Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis


progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia
nigra ke globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency.(10)
Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia
sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar
200.000-400.000 penderita.(4)
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan
penanganan secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi
untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi
gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala
parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat
ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang
hidupnya.(6)
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga
terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak
general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi.
Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek
samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.(8)

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Parkinson (Parkinson Disease) adalah suatu penyakit
degeneratif pada sistem saraf (neurodegenerative) yang bersifat progressive,
ditandai dengan ketidakteraturan pergerakan (movement disorder), tremor
pada saat istirahat, kesulitan pada saat memulai pergerakan, dan kekakuan
otot.(10)
Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif progresif
yang berkaitan erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai
oleh degenerasi neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars
kompakta substansia nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy
bodies), atau disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.(2)
Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh
tremor waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural
akibat penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. Sindrom
ini sering disebut sebagai Sindrom Parkinson.(2)

2.2 Epidemiologi
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara
pria dan wanita hampir seimbang. Lima sampai sepuluh persen orang yang
terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun,
tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan,
pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di
Eropa, meningkat 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 –
89 tahun.(8)
Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di
Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada
sekitar 200.000-400.000 penderita. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri
maupun di dalam negeri, laki-laki lebih banyak terkena dibanding perempuan
(3:2) dengan alasan yang belum diketahui.(4)

2
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif ke 2 paling
sering dijumpai setelah penyakit Alzheimer. Berbagai gejala penyakit
Parkinson, antara lain tremor waktu istirahat, telah dikemukakan sejak Glen
tahun 138-201, bahkan berbagai macam tremor sudah digambarkan tahun
2500 sebelum masehi oleh bangsa India. Namun Dr. James Parkinson pada
tahun 1817 yang pertama kali menulis deskripsi gejala penyakit Parkinson
dengan rinci dan lengkap kecuali kelemahan otot sehingga disebutnya
paralysis agitans. Pada tahun 1894, Blocg dan Marinesco menduga substansia
nigra sebagai lokus lesi, dan tahun 1919 Tretiakoff menyimpulkan dari hasil
penelitian post mortem penderita penyakit Parkinson pada disertasinya bahwa
ada kesamaan lesi yang ditemukan yaitu lesi disubstansia nigra. Lebih lanjut,
secara terpisah dan dengan cara berbeda ditunjukkan Bein, Carlsson dan
Hornykiewicz tahun 1950an, bahwa penurunan kadar dopamine sebagai
kelainan biokimiawi yang mendasari penyakit Parkinson.(4,7)

2.3 Klasifikasi
Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan,
tetapi harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran
tentang etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.
1. Parkinsonismus primer/ idiopatik/ paralysis agitans.
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi
penyebabnya belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk
jenis ini.
2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik.
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain:
tuberkulosis, sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced,
misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,
misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang-ulang
pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)

3
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari
gambaran penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit
Wilson (degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif,
sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, atropi palidal
(parkinsonismus juvenilis).(5)

2.4 Etiologi
Etiologi Penyakit Parkinson belum diketahui (idiopatik), akan tetapi
ada beberapa faktor resiko (multifaktorial) yang telah diidentifikasikan, yaitu:
a. Usia
Meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30 tahun.
b. Rasial
Orang kulit putih lebih sering daripada orang Asia dan Afrika.
c. Genetik
Telah dibuktikan mutasi yang khas tiga gen terpisah (alpha-Synuclein,
Parkin, UCHL1) dan empat lokus tambahan (Park3, Park4, Park6, Park7)
yang berhubungan dengan Parkinson keturunan. Kebanyakan kasus
idiopatik Parkinson diperkirakan akibat faktor-faktor genetik dan
lingkungan. Etiologi yang dikemukan oleh Jankovics (1992) adalah
sebagai berikut :

Genetik predispositions
+
Environmental Factor ( exogenous and endogenous )
+
Trigger factor ( stress, infection , trauma , drugs , toxins )
+
Age related neuronal attrition and loss of anti-oxidative mechanism

Parkinsons Disease
Gambar 1. Etiologi dari Parkinsons disease

d. Lingkungan:
 Toksin: MPTP, CO, Mn, Mg, CS2, Metanol, Sianid.

