keluarnya pada ujung apical tunas. a. kluster bunga (raceme) yang baru
keluar, b. raceme yang sudah dipolinasi dan c. organ bunga individual
yang mekar dan kuntum (foto : dita_agisimanto).
Pembungaan memainkan peran penting pada produksi buah. Oleh karena faktor-
faktor yang memengaruhi perkembangan bunga perlu dipahami. Trueman (2013)
mengatakan bahwa Macadamia menghasilkan banyak bunga pada musim semi
dan memerlukan penyerbukan silang untuk pembuahan dan pembentukan buah.
Bunga yang muncul pada setiap gugusan (raceme) berkisar 200–300 bunga dan
hanya satu atau dua buah dewasa pada setiap raceme. Macadamia memiliki ovari
yang terdiri atas dua orthotropous ovules pada saat anthesis. Setelah penyerbukan,
tabung polen tumbuh ke bawah menuju ovari, dan menyerbuki satu dari kedua
ovul itu. Kadang kedua ovul pun diserbuki menghasilkan dua kacang kembar. Pada
saat terjadi penyerbukan hanya ovul yang berukuran besar yang dibuahi, jika
kedua ovul mengalami pembuahan maka akan terbentuk buah yang memiliki dua
hemispherical. Diameter buah Macadamia akan meningkat dengan cepat setelah
usia buah berkisar antara 2–3 minggu setelah anthesis hingga 12–15 minggu
68 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
yang telah dibawa dari hasil anakan penyerbukan bebas. Industri Macadamia di
California dan Australia berkembang belakangan dengan menggunakan tanaman
yang diseleksi dari varietas yang dikembangkan di Hawaii (Denise L. Steiger, Moore,
Zee, Liu, & Ming, 2003).
Hingga saat ini kultivar yang dikembangkan di Hawaii masih menjadi varietas
yang dikembangkan untuk industri Macadamia di seluruh dunia. Sebagaian besar
industri ini menggunakan M. integrifolia atau hibrida M. integrifolia dan M.
tetraphylla. Kultivar M. integrifolia yang dikembangkan di Hawaii menjadi pilihan
utama dan sebagai genotipe induk untuk program pemuliaannya (C. Hardner,
2016). Saat ini Macadamia dibudidayakan secara komersial di Australia, Hawaii,
California, Afrika Selatan, Brasil, Guatemala, Kenya, serta di New Zealand, Malawi,
China, Asia Tenggara dan Paraguay (C. Hardner, 2016; Wallace & Walton, 2011).
Kenya adalah produsen Macadamia terbesar keempat setelah Australia, Hawaii
dan Afrika Selatan dengan produksi tahunan mencapai 10.000 ton (J.D. Wilkie,
Sedgley, & Olesen, 2008) (Wilkie, 2008).
Gambar 16. Perkembangan buah Macadamia; (a) Buah kecil setelah penyerbukan,
(b) perkembangan cepat buah menuju pematangan, (c) buah mulai
masak dan retak, dan (d) kulit buah (husk) sudah pecah dan biji siap
panen (foto : dita_agisimanto).
Macadamia spp. 73
(Proteaceae)
penyakit kardiovaskular. Konsumsi lemak tak jenuh tunggal secara teratur dikaitkan
dengan penurunan kolesterol darah, di mana ada bukti yang menunjukkan bahwa
konsumsi kacang Macadamia secara teratur dapat mengurangi kolesterol dan
membantu mengurangi risiko penyakit arteri koroner (Wallace & Walton, 2011).
Bahkan konsumsi jangka pendek dapat meningkatkan biomarker dari stres
oksidatif, trombosis dan peradangan serta menurunkan kolesterol (Garg, Blake,
Wills, & Clayton, 2007). Konsentrasi serum total kolesterol dan kolesterol LDL dari
penelitian Griel et al. (2008) menunjukkan nilai yang lebih rendah untuk subjek
dengan diet yang menggunakan kacang macadamia sebagai asupan dibandingkan
dengan diet tanpa kacang macadamia sebagai asupan. Hal ini menunjukkan bahwa
kacang Macadamia dapat membantu mengurangi risiko penyakit kardiovaskular
(Griel et al., 2008).
Kandungan protein yang terdapat pada kacang Macadamia mampu berkontribusi
pada kebutuhan protein harian orang dewasa, seperti yang direkomendasikan
untuk asupan program diet. Namun, kernel Macadamia menunjukkan jumlah
karbohidrat yang lebih rendah (5.801%) daripada daun dan pericarp, yang masing-
masing mengandung (72,352%) dan (77,581%) (Abubaker et al., 2017).
Minyak Macadamia adalah salah satu minyak paling tak jenuh tunggal. Minyak
ini mengandung 83–85% asam lemak tak jenuh dan 15–17% asam lemak jenuh
(Robbins, Shin, Shewfelt, Eitenmiller, & Pegg, 2011). Asam lemak dominan
adalah asam oleat (56–65%), palmitoleat (18–23%), dan palmitat (7–9%). Kernel
Macadamia dianggap matang setelah akumulasi minyak selesai (Wall, 2013).
Macadamia integrifolia memiliki minyak yang punya kemiripan dengan minyak
zaitun. Minyaknya disusun oleh monounsaturated fatty acids (MUFA) dengan
persentase hingga 58,2% dengan kandungan dominan asam oleat (oleic acid)
(~60%) dan asam palmitoleat (palmitoleic acids) (~20%). Oleh karena itu, biji
tanaman ini diyakini sebagai sumber makanan sehat karena tidak mengandung
kolesterol dan menurunkan level kandungan kolesterol LDL. Minyak Macadamia
mampu meningkatkan keseimbangan asam lemak omega 6 dan omega 3 sehingga
memudahkan sirkulasi darah melalui arteri koroner. Kehadiran tokoferol, fitosterol
dan squalene di dalam buah Macadamia juga berperan menurunkan kolesterol
(Wall, 2010). Minyak dari Macadamia ini juga digunakan dalam pembuatan
kosmetik. Dengan seleksi varietas superior, teknik pembiakan vegetatif yang tepat
dan dilengkapi dengan paket agronomis lainnya, nilai penting ekonomi Macadamia
akan berlanjut (Abubaker, Hawary, Mahrous, & El-Kader, 2017).
76 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
integrifolia pericarp dianggap sebagai sumber kalium yang baik dengan nilai
sejumlah 7.803,68 mg/kg, diikuti bagian kernelnya (3.458,4 mg/kg). Sedangkan
daun macadamia mengandung konsentrasi kalium terendah, yakni sebesar 838,16
mg/kg.
Macadamia merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena
biji yang dihasilkan menjadi bahan baku dalam industri makanan serta dapat
digunakan untuk kesehatan. Potensi pasar Indonesia untuk produk ini cukup
menjanjikan, dilihat dari pertumbuhan impor yang terjadi pada tahun 2009-2018
yakni sebesar 62%. Dari 9,4 ton pada tahun 2009 menjadi 15,3 ton pada tahun
2018, meski sempat terjadi penurunan impor di antara tahun 2012 hingga 2016.
Peluang budidaya terlihat dari ekspor yang dilakukan oleh Perkebunan Kopi Kalisat
Jampit, PT Perkebunan Nusantara XII, yang terletak di Pegunungan Ijen, Jawa
Timur. Peningkatan harga per kg ekspor dari tahun 2016 yang bernilai 3,2$ menjadi
20$ pada tahun 2018 dapat menjadi indikasi peningkatan kualitas dari produk biji
Macadamia yang dihasilkan.
Tanaman Macadamia memiliki manfaat mulai dari batang sebagai kayu, biji yang
dapat dikonsumsi dan diambil minyaknya serta cangkang kulit pembungkus biji
dapat digunakan sebagai arang. Kandungan dari biji Macadamia di antaranya
lemak 57,90%, protein 13,45%, pati 9,55%, air 5,89%, gula 5,05% dan abu 2,22%
(Sukmasari et al. 2004). Lemak yang terkandung lebih dari 77% merupakan
lemak tak jenuh yang didominasi lemak tak jenuh tunggal, sehingga baik untuk
kesehatan (USDA, 2009). Beberapa studi menunjukkan bahwa kacang macadamia
dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, meliputi hiperkolesterolmia,
stres oksidatif, dan peradangan (Garg et al., 2007; Griel et al., 2008)(Wood and
Garg 2011; Griel et al., 2008; Garg et al., 2003; Hiraoka-Yamamoto et al., 2004).
Di samping itu Macadamia kaya akan zat besi, magnesium, fosfor, kalsium dan
thiamin. Hal ini membuat Macadamia dapat digunakan untuk membantu mengatasi
anemia, gangguan hati dan kecanduan alkohol, memperbaiki kekebalan tubuh dan
meningkatkan kesehatan secara umum.
Tiga produsen terbesar kacang Macadamia adalah Australia, Amerika Serikat dan
Afrika Selatan. Dari sisi volume produksi secara global selama tahun panen 2006-
2007, dibandingkan pohon kacang sejenis, Macadamia menduduki peringkat ke
delapan. Peringkat pertama hingga kelima adalah almond, hazelnut, mete, walnut,
dan pistachio (Alasalvar & Shahidi, 2008).
78 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Pustaka
1. Abubaker, M., Hawary, S. S. E., Mahrous, E. A., & El-Kader, E. M. A. (2017).
Study of nutritional contents of Macadamia integrifolia Maiden and Betche
leaves, kernel and pericarp cultivated in Egypt. International Journal of
Pharmacognosy and Phytochemical Research, 9, 1442-1445.
2. Alasalvar, C., & Shahidi, F. (2008). Tree nuts: Composition, phytochemicals,
and health effects: An overview. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree Nuts:
Composition, Phytochemicals, and Health Effects (pp. 1-10). Boca Raton: CRC
Press.
3. Chagné, D. (2015). Whole genome sequencing of fruit tree species. In P.
Christophe & A. B. Anne-Françoise (Eds.), Advances in botanical research (Vol.
74, pp. 1-37): Academic Press.
4. Franke, A. A., Murphy, S. P., Lacey, R., & Custer, L. J. (2007). Tocopherol and
tocotrienol levels of foods consumed in Hawaii. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 55, 769-778.
5. Garg, M. L., Blake, R. J., Wills, R. B. H., & Clayton, E. H. (2007). Macadamia nut
consumption modulates favourably risk factors for coronary artery disease in
hypercholesterolemic subjects. Lipids, 42, 583-587.
6. Griel, A. E., Cao, Y. M., Bagshaw, D. D., Cifelli, A. M., Holub, B., & Kris-Etherton,
P. M. (2008). A macadamia nut-rich diet reduces total and LDL-cholesterol in
mildly hypercholesterolemic men and women. Journal of Nutrition, 138 761-
767.
7. Hardner, C. (2016). Macadamia domestication in Hawai’i. Genetic Resources
and Crop Evolution, 63, 1411-1430.
8. Hardner, C. M., Peace, C., Lowe, A. J., Neal, J., Pisanu, P., Powell, M., . . .
Williams, K. (2009). Genetic resources and domestication of Macadamia.
Hortic Rev, 35, 1-126.
9. Hardner, C. M., Winks, C. W., Stephenson, R. A., Gallagher, E. G., & Mcconchie,
C. A. (2002). Genetic parameters for yield in macadamia. Euphytica, 225 255
- 264.
10. He, F. J., & MacGregor, G. A. (2009). A comprehensive review on salt and health
and current experience of worldwide salt reduction programmes. Journal of
Human Hypertension, 23, 363-384.
Macadamia spp. 79
(Proteaceae)
11. Howlett, B. G., Nelson, W. R., Pattemore, D. E., & Gee, M. (2015). Pollination
of macadamia: review and opportunities for improving yields. Scientia
Horticulturae, 197, 411-419.
12. Huett, D. O. (2004). Macadamia physiology review: a canopy light response
study and literature review. Australian Journal of Agricultural Research, 55,
609–624.
13. Mast, A. R., Willis, C. L., Jones, E. H., Downs, K. M., & Weston, P. H. (2008).
A smaller Macadamia from a more vagile tribe: Inference of phylogenetic
relationships, divergence times, and diaspore evolution in Macadamia and
relatives (tribe Macadamiae; Proteaceae). American Journal of Botany, 95,
843-870.
14. McFadyen, L. M., Morris, S. G., Oldham, M. A., Huett, D. O., Meyers, N. M.,
Wood, J., & McConchie, C. A. (2004). The relationship between orchard
crowding, light interception, and productivity in macadamia. Australian
Journal of Agricultural Research, 55, 1029-1038.
15. Munro, I. A., & Garg, M. L. (2008). Nutrient composition and health beneficial
effects of macadamia nuts. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree nuts:
Composition, phytochemicals, and health effects (pp. 249-258). Boca Raton:
CRC Press.
16. Nock, C. J., Baten, A., Barkla, B. J., Furtado, A., Henry, R. J., & King, G. J. (2016).
Genome and transcriptome sequencing characterises the gene space of
Macadamia integrifolia (Proteaceae). BMC Genomics, 17, 937.
17. Nock, C. J., Baten, A., & King, G. J. (2014). Complete chloroplast genome
of Macadamia integrifolia confirms the position of the Gondwanan early-
diverging eudicot family Proteaceae. BMC Genomics, 15 Suppl 9:1.
18. Nock, C. J., Elphinstone, M. S., Ablett, G., Kawamata, A., Hancock, W., Hardner,
C. M., & King, G. J. (2014). Whole genome shotgun sequences for microsatellite
discovery and application in cultivated and wild Macadamia (Proteaceae).
Appl Plant Sci, 2, 1300089.
19. O’Connor, K., Hayes, B., & To, B. (2018). Prospects for increasing yield in
macadamia using component traits and genomics. Tree Genetics & Genomes
() 14:7, 14, 7.
80 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
20. Olesen, T. (2005). The timing of flush development affects the flowering of
avocado (Persea americana) and macadamia (Macadamia integrifolia x
tetraphylla). Australian Journal of Agricultural Research, 56, 723-729.
21. Olesen, T., & Mcphan, A. (2003). Some observations on the flowering of
macadamia. Australian Macadamia Society News Bulletin, 30, 38-40.
22. Olesen, T., Whalan, K., Muldoon, S., Robertson, D., & Meyer, R. (2006). On
the control of bud release in macadamia (Macadamia integrifolia). Australian
Journal of Agricultural Research, 57, 939-945.
23. Packer, L., Weber, S. U., & Rimbach, G. (2001). Molecular aspects of α
-tocotrienol antioxidant action and cell signaling. Journal of Nutrition, 131,
369S-373S.
24. Peace, C., Ming, R., Schmidt, A., Manners, J., & Vithanage, V. (2008). Genomics
of Macadamia, a recently domesticated tree nut crop. In P. Moore & R. Ming
(Eds.), Genomics of tropical crop plants, vol 1. Plant genetics and genomics:
crops and models (pp. 313-332). New York: Springer.
25. Pisanu, P. C., Gross, C. L., & Flood, L. (2009). Reproduction in wild populations of
the threatened tree Macadamia tetraphylla: interpopulation pollen enriches
fecundity in a declining species. Biotropica, 41, 391-398.
26. Powell, M., Accad, A., & Shapcott, A. (2014). Where they are, why they are
there, and where they are going: using niche models to assess impacts of
disturbance on the distribution of three endemic rare subtropical rainforest
trees of Macadamia (Proteaceae) species. Aust J Bot., 62, 322-334.
27. Rizvi, S., Raza, S. T., Ahmed, F., Ahmad, A., Abbas, S., & Mahdi, F. (2014). The
role of vitamin E in human health and some diseases. Sultan Qaboos University
Med J, 14, e157-165.
28. Robbins, K. S., Shin, E., Shewfelt, R. L., Eitenmiller, R. R., & Pegg, R. B. (2011).
Update on the healthful lipid constituents of commercially important tree
nuts. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 59, 12083-12092.
29. Sathe, S. K., Monaghan, E. K., Kshirsagar, H. H., & Venkatachalam, M. (2008).
Chemical composition of edible nutcseeds and its implications in human health.
In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree nuts: Composition, phytochemicals, and
health effects (pp. 11-36). Boca Raton: CRC Press.
Macadamia spp. 81
(Proteaceae)
30. Sen, C. K., Khanna, S., & Roy, S. (2007). Tocotrienols in health and disease: the
other half of the natural vitamin E family. Molecular Aspects of Medicine, 28,
692-728.
31. Soltis, D. E., Smith, S. A., Cellinese, N., Wurdack, K. J., Tank, D. C., Brockington,
S. F., . . . Carlsward, B. S. (2011). Angiosperm phylogeny: 17 genes, 640 taxa.
Am J Bot, 98, 704-730.
32. Steiger, D. L., Moore, P. H., Zee, F., Liu, Z., & Ming, R. (2003). Genetic
relationships of macadamia cultivars and species revealed by AFLP markers.
Euphytica, 132, 269-277.
33. Steiger, D. L., Nagai, C., Moore, P. H., Morden, C. W., Osgood, R. V., & Ming,
R. (2002). AFLP analysis of genetic diversity within and among Coffea arabica
cultivars. Theor Appl Genet, 105, 209-215.
34. Stephenson, R. (2005). Macadamia: Domestication and commercialisation.
Horticultural Science Focus, 45, 11-15.
35. Stephenson, R. A., Gallagher, E. C., & Doogan, V. J. (2003). Macadamia
responses to mild water stress at different phonological stages. Australian
Journal of Agricultural Research, 54, 67-75.
36. Trueman, S. J. (2013). The reproductive biology of macadamia. Scientia
Horticulturae, 150, 354-359.
37. Wall, M. M. (2010). Functional lipid characteristics, oxidative stability, and
antioxidant activity of macadamia nut (Macadamia integrifolia) cultivars.
Food Chemistry, 121, 1103-1108.
38. Wall, M. M. (2013). Improving the quality and safety of macadamia nuts:
Woodhead Publishing Limited.
39. Wallace, H. M., & Walton, D. A. (2011). Macadamia (Macadamia integrifolia,
Macadamia tetraphylla and hibrids): Woodhead Publishing Limited.
40. Wilkie, J. D., Sedgley, M., Morris, S., Muldoon, S., & Olesen, T. (2009).
Characteristics of flowering stems and raceme position in macadamia. Journal
of Horticultural Science & Biotechnology, 84 387-392.
41. Wilkie, J. D., Sedgley, M., & Olesen, T. (2008). Regulation of floral initiation in
horticultural trees. Journal of Experimental Botany, 59, 3215-3228.
82 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
42. Wilkie, J. D., Sedgley, M., & Olesen, T. (2009). A model of vegetative flush
development and its potential use managing macadamia (Macadamia
integrifolia) tree canopies. Crop & Pasture Science, 60, 420-426.
Penulis :
Dita Agisimanto dan Lyli Mufidah
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Morus alba L.
(Moraceae)
Protologue
Morus alba Linnaeus - Species Plantarum. 2: 986 (1753)
Sinonim
• Morus alba vulgaris f. pendula Dippel, Handb. Laubholzk. 2: 8 (1892)
• Morus alba Bureau, Prodr. [A. P. de Candolle] 17: 243, partim (1873).
• Morus alba pendula Sudw., Bull. Div. Forest. U.S.D.A. 14: 189 (1897).
• Morus alba var. emarginata Y.B.Wu, Acta Bot. Yunnan. 16(2): 120, as
‘emargenata’ (1994).
• Morus alba var. laciniata Beissn., Mitt. Deutsch. Dendrol. Ges. no. 12: 127
(1903).
• Morus alba f. skeletoniana (C.K.Schneid.) Rehder, Bibliogr. Cult. Trees 147
(1949).
Nama umum
Murbei (Indonesia), Walot (Sunda), Malur (Batak), Andalas (Sumatera Barat), nagas
(Ambon) dan tambara merica (Makassar), Besaran (Jawa), mulberry (Inggris),
Sangye (China), morera/mora (Spanyol), moreira (Portugis), Murier (Prancis)
I. Pendahuluan
Murbei merupakan tanaman berkayu yang awalnya masuk ke dalam bangsa
Urticales. Linnaeous (1753) membagi bangsa Urticales, suku Moraceae, marga
Morus menjadi 7 spesies yaitu Morus alba, Morus indica, Morus nigra, Morus
papyrifera, Morus rubra, Morus tartarica, Morus tinctoria. Namun tahun 1873
84 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
berwarna abu-abu. Cabang pohon berbulu halus, tunas pada musim dingin cokelat
kemerahan dengan bentuk ovoid dan berbulu halus. Stipula berbentuk lanceolate
2-3,5 cm tertutup rapat dengan bulu halus pendek (Krishna et al., 2018, Shu,
2003)
Tata letak daun Morus alba berseling/tidak saling berhadapan (alternate).
Tangkai daun Morus alba berwarna sedikit merah, berukuran 1,5 -5,5 cm
dan berbulu. Helai daun berbentuk bulat telur (ovate/bagian terlebar dekat
pangkal daun) sampai bulat telur melebar (broadly ovate) dengan lekukan
tepi daun (lobus) tidak beraturan berukuran 5-30 cm x 5 x 12 cm. Pangkal
daun berbentuk membulat sampai seperti jantung (cordate), dengan tepi
daun kesat, serrate (tepi daun dengan sinus dan annulus tajam) sampai
crenate (tepi daun dengan sinus tajam dan angulus tumpul), ujung daun
acute (runcing), acuminate (meruncing) atau obtuse (membulat). Tulang
daun berwarna hijau cerah. Sepanjang tulang daun di permukaan bawah
daun terdapat bulu halus tidak rapat tetapi tulang daun dipermukaan daun
bagian atas mengkilap (tidak berbulu). Tulang daun berwarna hijau cerah.
Daun Morus alba var multicaulis seperti Morus alba, berbeda pada helaian
daun lebih tebal dan berkerut (Andadari, Pudjiono, Suwandi, & Rahmawati,
2013; Krishna et al., 2018a; Shu, 2003).
dengan panjang 2-3,5 cm berambut putih rapat. Catkins bunga betina inflorescentia
dengan panjang 1-2 cm, berbulu pendek dan halus (pubescent), tangkai bunga 5-10
mm berbulu halus dan pendek (pubescent). Kuntum bunga jantan berkelopak hijau
pucat berbentuk elip meluas, tangkai benang sari tertanam di dalam tunas; kepala
benang sari terdiri atas 2 lokulus (ruangan) berbentuk globose (bulat) sampai
reniform (bentuk ginjal). Kuntum bunga betina tidak bertangkai (sessile); bentuk
kelopak bulat telur (ovoid) sampai gepeng (compressed), berbulu pendek dan halus
(pubescent), ovarium tidak bertangkai (sessile), berbentuk bulat telur (ovoid),
tanpa tangkai putik (stilus); kepala putik (Stigma) berupa tonjolan (mastoidlike
protuberance), percabangan memencar, berpapila (modifikasi jaringan epidermis,
berupa tonjolan yang ada pada bagian mahkota bunga) (Shu, 2003).
Buah morus merupakan buah Syncarp (karpel bersatu) berwarna merah saat
mentah, ungu tua, ungu atau putih kehijauan saat masak, berbentuk ovoid, elips
atau silinder berukuran 1-2,5 cm (Shu, 2003). Biji Morus alba berdasarkan hasil
karakterisasi 5 varietas Morus alba di Cuba (Reino-molina et al., 2017) menunjukkan
biji berbentuk bulat telur (ovate) sampai dengan membulat (rounded), warna
cokelat terang dengan permukaan kulit seperti pasir (granulated) sampai berbentuk
bulat-bulat rapat (colliculated). Di dalam biji terdapat lapisan tipis endosperm yang
menyelimuti embrio.
Morus alba L. 87
(Moraceae)
Gambar 19. Buah murbei belum masak hingga masak (kiri ke kanan)
(foto: anis_andrini, tiffany_anindya_arisanti).
Dalimarta, 1999). Selain 5 spesies di atas terdapat spesies Morus macraura yang
terdapat daerah Sumatera Barat; di lembah gunung Merapi dan gunung Sago Batu
Sangkar, di kaki gunung Talang, di sekitar Maninjau, Sungai Puar dan Batang Barus
(Syamsuardi, 2015)
Morus alba, Kelompok 3 terdiri atas 1 genotipe dari Morus alba dan Kelompok
4 yaitu 1 genotipe dari Morus rubra yang paling jauh jarak genetiknya (Orhan &
Ercisli, 2010).
nigra) dengan jenis murbei unggul tanpa membongkar tanaman yang sudah ada.
Teknik okulasi dilakukan untuk memperbanyak jenis murbei yang dianggap unggul
tetapi sukar untuk diperbanyak dengan stek (misalnya jenis M. ichinose) dan
memperbanyak dalam waktu singkat. Sebagai batang bawah dapat dipergunakan
tanaman yang sudah ada, mempunyai perakaran kuat, tahan terhadap pengaruh
dari luar tetapi produksi daunnya relatif lebih rendah atau yang tidak begitu disukai
oleh ulat sutera (misalnya M. macroura) (Andadari et al., 2013). Pada pembibitan
dengan stek, pertumbuhan dapat dipacu dengan pemupukan NPK 20% dalam
bentuk pupuk slow release 9 gram/bibit yang telah berumur 15 hari dari stek,
terutama pada tanah podzolik merah (Suwandi et al., 2005).
Tanah yang akan ditanami murbei terlebih dahulu dilakukan pencangkulan,
pembuatan guludan dan pembuatan drainase. Tanaman murbei tidak akan tahan
terhadap kekeringan, sehingga sebaiknya penanaman dilakukan pada awal musim
hujan. Dengan demikian, tanaman murbei pada musim kemarau sudah cukup
kuat menahan kekeringan karena perakarannya sudah menjalar. Tanaman murbei
dapat ditanam di lahan bukaan baru, lahan bekas tebangan atau lahan bekas
tanaman murbei yang sudah tidak produktif. Jarak tanam bergantung varietas
yang digunakan antara lain 0,5 x 0,5 m (40.000 pohon/hektare), 1x0,5 m (20.000
pohon/ha) dan jarak tanam 1 x 1 m (10.000 pohon/hektare). Penanaman dapat
dilakukan dengan system lubang tanam dengan ukuran 40 x 40 x 40 em atau 50
x 50 x 50 cm atau dengan system rorakan dengan jarak 1 m lubang memanjang
seperti penanaman tebu, dengan ukuran rorakan sedalam 50cm dan lebar 40 cm.
