Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara hukum mengatur kedudukan setiap warga negara, dimana setiap

warga negara memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama

demikian juga dengan penyandang cacat. Kewajiban penyelenggara negara

yang paling urgent dalam hal ini adalah menghormati, melindungi dan

melakukan pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya bagi

penyandang cacat yang berkebutuhan khusus.1 Hal ini sesuai dengan amanat

Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,

yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan.

Berdasarkan uraian di atas, maka setiap warga negara memiliki hak yang

bersifat asasi berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945, tanpa membedakan kondisi fisik warga negara. Hak asasi bersifat

universal yang berarti hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan

setiap sosok manusia, tidak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelamin, usia,

latar belakang kultural dan agama. Hak ini melampui batas-batas negeri dan

1
Sahruddin Daming, “Seberapa Jauh Tanggung Jawab Negara”, Jurnal Perempuan Untuk
Pencerahan Dan Kesetaraan, Cetakan I, Jakarta, 2011, hlm. 8.

1
2

kebangsaan yang di tujukan pada setiap orang baik miskin maupun kaya, laki-

laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat.2

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang

yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau

merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara

selayaknya, yang terdiri dari :

1. Penyandang cacat fisik;

2. Penyandang cacat mental;

3. Penyandang cacat fisik dan mental.

Realisasi terhadap pemenuhan, pemajuan dan perlindungan terhadap hak-

hak penyandang cacat sebagai perwujudan Hak Asasi Manusia (HAM) dan

telah diatur di dalam undang-undang masih dapat dikatakan lemah dimana

penyandang cacat mengalami hambatan dalam beraktivitas dan masih

mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara

dalam masyarakat, serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap

pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di segala aspek, padahal penyandang

cacat secara konstitusional merupakan bagian dari warga negara Indonesia

mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan

sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945.3

2
Soetandyo Wignjoesoebroto, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya dari Masa ke Masa, PT. ELSAM, Jakarta: 2007, hlm. 1.
3
Sahruddin Daming, Op.Cit, hlm. 15.
3

Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan

dasar. Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1998 tentang Hak

Asasi Manusia disebutkan pengertian diskriminasi adalah “Setiap pembatasan,

pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan

pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan

politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan

pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan

dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,

ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Pengertian yang luas tersebut memperlihatkan bahwa spektrum

diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan

secara langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi tersebut dapat

bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah yang

mengandung unsur-unsur diskriminasi atau dapat pula berakar pada nilai-nilai

budaya, penafsiran agama, dan struktur sosial serta ekonomi yang

membenarkan terjadinya diskriminasi. Keterbatasan dan diskriminasi yang

umumnya dihadapi para penyandang cacat adalah dalam mengakses informasi,

pendidikan, pekerjaan, sarana, layanan publik, aksesibilitas termasuk

transportasi. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat termasuk

kelompok yang terpinggirkan.4

4
Netty Prabawijayanti “Pengaturan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Cacat Berdasarkan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities Tahun 2006 Di Indonesia”, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hlm.4.
4

Peran Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati

dan memenuhi hak-hak penyandang cacat adalah dengan

menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities

(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret

2007 di New York. Kemudian konvensi tersebut telah diratifikasi dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-

Hak Penyandang Cacat.5

Peraturan perundang-undangan yang  mengakomodir kepentingan

penyandang cacat cukup banyak, khususnya aksesibilitas di bidang pelayanan

transportasi publik, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang

Perkeretaapian, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.6

Aksesibilitas yang sangat krusial bagi penyandang cacat adalah jasa

transportasi. Jasa transportasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari sarana

dan prasarana yang didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia

membentuk jaringan prasarana dan jaringan pelayanan.7 Sarana transportasi

yang ada salah satunya yaitu transportasi angkutan udara yang dewasa ini

mengalami perkembangan pesat. Perkembangan dan pertumbuhan industri

penerbangan tersebut tidak lepas dari peningkatan jumlah pengguna jasa

5
Ibid, hlm.6.
6
Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung: 2009, hlm.255
7
Ahmad Zazili, ”Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga
Berjadwal Nasional”, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
2000, hlm. 2.
5

transportasi angkutan udara yang juga mengalami perkembangan pesat

termasuk penyandang cacat yang berada didalamnya.8

Pada prinsipnya kegiatan pengangkutan udara merupakan hubungan

hukum yang bersifat perdata, akan tetapi mengingat transportasi udara telah

menjadi kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur tangan

pemerintah dalam kegiatan pangangkutan udara yaitu menentukan kebijakan-

kebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan kegiatan pengangkutan

udara sehingga kepentingan konsumen pengguna jasa transportasi udara

terlindungi. Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakikatnya sudah harus

tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian Burgerlijk

Wetboek (KUH Perdata), akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan

berbagai peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi

kebebasan dalam hal memabuat perjanjian pengangkutan, yaitu meletakkan

berbagai kewajiban khusus kepada pihaknya pengangkut yang tidak boleh

disingkirkan dalam perjanjian.9

Kewajiban pengangkut dalam hukum pengangkutan antara lain

mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat

sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti

kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang,

memberangkatkan penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan

8
Louis Adi Putra,”Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pengangkutan Barang Melalui
Pesawat Udara Negara”, Skripsi, Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2013, hlm. 1.
9
Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya, Bandung: 1995, hlm.71.
6

lain-lain, sedangkan kewajiban penumpang adalah membayar ongkos

pengangkutan yang besarnya telah ditentukan, menjaga barang-barang yang

berada dibawah pengawasannya, melaporkan jenis-jenis barang yang dibawa

terutama barang-barang yang berkategori berbahaya, mentaati ketentuan-

ketentuan yang ditetapkan pengangkut yang berkenaan dengan pengangkutan.

Hak dan kewajiban para pihak tersebut biasanya dituangkan dalam suatu

dokumen perjanjian pengangkutan.10

Pelayanan jasa oleh perusaaan angkutan udara niaga bagi penyandang

cacat tentunya berbeda dengan penumpang pesawat udara lainnya. Perusahaan

angkutan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan pelayanan khusus

terhadap penyandang cacat dan orang sakit, bertanggung jawab atas kematian

atau lukanya penumpang yang diangkut, musnah, hilang, atau rusaknya barang

yang diangkut.11 Penyandang cacat memerlukan perlakuan khusus karena

kekurangan yang dimilikinya dan telah diamanahkan dalam Pasal 134 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa:

1. Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas)


tahun dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa
perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.
2. Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi :
a. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
b. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat
udara;
c. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat
udara;
d. Sarana bantu bagi orang sakit;

10
Ibid.
11
H.K Martono Dan Amad Sudiro, “Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang
RI Nomor1 Tahun 2009”, PT. Rajawali, Jakarta: 2011, hlm. 53.
7

e. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;


f. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak dan/atau orang sakit; dan
g. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan
penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang
dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia dan orang sakit.
3. Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.

Perlakuan khusus tersebut adalah bentuk dari komitmen pemerintah

untuk memberikan aksesibilitas dan perlindungan bagi penyandang cacat

melalui peraturan-peraturan yang dibuat, akan tetapi dalam hal ini tidak hanya

pemerintah yang wajib memberikan perlindungan dan perlakuan khusus, tetapi

juga di dukung oleh setiap warga negara lainnya termasuk perusahaan

maskapai penerbangan demi menjamin keamanan serta kebebasan penyandang

cacat. Penulis mencermati pengaturan dalam undang-undang dan

implementasinya yang mengatur mengenai penyandang cacat terhadap

pemenuhan hak-haknya disegala aspek masih dapat dikatakan lemah dan

kurang menjawab kebutuhan penyandang cacat secara keseluruhan seperti

yang penulis telah sebutkan di atas sebelumnya, namun penulis

mengkhususkan pembahasan dalam bidang penerbangan, mengenai

penyandang cacat sebagai penumpang pesawat udara.

Pengaturan hak-hak penyandang cacat di dalam undang-undang

penerbangan masih kurang dan kualitas pelayanan dalam pemenuhan hak

penumpang pesawat udara oleh sebagian perusahaan maskapai penerbangan di

Indonesia masih diskriminasi dan tidak melaksanakan apa yang diamanahkan

oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tersebut,


8

karena aksesibilitas layanan transportasi di Indonesia terhadap penyandang

cacat masih sangat rendah dan jauh tertinggal dari banyak negara lain termasuk

layanan transportasi udara kita masih banyak masalah dan baru akan merintis

ranah disabilitas (penyandang cacat).12 Penumpang penerbangan penyandang

cacat (disabilitas) sering diperlakukan seperti orang sakit. Salah satu contoh

adalah yang dialami oleh Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming,

yang telah dua kali mengalaminya. Terakhir, saat akan terbang dari Gorontalo

ke Jakarta, Saharuddin mengalami perlakuan diskriminatif dari petugas kabin

Batavia Air.

Hal yang hampir bersamaan terjadi pada pertengahan April 2011,

Ridwan Sumantri, pengguna kursi roda dari Persatuan Penyandang Cacat

Indonesia (PPCI), mengalami perlakukan diskriminatif dari perusahaan

penerbangan Lion Air saat akan terbang dari Jakarta ke Denpasar, saat akan

memasuki pesawat, tidak ada staff darat yang membantunya, seharusnya

Ridwan Sumantri dibantu menaiki pesawat lebih dulu.13

Ridwan Sumantri akhirnya meminta tolong petugas bandara. Ridwan

Sumantri lalu dibantu oleh dua petugas ke pintu pesawat hingga menuju ke

kursinya dengan cara di gendong dan mendapat kursi nomor 23, yang

seharusnya ditempatkan di kursi bagian depan. Perlakuan dengan cara di

gendong ke dalam pesawat itu semestinya tidak terjadi jika pihak maskapai

penerbangan menyediakan kursi roda khusus yang dapat melewati lorong

dalam pesawat yang biasa disebut I-L wheel chair.14 Peristiwa berikutnya
12
http://Majalahdiffa.Com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014, Pukul 09.00 WIB.
13
http://Jurnas.Com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014, Pukul 09.34 WIB.
14
Ibid.
9

terjadi pada tanggal 9 Maret 2013 salah seorang penyandang cacat (disablitas)

yang mendapatkan perlakuan diskriminatif dari maskapai penerbangan PT

Garuda Indonesia, Cucu Saidah, mengaku sering di diskriminasikan sejak

tahun 2005 oleh perusahaan masakpai penerbangan.15

Contoh berikutnya adalah Dani Suntoro, seorang penyandang cacat (tuna

daksa) dari Surabaya yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dani yang

berangkat pada 23 Maret 2014 dengan rute Surabaya-Jakarta (Nomor tiket

1262458042905, menggunakan Garuda Indonesia GA-313) diharuskan oleh

petugas maskapai garuda untuk menandatangani surat pernyataan pembebasan

yang menganggap bahwa Dani memiliki penyakit karena menggunakan kursi

roda, dalam surat tersebut, maskapai tersebut menyatakan terbebas dari

tanggung jawab apabila penyakit bertambah parah.16

Peristiwa yang penulis uraikan di atas sering terjadi. Penyandang cacat

(disabilitas) dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan, khusus untuk

orang sakit, lalu tidak tersedia aksebilitas naik dan turun pesawat, tidak jarang

kursi roda penyandang cacat rusak dan lecet, sedangkan bagi penyandang cacat

khususnya tuna daksa, kursi roda sama halnya dengan kaki untuk berjalan dan

juga sampai saat ini tidak ada toilet pesawat khusus bagi penyandang cacat

yang terkendala dengan fisiknya, hal ini dikarenakan tidak ada aturan yang

membuat standar untuk setiap maskapai.17 Masih ada beberapa kasus serupa

yang dialami oleh penyandang cacat dibeberapa pelayanan perusahaan

15
Ibid, hlm.7.
16
http://www.Bantuanhukum.Or.Id, diakses pada tanggal 23 Januari 2015, Pukul 13:15 WIB.
17
Wawancara Dengan Ibuk Rita Romauli, Ketua Himpunan Penyandang Cacat Riau pada
tanggal 14 Januari 2015, Bertempat di Dinas Sosial Pekanbaru.
10

maskapai penerbangan. Berdasarkan dari permasalahan di atas, maka penulis

tertarik untuk mengkaji lebih dalam permasalahan ini dan menyusun skripsi

dengan judul “Tinjauan Yuridis Hak-Hak Penyandang Cacat Sebagai

Penumpang Pesawat Udara di Indonesia Ditinjau Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan”

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

penulis menetapkan masalah pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hak-hak penyandang cacat sebagai penumpang

pesawat udara ditinjau dari peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum hak-hak penyandang cacat sebagai

penumpang pesawat udara oleh maskapai penerbangan di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin penulis sampaikan dalam

penelitian ini yaitu :

1) Untuk mengetahui pengaturan hak-hak penyandang cacat sebagai

penumpang pesawat udara oleh maskapai penerbangan ditinjau dari

peraturan perundang-undangan di Indonesia.


11

2) Untuk mengetahui perlindungan hukum hak-hak penyandang cacat

sebagai penumpang pesawat udara oleh maskapai penerbangan di

Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa

manfaat antara lain :

1) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap perguruan tinggi yaitu

sebagai syarat dalam menempuh ujian akhir untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum.

2) Untuk menambah pengetahuan penulis, terutama untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan yang telah penulis peroleh selama perkuliahan.

3) Sebagai sumbangan pemikiran penulis sebagai almamater dalam

menambah Khasanah Hukum Perdata Bisnis yang berkenaan tentang

tinjauan yuridis hak dan implementasi pemenuhan atau penerapan hak

penyandang cacat sebagai penumpang pesawat udara oleh perusahaan

masakapai penerbangan.

4) Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya, khususnya dalam

penelitian yang sama.

5) Sebagai sumbangan pemikiran, yang juga menjadi bahan kolektif

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Riau.

D. Kerangka Teoritis
12

1. Teori Hukum Kodrat

Keberadaan hukum kodrat mengalami pasang surut. Puncaknya

dimasa abad ke 19 (Sembilan belas) ketika itu pengaruh positivisme mulai

menarik dan mulai mendapatkan tempat kembali pada abad 20, khususnya

setelah masa Perang Dunia II. Teori hukum kodrat dibahasakan sebagai

natural law theory. Istilah natural law dapat merujuk pada arti hukum alam

dan hukum kodrat dalam bahasa Indonesia. Sebagai frasa yang terlepas, kata

natural law tidak dapat secara tajam menunjuk pada baik hukum alam atau

hukum kodrat, untuk itu haruslah melihat keterangan yang mengikutinya.

Berbeda dengan istilah hukum alam dan hukum kodrat dalam

khasanah kata bahasa Indonesia. Dengan istilah hukum alam sudah dapat

mereferensikan arti yang ditangkap dan rasakan sebuah fenomena alamiah,

terutama fenomena fisik, seperti air yang mendidih pada suhu 100° C,

sedangkan dengan istilah hukum kodrat maknanya direferensikan pada

misalnya, keniscayaan kodratiah yang telah digariskan Tuhan (menekan

dimensi roaniah). Penulis menggunakan istilah teori hukum kodrat untuk

membedakannya dari teori-teori atau aksioma-aksioma ilmu alam (biologi,

fisika dan kimia), dengan kata kodrat penulis ingin mengorientasikan acuan

pemaknaan pada alam rohani dan metafisika.

Teori hukum kodrat didasarkan pada sebuah penilaian yang bersumber

dari entitas yang absolut yang sesuai dengan kodrat alamiah dan rasio yang

mendasarinya. Penilaian tersebut merupakan manifestasi bahwa ada tatanan

yang mengatur secara objektif kodrat kemanusiaan dan alam semesta yang
13

ada dan yang menjadi patokan atau pedoman penilaian tersebut. Prinsip-

prinsip kodrati bersifat abadi, menjadi acuan validitas segala norma dan

mungkin dicapai dengan penalaran yang tepat dan benar.18

Prinsip-prinsip ini berlaku secara universal dan saat mencapainya

harus menyingkirkan segala hukum positif yang tidak bersumber pada

hukum kodrat. Hukum kodrat adalah hal yang fundamental dalam

kehidupan manusia di masyarakat. Pandangan teleologis sangat

mendominasi aliran pemikiran ini. Alam semesta dan manusia memiliki

tujuan akhir. Tujuan akhir itu adalah kebaikan atau kebaikan bersama bila

berbicara dalam konteks masyarakat manusia.19 Kebaikan ini menjadi tolok

ukur bagi berbagai hukum yang ada di dunia, maka validitas norma dilihat

bukan sebagai kecocokan secara formal tetapi apakah norma yang

bersangkutan menjadi representasi bagi kebaikan dan keutamaan yang ingin

dicapai. Jadi yang diperhatikan adalah substansi norma bukan formalnya.20

Pandangan Thomas Aquinas, hukum kodrat merupakan hukum yang

lahir dari kegiatan akal-budi manusia sendiri yang dituntun oleh Tuhan. Ide

mengenai hukum kodrat tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan

Aristoteles bahwa alam semesta pada hakikatnya terdiri dari substansi-

substansi yang merupakan kesatuan materi dan bentuk dimana masing-

masing substansi itu memiliki tujuan tersendiri dan tujuan di luar dirinya

yakni tujuan yang lebih tinggi menuju kepada yang sempurna budi-Illahi.

18
Antonius Cahyadi dan E.Fernando Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana
Prenada Media, Jakarta: 2010, hlm. 42.
19
Ibid.
20
Ibid.
14

Hal tersebut oleh Thomas Aquinas dipandang sebagai aturan alam yang

bersumber pada Tuhan dan mewujudkan diri dalam substansi yang disebut

manusia.21

Segala kejadian alam dunia diperintah dan dikemudikan oleh suatu

hukum atau undang-undang abadi (lex eterna) yang menjadi dasar

kekuasaan bagi semua peraturan-peraturan lainnya. Lex eterna adalah

kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia. Manusia diberikan

kemampuan oleh Tuhan untuk dapat membedakan mana yang baik dan

buruk serta mengenal berbagai bentuk perundang-undangan termasuk lex

eterna yang memuat asas-asas seperti berbuat baik dan jauhilah kejahatan,

bertindaklah menurut pikiran yang sehat, cintailah sesamamu seperti engkau

mencintai diri sendiri.22 Begitu pula Tuhan mengisyaratkan agar manusia

tidak diskriminasi terhadap manusia yang lain khususnya penyandang cacat,

cintailah penyandang cacat seperti engkau mencintai dirimu sendiri, asas-

asas tersebut mempunyai kekuatan mutlak, tidak mengenal pengecualian,

berlaku dimana-mana dan tidak berubah sepanjang zaman.23

Thomas Aquinas menyadari bawa pemahaman mengenai konsepsi

hukum kodrat bisa diinterpretasikan berbeda-beda oleh setiap manusia. Oleh

karena itu diperlukan susunan peraturan yang lebih konkret untuk

menjabarkan norma-norma dalam hukum kodrat yakni norma-norma hukum

positif. Namun hukum positif disini bukan hukum positif seperti yang

dipahami oleh aliran positivistik dimana ada pemisahan tegas antara moral
21
http://Fundra-Dian.blogspot.com, diakses pada tanggal 17 Januari 2015, Pukul 15:15 WIB.
22
Ibid.
23
Ibid.
15

dan norma positif. Hukum positif dalam konteks hukum kodrat hanya

berlaku apabila hukum positif bersumber dari dan tidak bertentangan hukum

kodrat, dalam hal ini penulis mengaitkan norma yang mengatur mengenai

penyandang cacat sebagai penumpang pesawat udara yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, apakah sudah sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh hukum Tuhan atau masih belum mengatur secara

keseluruhan apa yang penyandang cacat butuhkan, atau malah bertentangan

dengan kodrati yang seharusnya dikehendaki Tuhan.24

Hukum kodrat berasal dari akal budi dan diterima sebagai prinsip-

prinsip segala hukum positif yang berhubungan secara langsung dengan

manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan. Golongan atau prinsip-prinsip

tersebut terbagi dua yaitu :25

a) Hukum kodrat primer yaitu semua aturan hukum yang mengatur semua

kepentingan bersama manusia oleh sebab itu ia bersifat umum.

