Anda di halaman 1dari 10

Sejarah batik bakaran

Wilayah Desa Bakaran Wetan merupakan daerah pesisir kabupaten Pati yang oleh penduduk
setempat dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman, ladang, sawah tadah hujan, tambak serta
sebagai tempat usaha lainnya termasuk pembuatan barang seni yaitu batik. Keberadaan batik
bakaran ini tak lepas dari usaha Nyai Sabirah sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan
dan mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari
mereka membatik bagaimana cara memegangcanting (alat untuk membatik) cara meniup lubang
canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung
canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak
yang menekuni kerajinan batik, dan sampai saat ini-pun Bakaran merupakan sentral
kerajinan batik di wilayah Kabupaten Pati.
Nyai Sabirah juga sama seperti RA. Kartini, waktu itu beliau juga berkeinginan untuk
mengangkat derajat kaum wanita di Bakaran Wetan agar sederajat dengan kaum laki-laki. Cara
yang dilakukan Nyai Sabirah adalah mengajarakan wanita Bakaran Wetan untuk bertani dan
membatik dengan penuh rasa sabar karena beliau sadar pada dasarnya martabat wanita itu
sama
baik
dalam
hubungannya
manusia
dengan
Tuhan
Yang
Maha Esa dan begitu juga hubunganya dengan mahkluk sosial. Nyai Sabirah juga mengubah
pandangan masyarakat khususnya masyarakat Bakaran wetan bahwa wanita juga dapat
memimpin, juga dapat bekerja menghidupi keluarganya, tidak hanya lelaki saja yang dapat
memimpin dan bekerja.
Nyai Sabirah adalah keturunan dari kerajaan Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit terjadi
perang saudara, tiba-tiba pemberontak membakar kerajaan Majapahit selama tiga hari tiga
malam keadaan yang sudah kacau balau itu diperparah lagi dengan datangnya pasukan tentara
Demak di bawah pimpinan Raden Patah (1500-1518) sebenarnya Raden Patah ini bermaksud
baik ingin menumpas pemberontak di kerajaan Majapahit, akan tetapi kerajaan Majapahit
beranggapan
bahwa
Demak
memberontak
melawan
Majapahit.
Banyak keluarga Majapahit yang melarikan diri meninggalkan kerajaan untuk menyelamatkan
diri termasuk di dalamnya kakak beradik Ki Dukut dan adiknya Nimas Sabirah, perjalanan kakak
beradik itu sampailah ke suatu hutan belantara mereka berdua bergotong-royong membuka
lahan pertanian dan tempat tinggal dengan cara membabat hutan tersebut,di saat mereka
berdua bergotong-royong, sang adik meminta kepada kakaknya agar dia dibebaskan dari tugas
pembabatan hutan tersebut dengan alasan tugas itu berat bagi seorang perempuan, bahwa
tenaga laki-laki tentunya lebih kuat dan mampu membuka lahan yang banyak dibanding
perempuan.
Sang adik mempunyai usul kepada kakaknya "Kak...kamu adalah seorang laki-laki pasti
wilayahmu lebih luas dari aku, kata Nimas Sabirah kepada kakaknya "Aku punya usul begini
kak, supaya adil kalau seandainya aku mengumpulkan sedikit sampah dan membakarnya, nanti
di mana jatuhnya abu di situlah wilayah bagianku, bagaimana menurutmu kak?", lanjut Nimas
Sabirah kepada kakaknya. Kemudian kakak-nya menjawab "Sebagai kakak yang bijaksana aku
setuju
dengan
usulanmu".
Mulailah Nimas Sabirah mengumpulkan sampah yang kemudian membakarnya. Atas izin Sang
Pencipta tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan membawa abu sampah itu berterbangan ke
mana-mana sesuai perjanjian dengan sang kakak, maka di mana abu (langes) itu jatuh di situlah
wilayah sang adik. Pembabatan hutan itu mengundang perhatian masyarakat di sekitar hutan
untuk ikut bergabung. Mereka membantu membabat hutan untuk tempat tinggal dan membuka
usaha mereka banyak warga masyarakat yang ikut bergabung, semakin luas pula wilayah baru
tersebut, tidak lagi sebuah desa kecil, tetapi menjadi perkampungan baru yang sangat luas

