Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS PRODUK TAS TANGAN PESTA DENGAN TEKNIK UKIR PERAK

BERDASARKAN ASPEK-ASPEK KARYA KRIYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Genap


Mata Kuliah Tinjauan Kriya

Disusun Oleh :
FITRI NAWANG SARI
1605194088

PRODI KRIYA TEKSTIL DAN FASHION


TELKOM UNIVERSITY
2021
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
keragaman flora dan fauna di dalamnya. Hal ini juga menjadikan Indonesia memiliki
keragaman budaya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Keragaman budaya
yang ada di Indonesia bahkan telah diakui oleh masyarakat dunia karena keunikan
dan kekhasannya yang tidak dapat ditemukan di belahan bumi lainnya. Kekhasan
kebudayaan tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia telah memiliki peradaban
yang maju sejak masa lampau. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan telah adanya
peradaban maju nan megah seperti kerajaan Kutai Kartanegara, Sriwijaya, dan
Kerajaan Majapahit yang luas wilayah Nusantara membentang dari ujung barat pulau
Sumatra hingga ke Ujung timur yaitu Papua ditambah wilayah Malaysia dan
Temasek.
Telah adanya peradaban yang maju sejak masa lampau juga menjadikan
bangsa Indonesia sejak lama menciptakan berbagai karya kriya yang tidak hanya
mengedepankan nilai fungsional, tetapi juga mengandung nilai seni yang tinggi,
bahkan dapat dikatakan karya kriya yang dibuat mengandung nilai adiluhung karena
keindahan dan kemahiran penguasaan teknik pengolahan kriya yang dimiliki oleh
kriyawannya.
Salah satu contoh produk budaya masa lampau yang masih menunjukkan
eksistensinya di era industry 4.0 saat ini adalah sentra pembuatan kerajinan perak
yang ada di Kotagede, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah keahlian pengolahan perak Kotagede telah ada sejak Kerajaan Mataram
Islam. Soekiman (dalam A. Daliman, 2002 : 172) menjelaskan bahwa tumbuhnya
kerajinan perak, juga emas, dan tembaga adalah Bersama-sama dengan tumbuhnya
kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede sebagai ibukota kerajaan
(kuthagara) pada abad 16 dan 17, bahkan ada indikasi sejak awal lagi. Yaitu sekitar
abad ke-9. Lebih lanjut, Sagimun MD dan Abu (dalam A. Daliman 2002 : 172)
memaparkan seni kerajinan tersebut pada masa itu merupakan pekerjaan pada abdi
dalem (pegawai kraton) yang disebut abdi dalem kriya dalam memenuhi perlengkapan
dan kebutuhan kraton akan berbagai perhiasan dan emas dan perak dan alat-alat
serta perlengkapan rumah tangga lain. Para abdi dalem kriya tersebut tinggal
mengelompok pada suatu perkampungan yang memperoleh nama sesuai dengan
jenis kerajinan yang mereka kerjakan, yang toponimnya hingga kini masih mudah
diidentifikasi di sekitar Kotagede. Perkampungan bagi para abdi dalem perajin emas
(dan perak) disebut Kemasan, bagi perajin alat-alat dan besi disebut Pandean, bagi
perajin keris Mranggi atau Mranggen atau sekarang menjadi Prenggan, dan Bathikan
bagi perajin batik.
Sejarah panjang keahlian mengolah perak menjadikan wilayah Kotagede
pantas menyandang identitas sebagai sentra industri perak karena hingga saat ini
perak masih menjadi penggerak utama roda perekonomian Kotagede. Salah satunya
industri kerajinan perak terbesar di Kotagede yang masih menjalankan usahanya
adalah Salim Silver milik Priyo Salim.
Salim Silver, dibawah nama Priyo Salim telah membuktikan eksistensinya
hingga saat ini meskipun industri perak mengalami pasang surut dampak dari
berbagai peristiwa dunia yang turut mengguncang perekonomian. Yang menjadikan
Salim Silver bisa bertahan, bahkan menjadi rumah produksi perak yang cukup
terkenal di Kotagede adalah kekhasan dan keteguhannya dalam melestarikan teknik
tatah ukir perak disamping tetap mengembangkan teknik filigri yaitu teknik mengolah
perak menjadi gulungan dari benang-benang perak yang kini sedang tren dikalangan
kriyawan perak. Selain keunikan teknik yang masih dipertahankan, Salim Silver juga
konsisten mempertahankan kekhasan ornamen yang bernafaskan kebudayaan Jawa
dan Nusantara.
Salah satu kerajinan perak karya Priyo Salim dari Salim Silver adalah karya
berupa tas tangan pesta (minaudiere) berikut.