Murbei memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan dan menjaga kelembapan
tanah agar porositas tanah menjadi baik. Bila kelembapan tanah kurang, maka
pertumbuhan murbei akan terhambat, bahkan kalau sudah parah, pertumbuhan
akan terhenti (Andadari et al., 2013).
Pemupukan adalah salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan
pertumbuhan dan produksi murbei. Saat ini di Indonesia budidaya murbei lebih
diutamakan untuk diambil daunnya sebagai pakan ulat sutera sehingga pemupukan
anjuran lebih kepada peningkatan kualitas dan produktivitas daun. Pemupukan
dilakukan 3 kali setahun yaitu setelah tanaman murbei dipangkas. Saat yang tepat
adalah 2 minggu setelah pemangkasan. Jenis pupuk yang sering diberikan pada
tanaman murbei adalah Urea, KCI dan SP-36 serta pupuk organik seperti kompos
dan pupuk kandang. Adapun banyaknya pupuk yang diberikan adalah Urea 350
92 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
kg/ha, KCl 150 kg/ha dan SP-36 sebanyak 50 kg/ha. Pupuk organik berupa pupuk
kandang diberikan sebanyak 15 ton/ha (Andadari et al., 2013). Pemupukan yang
digunakan (Krishna et al., 2018b) di India dalam penelitiannya untuk studi karakter
vegetatif sampai dengan buah 10 genotipe murbei digunakan pupuk yang seimbang
antara N, P dan K.
Pada dasarnya teknologi budidaya mulbery yang sudah banyak diterapkan petani
di Indonesia merupakan budidaya yang lebih banyak kepada budidaya murbei
untuk diambil daunnya sebagai pakan ulat sutra. Namun demikian, pembungaan
dan pembuahan murbei ini di Indonesia hampir tidak mengenal musim. Sebagai
gambaran di daerah Batu, Jawa Timur, murbei yang tumbuh dan/atau ditumbuhkan
di tepi jalan dapat berbuah lebat seperti halnya di daerah persawahan yang
subur.
Jenis hama yang paling menyebabkan kerusakan yaitu kutu daun (Maconellicoccus
hirsutus Green) dan belalang (Valanga sp.), sedang jenis penyakit yang banyak
menyebabkan kerusakan adalah bercak daun (Septogleum mori Briosi et Cavapa)
dan karat (Aecideum mori Barclay) (Prayudyaningsih et al., 2006).
Tanaman murbei dapat digunakan sebagai obat, baik daun, kayu batang, kayu
akar maupun buahnya. Jus buah dan biji Morus alba berpotensi sebagai anti virus
influenza. Hasil penelitian Kim & Chung (2018) menunjukkan jus dan biji Morus
alba dapat melawan virus influenza BR59 (A/Brisbane/59/2007 (H1N1), KR01 (A/
Korea/01/2009(H1N1)) (KR01), dan FL04 (B/Florida/4/2006).
Ekstrak buah dan daun murbai juga dapat dimanfaatkan sebagai anti disentri.
Hasil penelitian Hastuti, Oktantia, & Khasanah menunjukkan ekstrak daun dengan
konsentrasi 95% dan ekstrak buah murbei (M. alba L.) dengan konsentrasi 85%
efektif dalam menghambat pertumbuhan Shigella dysenteriae secara in vitro.
Ekstrak daun dan buah Murbei dengan konsentrasi 85% menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus secara in vitro.
Buah Morus nigra di Negara Turki mempunyai kandungan total flavonoid dan fenol
lebih tinggi dari pada Morus alba. Morus nigra mengandung total flavonoid 276
mg QE/100 g berat segar dan total fenol 0,16 mg GAE/100 g berat segar. Sementara
itu Morus alba mengandung total flavonoid 181 mg QE/100 g berat segar dan total
fenol 0,16 mg GAE/100 g berat segar. Total ascorbic kedua spesies tidak terlalu
berbeda yaitu Morus alba 22,4 mg/100ml, Morus nigra 21,8 mg/100ml (Ercisli &
Orhan, 2007).
Kandungan buah murbei kaya antioksidan karena kandungan antosianin yang
banyak. Hasil penelitian pada Morus alba dan Morus cathayana di Indonesia
menunjukkan kedua spesies tersebut mengandung 2 antosianin dominan yaitu
sianidin-3-O-glukosida dan sianidin-3-O-rutinosida (Sitepu et al., 2016). Hasil
penelitian dan Hakim dkk. 2008), menyimpulkan bahwa senyawa-senyawa
oksiresveratrol, andalasin A, dan andalasin B yang diisolasi sebagai komponen
utama tumbuhan Andalas (M Macroura), dan senyawa resveratrol yang banyak
ditemukan pada spesies Dipterocarpaceae, merupakan senyawa-senyawa yang
sangat potensial sebagai bahan antioksidan atau inhibitor tirosinase (bahan
pemutih kosmetik).
Selaian sebagai obat, Andalas (M. macroura) di kenal oleh masyarakat Minang
sebagai kayu yang bagus dalam pembangunan rumah adat di Minangkabau.
Kayu Andalas sudah menjadi tradisi sejak lama dipakai dalam pembuatan rumah,
baik sebagai tiang utama, balok untuk landasan lantai rumah, papan lantai dan
dinding rumah. Sering pula kayunya dipakai sebagai bahan perabot rumah tangga
(Gusmailina, 2014).
94 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Pustaka
1. Andadari, L., Dewi, R., & Pudjiono, S. (2016). Uji adaptasi lima tanaman
murbei hibrid baru untuk meningkatkan produktivitas persutraan alam.
Widyariset, 2(2), 96–105. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14203/
widyariset.2.2.2016.96-105
2. Andadari, L., Pudjiono, S., Suwandi, & Rahmawati, T. (2013). Budidaya Murbei
dan Ulat Sutera (M. Kaomini, N. F. Haneda, & T. Herawati, Eds.). Bogor: Forda
Press.
3. Basavaiah, L., Dandia, S. B., Dhar, A., & Sengupta, K. (1990). Meiosis in natural
Decosaploid (22x) Morus nigra. Cytologia, 55(3), 505–509. https://doi.
org/10.1508/cytologia.55.505
4. Ercisli, S., & Orhan, E. (2007). Chemical composition of white (Morus alba),
red (Morus rubra) and black (Morus nigra) mulberry fruits. Food Chemistry,
103, 1380–1384. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2006.10.054
5. Ferlinahayati, Hakim, E. H., Syah, Y. M., & Juliawaty, L. D. (2012). Senyawa
Morusin dari tumbuhan murbei hitam (Morus nigra). Jurnal Penelitian Sains,
15(April), 70–73.
6. Ginting, S. P., Hutasoit, R., & Yuliastiani, D. (2013). Seminar nasional teknologi
peternakan dan veteriner. Karateristik Morfologik Dan Agronomik Serta
Kualitas Nutrisi Beberapa Spesies Murbei, 468–477.
7. Gusmailina. (2014). Seminar Nasional XVII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
(MAPEKI) 11 November 2014. ANDALAS (Morus Macroura Miq) ; PROFIL DAN
PROSPEK SEBAGAI TUMBUHAN OBAT DAN KOSMETIKA ASAL HUTAN. Medan.
8. Hastuti, U. S., Oktantia, A., & Khasanah, H. N. (n.d.). Seminar Nasional
IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 529. Daya Antibakteri Ekstrak Daun Dan
Buah Murbei (Morus Alba L)Terhadap Staphylococcus Aureus Dan Shigella
Dysenteriae, 529–534.
9. Isnan, W., & Muin, N. (2015). Tanaman Murbei : Sumber Hutan MultiManfaat.
Info Teknis Eboni, Vol. 12(2), 111–119.
10. ITIS. (2011). ITIS Standard Report Page: Morus. Retrieved from https://
www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_
value=825867#null
Morus alba L. 95
(Moraceae)
11. Jian, Q., Ningjia, H., Yong, W., & Zhonghuai, X. (2012). Ecological issues of
Mulberry and sustainable development. Journal of Resources and Ecology,
3(4), 330–339. https://doi.org/10.5814/j.issn.1674-764x.2012.04.006
12. Kafkas, S., Özgen, M., Doǧan, Y., Özcan, B., Ercişli, S., & Serçe, S. (2008).
Molecular characterization of mulberry accessions in Turkey by AFLP markers.
Journal of the American Society for Horticultural Science, 133(4), 593–597.
https://doi.org/10.21273/JASHS.133.4.593
13. Kim, H., & Chung, M. S. (2018). Antiviral activities of mulberry (Morus alba)
juice and seed against influenza viruses. Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine, 2018, 1–10. https://doi.org/10.1155/2018/2606583
14. Krishna, H., Singh, D., Singh, R. S., Kumar, L., Sharma, B. D., & Saroj, P. L.
(2018a). Morphological and antioxidant characteristics of mulberry (Morus
spp.) genotypes. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences Xxx.
https://doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.002
15. Krishna, H., Singh, D., Singh, R. S., Kumar, L., Sharma, B. D., & Saroj, P. L.
(2018b). Morphological and antioxidant characteristics of mulberry (Morus
spp.) genotypes. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. https://
doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.002
16. Machii, H., Koyama, A., & Yamanouchi, H. (2002). Mulberry breeding,
cultivation and utilization in Japan. FAO Electronic Conference on Mulberry For
Animal Production (Morus 1-L), 1–10.
17. Nepal, M. P. (2008). Systematics and reproductive biology of the genus morus
l. (Moraceae). Kansas State University.
18. Orhan, E., & Ercisli, S. (2010). Genetic relationships between selected Turkish
mulberry genotypes (Morus spp) based on RAPD markers. Genetics and
Molecular Research : GMR, 9(4), 2176–2183. https://doi.org/10.4238/vol9-
4gmr958
19. Prayudyaningsih, R., Tikupadang, H., & Santosa, B. (2006). Hama dan penyakit
jenis murbei eksot dan tingkat kehilangan daunnya pada akhir musim kemarau.
Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 3(4), 429–435.
20. Rao, A. A., Chauhan, S. ., Radhakrishnan, R., Tikader, A., Borpuzari, M. ., &
Kamble, C. . (2011). Distribution, variation and conservation of Mulberry (Morus
spp.) genetic resources in the arid zone of Rajasthan, India. Bioremediation,
Biodiversity and Bioavaiilability, 5(1), 52–62.
96 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Protologue
Passiflora edulis Sims – Botanical Magazine. 45/48 t. 1989. 1818.
Sinonim :
• Passiflora edulis Sims var. kerii (Spreng.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
• Passiflora edulis var. pomifera (Roem.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
• Passiflora edulis var. rubricaulis (Jacq.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
• Passiflora edulis var. verrucifera (Lindl.) Mast. -- Transactions of the Linnaean
Society of London. London. 27: 637. 1871.
Nama umum
Markisa (Indonesia), Maracujá (Portugis), maracuyá (Spanyol), passion fruit
(Inggris), granadilla (Amerika Selatan dan Afrika Selatan), pasiflora (Israel), liliko’i
(Hawaii), lc tiên, chanh dây, chanh leo (Vietnam).
I. Pendahuluan
Markisa (Passiflora edulis Sims) merupakan salah satu spesies pada marga Passiflora
pada Suku Passifloraceae. Nama Passiflora diberikan Carl Linnaeus (1753) dari
Bahasa latin ‘flos passionis’ yang berarti bunga penderitaan. Marga Passiflora
dilaporkan mempunyai lebih dari 520 spesies yang merupakan marga dengan
anggota spesies terbesar pada Suku Passifloraceae (Rome & D’Eeckenbrugge,
98 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Gambar 20. (a) Tanaman markisa yang merambat pada para-para, (b) merambat
pada pucuk bambu, dan (c) merambat pada pohon (foto: karsinah).
Bakal buah akan berkembang menjadi buah setelah terjadi penyerbukan. Bunga
umumnya mekar saat menjelang siang atau saat suhu lingkungan hangat. Mekarnya
bunga pada saat lingkungan hangat diduga berhubungan dengan meningkatnya
aktivitas serangga penyerbuk yang umumnya dari kelompok lebah Xylocopa spp.,
burung kelompok Trochillidae (Rendón et al., 2013) dan kelelawar (Sazima &
Sazima, 1987). Buah yang terbentuk dari penyerbukan alami umumnya berasal dari
pernyerbukan silang sehubungan dengan sifat tanaman yang tidak bisa menyerbuk
sendiri (self incompatibility) (Do Rêgo et al., 1999; Madureira et al., 2014).
Kedua forma spesies P. edulis yaitu P. edulis f. edulis Sims dan P. edulis Sims f.
flavicarpa Deg. yang umum terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik
morfologis yang berbeda. P. edulis f. edulis Sims mempunyai daun berbentuk
menjari dengan helaian lebih tipis dan berukuran lebih kecil dari P. edulis Sims f.
flavicarpa Deg., dengan dimensi 9-12 x 7-9 cm. Panjang tangkai daun sekitar 2-3
cm dengan tangkai berwarna hijau muda. Dibandingkan P. edulis Sims f. flavicarpa
Deg., ruas batang P. edulis f. edulis Sims juga lebih pendek dengan sulur pengait
(tendril) berwarna hijau muda, ukuran bunga lebih kecil dan berwarna hijau saat
muda dan berubah menjadi ungu saat mekar. Buah berwarna hijau dengan bintik
putih saat muda dan berwarna ungu-merah berbintik putih saat tua atau masak
dengan kulit buah agak tipis dan keras (Gambar 22-23). Buah berbentuk bulat
sampai bulat agak lonjong atau oval, sari buah berwarna kuning oranye, berasa
asam hingga asam manis dengan aroma kuat (Karsinah et al., 2010).
Passiflora edulis Sims 101
(Passifloraceae)
Gambar 22. Buah markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna
hijau dan berwarna ungu setelah tua atau masak, serta sari buahnya
berwarna kuning orange (foto: karsinah).
Gambar 23. Buah markisa merah (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna
hijau dan berwarna merah berbintik putih setelah tua atau masak,
serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah).
Sementara P. edulis Sims f. flavicarpa Deg. mempunyai ukuran daun lebih besar dari
P. edulis f. edulis Sims dengan dimensi 10-13 x 9-12 cm dengan tangkai berwarna
kecokelatan. Ruas batang sekitar 7-10 cm berwarna kecokelatan. Ukuran bunga
besar dengan diameter mencapai 7-8 cm. Buah muda berwarna hijau dan berubah
menjadi kuning muda hingga kuning berbintik putih saat tua atau masak (Gambar
24). Kulit buah tebal dan agak keras. Sari buah berwarna kuning dengan rasa asam
manis beraroma seperti jambu biji (Karsinah et al., 2010).
102 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Gambar 24. Buah markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) pada saat muda
berwarna hijau dan berwarna kuning berbintik putih setelah tua atau
masak, serta sari buahnya berwarna kuning (foto: karsinah).
Gambar 25. Sulur pengait (tendril) pada tanaman markisa yang berfungsi untuk
mengait pada batang untuk menopang tegaknya tanaman (foto:
karsinah).
106 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
setelah tanam. Pengairan yang dilakukan secara teratur terutama saat musim
kemarau dapat menjaga pembungaan dan pembentukan buah secara terus-
menerus. Pemangkasan tanaman dilakukan pertama kali saat fase awal setelah
tanam. Pemangkasan awal tanam dilakukan dengan menyisakan 2 cabang utama.
Pemangkasan lanjutan ditujukan untuk menjaga tajuk agar tidak terlalu rimbun.
Pemangkasan lanjutan umumnya dilakukan pada cabang-cabang tua, karena
bunga markisa muncul dari percabangan yang muda (Karsinah et al., 2010).
Hama utama yang menyerang buah markisa adalah lalat buah yang umumnya
menyerang saat stadia perkembangan buah. Sedangkan penyakit yang umum
dijumpai adalah bercak cokelat (Altenaria passiflorae), layu Fusarium (Fusarium
oxysporum f. sp. passiflorae). Pengendalian dilakukan dengan upaya preventif
melalui sanitasi kebun dan pembuangan bagian/organ tanaman yang bergejala.
Bila serangan meningkat, upaya kuratif dilakukan dengan menggunakan pestisida
hayati dan sistemik sesuai dosis anjuran (Karsinah et al., 2010).
Buah markisa dapat dipanen pada umur 85 hingga 95 hari dari bunga mekar. Tanda-
tanda buah markisa ungu yang siap dipanen adalah warna buah ungu kehijauan.
Sedangkan indikator buah masak pada markisa kuning adalah bila warna buah
telah berubah menjadi kuning. Begitu juga markisa merah, panen buah dilakukan
saat warna buah sudah berubah menjadi merah (Karsinah et al., 2010).
sama juga dilakukan penduduk asli Benua Amerika terutama di Peru, Argentina dan
Brasil (Dhawan et al. 2004). Di beberapa negara, pemanfaatan tanaman markisa
tidak hanya pada buahnya saja, tapi juga organ lainnya. Ekstrak daun digunakan
untuk pengobatan kecanduan alkohol, migrain, dan insomnia. Bagian bunga juga
digunakan untuk pengobatan asma, bronchitis dan batuk menahun (Sharan Patel,
2009). Buahnya banyak dikonsumsi dan dimanfaatkan untuk pengobatan diare,
disentri, darah tinggi, gejala menopause dan gangguan pencernaan. Minyak bijinya
pun banyak digunakan untuk pijat (Ingale & Hivrale, 2010).
Tanaman markisa juga dikenal mengandung berbagai senyawa kimia seperti
kelompok flavonoid, alkaloid, fenol, senyawa sianogenik, glikosida, vitamin, mineral
dan senyawa terpenoid. Senyawa-senyawa flavonoid yang terkandung dalam buah
markisa antara lain isoskatosida, orientin, isoviteksin, luteolin-6-cinovosida dan
luteolin-6-C-fokosida. Senyawa kelompok glikosida yang terdeteksi di antaranya
siklopentenoid sianohodrin glikosida, passicapsin, passibiflorin, sianogenik glikosida,
passikoriasin, apipasikoriasin, epitetrapilin B sianogenik -ß-rutinosida, amigdalin,
prunasin, mandelonitril, rhamnopiranosil-ßd-glucopiranosida, sambunigrin, benzil
alkohol, 3 methyl-but-2en-1-ol, metil salisilat, eugenol, apigenin, benzoflavone,
homoorientin, kaempferol, lucenin, luteolin, passiflorine, quercetine, rutin,
saporanin, vicenin, viteksin dan chrysin. Buah markisa juga mengandung senyawa
dalam kelompok alkaloid seperti harmalin, harmalol, harmin, harmol dan beta-
carbolin harmala alkaloid serta senyawa terpenoid seperti 4-hidroxi-ß-ionol,
4-oxo-ß-ionol, 4-hidroxi-7,8-dihidro-ß-ionol, 4-oxo-7,8-dihidroß-ionol, 3-oxo-a-
ionol, isomeric 3-oxo retro-a-ionols, 3-oxo-7,8-dihidro-a-ionol, 3-hydroxi-1,1,6-
trimethyl-1,2,3,4-tetra hidro nafthalen vomifoliol dehydrovomifoliol, terpene
alkohol linalool, a-terpeneol, terpen diols (E), (Z)-2,6-dimethylocta-2,7-diene-
1,6-diol, 2,6-dimethyl-octa-3,7-dien-2,6-diol, 2,6-dimethyl-1,8-octanediol, 2,6-
dimethyl-octa-1,7-diene-3,6-diol, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy-3-(2H)-furanone
(Sakalem et al. 2012).
Selain senyawa alkaloid, fenol, senyawa sianogenik, glikosida, vitamin, mineral dan
senyawa terpenoid, tanaman markisa juga banyak mengandung senyawa organik
seperti formik, butirat, linoleat, linolenik, malik, miristik, olek, asam palmitate
serta asalm amino α-alanin. Aroma buah yang khas berasal dari etil butirat, etil
kaproat, n-hexil butirat, dan n-hexil kaproat. Senyawa gula yang terkandung dalam
buah berasal dari senyawa D-fruktosa, D-glukosa dan rafinosa. Buah markisa juga
mengandung enzim-enzim seperti katalase, pectin metil esterase dan fenolase.
Passiflora edulis Sims 109
(Passifloraceae)
Senyawa-senyawa organik lain yang terkandung dalam buah antara lain koumarin,
maltol, fitosterol, dan saponin (Ramaiya et al., 2014; Asadujzaman et al. 2014;
Macoris et al. 2011; Chóez-Guaranda et al. 2017).
Pustaka
1. Amorim, J. dos S., Souza, M. M., Viana, A. J. C., & Freitas, J. C. de O. (2013).
Self-, cross- and interspecific pollinations in Passiflora capsularis and P. rubra.
Revista Brasileira de Botanica, 34(4), 537–544. https://doi.org/10.1590/
s0100-84042011000400007
2. Araya, S., Martins, A. M., Junquiera, N. T. V, Costa, A. M., Faleiro, F. G., & Ferreira,
M. E. (2017). Microsatellite marker development by partial sequencing of the
sour passion fruit genome (Passiflora edulis Sims). BMC Genomics, 18(1), 549.
https://doi.org/10.1186/s12864-017-3881-5
3. Asadujzaman, M., Mishuk, A. U., Hossain, M. A., & Karmakar, U. K. (2014).
Medichinal potential of Passiflora foetida L. plant extracts: biological and
pharmacological activities. Journal of Integrative Medicine, 12(2), 121–126.
https://doi.org/10.1016/S2095-4964(14)60017-0
4. Bernacci, L. C., Soares-Scott, M. D., Junqueira, N. T. V., Passos, I. R. D. S., & Meletti,
L. M. M. (2008). Passiflora edulis Sims : The correct taxonomic way to cite the
yellow passion fruit (and of others colors). Revista Brasileira de Fruticultura,
30(2), 566–576. https://doi.org/10.1590/s0100-29452008000200053
5. Bugallo, V., Cardone, S., Gabriela, P., & Facciuto, G. (2011). Breeding advances in
Passiflora spp. (Passion flower) native to Argentina. Floriculture and Ornamental
Biotechnology, 5(1), 23–34. Retrieved from http://www.globalsciencebooks.
info/Online/GSBOnline/images/2011/FOB_5(1)/FOB_5(1)23-34o.pdf
6. Cerqueira-Silva, C. B. M., Jesus, O. N., Santos, E. S. L., Correa, R. X., &
Souza, A. P. (2014). Genetic breeding and diversity of the genus Passiflora:
Progress and perspectives in molecular and genetic studies. International
Journal of Molecular Sciences, 15(8), 14122–14152. https://doi.org/10.3390/
ijms150814122
7. Chitwood, D. H., & Otoni, W. C. (2017). Morphometric analysis of Passiflora
leaves: The relationship between landmarks of the vasculature and elliptical
Fourier descriptors of the blade. GigaScience, 6(1), 1–13. https://doi.
org/10.1093/gigascience/giw008
110 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
8. Chóez-Guaranda, I., Ortega, A., Miranda, M., & Manzano, P. (2017). Chemical
composition of essential oils of Passiflora edulis f. flavicarpa agroindustrial
waste. Emirates Journal of Food and Agriculture, 29(6), 458–462. https://doi.
org/10.9755/ejfa.2016-10-1542
9. Cutri, L., Nave, N., Ami, M. Ben, Chayut, N., Samach, A., & Dornelas, M. C. (2013).
Evolutionary, genetic, environmental and hormonal-induced plasticity in the
fate of organs arising from axillary meristems in Passiflora spp. Mechanisms of
Development, 130(1), 61–69. https://doi.org/10.1016/j.mod.2012.05.006
10. De Giovanni, R., & Bernacci, L. C. (2015). Progressively approaching the
distribution of Passiflora ischnoclada (Passifloraceae) from a single occurrence
record. Check List, 11(4), 1717. https://doi.org/10.15560/11.4.1717
11. De Melo, N. F., & Guerra, M. (2003). Variability of the 5S and 45S rDNA sites
in Passiflora L. species with distinct base chromosome numbers. Annals of
Botany, 92(2), 309–316. https://doi.org/10.1093/aob/mcg138
12. Dewayani, W., Muhammad, H., Armiati, & Nappu, M. B. (2004). Uji teknologi
pembuatan sirup markisa skala rumah tangga. Jurnal Pengkajian Dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 7(1), 69–75.
13. Dhawan, K., Dhawan, S., & Sharma, A. (2004). Passiflora: A review update.
Journal of Ethnopharmacology, 94(1), 1–23. https://doi.org/10.1016/j.
jep.2004.02.023
14. Do Rêgo, M. M., Bruckner, C. H., Da Silva, E. A. M., Finger, F. L., De Siqueira,
D. L., & Fernandes, A. A. (1999). Self-incompatibility in passion fruit: Evidence
of two locus genetic control. Theoretical and Applied Genetics, 98(3–4), 564–
568. https://doi.org/10.1007/s001220051105
15. Fauza, H., Sutoyo, & Putri, N. E. (2015). Status keberadaan plasma nutfah
markisa ungu (Passiflora edulis) di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat. In Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas Indonesia (Vol. 1, pp. 1559–
1564). https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010703
16. Godinho, M. H., Canejo, J. P., Feio, G., & Terentjev, E. M. (2010). Self-winding
of helices in plant tendrils and cellulose liquid crystal fibers. Soft Matter, 6(23),
5965–5970. https://doi.org/10.1039/c0sm00427h
Passiflora edulis Sims 111
(Passifloraceae)
17. Hansen, A. K., Gilbert, L. E., Simpson, B. B., Downie, S. R., Cervi, A. C., &
Jansen, R. K. (2006). Phylogenetic relationships and chromosome number
evolution in Passiflora. Systematic Botany, 31(1), 138–150. https://doi.
org/10.1600/036364406775971769
18. Hutabarat, R. C., Tarigan, R., Barus, S., & Nasution, F. (2016). Karakterisasi
morfologi dan anatomi markisa F1 di kebun percobaan Berastagi. Jurnal
Hortikultura, 26(2), 189–196.