dengan penduduk yang cukup banyak. Wilayah jatuhnya abu itu kemudian disebut Desa
Bakaran.
Nimas Sabirah di Desa Bakaran itu mengajak warga masyarakat untuk hidup rukun, gotongroyong dan saling tolong-menolong. Nyai Sabirah memberi contoh warga masyarakat untuk
mengolah lahan pertanian dengan baik dan beliau juga ikut bertani sebagaimana masyarakat
desa itu. Nimas Sabirah ingat akan pesan orang tua dan leluhurnya agar dia menjadi wanita
yang utama. Pengertian wanita yang utama menurut orang Jawa dimaksudkan bahwa seorang
wanita dituntut mempunyai keutamaan moral dalam menjalin hubunganya dengan Tuhan Yang
Maha Esa dan hubungannya sesama melalui segala aspek jasmani maupun rohani. Nimas
Sabirah beranggapan bahwa wanita mempunyai martabat sederajat dengan pria, baik dari segi
hubungannya dengan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Nimas Sabirah dengan kecerdasannya mengajak masyarakat untuk membangun suatu
bangunan tempat berkumpul sekaligus tempat pencerahaan jiwa. Bangunan itu terletak
disamping rumahnya. Masyarakat bergotong-royong membangun tempat itu dengan senang
hati. Bangunan itu bentuknya seperti masjid, menghadap ke timur mengarah ke kiblat, namun
bangunan itu tidak ada tempat untuk pengimaman (tempat memimpin sholat). Bangunan itu
terdiri dari ruang utama atau ruang dalam dan serambi. Orang memberi nama atau
menyebutnya bangunan Sigit (Isine Wong Anggit) bangunan Sigit ini digunakan oleh Nyai
Sabirah sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Bakaran Wetan ketika Nyai Sabirah panen
beliau mengumpulkan warganya untuk makan bersama dan malamnya menonton pertunjukan
wayang.
Bangunan Sigit itu sampai saat ini masih terawat kokoh dan bahkan pernah direnovasi warga
Bakaran tahun 1923. Tulisan yang tertera pada pintu utama sigit tertulis dengan jelas 15
September 1923. Serambi sigit pernah direnovasi generasi penerusnya dan dalam blandar
(kayu) tertulis 10 November 1949. Pada kayu punden-pun pernah direnovasi dan tertulis dengan
jelas
15
Februari
1957.
Nimas Sabirah selain mendirikan bangunan sigit juga membangun sumur, yang dibagian atas
sumur itu dibangun dengan batu bata merah. Seperti kebiasaan wanita pedesaan lainnya Nimas
Sabirah juga melakukan aktivitas yang sama memasak, mandi dan mencuci. Sumur itu sampai
saat ini masih terawat dan konon air sumur itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai
macam penyakit dan tempat untuk membuktikan orang yang telah melakukan kesalahan dan
orang itu tidak mengakui kesalahanya.
Nyai Sabirah walaupun seorang wanita, beliau mempunyai piaraan yang sangat unik yaitu ayam
jantan. Ayam jantan Nyai Sabirah selalu berkokok setiap paginya untuk membangunkan warga
masyarakat untuk segera bangun dan mencari nafkah. Ayam jantan itu di beri nama Jago
Tunggul Wulung dan ayam jantan piaraan Nyai Sabirah ini tidak terkalahkan apabila
ditandingkan
dan
yang
bertugas
merawatnya
adalah
Bagus
Kajieneman.
Kelembutan serta kasih sayang dan kedermawanan Nyai Sabirah menjadikan beliau dikenal
banyak orang. Banyak tamu-tamu berdatangan dari segala penjuru dan segala lapisan
masyarakat. Tamu-tamunya menyebutnya dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran (Orang Agung
di Bakaran). Setiap ada tamu dari luar wilayah yang datang selalu dimuliakan dan disambut
dengan senyuman. Nyai Sabirah melaksanakan ungkapan jawa bahwa Ulat sumeh agawe
renane wong akeh orang yang selalu tersenyum pasti membuat banyak orang bahagia. Setiap
tamu yang datang selalu diaruh, disuguh, direngkuh. Diaruh maksudnya setiap tamunya yang
datang disambut dengan kata-kata yangmenyejukan hati dan menyenangkan. Disuguh setiap
tamu yang datang selau diberi minuman dan makanan. Direngkuh setiap tamu yang datang
dianggap saudara.
Dalang Sapanyana dan Trunajaya Kusuma adalah anak asuh dari Nyai Sabirah yang membantu
beliau untuk menjamu para tamu, selain itu Nyai Sabirah juga mengajarkan membatik para
wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara

memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam,
cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah
digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan itu,
dan sebagai khasanah Batik Tradisional Indonesia.

http://batikdan.blogspot.co.id/2011/09/sejarah-batik-tulis-bakaran.html

6th January 2012 | Ingwuri Handayani


Majalah Srinthil
Mbah Asrep sudah berusia 55 tahun. Tetapi, meski sudah lewat setengah abad,
matanya masih awas menelusuri garis-garis yang ia bubuhi malam dengan canting.
Mbah Asrep bahkan mengatakan bahwa kini ia merasa lebih sehat dan baru saja pulang
dari Lampung tempat anaknya menetap. Nenek dengan dua cucu itu, sebelumnya,
pernah berhenti dari membatik sejak suaminya meninggal. Tetapi, penyakit darah tinggi
justru menderanya. Ia kemudian berobat dengan terapi dan setelah penyakitnya
berkurang, ia pun membatik lagi.
Perempuan yang belajar nyanting secara ototidak itu pun kini bekerja seperti sedia kala.
Duduk dilantai berganjal bantal, di lantai yang dipenuhi malam, dan sesekali terkena
asap dari pekerja lainnya yang sedang memasukkan kain di kuali untuk menghilangkan
malam. Di sebelahnya, ibu-ibu juga sedang menggores malam dengan kuas yang lebih
lebar. Sementara di pojok, tiga orang sedang mengerjakan Lorot, mereka bergantian
memasukkan kain yang sudah dilumuri malam ke dalam kuali yang mendidih airnya.
Lorot fungsinya untuk menghilangkan malam.
Di dalam Griyo Batik Tulis Tjokro, di ruang tengah, terlibat Bu Tini Bukhari, yang biasa
dipanggil Bu Cokro (52) pemilik sekaligus istri penerus Batik Bakaran sedang sibuk
menyetrika. Meski sedang dipotret, tampak ia tak peduli dengan sambaran blitz. Ia terus
saja menyetrika batik-batik yang hampir selesai diproses itu. Sayangnya, ia tak mau
menceritakan sejarah batik Bakaran, ia merasa tak kompeten dan meminta
mewawancarai suaminya, Pak Bukhari, yang sayangnya sedang keluar kota.
Batik Bakaran sebenarnya ada sudah sejak dulu. Tetapi, waktu itu, batik hanya terbatas
untuk jarik saja sehingga pesanannya juga terbatas. Kini, seiring berubahnya mode,