4
 Pengunaan herbisida dan pestisida
 Infeksi
Banyak fakta yang menyatakan tentang keberadaan disfungsi
mitokondria dan kerusakan metabolism oksidatif dalam pathogenesis
Parkinson disease. Keracunan MPTP (1 methyl, 4 phenyl, 12,3,6
tetrahydropyridine) dimana MPP+ sebagai toksik metabolitnya,
pestisida dan limbah industri ataupun racun lingkungan lainnya,
menyebabkan inhibisi terhadap komplek I (NADH-ubiquinone
oxidoreduktase) rantai electron-transport mitokrondria, dan hal tersebut
memiliki peranan penting terhadap kegagalan dan kematian sel. Pada
PD, terdapat penurunan sebanyak 30-40% dalam aktivitas komplek I di
substansia nigra pars kompakta. Seperti halnya kelainan yang terjadi
pada jaringan lain, kelainan di substansia nigra pars kompakta ini
menyebabkan adanya kegagalan produksi energi, sehingga mendorong
terjadinya apoptosis sel.
e. Cedera kranio serebral
Peranan cedera kranio serebral masih belum jelas.
f. Stres emosional diduga juga merupakan faktor resiko(1).

2.5 Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi
karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta
substansia nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik
eosinofilik (Lewy bodies). Lewy bodies adalah inklusi sitoplasmik eosinofilik
konsentrik dengan halo perifer dan dense cores. Adanya Lewy bodies dengan
neuron pigmen dari substansia nigra adalah khas, akan tetapi tidak
patognomonik untuk Penyakit Parkinson, karena terdapat juga pada beberapa
kasus parkinsonism atipikal. Untuk lebih memahami patofisiologi yang
terjadi perlu diketahui lebih dahulu tentang ganglia basalis dan sistem
ekstrapiramidal.(3)
1. Ganglia Basalis

5
Dalam menjalankan fungsi motoriknya, inti motorik medula
spinalis berada dibawah kendali sel piramid korteks motorik, langsung
atau lewat kelompok inti batang otak . Pengendalian langsung oleh korteks
motorik lewat traktus piramidalis , sedangkan yang tidak langsung lewat
sistem ekstrapiramidal, dimana ganglia basalis ikut berperan.
Komplementasi kerja traktus piramidalis dengan sistem ekstapiramidal
menimbulkan gerakan otot menjadi halus, terarah dan terprogram.
a. Ganglia Basalis (GB) tersusun dari beberapa kelompok inti, yaitu:
 Striatum (neostriatum dan limbic striatum)
 Neostriatum terdiri dari putamen (Put) dan Nucleus Caudatus (NC)
 Globus Palidus (GP)
 Substansia Nigra (SN)
 Nucleus Subthalami (STN)
Pengaruh GB terhadap gerakan otot dapat ditunjukkan lewat
peran sertanya GB dalam sirkuit motorik yang terjalin antara korteks
motorik dengan inti medula spinalis. Terdapat jalur saraf aferen yang
berasal dari korteks motorik, korteks premotor dan supplementary
motor area menuju ke GB lewat Putamen. Dari putamen diteruskan ke
GPi (Globus Palidus internus) lewat jalur langsung (direk) dan tidak
langsung (indirek) melalui GPe (Globus Palidus eksternus) dan STN.
Dari GPe diteruskan menuju ke inti-inti thalamus, antara lain: VLO
(Ventralis lateralis pars oralis), VAPC (Ventralis anterior pars
parvocellularis) dan CM (centromedian). Selanjutnya menuju ke
korteks dari mana jalur tersebur berasal. Masukan dari GB ini
kemudian mempengaruhi sirkuit motorik kortiko spinalis (traktus
piramidalis).
Kelompok inti yang tergabung didalam ganglia basalis
berhubungan satu sama lain lewat jalur saraf yang berbeda-beda bahan
perantaranya (neurotransmitter/NT).

6
Terdapat tiga jenis neurotransmitter utama didalam ganglia
basalis, yaitu: Dopamine (DA), Acetylcholin (Ach) dan asam amino
(Glutamat dan GABA).