19. Ingale, A. G., & Hivrale, A. U. (2010). Pharmacological studies of Passiflora
sp . and their bioactive compounds. African Journal of Plant Science, 4(10),
417–426.
20. Karsinah, Hutabarat, R. C., & Manshur, A. (2010). Markisa asam (Passiflora
edulis Sims), Buah eksotik kaya manfaat. IPTEK Hortikultura, 6(6), 30–35.
21. Macoris, M. S., Janzantti, N. S., Garruti, D. dos S., & Monteiro, M. (2011).
Volatile compounds from organic and conventional passion fruit (Passiflora
edulis f. flavicarpa) pulp. Ciência e Tecnologia de Alimentos, 31(2), 430–435.
https://doi.org/10.1590/s0101-20612011000200023
22. Madureira, H. C., Pereira, T. N. S., Da Cunha, M., Klein, D. E., de Oliveira, M. V.
V., de Mattos, L., & de Souza Filho, G. A. (2014). Self-incompatibility in passion
fruit: Cellular responses in incompatible pollinations. Biologia (Poland), 69(5),
574–584. https://doi.org/10.2478/s11756-014-0353-0
23. Marpaung, A. E., Karsinah, & Karo, B. B. (2016). Karakterisasi dan evaluasi
markisa asam hibrid hasil persilangan markisa asam ungu dan merah (Passiflora
sp.). Jurnal Hortikultura, 26(2), 163–170.
24. Mendoza, C. H. G., Cerón-Souza, I., & Arango, L. V. (2018). Agronomic evaluation
of a colombian passion fruit (Passiflora edulis sims) germplasm collection.
Agronomy Research, 16(4), 1649–1659. https://doi.org/10.15159/AR.18.190
25. Mezzonato-Pires, A. C., Mendonça, C. B. F., Milward‑de-Azevedo, M. A.,
& Gonçalves-Esteves, V. (2017). Distribution extensions for species of the
Passiflora subgenus Astrophea (DC.) masters from Brasil (Passifloraceae s.s.).
Check List, 13(5), 467–473. https://doi.org/10.15560/13.5.467
26. Ocampo, J., Arias, J. C., & Urrea, R. (2016). Interspecific hibridization between
cultivated and wild species of genus Passiflora L. Euphytica, 209(2), 395–408.
https://doi.org/10.1007/s10681-016-1647-9
112 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
27. Ocampo, John, d’Eeckenbrugge, G. C., & Jarvis, A. (2010). Distribution of the
genus Passiflora L. Diversity in Colombia and its potential as an indicator for
biodiversity management in the coffee growing zone. Diversity, 2(11), 1158–
1180. https://doi.org/10.3390/d2111158
28. Ocampo Pérez, J., & Coppens d’Eeckenbrugge, G. (2017). Morphological
characterization in the genus Passiflora L.: an approach to understanding its
complex variability. Plant Systematics and Evolution, 303(4), 531–558. https://
doi.org/10.1007/s00606-017-1390-2
29. Oluoch, P., Nyaboga, E. N., & Bargul, J. L. (2018). Analysis of genetic diversity of
passion fruit (Passiflora edulis Sims) genotypes grown in Kenya by sequence-
related amplified polymorphism (SRAP) markers. Annals of Agrarian Science,
16(4), 367–375. https://doi.org/10.1016/j.aasci.2018.08.003
30. Patel, S. S., Soni, H., Mishra, K., & Singhai, A. K. (2011). Recent updates on the
genus Passiflora : A review. Int. J. Res. Phytochem. Pharmacol., 1(1), 1–16.
31. Pereira, A. S., Santos, E. S. L., Cardoso-Silva, C. B., Conceição, L. D. H. C. S.,
Cerqueira-Silva, C. B. M., Corrêa, R. X., & Oliveira, A. C. (2010). Genetic diversity
in yellow passion fruit (Passiflora edulis Sims) based on RAPD. Crop Breeding
and Applied Biotechnology, 10(2), 154–159. https://doi.org/10.12702/1984-
7033.v10n02a08
32. Pio Viana, A., Lougon Paiva, C., Azevedo Santos, E., de Oliveira, E. J., Oliveira
Silva, R. N., & de Oliveira Freitas, J. C. (2014). Genetic variability assessment in
the genus Passiflora by SSR marker. Chilean Journal of Agricultural Research,
74(3), 355–360. https://doi.org/10.4067/s0718-58392014000300015
33. Ramaiya, S. D., Bujang, J. S., & Zakaria, M. H. (2014a). Assessment of total phenolic,
antioxidant, and antibacterial activities of Passiflora apecies. The Scientific
World Journal, 2014, ID 167309. https://doi.org/10.1155/2014/167309
34. Ramaiya, S. D., Bujang, J. S., & Zakaria, M. H. (2014b). Genetic diversity in
passiflora species assessed by morphological and ITS sequence analysis.
Scientific World Journal, ID 589313. https://doi.org/10.1155/2014/598313
35. Rendón, J. S., Ocampo, J., & Urrea, R. (2013). Study of pollination and floral
biology of Passiflora edulis f. edulis Sims. as a basis for pre-breeding. Acta
Agronómica, 62(3), 232–241. https://doi.org/10.15446/acag
Passiflora edulis Sims 113
(Passifloraceae)
36. Rome, M., & D’Eeckenbrugge, G. C. (2017). Delimitation of the series Laurifoliae
in the genus Passiflora (Passifloraceae). Phytotaxa, 309(3), 245–252. https://
doi.org/10.11646/phytotaxa.309.3.5
37. Sakalem, M. E., Negri, G., & Tabach, R. (2012). Chemical composition of
hydroethanolic extracts from five species of the Passiflora genus. Brasilian
Journal of Pharmacognosy, 22(6), 1219–1232. https://doi.org/10.1590/
S0102-695X2012005000108
38. Sazima, M., & Sazima, I. (1987). Additional observations on Passiflora
mucronata, the bat-pollinated passion flower. Ciência e Cultura, 39(3), 310–
312.
39. Scorza, L. C. T., Hernandes-Lopes, J., Melo-de-Pinna, G. F. A., & Dornelas,
M. C. (2017). Expression patterns of Passiflora edulis APETALA1/FRUITFULL
homologues shed light onto tendril and corona identities. EvoDevo, 8(1),
1–15. https://doi.org/10.1186/s13227-017-0066-x
40. Sharan Patel, S. (2009). Morphology and pharmacology of Passiflora edulis: A
review. Journal of Herbal Medicine and Toxicology, 3(1), 1–6. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/228485208
41. Silva, G. S., Souza, M. M., de Melo, C. A. F., Urdampilleta, J. D., & Forni-
Martins, E. R. (2018). Identification and characterization of karyotype in
Passiflora hibrids using FISH and GISH. BMC Genetics, 19(1), 1–11. https://doi.
org/10.1186/s12863-018-0612-0
42. Sousa-Baena, M. S., Sinha, N. R., Hernandes-Lopes, J., & Lohmann, L. G.
(2018). Convergent evolution and the diverse ontogenetic origins of tendrils
in Angiosperms. Frontiers in Plant Science, 9(April), 1–19. https://doi.
org/10.3389/fpls.2018.00403
43. Storey, W. B. (1950). Chromosome numbers of some species of Passiflora
occurring in Hawaii. Pasific Science, 4(1), 37–42.
44. Susanti, Y. I., & Putri, W. D. R. (2014). Pembuatan minuman serbuk markisa
merah (Passiflora edulis f . edulis) (kajian konsentrasi Tween 80 dan suhu
pengeringan). Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 2(3), 170–179.
45. Suswati, Indrawati, A., & Masitoh, B. (2015). Sosialisasi dan pelatihan budidaya
tanamanan markisa kuning pemanfaatan pekarangan di Kota Medan. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 21(82), 1–10.
114 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
46. Wu, Y., Tian, Q., Liu, J., Huang, Y., Huang, W., Xia, X., … Mou, H. (2018).
High-throughput identification and marker development of perfect SSR for
cultivated genus of Passion fruit (Passiflora edulis). Molecular Plant Breeding,
9(13), 92–96. https://doi.org/10.5376/mpb.2018.09.0013
Penulis :
Kurniawan Budiarto1), Hardiyanto2), Djoko Sudarso3) dan Karsinah3)
1)
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
3)
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Plinia spp.
(Myrtaceae)
Protologue
Plinia cauliflora (Mart.) Kausel -- Ark. Bot. a.s. 3:508. 1956
Sinonim
• Eugenia cauliflora (Mart.) DC -- Prodr. 3: 273. 1828.
• Eugenia jaboticaba Kiaersk -- Enum. Myrt. Bras. 185
• Myrcia jaboticaba Baill -- Hist. Pl. 6: 345 1876.
• Myrciaria cauliflora (Mart.) O. Berg -- Fl. Bras. 14(1): 361.1857.
• Myrciaria jaboticaba (Vell.) O.Berg -- Fl. Bras. 14(1): 361 1857.
• Myrtus cauliflora Mart. (basionimo) -- Reise Bras. 1: 285 1823.
• Myrtus jaboticaba Vell -- Fl. Flumin. 5: 214, t. 62 1829.
• Plinia jaboticaba (Vell.) Kausel -- Ark. Bot. a.s., 3: 508 1956.
Nama umum
Anggur Brasil, jaboticaba (Indonesia), Brasilian grapetree, jaboticaba (Inggris),
jabuticaba, jabuticaba-açu jabuticaba-de-sabará, jabuticaba-murta, jabuticaba-
paulista, Portuguese (Brasil), stamjaboticaba (Swedia)
I. Pendahuluan
Anggur pohon atau jaboticaba (Plinia cauliflora (Mart.) Kausel) merupakan
salah satu anggota spesies dari suku Myrtaceae. Nama jaboticaba berasal dari
istilah“Tupi term, jabotim, for turtle”yang berarti “like turtle fat”, yang mungkin
merujuk pada istilah bubur buah (Morton en Morton, 2004). Tanaman anggur
116 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
pohon dibudidayakan dalam sedikit oleh petani di wilayah selatan Brasil. Buah ini
biasanya panen satu hingga dua kali dalam satu tahun (S. Wu, Long en Kennelly,
2013). Tanaman ini memerlukan waktu 5 – 6 bulan untuk proses pertumbuhan dan
satu bulan untuk proses pengerasan (hardening) sebelum tanaman cukup kuat
untuk dipindahkan ke kebun (Basir et al., 2018).
Jaboticaba memiliki tinggi 10-15 meter dengan daun tunggal yang memiliki
panjang hingga 7 cm. Jaboticaba akan berbunga saat musim semi dan musim
panas, bunga dan buah tumbuh berkelompok di sepanjang batang dan cabang
saat berbunga tanaman ini sangat diminati untuk menjadi tanaman hias (Junior,
Souza en Aparecida, 2019).
jaboticaba bekembang mulai daerah tepi pantai sampai dengan ketinggian 3000
kaki. Beberapa spesies dapat bertahan pada suhu 24oF atau kurang tetapi yang
lain tidak bertahan pada suhu 27oF. Di California, Jaboticaba sukses berkembang di
San Diego, Spring Valley, Bostonia, Encitasm Los Angeles Selatan, San Jose dan San
Fransisco (Morton, 1987).
Tren mengoleksi anggur pohon di Indonesia bermula saat terdengar kabar ada
kebunnya di Taiwan. Sebanyak 50 Plinia cauliflora ditanam Pan Liang Hwa di Chou
Zhou, Ping Tung, Taiwan, di lahan seluas 4,3 ha. Sejak itu banyak penangkar berburu
bibit ke berbagai negara. Kisaran tahun 2010 diketahui ada anggur pohon berumur
lebih 100 tahun di Kebun Raya Cibodas, Cianjur. Tanaman itu diduga sebagai asal
tanaman-tanaman bonsai Jaboticaba di Indonesia. Anggur pohon di Indonesia
dikembangkan oleh kolektor-kolektor buah sebagai bahan bonsai, landscaping,
dan produksi buah hanya 1-50 tanaman dan tersebar di berbagai daerah. Kebun
Jaboticaba yang terbanyak jumlah tanamannya pada tahun 2010 ada di Blitar
sebanyak 3.500 tanaman, dan di Bandung 1.000 tanaman (www.trubusonline.
co.id. 2010). Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada info lebih lanjut
tentang pengembangan anggur pohon ini.
Tanaman yang diperbanyak dengan biji baru dapat berproduksi setelah berumur
3-5 tahun. Perbanyakan dengan klon dapat menghasilkan buah lebih cepat
dan berkualitas sama dengan induknya. Penyambungan dan pencangkokan
merupakan perbanyakan yang umum dilakukan. Tingkat efisiensi penyambungan
mencapai lebih dari 70% sedang pencangkokan menghasilkan akar rata-rata 80%.
Perbanyakan dengan stek hanya dapat menghasilkan perakaran sekitar 10% (da
Silva et al., 2019). Teknik kultur jaringan dapat dijadikan solusi untuk mendapatkan
jumlah bibit yang banyak dan dalam kurun waktu yang relatif cepat.
Jaboticaba dapat ditanam dengan jarak tanam 9 meter. Petani Jaboticaba secara
tradisional di Brasil tidak memberikan pupuk pada tanaman karena mereka percaya
bahwa sistem perakaran Jaboticaba sangat sensitif sehingga pemberian pupuk
justru dapat berakibat buruk pada perakaran. Beberapa agronomis menyarankan
pemupukan dengan membuat lubang di sekitar pangkal pohon dan memberikan
bahan organik diperkaya dengan 1 bagian ammonium sulfat, 2 bagian superfosfat
dan 1 bagian kalium klorat. Lubang tersebut dapat menyimpan nutrisi, melepaskan
nutrisi dan menyimpan air saat musim hujan. Air yang berlimpah sangat penting
untuk kelangsungan pertumbuhan tanaman Jaboticaba. Untuk menginduksi
pembungaan penyiraman dapat dilakukan di musim kemarau karena pembungaan
pada musim hujan akan merugikan (terjadi kerontokan bunga, serangan penyakit)
(Morton, 1987).
Penyakit yang menyerang Jaboticaba hingga sampai menyebabkan kematian dan
masih sulit dikendalikan yaitu penyakit busuk akar (Rosellinia sp.). Penyakit utama
lainnya yang umumnya menyerang tanaman Jaboticaba yaitu karat (Puccinia
psidii). Penyakit tersebut terjadi pada kondisis panas dan hujan dan menyerang
buah. Pembungaan yang terjadi saat hujan deras biasanya terserang penyakit
karat dengan gejala awal bintik melingkar kuning kemudian menjadi cokelat gelap.
Pengendalian penyakit dengan meningkatkan aerasi di kebun dengan memangkas
ranting-ranting tanaman. Sementara pengendalian dengan pestisida dapat
dilakukan penyemprotan dengan pestisida Curprit (Suguino et al., 2013).
Serangan hama yang banyak dialami petani Jaboticaba di Brasil yaitu hama burung
yang banyak memakan buah Jaboticaba. Sementara itu, di Florida, Jaboticaba
banyak diserang oleh rakun dan opossum. Penanggulangan hama burung dapat
dilakukan dengan menutupi cluster buah dengan koran yang diikat di atasnya.
Apabila burungnya terlalu agresif atau angina terlalu kencang, koran dapat diikat
pula dibagian bawahnya (Morton, 1987).
122 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Pustaka
1. Alan, Rhanany Palozi, Calloi Guarnier, Lucas Pires Vitor, Paulo Romão, Moreira
Requena, Samara Calixto, Carlos Luiz, Emerson Lourenço, Botelho Brentan,
Denise Mourão, Francielly Gasparotto, Arquimedes (2019) “Pharmacological
safety of Plinia cauli flora ( Mart .) Kausel in rabbits”, Toxicology Reports.
Elsevier, 6(October 2018), bll 616–624. doi: 10.1016/j.toxrep.2019.06.017.
2. Alezandro, Marcela Roquim Dubé, Pascal Desjardins, Yves Lajolo, Franco Maria
Genovese, Maria Inés (2013) ѐComparative study of chemical and phenolic
compositions of two species of jaboticaba: Myrciaria jaboticaba (Vell.) Berg
and Myrciaria cauliflora (Mart.) O. Berg”, Food Research International. Elsevier
B.V., 54(1), bll 468–477. doi: 10.1016/j.foodres.2013.07.018.
3. Balerdi, C., Rafie, R. en Crane, J. (2006) “Jaboticaba ( Myrciaria Cauliflora, Berg.
) a Delicious Fruit With an Excellent Market Potential”, Proc. Fla. State Hort.
Soc, 119, bll 66–68. Available at: www.fao.org/docrep/t0646e/T0646E.
4. Barcellos, Tamirys Beatriz, Ana Martins, Neves Cristina, Ellen Lacerda, Quirino
Soares, Aline
5. Ferreira, Bernardo Erthal, Ricardo Guedes, Alexandre Perrone, Daniel Monteiro,
Mariana C (2015) “Screening of the chemical composition and occurring
antioxidants in jabuticaba ( Myrciaria jaboticaba ) and jussara ( Euterpe edulis
) fruits and their fractions”, Journal of Functional Foods. Elsevier Ltd, 17, bll
422–433. doi: 10.1016/j.jff.2015.06.002.
6. Basir, Mohamed Hafeifi Sayuti, Zulhazmi Ahmad, Hanim Shafawi, Norsyuhaida
Ahmad Sabrina, Erny Noor, Mohd (2018) “Jabuticaba : Tanaman eksotik
Cameron Highlands”, 14, bll 69–74.
7. Bolson, Mônica Hefler, Sonia Regina Dall’Oglio Chaves, Elisiane Inês Gasparotto
Junior, Arquimedes Cardozo Junior, Euclides Lara (2015) “Ethno-medichinal
study of plants used for treatment of human ailments, with residents of
the surrounding region of forest fragments of Paraná, Brasil”, Journal of
Ethnopharmacology, 161, bll 1–10. doi: 10.1016/j.jep.2014.11.045.
8. Borges, L. L., Conceição, E. C. en Silveira, D. (2014) “Active compounds and
medichinal properties of Myrciaria genus”, Food Chemistry. Elsevier Ltd, 153,
bll 224–233. doi: 10.1016/j.foodchem.2013.12.064.
124 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
9. Cruz, Elaine Silva Da Dantas, Ana Cristina Vello Loyola Carmo, Catia Dias Do
Bastos, Lucimario Pereira (2016) “Molecular Characterization of Jaboticaba
Tree Genotypes Located in the Municipalities of Recôncavo of Bahia”, Revista
Brasileira de Fruticultura, 38(3). doi: 10.1590/0100-29452016510.
10. Danner, M. A., Citadin, I., Sasso, S. A. Z., et al. (2011) “Germplasm
characterization of three jabuticaba tree species”, Revista Brasileira de
Fruticultura. FapUNIFESP (SciELO), 33(3), bll 839–847. doi: 10.1590/s0100-
29452011005000095.
11. Danner, M. A., Citadin, I., Aparecida, S., et al. (2011) “Germplasm
characterization of three jabuticaba tree species 1”, bll 839–847.
12. Guedes, M. N, S., Azevedo, A., Rufini, J.C.M., Dessimoni-Pinto, N.A.V. 2014.
Fruit quality of jabuticaba progenies cultivated in a tropical climate of altitude.
Fruits, vol. 69 (6) doi: 10.1051/fruits/2014030
13. Farinazzi-Machado, F. M. V en Fiorini, A. M. R. (2017) “Jabuticaba Fruit Peel:
Better Than the Pulp?”, International Journal of Health Sciences & Research
(www.ijhsr.org), 7(9), bl 282. Available at: www.ijhsr.org.
14. Inada, Kim Ohanna Pimenta Duarte, Paula Andrés Lapa, Jacqueline Miguel,
Marco Antônio Lemos Monteiro, Mariana. (2018) “Jabuticaba (Myrciaria
jaboticaba) juice obtained by steam-extraction: phenolic compound profile,
antioxidant capacity, microbiological stability, and sensory acceptability”,
Journal of Food Science and Technology, 55(1), bll 52–61. doi: 10.1007/
s13197-017-2769-3.
15. Junior, A. G., Souza, P. De en Aparecida, F. (2019) “( Mart .) Kausel”,
Journal of Ethnopharmacology. Elsevier B.V., bl 112169. doi: 10.1016/j.
jep.2019.112169.
16. Junior, Americo Wagner Paladini, Marcos Villy Danner, Moeses Andrigo
Radaelli, Juliana Cristina De Moura, Gisely Correa Neto, Carlos Kosera.
(2018) “Genetic divergence of native jaboticaba fruit tree (Plinia cauliflora)
based on fruit quality”, Semina:Ciencias Agrarias, 39(6), bll 2409–2424. doi:
10.5433/1679-0359.2018v39n6p2409.
17. Lima, Maria G.A. Dias-Pini, Nívia S. Lima, Élison F.B. Maciel, Gabriela P.S. Vidal-
Neto, Francisco C. (2017) “Identification and pest status of Holopothrips fulvus
(Thysanoptera: Phlaeothripidae) on dwarf-cashew crops in northeastern
Plinia spp. 125
(Myrtaceae)
research”, Food Research International. Elsevier Ltd, 119, bll 325–348. doi:
10.1016/j.foodres.2019.01.058.
27. www.trubusonline.co.id. 2010. Mereka Tergila Jabuticabeira. 4 Juli 2019.
28. Vieira, V. L. L. de P. en Ferreira, W. R. (2013) “A Festa da Jabuticaba E O
empreendedorismo Feminino no municipio de sabara / MG The Jabuticaba
party and the female entrepreneurship in the municipality of sabara / MG (
1996 ), em dezembro de 1993 , a Assembleia Geral das Nações Unidas aprovou
por princi”, in Revista Brasileira de Gestao e Engenharia. Sao Gotardo, bll
1–28.
29. Wu, S., Long, C. en Kennelly, E. J. (2013) “Phytochemistry and health-benefits
of jaboticaba, an emerging fruit crop from Brasil”, FRIN. Elsevier B.V. doi:
10.1016/j.foodres.2013.06.021.
Penulis :
Emi Budiyati, Anis Andrini, Imro’ah Ikarini
Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika
Prunus armeniaca L.
(Rosaceae)
Protologue
Prunus armeniaca L. - Sp. Pl. 1: 474 (1753).
Sinonim
• Amygdalus armeniaca (L.) - Fl. Belg. 91. 1827
• Armeniaca armeniaca (L.) - Helios, 11: 133. 1893
• Armeniaca batavica - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 359. 1846
• Armeniaca communis - Cat. Jard. Bot. Krz.. 1810
• Armeniaca communis - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 355. 1846
• Armeniaca cordifolia - Rouy & Fouc. Fl. France, 6: 28. 1900
• Armeniaca epirotica - Fl. Wett. 2: 167. 1800
• Armeniaca macrocarpa - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 104. 1846
• Armeniaca malus - Fig. Pl. Anim. Med, t. 153 (1764), Descr. Pl. Anim. 108.
1767
• Armeniaca mongametia - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 273. 1846
• Armeniaca praecox - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 265. 1846
• Armeniaca tardiflora - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 266. 1846
• Armeniaca vulgaris var. meixianensis - Bull. Bot. Res. North-East. Forest. Inst.,
9(3): 66. 1989
• Armeniaca vulgaris var. rushanica Korsh - Byull. Vses. Ord. Lenina Inst. Rast.
N.I. Vavilova, 166: 54. 1986
128 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Nama umum
Aprikot (Indonesia), Apricot tree (Inggris), albaricoquero; chabacano; damasco
(Spanyol), abricotier; apricotier (Perancis), abrikos (Rusia), xing shu (China), dan
albicoqueiro; alpercheiro; damasqueiro (Portugis).
I. Pendahuluan
Nama ‘aprikot’ (albicocco, albericocco) diperkirakan berasal dari kombinasi
kata Arbor precox dari bahasa Latin praecocia (dewasa sebelum waktunya) atau
precocious dalam bahasa lain. Ini karena buah aprikot temasuk buah yang masak
lebih awal.
Aprikot adalah buah yang lezat dengan rasa dan aroma yang enak. Sebaliknya,
daun, bunga, kulit kayu dan biji aprikot mengandung senyawa beracun yang
menghasilkan sianida dan pada dosis tinggi dapat mematikan. Kernel mengandung
jumlah tertinggi senyawa penghasil sianida (laetrile). Ini telah digunakan untuk
melawan sel-sel tumor (Roussos, Denaxa, Tsafouros, Efstathios, & Intidhar, 2015). Di
beberapa negara, buah aprikot dikonsumsi sebagai buah segar, dan olahan seperti
buah kering, selai, nektar, dan bahkan acar. Biji aprikot yang manis digunakan
sebagai bahan tambahan dalam kue, dan biji yang pahit untuk keperluan kosmetik
dan farmasi (Asma, Mısırlı, Bilgin, & Yanar, 2018).
Aprikot umum tumbuh di daerah yang beraneka ragam geografis mulai dari musim
dingin yang dingin di Siberia hingga iklim subtropis Afrika Utara dan dari padang
pasir Asia Tengah hingga daerah lembap di Jepang dan China bagian timur. Namun,
area produksi komersial masih sangat terbatas. Budidaya aprikot paling berhasil
berada di iklim Mediterania (Hormaza, Yamane, & Rodrigo, 2007). Produsen utama
aprikot di dunia adalah Turki, Iran, Uzbekistan, Aljazair, Pakistan, dan Maroko
(Krška, 2018). Beberapa negara besar di Eropa juga telah membudidayakan aprikot
secara komersial, di antaranya Spanyol, Italia, Prancis, Yunani, Ukraina, Moldova,
dan lainnya.
