Anda di halaman 1dari 5

ABISATYA DAN ABIWARA

Nama : Bayu Baldana Akbar

Kelas : X IPA

Di tengah rimbunnya pepohonan dalam sebuah hutan lebat di sebelah timur


Pegunungan Raung, berdiri dengan kokoh sebuah Kerajaan yang dipimpin oleh Mas
Prabu Tawang Alun. Hiduplah dua kakak beradik yang namanya serupa tapi tak sama.
Yang sulung bernama Abisatya dan yang bungsu bernama Abiwara. Mereka hidup
rukun satu atap. Umur mereka tidak terlampau jauh. Hanya selisih dua tahun saja. Yang
membuat menarik ialah, pekerjaan mereka sama. Menjadi guru, tetapi bukan
sembarang guru. Mereka menjadi guru untuk anak-anak raja.

Hari demi hari mereka lalui seperti biasa, dengan rutinitas sebagai guru pada
umumnya, tetapi disini yang mereka ajar lebih istimewa. Berbeda seperti mengajar
murid pada umunya, mereka mengajar anak-anak raja harus penuh tanggung jawab dan
hati-hati. Salah sedikit saja bisa membawa pengaruh besar pada waktu yang akan
mendatang. Karena mereka adalah calon pemimpin sebuah kerajaan. Diharapkan akan
menjadi pemimipin yang adil, berwibawa dan bertanggung jawab.

Pada sebuah pertemuan, salah seorang muridnya bertanya kepada Abisatya


dengan nada yang sedikit serius.
“Guru, bagaimana untuk menjadi seorang pemimpin yang diharapkan
olehseluruh rakyatnya ?” tanyanya.

“Pertanyaan yang sangat bagus. Baiklah saya akan menjawabnya. Jadi, untuk
menjadi seorang pemimpin yang baik, harus memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya,
mengesampingkan kepentingan pribadi, menerima semua masukan atau aspirasi dan
tidak serta merta berlaku arogan kepada rakyat. Begitu muridku,” jawabnya. Setelah
menjawab pertanyaan muridnya, Abisatya mengakhiri pembelajaraan pagi hari itu
karena sudah waktunya istirahat.
Berbulan-bulan selanjutnya, kerajaan tersebut berduka karena Raja yang mereka
cintai telah tiada. Setelah kejadian itu, Kerajaan Macan Putih diperintah oleh putra
sulung Mas Prabu Tawang Alun. Kebiasaan raja muda ini sangat berbeda dengan
kebiasaan raja-raja sebelumnya. Beliau sering mabuk-mabukan, main perempuan,
minum tuak sepanjang hari. Membuat kacaunya pemerintahan Kerajaan Macan Putih.
Rakyat bingung. Melihat keadaan tersebut, Abisatya dan Abiwara merasa malu, sebab
gagal mendidik putra raja menjadi pemimipin negara yang layak. Akhirnya mereka
memutuskan untuk pergi dari Kerajaan Macan Putih

“Adikku, sebaiknya kita hidup mandiri saja. Karena jika kita bersama, hanya
sedikit orang yang akan menyerap ilmu kita. Bukankah akan lebih baik jika semakin
banyak orang yang berilmu di negeri ini,” ucap Abisatya.

Mendengar perkataan kakanya tersebut, Abiwara sedikit bimbang.

“Baiklah kak, mungkin dengan cara ini akan mendatangkan hal baik pada masa
mendatang,” jawab Abiwara dengan sedikit terpaksa. Akhirnya kakak beradik ini
sepakat untuk hidup mandiri.

Abisatya mengembara ke utara kemudian berbelok ke barat. Sampai di daerah


Cungking (saat ini) berhenti lalu menetap di situ. Ia tetap menjadi guru, tetapi bukan
guru yang istimewa lagi. Sekarang ia menjadi guru untuk rakyat jelata. Awalnya
muridnya hanya dua orang saja. Hal tersebut tidak membuat semangatnya surut.
Bahkan ia lebih bersemangat untuk mengajar. Lama-kelamaan muridnya berkembang
dan menjadi semakin banyak. Selanjutnya, ia menjadi sangat terkenal dan disegani di
masyarakat. Bukan di daerah Cungking saja, melainkan di daerah sekitar lainnya.