2. Patofisiologi Ganglia Basalis


Agak sulit memahami mekanisme yang mendasari terjadinya
kelainan di ganglia basalis oleh karena hubungan antara kelompok-
kelompok inti disitu sangat kompleks dan saraf penghubungnya
menggunakan neurotransmitter yang bermacam-macam. Satu unit
fungsional yang dipersarafi oleh lebih dari satu sistem saraf maka
persarafan tersebut bersifat reciprocal inhibition (secara timbal balik satu
komponen saraf melemahkan komponen yang lain). Artinya yang satu
berperan sebagai eksitasi dan yang lain sebagai inhibisi terhadap fungsi
tersebut. Contoh klasik reciprocal inhibition adalah dalam fungsi saraf
otonom antara saraf simpatik dengan NT noradrenalin (NA) dan saraf
parasimpatik dengan NT asetilkolin (Ach).
Fungsi unit tersebut normal bilamana kegiatan saraf eksitasi sama
atau seimbang dengan saraf inhibisi. Bilamana oleh berbagai penyakit atau
obat terjadi perubahan keseimbangan tersebut maka timbul gejala
hiperkinesia atau hipokinesia tergantung komponen saraf eksitasi atau
inhibisi yang kegiatannya berlebihan.
Patofisiologi GB dijelaskan lewat dua pendekatan , yaitu
berdasarkan cara kerja obat menimbulkan perubahan keseimbangan saraf
dopaminergik dengan saraf kolinergik dan perubahan keseimbangan jalur
direk (inhibisi) dan jalur indirek (eksitasi).
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi
karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars
kompakta substansia nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi
sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). Lesi primer pada penyakit
Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin di
dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang

7
menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal
(fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan
merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang
berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke
globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2
jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan
reseptor D2. Maka bila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak
ada kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan
substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum
sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala
Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih dari 50% sel saraf
dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%. Reseptor D1 yang
eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan neurotransmitter
GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak
terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen
eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi
inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi
inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke
nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus
meningkat akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus
segmen interna/ substansia nigra pars retikularis melalui saraf
glutaminergik yang eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan
neuron globus palidus/ substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh
lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung, sehingga output ganglia
basalis menjadi berlebihan kearah talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah
GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya
rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan

8
menurun dan output korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis
melemah terjadi hipokinesia.(6)

Gambar 2. Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak langsung


Keterangan Singkatan
D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
SNc : Substansia nigra pars compacta
SNr : Substansia nigra pars retikulata
GPe : Globus palidus pars eksterna
GPi : Globus palidus pars interna
STN : Subthalamic nucleus
VL : Ventrolateral thalamus=talamus

2.6 Patologi Anatomi


Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia
nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.

9
Gambar 3. Lesi substasia nigra pada Penyakit Parkinson

Substansia nigra pada penderita penyakit Parkinson memperlihatkan


depigmentasi menyolok pada pars kompakta, menunjukkan degenerasi sel
saraf yang mengandung neuromelanin.
Dengan mikroskop elektron terlihat neuron yang bertahan hidup
mengandung inklusi eosinofilik sitoplasmik disertai halo ditepinya yang
dikenal sebagai Lewy Body. Lewy body ditemukan di nucleus batang otak
tertentu biasanya mempunyai diameter > 15 cm, berbentuk sferis dan inti
hialin yang padat. Komponen struktural yang predominan pada Lewy body
terlihat berupa bahan filamen yang tersusun dalam pola sirkuler dan linear,
kadang terjulur kearah dari inti yang padat elektron. Lewy body bukan
gambaran yang spesifik pada penyakit Parkinson karena juga ditemukan pada
beberapa penyakit neurodegeneratif lain yang langka.(11)

2.7 Gambaran Klinis


Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non
spesifik, yang didapat dari anamnesa yaitu kelemahan umum, kekakuan pada
otot, pegal-pegal atau kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan,
kegelisahan, gejala sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau
depresi). Gambaran klinis penderita Parkinson: (9,1)
1. Tremor

10
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi
metakarpofalangeal, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang
logam (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi ekstensi atau pronasi supinasi,
pada kaki fleksi ekstensi, pada kepala fleksi ekstensi atau menggeleng,
mulut membuka menutup, lidah terjulur tertarik tarik. Tremor terjadi pada
saat istirahat dengan frekuensi 4-5 Hz dan menghilang pada saat tidur.
Tremor disebabkan oleh hambatan pada aktivitas gamma motoneuron.
Inhibisi ini mengakibatkan hilangnya sensitivitas sirkuit gamma yang
mengakibatkan menurunnya kontrol dari gerakan motorik halus.
Berkurangnya kontrol ini akan menimbulkan gerakan involunter yang
dipicu dari tingkat lain pada susunan saraf pusat. Tremor pada penyakit
Parkinson mungkin dicetuskan oleh ritmik dari alfa motor neuron dibawah
pengaruh impuls yang berasal dari nukleus ventro-lateral talamus. Pada
keadaan normal, aktivitas ini ditekan oleh aksi dari sirkuit gamma
motoneuron, dan akan timbul tremor bila sirkuit ini dihambat.

