Anda di halaman 1dari 3

Batik Tulis Bakaran

Batik bakaran adalah batik tulis pesisir yang terdapat di desa Bakaran Kulon
dan Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Meskipun
batik bakaran merupakan batik pesisir, tetapi motif dan pewarnaanya cenderung lebih
mirip dengan batik keraton dibanding batik pesisir pada umumnya yang memiliki motif
yang tidak rapat dan memakai warna cerah. Batik tulis yang menjadi salah satu batik
tertua di Indonesia ini memiliki dominasi warna gelap dikarenakan sejarah batik batik
bakaran itu sendiri yang diajarkan oleh seorang wanita yang berasal dari kerajaan
majapahit.
Sejarah batik bakaran bermula ketika seorang wanita keturunan kerajaan
Majapahit bernama Nyai Sabirah bersama dengan beberapa saudara laki-lakinya
berkelana untuk bersembunyi dari kejaran Kerajaan Demak karena tidak ingin
memeluk agama Islam. Setelah jauh berkelana menuju ke arah utara, sampailah Nyai
Sabirah di suatu tempat yang dipenuhi rawa-rawa dengan banyak tumbuhan Druju. Ia
dan saudara laki-lakinya kemudian bahu membahu untuk membuka wilayah
pemukiman di daerah rawa bakau pesisir pantai tersebut.
Sang kakak yang bernama Ki Dukut membuka lahan pemukiman dengan cara
membabat daerah rawa-rawa menggunakan sabit. Tetapi, karena kecerdasan dan
tenaga wanita yang tidak sekuat pria, Nyai Sabirah berinisiatif untuk membakar rawa-
rawa tersebut lalu membuat kesepakatan dengan saudara laki-lakinya dengan
membagi wilayah berdasarkan cara membuka lahan tersebut. Tanah rawa hasil
pembakaran akan menjadi wilayah pemukiman milik Nyai Sabirah, sedangkan wilayah
lain akan menjadi wilayah pemukiman saudaranya.
Alhasil, dalam sekejap api menghanguskan tanaman rawa itu dan menyisakan
wilayah yang cukup luas dibading saudaranya yang lain. Setelah menjadi pemukiman,
datanglah banyak orang yang ingin ikut bermukim bersama Nyai Sabirah. Daerah ini
akhirnya dikenal dengan nama Desa Bakaran.
Setelah membangun wilayah pemukiman, Nyai Sabirah kemudian mengajak
masyarakatnya yang semakin banyak untuk bekerja. Ia mengajari kaum lelaki
mengolah tanah untuk beternak ikan dan menanam padi, juga mengajari kaum wanita
untuk membuat kain batik. Batik yang ia ajarkan menjadi awal mula adanya kerajinan
batik tulis di Desa Bakaran.
Banyak motif yang diajarkan diadaptasi dari batik motif keraton, seperti motif
hujan liris yang kemudian dikenal menjadi batik liris, batik sidomukti, batik sidoluhur,
batik parang yang dikenal dengan batik ladrang, dan batik limaran. Selain motif
tersebut Nyai Sabirah juga menciptakan motif batik sendiri, seperti batik gandrung,
batik ungker dan batik blebak yang motifnya dihasilkan dari peremasan lilin malam
yang dioleskan di permukaan kain. Kain itu kemudian dicelup dengan zat pewarna
alam seperti indigo dan soga.
Batik di desa Bakaran tidak hanya memiliki motif yang beragam. Tetapi, dalam
tiap motifnya memiliki fungsi dan nilai filosofis tersendiri. Batik motif sidoluhur,
sidomukti dan sidoasih yang berarti kesejahteraan dan kemuliaan biasa dikenakan
dalam acara pernikahan. Motif kawung, ungker, rawan biasa digunakan sebagai
selendang untuk menggendong bayi. Ada juga motif udang atau burung dasaran
rawan, ladrang maupun padas gempal yang biasa diberikan saudara ketika
mengunjungi seorang lelaki yang melaksanakan prosesi khitanan.
Dalam perkembangannya, batik bakaran juga banyak mengadaptasi motif yang
berasal dari hewan dan tumbuhan pesisir yang tumbuh disekitar. Motif-motif tersebut
diantaranya adalah motif udang, motif ikan bandeng, motif kerang laut, dan motif
burung prenjak. Budaya membatik ini kemudian diajarkan dari generasi ke generasi
hingga menjadi batik yang khas dan memiliki keunikan tersendiri.
Seiring dengan perkembangan zaman, motif dan warna dari batik bakaran juga
semakin beragam. Dengan tidak meninggalkan motif dan warna-warna dari batik
bakaran klasik yang diajarkan oleh Nyai Sabirah, para pembatik berkreasi untuk
menciptakan motif kontemporer yang dekat dengan kehidupan manusia modern
ditambah dengan penggunaan warna-warna cerah seperti warna merah muda,
kuning, hijau, dan warna lainnya.
Kini, baik desa Bakaran Kulon maupun desa Bakaran Wetan telah dikenal
menjadi daerah sentra pembuatan batik tulis pesisir yang cukup dikenal di Jawa
Tengah. Hal itu tidak terlepas dari ketekunan dan keteguhan penduduknya untuk terus
melestarikan batik bakaran.
Bagi saya, batik bakaran bukanlah sekedar selembar kain. Batik bakaran
sangat erat dengan kehidupan masa kecil saya yang lahir dan tumbuh di desa
Bakaran Kulon. Meski keluarga saya bukanlah pembatik, tetapi membatik bukanlah
hal yang sulit bagi saya karena lingkungan tempat tinggal saya yang berdekatan
dengan puluhan pengrajin batik. Batik bakaran adalah cerminan budaya yang luhur,
visualisasi karya dari kesabaran dan ketekunan.
Batik, juga seolah menjadi nafas karena memberi penghidupan bagi sebagian
besar wanita pembatik yang ada di desa Bakaran. Sebagai mahasiswi jurusan Kriya
Tekstil dan Mode saya memiliki harapan untuk turut serta dalam melestarikan warisan
budaya artefak nenek moyang yang berupa batik tulis. Saya ingin mengembangkan
desa wisata batik di Desa Bakaran Kulon agar batik tulis bakaran terus lestari dan
dikenal oleh masyarakat luas.
Daftar Pustaka :
Astuti, Soekma Y. 2010. Batik Bakaran Antara Tradisi dan Kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai