Anda di halaman 1dari 12

BAHASA DAN MASYARAKAT BAHASA

Oleh
Kelompok 5
Alya Selsa Meyriska 1913041053
Muhammad Gary Ishak 2053041003

P.S. : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Mata Kuliah : Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : 1. Dr. Iing Sunarti, M.Pd.
2. Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam.
Atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “Bahasa dan Masyarakat
Bahasa” disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sosiolinguistik yang diampu oleh Ibu Dr. Iing Sunarti, M.Pd.dan Ibu Eka Sofia
Agustina, S.Pd., M.Pd.

Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota kelompok yang telah
berkontribusi dalam penulisan makalah ini sehingga dapat diserahkan tepat pada
waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran yang berlimpah.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
baik dari segi kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk kami jadikan
sebagai bahan evaluasi.

Demikian apa yang bisa kami sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari makalah ini.

Bandar Lampung, 23 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. .1


1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................... . 1

BAB II ISI ................................................................................................. 2

2.1. Pengertian Masyarakat Bahasa ..................................................... 2


2.2. Terbentuknya Masyarakat Bahasa ................................................ 4
2.3. Faktor-Faktor Sosiosituasional ................................ .................... 5
2.4. Ragam Bahasa Dalam Masyarakat ............................ .................. 5

Styles ..............................................................................................6

Slang ..............................................................................................6

Kolokial .........................................................................................6

Jargon, Argot, Chant, Register .....................................................6

BAB III PENUTUP .................................................................................. 8

3.1. Kesimpulan .................................................................................... 8


3.2. Saran .............................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 9

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu
empiris yang memiliki kaitan sangat erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah
mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial
yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Di dalam disiplin ilmu sosiolinguistik, bahasa dan
masyarakat merupakan salah satu pokok kajian yang sangat penting karena bahasa dan
masyarakat memiliki kaitan sangat erat. Bahasa dan masyarakat tidak bisa dipisahkan sebab
bahasa menunjukkan ciri khas sebuah masyarakat, sebaliknya masyarakat merupakan penutur
dari sebuah bahasa atau yang lazim kita kenal dengan istilah masyarakat tutur. Masyarakat
tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan
sekelompok orang yang memiliki norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk
bahasa.

Dalam kajian sosiolinguistik khususnya bahasa dan masyarakat dimana antara bahasa dengan
masyarakat memiliki kaitan sangat erat. Bahasa menunjukkan ciri khas suatu masyarakat,
sebaliknya masyarakat merupakan penutur dari sebuah bahasa. Bahasa juga berkaitan dengan
dialek karena dialek merupakan bagian dari variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Perbedaan dialek
di dalam sebuah bahasa ditentukan oleh letak geografis atau region kelompok pemakainya.
Dialek juga terbagi lagi, salah satunya adalah dialek sosial, yakni variasi bahasa yang
berkenaan dengan status sosial, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian masyarakat Bahasa?


2. Bagaimana terbentuknya masyarakat Bahasa?
3. Apa saja faktor-faktor sosiosituasional?
4. Apa saja ragam Bahasa dalam masyarakat?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui penggertian dari masyarakat Bahasa


2. Untuk mengetahui terbentuknya masyarakat Bahasa
3. Untuk mengetahui faktor-faktor sosiosituasional
4. Untuk mengetahui ragam Bahasa dalam masyarakat

1
BAB 2

ISI

2.1. Pengertian Masyarakat Bahasa

Definisi awal masyarakat Bahasa dikemukanan oleh Leonard Bloomfield (1933) yang menulis
masyarakat Bahasa sebagai: “Sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran
yang sama adalah masyarakat bahasa”. Definisi ini mencerminkan keyakinan bahwa
masyarakat bahasa berarti monolingual berada dalam satu bangsa, negara dan memiliki satu
bahasa yang sama (Morgan, 2014).