batik berkembang tak sebatas untuk jarik, batik juga bisa dipakai untuk baju, bahkan, di
banyak institusi, sejak munculnya kesadaran untuk menjadikan batik sebagai ciri
bangsa, tiap hari jumat di banyak kantor menerapkan wajib batik.
Batik bakaran sendiri sudah sejak lima tahun lalu bangkit. Saat itu, pemerintah daerah
kabupaten Pati mewajibkan pegawainya memakai batik, yang membuat pesanan ke
Griya Tjokro Batik meningkat pesat. Kini, meski pemerintah Pati tak lagi memakainya,
pesanan rutin masih membanjiri Griya Tjokro.Batik .Hampir setiap hari, batik dikirim ke
Jakarta. Biasanya, untuk pesanan 400 buah, membutuhkan waktu 1,5 bulan.
Di Griya Tjokro Batik itu, total ada 12 pekerja. Meski begitu, Griya Tjokro masih
menampung batik hasil dari orang-orang Bakaran Wetan, setidaknya, sekitar 70 an ikut
menggantungkan hidupnya dari Griya Tjokro. Sejak dipasarkan di Internet, batik
Bakaran juga memiliki pangsa yang semakin meluas.
Batik Tjokro sendiri berdiri sejak 1979. Di Griya Tjokro Pak Bukhari yang biasanya
mendesign coraknya, kemudian Bu Cokro yang mewarnai. Pak Bukhari biasanya
membuat motif tiap hari dengan mendesign, menggambar langsung. Satu design juga
tak pasti untuk dipakai berapa karena tergantung pesanan Satu. Setelah jadi, biasanya
dikirimkan ke anaknya untuk dipasarkan di Internet.
Batik bakaran pernah tiarap di tahun 1998. Waktu itu, Krisis moneter membuat pengrajin
tidak bisa mengambil untung karena harga dasar dengan harga jual tak sesuai, banyak
pembatik yang banting stir mencari usaha lain. Pernah berhenti saat krismon.
Bayangkan, harga luar negeri naik, di kirim ke Indonesia, saya tidak terjangkau harga
jual sama pembelian pewarna. Tidak sesuai, kenang Bu Cokro. Ia kemudian les
menjahit. Selesai les, bu cokro kemudian menerina jahitan. Empat tahun kemudian,
setelah harga mulai stabil lagi, mereka pun melanjutkan membikin batik lagi. Setelah itu,
beberapa penghargaan menghampiri mereka. Di tahun 1994, ia mendapat penghargaan
dari Gubernur Jawa Tengah. Di tahun 2009, pernah mendapat penghargaan upakarti
dari Presiden RI.
Bu Tini juga menceritakan perjalanan batiknya. Mulanya, dulu ikut mertua yang sudah
sejak turun temurun membatik di Bakaran. Keluarga Bukhari sendiri adalah keturunan
kelima. Bu Tini sendiri, mulanya tidak mau diajari membatik, tetapi ia dimarahi
mertuanya, kata mertuanya, Pokoknya harus bisa, katanya menirukan. Ia pun diajari
sampai bisa, apalagi ia dididik dengan penuh kedisiplinan oleh mertuanya. Setelah
menikah, mereka masih satu rumah dengan mertua. Tujuh tahun kemudian, barulah
mereka membuat rumah. Setelah itu, ia meneruskan ajaran mertua, mulai membatik
kecil-kecilan, dengan modal yang pas-pasan.
Tahun 1985, Bu Cokro pernah sekolah pewarna di Jogja selama satu setengah bulan.
Saya sekolah di Jogja itu kan mendapat pewarna, saya mendapat pewarnaan dari
masyarakat sekitar. Jadi masyarakat yang membatik., saya yang warna, jadi, saya
mendapat upah warna, seumpama 10 ribu perlembar, obatnya habisnya 8000, untung
2000. Kalau beberapa lembar kan bisa untuk makan sehari-hari, paparnya.
Batik Bakaran memiliki motif gurat-gurat pecah seperti pada batik Wonogiren atau batik
tulis khas Wonogiri. Secara lebih rinci lagi, corak batik di bakaran wetan dan kulon juga
berbeda. di Bakaran Wetan cecekan dan garisnya lebih rajin dan dari remukannya

