Wilayah Desa Bakaran Wetan merupakan daerah pesisir kabupaten Pati yang oleh penduduk
setempat dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman, ladang, sawah tadah hujan, tambak serta
sebagai tempat usaha lainnya termasuk pembuatan barang seni yaitu batik. Keberadaan batik
bakaran ini tak lepas dari usaha Nyai Sabirah sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan
dan mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari
mereka membatik bagaimana cara memegangcanting (alat untuk membatik) cara meniup lubang
canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung
canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak
yang menekuni kerajinan batik, dan sampai saat ini-pun Bakaran merupakan sentral
kerajinan batik di wilayah Kabupaten Pati.
Nyai Sabirah juga sama seperti RA. Kartini, waktu itu beliau juga berkeinginan untuk
mengangkat derajat kaum wanita di Bakaran Wetan agar sederajat dengan kaum laki-laki. Cara
yang dilakukan Nyai Sabirah adalah mengajarakan wanita Bakaran Wetan untuk bertani dan
membatik dengan penuh rasa sabar karena beliau sadar pada dasarnya martabat wanita itu
sama
baik
dalam
hubungannya
manusia
dengan
Tuhan
Yang
Maha Esa dan begitu juga hubunganya dengan mahkluk sosial. Nyai Sabirah juga mengubah
pandangan masyarakat khususnya masyarakat Bakaran wetan bahwa wanita juga dapat
memimpin, juga dapat bekerja menghidupi keluarganya, tidak hanya lelaki saja yang dapat
memimpin dan bekerja.
Nyai Sabirah adalah keturunan dari kerajaan Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit terjadi
perang saudara, tiba-tiba pemberontak membakar kerajaan Majapahit selama tiga hari tiga
malam keadaan yang sudah kacau balau itu diperparah lagi dengan datangnya pasukan tentara
Demak di bawah pimpinan Raden Patah (1500-1518) sebenarnya Raden Patah ini bermaksud
baik ingin menumpas pemberontak di kerajaan Majapahit, akan tetapi kerajaan Majapahit
beranggapan
bahwa
Demak
memberontak
melawan
Majapahit.
Banyak keluarga Majapahit yang melarikan diri meninggalkan kerajaan untuk menyelamatkan
diri termasuk di dalamnya kakak beradik Ki Dukut dan adiknya Nimas Sabirah, perjalanan kakak
beradik itu sampailah ke suatu hutan belantara mereka berdua bergotong-royong membuka
lahan pertanian dan tempat tinggal dengan cara membabat hutan tersebut,di saat mereka
berdua bergotong-royong, sang adik meminta kepada kakaknya agar dia dibebaskan dari tugas
pembabatan hutan tersebut dengan alasan tugas itu berat bagi seorang perempuan, bahwa
tenaga laki-laki tentunya lebih kuat dan mampu membuka lahan yang banyak dibanding
perempuan.
Sang adik mempunyai usul kepada kakaknya "Kak...kamu adalah seorang laki-laki pasti
wilayahmu lebih luas dari aku, kata Nimas Sabirah kepada kakaknya "Aku punya usul begini
kak, supaya adil kalau seandainya aku mengumpulkan sedikit sampah dan membakarnya, nanti
di mana jatuhnya abu di situlah wilayah bagianku, bagaimana menurutmu kak?", lanjut Nimas
Sabirah kepada kakaknya. Kemudian kakak-nya menjawab "Sebagai kakak yang bijaksana aku
setuju
dengan
usulanmu".
Mulailah Nimas Sabirah mengumpulkan sampah yang kemudian membakarnya. Atas izin Sang
Pencipta tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan membawa abu sampah itu berterbangan ke
mana-mana sesuai perjanjian dengan sang kakak, maka di mana abu (langes) itu jatuh di situlah
wilayah sang adik. Pembabatan hutan itu mengundang perhatian masyarakat di sekitar hutan
untuk ikut bergabung. Mereka membantu membabat hutan untuk tempat tinggal dan membuka
usaha mereka banyak warga masyarakat yang ikut bergabung, semakin luas pula wilayah baru
tersebut, tidak lagi sebuah desa kecil, tetapi menjadi perkampungan baru yang sangat luas
dengan penduduk yang cukup banyak. Wilayah jatuhnya abu itu kemudian disebut Desa
Bakaran.