Corder (dikutip Aslinda & Syafyahya, 2007:8) mengatakan bahwa masyarakat bahasa adalah
sekelompok orang yang satu sama lain biasa saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Senada
dengan pendapat Firshman (dikutip Alwasilah, 1985:42) masyarakat bahasa adalah masyarakat
yang semua anggotanya memilih bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma
untuk pemakainya yang cocok. (Wardhaugh & Fuller, 2015) Salah satu definisi yang mungkin
dari masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang berinteraksi secara teratur. Kelompok
masyarakat ini sifat dan batasannya berubah-ubah dan mengalami pergesaran hubungan
internal. Kelompok masyarakat ini juga akan berubah sesuai dengan situasi misalnya agama,
asal daerah, profesi tertentu, karakteristik (seperti gender) atau kelas sosial.

Chaika (1982) memandang bahasa mewakili gambaran hakikat pengetahuan terdalam umat
manusia, maka bahasa adalah cermin masyarakat (language is a mirror of soicety). Ilustrasinya
sederhana bahwa masyarakat yang tidak stabil tergambar dengan sangat jelas pada bahasa yang
dipakai masyarakat. Sedangkan Ricoueur (1991) menegaskan bahwa keberadaan dan
kehidupan manusia pun ada di dalam bahasa. Tidak dapat dihindari, pranata bahasa pun menjadi
pembentuk utama sosok dan jati-diri anak manusia.

Untuk dapat disebut masyarakat bahasa adalah adanya perasaan di antara penuturnya bahwa
mereka menggunakan bahasa yang sama (Djokokentjono 1982). Pada pokoknya masyarakat
bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena
adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik secara terinci dalam aspek-aspeknya, yaitu
system bunyi, sintaksis dan semantick. Dalam saling pengertian itu ternyata ada dimensi
sosialpisikologi yang subyektif. Dalam setiap populasi ada terdapat banyak speech community
dengan demikian sudah barang tentu, adanya tumpang tindih keanggotaan dan sistem
kebahasaan. Ada tiga macam masyarakat ujaran (speech community) yaitu :

2
1. Sebahasa dan saling mengerti.
2. Sebahasa tapi tidak saling mengerti.
3. Berbeda bahasa tapi saling mengerti.

(Gumpertz, 1968:14) Masyarakat bahasa adalah sekelompok manusia yang terbentuk melalui
interaksi bahasa yang teratur dan sering dengan bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang
dimiliki bersama dan yang dipisahkan dari kelompok lain karena perbedaan-perbedaan dalam
berbahasa. Konsep Gumpertz memiliki keuntungan sebagai berikut :

1. Untuk satu masyarakat bahasa tidak hanya berlaku satu bahasa.


2. Penekanan pada interaksi dan komunikasi sebagai unsur pembentuk masyarakat bahasa
sebagai hasil bilingualisme, dengan sendirinya tidak terjadi tumpang tindih.
3. Kompleksitas masyarakat perkotaan telah diperhitungkan dalam konsep.

Menurut beberapa ahli konsep masyarakat bahasa dapat dibedakan berdasarkan sikap sosial,
interaksi dan jaringan sosial (Ritmi, 2010). Bahasa berperan sebagai alat integrasi sosial
sekaligus alat adaptasi sosial, Sebagai contoh di Indonesia, yang merupakan bangsa yang
majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman
tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut
sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan
adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal yang terhubung satu sama lain dalam
jaringan sosial.

Istilah masyarakat bahasa pada masa dialek Eropa klasik mengacu pada suatu konsep yang
idealistis, tidak hanya bermakna kesatuan bahasa, tetapi lebih berarti kesatuan sosial-
geografis. Landasan dasar yang idealistis terdiri dari kelompok sosial dan masyarakat bahasa
yang homogen (Halliday, 1978:189): suatu masyarakat bahasa adalah suatu kelompok manusia
(sosialgeografis), yang anggota-anggotanya (1) saling berkomunikasi, (2) secara teratur
berkomunikasi, dan (3) mereka bertutur sama.