2. Rigiditas
Rigiditas disebabkan oleh peningkatan tonus pada otot antagonis
dan otot protagonis dan terdapat pada kegagalan inhibisi aktivitas
motoneuron otot protagonis dan otot antagonis sewaktu gerakan.
Meningkatnya aktivitas alfa motoneuron pada otot protagonis dan otot
antagonis menghasilkan rigiditas yang terdapat pada seluruh luas gerakan
dari ekstremitas yang terlibat.

3. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lamban sehingga gerak asosiatif menjadi
berkurang misalnya: sulit bangun dari kursi, sulit mulai berjalan, lamban
mengenakan pakaian atau mengkancingkan baju, lambat mengambil suatu
obyek, bila berbicara gerak bibir dan lidah menjadi lamban. Bradikinesia
menyebabkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan
spontan berkurang sehingga wajah mirip topeng, kedipan mata berkurang,
menelan ludah berkurang sehingga ludah keluar dari mulut. Bradikinesia

11
merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi dari impuls optik sensorik,
labirin, propioseptik dan impuls sensorik lainnya di ganglia basalis. Hal ini
mengakibatkan perubahan pada aktivitas refleks yang mempengaruhi alfa
dan gamma motoneuron.

4. Hilangnya refleks postural


Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama,
namun pada awal stadium penyakit Parkinson gejala ini belum ada. Hanya
37% penderita penyakit Parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun
mengalami gejala ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari
saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada
level talamus dan ganglia basalis yang akan mengganggu kewaspadaan
posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah jatuh.

5. Wajah Parkinson
Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya
ekspresi muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata
berkurang, disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering
keluar dari mulut.

6. Mikrografia
Bila tangan yang dominan yang terlibat, maka tulisan secara
graduasi menjadi kecil dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan
gejala dini.

7. Sikap Parkinson
Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada
penyakit Parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam
posisi kepala difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung
melengkung kedepan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan.

12
8. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring,
lidah dan bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang
monoton dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit Parkinson.
Pada beberapa kasus suara mengurang sampai berbentuk suara bisikan
yang lamban.

9. Disfungsi otonom
Disfungsi otonom mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara
progresif neuron di ganglia simpatetik. Ini mengakibatkan berkeringat
yang berlebihan, air liur banyak (sialorrhea), gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan adanya hipotensi ortostatik yang mengganggu.

10. Gerakan bola mata


Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi
menjadi sulit, gerak bola mata menjadi terganggu.

11. Refleks glabela


Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-
ulang. Pasien dengan Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada
tiap ketokan. Disebut juga sebagai tanda Mayerson’s sign.

12. Demensia
Demensia relatif sering dijumpai pada penyakit Parkinson.
Penderita banyak yang menunjukan perubahan status mental selama
perjalanan penyakitnya. Disfungsi visuospatial merupakan defisit kognitif
yang sering dilaporkan. Degenerasi jalur dopaminergik termasuk
nigrostriatal, mesokortikal dan mesolimbik berpengaruh terhadap
gangguan intelektual.

13. Depresi

13
Sekitar 40 % penderita terdapat gejala depresi. Hal ini dapat terjadi
disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang
menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan
merasa dikucilkan. Tetapi hal ini dapat terjadi juga walaupun penderita
tidak merasa tertekan oleh keadaan fisiknya. Hal ini disebabkan keadaan
depresi yang sifatnya endogen. Secara anatomi keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa pada penderita Parkinson terjadi degenerasi neuron
dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron norepineprin yang
letaknya tepat dibawah substansia nigra dan degenerasi neuron asetilkolin
yang letaknya diatas substansia nigra.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil
klinis, karena tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk
penyakit Parkinson. Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya
dalam air kencing, darah maupun cairan otak akan menurun pada penyakit
Parkinson dibandingkan kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan tidak ada
penanda biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive
terhadap penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua
penelitian patologis terpisah berkesimpulan bahwa hanya 76% dari
penderita memenuhi kriteria patologis aktual, sedangkan yang 24%
mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut.(7,8)

2. Neuroimaging:
a. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya
pasien yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan
signal di striatum.(7)
b. Positron Emission Tomography (PET)

14
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah
memberi kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem
dopamine nigrostriatal dan peranannya dalam patofisiologi penyakit
Parkinson. Penurunan karakteristik pada pengambilan fluorodopa,
khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita
penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat awitan gejala,
penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada
pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat
membedakan antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal.
PET juga merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi
penyakit, maupun secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi
jaringan mesensefalon fetus.(7)

