Anda di halaman 1dari 5

ASAL MULA DESA KARANG DAPO

Septi Wahyuni

Kala itu, ada serombongan orang dari Palembang—sebut saja Ikal, Lurus, dan Putih,
yang hendak berdagang dari Sungai Musi ke Sungai Rawas. Ketika sampai di Sungai Rawas,
perahu mereka terjebak di sungai sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Untungnya, di
tepi sungai tersebut ada dataran yang luas, sehingga mereka memutuskan untuk singgah dan
bermalam di dataran tersebut karena hari sudah petang.

“Kawan, perutku sudah keroncongan, lapar!” ucap Ikal sambil memegang perut.

“Aku pun sama, kita tidak bisa diam saja di sini.…” balas Putih dengan terus
memerhatikan sekitar.

“Bagaimana kalau kita memasak? Setidaknya bisa mengobati rasa lapar….” usul
Lurus.

“Ya, kau benar,” Putih sepakat dan bergegas mengambil peralatan memasak.

Mereka memasak bersama menggunakan keran dapur. Setelah selesai memasak,


mereka makan dengan sangat lahap meski dengan lauk seadanya. Waktu semakin larut, rasa
kantuk yang bersemayam tak dapat ditahan, mereka tidur dengan pulas.

Mentari sudah bersinar dengan gagah, burung-burung bercengkrama ria—saling


bersahutan. Keriuhan kicau burung pun hewan-hewan lainnya membangunkan Putih.

“Teman-teman, bangun! Hari sudah siang!” Putih menggoyang-goyangkan tubuh Ikal


dan Lurus.

“Haaaum, Kenapa di sini tidak ada orang yang mengumandangkan azan?” tanya Ikal.

“Entahlah, mungkin di sini tidak berpenghuni,” Putih berpraduga.

“Sudahlah, daripada kita membicarakan tentang desa yang tak tahu asal usulnya ini,
lebih baik kita lanjutkan berdagang ke Sungai Ilir,” tukas Lurus sambil merapikan alas
tidurnya.

“Ke Muara Rupit?” tanya Ikal.

“Tentu saja. Lebih baik kita lanjutkan berdagang ke Muara Rupit,” terang Lurus.
Mereka pun bersiap menuju ke Muara Rupit. Sesampainya di sana, mereka langsung
menjual dagangannya—menjajakkan dengan suara lantang dan penuh semangat, sehingga
orang-orang tertarik dan memburu dagangan mereka. Dengan kerja keras, dagangan mereka
pun habis terjual.

Lurus membersihkan tempat sekitar dagangannya, “Alhamdulillah, dagangan kita


sudah habis.”

“Ya, sudah habis. Dan kini perutku kembali lapar,” balas Ikal.

“Sekarang memang sudah waktunya makan, Kal,” ucap Lurus yang membuat Ikal
tersenyum girang.

“Jadi bagaimana? Memasak lagi?” tanya Ikal penuh semangat.

“Kau ini….” Putih menggelengkan kepala dan tersenyum tipis.

“Ah, bilang saja kalau kau juga lapar, ‘kan?” hardik Ikal kepada Putih.

“Hussst, sudahlah. Lebih baik kita masak bersama. Kalau perut kenyang, semua pasti
senang,” ucap Lurus sambil menatap kedua temannya.

Ikal dan Putih menganggukkan kepala, lalu menyiapkan peralatan yang akan
digunakan untuk memasak. Akan tetapi mereka tidak menemukan keran dapur.

“Di mana keran dapur kita? Apakah tertinggal di Sungai Rawas yang tak berpenghuni
itu?” tanya Ikal.

“Mungkin kau benar, keran dapur kita tertinggal di Sungai Rawas,” ujar Lurus sambil
mengerutkan dahi.

“Lalu bagaimana kita akan memasak?” sambung Ikal.

“Bagaimana kalau kita kembali ke Sungai Rawas?” usul Lurus kepada teman-
temannya.