Disaat Abisatya berjalan-jalan santai di sekitar desa, salah seorang warga


menegurnya.

“Selamat sore pak, mampir kesini dulu pak minum kopi sambil makan gorengan,”
begitu katanya.

“Terima kasih pak, saya masih ada urusan di sana,” jawabnya tanpa
menghentikan langkahnya. Tak menjadi kejadian yang aneh lagi jika warga desa
mempersilahkan Abisatya singgah di rumahnya. Karena berkat pengaruh pendidikan
yang diberikannya, kehidupan masyarakat berubah. Kini rakyat Cungking hidup
makmur dan aman. Mereka berbahagia. Hanya dengan cara itu masyarakat membalas
kebaikan Abisatya.

Berbeda dengan kisah pengembaraan Abiwara. Ia bersama sahabat-sahabanya


pergi ke arah selatan kemudian ke timur. Pada suatu hari sampailah mereka di hutan
yang ditumbuhi lateng (jelatang).

“Sudah, di sini saja kita mendirikan gubug !” perintah Abiwara. Akhirnya mereka
mendirikan gubug di situ untuk sementara. Abiwara melihat bahwa tanah di situ sangat
subur.

“Bagaimana jika kita membuka pemukiman di hutan ini? Aku lihat tanah di sini
sangat subur,” kata Abiwara.

“Boleh juga, kita coba saja dahulu,” jawab salah seorang sahabatnya.

“Yasudah, mari kita babat hutan ini,” ajakan Abiwara. Setelah mempersiapkan
alat yang akan digunakan, mereka mulai membabat hutan itu. Baru saja mereka bekerja,
seluruh tubuh mereka gatal-gatal. Dengan peristiwa yang tidak terduga ini, Abiwara
mengurungkan niatnya untuk membuka pemukiman di situ.

“Sudah, jangan diteruskan membabat hutan ini! Aku sudah tidak tahan dengan
rasa gatal ini !” keluh Abiwara kepada sahabatnya.

Bahkan dia sempat berucap “Semoga kelak daerah ini bernama Lateng !”
ucapannya di kemudian hari terbukti. Setelah berpuluh-puluh tahun, daerah itu dihuni
orang. Mereka tau cara untuk mengatasi gatal yang disebabkan tumbuhan jelatang
tersebut. Untuk memenuhi keinginan Abiwara, berdasarkan pesan nenek moyangnya,
daerah itu disebut desa Lateng sampai sekarang.

Karena tidak mungkin tinggal di hutan lateng, Abiwara dan sahabat-sahabatnya


meneruskan ke arah timur lagi. Mereka membabat hutan di situ. Berhari hari mereka
bekerja membanting tulang.
“Lelah sekali aku. Apakah kalian tidak lelah?” tanya Abiwara.

“Sangat lelah kami. Mari istirahat sebentar. Jangan terlalu dipaksa, kita juga
butuh istirahat,” jawab sahabatnya dengan wajah yang lesuh.

Karena merasa lelah, mereka istirahat dengan cara gletekan (tiduran di lantai
beralas tikar). Karena tiupan angin yang begitu semilirnya, mereka tertidur pulas.
Mereka menikmati istirahat itu dengan mimpi-mimpi yang indah.

Ketika terbangun, mereka terkejut, karena hari telah senja. Untuk mensyukuri
kenikmatan sewaktu itu, Abiwara menandai daerah itu dengan nama glethekan. Karena
waktu terus bergulir, lama-kelaamaan kata glethekan berganti menjadi Gladhak. Sampai
saat ini nama itu tidak berubah.

Perjalanan Abiwara tidak sampai di situ. Ia dan para sahabatnya masih ingin
berjalan ke arah timur lagi. Dan sampailah mereka di suatu tempat yang mereka anggap
cocok untuk bermukim. Akhirnya mereka membuka pemukiman baru disana. Tidak
membutuhkan waktu lama untuk membuka pemukiman baru di situ. Berkat
pengalaman Abiwara dan para sahabatnya, mereka sangat cepat untuk membuka
pemukiman baru.

