Anda di halaman 1dari 3

Kompleks Pertanian, Jalan Palapa XI No.

22
Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)
Telp/Fax +62 21 27874913

SIARAN PERS

Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2021 :

“Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua”

Penelitian Yayasan Pusaka yang berjudul ‘Mama Ke Hutan’ menggambarkan bagaimana posisi
Perempuan Adat dalam kecamuk kontestasi sumber daya alam di Papua. Mereka mengalami
eksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adat, tersingkir dari ruang hidup dan
sumber penghidupannya, dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya. Hak milik
tanah yang umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki, menyebabkan Perempuan Adat
kerap disingkirkan dari arena pengambilan keputusan terkait sumber daya alam, dan pada kondisi
tertentu, mereka harus berhadapan dengan mara bahaya berupa stigmatisasi, labelisasi, tekanan
dan kekerasan saat memperjuangkan dan menyuarakan haknya. Situasi ini juga dilandasi oleh
meluasnya komodifikasi tanah bagi proyek-proyek swasta dan negeri skala besar, seperti
Perkebunan Kelapa Sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan, Kawasan Ekonomi Khusus
hingga Mega Proyek Food Estate, dari periode ke periode. Dalam menjalankan kehendak
investasinya tersebut, pemerintah dan para pemilik modal tidak merasa perlu mendengarkan suara
perempuan adat, apalagi mempertimbangkannya secara serius. Padahal siapa yang sesungguhnya
dirugikan di kemudian hari dari aktivitas investasi tersebut?

Meskipun besarnya tantangan kultural dan sosial yang harus dihadapi oleh Perempuan Adat dalam
memperjuangkan haknya, mereka terus menjadi garda terdepan perjuangan hak atas tanah, ruang
hidup dan sumber penghidupan. Dari temuan penelitian Yayasan Pusaka, motif terbesar
perempuan adat yang menjadi argumentasi dari sikap resistensinya terhadap investasi berbasis
tanah tersebut adalah kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai dan udara merupakan bagian penting
dan tak terpisahkan bagi kehidupan mereka. Hutan adalah “pasar” - tempat mereka memenuhi
sandang, papan, pangan dan gizi keluarga, adalah pasar tempat mencari semua kebutuhan rumah
tangga dan utamanya sumber pangan, adalah apotik hidup – situs obat-obat tradisional, dan
perpustakaan - tempat mereka menyimpan pengetahun tentang kehidupan, sejarah dan alam
semesta yang suatu hari nanti akan diwariskan kepada keturunannya masing-masing. Mengganti
keragaman fungsi hutan tersebut untuk satu komoditas yang asing dan tak terjangkau adalah
kerugian yang tiada banding.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai komitmen Pemerintah Indonesia terhadap realisasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan
perlindungan Konstitusi atas hak non-diskriminasi perempuan asli Papua masih jauh dari kata
maksimal. Dalam dokumen Joint-Submission kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan Sidang ke-80, yang dilakukan bersama Lembaga Advokasi Peduli Perempuan(eL-
AdPPer) Merauke, Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas
sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi Perempuan Adat untuk
kemajuan mereka. Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak-hak
masyarakat adat dan gagal melindungi hak-hak perempuan. Selain itu, Kegagalan Pemerintah
Kompleks Pertanian, Jalan Palapa XI No. 22
Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)
Telp/Fax +62 21 27874913

Indonesia dalam mengakui hak teritorial kolektif dan pengambilan keputusan masyarakat adat juga
menghambat kemampuan Perempuan Adat untuk menikmati hak-hak yang dilindungi di bawah
CEDAW.

Menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2021, Yayasan Pusaka telah melakukan
rangkaian diskusi dan dialog bersama Perempuan Adat di Sorong Selatan dalam isu HAM dan
Lingkungan. Forum tersebut menjadi tempat pertukaran pengalaman, pengetahuan dan pendapat
di antara Perempuan Adat dalam melihat sejauh mana proses pemenuhan dan penegakkan HAM
telah dilakukan, keadilan lingkungan dan iklim, komitmen negara terhadap pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat serta rekomendasi yang harus dilakukan oleh berbagai pemangku
kepentingan kedepannya.

Perempuan Adat menjelaskan bagaimana berbagai proyek investasi di atas tanah adatnya
menyebabkan perubahan lingkungan dan konflik sosial, serta mempengaruhi penghidupan harian
masing-masing. Matelda Baho, Perempuan Adat dari Suku Maybrat misalnya, menggambarkan
bagaimana identitas budaya marga Baho terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa
sawit. “Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon gnemon untuk kasih
tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang,
membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat,
perusahaan sudah kasih rusak”, ungkapnya. Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh
di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan dan bahan baku noken, sekaligus di saat
yang bersamaan merupakan pohon sakral bagi Marga Baho.

Pada momen Perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2021,
Perempuan Adat yang juga sebagai Perempuan Pembela HAM Lingkungan (WHRD)
mendesak kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi Perempuan Adat,
serta meminta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder terkait) untuk menjaga lingkungan dan
hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan
adat dalam setiap pengambilan keputusan. Yayasan Pusaka mengambil momentum 16 HAKTP
untuk menyampaikan kembali harapan para Perempuan Adat tersebut untuk segera diwujudkan
oleh negara. Selama 16 hari ke depan, media sosial kami akan diwarnai oleh pesan-pesan Para
Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan.

Kami juga menyerukan:

• Pemerintah Indonesia agar segera mempercepat pengesahan RUU tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat untuk memberikan kepastian hak atas tanah adat
dan hak atas FPIC ke dalam undang-undang nasional.
• Hentikan perluasan konsesi kelapa sawit, penebangan dan pertambangan di atas tanah
masyarakat adat yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar
informasi awal tanpa paksaan (FPIC), karena hal ini berpotensi mencemari ruang hidup
dan merusak kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kompleks Pertanian, Jalan Palapa XI No. 22
Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)
Telp/Fax +62 21 27874913

• Pemerintah Indonesia harus bekerja dengan komunitas masyarakat adat, khususnya


perempuan adat untuk mengatasi dampak berbahaya dari agribisnis dan memprioritaskan
dukungan bagi mata pencaharian tradisional di atas perluasan ekstraksi sumber daya alam.
• Pemerintah Indonesia harus secara proaktif terlibat dengan perempuan adat dan
komunitasnya untuk memastikan mereka diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan saat merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakatnya.
• Pemerintah Indonesia harus menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan
menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan
cara yang sesuai secara budaya melalui lembaga perwakilan mereka.

Sekian, Terimakasih

Jakarta, 25 November 2021

Contact Person:

Amelia Puhili : +62 822-9897-2694 (Staf Divisi Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Anda mungkin juga menyukai