Kedua temannya pun setuju untuk kembali ke Sungai Rawas. Setibanya di sana,
mereka pun langsung menemukan keran dapur yang tertinggal.

“Ikal, cepat kau ambil keran dapur itu,” ucap Putih.

“Jangan! Jangan kau ambil keran dapur itu!” tukas Lurus dengan raut muka datar.
“Kau ini kenapa? Kau tidak mengizinkan kami untuk mengambil keran dapur itu?
Kita sudah jauh-jauh datang ke mari.” Putih pun penasaran, padahal Lurus yang awalnya
mengajak ke mari untuk mengambil keran dapur.

“Karena aku berpikir, lebih baik kita tinggal di sini,” jawab Lurus.

“Apa kau sudah tidak waras? Ingat, desa ini tidak berpenghuni dan tak tahu asal
usulnya.” Putih semakin bingung dengan perkataan Lurus.

“Jika kita ingin mewarisi desa ini sebagai desa termakmur, maka kita harus menyuruh
anak cucu kita untuk tinggal di desa ini,” jelas Lurus.

“Yang benar saja,” Ikal masih belum paham.

“Hmmm, kau benar juga. Maafkan aku jika aku tak berpikir sejauh itu,” Putih
menatap Lurus dengan sendu, lalu menatap jauh di sekeliling tempat itu.

“Kawan, apakah kau tahu nama desa ini?” tanya Putih.

Ikal menggelengkan kepala, “Apakah kau hendak memberi nama desa ini?”

“Ya, aku sudah berpikir untuk memberi nama desa ini, Keran Dapur. Desa Keran
Dapur. Apakah kalian setuju?” ucap Putih.

“Aku sangat setuju dengan pendapatmu, bahkan aku sangat senang bila desa ini diberi
nama Desa Keran Dapur,” balas Ikal.

“Tapi maaf Kawan, aku kurang setuju apabila desa ini diberi nama Keran Dapur,”
ucap Lurus sambil menatap ke arah keran dapur.

“Kenapa kau tidak setuju? Keran dapur sangat berguna untuk kita, bahkan untuk
semua orang,” tanya Ikal.

“Apakah kau punya nama lain untuk desa ini?” sambung Putih.

“Aku lebih tertarik memberi nama desa ini Karang Dapo. Kalian setuju?” jawab
Lurus.

“Karang Dapo?” Ikal menggaruk-garuk kepalanya.

“Aku setuju, Kawan. Karang Dapo lebih anggun dan lebih cocok untuk nama desa
ini,” Putih pun tersenyum tulus.
“Lalu, kalau tinggal menetap di desa ini, bagaimana dengan anak istri kita?” Ikal
kembali bertanya.

“Jemput saja anak istri kita untuk tinggal di sini,” jawab Lurus.

“Ya—ya…” sahut Ikal dan Putih bersamaan, lalu mereka menatap ke atas. Berharap
keputusan ini menjadi awal yang lebih baik.

Sejak saat itu, desa tersebut bernama Karang Dapo; desa yang subur dan ramai
penduduk. Rumah-rumah sudah berjajar memadati desa itu. Dan bahkan, Karang Dapo sudah
berkembang menjadi kecamatan dari beberapa desa di sekitarnya, tepatnya di Kabupaten
Musi Rawas Utara. (*)

/Lubuklinggau, 15 Agustus 2021


SEPTI WAHYUNI, lahir di Sumbersari, September 1992.
Menulis sejak 2012. Kronik Prahara merupakan buku tunggal
yang yang telah diterbitkan pada tahun 2019. Karyanya pernah
dimuat di majalah No Backspace, Linggau Pos, dan buku
antologi bersama. Karyanya termaktub dalam buku Yang Muda
yang Berkarya, Cerita-Cerita Hari Ahad, Tuhan Tahu dan Tidak
Menunggu, Andai Aku Jadi Presiden, dan Sebuah Kisah tentang
Waktu. Surel: septihafidzah@gmail.com dan WhatsApp:
085269157277.

Anda mungkin juga menyukai