Prunus armeniaca L. 129
(Rosaceae)
Gambar 29. Morfologi bunga aprikot (foto :Ugurtan & Gurc, 2012)
130 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Buah aprikot adalah buah klimakterik yang membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk
proses perkembangan buah, namun ini tetap bergantung pada kultivar. Buah
matang lembut jika disentuh (Hormaza et al., 2007). Kulit buah umumnya berwarna
oranye dengan semburat merah pada beberapa kultivar. Buah berbentuk oval dan
glabrous dengan ukuran 3,5–8 cm (Gambar 30) (Roussos et al., 2015; Zaurov et
al., 2013). Buah aprikot terdiri atas endocarp yang mengelilingi biji, mesocarp
berdaging, dan exocarp (kulit buah). Daging buah manis atau asam dengan warna
daging buah sebagian besar adalah oranye, tetapi ada beberapa kultivar berdaging
putih. Aprikot harus dipanen dalam kondisi masak fisiologis. Jika tidak demikian,
rasa buah sangat asam dan sangat tidak enak (Hormaza et al., 2007).
Gambar 30. Keragaman buah aprikot di Asia Tengah (foto : Zaurov et al., 2013)
Prunus armeniaca L. 131
(Rosaceae)
pengembangan tulang dan gigi. Selain itu, vitamin A memainkan peran penting
dalam reproduksi dan pertumbuhan fungsi tubuh kita, dalam meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi (Haciseferoǧullari, Gezer, Özcan, & Murat Asma,
2007).
Buah aprikot merupakan sumber karbohidrat yang kaya (baik mono dan
polisakarida), polifenol, karotenoid (ß-karoten), vitamin C dan K, tiamin, niasin, zat
besi, asam organik, fenol, dan senyawa volatil, benzaldehyde, ester, norisoprenoids,
dan terpenoid. Minyak biji aprikot dilaporkan mengandung cyanogenic glycoside
amygdalin (vitamin B17) yang jika dihidrolisis oleh enzim β-glukururididase dalam
lingkungan basa di dalam usus halus akan menjadi glukosa, benzaldehid, dan
asam hidrosianat dan diserap dengan cepat dan bersirkulasi dalam tubuh. Pure
mengandung total padatan (12,4 - 16,7%), padatan tidak larut (2,1 - 3,1%), asam
sebagai asam malat (0,7-2,2%), total gula sebagai gula invert (5,3-8,6%), glukosa
(3,2-4,8) %), fruktosa (1,4-4,25%), sukrosa (1,4-5,4%) dan tanin (0,06-0,10%) (Raj,
Jian, & Chaudhary, 2012).
Selain aspek nutrisi, kelebihan buah aprikot juga terletak pada kandungan
fitokimianya. Beberapa kandungan fitokimia penting dalam buah aprikot adalah
chlorogenic acid, caffeic acid, p-coumaric acid, ferulic acid, cinnamic acid, catechin,
epicatechin, quercetin 3-rutinoside, kaempferol 3-rutinoside, procyanidins,
flavonols, β-carotene, γ-carotene, β-cryptoxanthin, phytofluene, lutein dan
zeaxanthin. Komponen bioaktif tersebut telah terbukti secara farmakologis
efektif melawan gastritis kronis, kerusakan usus oksidatif, steatosis pada hati,
aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan pembentukan tumor (Ali et al., 2015).
Minyak biji aprikot baik yang pahit maupun manis menunjukkan aktivitas anti
bakteri terhadap bakteri Gram-positif Staphylococcus aureus dan bakteri Gram-
negatif Escherichia coli dan aktivitas anti jamur terhadap Candida albicans dan
Candida glabrate. Kandungan glikosida sianogenik (terutama amigdalin) dalam
biji dilaporkan dapat digunakan sebagai obat untuk pengobatan kanker. Di Inggris,
minyak biji aprikot digunakan melawan tumor, pembengkakan, dan bisul bahkan
sejak abad ketujuh belas (Raj et al., 2012).
Hingga saat ini, produk olahan aprikot telah banyak dipasarkan di Indonesia
dalam bentuk buah kering selai, jeli, dan pure. Namun demikian tanaman aprikot
belum dapat dibudidayakan di Indonesia karena keterbatasan varietas yang
mampu beradapasi di daerah tropis. Pengembangan varietas baru yang mampu
Prunus armeniaca L. 137
(Rosaceae)
beradaptasi terhadap suhu yang lebih hangat dan periode dormansi yang lebih
pendek hasil program pemuliaan (Hormaza et al., 2007; Krška, 2018) diharapkan
dapat digunakan untuk pengembangan aprikot di Indonesia.
Pustaka
1. Ali Khan, M., Maghuly, F., Borroto-Fernandez, E. G., Pedryc, A., Katinger, H.,
& Laimer, M. (2008). Genetic diversity and population structure of apricot
(Prunus armeniaca L.) from Northern Pakistan using simple sequence repeats.
Silvae Genetica, 57(3), 157–164. https://doi.org/10.1515/sg-2008-0024
2. Ali, S., Masud, T., Abbasi, K. S., Mahmood, T., Hussain, A., Shah, P. A., & Cell, Q.
E. (2015). Apricot: nutritional potentials and health benefits-a review. Annals.
Food Science and Technology, 16, 175–189.
3. Asma, B. M., Mısırlı, A., Bilgin, N. A., & Yanar, M. (2018). Apricot culture and
breeding studies in Turkey. In XXX International Horticultural Congress (pp.
15–21).
4. Badenes, M. L., & Byrne, D. H. (2012). Fruit breeding. Fruit Breeding. https://
doi.org/10.1007/978-1-4419-0763-9
5. Bourguiba, H., Audergon, J.-M., Krichen, L., Trifi-Farah, N., Mamouni, A.,
Trabelsi, S., … Khadari, B. (2012). Loss of genetic diversity as a signature of
apricot domestication and diffusion into the Mediterranean Basin. BMC Plant
Biology, 12(1), 49. https://doi.org/10.1186/1471-2229-12-49
6. Haciseferoǧullari, H., Gezer, I., Özcan, M. M., & MuratAsma, B. (2007). Post-
harvest chemical and physical-mechanical properties of some apricot varieties
cultivated in Turkey. Journal of Food Engineering, 79(1), 364–373. https://doi.
org/10.1016/j.jfoodeng.2006.02.003
7. Hormaza, J. I., Yamane, H., & Rodrigo, J. (2007). Apricot. In Genome Mapping
and Molecular Breeding in Plants, Volume 4 Fruits and Nuts (Vol. 4, pp. 171–
187).
8. Krška, B. (2018). Genetic apricot resources and their utilisation in breeding.
In Breeding and Health Benefits of Fruit and Nut Crops (pp. 63–82). InTech.
https://doi.org/10.5772/intechopen.77125
138 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
9. Liu, W., Liu, N., Zhang, Y., Yu, X., Sun, M., Xu, M., … Liu, S. (2012). Apricot
cultivar evolution and breeding program in China. Acta Horticulturae, 966,
223–228. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2012.966.35
10. Raj, V., Jian, A., & Chaudhary, J. (2012). Prunus armeniaca (Apricot): An
overview. Journal of Pharmacy Research, 5(8), 3964–3966.
11. Roussos, P. A., Denaxa, N. K., Tsafouros, A., Efstathios, N., & Intidhar, B. (2015).
Apricot (Prunus armeniaca L.). Nutritional Composition of Fruit Cultivars.
Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-408117-8.00002-7
12. Tian-Ming, H., Xue-Sen, C., Zheng, X., Jiang-Sheng, G., Pei-Jun, L., Wen, L.,
… Yan, W. (2007). Using SSR markers to determine the population genetic
structure of wild apricot (Prunus armeniaca L.) in the Ily Valley of West
China. Genetic Resources and Crop Evolution, 54(3), 563–572. https://doi.
org/10.1007/s10722-006-0013-5
13. Ugurtan, K., & Gurc, K. (2012). Genetic diversity in Apricot. Genetic Diversity in
Plants. https://doi.org/10.5772/33361
14. USAID. (2016). Best practices for production and marketing in Afganistan.
CHAMP Farm to Market Guide.
15. USDA. (2019). Classification for Kingdom Plantae Down to Species Prunus
armeniaca L. Retrieved June 25, 2019, from https://plants.usda.gov/java/Clas
sificationServlet?source=display&classid=PRAR3
16. Wikipedia. (2019). List of countries by apricot production. Retrieved June
25, 2019, from https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_apricot_
production
17. Zaurov, D. E., Molnar, T. J., Eisenman, S. W., Ford, T. M., Mavlyanova, R. F.,
Capik, J. M., … Goffreda, J. C. (2013). Genetic resources of apricots (Prunus
armeniaca L.) in Central Asia. HortScience, 48(6), 681–691.
18. Zhebentyayeva, T. N., Reighard, G. L., Gorina, V. M., & Abbott, A. G. (2003).
Simple sequence repeat (SSR) analysis for assessment of genetic variability
in apricot germplasm. Theoretical and Applied Genetics, 106(3), 435–444.
https://doi.org/10.1007/s00122-002-1069-z
Penulis:
Farida Yulianti dan Anang Triwiratno
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Prunus avium L.
(Rosaceae)
Protologue
Prunus avium (L.) L., Fl. Suec., ed. 2 (Linnaeus) 165 (1755).
Sinonim
• Prunus avium subsp. durachina (L.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez,
Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 306
(1997) (1997).
• Prunus avium var. durachina Arechav., Anales Mus. Nac. Montevideo 3: 449
(1901).
• Prunus avium subsp. juliana (L.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde
& F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 310 (1997).
• Prunus avium subsp. juliana (L.) Schübl. & G.Martens, Fl. Wurtemberg (ed. 1)
311 (1834).
• Prunus avium var. macrocarpa (Ser.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez,
Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 305
(1997) (1997). Prunus avium f. nigricans (Ehrh.) P.D.Sell, Fl. Gr. Brit. Ireland 2:
520 (2014).
• Prunus avium var. silvestris Kirschl., Fl. Alsace 1: 210 (1842).
• Prunus avium f. silvestris (Kirschl.) P.D.Sell, Fl. Gr. Brit. Ireland 2: 520 (2014).
Nama umum
Ceri (Indonesia), ceri (Melayu), seresa (Filipina), anh đào (Vietnam), chex r̒ rī̀
p̀ā (Thailand), cherry (Kamboja), cheli (Korea), kers (Belanda), bird cherry, sweet
cherry, wild cherry (Inggris), cerisier des oiseaux (Perancis), herzkirsche (Jerman),
ciliegio (Italia), seiyō-mizakura (Jepang), cerejeira (Portugis), cerezo (Spanyol).
140 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
I. Pendahuluan
Ceri termasuk dalam genus Prunus dalam famili Rosaceae. Genus Prunus
mencakup sekitar 430 spesies tumbuhan deciduous, evergreen, dan semak yang
tersebar luas di seluruh daerah beriklim sedang (temperate) (Vicente, Manganaris,
Cisneros-zevallos, & Crisosto, 2011). Tidak semua spesiesnya menghasilkan buah
yang dapat dimakan dan hanya digunakan untuk dekorasi (segi estetika). Beberapa
spesies lainnya ditanam secara komersil untuk produksi buah dan kacang (almond).
Sebagian besar spesies ini berasal dari Asia atau Eropa Selatan (Vicente et al.,
2011). Hingga saat ini terdapat lebih dari 30 spesies ceri asli Eropa dan Asia yang
telah diidentifikasi, namun hanya buah ceri yang berasal dari spesies Prunus avium
(ceri manis) dan Prunus cerasus (tart ceri/ceri asam) yang diperdagangkan secara
global (Blando & Oomah, 2019).
Ceri disebut sebagai sumber makanan untuk penghuni awal benua Eropa dengan
ditemukannya biji ceri dari sebuah gua dan diperkirakan berasal dari masa 4.000-
5.000 sebelum Masehi. Ceri juga dibudidayakan pada masa Kerajaan Yunani, sekitar
300 SM, dan beberapa abad sebelumnya untuk diambil kayunya. Orang-orang
Romawi memperkenalkan budidaya ceri di Inggris pada abad I (Iezzoni, 2008).
Produsen ceri utama dunia adalah Uni Eropa dengan total produksi 730 ribu ton
di tahun 2017 diikuti Turki dan Amerika Serikat dengan masing-masing produksi
sebanyak 525ribu ton dan 458ribu ton (Chepkemoi, 2017). Di Eropa, ceri manis
lebih banyak diproduksi di Eropa Barat dan ceri asam diproduksi di Eropa Timur.
Sementara di Amerika Utara, produksi ceri segar banyak di bagian barat laut
sedangkan ceri olahan diproduksi di Michigan (Iezzoni, 2008).
Ceri manis paling baik dikonsumsi dalam keadaan segar. Warna kulit dan daging
buah ceri bervariasi dari merah gelap hingga merah muda dan kuning. Ceri asam
digunakan untuk produk olahan dan biasanya digunakan pada pai, selai, jus dan
produk pastri. Ceri yang dikeringkan dengan biji yang sudah dibuang juga dapat
digunakan untuk salad dan makanan yang dipanggang (Iezzoni, 2008).
2016) dengan kanopi berbentuk piramida tegak yang mampu mencapai tinggi
hingga 50 kaki. Dalam kegiatan budidaya, ketinggiannya dipertahankan pada 12-
15 kaki (Gambar 31). Daunnya relatif besar (yang terbesar di antara spesies Prunus
yang dibudidayakan), berbentuk eliptik dengan tepian agak bergerigi dan ujung
berbentuk acute, memiliki petiol (tangkai daun), dan tulang daun yang tampak
jelas (Rieger, 2006). Warnanya hijau muda saat musim semi, hijau gelap saat
musim panas, lalu menguning, oranye-merah, merah scarlet atau pink saat musim
gugur (Welk et al., 2016).
Gambar 31. Kebun ceri di Belgia dengan tajuk tanaman yang dipertahankan
dengan ketinggian 3.5 - 4.5 m dalam sistem budidaya trellis. (foto:
oka_ardiana_banaty).
Bunga ceri manis berdiameter 2-2,5 cm (Welk et al., 2016), berwarna putih (Rieger,
2006; Russell, 2003; Welk et al., 2016) dengan tangkai bunga yang panjang dan
berada dalam gugusan kluster yang terdiri atas dua hingga lima bunga pada satu
cabang bunga (spurs) yang pendek (Rieger, 2006; Welk et al., 2016) (Gambar 32).
Cabang bunga ini mampu memproduksi bunga hingga 10-12 tahun.
142 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Berdasarkan letak bakal buahnya, bunga ceri termasuk dalam bunga perigynous
sebagaimana halnya karakteristik dari buah batu. Secara individu, bunga ceri
asam sama dengan bunga ceri manis yaitu bunga majemuk yang terdiri atas dua
hingga empat bunga pada satu cabang bunga dengan tangkai bunga yang panjang.
Cabang bunganya memiliki masa produktif yang lebih pendek dari ceri manis yaitu
tiga hingga lima tahun. Ceri manis berbunga lebih awal dari ceri asam. Ceri manis
berbunga sekitar akhir musim semi, sedang ceri asam memiliki waktu berbunga
yang lebih lambat (Rieger, 2006).
Bunga ceri manis tidak dapat menyerbuk sendiri karena bersifat self incompatibility
(SI) (Rieger, 2006; Russell, 2003; Welk et al., 2016), namun ada beberapa kultivar yang
dapat menyerbuk sendiri seperti kultivar Stella da Lapins. Selain self incompatibility,
ceri manis juga memiliki tingkat cross incompatibility yang tinggi. Terdapat sekitar
12 grup incompatibility ceri manis yang telah diidentifikasi. Tingginya tingkat
incompatibility ini dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas buah
sehingga dibutuhkan pollinizer untuk membantu proses penyerbukan. Pollinizer
diletakkan pada setiap pohon ketiga dalam setiap baris ketiga atau dengan rasio
8-9:1. Lebah madu adalah pollinator utama pada penyerbukan ceri manis. Tidak
seperti pada ceri manis, ceri asam bersifat self fertile sehingga tidak memerlukan
pollinizer (Rieger, 2006).
Ceri manis adalah buah berbiji/buah batu (drupe) dengan ukuran berkisar antara
½ - 1 ¼ inci, berbentuk bulat atau hati dan kulitnya tidak berbulu dengan tangkai
buah yang panjang (Gambar 33). Pada umumnya kulitnya berwarna merah tua
atau ungu (seringkali disebut sebagai hitam), kuning, atau putih (jarang). Buah
yang berwarna kuning seringkali memiliki semburat warna merah. Warna daging
Prunus avium L. 143
(Rosaceae)
buahnya bervariasi dari putih hingga merah gelap. Ceri adalah jenis stone fruit
yang paling awal masak dengan waktu masak 2-3 bulan setelah berbunga pada
sebagian besar kultivarnya. Sebagaimana ceri manis, ceri asam adalah buah berbiji/
buah batu (drupe). Ceri asam memiliki ukuran, bentuk dan waktu perkembangan
buah yang sama dengan ceri manis. Ceri asam memiliki kandungan asam organik
yang lebih tinggi dan memiliki kandungan gula yang lebih rendah dari ceri manis.
Pada umumnya sebagian besar kultivar ceri asam berwarna merah terang dan
menunjukkan variasi warna yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan ceri manis
(Rieger, 2006).
Secara umum, distribusi ceri, dilihat dari ketinggian tempat, membentang dari
dataran rendah hingga dataran tinggi (sub-montane). Di daerah pegunungan tinggi,
ceri liar sering tumbuh berupa semak belukar. Faktor pembatas untuk distribusi
ceri liar terutama terkait dengan curah hujan pada periode musim panas di selatan
dan kondisi yang lebih dingin di Eropa Utara dan Timur. Selain di daerah aslinya,
ceri ditanam secara luas dan berhasil tumbuh secara alami di habitat hutan gugur
dan tanah semak, terutama di daerah subtropis Asia Utara dan Amerika Utara
(Welk et al., 2016).
Gambar 34. Karakteristik bunga genus Prunus (Keterangan: putik tunggal dengan
satu kepala dan tangkai putik dengan satu bakal biji (warna biru dan
oranye) (foto : USDA)
Cerasus di dalam genus Prunus yang membedakannya dari kerabat stone fruit yang
lain (plum, apricot, peach dan almond). Subgenus cerasus dibagi lagi menjadi tujuh
kelompok yang masing-masing terdiri atas dua hingga 10 spesies. Prunus avium
(ceri manis) dan Prunus cerasus (tart ceri/ceri asam) berada dalam satu kelompok
yang sama (Rieger, 2006). Prunus avium memiliki kromosom 2n=16 sedangkan
Prunus cerasus adalah tetraploid 2n=32.
Karakterisasi morfologi merupakan langkah awal dalam pendeskripsian dan
klasifikasi plasma nutfah, termasuk diversitas. Studi pada pada plasma nutfah ceri
liar di Serbia (Rakonjac, Mratinić, Jovković, & Fotirić Akšic, 2014) menunjukkan
adanya keragaman pada 33 aksesi yang diamati dengan variasi tertinggi pada
karakter kualitatif berkaitan dengan warna eksternal dan internal buah (termasuk
kulit, daging buah dan warna jus). Untuk karakter kuantitatif, variasi tertinggi
ditunjukkan oleh berat buah dan biji. Sementara itu evaluasi kuantitatif dan
kualitatif terhadap koleksi ceri di bank plasma nutfah Portugal (Rodrigues, Morales,
Fernandes, & Ortiz, 2008) menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara ceri
manis dan asam, dengan variabilitas yang lebih nyata dalam kelompok ceri manis
yang mungkin disebabkan oleh proses domestikasi yang lebih intens.
perubahan ukuran populasi (leher botol pupulasi) pada sejarah evolusi Genus
Prunus. Nenek moyang Genus Prunus yang paling dekat diasumsikan setidaknya
memiliki 64 spesifisitas (Vieira et al., 2008).
Hama yang menyerang tanaman ceri yaitu kutu (aphid) ceri hitam, lalat buah ceri/
lalat buah ceri hitam, plum curculio, kutu sisik, ngengat buah oriental, dan tungau.
Selain hama terdapat pula beberapa penyakit yang seringkali dijumpai menyerang
tanaman ceri di antaranya ialah busuk cokelat/hawar bunga, bercak daun ceri,
embun tepung, kanker tahunan, kanker bakteri, dan virus.
Secara tradisional, perubahan warna dan kandungan padatan terlarut (soluble
solid) digunakan sebagai tanda kemasakan. Kandungan padatan terlarut pada ceri
manis yang telah masak mendekati 23%. Akhir-akhir ini food removal force sering
digunakan untuk memprediksi kemasakan dan lebih dapat dipercaya. Pengukuran
ini didasarkan pada absisi progresif buah dari pedicel dimulai sekitar 2 minggu
sebelum masak. Buah ditarik dari pedicel dan diukur dengan menggunakan alat
pengukur gaya tarik untuk mengukur gaya yang diperlukan untuk memindahkan
buah dari pedicel. Baik ceri manis maupun ceri asam termasuk buah non
klimaterik.
Ceri manis untuk konsumsi segar dipanen dengan tangan bersama dengan gagang
buahnya. Pemanenan dilakukan pada fase buah masak namun masih keras untuk
mengurangi kerusakan pada buah. Ceri manis yang dipanen untuk olahan juga
dipanen dengan menggunakan tangan, namun tidak bersama gagang buahnya.
Pemanenan ceri asam untuk olahan, dilakukan dengan menggoyangkan pohon
ceri ketika masak. Dua alat yang diperlukan untuk memanen yaitu penggoyang
batang pohon (trunk shaker) untuk mencengkeram dan menggoyang pohon dan
bingkai penangkap (catch frame) untuk menangkap dan menyalurkan buah yang
jatuh ke dalam conveyor untuk dikumpulkan. Seluruh pohon dipanen dalam waktu
beberapa detik. Senyawa ethepon (senyawa pelepas ethylene) diaplikasikan 2
minggu sebelum panen untuk mengurangi pengambilan buah secara paksa dan
untuk meningkatkan prosentase buah yang akan dipanen. Batang pohon sering
kali rusak karena alat panen, jika tidak digunakan dengan benar. Pohon yang
mengalami pertumbuhan yang cepat lebih cenderung mengalami kerusakan.
Baik ceri manis maupun ceri asam memiliki umur simpan yang sangat pendek
sehingga harus ditangani dengan hati-hati untuk mengurangi memar dan oksidasi.
Untuk prosesing, ceri asam dimasukkan ke dalam air dingin segera setelah panen.
Kemudian segera dipindahkan ke pabrik pengolahan di mana akan dilakukan
proses pencucian, pembuangan batang buah, pengambilan biji, dan pengemasan
untuk dibekukan. Semua dilakukan hanya dalam hitungan jam setelah panen.
Prunus avium L. 149
(Rosaceae)
Ceri manis didinginkan atau dimasukkan ke dalam air dingin oleh pemetik dan
dikemas dalam wadah pengemasan setelah disortir berdasarkan warna dan
ukurannya. Seringkali besarnya 15 atau 16 inci atau lebih. Pengiriman untuk
pemasaran dilakukan segera setelah pengemasan dan untuk buah ekspor seringkali
melalui jalur udara.
Umur simpan ceri segar hanya beberapa hari dalam suhu ruang dan hingga 3
minggu pada suhu 32 F (0 0C). Ceri manis dapat disimpan lebih lama daripada
ceri asam. Ceri asam yang dikalengkan atau dibekukan dapat disimpan selama
beberapa bulan. Ceri adalah subjek bagi penyakit pascapanen yang sama (brown
rot, grey mold, blue mold, Rhizopus, Alternaria, dll) sebagaimana stone fruit yang
lain. Ceri tidak sensitif terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh suhu dingin
(chilling injury).
Selain sebagai buah konsumsi, pohon ceri juga merupakan salah satu pohon
berkayu yang sangat penting di Eropa. Pohon ceri memiliki kayu yang solid, padat
dan banyak dicari untuk pembuatan panel dan kabinet serta cocok untuk produksi
parket lantai dan alat musik). Saat ini, kegunaan utama dari kayu ceri adalah
sebagai bahan produksi veneer. Selain penggunaannya untuk estetika, pohon
ceri juga merupakan sumber makanan penting bagi banyak spesies burung dan
serangga (Ducci, Cuyper, Rogatis, Dufour, & Santi, 2013).
Ceri adalah salah satu tanaman buah yang cukup dikenal di Indonesia. Buah
ceri biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan kue atau sebagai hiasan
pada makanan ataupun minuman. Buah ceri pada umumnya dijual dalam bentuk
olahan yaitu berupa maraschino atau buah kaleng. Ceri segar maupun olahan yang
tersedia di Indonesia adalah produk impor.
Ceri merupakan tanaman asli daerah subtropis, namun demikian tidak menutup
kemungkinan buah ceri dapat ditanam di Indonesia yang beriklim tropis. Indonesia
memiliki beberapa tanaman introduksi yang berasal dari daerah subtropis dari
famili Rosaceae yang mampu beradaptasi dengan baik di iklim Indonesia seperti
apel (Malus sp.) sehingga tidak menutup kemungkinan ceri pun bisa berkembang
dengan baik di Indonesia.
Pustaka
1. Blando, F., & Oomah, B. D. (2019). Trends in food science & technology sweet
and sour cherries : Origin, distribution, nutritional composition and health
benefits. Trends in Food Science & Technology, 86(February), 517–529. https://
doi.org/10.1016/j.tifs.2019.02.052
2. Chepkemoi, J. (2017). The Leading Producers Of Cherries In The World -
WorldAtlas.com. Retrieved August 26, 2019, from https://www.worldatlas.
com/articles/the-leading-producers-of-cherries-in-the-world.html
3. Chockchaisawasdee, S., Golding, J. B., Vuong, Q. V, Papoutsis, K., &
Stathopoulos, C. E. (2016). Trends in food science & technology sweet cherry :
Composition, postharvest preservation, processing and trends for its future
use. Trends in Food Science & Technology, 55, 72–83. https://doi.org/10.1016/j.
tifs.2016.07.002
Prunus avium L. 151
(Rosaceae)
4. Ducci, F., Cuyper, B. De, Rogatis, A. De, Dufour, J., & Santi, F. (2013). Chapter
10 Wild Cherry Breeding (Prunus avium L.). https://doi.org/10.1007/978-94-
007-6146-9
5. Ercisli, S., Agar, G., Yildirim, N., Duralija, B., Vokurka, A., & Karlidag, H. (2011).
Genetic diversity in wild sweet cherries (Prunus avium) in Turkey revealed
by SSR markers. Genetics and Molecular Research : GMR, 10(2), 1211–1219.
https://doi.org/10.4238/vol10-2gmr1196
6. Iezzoni, A. F. (2008). Cherries. In Temperate Crop Breeding (pp. 151–176).
Michigan.
7. Liu, X. L., Wen, J., Nie, Z. L., Johnson, G., Liang, Z. S., & Chang, Z. Y. (2013).
Polyphyly of the Padus group of Prunus (Rosaceae) and the evolution of
biogeographic disjunctions between eastern Asia and eastern North America.
Journal of Plant Research, 126(3), 351–361. https://doi.org/10.1007/s10265-
012-0535-1
8. Rakonjac, V., Mratinić, E., Jovković, R., & Fotirić Akšic, M. (2014). Analysis of
morphological variability in wild cherry (Prunus avium L.) genetic resources
from central Serbia. Journal of Agricultural Science and Technology, 16(1),
151–162.
9. Rieger, M. (2006). Introduction to Fruit Crops. New York: Haword Food and
Agricultural Product Press.
10. Rodrigues, L. C., Morales, M. R., Fernandes, A. J. B., & Ortiz, J. M. (2008).
Morphological characterization of sweet and sour cherry cultivars in a
germplasm bank at Portugal. Genetic Resources and Crop Evolution, 55(4),
593–601. https://doi.org/10.1007/s10722-007-9263-0
11. Russell, K. (2003). Technical guidelines for genetic conservation and use wild
cherry (Prunus avium). Euforgen, 6.
12. Verma, M. K. (2015). Cherry production Technology, (January 2014).
13. Vicente, A. R., Manganaris, G. A., Cisneros-zevallos, L., & Crisosto, C. H. (2011).
Prunus. In L. A. Terry (Ed.) (pp. 238–259). CABI International.
14. Vieira, J., Ferreira, P. G., Aguiar, B., Fonseca, N. A., & Vieira, C. P. (2010).
Evolutionary patterns at the RNase based gametophytic self - Incompatibility
system in two divergent Rosaceae groups (Maloideae and Prunus). BMC
Evolutionary Biology, 10(1). https://doi.org/10.1186/1471-2148-10-200
152 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
15. Vieira, J., Fonseca, N. A., Santos, R. A. M., Habu, T., Tao, R., & Vieira, C. P.
(2008). The number, age, sharing and relatedness of S-locus specificities
in Prunus. Genetics Research, 90(1), 17–26. https://doi.org/10.1017/
S0016672307009044
16. Welk, E., de Rigo, D., & Caudullo, G. (2016). Prunus avium in Europe:
distribution, habitat, usage and threats. In A. San-Miguel-Ayanz, J., de Rigo,
D., Caudullo, G., Houston Durrant, T., Mauri (Ed.), European Atlas of Forest
Tree Species (pp. 140–141). Luxembourg, EU.
Penulis :
Tiffani Nindya Arisanti dan Baiq Dina Mariana
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Prunus persica (L.) Batsch
(Rosaceae)
Protologue
Prunus persica (L.) Batsch -- Beytr. Entw. Pragm. Gesch. Nat. Reiche .1. 1801
Sinonim
• Prunus persica Stokes, Bot. Mat. Med. iii. 100. (1812).
• Prunus persica (L.) Batsch, Beytr. & Entwurfe Pragm. Gesch. Naturr. 30 (1801);
cf. E. H. Wilson in Journ.Arn. Arb. 1927, viii. 125.
• Prunus persica var. aposarca Burkart, Darwiniana 17: 451 (1972).
• Prunus persica subsp. davidiana (Carrière) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 299 (1997) (1997).
• Prunus persica subsp. davidiana (Carrière) Dippel, Handb. Laubholzk. 3: 606
(1893).
• Prunus persica subsp. domestica (Risso) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 293 (1997) (1997).
• Prunus persica subsp. ferganensis Kostina & Rjabov, Trudy Prikl. Bot., Ser. 8,
Polodovye Jagodnye Kul’t. 1: 323 (1932).
• Prunus persica subsp. floriplena Burkart, Darwiniana 17: 447 (1972).
• Prunus persica var. nucipersica (Suckow) C.K.Schneid., Illustriertes
Handw?rterbuch der Botanik (1905).
• Prunus persica subsp. nucipersica (Suckow) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma,
F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot.
1: 296 (1997).
154 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Nama Umum
Persik (Indonesia), momo (Jepang), malum persicum (Romawi kuno), Persian plum
(Inggris), khukh (Mesir).
I. Pendahuluan
Persik adalah salah satu buah yang paling bervariasi dari semua spesies buah-
buahan. Ada beberapa tipe buah persik berdasarkan bentuknya (bulat, lonjong,
pipih dengan daging buah berwarna putih, merah, atau kuning; dengan daging
buah yang lengket dan tidak lengket; dan kulit dengan berbulu halus dan tidak
(Faust & Timon, 2010). Biji buah persik ada yang manis dan pahit. Bentuk bunganya
besar, sedang atau kecil dengan bunga tunggal atau ganda yang sering mekar pada
awal musim semi. Persik dikenal sebagai buah musim panas yang lezat dan sehat di
sebagian besar daerah beriklim sedang di seluruh dunia. Buah ini memang mudah
rusak tetapi dengan penanganan yang profesional sejak di petani, buah persik
mampu menjadi buah meja favorit (Layne & Bassi, 2008). Produksi buah persik
dunia mencapai 24,7 juta ton, dan sebagai produsen utama buah persik di dunia
yaitu China (57,9%), Spanyol (7,3%), Italia (5,1%), Yunani (3,8%), Amerika serikat
(3,1%), Turki (3,1%), Iran (1,7%), Mesir (1,5%), Chile (1,3%) dan Korea Selatan
(1,2%), serta negara lainnya 14% (FAO, 2017).
Prunus persica (L.) Batsch 155
(Rosaceae)
Prunus davidiana (Carr.) Franch. adalah spesies liar asli China timur laut. Spesies
persik ini biasa digunakan sebagai batang bawah. Keunggulannya sebagai batang
bawah yaitu toleransi terhadap kekeringan, meskipun sangat sensitif terhadap
nematoda. Asesi spesies ini telah dihibridisasi dengan persik untuk meningkatkan
ketahanan penyakit pada kultivar batang atas plum cacar, embun tepung, keriting
daun, dll atau untuk mengembangbiakkan batang bawah interspesifik yang dapat
beradaptasi dengan tanah marginal atau untuk masalah penanaman kembali
(Moing, Poëssel, Svanella-Dumas, Loonis, & Kervella, 2003).
Prunus ferganensis (Kost. Dan Rjab) Kov. & Kost. adalah bentuk liar yang ditemukan
di China barat yang diklasifikasikan sebagai subspesies P. persica; variabilitas
yang luas dalam hal jenis buah dapat ditemukan (persik kuning dan daging putih,
nektarin, dll.); daun memiliki urat paralel dan ada alur paralel di biji, keduanya
mempunyai sifat Mendel tunggal, benih bebas cyanogenik glikosida (tidak pahit).
Hal ini membuatnya memiliki ketahanan terhadap embun tepung. (W. R. Okie &
Rieger, 2003).
Prunus kansuensis Rehd. adalah spesies liar yang ditemukan di China timur laut,
juga digunakan sebagai batang bawah di China. Spesies ini pohonnya lebat dengan
kuncup musim dingin yang gundul, mekar lebih awal, meskipun demikian bunga ini
dianggap agak tahan terhadap embun beku (Meader dan Blake, 1939); daunnya,
terutama epitel ditutupi dengan vili sepanjang pelepah dekat pangkal, terluas
di bawah bagian tengah; lebih panjang dari benang sari. Prunus mira Koehne
adalah spesies liar yang ditemukan di China barat (Tibet timur); pohonnya dapat
mencapai tinggi (hingga 20 m) dan berumur panjang, hingga 1.000 tahun, daunnya
lanset, bunganya putih (Y. Wang, Reighard, Scorza, Jenkins, & Line, 2003). Buahnya
sangat bervariasi dalam bentuk, warna, dan ukuran; bijinya halus, meskipun dalam
beberapa jenis menyerupai P. persica. Beberapa bentuk dibudidayakan di Tibet
dan juga digunakan sebagai batang bawah di beberapa daerah di India. Spesies
terkenal sebagai nenek moyang P. persica, yang telah menyebar ke selatan dan
timur dari pegunungan Himalaya (R. Scorza & Okie, 1991).
Prunus persica (L.) Batsch 157
(Rosaceae)
Pohon tunas pertama ditawarkan untuk dijual oleh Robert Prince di Long Island
tepat sebelum Perang Revolusi dan oleh John Kenrick dari Massachusetts pada
1790-an (Hancock, Scorza, & Lobos, 2008; Hedrick, 1950).
liar bermanfaat dalam pengendalian penyakit dan kualitas dan hasil buah (Staudt
et al., 2010; Yu-Lin, 1984). Selain itu, plasma nutfah persik liar telah ditemukan
mengandung sifat-sifat yang terkait dengan toleransi terhadap dingin, kekeringan,
suhu tinggi, dan ketahanan terhadap nematoda (Meloidogyne incognita), kutu daun
(Myzus persicae), dan empedu mahkota (Agrobacterium tumefaciens) (Tsipouridis
& Thomidis, 2005; Ying Wang et al., 2002). Dengan demikian, sumber daya yang
beragam ini memberikan alel yang berguna untuk gen persik yang dibudidayakan,
yang sangat diperlukan dalam pemuliaan persik. Meskipun penting, informasi
tentang hubungan genetik dengan persik liar perlu terus dipelajari.
Penelitian yang dilakukan oleh Villagomez et al. (2009) menjelaskan bahwa dua
puluh empat genotipe persik dari Wilayah Tengah Utara Meksiko telah dikarakterisasi
berdasarkan sifat morfofisiologis. Bobot buah dari genotipe Roxana (135g), San
Gabriel C-167 (141,9g) dan landrace Zacatecas (162,3g) lebih tinggi, masing-
masing dalam kelompoknya karena semua genotipe dikelompokkan berdasarkan
52 monomorf dan 93 fragmen polimorfik yang terkait untuk karakteristik yang
diinginkan dari genotipe Prunus. Informasi ini memberi alat untuk identifikasi
individu awal pohon yang berkinerja tinggi ketika masih tumbuh di pembibitan.
Oleh karena itu, petani dapat menggunakan teknik ini untuk program pemuliaan
berbantuan pada genotipe Prunus mereka.
Zhang et al. (2016) melaporkan bahwa gen SBP keluarga lada (pepper) dapat dibagi
menjadi enam kelompok berdasarkan analisis filogenetik. Organisasi struktural
intron-exon menunjukkan rentang variasi tinggi dari 1 hingga 11 dalam satu gen,
mirip dengan Arabidopsis. Jumlah maksimum intron yang dilaporkan dalam lada
berkisar dari 0 hingga 11 dan di Moso Bomboo berkisar dari 0 hingga 10 (Pan et al.,
2017). Kemiripan dan variasi struktural di antara motif-motif ini dapat dipelajari
lebih lanjut.
Duplikasi gen (segmental dan tandem) adalah kekuatan pendorong utama untuk
pemuliaan gen dan ekspansi keluarga gen yang dapat mendukung organisme
untuk beradaptasi lingkungan kompleks yang berbeda. Abdullah et al. (2018)
mengidentifikasi segmental dan tandem duplikasi gen SBP dalam empat spesies
rosacea yang diteliti. Sebanyak 3, 13, dan 2 terkonfirmasi adanya duplikasi di
stroberi, pir, dan mei. Kebanyakan dari tanaman tersebut terduplikasi segmental
dan hanya satu duplikasi tandem PbSBP4 / PbSBP5 yang diketahui. Banyak duplikasi
diamati di pir dibandingkan dengan stroberi dan mei, dan tidak ada peristiwa
duplikasi yang teridentifikasi di persik (Y. Cao et al., 2017; Velasco et al., 2010).
Sifat-sifat persik yang disukai dapat dipilih tanpa reproduksi vegetatif jika nenek
moyang dari persik juga melakukan penyerbukan sendiri, maka sifat-sifat yang
disukai dapat dipilih tanpa reproduksi vegetatif. Persik matang dengan cepat,
menghasilkan buah yang dimulai pada tahun kedua atau ketiga, jadi seleksi untuk
sifat-sifat yang diinginkan berdasarkan sifat ini memiliki kemungkinan lebih tinggi
untuk memberi hasil yang cepat. Populasi yang berbuah lebih besar, misalnya,
dapat dengan mudah dipisahkan dan seleksi lebih lanjut ditingkatkan oleh produksi
dan pencangkokan batang bawah. Selanjutnya, Prunus spp. umumnya tahan
api sehingga seleksi awal dengan pembakaran lokal mungkin telah mendorong
terbentuknya persik yang tahan api (Li, 1983).
Gambar 37. Tanaman persik dalam kondisi matang optimal, siap petik
(foto: Joshua Ness on Unsplash).
dataran rendah, menengah, dataran tinggi atau bahkan sesuai untuk berbagai
wilayah dari dataran rendah sampai tinggi. Dan apakah perlu perlakuan pruning
sebagaimana yang dilakukan pada tanaman apel.
Pustaka
1. Abdullah, M., Cao, Y., Cheng, X., Shakoor, A., Su, X., Gao, J., & Cai, Y. (2018).
Genome-wide analysis characterization and evolution of SBP genes in Fragaria
vesca, Pyrus bretschneideri, Prunus persica and Prunus mume. Frontiers in
genetics, 9, 64.
2. Ahmad, R., Parfitt, D. E., Fass, J., Ogundiwin, E., Dhingra, A., Gradziel, T. M., . . .
Crisosto, C. H. (2011). Whole genome sequencing of peach (Prunus persica L.)
for SNP identification and selection. BMC genomics, 12(1), 569.
3. Bailey, J., & French, A. (1932). The inheritance of certain characters in the
peach. Paper presented at the Proceedings of the American Society of
Horticultural Science.
4. Baird, W. V., Estager, A. S., & Wells, J. K. (1994). Estimating nuclear DNA
content in peach and related diploid species using laser flow cytometry and
DNA hibridization. Journal of the American Society for Horticultural Science,
119(6), 1312-1316.
5. Beckman, T. G., & Lang, G. A. (2003). Rootstcok breeding for stone fruits.
6. Blanco, A., Pequerul, A., Val, J., Monge, E., & Gomez Aparisi, J. (1995). Crop-
load effects on vegetative growth, mineral nutrient concentration and leaf
water potential in ‘Catherine’ peach. Journal of Horticultural Science, 70(4),
623-629. doi:10.1080/14620316.1995.11515335
7. Brunetto, G., de Melo, G. W., Kaminski, J., & Ceretta, C. A. (2007). Adubação
nitrogenada em ciclos consecutivos e seu impacto na produção e na qualidade
do pêssego. Pesquisa Agropecuária Brasileira, 42(12), 1721-1725.
8. Bussi, C., Lescourret, F., Genard, M., & Habib, R. (2005). Pruning intensity and
fruit load influence vegetative and fruit growth in an early-maturing peach
tree (cv. Alexandra). Fruits, 60(2), 133-142.
166 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
9. Cao, K., Zheng, Z., Wang, L., Liu, X., Zhu, G., Fang, W., . . . Wang, J. (2014).
Comparative population genomics reveals the domestication history of the
peach, Prunus persica, and human influences on perennial fruit crops. Genome
Biology, 15(7), 415. doi:10.1186/s13059-014-0415-1
10. Cao, Y., Han, Y., Meng, D., Li, D., Jin, Q., Lin, Y., & Cai, Y. (2017). Genome-wide
analysis suggests high level of microsynteny and purifying selection affect
the evolution of EIN3/EIL family in Rosaceae. PeerJ, 5, e3400. doi:10.7717/
peerj.3400
11. Chartzoulakis, K., Therios, I., & Noitsakis, B. (1993). Effects of shading on
gas exchange, specific leaf weight and chlorophyll content in four kiwifruit
cultivars under field conditions. Journal of Horticultural Science, 68(4), 605-
611. doi:10.1080/00221589.1993.11516391
12. Deb, L., Gupta, R., Dutta, A. S., Yadav, A., Bhowmik, D., & Kumar, K. S. (2010).
Evaluation of antioxidant activity of aqueous fraction of prunus persica L
aqueous extract. Der Pharmacia Sinica, 1(3), 157-164.
13. Deb, L., Tripathi, A., Bhowmik, D., Dutta, A., & Sampath, K. (2010). Anti-
inflammatory activity of n-butanol fraction of prunus persica L. aqueous
extract. Pharma Research, 4, 74-78.
14. Diaz, M. (1974). Vegetative and reproductive growth habits of evergreen peach
trees in Mexico. Paper presented at the Proceedings from the XIX International
Horticulture Congress.
15. FAO. (2017). Top 10 country production of peaches and nectarines. Retrieved
from http://www.fao.org/faostat/en/#rankings/countries_by_commodity
16. Faust, M., & Timon, B. (2010). Origin and dissemination of peach Horticultural
Reviews.
17. Fukuda, T., Ito, H., Mukainaka, T., Tokuda, H., Nishino, H., & Yoshida, T.
(2003). Anti-tumor promoting effect of glycosides from “Prunus persica”
seeds. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 26(2), 271-273. doi:10.1248/
bpb.26.271
18. Gangwar, L. S., Singh, D., & Mandal, G. (2008). Economic evaluation of peach
cultivation in north indian plains21, 123-129. Retrieved from doi:doi.10.22004/
ag.econ.47369
Prunus persica (L.) Batsch 167
(Rosaceae)
19. Gasparotto, J., Somensi, N., Bortolin, R. C., Moresco, K. S., Girardi, C. S., Klafke,
K., . . . Gelain, D. P. (2014). Effects of different products of peach (Prunus persica
L. Batsch) from a variety developed in southern Brasil on oxidative stress and
inflammatory parameters in vitro and ex vivo. Journal of Clinical Biochemistry
and Nutrition, 55(2), 110-119. doi:10.3164/jcbn.13-97
20. Gilani, A. H., Aziz, N., Ali, S. M., & Saeed, M. (2000). Pharmacological basis for
the use of peach leaves in constipation. Journal of Ethnopharmacology, 73(1),
87-93. doi:https://doi.org/10.1016/S0378-8741(00)00288-9
21. Goldschmidt, E. E. (2013). The evolution of fruit tree productivity: a review.
Economic Botany, 67(1), 51-62. doi:10.1007/s12231-012-9219-y
22. Hancock, J. F., Scorza, R., & Lobos, G. A. (2008). Peaches. In J. F. Hancock
(Ed.), Temperate Fruit Crop Breeding: Germplasm to Genomics (pp. 265-298).
Dordrecht: Springer Netherlands.
23. Hedrick, U. P. (1950). A history of horticulture in America to 1860. A history of
horticulture in America to 1860.
24. Hedrick, U. P., Howe, G. H., Taylor, O. M., & Tubergen, C. B. (1917). The peaches
of New York (Vol. 2): JB Lyon Company, printers.
25. Hesse, C. O. (1975). Peaches. Advanced in fruit breeding., 285-335.
26. Him-Che, Y. (1985). Handbook of Chinese herbs and formulas. Institute of
Chinese Medicine, Los Angeles, 1, S219-S224.
27. Horn, R., Lecouls, A.-C., Callahan, A., Dandekar, A., Garay, L., McCord, P., . . .
Abbott, A. G. (2005). Candidate gene database and transcript map for peach, a
model species for fruit trees. Theoretical and Applied Genetics, 110(8), 1419-
1428. doi:10.1007/s00122-005-1968-x
28. Hovanet, M.-V., Oprea, E., Ancuceanu, R. V., Dinu, M., Anghel, A. I., Morosanu,
E., & Dutu, L. E. (2018). Contributions to the pharmacognostical and
phytobiological study of prunus persica (l.) Batsch flowers. FARMACIA, 66(1),
78-82.
29. Kim, Y.-K., Koo, B.-S., Gong, D.-J., Lee, Y.-C., Ko, J.-H., & Kim, C.-H. (2003).
Comparative effect of Prunus persica L. BATSCH-water extract and tacrine
(9-amino-1,2,3,4-tetrahydroacridine hydrochloride) on concentration
of extracellular acetylcholine in the rat hippocampus. Journal of
Ethnopharmacology, 87(2), 149-154. doi:https://doi.org/10.1016/S0378-
8741(03)00106-5
168 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
30. Kislev, M. E., Hartmann, A., & Bar-Yosef, O. (2006). Early domesticated fig in the
Jordan Valley. Science, 312(5778), 1372-1374. doi:10.1126/science.1125910
31. Layne, D. R., & Bassi, D. (2008). The peach: botany, production and uses:
CABI.
32. Lesičar, J., Šindrak, Z., Šic Žlabur, J., Voća, S., & Skendrović Babojelić, M. (2017).
Influence of fruit thinning and summer pruning on the yield and fruit quality
of peach cultivar ‘royal gem’. Agriculturae Conspectus Scientificus, 81(3), 155-
159.
33. Li, H.-l. (1983). The domestication of plants in China: ecogeographical
considerations. The origins of Chinese civilization, 21, 64.
34. Linnaeus, C. v. (1758). Systema naturae, vol. 1. Systema naturae, Vol. 1.
35. Liu, F., & Ng, T. B. (2000). Antioxidative and free radical scavenging activities
of selected medichinal herbs. Life Sciences, 66(8), 725-735. doi:https://doi.
org/10.1016/S0024-3205(99)00643-8
36. Loreti, F., & Morini, S. (2008). Propagation techniques. The peach: botany,
production and uses. Cambridge, CAB International, 221-243.
37. Marini, R. (1985). Vegetative growth, yield, and fruit quality of peach as
influenced by dormant pruning, summer pruning, and summer topping.
Journal of the American Society for Horticultural Science (USA).
38. Maynard, D. N. (2008). Underutilized and underexploited horticultural crops.
HortScience, 43(1), 279a-279a.
39. Melo, G. W. B. d., Sete, P. B., Ambrosini, V. G., Freitas, R. F., Basso, A., &
Brunetto, G. (2016). Nutritional status, yield and composition of peach fruit
subjected to the application of organic compost. Acta Scientiarum. Agronomy,
38(1), 103-109.
40. Meng, F., Peng, M., & Guan, F. (2015). Amplified fragment length polymorphism
analysis of genetic diversity and relationships of wild and cultivated peach
(Prunus persica L.). 50(1), 44. doi:10.21273/hortsci.50.1.44
41. Miller, A. J., & Gross, B. L. (2011). From forest to field: Perennial fruit crop
domestication. American Journal of Botany, 98(9), 1389-1414. doi:10.3732/
ajb.1000522
Prunus persica (L.) Batsch 169
(Rosaceae)
42. Moing, A., Poëssel, J.-L., Svanella-Dumas, L., Loonis, M. l., & Kervella, J.
(2003). Biochemical basis of low fruit quality of Prunus davidiana, a pest
and disease resistance donor for peach breeding. 128(1), 55. doi:10.21273/
jashs.128.1.0055
43. Norton, M. (2001). Fruit wood rejuvenation by reducing tree height and shoot
removal year 2 progress report. Paper presented at the V International Peach
Symposium 592.
44. Okie, W., Ramming, D., & Scorza, R. (1985). Peach, nectarine, and other stone
fruit breeding by the USDA in the last two decades. HortScience (USA).
45. Okie, W. R., & Rieger, M. (2003). Inheritance of Venation Pattern in Prunus
Ferganensis x Persica Hibrids.
46. Pan, F., Wang, Y., Liu, H., Wu, M., Chu, W., Chen, D., & Xiang, Y. (2017).
Genome-wide identification and expression analysis of SBP-like transcription
factor genes in Moso Bamboo (Phyllostachys edulis). BMC genomics, 18(1),
486. doi:10.1186/s12864-017-3882-4
47. Pozzi, C., & Vecchietti, A. (2009). Peach Structural Genomics. In K. M. Folta &
S. E. Gardiner (Eds.), Genetics and Genomics of Rosaceae (pp. 235-257). New
York, NY: Springer New York.
48. Rakesh, R., Harpreet, S., Bahuguna, P., Sati, S. C., & Badoni, P. P. (2011).
Antibacterial and antioxidant activity of methanolic extract of bark of Prunus
persica. Journal of Applied and Natural Science, 3(2). doi:10.31018/jans.
v3i2.205
49. Reighard, G., Cain, D., & Newall Jr, W. (1989). Relationship of chilling requirement
in Prunus persica (L.) Batsch to peach tree short life. Fruit varieties journal
(USA).
50. Reighard, G., Newall Jr, W., & Cain, D. W. (1988). Screening Prunus germplasm
for potential rootstocks for South Carolina replant sites. Paper presented at
the II International Peach Symposium 254.
51. Rubio-Cabetas, M. J. (2012). Present and future trends in peach rootstock
breeding worldwide.
52. Santamour, F. S. (1998). Amygdalin in Prunus leaves. Phytochemistry, 47(8),
1537-1538. doi:https://doi.org/10.1016/S0031-9422(97)00787-5
170 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
53. Scorza, R., Mehlenbacher, S., & Lightner, G. (1985). Inbreeding and coancestry
of freestone peach cultivars of the eastern United States and implications
for peach germplasm improvement. Journal of the American Society for
Horticultural Science (USA).
