Anda di halaman 1dari 5

TENUN TROSO : NILAI BUDAYA DIBALIK SELEMBAR KAIN ETNIK

Fitri Nawang Sari


1605194088/KR-43-01B

A. Sejarah dan Latar Belakang Tenun Ikat Troso


Kain tenun ikat troso adalah kain tenun ikat yang berasal dari desa Troso,
Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara. Sekitar 15 km dari pusat kota Jepara.
Sejarah kain troso diyakini telah ada sejak agama Islam pertama kali masuk ke tanah
Jawa, atau di era Mataram Islam.
Pembuatan kain troso ini awal mulanya diprakarsai oleh Mbah Senu dan Nyi
Senu yang mengenakan kain ini ketika bertemu ulama besar yang menyebarkan
agama Islam di Troso bernama Mbah Datuk Gunardi Singorejo. Selanjutnya,
pembuatan kain troso ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sandang masyarakat
setempat.
awalnya, pembuatan kain troso hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang
pribadi. Tetapi lama-kelamaan kerajinan tenun ikat troso menjadi kerajinan yang
banyak diminati. Dari industri mikro yang bersifat rumahan kini tenun troso telah
berubah menjadi industri tenun yang bersifat menengah yang menyerap hingga
ratusan pengrajin yang tersebar di beberapa pabrik tenun di desa Troso.
Warna, corak maupun motif tenun troso tidak hanya memberikan tampilan
visual yang harmonis dan sedap dipandang tetapi juga mengandung nilai budaya yang
dalam. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Dewinta Clara Nugraheni (2017
: 9) Pada kategori motif tenun ikat tradisional Troso terdapat nilai budaya yang
terkandung dalam motif tenun ikat tradisional Troso. Nilai-nilai tersebut yakni nilai
budaya berdimensi vertikal yaitu nilai religi dan kepercayaan. Nilai budaya berdimensi
horisontal meliputi, nilai perasaaan dan kedamaian, nilai sosial, nilai tradisi, nilai yang
berorientasi dengan alam, serta nilai kesejahteraan.
Lebih lanjut, tiap motif dari tenun ikat troso juga memiliki makna filosofis yang
lebih spesifik seperti pada motif pucuk rebung yang mengandung nilai religi, blah
ketupat yang memiliki arti saling menyayangi dan memaafkan, sulur ringin yang berarti
memiliki umur panjang, maupun motif bunga mawar yang menjadi lambang kehidupan
religi dalam masyarakat.
Pertukaran arus informasi yang semakin cepat seiring perkembangan iptek
juga turut mengembangkan keberagamanan motif yang ada pada tenun troso. Tenun
troso mulai mengadaptasi motif-motif yang menyerupai tenun ikat dari timur seperti
ikat Bali, Lombok maupun Flores.
B. Material Tenun Ikat Troso

Dahulu, masyarakat desa troso menggunakan serat kapas yang dipintal menjadi
benang sebagai bahan baku pembuatan kain. Tetapi kini setelah adanya industri
penyedia benang, pengrajin tenun troso beralih pada benang hasil produksi pabrik.
Dari segi pewarnaan dahulu penduduk desa Troso menggunakan bahan-bahan alami
yang tumbuh disekitar wilayah tempat tinggal mereka. Pewarna alam tersebut antara
lain daun mangga, kulit kayu mahoni dan daun indigofera. Seiring perkembangan
jaman dan teknologi, produsen lebih memilih untuk lagi-lagi beralih pada bahan
pewarna sintetis buatan pabrik yang lebih praktis, murah dan kualitas warna yang
lebih tajam. Meskipun, hal ini tentu memiliki dampak yang kurang baik bagi
lingkungan.