Sumber gambar : Instagram.com/priyosalim


Tas tangan tersebut menurut saya menjadi sangat menarik, unik dan otentik
karena dibuat dengan cermat dan memperhatikan tiap aspek pengkriyaan yaitu
craftmanship, adiluhung, mengandung nilai kearifan lokal, dan memiliki kekhasan
material. Lebih lanjut, pengertian craftmanship, adiluhung, kearifan lokal dan
kekhasan material dalam kriya dan kaitanya dengan produk tas tangan diatas yaitu
yang pertama, craftmanship. Menurut WJS Purwadarmita (dalam Rispul, 2012 : 95)
Dalam seni kriya dikenal adanya craftmanship, yakni kemampuan ketrampilan tangan,
pengalaman teknik, dan estetis semakin dapat memperluas khasanah berkreasi pada
diri kriyawan juga berpengaruh terhadap tingkat kesempurnaan karya, yakni tercipta
sebuah karya kriya yang ngrawit, ngremit, werit, jlimet dan sophisticated.
Jika dikaitkan dengan karya tas tangan diatas, maka karya kriya tersebut
memiliki nilai craftmanship yang baik karena kriyawan yang dalam dan hal ini Priyo
Salim memiliki ketrampilan tangan dan penguasaan teknik yang mumpuni didukung
dengan kepekaan indera dalam mencai inspirasi yang kemudian menuangkannya
dalam bentuk visual dengan baik sehingga dapat mengolah perak menggunakan
teknik tatah ukir dengan baik sehingga karya yang dihasilkan terlihat ngrawit, ngremit
dan jlimet.
Selanjutnya adalah adiluhung. Menurut KBBI, adiluhung diartikan sebagai
sesuatu yang tinggi mutunya. Sehingga jika disandingkan dengan produk kriya, maka
kriya adiluhung adalah kriya yang memiliki kualitas, mutu, dan citarasa seni yang
tinggi. Seni kriya dapat dikatakan adiluhung jika proses pembuatannya
memperhatikan aspek craftmenship yakni kemampuan dalam penguasaan teknik
yang baik dalam pengolahan material sehingga dihasilkan karya yang detail, ngrawit,
ngremit, dan jlimet. Selanjutnya untuk disebut kriya adiluhung sebuah karya kriya juga
hendaknya memiliki nilai-nilai filosofis berdasarkan nilai-nilai budaya yang ada.
Aspek kriya selanjutnya adalah kearifan lokal. Rahyono (dalam U. Fajariani,
2014 : 124) menjelaskan kearifan lokal adalah kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompokk etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal disini yaitu hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka
dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain.
Ditinjau dari pengertian diatas, maka tas tangan diatas mengandung nilai
kearifan lokal karena keahlian pengolahan perak dengan teknik tatah ukir hanya
ditemukan di daerah Kotagede dan tidak terdapat di daerah lainnya.
Yang terakhir adalah kekhasan material. Setiap individu memiliki keunikan
dalam cara pandang, inspirasi dan kecerdasan yang berbeda-beda tergantung pada
lingkup ruang dan waktu yang dialami oleh individu tersebut. Individu yang mendiami
suatu tempat dengan kekhasan wilayah tersebut seiring berjalannya waktu akan
memiliki keahlian tertentu dalam mengolah material khas yang terdapat di wilayah
tersebut. Hal ini melahirkan keberagaman individu dalam menjalani kehidupannya.
Termasuk pula dalam berkarya seni kriya. Sebagai contoh, daerah Kasongan, Bantul,
Yogyakarta telah dikenal lama sebagai daerah penghasil gerabah, karena
masyarakatnya dikenal sejak lama terampil dalam mengolah tanah liat menjadi
gerabah. Contoh yang lain yaitu, di daerah Suryowijayan, Mantrinjeron, Kota
Yogyakarta yang telah dikenal lama sebagai sentra batik khas Yogyakarta karena
keahlian masyarakatnya dalam menghias selembar kain menggunakan teknik
merintang menggunakan malam (membatik). Hal ini, juga yang terdapat pada daerah
Kotagede, yang masyarakatnya dengan berjalannya waktu dikenal ahli dalam
mengolah perak menjadi perhiasan menggunakan teknik tatah ukir.
Daftar Pustaka

Daliman. (2014) Peran Industri Seni Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta
Sebagai Pendukung Pariwisata Budaya, Humaniora Vol XII, hal 172
Rispul (2012), Seni Kriya : Antara Tekhnik dan Ekspresi, CORAK Jurnal Seni Kriya
Vol. 1 no. 1, Hal 95
Arti Kata-Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), [online],
(https://kbbi.web.id/adiluhung, diakses tanggal 15 April 2021 jam 12.44)
U. Fajariani (2014) Peran Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter, Sosio
Didaktika, vol. 1, hal. 124

Anda mungkin juga menyukai