Berdasarkan anggapan bahwa terdapat hubungan korelasi antara perilaku berbahasa dengan
syarat-syarat kehidupan bermasyarakat yang objektif, Matthier (1980:1819)
mendefinisikan kelompok sosial sebagai pendukung perilaku berbahasa sebagai berikut:

1. Kelompok sosial yang terdiri dari individu-individu dengan syarat-syarat kehidupan


bermasyarakat yang objektif secara potensial membentuk masyarakat komunikasi.

3
2. Prasyarat kehidupan bermasyarakat yang objektif dan keadaan-keadaan lain yang
objektif diinterpretasikan dengan cara yang sama.

Kelompok individu ini dianggap membentuk sistem perilaku sosial dan bahasa yang hampir
sama. Berdasarkan hal ini Mattheier mengembangkan definisi paguyuban bahasa yang bersifat
dialek-sosiologis, yang harus dilihat dalam kaitannya dengan kelompok yang bersangkutan dan
tergantung dari minat peneliti dapat dianalisis tahap-tahap tiap sistem atau bagian-bagian
sistem yang berbeda.

2.2 Terbentuknya Masyarakat Bahasa

Masyarakat bahasa tutur terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility),
terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik secara terinci dalam aspek-
aspeknya, yaitu sistem bunyi, sintaksis, dan semantik. Dalam saling pengertian itu ternyata ada
dimensi sosial psikologi yang subyektif. Dalam setiap populasi ada terdapat banyak masyarakat
bahasa (speech community). Ada 3 macam masyarakat bahasa, yaitu :

1. Sebahasa dan saling mengerti.


2. Sebahasa tapi tidak saling mengerti.
3. Berbeda bahasa tapi saling mengerti.

Verbal repertoir adalah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai oleh
seorang penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoir sebuah masyarakat tutur
dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Verbal repertoir yang menjadi milik masyarakat tutur secara keseluruhan, menunjukkan
keseluruhan alat-alat verbal yang ada dalam masyarakat tutur serta norma-norma untuk
menentukan pilihan variasi sesuai dengan fungsi dan situasinya.
2. Verbal repertoire yang dimiliki setiap penutur secara individual, menunjukkan
keseluruhan alat-alat verbal yang dikuasai oleh setiap penutur, pemilihan bentuk dan
norma-norma bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya.

Dalam sosiolinguistik, Dell Hymnes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai
sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduannya disebut sebagai kemampuan komunikatif
(communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang
dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan
fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya. Kedua jenis masyarakat

4
tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun
masyarakat besar dan modern. Menurut Fishman (1971) dan juga Gumperz (1968), masyarakat
modern mempunyai kecendrungan memiliki masyarakat tutur yang terbuka dan cendrung
menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional
bersifat lebih tertutup dan cendrung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
Penyebab kecendrungan itu adalah faktor sosial dan faktor kultural. Sedangkan berdasarkan
verbal reseptoir yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga,
yaitu :

1. Masyarakat monolingual (satu bahasa)


2. Masyarakat bilingual (dua bahasa)
3. Masyarakat multilingual (lebih dari 2 bahasa).

2.3 Faktor-faktor Sosiosituasional

Pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruh oleh faktor sosio linguistik, tetapi juga dipengaruhi
oleh factor non sosiolinguistik. Faktor-faktor yang nonlinguistik yang dimaksud, yaitu faktor
sosial dan faktor non sosial.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor situasional. Menurut
pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan atau situasi.

Faktor-faktor situasional ini berupa :

1. Faktor ekologis, misal kondisi alam atau iklim.


2. Faktor rancangan dan arsitektural, misal penataan ruang.
3. Faktor temporal, misal keadaan emosi, suasana perilaku, misal cara berpakaian dan
cara berbicara.
4. Faktor sosial, mencakup sistem peran, struktur sosial dan karakteristik sosial individu.
5. Faktor lingkungan psikososial yaitu persepsi seseorang terhadap lingkungannya.