C. Proses Pembuatan Tenun Ikat Troso

Meskipun dalam perjalanannya terjadi pergeseran pemilihan bahan baku, tetapi


dalam pembuatannya masih mempertahankan penggunakan alat tradisional berupa
alat tenun bukan mesin (ATBM). Sesuai dengan namanya, yaitu tenun ikat troso,
proses pembuatannya menggunakan teknik ikat (resist dyeing).
Pembuatan tenun ikat troso diawali dengan memintal benang untuk menjadi bakal
benang pakan dan lungsin. Bagian benang yang akan menjadi benang lungsin
disejajarkan dalam sebuah frame untuk diberi motif dasar dengan cara diikat.
Selanjutnya masuk ke tahap menter, yaitu tahap memberi warna. Benang yang telah
diberi ikatan-ikatan penanda motif kemudian dicelup untuk memberi warna dasar.
Selanjutnya benang diangin-anginkan agar kering. Setelah kering, dilanjutkan dengan
proses nyepul, yaitu benang digulung ke dalam sepuli. Proses ini membutuhkan
ketelitian yang tinggi agar benang tidak kusut. Kemudian, ada proses sekir untuk
menyusun benang yang telah berada dalam sepuli untuk disusun dalam bum.
Selanjutnya, sampai ke proses nyucuk, yaitu memindahkan bum yang telah terisi
benang lungsi pada ATBM yang kemudian diteruskan dengan mengaitkan helaian
benang pada sisir. Setelah itu, proses pembuatan tenun ikat troso belum berakhir.
Proses nyucuk kemudian dilanjutkan dengan proses plangkan untuk mencocokkan
motif yang telah dibuat sebelumnya agar membentuk motif yang padu. Selanjutnya
dilakukan penenunan untuk menyatukan benang pakan dan lungsi sehingga
membentuk lembaran kain.
Dalam perkembangannya, teknik pembuatan kain ikat troso juga mengalami
penambahan teknik untuk menambah keberagaman motifnya. Teknik-teknik baru
yang berkembang antara lain paduan ATBM dan teknik ikat celup, teknik dondom
untuk
menghasilkan motif jumputan yang serupa dengan motif sasirangan dari Kalimantan,
kombinasi sulam serta teknik tenun anyam yang menghasilkan motif rang-rang.
D. Manfaat, Fungsi dan Kegunaan Tenun Ikat Troso

Dahulu, penggunaan tenun ikat troso hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan
sandang juga sebagai sarana religi yang dalam ajaran agama Islam ditujukan untuk
menutup bagian tubuh yang dilarang (menutup aurat). Namun, kini penggunaan kain
troso lebih beragam karena tenun troso dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek
kehidupan. Selain sebagai pakaian, tenun troso juga dapat digunakan sebagain tekstil
pemanis interior seperti sarung bantal maupun gorden. Tenun ikat troso juga
dimanfaatkan dalam pembuatan apparel atau item fesyen selain baju seperti tas,
sepatu maupun topi.
BAB IV
KESIMPULAN
Kain tenun ikat troso adalah salah satu kain tenun yang memiliki keunikan
tersendiri di nusantara. Dilihat dari sudut pandang budaya, pembuatan tenun ikat troso
dapat dianggap sebagai warisan budaya tak benda yang sangat berharga dan
memiliki nilai-nilai luhur karena menunjukkan kebudayaan yang tinggi dari nenek
moyang kita. Sudah selayaknya kita bekerja sama untuk terus mempertahankan
keberadaan kerajinan ini agar tetap lestari dan dapat dinikmati oleh anak cucu.
Dibutuhkan adanya peran pemerintah yang berwenang juga untuk
memperhatikan lebih serius akan adanya potensi warisan budaya ini untuk
dikembangkan menjadi sentra wisata tradisional. Selain itu, perlu adanya sosialisasi
dari pemerintah tentang penggunaan pewarna tekstil dari bahan kimia agar
penggunaannya tepat dan tidak berlebihan. Hendaknya dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang penggunaan kembali pewarna alam ataupun pewarna dengan formula
baru yang berbasis teknologi agar warna yang dihasilkan lebih menarik tetapi ramah
bagi lingkungan.
Selanjutnya dari segi ekonomi, pengrajin tenun ikat troso juga membutuhkan
pendampingan modal dan pembiayaan produksi seperti pinjaman modal dengan
bunga rendah atau bantuan pemberian suntikan dana agar produksi tenun ikat troso
dapat bertahan melawan badai pandemic Covid-19 yang belum usai.
Dari sisi pengrajin, inovasi-inovasi baru juga dibutuhkan untuk bisa beradaptasi
dengan adanya pandemi seperti saat ini. Dari pengalihan presentase produksi yang
semula menjual lembaran kain, dapat diubah menjadi membuat masker tenun ikat,
perlengkapan ibadah pribadi seperti sajadah yang mudah dibawa, serta penggunaan
bahan material yang lebih ringan, tipis dan menyerap keringat seperti bahan rayon
agar tenun bisa digunakan di dalam rumah. Inovasi lain adalah dengan menjadikan
material kain tenun ikat troso menjadi pelengkap interior dan pelengkap kebutuhan
rumah tangga seperti sarung bantal, selimut maupun sprei yang tentu saja akan
memperindah ruangan dengan memberi kesan etnik yang unik dan eksotik.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Alamsyah, M. H. (2017). Kearifan Lokal Pada Industri Tenun Troso : Potret
Kewirausahaan Pada Masyarakat Desa. Semarang: CV. Madina.
Nanda, A. (2015, January 12). Cara Pembuatan Kain Tenun Troso Jepara.
Nugraheni, D. C. (2017). Nilai Budaya dalam Leksikon Tuturan Perajin Tenun Ikat
Tradisional Troso di Desa Troso Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Rahmadani, R. D. (n.d.). Keberadaan dan Perkembangan Tenun Troso Jepara.
Surakarta.
(Nanda, 2015)

Anda mungkin juga menyukai