(background pecah) sudah beda. Karena itu, biasanya, setelah jadi, motifnya ditiru oleh
pembatik dari desa lain.
Untuk membuat batik, pertama-tama, kain mori diberi pola. Setelah itu, kain di-sawiti.
Selesai di-sawiti, kain kemudian ditembok atau di-blabari. Setelah di-blabari, dikasih
warna. Setelah pewarnaan, kain kemudian di-lorot. Dilorotfungsinya untuk
menghilangkan malam. Setelah itu, baru diseterika. Harganya bervariasi mulai dari 150
hingga 400 ribu berlembar. Harga tergantung dari jenis kain dan tentu saja batikannya,
kalau
motifnya
halus
dan
rumit,
biasanya
lebih
mahal.
Punden
Nyai
Ageng
Bagi masyarakat Bakaran kemahiran membatik tak lepas dari peran Nyai Ageng. Nyai
Ageng alias Siti Sabirah ini kabarnya adalah keluarga dari Majapahit. Ada yang
mengatakan, Nyai Ageng bernama asli Danowati. Kala itu, ketika Majapahit hendak
diserang pasukan dari kerajaan Demak, bersama kakaknya ia melarikan diri. Dalam
pelarian, sampailah mereka di Juwana. Di tempat itulah kemudian, mereka babat alas.
Selesai babat, Nyai Danowati kemudian membakar babatannya sehingga nama itu pun
kemudian
terkenal
dengan
bakaran.
Setelah Nyai Ageng moksa, ia masih membantu warga dengan memberi warna
(medelke) pada setiap kain mori yang ditaruh di sumurnya. Biasanya, setelah diletakkan
di sore hari, paginya, warna mori sudah berubah biru. Karena itu pula mungkin muncul
mitos, bahwa batik Bakaran itu, Cek rupane olo lah macem dinggo, kata Bu Tini.
Artinya, meski warnanya jelek sekalipun, tetap pantas untuk dipakai. Masyarakat sekitar
juga masih berziarah ke punden Nyai Sabirah terutama Kamis Kliwon atau saat malam
Jumat
Legi.
Petilasan Nyai Ageng berada di jalan Mangkudipuro, berada di samping persis
Kelurahan Bakaran Wetan. Punden Nyai Ageng juga bersebelahan dengan petilasan
dari ki Dalang Soponyono. Punden Nyai Ageng, berjarak sekitar dua kilometer dari alunalun Juwana. Suatu siang, saat Srinthil ke situ, tak ada satupun orang yang sedang
berziarah. Tiga penjual bunga di seberang jalan juga hanya duduk-duduk saja karena
sepinya. Di Punden Nyai Ageng, di depannya terdapat tempat seperti masjid tetapi tak
ada mihrabnya, kabarnya, tempat ini adalah untuk mengelabuhi pasukan Demak. Di
banding tempat keramat, punden Nyai Ageng tak menampakkan wajah angker. Di
siang hari, karena berada di pinggir jalan, ramai olah lalu lalang kendaraan.
Meskipun begitu, hingga kini masyarakat di sekitar Bakaran masih patuh atas apa yang
dititahkan Nyai Sabirah. Selain soal tradisi membatik yang masih bertahan, mereka juga
masih patuh untuk tak menjual nasi. Selain itu, masyarakat Bakaran juga masih ada
yang membawa bayinya ke sumur di punden nyai, memutari sumur dan melempar uang
ke dalamnya. Sementara, para pengantin juga diarak mengelilingi sumur sebanyak tujuh
kali. Masyarakat juga masih percaya bahwa untuk menyelesaikan masalah, mereka
bersumpah dengan meminum air sumur. bagi yang salah, mitosnya akan celaka.
Selain itu, orang yang mau berziarah juga tak ada yang berani
membawa ingkung (ayam) karena, Nyai ageng tak mau menerima ingkung dan bagi
siapa yang membawa ingkung ke situ, ingkungnya akan mentah lagi meski sudah
berkali-kali
dimasak.