Dirumuskan para pemikir Stoa klasik yang berlaku bagi setiap manusia

seperti unicueque suum tribure (berikanlah kepada setiap orang apa

yang menjadi haknya) atau neminem laedere (jangan merugikan

seseorang), honeste vivere (hidup secara terhormat).

b) Prinsip hukum kodrat sekunder yaitu hukum kodrat yang tersimpul dari

norma-norma hukum kodrat primer. Misalnya dalam hukum kodrat

primer ada ketentuan jangan merugikan orang lain maka turunan atau

hukum kodrat sekundernya seperti jangan membunuh, jangan mencuri.

24
Ibid. hlm. 2.
25
Ibid.
16

Namun ada pengecualian jika ada kondisi tertentu contohnya ketika

prajurit membunuh musuh.

Kodrat manusia merupakan landasan aturan fundamental hukum

kodrat. Hukum kodrat merupakan kriteria untuk merumuskan putusan-

putusan moral dan sebagai norma yang abstrak harus dimanifestasikan

dalam peraturan yang lebih konkret seperti undang-undang. Aturan yang

konkret ini disebut hukum positif. Thomas Aquinas melihat hubungannya

bersifat hierarkis, dimana hukum kodrat berkedudukan lebih tinggi daripada

hukum positif dan yang tertinggi adalah hukum abadi yang berasal dari

Tuhan.26

Berdasarkan hal tersebut, penulis menempatkan kesetaraan hak

penyandang cacat dengan manusia yang normal lainnya sebagai ciptaan

Tuhan yang secara kodrati dikehendaki untuk hidup berdampingan dengan

manusia yang lain, dan aturan yang mengatur mengenai penyandang cacat

di suatu negara, tidak boleh bertentangan dengan hukum yang dikendaki

oleh Tuhan, dimana Tuhan bersifat adil.

2. Teori Perlindungan Hukum

Holland yang dikutip oleh Wise, Percy M. Winfield dan Bias,

menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan dan melindungi hak-

hak (legal rights). Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka


26
http://Fundra-Dian.Blogspot.Com, diakses pada tanggal 17 Januari 2015, Pukul 15:15 WIB.
17

kepentingannya tersebut.27 Hak merupakan sesuatu yang melekat pada

manusia, baik pada aspek fisik maupun aspek eksistensialnya. Begitu

pentingnya hak sehingga diperlukan pengakuan dan perlindungan dalam

daftar-daftar resmi sehingga hak dapat memperoleh kedudukan hukum.

Selama suatu hak tidak dilindungi oleh peraturan hukum, maka hak ini

belum merupakan hak hukum.28

Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) membagi 3 (tiga) kewajiban

yang melekat pada penyelenggara negara atas warganya sebagai salah satu

instrument pemegang hak, yakni kewajiban untuk menghormati (torespect),

melindungi (toprotect) dan memenuhi (tofulfil).29 Pengakuan dan

perlindungan hak-hak penyandang cacat khususnya sebagai penumpang

pesawat udara telah tertuang dalam Pasal 134, Bagian keenam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, ini adalah bentuk

upaya perlindungan hukum yang diberikan pemerintah bagi penyandang

cacat.