Gambar 4. PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)


Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre
dan post sinapsis oleh SPECT, suatu kontribusi berharga untuk
diagnosis antara sindroma Parkinson plus dan penyakit Parkinson,
yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan ke striatum
oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara

15
klinis terkena maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson.
Penempelan juga berkurang secara signifikan dibandingkan dengan
nilai yang diharapkan sesuai umur yang berkisar antara 36% pada
tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek dan yang
lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11%
pada pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit
Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah
memungkinkan untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel
saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson.
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-
sinapsis yang menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya
mungkin terbukti berguna dalam mendeteksi orang yang beresiko
secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai suatu metoda
skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik
tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik
tersebut sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi
farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki.(8)

2.9 Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan klinis dengan ditemukannya
gejala motorik utama antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural. Kriteria diagnosis yang dipakai di
Indonesia adalah kriteria Hughes (1992):
1. Possible : didapatkan 1 dari gejala-gejala utama
2. Probable : didapatkan 2 dari gejala-gejala utama
3. Definite : didapatkan 3 dari gejala-gejala utama
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat
ringannya penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan
Hoehn and Yahr (1967) yaitu:
1. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya

16
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali
orang terdekat (teman).
2. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu.
3. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu
saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
4. Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk
jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri,
tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
5. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak
mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu.(10,11)

2.10 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit parkinson dapat dikelompokan, sebagai berikut: (3,5,6)
1. Farmakologik
a. Bekerja pada sistem dopaminergic
1. L-dopa
Penemuan terapi l-dopa pada tahun 1960 merupakan
terobosan baru pengetahuan tentang penyakit degenerasi.
Meskipun sampai sekarang l-dopa masih merupakan obat paling
menjanjikan respon terbaik untuk penyakit parkinson, namun masa
kerjanya yang singkat, respon yang fluktuatif dan efek oxidative
stress dan metabolitnya menyebabkan para peneliti mencari bahan
alternative. Cara kerja obat kelompok ini dapat dijelaskan lewat
alur metabolisme dari dopamin sebagai berikut. Tyrosin yang
berasal dari makanan akan diubah secara beruntun menjadi l-dopa
dan dopamin oleh enzimya masing-masing. Kedua jenis enzim ini
terdapat diberbagai jaringan tubuh, disamping dijaringan saraf.
Dopamin yang terbentuk di luar jaringan saraf otak, tidak dapat
melewati sawar darah otak. Untuk mencegah jangan sampai
dopamin tersintesa diluar otak maka l-dopa diberikan bersama

17
dopa-decarboxylase inhibitor dalam bentuk carbidopa dengan
perbandingan carbidopa : l-dopa = 1 : 10 (Sinemet) atau
benzerazide : l- dopa = 1 : 4 ( Madopar). Efek terapi preparat l-
dopa baru muncul sesudah 2 minggu pengobatan oleh karena itu
perubahan dosis seyogyanya setelah 2 minggu. Mulailah dosis
rendah dan secara berangsur ditingkatkan. Drug holiday sebaliknya
jangan lebih lama dari 2 minggu , karena gejala akan muncul lagi
sesudah 2 minggu obat dihentikan.
2. MAO dan COMT Inhibitor
Pada umumnya penyakit parkinson memberi respon yang
cepat dan bagus dengan l-dopa dibandingkan dengan yang lain,
namun ada laporan bahwa l-dopa dan dopamin menghasilkan
metabolit yang mengganggu atau menekan proses pembentukan
energi dari mitokondria dengan akibat terjadinya oxidative stress
yang menuntun timbulnya degenerasi sel neuron. Preparat
penghambat enzim MAO (monoamine oxydase) dan COMT
(Catechol-O-methyl transferase) ditambahkan bersama preparat l-
dopa untuk melindungi dopamin terhadap degradasi oleh enzim
tersebut sehingga metabolit berkurang (pembentukan radikal bebas
dari dopamin berkurang) sehingga neuron terlindung dari proses
oxidative stress.
3. Agonis Dopamin
Preparat lain yang juga dapat menghemat pemakaian l-dopa
adalah golongan dopamin agonis. Golongan ini bekerja langsung
pada reseptor dopamin, jadi mengambil alih tugas dopamin dan
memiliki durasi kerja lebih lama dibandingkan dopamin. Sampai
saat ini ada 2 kelompok dopamin agonis, yaitu derivat ergot dan
non ergot. Secara singkat reseptor yang bisa dipengaruhi oleh
preparat dopamin agonis adalah sebagai berikut:
Keuntungan terapi dengan agonis dopamin dibandingkan l-dopa
antara lain:

18
1) Durasi kerja obat lebih lama.
2) Respon fluktuatif dan diskinesia lebih kecil.
3) Dapat dipilih agonis dopamin yang lebih spesifik terhadap
reseptor dopamin tertentu disesuaikan kondisi penderita
penyakit parkinson.
Kerugian terapi agonis dopamin adalah onset terapeutiknya rata-
rata lebih lama dibandingkan DA ergik.

b. Bekerja pada sistem kolinergik


Obat golongan antikolinergik memberi manfaat untuk
penyakit parkinson, oleh karena dapat mengoreksi kegiatan
berlebihan dari sistem kolinergik terhadap sistem dopaminergik
yang mendasari penyakit parkinson. Ada dua preparat
antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit parkinson,
yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin).
Preparat lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah biperidon
(akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine (kamadrin).
Golongan anti kolinergik terutama untuk menghilangkan
gejala tremor dan efek samping yang paling ditakuti adalah
kemunduran memori.

c. Bekerja pada sistem Glutamatergik


Diantara obat-obat glutamatergik yang bermanfaat untuk
penyakit parkinson adalah dari golongan antagonisnya, yaitu
amantadine, memantine, remacemide dan L235959. Antagonis
glutamatergik diduga menekan kegiatan berlebihan jalur dari inti
subtalamikus sampai globus palidus internus sehingga jalur indirek
seimbang kegiatannya dengan jalur direk, dengan demikian out put
ganglia basalis ke arah talamus dan korteks normal kembali.
Disamping itu, diduga antagonis glutamatergik dapat meningkatkan

19
pelepasan dopamin, menghambat reuptake dan menstimulasi
reseptor dopamin.
Obat ini lebih efektif untuk akinesia dan rigiditas daripada
antikolinergik.

d. Bekerja sebagai pelindung neuron


Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap
ancaman degenerasi akibat nekrosis atau apoptosis. Termasuk
dalam kelompok ini adalah:
 Neurotropik faktor, yaitu dapat bertindak sebagai pelindung
neuron terhadap kerusakan dan meningkatkan pertumbuhan dan
fungsi neuron. Termasuk dalam kelompok ini adalah BDNF
(brain derived neurotrophic factor) , NT 4/5 (Neurotrophin 4/5) ,
GDNT (glia cell line-derived neurotrophic factorm artemin), dan
sebagainya. Semua belum dipasarkan.
 Anti-exitoxin, yang melindungi neuron dari kerusakan akibat
paparan bahan neurotoksis (MPTP, Glutamate). Termasuk disini
antagonis reseptor NMDA, MK 801, CPP, remacemide dan obat
antikonvulsan riluzole.
 Anti oksidan yang melindungi neuron terhadap proses oxidative
stress akibat serangan radikal bebas. Deprenyl (selegiline),
nitroindazole, nitroarginine, methyl-ester dan,
methylthiocitrulline. Bahan ini bekerja menghambat kerja enzim
yang memproduksi radikal bebas. Dalam penelitian ditunjukkan
vitamin tidak menunjukkan efek anti oksidan.
 Bioenergetic suplements, yang bekerja memperbaiki proses
metabolisme energi di mitokondria. Coenzym Q10 (Co Q10),
nikotinamide termasuk dalam golongan ini dan menunjukkan
efektifitasnya sebagai neuroprotektant pada hewan model dari
penyakit parkinson.

20
 Immunosuppressant, yang menghambat respon imun sehingga
salah satu jalur menuju oxidative stress dihilangkan. Termasuk
dalam golongan ini adalah immunophillins, CsA (cyclosporine
A) dan FK 506 (tacrolimu). Akan tetapi berbagai penelitian
masih menunjukkan kesimpulan yang kontroversial.

e. Bahan lain yang masih belum jelas cara kerjanya diduga


bermanfaat untuk penyakit parkinson, yaitu hormon estrogen dan
nikotin. Pada dasawarsa terakhir, banyak peneliti menaruh
perhatian dan harapan terhadap nikotin berkaitan dengan
potensinya sebagai neuroprotektan. Pada umumnya bahan yang
berinteraksi dengan R nikotinik memiliki potensi sebagai
neuroprotektif terhadap neurotoksis, misalnya glutamat lewat R
NMDA, asam kainat, deksametason dan MPTP. Bahan nikotinik
juga mencegah degenerasi akibat lesi dan iskemia.