Tiap tanggal 1 Muharram, saat pergantian klambu, di punden Nyai Ageng digelar
ketoprak. Tapi lakon yang dimainkan tak pernah mengangkat tema Nyai Ageng, karena
suatu ketika, ketika mementaskan ketoprak dengan lakon nyai ageng, kualat.
Sementara di bulan besar (Dzulhijjah), di Bakaran juga digelar Wayang. Ramainya
punden, biasanya sore ramainya sudah kelihatan. Calon bupati yang mau nyalon pun
banyak yang ke sana. Berdoa minta pangestu tetapi yang menang kan cuma satu.

http://tjokrobatikbakaran.blogspot.co.id/

ejarah Batik Bakaran


Selain kuningan Juwana juga mempunyai kerajinan Batik yaitu Batik Bakaran. Batik Bakaran
terpusat pada kedua desa yaitu Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon, masih termasuk Kecamatan
Juwana.
Jaraknya sekitar dua kilometer dari Kota Juwana menuju arah barat laut (Tayu). Dapat ditempuh
dengan naik angkutan ataupun bus mini atau yang ingin lebih santai bisa menggunakan becak
maupun andong.
Batik Bakaran, mungkin untuk beberapa atau sebagian orang masih asing dengan nama jenis batik
tersebut. Batik ini adalah jenis batik tulis asli buatan orang Desa Bakaran. Yang jelas bukan
merupakan batik cetak/sablon karena digarap langsung oleh para anggota warga asli desa bakaran
dengan menggunakan perlengkapan yang tergolong masih sederhana seperti kompor kecil dan
canthing untuk menjaga identitas dari karya seni ini.
Batik Bakaran ada sejak abad ke 14, pada jaman kerajaan Majapahit. Pada jaman itu ada seorang
penjaga benda-benda seni kerajaan Majapahit yang bernama Nyi Siti Sabirah atau Nyi Danowati,
yang datang ke Desa Bakaran Wetan karena melarikan diri mencari tempat persembunyian karena
dikejar-kejar oleh tentara Islam karena runtuhnya Kerajaan Majapahit oleh kekuasaan Islam di pulau
Jawa yaitu Demak.
Dalam persembunyian dan penyamaran di Desa Bakaran Wetan beliau membuat langgar tanpa
mighraf yang sampai sekarang disebut Sigit yang bertujuan untuk mengelabui tentara Islam bahwa
dia sudah memeluk agama Islam. Dalam persembunyiannya beliau mengajarkan keahliannya dalam
membatik kepada anak cucunya. sehingga turun menurun sampai sekarang.
Motif-motif Batik Bakaran dari Nyi Danowati yang masih berkembang hingga saat ini adalah motif
gandrung, gringsing, sekar baru, sido luhur, sido muktii, Liris, Manggar dan Kawung.
Dalam proses perkembangannya Batik Bakaran sudah mengalami transisi. Dari yang dulunya
pewarna batik menggunakan bahan pewarna alam, misal kayu terogan untuk menghasilkan warna
kuning, akar kudu untuk menghasilkan warna sawo matang, kulit pohon tingi untuk menghasilkan
warna coklat. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu penggunaan bahan alam sudah jarang
digunakan karena sulit dalam mencarinya, dan sebagai pengganti digunakan bahan-bahan dari kimia
untuk mempermudah proses pembuatan batik.
Batik Tulis Bakaran Kulon
Pada tahun 1977 Ibu YAHYU, sudah mulai belajar membatik dan kebiasaan itu dia dapat dari ibunya.
Sejak usia remaja ibu Yahyu sudah rajin bekerja membantu ibunya dalam membatik.
Sejak itulah dimulai usaha batik ibu Yahyu, dan semakin serius ketika setelah menikah. Semua
dilakukan demi kelangsungan hidup rumah tangganya.
Berbekal pengalaman yang didapat dari ibunya dalam membatik Ibu Yahyu mulai mengawali
usahanya. Dari usaha kerasnya tersebut akhirnya membuahkan hasil, sampai akhirnya Batik Bakaran
Yahyu mulai dikenal orang dan mulai banyak permintaannya. Sampai akhirnya memperkerjakan 5
orang dalam proses pembuatan batik.
Pada tahun 1988 usaha Ibu Yahyu semakin berkembang pesat, dan tentu saja banyak memberikan
manfaat bagi tetangga sekitarnya, karena rata-rata pekerjanya adalah ibu-ibu rumah tangga di