Nimas Sabirah di Desa Bakaran itu mengajak warga masyarakat untuk hidup rukun, gotongroyong dan saling tolong-menolong. Nyai Sabirah memberi contoh warga masyarakat untuk
mengolah lahan pertanian dengan baik dan beliau juga ikut bertani sebagaimana masyarakat
desa itu. Nimas Sabirah ingat akan pesan orang tua dan leluhurnya agar dia menjadi wanita
yang utama. Pengertian wanita yang utama menurut orang Jawa dimaksudkan bahwa seorang
wanita dituntut mempunyai keutamaan moral dalam menjalin hubunganya dengan Tuhan Yang
Maha Esa dan hubungannya sesama melalui segala aspek jasmani maupun rohani. Nimas
Sabirah beranggapan bahwa wanita mempunyai martabat sederajat dengan pria, baik dari segi
hubungannya dengan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Nimas Sabirah dengan kecerdasannya mengajak masyarakat untuk membangun suatu
bangunan tempat berkumpul sekaligus tempat pencerahaan jiwa. Bangunan itu terletak
disamping rumahnya. Masyarakat bergotong-royong membangun tempat itu dengan senang
hati. Bangunan itu bentuknya seperti masjid, menghadap ke timur mengarah ke kiblat, namun
bangunan itu tidak ada tempat untuk pengimaman (tempat memimpin sholat). Bangunan itu
terdiri dari ruang utama atau ruang dalam dan serambi. Orang memberi nama atau
menyebutnya bangunan Sigit (Isine Wong Anggit) bangunan Sigit ini digunakan oleh Nyai
Sabirah sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Bakaran Wetan ketika Nyai Sabirah panen
beliau mengumpulkan warganya untuk makan bersama dan malamnya menonton pertunjukan
wayang.
Bangunan Sigit itu sampai saat ini masih terawat kokoh dan bahkan pernah direnovasi warga
Bakaran tahun 1923. Tulisan yang tertera pada pintu utama sigit tertulis dengan jelas 15
September 1923. Serambi sigit pernah direnovasi generasi penerusnya dan dalam blandar
(kayu) tertulis 10 November 1949. Pada kayu punden-pun pernah direnovasi dan tertulis dengan
jelas
15
Februari
1957.
Nimas Sabirah selain mendirikan bangunan sigit juga membangun sumur, yang dibagian atas
sumur itu dibangun dengan batu bata merah. Seperti kebiasaan wanita pedesaan lainnya Nimas
Sabirah juga melakukan aktivitas yang sama memasak, mandi dan mencuci. Sumur itu sampai
saat ini masih terawat dan konon air sumur itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai
macam penyakit dan tempat untuk membuktikan orang yang telah melakukan kesalahan dan
orang itu tidak mengakui kesalahanya.
Nyai Sabirah walaupun seorang wanita, beliau mempunyai piaraan yang sangat unik yaitu ayam
jantan. Ayam jantan Nyai Sabirah selalu berkokok setiap paginya untuk membangunkan warga
masyarakat untuk segera bangun dan mencari nafkah. Ayam jantan itu di beri nama Jago
Tunggul Wulung dan ayam jantan piaraan Nyai Sabirah ini tidak terkalahkan apabila
ditandingkan
dan
yang
bertugas
merawatnya
adalah
Bagus
Kajieneman.
Kelembutan serta kasih sayang dan kedermawanan Nyai Sabirah menjadikan beliau dikenal
banyak orang. Banyak tamu-tamu berdatangan dari segala penjuru dan segala lapisan
masyarakat. Tamu-tamunya menyebutnya dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran (Orang Agung
di Bakaran). Setiap ada tamu dari luar wilayah yang datang selalu dimuliakan dan disambut
dengan senyuman. Nyai Sabirah melaksanakan ungkapan jawa bahwa Ulat sumeh agawe
renane wong akeh orang yang selalu tersenyum pasti membuat banyak orang bahagia. Setiap
tamu yang datang selalu diaruh, disuguh, direngkuh. Diaruh maksudnya setiap tamunya yang
datang disambut dengan kata-kata yangmenyejukan hati dan menyenangkan. Disuguh setiap
tamu yang datang selau diberi minuman dan makanan. Direngkuh setiap tamu yang datang
dianggap saudara.