Menurut Fitzgerald, menjelaskan mengenai teori perlindungan hukum

bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,

perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan

cara membatasi berbagai kepentingan dipihak lain.30

27
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Cetakan kelima, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000,
hlm. 53.
28
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, PT.Nusa Media Dan Nuansa,
Bandung : 2006,hlm. 113
29
Saharuddin Daming, Op.cit, hlm.19.
30
Hans Kelsen, Op.cit.
18

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,

sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan

manusia yang perlu diatur dan dilindungi.31 Perlindungan hukum harus

melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan

hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang

pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur

hubungan perilaku antara angota-anggota masyarakat dan antara

perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan

masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo mendefinisikan perlindungan hukum

adalah  memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan

orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar

penyandang cacat dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.32 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi

subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :33

a) Perlindungan Hukum Preventif.

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

31
Ibid, hlm. 69.
32
http://tesishukum.com, diakses pada tanggal 17 November 2014, Pukul 13:12 WIB.
33
Muchsin, “Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”, Tesis, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, 2003, hlm. 20.
19

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan

dalam melakukan sutu kewajiban.

b) Perlindungan Hukum Represif.

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjaradan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan oleh para ahli tersebut,

bahwa perlindungan hukum adalah suatu upaya yang dapat diberikan

kepada penyandang cacat sebagai penumpang pesawat udara seperti yang

dijelaskan dalam Pasal 134, Bagian keenam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa :

1. Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas)


tahundan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa
perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.
2. Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi :
a. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
b. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari
pesawat udara;
c. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di
pesawat udara;
d. Sarana bantu bagi orang sakit;
e. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat
udara;
f. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anakdan/atau orang sakit; dan
g. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan
penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang
dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usiadan orang sakit.
3. Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.

E. Kerangka Konseptual
20

Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran terhadap judul penelitian ini,

serta sebagai pijakan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis

memberikan defenisi-defenisi atau batasan-batasan terhadap istilah-istilah yang

digunakan, yakni sebagai berikut :

1. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki,

mempelajari), sedangkan kata tinjauan berasal dari kata dasar “tinjau” yang

berarti melihat sesuatu yang jauh dari tempat yang ketinggian, melihat-lihat,

memeriksa, mengamati, mempelajari dengan cermat.34

2. Yuridis adalah menurut hukum; secara hukum; bantuan hukum.35

3. Hak adalah sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh Undang-

undang dan aturan).36

4. Penumpang adalah angkutan penumpang yang menggunakan kendaraan

umum yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar. Termasuk dalam

pengertian angkutan umum penumpang adalah angkutan kota (bus, minibus)

kereta api, angkutan air dan angkutan udara.37

5. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisikdan

atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri

dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental.38
34
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988 : hlm. 45.
35
http://kbbi.web.id/yuridis, diakses pada hari Kamis, tanggal 5 Februari 2015, Pukul 07.00
WIB.
36
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 2008, hlm.
474.
37
http://Repository.Usu.Ac.Id, diakses pada tanggal 23 Januari 2015, Pukul 12:00 WIB.
38
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
21

6. Perusahaan adalah organisasi yang didirikan oleh seseorang atau

sekelompok orang atau badan lain yang kegiatannya melakukan produksi

dan distribusi guna memenuhi kebutuhan ekonomis manusia. Kegiatan

produksi dan distribusi dilakukan dengan menggabungkan berbagai faktor

produksi, yaitu manusia, alam dan modal. Kegiatan produksi dan distribusi

umumnya dilakukan untuk memperoleh laba, namun ada juga kegiatan

produksi yang tujuannya bukan untuk mencari laba. Seperti yayasan sosial,

keagamaan. Hasil suatu produksi dapat berupa barang dan jasa.39

7. Maskapai penerbangan adalah sebuah organisasi yang menyediakan jasa

penerbangan bagi penumpang atau barang, menyewa atau memiliki pesawat

terbang untuk menyediakan jasa tersebut dan dapat membentuk kerja sama

atau aliansi dengan maskapai lainnya untuk keuntungan bersama.40

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum

normatif atau yang dikenal dengan istilah legal research.41 Penelitian hukum

normatif adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan

hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau

larangan itu sesuai dengan prinsip hukum serta apakah tindakan (act)