Gambar 5. Skema pengobatan parkinson

2. Non Farmakologik

21
Penanganan penyakit parkinson yang tidak kalah pentingnya ini sering
terlupakan mungkin dianggap terlalu sederhana atau terlalu canggih.
a. Perawatan Penyakit Parkinson
Sebagai salah satu penyakit parkinson kronis yang diderita oleh
manula, maka perawatan tidak bisa hanya diserahkan kepada profesi
paramedis, melainkan kepada semua orang yang ada di sekitarnya.
b. Pendidikan
Dalam arti memberi penjelasan kepada penderita, keluarga dan care
giver tentang penyakit yang diderita. Hendaknya keterangan diberikan
secara rinci namun supportif dalam arti tidak makin membuat
penderita cemas atau takut. Ditimbulkan simpati dan empati dari
anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka
menjadi maksimal.

c. Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta
mengatasi masalah-masalah sebagai berikut:
 Abnormalitas gerakan
 Kecenderungan postur tubuh yang salah
 Gejala otonom
 Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living-ADL)
 Perubahan psikologik
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas dapat dilakukan tindakan
sebagai berikut :
1. Terapi fisik : ROM ( range of motion )
a. Peregangan
b. Koreksi postur tubuh
c. Latihan koordinasi
d. Latihan jalan (gait training)

22
e. Latihan buli-buli dan rectum
f. Latihan kebugaran kardiopulmonar
g. Edukasi dan program latihan di rumah

2. Terapi okupasi
Memberikan program yang ditujukan terutama dalam hal
pelaksanaan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Terapi wicara
Membantu penderita Parkinson dengan memberikan program
latihan pernapasan diafragma, evaluasi menelan, latihan disartria,
latihan bernapas dalam sebelum bicara. Latihan ini dapat
membantu memperbaiki volume berbicara, irama dan artikulasi.

4. Psikoterapi
Membuat program dengan melakukan intervensi psikoterapi setelah
melakukan asesmen mengenai fungsi kognitif, kepribadian, status
mental, keluarga dan perilaku.

5. Terapi sosial medik


Berperan dalam melakukan asesmen dampak psikososial
lingkungan dan finansial, untuk maksud tersebut perlu dilakukan
kunjungan rumah/ lingkungan tempat bekerja.

6. Orthotik Prosthetik
Dapat membantu penderita Parkinson yang mengalami
ketidakstabilan postural, dengan membuatkan alat bantu jalan
seperti tongkat atau walker.

7. Diet

23
Pada penderita parkinson ini sebenarnya tidaklah diperlukan suatu
diet yang khusus, akan tetapi diet penderita ini yang diberikan
dengan tujuan agar tidak terjadi kekurangan gizi, penurunan berat
badan, dan pengurangan jumlah massa otot, serta tidak terjadinya
konstipasi. Penderita dianjurkan untuk memakan makanan yang
berimbang antara komposisi serat dan air untuk mencegah
terjadinya konstipasi, serta cukup kalsium untuk mempertahankan
struktur tulang agar tetap baik. Apabila didapatkan penurunan
motilitas usus dapat dipertimbangkan pemberian laksan setiap
beberapa hari sekali. Hindari makanan yang mengandung alkohol
atau berkalori tinggi.

8. Pembedahan
Tindakan pembedahan untuk penyakit parkinson dilakukan bila
penderita tidak lagi memberikan respon terhadap pengobatan/
intractable, yaitu masih adanya gejala dua dari gejala utama
penyakit parkinson (tremor, rigiditas, bradi/akinesia, gait/postural
instability), fluktuasi motorik , fenomena on-off, diskinesia karena
obat, juga memberi respons baik terhadap pembedahan. Ada 2 jenis
pembedahan yang bisa dilakukan:
1. Pallidotomi, yang hasilnya cukup baik untuk menekan gejala:
 Akinesia/ bradi kinesia
 Gangguan jalan/ postural
 Gangguan bicara

2. Thalamotomi, yang efektif untuk gejala:


 Tremor
 Rigiditas
 Diskinesia karena obat

d. Stimulasi otak dalam

24
Mekanisme yang mendasari efektifitas stimulasi otak dalam
untuk penyakit parkinson ini sampai sekarang belum jelas, namun
perbaikan gejala penyakit parkinson bisa mencapai 80%. Frekwensi
rangsangan yang diberikan pada umumnya lebih besar dari 130 Hz
dengan lebar pulsa antara 60 – 90 s. Stimulasi ini dengan alat
stimulator yang ditanam di inti GPi dan STN.

e. Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson
dimulai 1982 oleh Lindvall dan kawannya, menggunakan jaringan
medula adrenalis yang menghasilkan dopamin. Jaringan transplan
(graft) lain yang pernah digunakan antara lain dari jaringan embrio
ventral mesensefalon yang menggunakan jaringan premordial steam
atau progenitor cells , non neural cells (biasanya fibroblast atau
astrosytes), testis-derived sertoli cells dan carotid body epithelial
glomus cells. Untuk mencegah reaksi penolakan jaringan diberikan
obat immunosupressant cyclosporin A yang menghambat proliferasi T
cells sehingga masa idup graft jadi lebih panjang.
Transplantasi yang berhasil baik dapat mengurangi gejala
penyakit parkinson selama 4 tahun kemudian efeknya menurun 4-6
tahun sesudah transplantasi. Sampai saat ini, diseluruh dunia ada 300
penderita penyakit parkinson memperoleh pengobatan transplantasi
dari jaringan embrio ventral mesensefalon.

2.11 Prognosis
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala
parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai
saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan dialami sepanjang
hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami perburukan
hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan
fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan,

25
gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon
terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala
terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat
sangat parah. (9,10)
PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi
berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD
pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada
tahap akhir, PD dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni,
dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian. Progresifitas gejala pada
PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa
orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan
lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang
tepat, kebanyakan pasien PD dapat hidup produktif beberapa tahun setelah
diagnosis.(9,10,11

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif progresif yang


berkaitan erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh
degenerasi neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta
substansia nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau
disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer. Penyakit Parkinson terjadi di
seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita hampir seimbang. Lima
sampai sepuluh persen orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya
muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65
tahun. Klasifikasi dari parkinson yaitu parkinsonismus primer/ idiopatik/ paralysis
agitans, parkinsonismus sekunder atau simtomatik, sindrom paraparkinson
(parkinson plus). Etiologi Penyakit Parkinson belum diketahui (idiopatik), akan
tetapi ada beberapa faktor resiko (multifaktorial) yang telah diidentifikasikan,
yaitu usia lanjut, orang kulit putih lebih sering daripada orang Asia dan Afrika,
kebanyakan kasus idiopatik parkinson diperkirakan akibat faktor-faktor genetik

26
dan lingkungan, cedera kranio serebral, stres emosional diduga juga merupakan
faktor resiko. Pengobatan penyakit parkinson dapat dikelompokan terdiri darri
farmakologik yang bekerja pada sistem dopaminergic, bekerja pada sistem
kolinergik, bekerja pada sistem glutamatergik, bekerja sebagai pelindung neuron
dan pengobatan non farmakologik berupa rehabilitasi medik, terapi okupasi, terapi
wicara, psikoterapi, terapi sosial medik, orthotik prosthetic, diet, pembedahan,
stimulasi otak dalam, transplantasi.
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena parkinson, maka penyakit ini akan dialami sepanjang hidupnya. Tanpa
perawatan, gangguan yang terjadi mengalami perburukan hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fahn, Stanley. 2000. Merrit’s Neurology. Tenth edition. Lippincott


Williams & Wilkins.
2. De Long, Mahlon. 2006. Harrison Neurology in Clinical Medicine. First
edition. McGraw-Hill Professional.
3. John C. M. Brust, MD. 2007. “Current Diagnosis & Treatment In
Neurology”, McGraw-Hill. Hal 199-206.
4. Clarke CE, Moore AP. 2006. “Parkinson's Disease”.
http://www.aafp.org/afp/20061215/2046.html (diakses 31 Januari 2017).
5. Sjahrir H, Nasution D, Gofir A. 2007. Parkinson’s Disease & Other
Movement Disorders. Pustaka Cedekia dan Departemen Neurologi FK
USU Medan. Hal 4-53.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. 2007. Penyakit Parkinson. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. FKUI. Hal 1373-1377.

27
7. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. 2006. Gangguan Neurologis dengan
Simtomatologi Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 1139-1144.
8. Harsono. 2008. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Neurologis Klinis.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dan UGM. Hal 233-243.
9. Duus Peter. 1996. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda
dan Gejala Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 231-243.
10. Agoes, Azwar, dkk. 2010. Penyakit di Usia Tua. Penyakit Parkinson.
Jakarta. EGC. Hal 147-152.
11. Ganong, William F., and Mcphee, Stephen J. 2011. Patofisiologi Penyakit 
Edisi 5. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 188-189.

28

Anda mungkin juga menyukai