Dalang Sapanyana dan Trunajaya Kusuma adalah anak asuh dari Nyai Sabirah yang membantu
beliau untuk menjamu para tamu, selain itu Nyai Sabirah juga mengajarkan membatik para
wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara
memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam,
cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah
digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan itu,
dan sebagai khasanah Batik Tradisional Indonesia.
http://batikdan.blogspot.co.id/2011/09/sejarah-batik-tulis-bakaran.html
batik berkembang tak sebatas untuk jarik, batik juga bisa dipakai untuk baju, bahkan, di
banyak institusi, sejak munculnya kesadaran untuk menjadikan batik sebagai ciri
bangsa, tiap hari jumat di banyak kantor menerapkan wajib batik.
Batik bakaran sendiri sudah sejak lima tahun lalu bangkit. Saat itu, pemerintah daerah
kabupaten Pati mewajibkan pegawainya memakai batik, yang membuat pesanan ke
Griya Tjokro Batik meningkat pesat. Kini, meski pemerintah Pati tak lagi memakainya,
pesanan rutin masih membanjiri Griya Tjokro.Batik .Hampir setiap hari, batik dikirim ke
Jakarta. Biasanya, untuk pesanan 400 buah, membutuhkan waktu 1,5 bulan.
Di Griya Tjokro Batik itu, total ada 12 pekerja. Meski begitu, Griya Tjokro masih
menampung batik hasil dari orang-orang Bakaran Wetan, setidaknya, sekitar 70 an ikut
menggantungkan hidupnya dari Griya Tjokro. Sejak dipasarkan di Internet, batik
Bakaran juga memiliki pangsa yang semakin meluas.
Batik Tjokro sendiri berdiri sejak 1979. Di Griya Tjokro Pak Bukhari yang biasanya
mendesign coraknya, kemudian Bu Cokro yang mewarnai. Pak Bukhari biasanya
membuat motif tiap hari dengan mendesign, menggambar langsung. Satu design juga
tak pasti untuk dipakai berapa karena tergantung pesanan Satu. Setelah jadi, biasanya
dikirimkan ke anaknya untuk dipasarkan di Internet.
Batik bakaran pernah tiarap di tahun 1998. Waktu itu, Krisis moneter membuat pengrajin
tidak bisa mengambil untung karena harga dasar dengan harga jual tak sesuai, banyak
pembatik yang banting stir mencari usaha lain. Pernah berhenti saat krismon.
Bayangkan, harga luar negeri naik, di kirim ke Indonesia, saya tidak terjangkau harga
jual sama pembelian pewarna. Tidak sesuai, kenang Bu Cokro. Ia kemudian les
menjahit. Selesai les, bu cokro kemudian menerina jahitan. Empat tahun kemudian,
setelah harga mulai stabil lagi, mereka pun melanjutkan membikin batik lagi. Setelah itu,
beberapa penghargaan menghampiri mereka. Di tahun 1994, ia mendapat penghargaan
dari Gubernur Jawa Tengah. Di tahun 2009, pernah mendapat penghargaan upakarti
dari Presiden RI.
Bu Tini juga menceritakan perjalanan batiknya. Mulanya, dulu ikut mertua yang sudah
sejak turun temurun membatik di Bakaran. Keluarga Bukhari sendiri adalah keturunan
kelima. Bu Tini sendiri, mulanya tidak mau diajari membatik, tetapi ia dimarahi
mertuanya, kata mertuanya, Pokoknya harus bisa, katanya menirukan. Ia pun diajari
sampai bisa, apalagi ia dididik dengan penuh kedisiplinan oleh mertuanya. Setelah
menikah, mereka masih satu rumah dengan mertua. Tujuh tahun kemudian, barulah
mereka membuat rumah. Setelah itu, ia meneruskan ajaran mertua, mulai membatik
kecil-kecilan, dengan modal yang pas-pasan.
Tahun 1985, Bu Cokro pernah sekolah pewarna di Jogja selama satu setengah bulan.
Saya sekolah di Jogja itu kan mendapat pewarna, saya mendapat pewarnaan dari
masyarakat sekitar. Jadi masyarakat yang membatik., saya yang warna, jadi, saya
mendapat upah warna, seumpama 10 ribu perlembar, obatnya habisnya 8000, untung
2000. Kalau beberapa lembar kan bisa untuk makan sehari-hari, paparnya.
Batik Bakaran memiliki motif gurat-gurat pecah seperti pada batik Wonogiren atau batik
tulis khas Wonogiri. Secara lebih rinci lagi, corak batik di bakaran wetan dan kulon juga
berbeda. di Bakaran Wetan cecekan dan garisnya lebih rajin dan dari remukannya
(background pecah) sudah beda. Karena itu, biasanya, setelah jadi, motifnya ditiru oleh
pembatik dari desa lain.