54. Scorza, R., & Okie, W. R. (1991). Peaches (Prunus).
55. Shin, T.-Y., Park, S.-B., Yoo, J.-S., Kim, I. K., Lee, H.-S., Kwon, T. K., . . . Kim,
S.-H. (2010). Anti-allergic inflammatory activity of the fruit of Prunus persica:
Role of calcium and NF-κB. Food and Chemical Toxicology, 48(10), 2797-2802.
doi:https://doi.org/10.1016/j.fct.2010.07.009
56. Singh, G., & Saini, S. P. (2013). Effect of pruning and fruit thinning on yield
and fruit weight of peach (Prunus persica (L) Batsch) cv. Shan-i-Punjab in sub-
mountain zone of Punjab? An on-farm study. Journal of Applied Horticulture,
15(1), 65-68.
57. Sosinski, B., Shulaev, V., Dhingra, A., Kalyanaraman, A., Bumgarner, R., Rokhsar,
D., . . . Abbott, A. G. (2009). Rosaceaous genome sequencing: perspectives
and progress. In K. M. Folta & S. E. Gardiner (Eds.), Genetics and Genomics of
Rosaceae (pp. 601-615). New York, NY: Springer New York.
58. Staudt, M., Jackson, B., El-Aouni, H., Buatois, B., Lacroze, J.-P., Poëssel, J.-L.,
& Sauge, M.-H. (2010). Volatile organic compound emissions induced by the
aphid Myzus persicae differ among resistant and susceptible peach cultivars
and a wild relative. Tree Physiology, 30(10), 1320-1334.
59. Suh, S.-J., Koo, B.-S., Jin, U.-H., Hwang, M.-J., Lee, I.-S., & Kim, C.-H. (2006).
Pharmacological characterization of orally active cholinesterase inhibitory
activity of Prunus persica L. Batsch in rats. Journal of Molecular Neuroscience,
29(2), 101-107. doi:10.1385/jmn:29:2:101
60. Sung, B. K., Kim, C., Lee, C., & Lee, H. S. (2004). Antimite effect of essential oils
derived from 24 Rosaceae and Umbelliferae species against stored food mite.
Food Science and Biotechnology.
61. The International Peach Genome, I., Verde, I., Abbott, A. G., Scalabrin, S., Jung,
S., Shu, S., . . . Rokhsar, D. S. (2013). The high-quality draft genome of peach
(Prunus persica) identifies unique patterns of genetic diversity, domestication
and genome evolution. Nature Genetics, 45, 487. doi:10.1038/ng.2586
Prunus persica (L.) Batsch 171
(Rosaceae)
62. Tsipouridis, C., & Thomidis, T. (2005). Effect of 14 peach rootstocks on the yield,
fruit quality, mortality, girth expansion and resistance to frost damages of May
Crest peach variety and their susceptibility on Phytophthora citrophthora.
Scientia Horticulturae, 103(4), 421-428.
63. Velasco, R., Zharkikh, A., Affourtit, J., Dhingra, A., Cestaro, A., Kalyanaraman,
A., . . . Viola, R. (2010). The genome of the domesticated apple (Malus ×
domestica Borkh.). Nature Genetics, 42, 833. doi:10.1038/ng.654
64. Verma, R. S., Padalia, R. C., Singh, V. R., Goswami, P., Chauhan, A., & Bhukya,
B. (2017). Natural benzaldehyde from Prunus persica (L.) Batsch. International
Journal of Food Properties, 20(sup2), 1259-1263. doi:10.1080/10942912.201
7.1338728
65. Villagomez, C. M., Espino, H. S., Cedillo, A. N., Montero, L. V., Segovia, C.
P., Guerra, C. M., . . . López, O. P. (2009). Identification of peach genotypes
(Prunus persica (L.) Batsch) in the north-central region, mexico. International
Journal of Botany, 5(2), 160-165.
66. Wang, Y., Georgi, L. L., Zhebentyayeva, T. N., Reighard, G. L., Scorza, R., &
Abbott, A. G. (2002). High-throughput targeted SSR marker development in
peach (Prunus persica). Genome, 45(2), 319-328.
67. Wang, Y., Reighard, G. L., Scorza, R., Jenkins, T. C., & Line, M. J. (2003).
Characterizing the evergrowing phenotype in peach.
68. Westcott, S., Zehr, E., Newall, W., & Cain, D. (1994). Suitability of Prunus
selections as hosts for the ring nematoda (Criconemella xenoplax). Journal of
the American Society for Horticultural Science, 119(5), 920-924.
69. Wu, H., Shi, J., Xue, S., Kakuda, Y., Wang, D., Jiang, Y., . . . Subramanian, J.
(2011). Essential oil extracted from peach (Prunus persica) kernel and its
physicochemical and antioxidant properties. LWT - Food Science and Technology,
44(10), 2032-2039. doi:https://doi.org/10.1016/j.lwt.2011.05.012
70. Yu-Lin, W. (1984). Peach growing and germplasm in China. Paper presented at
the International Conference on Peach Growing 173.
71. Zai Long, L. (1984). Peach germplasm and breeding in China. HortScience.
72. Zhang, H.-X., Jin, J.-H., He, Y.-M., Lu, B.-Y., Li, D.-W., Chai, W.-G., . . . Gong, Z.-H.
(2016). Genome-wide identification and analysis of the SBP-box family genes
under phytophthora capsici stress in pepper (Capsicum annuum L.). Frontiers
in Plant Science, 7(504). doi:10.3389/fpls.2016.00504
172 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
73. Zhebentyayeva, T. N., Swire-Clark, G., Georgi, L. L., Garay, L., Jung, S., Forrest,
S., . . . Abbott, A. G. (2008). A framework physical map for peach, a model
Rosaceae species. Tree Genetics & Genomes, 4(4), 745-756. doi:10.1007/
s11295-008-0147-z
74. Zohary, D., & Spiegel-Roy, P. (1975). Beginnings of fruit growing in the old
world. Science, 187(4174), 319-327. doi:10.1126/science.187.4174.319
Penulis:
Zainuri Hanif, Lizia Zamzami dan Agus Sugiyatno
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Punica granatum L.
(Lythraceae)
Protologue
Punica granatum L. -- Species Plantarum 1. 472. 1753 (1 May 1753).
Sinonim
• Punica florida Salisb -- Prodr. Stirp. Chap. Allerton. 354. 1796.
• Punica grandiflora Steud – Nomenclature Botanicus. 1: 669. 1821.
• Punica nana L. – Species Plantarum. Pl. ed. 2. 676. 1762.
• Punica spinosa Lam -- Fl. Franç. 3: 483. 1779.
• Rhoea punica St.-Lag. -- Annales de la Société Linnéenne de Lyon 7: 133.
1880.
Nama umum
Delima (Indonesia), chinese apple, love apple, pomegranate (Inggris), Anar (Hindi,
Urdu), dalim, bedana (Bangladesh), granada (Spanyol), grenade (Perancis), thale,
talebin, salebin (Myanmar), melograne, granato, melogranate (Italia), totum
(Vietnam), sinotibetan, phiilaa (Laos), daarim, oriya (Nepal), darabhte-naiy (Arab),
granatapple (Swedia)
I. Pendahuluan
Delima (Punica granatum L.) merupakan salah satu anggota spesies dari suku
Lythraceae. Nama Punica granatum berasal dari kata ‘Pomum’ yang berarti apel
dan ‘granatus’ yang berarti berbiji. Tanaman delima mempunyai habitus tumbuh
pohon dengan percabangan banyak dan menyemak hingga 5-10 meter. Marga
Punica hanya mempunyai 2 spesies yaitu P. granatum dan P. protopunica (La Malfa,
174 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
berdasarkan warna ovari yaitu subsp. chlorocarpa yang banyak dijumpai dan
dibudidayakan di daerah Transcaucasus dan subsp. porphyrocarpa yang juga
banyak dibudidayakan di Asia Tengah (Verma, Mohanty, & Lal, 2010).
Tanaman delima mempunyai pertumbuhan menyemak dengan tingkat percabangan
yang masif (Gambar 38a). Jarang ditemukan tipe tanaman delima yang kecil (dwarf).
Batang tanaman mempunyai permukaan yang halus dan kulit kayu berwarna abu-
abu tua. Pada percabangan terkadang terdapat duri, terutama jika umur tanaman
masih muda. Pada tangkai, duduk daun saling berseberangan (opposite) atau
sedikit berseberangan (sub opposite) dengan tangkai daun pendek (Gambar 38b).
Daun berukuran 2-8 cm dengan bentuk memanjang rata dari pangkal hingga ujung
atau agak mengecil di bagian pangkalnya. Permukaan daun mengkilap berwarna
hijau muda (Karimi & Mirdehghan, 2013).
(a) (b)
Gambar 38. (a) Tanaman delima dewasa dan (b) duduk daun pada tangkai yang
saling berseberangan (foto : kurniawan_budiarto).
(a) (b)
Gambar 39. (a) Bunga dan (b) buah delima (P. granatum L.) (foto : (a) kurniawan_
budiarto, (b) www.pixabay.com).
Punica granatum L. 177
(Lythraceae)
Sedangkan marga Punica sendiri mempunyai jarak genetik yang sempit dengan
Woodfodia dan Pemphis dibandingkan dengan marga lainnya dalam ordo Myrtales
(Narzary, Ranade, Divakar, & Rana, 2016). Studi molekuler menggunakan AFLP, RAPD
dan SNP juga telah dilakukan pada asesi atau kultivar delima di beberapa tempat.
Secara umum hasil studi menunjukkan bahwa kultivar delima menunjukkan variasi
genetik yang tinggi. Namun demikian, variasi genetik yang ada hanya merujuk
pada 2 struktur kelompok penyebaran yaitu kelompok 1 yang mencakup India,
China dan Iran serta kelompok 2 yang mencakup daerah Mediterania, Asia Tengah,
California, Spanyol hingga daratan Eropa (Ercisli et al., 2011; Kathuria, Bhargava,
Yadav, & Gurjar, 2017; Ophir et al., 2014).
Beberapa penulis melaporkan jumlah kromosom yang berbeda pada delima.
Beberapa laporan menyatakan bahwa jumlah kromosom somatik, 2n = 16 (n = 8),
sedangkan laporan lain menyebutkan 2n = 18 (n = 9). Tanaman dengan struktur
kromosom tetraploid juga ditemukan dengan jumlah kromosom somatik, 2n = 32.
Pada kultivar diploid dengan 2n = 16 diketahui bahwa 7 pasang kromosom tergolong
metasentrik dan 1 pasang kromosom submetasentrik dengan kandungan DNA
sebesar 1,4 pg (1412 Mbp) (Masoud, Khandan, & Nasre-Esfahani, 2005; Hassan
& Gawad, 2013). Beberapa laporan juga menunjukkan 8 pasang kromosom yang
terdapat pada asesi-asesi 2n = 16 mempunyai variasi pada frekuensi chiasma, pola
berpasangan dan segregasi yang menandakan perbedaan genom antarkultivar yang
ada. Keberadaan B-kromosom dan rendahnya kuadrivalen juga mengindikasikan
sumber rekombinan (Shedai, Kolahizadeh, Noormohammadi, Azani, & Nikoo,
2013; Sheidai, 2007).
Tanaman muda yang telah mempunyai tinggi sekitar 50-60 cm ditanam dengan
jarak tanam 4 x 5 meter. Tanaman umumnya diberi penegak untuk membentuk tajuk
tanaman dan menahan pertumbuhan tajuk menggantung. Pemupukan dilakukan
dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik berupa pupuk
kandang dengan dosis 10 kg/tanaman diberikan saat awal tanam dan setiap 6
bulan. Pupuk anorganik yang diberikan meliputi urea sebanyak 100 g/tanaman,
50 g/tanaman SP-36 dan 100 g/tanaman KCl yang diberikan pada saat tanam dan
setiap 4 bulan (Blumenfeld, Shaya, & Hillel, 2000). Pemeliharaan lainnya meliputi
pemangkasan tajuk yang dilakukan 6 bulan sekali. Pemangkasan dilakukan untuk
membuang cabang/ranting yang telah mati. Pemangkasan juga bertujuan untuk
menjarangkan tajuk agar penetrasi sinar matahari dapat masuk ke dalam tajuk
dan merangsang pertumbuhan tunas baru (Hiremath, Patil, Hipparagi, Gandolkar,
& Gollagi, 2018).
Hama yang menyerang tanaman delima umumnya busuk buah yang disebabkan
oleh serangga Virachola livia, Criptoblabos gnidiella dan Planoccocus citri, aphid
(Aphis punica) yang menyerang bagian pucuk apikal, dan Tenupalpus granati yang
menyebabkan kerusakan pada daun (Blumenfeld et al., 2000). Sedangkan penyakit
utama yang menyerang buah adalah bercak dan busuk buah yang disebabkan
cendawan Cercospora sp., Aspergillus foetidus, Colletotrichum gloesporioides,
Pseudocercospora punicae, Curvularia lunata, Cercospora punicae and Alternaria
alternate (Ezra, Kirshner, Hershcovich, Shtienberg, & Kosto, 2014).
Buah dapat dipanen setelah 6 bulan dari masa berbunga. Buah masak ditandai
dengan pertumbuhan maksimal dengan permukaan kulit buah mengkilap. Buah
masak fisiologis juga akan terdengar nyaring bula ditepuk dengan menggunakan jari
secara perlahan. Buah dipanen dengan memotong tangkai buah sedekat mungkin
dengan cabangnya untuk menghindari rusaknya buah. Setelah buah dipanen,
buah kemudian dibersihkan dari ranting dan direndam pada larutan disinfektan.
Setelah dikeringanginkan, buah kemudian dikemas dan dipasarkan (Stein, Kamas,
& Nesbitt, 2011)
182 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Pustaka
1. Al-Huqail, A. A., Elgaaly, G. A., & Ibrahim, M. M. (2018). Identification of
bioactive phytochemical from two Punica species using GC–MS and estimation
of antioxidant activity of seed extracts. Saudi Journal of Biological Sciences,
25(7), 1420–1428. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2015.11.009
2. Amiryousefi, M. R., Zarei, M., Azizi, M., & Mohebbi, M. (2012). Modelling
some physical characteristics of pomegranate (Punica granatum L.) fruit
during ripening using artificial neural network. Journal of Agricultural Science
and Technology, 14(4), 857–867.
3. Andjarikmawati, D. W., Mudyantini, W., & Marusi. (2005). Perkecambahan dan
pertumbuhan delima putih (Punica granantum L.) dengan perlakuan Asam
Indol Asetat dan Asam Giberelat. BioSMART, 7(2), 91–94.
4. Babu, K. D., Singh, N. V., Gaikwad, N., Maity, A., Suryavanshi, S. K., & Pal, R.
K. (2017). Determination of maturity indices for harvesting of pomegranate
(Punica granatum). Indian Journal of Agricultural Sciences, 87(9), 1225–
1230.
5. Blumenfeld, A., Shaya, F., & Hillel, R. (2000). Cultivation of pomegranate.
Options Méditerranéennes Ser. A, 42, 143–147.
6. Chandra, R., Babu, D. K., Jadhav, V. T., & Teixeira da Silva, J. A. (2010). Origin,
history and domestication of pomegranate. Fruit, Vegetable and Cereal Science
and Biotechnology, 4(October 2016), 1–6.
7. Cizmovic, M., Popovic, R., Adakalic, M., Lazovic, B., & Perovic, T. (2016).
Characteristics of flowering and fruit set of main pomegranate varieties
(Punica granatum L.) in Montenegro. Agriculture and Forestry, 62(1), 83–90.
https://doi.org/10.17707/AgricultForest.62.1.10
8. Derin, K., & Eti, S. (2001). Determination of pollen quality, quantity and effect
of cross pollination on the fruit set and quality in the pomegranate. Turkish
Journal of Agriculture and Forestry, 25(3), 169–173. https://doi.org/10.3906/
tar-9911-13
9. Dhinesh Babu, K. (2010). Floral Biology of Pomegranate (Punica granatum
L.). Global Science Books, 4(2), 45–50. Retrieved from http://www.
globalsciencebooks.info/Online/GSBOnline/images/2010/FVCSB_4(SI2)/
FVCSB_4(SI2)45-50o.pdf
184 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
10. Ercisli, S., Kafkas, E., Orhan, E., Kafkas, S., Dogan, Y., Esitken, A., … Red, L. (2011).
Genetic characterization of pomegranate (Punica granatum L.) genotypes by
AFLP markers. Biological Research, 44, 345–350.
11. Ezra, D., Kirshner, B., Hershcovich, M., Shtienberg, D., & Kosto, I. (2014). Heart
rot of pomegranate: Disease etiology and the events leading to development
of symptoms. Plant Disease, 99(4), 496–501. https://doi.org/10.1094/pdis-
07-14-0707-re
12. Hassan, N. A., & Gawad, M. H. A. (2013). Morphological karyotype analysis
of eleven pomegranate cultivars. American-Eurasian Journal of Agricultural
& Environmental Sciences, 13(11), 1562–1567. https://doi.org/10.5829/idosi.
aejaes.2013.13.11.11263
13. Hiremath, A., Patil, S. N., Hipparagi, K., Gandolkar, K., & Gollagi, S. G.
(2018). Influence of pruning intensity on growth and yield of pomegranate
(Punica granatum L.) cv . Super Bhagwa under organic conditions. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry, 7(2), 1027–1031.
14. Hota, M., & Dahiya, D. S. (2017). Physico-chemical properties of some varieties
of pomegranate (Punica granatum L.). International Journal of Pure and Applied
Bioscience, 5(5), 979–983. https://doi.org/10.18782/2320-7051.2671
15. Ibrahim Oguz, H. (2012). Diversity of local pomegranate types (Punica
granatum L.) in eastern Turkey. Journal of Food, Agriculture and Environment,
10(2), 683–686.
16. Karimi, H. R., & Mirdehghan, S. H. (2013). Correlation between the
morphological characters of pomegranate (Punica granatum) traits and their
implications for breeding. Turkish Journal of Botany, 37(2), 355–362. https://
doi.org/10.3906/bot-1111-14
17. Kathuria, Ko., Bhargava, R., Yadav, P. K., & Gurjar, K. (2017). Molecular studies
ascertaining the phylogenetic relationships in pomegranate (Punica granatum
L.) cultivars using RAPD markers. International Journal of Current Microbiology
and Applied Sciences, 6(9), 1282–1291. https://doi.org/10.20546/
ijcmas.2017.609.154
18. Kumari, A., Dora, J., Kumar, A., & Kumar, A. (2012). Pomegranate (Punica
granatum) - Overview. International Journal of Pharmaceutical and Chemical
Sciences, 1(4), 1218–1222.
Punica granatum L. 185
(Lythraceae)
19. La Malfa, S., Gentile, A., Domina, F., & Tribulato, E. (2009). Primosole: A new
selection from sicilian pomegranate germplasm. Acta Horticulturae, 818,
125–132. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2009.818.17
20. Manju, Bisht, I., Rawat, S. S., & Thakur, N. (2015). Studies on floral biology
in pomegranate cv. Ganesh and Kandhari under valley conditions of Srinagar
(Garhwal) (bearing habit, time and duration of flowering, bud development,
flower characterters and anthesis). International Journal of Research in
Applied, Natural and Social Science, 5(3), 41–46.
21. Martinez-Nicolas, J. J., Melgarejo, P., Legua, P., Garcia-Sanchez, F., & Hernández,
F. (2016). Genetic diversity of pomegranate germplasm collection from Spain
determined by fruit, seed, leaf and flower characteristics. PeerJ, 4, e2214.
https://doi.org/10.7717/peerj.2214
22. Masoud, S., Khandan, M., & Nasre-Esfahani, S. (2005). Cytogenetical study of
some Iranian pomegranate (Punica granatum L.) cultivars. Caryologia, 58(2),
132–139. https://doi.org/10.1080/00087114.2005.10589443
23. Melgarejo, P., Martínez-Valero, R., Guillamón, J. M., Miró, M., & Amorós, A.
(1997). Phenological stages of the pomegranate tree (Punica granatum L.).
Annals of Applied Biology, 130(1), 135–140. https://doi.org/10.1111/j.1744-
7348.1997.tb05789.x
24. Melgarejo, Pablo, Salazar, D. M., & Artés, F. (2000). Organic acids and sugars
composition of harvested pomegranate fruits. European Food Research and
Technology, 211(3), 185–190. https://doi.org/10.1007/s002170050021
25. Mira Devi, S. P., Arulvasu, C., & Ilavarasan, R. (2015). Morphological and
anatomical studies on ornamental flowers of Punica granatum Linn.
Journal of Pharmaceutical & Scientific Innovation, 4(1), 44–51. https://doi.
org/10.7897/2277-4572.04111
26. Narzary, D., Ranade, S. A., Divakar, P. K., & Rana, T. S. (2016). Molecular
differentiation and phylogenetic relationship of the genus Punica (Punicaceae)
with other taxa of the order Myrtales. Rheedea, 26(1), 37–51.
27. Ophir, R., Sherman, A., Rubinstein, M., Eshed, R., Schwager, M. S., Harel-
Beja, R., … Holland, D. (2014). Single-nucleotide polymorphism markers from
de-novo assembly of the pomegranate transcriptome reveal germplasm
genetic diversity. PLoS ONE, 9(2), e88998. https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0088998
186 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
28. Qin, G., Xu, C., Ming, R., Tang, H., Guyot, R., Kramer, E. M., … Xu, Y. (2017). The
pomegranate (Punica granatum L.) genome and the genomics of punicalagin
biosynthesis. Plant Journal, 91(6), 1108–1128. https://doi.org/10.1111/
tpj.13625
29. Rahimi, H. R., Arastoo, M., & Ostad, S. N. (2012). A comprehensive review of
Punica granatum (Pomegranate) properties in toxicological, pharmacological,
cellular and molecular biology researches. Iranian Journal of Pharmaceutical
Research, 11(2), 385–400.
30. Rahmani, A. H., Alsahli, M. A., & Almatroodi, S. A. (2017). Active constituents of
pomegranates (Punica granatum ) as potential candidates in the management
of health through modulation of biological activities. Pharmacognosy Journal,
9(5), 689–695.
31. Rana, T., Narzary, D., & Ranade, S. A. (2010). Systematics and taxonomic
disposition of the genus Punica L. Pomegranate. Fruit, Vegetable and Cereal
Science and Biotechnology, 19–25.
32. Sakagami, Y., Murata, H., Nakanishi, T., Inatomi, Y., Watabe, K., Iinuma, M., …
Lang, F. A. (2001). Inhibitory effect of plant extracts on production of verotoxin
by enterohemorrhagic Escherichia coli O157 : H7. Journal of Health Science,
47(5), 473–477. https://doi.org/10.1248/jhs.47.473
33. Shedai, M., Kolahizadeh, S., Noormohammadi, Z., Azani, N., & Nikoo, M. (2013).
Correlation between geography and cytogenetic diversity in Pomegranate
(Punica granatum L.) cultivars in Iran. Acta Botanica Brasilica, 26(4), 953–965.
https://doi.org/10.1590/s0102-33062012000400025
34. Sheidai, M. (2007). B-chromosome variablity in pomegranate (Punica
granatum L.) cultivars. Caryologia, 60(3), 251–256. https://doi.org/10.1080/0
0087114.2007.10797944
35. Stein, L., Kamas, J., & Nesbitt, M. (2011). Pomegranates. Texas Fruit and Nut
Production, Texas Agrilife and Extension, E-613(2–13), 1–6.
36. Stover, E., & Mercure, E. W. (2007). The pomegranate: A new look at the fruit
of paradise. HortScience, 42(5), 1088–1092.
37. Venkatesha, H., & Yogish, S. N. (2016). High-yielding varieties of pomegranate.
International Journal of Applied Research, 2(2), 73–75.
Punica granatum L. 187
(Lythraceae)
38. Verma, N., Mohanty, A., & Lal, A. (2010). Pomegranate genetic resources and
germplasm conservation : A review. Fruit, Vegetable and Cereal Science and
Biotechnology, 4(2), 120–125.
39. Yazici, K., Kaynak, L., & Cevik, M. S. (2011). Anatomy of pomegranate (Punica
granatum L. ’Hicaznar’) fruit exocarp. Acta Horticulturae, 890(August 2011),
215–220.
40. Yuan, Z., Fang, Y., Zhang, T., Fei, Z., Han, F., Liu, C., … Zheng, H. (2018). The
pomegranate (Punica granatum L.) genome provides insights into fruit quality
and ovule developmental biology. Plant Biotechnology Journal, 16(7), 1363–
1374. https://doi.org/10.1111/pbi.12875
41. Zhao, X., Yuan, Z., Feng, L., & Fang, Y. (2015). Cloning and expression of
anthocyanin biosynthetic genes in red and white pomegranate. Journal of Plant
Research, 128(4), 687–696. https://doi.org/10.1007/s10265-015-0717-8
Penulis :
Kurniawan Budiarto1), Harwanto1), Agus Sugiyatno1) dan Hardiyanto2)
1)
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
Rubus idaeus L.
(Rosaceae)
Protologue
Rubus idaeus L., Sp. Pl. 1: 492 (1753).
Sinonim
• Rubus idaeus Blanco, Fl. Filip. [F.M. Blanco] 428 (1837).
• Rubus idaeus Vell., Fl. Flumin. 220 (1829).
• Rubus idaeus Pursh, Fl. Amer. Sept. (Pursh) 1: 346 (1813).
• Rubus idaeus Thunb., Fl. Jap. (Thunberg) 216 (1784).
• Rubus idaeus var. acalyphaceus (Greene ex Fedde) Fernald, Rhodora 21: 98
(1919).
• Rubus idaeus f. albus Fernald, Rhodora 21: 96 (1919).
• Rubus idaeus f. albus Fernald, Rhodora 10: 50 (1908).
• Rubus idaeus var. americanus Torr., Ann. Lyceum Nat. Hist. New York 2: 196
(1827).
• Rubus idaeus var. arizonicus (Greene ex Fedde) Fernald, Rhodora 21: 98
(1919).
• Rubus idaeus var. borealisinensis T.T.Yu & L.T.Lu, Acta Phytotax. Sin. 20(3): 297
(1982) (1982).
• Rubus idaeus var. canadensis Richardson, Bot. App. (Richardson) 747 (1823).
• Rubus idaeus var. caudatus (B.L.Rob.) Fernald, Rhodora 52: 71 (1950).