Hari demi hari mereka lalui. Persediaan air yang mereka bawa dari Gladhak
sudah habis. Abiwara kebingungan. Ia mencari cara untuk mendapatkan air bersih.

‘’Bagaimana ya untuk mendapatkan air bersih di sini?” gumam Abiwara.

Setelah berpikir keras, Abiwara mendapatkan suatu ide cemerlang. Ia meraut


bambu sampai runcing. Lalu menusuk-nusukkannya ke dalam tanah. Lama kelamaan
muncul air dari tanah tersebut. Mereka sangat bergembira dan bersyukur. Sekarang,
mereka tidak lagi kehausan.

Lahan baru pun siap dihuni. Abiwara dan sahabat-sahabatnya bisa tinggal disana
untuk beberapa taun ke depan. Untuk mengenang peristiwa yang pernah mereka alami,
daerah tersebut dinamai desa tusukan (berasal dari kata menusuk-nusuk).

Karena kegemaran Abiwara membuka lahan baru, beberapa tahun kemudian,


Abiwara dan para sahabatnya melanjutkan perjalanannya. Tentunya ke arah matahari
terbit, yaitu ke arah timur. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang dianggap cocok
untuk membuka lahan pertanian. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan agar kelak
keturunannya tidak hidup sengsara.

Tampak dari kejauhan, Abiwara melihat sebuah rumah mungil yang di depannya
terdapat genthong tempat menyimpan air. Didatanginya rumah itu oleh Abiwara
sendiri. Sesampainya di depan rumah mungil tersebut, Abiwara mengetuk pintu dengan
pelan.

“tokk . . . tok tok tokkkk . . . . .”


Seorang wanita cantik keluar dari balik pintu.

“Ya, ada perlu apa ya pak? Sepertinya saya tidak pernah bertemu dengan anda,”
kata perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.

“Iya, kamu benar. Aku memang bukan dari daerah sini. Aku berkelana menyusuri
negeri ini bersama para sahabatku. Tampak dari jauh, aku melihat genthong di depan
rumahmu, aku berniat untuk membelinya,” ujar Abiwara.

“Maaf tuan, genthong ini tidak akan pernah saya jual. Karena hanya ini yang saya
punya saat ini. Jika benda ini pindah dari tempatnya, saya pun akan selalu berada di
dekatnya,” jawabnya.

Mendengar penjelasan wanita tersebut, Abiwara mulai paham. Ia tahu bahwa


wanita tersebut seorang janda. Kebetulan sekali, dengan umur Abiwara yang sudah
cukup dewasa, ia berniat untuk menikahi janda tersebut. Atas persetujuan para
sahabatnya, pernikahan berlangsung dengan penuh kebahagian.

Setelah upacara pernikahan berlangsung, ia berjanji pada istri dan para


sahabatnya bahwa mulai saat itu ia berhenti untuk berkelana lagi. Di depan rumah
Abiwara, mereka berkumpul.

“Mulai saat ini, aku berjani untuk tidak berkelana lagi,” Abiwara membuka
percakapan. Sang istri menanggapinya dengan wajah yang bahagia.

“Benarkah perkataanmu tadi suamiku?” istrinya meyakinkan.

“Ya, benar istriku. Aku sekarang sudah berkeluarga. Aku mempunyai kewajiban
untuk menafkahimu. Hidupku sekarang tidak sebebas dahulu,” jelasnya.

Tepi hutan yang ditinggali Abiwara sekarang, belum mempunyai tanda. Oleh
karena itu, ia menanadai dengan nama Genthongan. Artinya, di tempat itulah ia
menemukan genthing dan pendamping hidupnya. Setelah menjadi desa yang ramai desa
tersebut berganti nama menjadi Ginthangan. Sampai sekarang desa tersebut masih bisa
kita temukan.

Begitulah kisah yang dilalui oleh kakak beradik tersebut. Banyak pesan tersirat
yang bisa kita teladani.

Anda mungkin juga menyukai