NIM : 1605194088 Kelas : KR4301B Dosen Pembimbing : Dion Darsa Sabrian, S.Ds., M.Ds Kelompok Bimbingan :
NO HASIL WAWANCARA
1 Tanggal : 27 Oktober 2021
Nama Narasumber : Ibu Sri Suwarti Pekerjaan Narasumber : Pembatik khusus proses “ngengkreng” dan “nembok” Institusi / Perusahaan : Pegawai dari Rumah Produksi Batik Bakaran “Yahyu” Tujuan Wawancara: Menggali informasi awal terkait perajin batik di Bakaran Kulon Lampiran Foto: Resume Hasil Wawancara : Pada hari Rabu, 27 Oktober 2021 setelah melakukan observasi proses pembuatan batik tulis khas Bakaran di Rumah Produksi Batik Bakaran “Yahyu”, karena ibu-ibunya sedang sibuk mengejar pesanan, saya diarahkan menuju rumah Ibu Suwarti, salah satu pembatik yang biasa mengerjakan proses membatik. Disana saya ditemani oleh teman masa kecil saya, Marlina yang ternyata merupakan keponakan dari Ibu Sri Suwarti sendiri. Saat memasuki bagian belakang rumah, tempat dimana Ibu Sri Suwarti membatik saya disambut dengan baik ketika mengemukakan maksud dan tujuan ingin melakukan proses wawancara. Bu Suwarti selaku narasumber kemudian menceritakan proses awal bagaimana ia mengenal batik, yang kemudian menjadi ladang tempat mengais rejekinya hingga saat ini. Seperti warga desa Bakaran pada umumnya yang memang sejak zaman akhir Majapahit telah mengenal tradisi membatik, Ibu Suwarti juga tidak asing dengan kegiatan ini, bahkan sejak masa belianya. Di usia yang masih berada pada bangku sekolah dasar, Ibu Suwarti biasa membantu ibunya, yang dulunya juga seorang pembatik untuk membatik setiap sepulang sekolah demi mencari uang saku tambahan. Lalu Ibu Suwarti menceritakan bagaimana ia bertahan terus membatik hingga saat ini. Setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar, biasanya anak perempuan zaman dahulu di desa Bakaran tidak diizinkan untuk melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Karena tidak ada pilihan lain, ibu Suwarti akhirnya memilih profesi membatik mengikuti ibunya. Masih diusia yang sangat belia, beliau dinikahkan dengan tetangganya sendiri. Setelah menikah, beliau tetap melanjutkan profesinya, menjadi seorang perajin batik untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Di waktu itu, gaji perajin batik jauh dari kata ideal dan cukup. Seharian berlelah mengerjakan selembar kain batik, rata-rata perajin batik hanya mengantongi uang Rp 10.000-15.000 saja. Seiring berjalannya waktu, bahkan hingga saat ini, upah yang didapatkan seorang pembatik belumlah ideal tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung. Bu Suwarti lalu membandingkan gajinya saat ini, yang ia sebut lebih baik, dikisaran Rp 20.000-40.000 rupiah per hari, fluktuatif tergantung pesanan. Pun dengan datangnya pandemi, permintaan konsumen pada batik Bakaran menurun. Hal ini juga tentu saja berdampak pada pendapatan perajin batik yang juga ikut menurun. Ia mengaku, dengan tuntutan ekonomi yang semakin tidak mudah, upah hariannya kadang tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Tetapi, ia memilih bertahan karena pendidikan beliau yang hanya lulusan sekolah dasar. Ia hanya berharap anak keturunannya lebih sejahtera dibanding beliau, dan memiliki pekerjaan layak.