• Rubus idaeus f. caudatus Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
• Rubus idaeus var. egglestonii Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
190 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
• Rubus idaeus f. erythrochlamydeus B.Boivin, Bull. Soc. Bot. France 102: 238
(1955).
• Rubus idaeus var. eucyclus Fernald & Weath., Rhodora 33: 237 (1931).
• Rubus idaeus var. glabratus T.T.Yu & L.T.Lu, Acta Phytotax. Sin. 20(3): 297
(1982) (1982).
• Rubus idaeus var. gracilipes M.E.Jones, Bull. Montana State Univ., Biol. Ser.
ser. 15: 35 (1910).
• Rubus idaeus var. heterolasius Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
• Rubus idaeus subsp. komarovii (Nakai) Vorosch., in A.K. Skvortsov (ed.), Florist.
issl. v razn. raĭonakh SSSR 176 (1985): (1985).
• Rubus idaeus subsp. maritimus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3):
473 (1896).
• Rubus idaeus f. marmoratus (Level. & Vaniot) Kitam., Acta Phytotax. Geobot.
26(1-2): 3 (1974).
• Rubus idaeus subsp. melanolasius (Dieck) Focke, Abh. Naturwiss. Vereins
Bremen 13(3): 473 (1896).
• Rubus idaeus var. melanolasius (Dieck) R.J.Davis, Contr. Fl. Idaho Leafl. 15: 22
(1946).
• Rubus idaeus subsp. melanotrachys Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen
13(3): 473 (1896).
• Rubus idaeus var. melanotrachys Fernald, Rhodora 21: 97 (1919).
• Rubus idaeus var. nesophilus Hodgdon & R.B.Pike, Rhodora 66: 148 (1964).
• Rubus idaeus subsp. nipponicus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3):
473 (1896).
• Rubus idaeus f. niveus J.W.Moore, Rhodora 52: 57 (1950).
• Rubus idaeus var. peramoenus (Greene ex Fedde) Fernald, Rhodora 21: 98
(1919).
• Rubus idaeus subsp. sachalinensis (H.Lév.) Focke, Biblioth. Bot. 72(2): 210
(1911).
• Rubus idaeus var. sachalinensis (H.Lév.) C.L.Hitchc., Univ. Wash. Publ. Biol.
17(3): 175 (1961).
Rubus idaeus L. 191
(Rosaceae)
Nama umum
Raspberry (Indonesia), Raspberry (Inggris), Framboise (Prancis), Raspberry
(Spanyol), Framboos (Belanda, Afrika), Himbeere (Jerman), RazuberÌ (Jepang),
Lampone (Itali), Hindberjum (Islandia), Santtalgi (Korea), RasabharÌ (Punjabi),
Malina (Rusia), Hallon (Swedia), Framboesa (Portugis), tawatu alealiq (Arab),
Bringebair (Swedia), ‘O Ka Hua (Hawaii)
I. Pendahuluan
Raspberry (Rubus idaeus L.) merupakan salah satu tanaman buah subtropika yang
banyak dikaitkan dengan pengobatan dan dunia kesehatan sejak dahulu kala. Hal
ini disebabkan isu kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam perjalanan
peradaban manusia. Pengobatan zaman dahulu menggunakan bahan alami
kembali menjadi tren kesehatan di satu dekade terakhir. Hal ini disebabkan bahan
kimia terbukti mempunyai efek samping yang berbahaya. Hummer et al. (2010)
melaporkan bahwa raspberry telah digunakan dalam pengobatan tradisional
untuk penyembuhan luka.
192 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
Bagian tanaman yang mempunyai khasiat untuk kesehatan adalah buah dan
daun. Bagian tersebut telah biasa digunakan untuk mengobati berbagai penyakit,
termasuk penyakit saluran pencernaan dan sistem kardiovaskular, serta demam,
influenza, dan diabetes. Daun juga dapat diaplikasikan secara eksternal sebagai
agen antibakteri, anti-inflamasi, dan sudorific. Ekstrak daun raspberry telah
dilaporkan memiliki sifat antispasmodik dan relaksan otot (Hummer, 2010).
Raspberry adalah spesies yang termasuk ke dalam genus Rubus. Menurut
Bobinaitė, Viškelis, & Venskutonis (2016), spesies rubus asli berada di belahan
bumi bagian utara; namun pusat keragaman utama terletak di Asia. Subgenus
yang didomestikasi di antaranya adalah raspberry, blackberry, arctic raspberry,
dan flowering raspberry, yang semuanya telah digunakan dalam program
pemuliaan. Idaeobatus (raspberry) adalah yang paling penting dari subgenus yang
didomestikasi, sedangkan spesies raspberry yang banyak dibudidayakan secara
komersial adalah raspberry merah Eropa (R. idaeus L. subsp. Idaeus), raspberry
merah Amerika Utara (R. idaeus subsp. strigosus (Michx.)), dan rasberry hitam (R.
occidentalis L.).
menyebabkan kompetisi dan mengakibatkan banyak tunas yang mati. Tunas yang
dominan dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi percabangan dengan
pertumbuhan akar baru. Percabangan ini kemudian dapat memisahkan diri dari
pohon induknya dan menjadi individu baru setelah didahului dengan kematian
akar yang menghubungkan individu baru dengan induknya (Hudson, 1959).
Penjelasan rinci tentang struktur morfologis tanaman raspberry dan fase musiman
pengembangannya disajikan oleh Hudson (1959), yang juga mendefinisikan
sejumlah istilah untuk merujuk pada berbagai bagian dan struktur tanaman. Tunas
raspberry dapat muncul dalam tiga cara berbeda: (a) tunas adventif yang terbentuk
pada akar; (b) tunas aksiler terletak pada tunas tahunan di permukaan tanah atau,
lebih jarang, (c) sebagai cabang lateral yang keluar dari tunas ketiak. Setiap jenis
berperilaku dengan cara berbeda dalam menanggapi lingkungannya.
(a) (b)
Gambar 40. (a) Tanaman raspberry merah dan (b) variannya (kuning)
(foto: oka_ardiana_banaty).
Menurut Hummer (1996), sebagian besar spesies Rubus adalah semak tahunan.
Kebiasaan tanaman bervariasi dari tegak sampai menjalar. Beberapa tanaman
merambat naik, seperti bush lawyers (R. cissoides Cunn.) di Selandia Baru.
Contoh lainnya, cloudberry (R. chamaemorus L.), adalah bentuk kerdil alpine yang
berkembang melalui stolon di bawah tanah. Sebagian besar spesies rontok berganti
194 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
daun, tetapi ada pula yang selalu hijau. Panjang daun berbeda dari 1-20 cm. Daun
dapat berupa daun utuh, menjari, helaian dengan 3 anak daun (trifoliata), 5 anak
daun (pentifoliata, atau pinnately). Diameter batang bervariasi dari 2 hingga 7 cm.
Spesies rubus dapat mempunyai duri besar yang berulang hingga panjang 1,5 cm.
Gambar 41. Daun raspberry dengan 5 anak daun (pentafoliata) dan 3 anak daun
(trifoliata) (foto : oka_ardiana_banaty)
yang ada di alam liar. Secara genetik populai Raspberry merah liar berbeda dengan
Raspberry yang dibudidayakan (J Graham et al, 2003). Tanaman Raspberry merah
liar Skotlandia ada penurunan jumlah populasi (Julie Graham et al., 2009) dan
habitat yang menyebabkan erosi keragaman genetik (Young et al., 1996).
Tanaman Raspberry ini selama periode 10 tahun jumlahnya mengalami penurunan
drastis yang disebabkan oleh sebagian besar intervensi manusia seperti penggalian
tanah dan penggembalaan domba. Setiap tanaman mempunyai bentuk alel
yang unik di mana apabila tanaman kehilangan populasinya maka sama dengan
kehilangan alelnya. Dari banyaknya populasi R. ideaus hanya Clova B merupakan
populasi yang mempunyai ekspansi jumlah tanaman selama peiode 10 tahun,
Glen Clova merupakan populasi yang ada di sekitar hutan yang terisolasi dalam
dua batas yaitu aliran sungai dan dinding. Populasi yang ada di Clova A dan Glen
Clova juga mengalami penurunan jumlah tanaman yang disebabkan oleh adanya
penyakit akar dalam taraf rendah bukan disebabkan oleh intervensi manusia (Julie
Graham et al., 2009). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketinggian
daerah pertanaman menunjukkan variasi yang signifikan pada periode berbunga
dan berbuah di lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhannya sehingga bisa
mengurangi populasi tanaman yang tidak sesuai daerah tumbuhnya. Keadaan
tersebut bisa mengurangi jumlah populasi dan jumlah alel tanaman (Marshall et
al., 2001).
Tanaman Rapberry di Skotlandia dari 13 multilokus genotype 46 turunan tanaman
liar ada 27 turunan tanaman yang sama sekali tidak menghasilkan buah dan ada 19
turunan lainnya semuanya menghasilkan buah. Daerah pertumbuhan yang sama
mewakili genotipe yang sama, tetapi di daerah yang berbeda ketinggiannya telah
terbukti sangat mengurangi keragaman genetik (Lowe, Boshier, Ward, Bacles, &
Navarro, 2005). Jumlah tanaman berkurang dari 150 menjadi 46 selama periode
10 tahun disebabkan adanya gangguan habitat dan pengurangan ukuran populasi
alel langka yang cenderung hilang pertama kali diikuti oleh hilangnya alel umum
selama beberapa generasi (Lande,1988). Hilangnya plasma nutfah akan memiliki
pengaruh serius untuk produksi raspberry merah komersial jangka panjang, dan
juga untuk keberlanjutan populasi alami, yang juga merupakan sumber makanan
yang berharga bagi satwa liar. Sebagian besar kerugian tanaman telah dijelaskan
oleh dampak manusia, dan, akibatnya, pergantian populasi dapat terjadi dalam
siklus yang relatif singkat.
Rubus idaeus L. 199
(Rosaceae)
Hummer (2010) mengemukakan bahwa tradisi rakyat dari penduduk asli di seluruh
dunia seperti Yunani, Romawi, Asia (China dan India) juga telah menerapkan Rubus
sebagai obat. Meskipun di zaman modern ini Rubus ditanam untuk dikonsumsi
buahnya yang lezat dan kaya vitamin, namun di zaman dahulu mereka menggunakan
seluruh tanaman dan bagian-bagiannya. Di Australia, penduduk asli menggunakan
rebusan daun raspberry sebagai pengobatan tradisional untuk diare (Symons &
Symons, 1994).
Menurut Pritts (2003), tiga wilayah produksi raspberry yang terbesar adalah (1)
Rusia, (2) Eropa (sebagian besar di Polandia, Hongaria, Serbia, Jerman, dan Inggris),
dan (3) Pantai Pasifik Amerika Utara dan Kanada (Kolumbia Inggris, Washington,
dan Oregon). Banyak buah yang diproduksi di wilayah ini dipanen secara mekanis
dan diproses. Di daerah produksi lain, seperti Amerika Utara bagian timur,
hampir semua produksinya untuk pasar segar. Banyak negara lain, seperti Chili,
Selandia Baru, dan Australia, memiliki produksi yang signifikan karena mereka
memasok pasar segar selama musim dingin di belahan bumi utara. Produksi dunia
diperkirakan mencapai lebih dari 400.000 ton.
Di Serbia, buah Raspberry banyak tumbuh dan dikonsumsi dalam bentuk segar
maupun olahan yang diawetkan, seperti selai atau yogurt buah dan lain-lain.
Raspberry dipasok ke pasar sebagian besar melalui saluran perdagangan yang
terorganisasi, pembelian khusus, dan organisasi perdagangan, maupun pasar
langsung. Pada tahun 2006, di Serbia terdapat 220 pabrik pendingin dengan
kapasitas penyimpanan mulai dari 100 ton hingga 10.000 ton dan Serbia merupakan
pengekspor raspberry terbesar di dunia (Radosavljević, 2008).
Indonesia yang mempunyai junlah penduduk yang banyak maka kebutuhan
di bidang farmasi juga besar. Dengan kandungan raspberry yang baik untuk
kesehatan maka berpotensi mempunyai pasar jika dikembangkan. Tanaman yang
mempunyai kelebihan untuk kesehatan akan bernilai ekonomi tinggi jika dapat
dibuktikan secara ilmiah dan dikemas dengan baik. Nilai ekonomi yang tinggi juga
akan berdampak pada ketertarikan investor untuk mengembangkannya.
Rubus idaeus L. 203
(Rosaceae)
Pustaka
1. Anttonen, M. J., & Karjalainen, R. O. (2005). Environmental and genetic
variation of phenolic compounds in red raspberry. Journal of Food Composition
and Analysis, 18, 759–769. https://doi.org/10.1016/j.jfca.2004.11.003
2. Badjakov, I., Todrovska, E., Kondakova, V., Boicheva, R., & Atanassov, A. (2006).
Assessment the genetic diversity of bulgarian raspberry germplasm collection
by microsatellite and RAPD marker. Journal of Fruit and Ornamental Plant
Research, 14, 61–75.
3. Beekwilder, J., Hall, R. D., & De Vos, C. H. R. (2005). Identification and dietary
relevance of antioxidants from raspberry. BioFactors, 23(4), 197–205. https://
doi.org/10.1002/biof.5520230404
4. Bobinaitė, R., Viškelis, P., & Venskutonis, P. R. (2016). Chemical composition of
raspberry ( Rubus spp .) cultivars. Nutritional Composition of Fruit Cultivars.
Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-408117-8.00029-5
5. Bordelon, B. (2012). Raspberries. Purdue University Cooperative Extension
Service, 1–4.
6. Borges, G., Degeneve, A., Mullen, W., & Crozier, A. (2010). Identification of
flavonoid and phenolic antioxidants in black currants, blueberries, raspberries,
red currants, and cranberries. Journal of Agricultural and Food Chemistry,
58(7), 3901–3909. https://doi.org/10.1021/jf902263n
7. Burton-Freeman, B. M., Sandhu, A. K., & Edirisinghe, I. (2016). Red Raspberries
and Their Bioactive Polyphenols: Cardiometabolic and Neuronal Health Links.
Advances in Nutrition, 7(1), 44–65. https://doi.org/10.3945/an.115.009639
8. Bushakra, J. M., Stephens, M. J., Atmadjaja, A. N., Lewers, K. S., Symonds, V.
V, Udall, J. A., … Chagne, D. (2012). Construction of black ( Rubus occidentalis
) and red (R . idaeus) raspberry linkage maps and their comparison to the
genomes of stroberi, apple, and peach. Journal Theor Appl Genet. https://doi.
org/10.1007/s00122-012-1835-5
9. Carvalho, E., Fraser, P. D., & Martens, S. (2013). Carotenoids and tocopherols
in yellow and red raspberries. Food Chemistry, 139(1-4), 744–752. https://doi.
org/10.1016/j.foodchem.2012.12.047
204 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
10. González-Barrio, R., Borges, G., Mullen, W., & Crozier, A. (2010). Bioavailability
of anthocyanins and ellagitannins following consumption of raspberries by
healthy humans and subjects with an ileostomy. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 58(7), 3933–3939. https://doi.org/10.1021/jf100315d
11. Graham, J., Marshall, B., Squire, G. R., & Graham, J. (2003). Genetic
differentiation over a spatial environmental gradient in wild Rubus ideaus
populations, 667–675.
12. Graham, J., Woodhead, M., Smith, K., Russell, J., Marshall, B., Ramsay, G., &
Squire, G. (2009). New insight into wild red raspberry populations using simple
sequence repeat markers, 134(1), 109–119.
13. Heidenreich, A. C., Pritts, M., Kelly, M. J., & Demchak, K. (2009). High tunnel
raspberries and blackberries (Vol. 47).
14. Hudson, J. P. (1959). Effects of environment on Rubus idaeus L .: I . morphology
and development of the raspberry plant. Journal of Horticultural Science, 34,
163–169. https://doi.org/10.1080/00221589.1959.11513955
15. Hummer, K. E. (1996). Rubus diversity. HortScience, 4, 182–183.
16. Hummer, K. E. (2010). Rubus pharmacology : antiquity to the present.
HortScience, 45(July 2009), 1587–1591.
17. Initiative for Agricultural Development of Kosovo. (2015). Cultivation of
raspberry.
18. Krauze-Baranowska, M., Majdan, M., Hałasa, R., Głód, D., Kulaa, M., Fecka, I.,
& Orzeł, A. (2013). Antimicrobial activity of fruits from some cultivar varieties
of Rubus idaeus and Rubus ocidentalis. Food and Function. https://doi.
org/10.1039/x0xx00000x
19. Liu, M., Li, X. Q., Weber, C., Lee, C. Y., Brown, J., & Liu, R. H. (2002). Antioxidant
and antiproliferative activities of fruits. Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 50, 2926–2930.
20. Lowe, A. J., Boshier, D., Ward, M., Bacles, C. F. E., & Navarro, C. (2005). Genetic
resource impacts of habitat loss and degradation ; reconciling empirical
evidence and predicted theory for neotropical trees, 255–273. https://doi.
org/10.1038/sj.hdy.6800725
Rubus idaeus L. 205
(Rosaceae)
21. Ludwig, I. A., Pedro, M., Calani, L., Borges, G., Pereira-Caro, G., Bresciani, L.,
… Crozier, A. (2015). New insights into the bioavailability of red raspberry
anthocyanins and ellagitannins. Free Radical Biology and Medicine, 89(February),
758–769. https://doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2015.10.400
22. Marshall, B., Harrison, R. E., Graham, J., Mcnicol, J. W., Wright, G., Squire,
G. R., & Marshall, B. (2001). Spatial trends of phenotypic diversity between
colonies of wild raspberry Rubus idaeus, 671–682.
23. Nutritiousfruit. (2019). Raspberries : Origins - Consumption - Nutrition Facts
- Health Benefits.
24. Park, J. H., Oh, S. mee, Lim, S. S., Lee, Y. S., Shin, H. K., Oh, Y. S., … Kim, J.
K. (2006). Induction of heme oxygenase-1 mediates the anti-inflammatory
effects of the ethanol extract of Rubus coreanus in murine macrophages.
Biochemical and Biophysical Research Communications, 351(1), 146–152.
https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2006.10.008
25. Pritts, M. P. (2003). Raspberries and related fruits. In Rapberries and Related
Fruits (pp. 4916–4921).
26. Radosavljević, K. (2008). The market chain of fruit production in Serbia - A
case study of raspberry and sour cherry cultivation. Economic Annals, 53(177),
103–121. https://doi.org/10.2298/EKA0877103R
27. Seeram, N. P., Adams, L. S., Zhang, Y., Lee, R., Sand, D., Scheuller, H. S., & Heber,
D. (2006). Blackberry, black raspberry, blueberry, cranberry, red raspberry,
and stroberi extracts inhibit growth and stimulate apoptosis of human cancer
cells in vitro. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54(25), 9329–9339.
https://doi.org/10.1021/jf061750g
28. Smith, B. R., Mahr, D. L., Manus, P. S. M., & Roper, T. R. (2007). Growing
Raspberries in Wisconsin.
29. Surya, M. I, Ismaini, L, Destri. (2015). Keragaman buah Raspberries (Rubus
spp.) Asal Indonesia. Prosiding seminar nasional Biologi 2014. ISBN: 978-602-
17170-2-8. F MIPA Universitas Negeri Semarang. Hal 296-305.
30. Symons, P., & Symons, S. (1994). Bush heritage : an introduction to the history
of plant and animal use by Aboriginal people and colonists in the Brisbane and
Sunshine Coast areas. P. and S. Symons.
206 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
31. Teng, H., Fang, T., Lin, Q., Song, H., Liu, B., & Chen, L. (2017). Red raspberry
and its anthocyanins: Bioactivity beyond antioxidant capacity. Trends in Food
Science & Technology. https://doi.org/10.1016/j.tifs.2017.05.015
32. Thompson, M. M. (1995). Chromosome Numbers of Rubus Species at the
National Clonal Germplasm Repository. HortScience, 30(7), 1447–1452.
33. Thompson, M. M. (1997). Survey of Chromosome Numbers in Rubus (
Rosaceae : Rosoideae ). Annals of the Missouri Botanical Garden, 84(1), 128–
164.
34. Wang, L.-S., & Stoner, G. D. (2008). Anthocyanins and their role in cancer
prevention. Cancer Letters, 269(2), 281–290. https://doi.org/10.1016/j.
canlet.2008.05.020
35. Young, A., Boyle, T., & Brown, T. (1996). The population genetic consquences
of habitat fragmentation for plants. Tree, 11, 413–418.
Penulis :
Buyung Al Fanshuri, Unun Triasih, Dina Agustina, dan Trifena Honestin
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
Vaccinium corymbosum L.
(Ericaceae)
Protologue
Vaccinium corymbosum L. -- Species Plantarum 1: 350. 1753 [1 May 1753]
Sinonim
• Cyanococcus corymbosus (L.) Rydb. – Brittonia 1: 94. 1931
• Cyanococcus cuthbertii Small – Man. S.E. Fl. [Small] 1015, 1507 (1933)
• Vaccinium constablaei A. Gray – Amer. J. Sci. Arts 42:42. 1842
• Vaccinium corymbosum L. var. albiflorum (Hook.) Fernald – Rhodora 51: 104.
1949
• Vaccinium corymbosum L. var. glabrum A. Gray – Manual (Gray), ed. 2. 250
(1856)
Nama umum
Blueberry (Indonesia), Beri Biru (Melayu), Neelbadri नील बद्री (Hindi), Việt quất
(Vietnam), Blūbexr̒rī̀ บลูเบอร ์รี่ (Thailand), Beullu beli 블루 베리 (Korea), Lánméi
藍莓 (China), Burūberī ブルーベリー (Jepang), Arándano (Spanyol), Tawt توت
(Arab), Brusnica (Bulgaria), Mirtilo (Portugal), Mirtillo (Italia), Myrtille (Perancis),
Bosbes (Belanda), Blaubeere (Jerman), Mustikka (Finlandia), Fenjabláber (Islandia),
Borówka amerykańska (Polandia), blåbær (Norwegia), Blåbär (Swedia).
I. I. Pendahuluan
Blueberry merupakan salah satu kelompok tanaman dari family Ericaceae khususnya
genus Vaccinium, bagian Cyanococcus. Genus Vaccinium mengandung lebih dari
450 spesies dan mempunyai karakteristik seperti semak, beberapa di antaranya
208 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
menghasilkan buah yang dapat dimakan. Menurut Song & Hancock (2011), spesies
tanaman Vaccinium yang paling penting ditemukan pada Cyanococcus (blueberry),
Oxycoccus (cranberry), Vitis-Idaea (lingonberry), Myrtillus (dwarf bilberry), dan
Vaccinium (bog bilberry).
Blueberry diklasifikasikan sebagai highbush blueberry atau blueberry semak tinggi
(Vaccinium corymbosum), lowbush blueberry atau blueberry semak rendah (V.
angustifolium), dan rabbiteye blueberry (V. ashei). Menurut Song & Hancock,
(2011), Belakangan ini hampir semua blueberry komersial dipanen dari tiga spesies
(1) highbush (V. corymbosum L.), (2) rabbiteye [V. ashei Reade (syn. V. virgatum
Ait.)], dan (3) lowbush (V. angustifolium dan V. myrtilloides). Untuk tujuan komersial
dan praktis, highbush blueberry adalah spesies yang paling populer karena ukuran
buah yang besar dan matang lebih cepat (Lee et al., 2013). Highbush dan lowbush
blueberry yang merupakan bagian cyanococcus hanya memiliki pigmen dalam kulit
buah, namun pada beberapa anggota bagian myrtillus memiliki pigmen antosianin,
baik dalam kulit maupun daging buah (W. Kalt et al., 2001).
Highbush Blueberry termasuk tanaman bernilai ekonomi tinggi yang berasal dari
wilayah subtropis dan beriklim sedang di sepertiga bagian timur Amerika Utara.
Bahkan blueberry jenis ini juga merupakan jenis tanaman utama yang dibudidayakan
dan ditanam di Amerika Utara serta di dunia (Boches, Bassil, & Rowland, 2006).
Blueberry varietas highbush diperkenalkan ke Eropa pada tahun 1930-an dimulai
dari Jerman dan Belanda (Naumann, 1993). Produksi highbush blueberry cukup
banyak di Amerika Utara khususnya Pasifik barat laut, wilayah Great Lakes, dan
negara bagian Atlantik di Amerika Serikat, sedangkan produksi lowbush blueberry
terlokalisasi di Kanada bagian timur dan Amerika Serikat bagian timur laut (W. Kalt
et al., 2001). Highbush blueberry dibagi menjadi tiga jenis yaitu northern highbush
blueberry (Vaccinium corymbosum L.), southern dan intermediate. Pembagian
ini bergantung pada suhu dingin yang dibutuhkan untuk perkembangan bunga
normal dan tingkat toleransinya terhadap suhu dingin (Hancock, 2010). Varietas
northern highbush blueberry dapat beradaptasi dengan suhu pertengahan musim
dingin yang cukup rendah di bawah -20 0C, tetapi tumbuh dengan baik di daerah
dengan suhu dingin selama 800 – 1.000 jam. Sedangkan varietas southern highbush
blueberry tidak dapat mentoleransi suhu musim dingin jauh di bawah titik beku dan
hanya dapat bertahan pada suhu dingin kurang dari 350 jam. Varietas lainnya yaitu
intermediate highbush blueberry dapat tumbuh baik pada suhu dingin selama 400
Vaccinium corymbosum L. 209
(Ericaceae)
- 800 jam. Menurut Mainland (2012), lebih dari 75% dari luas tanam blueberry saat
ini masih menggunakan hibrida yang dihasilkannya, terutama varietas ‘Bluecrop’,
‘Jersey’, ‘Weymouth’, ‘Croatan’, ‘Blueray’, ‘Bluelay’, ‘Rubel’ dan ‘Berkeley’.
(a) (b)
Gambar 43. Tanaman blueberry (foto : (a) https://search.creativecommons.org, (b)
oka_ardiana_banaty).
lapisan bubuk putih yang merupakan lapisan lilin pelindung buah dari kerusakan
eksternal. Buah blueberry mempunyai rasa manis dengan keasaman yang beragam.