lingkungan sekitarnya. Semua kesuksesan itu karena mutu dan kualitas yang selalu terjaga dengan
baik sehingga Batik Bakaran Yahyu semakin terkenal.
Pasang surut serta pahit dan manis dalam usaha tentunya pernah dialami oleh semua pengusaha,
tidak terkecuali oleh Batik Bakaran Yahyu. Pada tahun 1997 ketika krisis melanda negara kita,
berdampak pada meningkatnya harga bahan baku, tapi semuanya tidak menyurutkan semangat Ibu
Yahyu untuk tetap memproduksi Batik Bakaran, meskipun dia akhirnya harus kelebihan stock. Beliau
sangat yakin "Badai pasti berlalu" dan setelah badai pasti akan ada terang. Dan memang terbukti,
pada tahun 2006 pemerintah memutuskan supaya semua PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk
mengenakan pakaian batik, dan tentu saja berakibat melonjaknya permintaan pasar.
Sampai saat ini Ibu Yahyu mempekerjakan sekitar 40 karyawan, dan bertekad untuk melestarikan
warisan leluhur khususnya Batik Bakaran.
Inovasi tentu saja selalu dilakukan tanpa meninggalkan motif yang lama. Motif-motif kontemporer
serta trend yang selalu berkembang di masyarakat tidak pernah luput dari perhatian Ibu Yahyu, dan
itu menjadikan Batik Bakaran Yahyu semakin banyak diminati.

http://batikyahyu.blogspot.co.id/p/tentang-batik.html

Motif batik tulis Bakaran bila dilihat dari segi warna mempunyai mempunyai ciri
tersendiri, yaitu warna yang mendominasi batik Bakaran adalah hitam dan coklat.
Unsur corak atau motifnya beraliran pada corak motif batik Tengahan dan batik
Pesisir. Aliran Tengahan, karena yang memperkenalkan batik tulis pada wilayah
Desa Bakaran adalah dari kalangan kerajaan Majapahit. Dan Jenis motif tengahan
ini diindikasikan pada corak batik Padas Gempal, Gringsing, Bregat Ireng, Sido
Mukti, Sido Rukun, Namtikar, Limanan, Blebak Kopik, Merak Ngigel, Nogo
Royo, Gandrung, Rawan,Truntum, Megel Ati, Liris, Blebak Duri, Kawung
Tanjung, Kopi Pecah, Manggaran, Kedele Kecer, Puspo Baskora, ungker Cantel,
blebak lung, dan beberapa motif tengahan yang lain.
Sedangkan beraliran batik tulis pesisir, karena secara geografis letak wilayah Desa
tersebut memang terdapat dipesisir pantai dan aliran pesisir ini diindikasikan pada
motif batik tulis, blebak Urang, dan loek Chan. Pada umumnya corak batik
Bakaran berbeda dengan corak batik daerah lain, baik dari segi gambar, ornamen
maupun warnanya. Pada setiap motif umumnya mempunyai makna yang sangat
filosofis.
Dari laman humas.patikab.go.id, keterampilan membatik tulis bakaran di Desa
Bakaran tak lepas dari buah didikan Nyi Banoewati, penjaga museum pusaka dan
pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Motif batik yang diajarkan Nyi Banoewati adalah motif batik Majapahit, misalnya,
sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran. Sedangkan motif khusus yang
diciptakan Nyi Baneowati sendiri yaitu motif gandrung. Motif itu terinspirasi dari
pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di Tiras Pandelikan.