2.4 Ragam Bahasa Dalam Masyarakat

Alwasilah (1985:51) menjelaskan batasan kategori yang termasuk jenis ragam bahasa yaitu
styles, slang, kolokial, jargon, argot, dan register.

5
2.4.1 Styles

Menurut Hartman & Stork (dikutip Alwasilah 1985) style adaah gaya perorang yang ditempuh
dalam ujaran maupun tulisan sesuai dengan tulisan dengan penguasaan kebahasaan. Pilihan-
pilihan penutur atau penulis akan sumber-sumber fonologis, dramatik dan lesikal bahannya
merupakan pokok pembahasan bermacam pendekatan dalam stylistics, dan banyak definisi
style yang telah diturunkan. Sedangkan menurut De Vito (1970) menyatakan bahwa style
adalah cara seorang pembicara atau penulis mendayagunakan sumber-sumber kebahasaannya-
pilihan yang ditempuhnya dan penyusunan-penyusunan serta pola-pola yang nampak.

2.4.2 Slang

Menurut Chaer dan Agustina (2004 : 67) slang atau prokem adalah variasi sosial yang bersifat
khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas,
dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu.

Menurut Pei & Gaynor (dikutip Alwasilah, 1985 : 57) mengatakan bahwa slang merupakan
suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang popular dan
pengulasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa
memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan
kata-kata pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok tertentu.
Misalnya kata bentar disingkat jadi bntr. Karena slang ini bersipat kelompok dan rahasia,
maka timbul kesan bahwa slang ini adalah bahasa rahasianya para pencopet atau penjahat,
padahal sebenarnya tidaklah demikian.

2.4.3 Kolokial

Slang ini berkaitan erat dengan kolokial. Kolokial adalah variasi bahasa sosial yang digunakan
dalam percakapan sehari-hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan,
konvensi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis (Chaer & Agustina,
2004:67). Tidak tepat kalau kolokial ini disebut bersifat “kampungan” atau bahasa kelas
golongan bawah kolokial ini menyentuh ukuran slang. Sekarang ia lazim diajukan pada bahasa
yang cocok pada pemakaian informal baik dalam ujaran maupun tulis,
seperti dok (dokter), prof (profesor), let(letnan) ndak ada (tidak ada). Dalam pembicaraan atau
tulisan formal ungkapan-ungkapan seperti contoh di atas harusnya dihindarkan.

2.4.4 Jargon, Argot, Chant, dan Register

6
Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial
tertentu (Chaer & Agustina, 2004:68). Sementara menurut hartman & Stork (dikutip Alwasilah,
1985:61) menyatakan bahwa jargon adalah seperangkat istilah-ilstilah dan ungkapan-ungkapan
yang dipakai satu kelompok sosial atau kelompok pekerja, tapi tidak dipakai dan sering tidak
dimengerti oleh masyarakat ujaran secara keseluruhan. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut
tidak bersifat rahasia. Misalnya, dalam kelompok montir atau pembengkelan ada ungkapan-
ungkpan seperti roda gila, didongkrak, dipoles, dsb. Dalam kelompok tukang batu dan
bangunan ada ungkapan, seperti disipat, disiku dan ditimbang.

Menurut Zeigher (dikutip Alwasialah, 1985:61) argot adalah bahasa rahasia, atau bahasa khas
para pencuri. Senada dengan pendapat Chaer & Agustina (2004:68) argot adalah variasi sosial
yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak
kekhususan argot adalah pada kosakata. Umpamnya, dalam dunia kejahatan (pencuri dan
tukang copet) seperti barang atinya ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun artinya
‘uang’, gemuk artinya ‘mangsa besar’, tepe artinya ‘mangsa empuk’.