39
http://Chalouiss.Blogspot.Com, diakses pada tanggal 23 Januari 2015, Pukul 21:15 WIB.
40
http://Id.Wikipedia.Org, diakses pada tanggal 23 Januari 2015, Pukul 21:18 WIB.
41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta: 2013, hlm. 47.
22

seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai dengan aturan

hukum) atau prinsip hukum.42

Penelitian ini akan mengkaji pokok permasalahan sesuai dengan ruang

lingkup dan identifikasi masalah melalui pendekatan undang-undang

(statute approach) dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-

undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

diteliti.43 Penelitian ini mengkaji mengenai konstistensi hukum dalam

pengaturan dan perlindungan hak-hak penyandang cacat (disabilitas)

sebagai penumpang pesawat udara oleh perusahaan maskapai penerbangan

dan hal lain yang berkaitan dengan permasalahan ini.

Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk

memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis,

peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-

undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologisnya

suatu undang-undang, peneliti diharapkan mampu menangkap kandungan

filosofi yang ada di belakang undang-undang itu. Memahami kandungan

filosofi yang ada di belakang undang-undang itu, peneliti akan dapat

menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-

undang dengan permasalahan yang dihadapi.44

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif ini sumber data diambil dari bahan

hukum primer, yang diperoleh peneliti dari berbagai kepustakaan serta


42
Ibid, hlm. 47.
43
Ibid, hlm. 133.
44
Ibid, hlm. 134.
23

peraturan perundang-undangan, yurisprudensi yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian ini, yang terdiri dari :

a) Bahan Hukum Primer

hukum primer adalah bahan yang berupa peraturan perundang-undangan

yang masih menjadi hukum positif yaitu Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang Penerbangan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun

2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan

Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku yang ditulis oleh

para ahli hukum, teori hukum, jurnal hukum, artikel internet dan bahan-

bahan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum lain yang menjelaskan lebih

lanjut bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Terminologi Hukum Bahasa

Inggris-Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data


24

Teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah studi kepustakaan

yaitu penulis mengambil kutipan dari buku bacaan, literatur, atau buku

pendukung yang memiliki kaitannya dengan permasalahan yang akan

diteliti. Penelitian ini disusun secara sistematis dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

a) Identifikasi

Proses identifikasi dilakukan guna mengenali data-data hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini. Baik meliputi peraturan perundang-

undangan, yurisprudensi, buku-buku, literatur serta pendapat para ahli

yang sesuai dengan permasalahan hukum, isu hukumdan fakta-fakta

yuridis yang menjadi pusat penelitian hukum ini.

b) Verifikasi

Verifikasi merupakan proses setelah identifikasi yang mengevaluasi data-

data hukum yang telah terkumpul dengan memilah data sesuai dengan

karakteristik judul, rumusan masalahdan tujuan penelitian guna

memudahkan dalam penginputan data.

c) Validasi

Validasi berupa tindakan penilaian terhadap data yang diinput

berdasarkan hasil verifikasi untuk membuktikan bahwa data tersebut

memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Sebagai tambahan,

validasi memastikan bahwa data yang diperoleh memiliki cukup detail

yang dapat menjelaskan permasalahan, sehingga analisis data lebih dapat

diterima.
25

Bahan kepustakaan yang peneliti gunakan didapatkan dari beberapa

tempat, yaitu Perpustakaan Wilayah Riau, Perpustakaan Universitas Riau,

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Riau, Perpustakaan Universitas

Islam Riau dan perpustakaan pribadi milik penulis.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui proses penelitian, diadakan analisis

dan konstruksi data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena itu,

metodologi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu

pengetahuan yang menjadi induknya.45 Dalam penelitian ini analisis yang

dilakukan adalah analisis kualitatif merupakan tata cara penelitian yang

menghasilkan data deskripstif, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis, 46

yaitu pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk dapat

memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan yang peneliti

teliti.

Penulis menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik

kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat

khusus, dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan

melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu

kesimpulan yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut

dijembatani oleh teori-teori.47

45
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2010, hlm. 17.
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta: 1983, hlm. 32.
47
Aslim Rasyad, Metode Ilmiah: Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru: 2005, hlm.
20.
26

Anda mungkin juga menyukai