Waktu itu Joko Pakuwon berhasil menemukan Nyi Banoewati. Kedatangan


Joko Pakuwon membuat Nyi Banoewati yang sedang membatik melonjak gembira.
Sehingga secara tidak sengaja tangan Nyi Banoewati mencoret kain batik dengan
canting berisi malam, yang memang saat itu aktifitasnya disibukkan dengan
membatik.
Coretan itu membentuk motif garis-garis pendek. Di sela-sela waktunya, Nyi
Banoewati menyempurnakan garis-garis itu menjadi motif garis silang yang
melambangkan kegandrungan atau kerinduan yang tidak terobati. Motif-motif khas
itu perlu mendapat perlakuan khusus dalam pewarnaan. Pewarnanya pun harus
menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan
warna coklat, kayu tegoran warna kuning, dan akar kudu warna sawo matang.
Sayangnya, bahan-bahan pewarna itu sudah sulit ditemui. Waktu itu, batik bakaran
menjadi komoditas perdagangan antar pulau melalui Pelabuhan Juwana dan
menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana. Meskipun kesulitan bahan
pewarna, batik tulis bakaran banyak peminat. Saat ini warga Bakaran selain
melestarikan motif Nyi Banoewati, mereka juga mengembangkan aneka macam
motif kontemporer, antara lain motif pohon druju (juwana), gelombang cinta,
kedele kecer, jambu alas, dan blebak urang. Yang kemudian menjadi ciri khas batik
bakaran adalah motif retak atau remek-nya.
Ada beberapa proses, dan teknik dalam pembuatan batik bakaran, yakni mulai dari
nggirah, nyimplong, ngering, nerusi, nembok, medel, nyolet, mbironi, nyogo, dan
nglorod. Proses ini bertahap mulai tahap pertama sampai terakhir. Bila sudah
selesai maka corak batik sudah bisa dinikmati. Tahapan-tahapan tersebut
dikerjakan perajin secara manual tanpa ada alat-alat baru seperti cap, printing,
sablon dsb.
Dahulu para perajin sebelum proses pembatikan dimulai, mereka melakukan ritual
dulu. Ada yang puasa 3 hari, ada yang satu minggu, ada yang satu bulan ada yang
40 hari. Setelah melakukan puasa ini perajin melakukan pertapaan/ nyep dengan
tujuan mendapatkan inspirasi/ ilham, sehingga suatu ketika atau secara tiba-tiba
tidak tersadari mendapat gambaran/ bayangan motif batik yang akan dibuat.
Biasanya motif tersebut menggambarkan kondisi masyarakat yang ada dan
memberikan pesan moral pada masyarakat. Dan ada juga menunjukkan latar
belakang si perajin itu sendiri. Jadi setiap motif batik ada maksud dan tujuan yang
diharapkan pembatik. Atau ada pesan-pesan yang terkandung didalam motif
tersebut.
Sekarang ini batik bakaran sudah ada yang dipatenkan oleh Ditjen HAKI sebagi
motif batik milik pati. Terhitung semuanya berjumlah 17 motif yang terpatenkan.
Ke17 motif itu semuanya adalah motif klasik. Di antaranya adalah, motif blebak

kopik, rawan, liris, kopi pecah, truntum, gringsing, sidomukti, sidorukun, dan
limaran, dan lain sebagainya.
TITIS AYU
- See more at: http://www.murianews.com/2014/01/28/1114/riwayat-batikbakaran-juwana.html#sthash.MIaS4OBw.dpuf

Sumber batik bakaran

Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi


1997-1998
http://sksejarahui.blogspot.co.id/2014/12/krisis-perekonomian-indonesiadan.html
abdullah,taufik.Krisis masa kini dan orde baru .jakarta yayasan obor indonesia .
2003

Anda mungkin juga menyukai