Yang dimaksud dengan ken (Inggris = cant) variasi bahasa tertentu yang bernada “memelas”,
dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan Chaer & Agustina (2004:62). Biasanya
digunakan oleh para pengemis, seperti tercemin dalam ungkapan the cant of beggar (bahas
pengemis). Kita melihat bahwa jargon, argot dan cant pada pokoknya mengacu pada bahasa
yang khusus dalam kelompok sosial tertentu.

Di sini juga perlu disebut istilah vulgar atau vulgate (rakyat jelata) menurut Willis (1964)
istilah vulgate bersifat bahasa dengan bentuk-bentuk gramatik tertentu dan pengucapan-
pengucapan yang tidak ada pada ujaran orang bependidikan, ini berarti terbatas dalam diksinya,
tetapi tidak berarti tidak terhormat. Chaer & Agustina (2004 : 66) mengatakan bahwa vulgar
adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakai bahasa oleh mereka yang kurang
terpelajar, atau dan kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Misalnya bahasa tukang becak
dan bahasa pemulung.

Sementara yang dimaksud dengan register adalah satu ragam bahasa yang digunakan untuk
maksud tertentu, sebagai kebalikan dari dialek sosial atau regional (yang bervariasi karena
penuturnya). Register bisa dibatasi lebih sempit dengan acuan pada pokok ujaran (pokok
pembicaraan), misalnya istilah mengail, dan judi atau tingkat keformalannya (tingkat wacana)
seperti formal, biasa, intim dan sebagainya).

7
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Definisi awal masyarakat Bahasa dikemukanan oleh Leonard Bloomfield (1933) yang menulis
masyarakat Bahasa sebagai: “Sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran
yang sama adalah masyarakat bahasa”. Definisi ini mencerminkan keyakinan bahwa
masyarakat bahasa berarti monolingual berada dalam satu bangsa, negara dan memiliki satu
bahasa yang sama (Morgan, 2014).

Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur adalah sekumpulan orang yang menggunakan sistem
isyarat bahasa yang sama (Blomfield dikutip Aslinda dan Leni Syafyahya, 2007:8). Dengan
demikian kalau ada sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama-sama
menggunakan bahasa Sunda, maka bisa dikatakan mereka adaalh masyarakat bahasa Sunda.
Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa pada “merasa menggunakan bahasa yang
sama” maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat menjadi sempit.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor situasional. Menurut
pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan/situasi. Faktor-faktor
situasional ini berupa: faktor ekologis, faktor rancangan dan arsitektural, faktor temporal,
faktor sosial, faktor lingkungan psikososial.

Chaika (1982) memandang bahasa mewakili gambaran hakikat pengetahuan terdalam umat
manusia, maka bahasa adalah cermin masyarakat (language is a mirror of soicety). Ilustrasinya
sederhana bahwa masyarakat yang tidak stabil tergambar dengan sangat jelas pada bahasa yang
dipakai masyarakat. Sedangkan Ricoueur (1991) menegaskan bahwa keberadaan dan
kehidupan manusia pun ada di dalam bahasa. Tidak dapat dihindari, pranata bahasa pun menjadi
pembentuk utama sosok dan jati-diri anak manusia.

3.2. Saran

Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis meminta kritik yang membangun dari pembaca agar lebih
baik lagi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo : Ideas Publishing.


Suhadmida, Pipi. Sar’an. (2020). Hubungan Bahasa dan Masyarakat Bahsa Sebagai Identitas.
Jurnal Menata : Vol. 3, No.1.
Puspasari, Astika. (2018). Masyarakat Bahasa. Jurnal Ilmiah Bina Bahasa : Vol. 11, No.1.
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa.
Aslinda, Leni Syafyahaya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung : Refika Aditama.
Damayanti, Welsi. (2016). Analisis Penggunaan Multilingual Anak Tingkat Sekolah Dasar di
Lingkungan Gang Siti Mardiah Cibaduyut Bandung (Studi Linguistik). Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia : Vol. 1.

Anda mungkin juga menyukai