Untuk membuat batik, pertama-tama, kain mori diberi pola. Setelah itu, kain di-sawiti.
Selesai di-sawiti, kain kemudian ditembok atau di-blabari. Setelah di-blabari, dikasih
warna. Setelah pewarnaan, kain kemudian di-lorot. Dilorotfungsinya untuk
menghilangkan malam. Setelah itu, baru diseterika. Harganya bervariasi mulai dari 150
hingga 400 ribu berlembar. Harga tergantung dari jenis kain dan tentu saja batikannya,
kalau
motifnya
halus
dan
rumit,
biasanya
lebih
mahal.
Punden
Nyai
Ageng
Bagi masyarakat Bakaran kemahiran membatik tak lepas dari peran Nyai Ageng. Nyai
Ageng alias Siti Sabirah ini kabarnya adalah keluarga dari Majapahit. Ada yang
mengatakan, Nyai Ageng bernama asli Danowati. Kala itu, ketika Majapahit hendak
diserang pasukan dari kerajaan Demak, bersama kakaknya ia melarikan diri. Dalam
pelarian, sampailah mereka di Juwana. Di tempat itulah kemudian, mereka babat alas.
Selesai babat, Nyai Danowati kemudian membakar babatannya sehingga nama itu pun
kemudian
terkenal
dengan
bakaran.
Setelah Nyai Ageng moksa, ia masih membantu warga dengan memberi warna
(medelke) pada setiap kain mori yang ditaruh di sumurnya. Biasanya, setelah diletakkan
di sore hari, paginya, warna mori sudah berubah biru. Karena itu pula mungkin muncul
mitos, bahwa batik Bakaran itu, Cek rupane olo lah macem dinggo, kata Bu Tini.
Artinya, meski warnanya jelek sekalipun, tetap pantas untuk dipakai. Masyarakat sekitar
juga masih berziarah ke punden Nyai Sabirah terutama Kamis Kliwon atau saat malam
Jumat
Legi.
Petilasan Nyai Ageng berada di jalan Mangkudipuro, berada di samping persis
Kelurahan Bakaran Wetan. Punden Nyai Ageng juga bersebelahan dengan petilasan
dari ki Dalang Soponyono. Punden Nyai Ageng, berjarak sekitar dua kilometer dari alunalun Juwana. Suatu siang, saat Srinthil ke situ, tak ada satupun orang yang sedang
berziarah. Tiga penjual bunga di seberang jalan juga hanya duduk-duduk saja karena
sepinya. Di Punden Nyai Ageng, di depannya terdapat tempat seperti masjid tetapi tak
ada mihrabnya, kabarnya, tempat ini adalah untuk mengelabuhi pasukan Demak. Di
banding tempat keramat, punden Nyai Ageng tak menampakkan wajah angker. Di
siang hari, karena berada di pinggir jalan, ramai olah lalu lalang kendaraan.
Meskipun begitu, hingga kini masyarakat di sekitar Bakaran masih patuh atas apa yang
dititahkan Nyai Sabirah. Selain soal tradisi membatik yang masih bertahan, mereka juga
masih patuh untuk tak menjual nasi. Selain itu, masyarakat Bakaran juga masih ada
yang membawa bayinya ke sumur di punden nyai, memutari sumur dan melempar uang
ke dalamnya. Sementara, para pengantin juga diarak mengelilingi sumur sebanyak tujuh
kali. Masyarakat juga masih percaya bahwa untuk menyelesaikan masalah, mereka
bersumpah dengan meminum air sumur. bagi yang salah, mitosnya akan celaka.
Selain itu, orang yang mau berziarah juga tak ada yang berani
membawa ingkung (ayam) karena, Nyai ageng tak mau menerima ingkung dan bagi
siapa yang membawa ingkung ke situ, ingkungnya akan mentah lagi meski sudah
berkali-kali
dimasak.