Organoleptik ini bergantung kepada ketinggian lokasi dari permukaan laut dan
garis lintang.
Erosi genetik suatu tanaman dapat disebabkan oleh adanya rekayasa genetika
dan adanya penggantian tanaman varietas lokal yang menyebabkan tanaman
tidak dapat berkembang biak secara alami. Selain itu pertanian modern yang
mendorong petani untuk menanam varietas komersial saja sehingga varietas yang
ditanam jadi terbatas. Salah satu penyebab utama erosi genetik suatu tanaman
juga disebabkan oleh upaya pemuliaan tanaman modern, perubahan iklim dan
degradasi lingkungan, efek urbanisasi, praktik pertanian modern, bencana alam
dan konflik antar manusia (Richards et al., 1997).
Ada beberapa penelitian yang melaporkan bahwa terjadi erosi genetik terhadap
blueberry. Adanya penurunan keragaman genetik antara blueberry yang
dibudidayakan dan blueberry yang liar terbukti berdasarkan penelitian dari Brevis
et al. (2008) bahwa southern highbush blueberry kurang beragam secara genetik
dari yang sebelumnya. Heterozigositas highbush blueberry yang dibudidayakan
terus menurun sebagai konsekuensi dari pemuliaan selektif (Brevis et al., 2008).
Di Portugal, blueberry semak rendah (liar) telah mengalami beberapa peristiwa
erosi genetik dalam beberapa dekade terakhir hanya tersisa beberapa populasi di
kawasan lindung di Portugal Utara (Carvalho et al., 2018). Kultivar V. corymbosum
yang ada di Portugal merupakan hasil pengembangan dua persilangan dengan
kultivar Bluecrop.
Ungu (V. varingiaefolium (Blume) Miq.). Di Jawa, tanaman ini tumbuh secara
alami di sekitar lereng gunung berapi seperti Gunung Batok dan Bromo pada
ketinggian di atas 1.800 sampai 2.000 mdpl. Di daerah sekitar Bandung,
Jawa Barat, mentigi gunung mendominasi vegetasi sekitar kawah gunung
Tangkuban Perahu dan sekitarnya (Bandung Utara), pegunungan Patuha
(Bandung Selatan), serta Gunung Papandayan. Tanaman ini memiliki daun
muda berwarna merah dan berubah menjadi hijau, bunganya berwarna
ungu dan memiliki buah berbentuk bulat yang awalnya berwarna hijau dan
berubah menjadi hitam ketika sudah matang.
Di Indonesia juga sudah mulai ada penanaman blueberry namun masih
dalam jumlah sedikit dan belum terdata secara nasional baik luas area
penanaman maupun produksinya. Diketahui sejak tahun 2014 Blueberry
sudah dibudidayakan di Cipanas, Kabupaten Cianjur, dalam rumah kaca
dengan merekayasa iklim. Kondisi rumah kaca dibuat optimum untuk
tanaman, yaitu meliputi suhu, intensitas cahaya, kelembapan dan lain-lain
(“Menanam blueberry, blackberry, ghooseberry, stroberi di Indonesia |
Berbagi Tak Pernah Rugi,” n.d.). Dengan adanya kedua informasi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa blueberry berpotensi untuk dikembangkan di
Indonesia, yaitu dengan membudidayakan mentigi gunung yang sudah
tumbuh secara alami di Indonesia untuk tujuan konservasi, maupun
dengan membudidayakan blueberry varietas highbush, lowbush, maupun
rabbit eye, dengan melakukan rekayasa iklim untuk memperoleh kondisi
optimal penanaman blueberry. Di antara ketiganya varietas yang paling
adaptif adalah rabbit eye karena dapat ditanam di habitat yang berbeda
dan beradaptasi dengan baik di lahan terbuka daripada varietas highbush,
selain itu juga karena toleransi yang tinggi terhadap kekeringan, suhu tinggi
dan berbagai tingkat pH tanah, dibandingkan dengan spesies Vaccinium
lainnya (Daniele Prodorutti et al., 2007).
Pada bulan Maret 2019, Kementerian Pertanian memberikan informasi
bahwa dalam waktu dekat, Ezawa, Ketua Asosiasi Petani Blueberry di
Jepang, akan berkunjung ke Indonesia menyampaikan 10 varietas terbaik
benih rabbit eye blueberry (Vaccinium virgatum Aiton) di Jepang untuk
dibudidayakan di tiga lokasi Indonesia, yaitu Bandung (Jawa Barat), Kaliurang
(Yogyakarta) dan Soe (NTT). Dalam setahun penanaman, dari tiga lokasi ini
218 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
akan diteliti manakah varietas yang tumbuhnya paling baik, dan selanjutnya
akan diperbanyak (“Kementerian Pertanian - Blueberry Organik Kisarazu
Siap Dibudidayakan di Indonesia,” n.d.).
Pada tahun 2010, Amerika Serikat memiliki area penanaman highbush blueberry
terbesar dengan jumlah 46% dari total dunia, diikuti oleh Chili (17%), Kanada
(12%), serta Argentina, Polandia, dan China (masing-masing 4-5%) (Strik, 2014).
Berdasarkan data dari US Highbush Blueberry Council yang dihimpun oleh Brazelton
(2011), area penanaman highbush blueberry di dunia meningkat dalam kurun
waktu 2 tahun dari tahun 2008 sampai 2010 dengan perkiraan 27.001 acre setara
dengan 10.926,92 hektare dari 162.483 acre menjadi 189.484 acre. Perubahan
ini mewakili peningkatan sekitar 17% selama 2 tahun. Penanaman blueberry
tetap berlanjut selama krisis ekonomi global karena didorong oleh meningkatnya
permintaan lokal dan global.
Produksi highbush blueberry di dunia baik dalam bentuk segar maupun sudah
diproses selama tahun 2008 sampai 2010 meningkat sebanyak 146,24 juta lbs atau
setara dengan 66,33 ribu ton dari 606,63 (275,16 ribu ton) menjadi 752,87 juta lbs
(341,50 ribu ton), yang berarti meningkat 24% selama 2 tahun (Brazelton, 2011).
Sejak penurunan di pasar olahan, pengalihan segar dan konsumsi telah tumbuh
pada tingkat yang luar biasa. Konsumsi blueberry di Asia sangat besar selama
dekade tersebut. Dari negara-negara kecil Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan,
konsumsi Jepang yang mapan dan China yang besar, produk blueberry untuk
pasar Asia siap dikembangkan. Dengan tradisi budaya yang meluas, yang berfokus
pada kesehatan dan kecantikan, blueberry sangat cocok untuk meningkatkan
pendapatan, kesadaran akan produk yang bernilai tinggi, sehingga blueberry
akan berkembang karena keinginan untuk sehat, bertambah usia, dan menikmati
makanan yang diinginkan terus meningkat. Produksi dan konsumsi berkembang
di seluruh dunia. Sebagian besar pertumbuhan produksi di daerah baru didorong
oleh pertumbuhan permintaan di tempat-tempat baru. Blueberry ditanam di
lebih banyak tempat dan akan lebih banyak orang mengkonsumsinya di seluruh
dunia (Brazelton, 2011). Di Indonesia juga sudah mulai ada penanaman blueberry
namun masih dalam jumlah sedikit dan belum terdata secara nasional baik luas
area penanaman maupun produksinya.
Pustaka
1. Albert, T., Raspé, O., & Jacquemart, A. ‐L. (2003). Clonal structure in Vaccinium
myrtillus L. revealed by RAPD and AFLP markers. International Journal of Plant
Sciences, 164(4), 649–655. https://doi.org/10.1086/375373
220 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
2. Albert, Thierry, Raspé, O., & Jacquemart, A.-L. (2004). Clonal diversity and genetic
structure in Vaccinium myrtillus populations from different habitats. Belgian
Journal of Botany, 137(2), 155–162. https://doi.org/10.2307/20794549
3. Ballington, J. R. (1990). Fruit varieties journal. Fruit Varieties Journal,
44(2), 54–62. Retrieved from https://www.cabdirect.org/cabdirect/
abstract/19901616805
4. Ballington, James R. (2001). Collection, utilization, and preservation of
genetic resources in Vaccinium. HortScience, 36(2), 206–213. https://doi.
org/10.21273/HORTSCI.36.2.206
5. Basu, A., Du, M., Leyva, M. J., Sanchez, K., Betts, N. M., Wu, M., … Lyons,
T. J. (2010). Blueberries decrease cardiovascular risk factors in obese men
and women with metabolic syndrome 1 – 3, 10–15. https://doi.org/10.3945/
jn.110.124701.chokeberries
6. Black, B. L., & Zimmerman, R. H. (2002). Industrial and municipal by-products
as substrates for highbush blueberry production. Acta Horticulturae, (574),
267–272. https://doi.org/10.17660/actahortic.2002.574.40
7. Boches, P., Bassil, N. V., & Rowland, L. (2006). Genetic diversity in the highbush
blueberry evaluated with microsatellite markers. Journal of the American
Society for Horticultural Science, 131(5), 674–686. https://doi.org/10.21273/
jashs.131.5.674
8. Brazelton, C. (2011). 2010 World blueberry acreage & production. US Highbush
Blueberry Council, 51.
9. Brevis, P. A., Bassil, N. V., Ballington, J. R., & Hancock, J. F. (2008). Impact of
wide hibridization on highbush blueberry breeding. Journal of the American
Society for Horticultural Science, 133(3), 427–437. https://doi.org/10.21273/
jashs.133.3.427
10. Caruso, F. L., & Ramsdell, D. C. (1995). Compendium of blueberry and
cranberry diseases. APS Press; Retrieved from http://www.sidalc.net/cgi-bin/
wxis.exe/?IsisScript=zamocat.xis&method=post&formato=2&cantidad=1&ex
presion=mfn=031021
11. Carvalho, M., Matos, M., & Carnide, V. (2018). Short communication:
Identification of cultivated and wild Vaccinium species grown in Portugal.
Spanish Journal of Agricultural Research, 16(3). https://doi.org/10.5424/
sjar/2018163-12502
Vaccinium corymbosum L. 221
(Ericaceae)
22. Haghighi, K., & Hancock, J. F. (1992). DNA Restriction fragment length variability
in the genomes of highbush blueberry. HortScience, 27(1), 44–47. https://doi.
org/10.21273/HORTSCI.27.1.44
23. Hancock, J. (2010). Highbush blueberry breeding. Latvian Journal of Agronomy,
(12), 35–38.
24. Heinonen, I. M., Meyer, A. S., & Frankel, E. N. (1998). Antioxidant activity of
berry phenolics on human low-density lipoprotein and liposome oxidation.
Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46(10), 4107–4112. https://doi.
org/10.1021/jf980181c
25. Holzapfel, E. A., Hepp, R. F., & Mariño, M. A. (2004). Effect of irrigation on fruit
production in blueberry. Agricultural Water Management, 67(3), 173–184.
https://doi.org/10.1016/j.agwat.2004.02.008
26. Joseph, J. A., Denisova, N. A., Arendash, G., Gordon, M., Diamond,
D., Shukitt-Hale, B., & Morgan, D. (2003). Blueberry supplementation
enhances signaling and prevents behavioral deficits in an Alzheimer
disease model. Nutritional Neuroscience, 6(3), 153–162. https://doi.
org/10.1080/1028415031000111282
27. Kalt, W., Ryan, D. A. J., Duy, J. C., Prior, R. L., Ehlenfeldt, M. K., & Vander Kloet,
S. P. (2001). Interspecific variation in anthocyanins, phenolics, and antioxidant
capacity among genotypes of highbush and lowbush blueberries (Vaccinium
section cyanococcus spp.). Journal of Agricultural and Food Chemistry, 49(10),
4761–4767. https://doi.org/10.1021/jf010653e
28. Kalt, Wilhelmina, Hanneken, A., Milbury, P., & Tremblay, F. (2010). Recent
research on polyphenolics in vision and eye health. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 58(7), 4001–4007. https://doi.org/10.1021/jf903038r
29. Katsube, N., Iwashita, K., Tsushida, T., Yamaki, K., & Kobori, M. (2003).
Induction of apoptosis in cancer cells by bilberry (Vaccinium myrtillus) and
the anthocyanins. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 51(1), 68–75.
https://doi.org/10.1021/jf025781x
30. Kementerian Pertanian - Blueberry Organik Kisarazu Siap Dibudidayakan di
Indonesia. (n.d.). Retrieved December 4, 2019, from https://www.pertanian.
go.id/home/?show=news&act=view&id=3648
Vaccinium corymbosum L. 223
(Ericaceae)
31. Kloet, S. P. Vander. (1980). The taxonomy of the highbush blueberry, Vaccinium
corymbosum. Canadian Journal of Botany, 58(10), 1187–1201. https://doi.
org/10.1139/b80-148
32. Koron, D., & Gogala, N. (2000). The use of mycorrhizal fungi in the growing of
blueberry plants (Vaccinium corymbosum L.). Acta Horticulturae, (525), 101–
106. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2000.525.11
33. Krikorian, R., Shidler, M. D., Nash, T. A., Kalt, W., Vinqvist-Tymchuk, M. R.,
Shukitt-Hale, B., & Joseph, J. A. (2010). Blueberry supplementation improves
memory in older adults. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(7),
3996–4000. https://doi.org/10.1021/jf9029332
34. Kron, K. A., Powell, E. A., & Luteyn, J. L. (2002). Phylogenetic relationships
within the blueberry tribe (Vaccinieae, Ericaceae) based on sequence
data from matK and nuclear ribosomal ITS regions, with comments on the
placement of Satyria. American Journal of Botany, 89(2), 327–336. https://
doi.org/10.3732/ajb.89.2.327
35. Lee, J. I., Yu, D. J., Lee, J. H., Kim, S. J., Lee, H. J., Yu, D. J., & Lee, H. J. (2013).
Comparison of mid-winter cold-hardiness and soluble sugars contents in
the shoots of 21 highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) cultivars.
The Journal of Horticultural Science and Biotechnology, 88(June), 727–734.
https://doi.org/10.1080/14620316.2013.11513031
36. Luby, J. J., Ballington, J. R., Draper, A. D., Pliszka, K., & Austin, M. E. (1991).
Blueberries and cranberries (Vaccinium). In Moore JN, Ballington JR (eds)
Genetic resources of temperate fruit and nut crops. International Society for
Horticultural Science, Wageningen, Netherlands (pp. 393–456).
37. Luteyn, J. L. (2002). Diversity, adaptation, and endemism in neotropical
Ericaceae: biogeographical patterns in the Vaccinieae. The Botanical Review,
68(1), 55–87. https://doi.org/10.1663/0006-8101(2002)068[0055:daaein]2.0
.co;2
38. Lyrene, P. (2008). Breeding southern highbush blueberries. In J. Janick (Ed.),
Plant Breeding Reviews (pp. 353–414). Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons,
Inc. https://doi.org/10.1002/9780470380130.ch8
39. Lyrene, P. M., & Perry, J. L. (1988). Blueberries. In Y. P. S. Bajaj (Ed.), Crops II
(Vol. 6). Berlin.
224 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
40. Magee, J. B., & Spiers, J. M. (1996). Influence of mulching systems on yield and
quality of southern highbush blueberries. Journal of Small Fruit & Viticulture,
3(2–3), 133–141. https://doi.org/10.1300/J065v03n02_14
41. Martineau, L. C., Couture, A., Spoor, D., Benhaddou-Andaloussi, A., Harris, C.,
Meddah, B., … Haddad, P. S. (2006). Anti-diabetic properties of the Canadian
lowbush blueberry Vaccinium angustifolium Ait. Phytomedicine, 13(9–10),
612–623. https://doi.org/10.1016/j.phymed.2006.08.005
42. Menanam blueberry, blackberry, ghooseberry, stroberi di Indonesia | Berbagi
Tak Pernah Rugi. (n.d.). Retrieved December 3, 2019, from https://isroi.
com/2014/09/13/menanam-blueberry-blackberry-ghooseberry-stroberi-di-
indonesia/
43. Moyer, R. A., Hummer, K. E., Finn, C. E., Frei, B., & Wrolstad, R. E. (2002).
Anthocyanins, Phenolics, and antioxidant capacity in diverse small fruits:
vaccinium, rubus, and ribes. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50(3),
519–525. https://doi.org/10.1021/jf011062r
44. Naumann, W. D. (1993). Overview of the Vaccinium industry in Western
Europe. Acta Horticulturae. https://doi.org/10.17660/actahortic.1993.346.6
45. Nesom, G., & Davis, K. (2002). Plant fact sheet blueberry (p. 2). United States
Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Retrieved
from https://plants.usda.gov/factsheet/pdf/fs_vaco.pdf
46. O’Neal, M. E., Mason, K. S., & Isaacs, R. (2005). Seasonal abundance of ground
beetles in highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) fields and response to
a reduced-risk insecticide program. Environmental Entomology, 34(2), 378–
384. https://doi.org/10.1603/0046-225x-34.2.378
47. Pescie, M., Lovisolo, M., De Magistris, A., Strik, B., & López, C. (2011). Flower
bud initiation in southern highbush blueberry cv. ONeal occurs twice per year
in temperate to warm temperate conditions. Journal of Applied Horticulture,
13(1), 8–12.
48. Prior, R. L., Cao, G., Martin, A., Sofic, E., McEwen, J., O’Brien, C., … Mainland,
C. M. (1998). Antioxidant capacity as influenced by total phenolic and
anthocyanin content, maturity, and variety of Vaccinium species. Journal of
Agricultural and Food Chemistry, 46(7), 2686–2693. https://doi.org/10.1021/
jf980145d
Vaccinium corymbosum L. 225
(Ericaceae)
49. Prodorutti, Daniel, Palmieri, L., Gobbin, D., & Pertot, I. (2006). First report of
Armillaria gallica on highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) in Italy. Plant
Pathology, 55(4), 583. https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.2006.01411.x
50. Prodorutti, Daniele, Pertot, I., Giongo, L., & Gessler, C. (2007). Highbush
blueberry: cultivation, protection, breeding and biotechnology. The European
Journal of Plant Science and Biotechnology, 1(1), 44–56. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/228547443
51. Reque, P. M., Steffens, R. S., Silva, A. M. Da, Jablonski, A., Flôres, S. H., Rios, A.
de O., & Jong, E. V. De. (2014). Characterization of blueberry fruits (Vaccinium
spp.) and derived products. Food Science and Technology (Campinas), 34(4),
773–779. https://doi.org/10.1590/1678-457x.6470
52. Richard E. Litz (Ed.). (2005). Biotechnology of fruit and nut crops. CABI
Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851996622.0000
53. Richards, P., Ruivenkamp, G., Longley, C., Mcguire, S., Drift, R. Van Der,
Gonowolo, M., & Jusu, M. S. (1997). Seeds and survival : crop genetic resources
in war and reconstruction in Africa. Wageningen.
54. Scagel, C. F. (2005). Inoculation with ericoid mycorrhizal fungi alters fertilizer
use of highbush blueberry cultivars. HortScience, 40(3), 786–794. https://doi.
org/10.21273/HORTSCI.40.3.786
55. Scherm, H., Ngugi, H. K., Savelle, A. T., & Edwards, J. R. (2004). Biological
control of infection of blueberry flowers caused by Monilinia vaccinii-
corymbosi. Biological Control, 29(2), 199–206. https://doi.org/10.1016/
S1049-9644(03)00154-3
56. Seeram, N. P. (2008). Berry fruits: Compositional elements, biochemical
activities, and the impact of their intake on human health, performance, and
disease. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 56(3), 627–629. https://
doi.org/10.1021/jf071988k
57. Sholikhah, A., Aryani Dian, F., & Listyorini, D. (2017). Anatomy and morphological
study of mentigi gunung (Vaccinium varingiaefolium (Blume) Miq.) in area
of Mount Batok-Indonesia. KnE Life Sciences, ICBS Proceeding, 3(4), 36–45.
https://doi.org/10.18502/kls.v3i4.685
58. Sideman, B. (2016). Growing fruit : highbush blueberries (p. 4). University of
New Hampshire Education Center. Retrieved from http://extension.unh.edu
226 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
59. Smith, M. A. L., Marley, K. A., Seigler, D., Singletary, K. W., & Meline, B. (2000).
Bioactive properties of wild blueberry fruits. Journal of Food Science, 65(2),
352–356. https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2000.tb16006.x
60. Song, G., & Hancock, J. F. (2011). Vaccinium. In C. Kole (ed.), Wild Crop Relatives:
Genomic and Breeding Resources, Temperate Fruits, Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-16057-8
61. Strik, B. C. (2014). Organic blueberry production systems - Advances in research
and industry. Acta Horticulturae, 1017(September), 257–268. https://doi.
org/10.17660/ActaHortic.2014.1017.33
62. Stull, A. J., Cash, K. C., Johnson, W. D., Champagne, C. M., & Cefalu, W. T. (2010).
Bioactives in blueberries improve insulin sensitivity in obese, insulin-resistant
men and women. The Journal of Nutrition, 140(10), 1764–1768. https://doi.
org/10.3945/jn.110.125336
63. USDA. (2011). The delightful domesticated American Blueberry : some
research challenges for its next 100 years. Agricultural Research, 59(June).
64. Vander Kloet, S. P., & Dickinson, T. A. (2009). A subgeneric classification of
the genus Vaccinium and the metamorphosis of V. section Bracteata Nakai:
More terrestrial and less epiphytic in habit, more continental and less insular
in distribution. Journal of Plant Research, 122(3), 253–268. https://doi.
org/10.1007/s10265-008-0211-7
65. Zifkin, M., Jin, A., Ozga, J. A., Zaharia, L. I., Schernthaner, J. P., Gesell, A., …
Constabel, C. P. (2012). Gene expression and metabolite profiling of developing
highbush blueberry fruit indicates transcriptional regulation of flavonoid
metabolism and activation of abscisic acid metabolism. Plant Physiology,
158(1), 200–224. https://doi.org/10.1104/pp.111.180950
Penulis :
Trifena Honestin, Dina Agustina, Unun Triasih, Imro’ah Ikarini
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
INDEX
A
Actinidia deliciosa 3, 4, 6, 13, 15
Adaptif 22, 217
Anakronis 23, 24
Anggur pohon 115, 119, 122
Antioksidan 11, 28, 44, 60, 76, 93, 122, 149, 164, 179, 182, 201, 218
Antocyanin 179, 180, 182
Apricot 128, 129, 133, 137, 138
Astrophaea 98
B
Blueberry 207, 208, 209, 211, 212, 214, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223,
226
Buah batu 142, 143, 144, 162
Buah subtropika 16, 33, 49, 62, 82, 96, 114, 126, 138, 152, 172, 187, 206, 226
Bunga betina 4, 22, 26, 36, 54, 86, 174
Bunga jantan 4, 36, 53, 54, 86, 175
C
Caprifig 36, 37, 48
Cherry 139, 150, 151, 205
Cyanococcus 207, 208, 209, 211, 212, 213, 221
D
Decaloba 98, 103, 104
Deidamiodes 98
Delima 173, 174, 175, 177, 178, 180, 182
Dioecious 37, 41, 43
Diospyros kaki 17, 18, 19, 28, 29, 30, 32, 33
Domestikasi 38, 70, 89, 162
228 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
E
Edible figs 37, 39
Edulis 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
123, 169
Ellagitannin 179, 201
F
Farmakologis 136, 163
Ficus carica 35, 36, 40, 44, 46, 47, 48, 49
Filogenetik 7, 8, 9, 161, 178, 213
Fitokimia 11, 36, 74, 136
Flavicarpa 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 110, 111
H
Heterostili 176
Hexaploid 22, 88
Highbush 208, 209, 210, 212, 214, 215, 216, 217, 219, 220, 221, 222, 223,
224, 225, 226
I
Intermediate 176, 208, 212
Introduksi 2, 24, 52, 60, 89, 133, 150
J
Jaboticaba 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125
K
Kolesterol 28, 44, 60, 74, 75, 76
Kromosom somatik 103, 179
L
Leci 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62
Lemak tak jenuh 74, 75, 77, 164
Litchi chinensis 51, 52, 53, 61
M
Macadamia tetraphylla 63, 64, 66, 68, 80, 81
Morus alba 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 96
Murbei 83, 84, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 96
229
INDEX
O
Obat 45, 60, 84, 93, 107, 122, 136, 149, 163, 164, 202
P
Partenokarpi 26, 37, 38
Passiflora edulis 97, 99, 109, 110, 111, 112, 113, 114
Pertumbuhan lambat 116
Pistillate catkins 84
Plinia cauliflora (mart.) 115, 116
Kausel
Polifenol 28, 44, 45, 122, 136, 201
Poliploidisasi 7, 8, 23
Prunus armeniaca 127, 129, 137, 138
Prunus avium 139, 140, 143, 145, 151, 152
Prunus persica 153, 154, 155, 157, 159, 160, 162, 164, 165, 166, 167, 168, 169,
170, 171
Punica granatum 173, 174, 183, 184, 185, 186, 187
R
Raspberry 191, 192, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 202
Rosaceae 127, 129, 139, 140, 150, 151, 153, 155, 159, 166, 169, 170, 172,
189, 192, 197, 206
Rubus idaeus 189, 190, 191, 192, 194, 201, 204, 205
S
Sapindaceae 51, 53, 56
Self-incompatibility 66, 110, 111
Self pollination 177
Senyawa bioaktif 149, 201, 218
Sepat 22, 23, 27
Serat 11, 28, 44, 45, 60, 76
Stone fruits 155, 165
Subtropika 16, 33, 49, 62, 82, 96, 114, 126, 138, 152, 172, 187, 206, 226
Sulur pengait 98, 99, 100, 104, 105
Syncarp 86
T
Tanin 27, 28, 136
Tendril 98, 99, 100, 104, 105, 113
Tokoferol 75, 76
230 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) :
Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial
V
Vaccinium 207, 208, 211, 213, 221, 223, 224, 225
corymbosum
Vitamin E 76, 80, 81