Tiap tanggal 1 Muharram, saat pergantian klambu, di punden Nyai Ageng digelar
ketoprak. Tapi lakon yang dimainkan tak pernah mengangkat tema Nyai Ageng, karena
suatu ketika, ketika mementaskan ketoprak dengan lakon nyai ageng, kualat.
Sementara di bulan besar (Dzulhijjah), di Bakaran juga digelar Wayang. Ramainya
punden, biasanya sore ramainya sudah kelihatan. Calon bupati yang mau nyalon pun
banyak yang ke sana. Berdoa minta pangestu tetapi yang menang kan cuma satu.
http://tjokrobatikbakaran.blogspot.co.id/
lingkungan sekitarnya. Semua kesuksesan itu karena mutu dan kualitas yang selalu terjaga dengan
baik sehingga Batik Bakaran Yahyu semakin terkenal.
Pasang surut serta pahit dan manis dalam usaha tentunya pernah dialami oleh semua pengusaha,
tidak terkecuali oleh Batik Bakaran Yahyu. Pada tahun 1997 ketika krisis melanda negara kita,
berdampak pada meningkatnya harga bahan baku, tapi semuanya tidak menyurutkan semangat Ibu
Yahyu untuk tetap memproduksi Batik Bakaran, meskipun dia akhirnya harus kelebihan stock. Beliau
sangat yakin "Badai pasti berlalu" dan setelah badai pasti akan ada terang. Dan memang terbukti,
pada tahun 2006 pemerintah memutuskan supaya semua PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk
mengenakan pakaian batik, dan tentu saja berakibat melonjaknya permintaan pasar.
Sampai saat ini Ibu Yahyu mempekerjakan sekitar 40 karyawan, dan bertekad untuk melestarikan
warisan leluhur khususnya Batik Bakaran.
Inovasi tentu saja selalu dilakukan tanpa meninggalkan motif yang lama. Motif-motif kontemporer
serta trend yang selalu berkembang di masyarakat tidak pernah luput dari perhatian Ibu Yahyu, dan
itu menjadikan Batik Bakaran Yahyu semakin banyak diminati.
http://batikyahyu.blogspot.co.id/p/tentang-batik.html
Motif batik tulis Bakaran bila dilihat dari segi warna mempunyai mempunyai ciri
tersendiri, yaitu warna yang mendominasi batik Bakaran adalah hitam dan coklat.
Unsur corak atau motifnya beraliran pada corak motif batik Tengahan dan batik
Pesisir. Aliran Tengahan, karena yang memperkenalkan batik tulis pada wilayah
Desa Bakaran adalah dari kalangan kerajaan Majapahit. Dan Jenis motif tengahan
ini diindikasikan pada corak batik Padas Gempal, Gringsing, Bregat Ireng, Sido
Mukti, Sido Rukun, Namtikar, Limanan, Blebak Kopik, Merak Ngigel, Nogo
Royo, Gandrung, Rawan,Truntum, Megel Ati, Liris, Blebak Duri, Kawung
Tanjung, Kopi Pecah, Manggaran, Kedele Kecer, Puspo Baskora, ungker Cantel,
blebak lung, dan beberapa motif tengahan yang lain.
Sedangkan beraliran batik tulis pesisir, karena secara geografis letak wilayah Desa
tersebut memang terdapat dipesisir pantai dan aliran pesisir ini diindikasikan pada
motif batik tulis, blebak Urang, dan loek Chan. Pada umumnya corak batik
Bakaran berbeda dengan corak batik daerah lain, baik dari segi gambar, ornamen
maupun warnanya. Pada setiap motif umumnya mempunyai makna yang sangat
filosofis.
Dari laman humas.patikab.go.id, keterampilan membatik tulis bakaran di Desa
Bakaran tak lepas dari buah didikan Nyi Banoewati, penjaga museum pusaka dan
pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Motif batik yang diajarkan Nyi Banoewati adalah motif batik Majapahit, misalnya,
sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran. Sedangkan motif khusus yang
diciptakan Nyi Baneowati sendiri yaitu motif gandrung. Motif itu terinspirasi dari
pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di Tiras Pandelikan.
kopik, rawan, liris, kopi pecah, truntum, gringsing, sidomukti, sidorukun, dan
limaran, dan lain sebagainya.
TITIS AYU
- See more at: http://www.murianews.com/2014/01/28/1114/riwayat-batikbakaran-juwana.html#sthash.MIaS4OBw.dpuf