Anda di halaman 1dari 5

Nama : Masyitah

NIM : 2086233110010

Prodi : SI PIAUD

Matakuliah : Kemuhammadiyahan

Dosen : Bapak Herman Taufik, M.Pd. I

Sejarah Muhammadiyah

A. Faktor Objektif (kondisi social dan keagamaan bangsa Indonesia pada zaman kolonial)
Realitas sosio agama di Indonesia Kondisi masyarakat yang masih sangat kental dengan
kebudayaan Hindu dan Budha, memunculkan kepercayaan dan praktik ibadah yang
menyimpang dari Islam. Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut dikenal dengan sitilah
Bid’ah dan Khurafat. Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Al-
Qur’an dan Hadits, hanya ikut"ikutan orang tua atau nenek moyang mereka. Sedangkan
bid’ah adalah bentuk ibadah yang dilakukan tanpa dasar pedoman yang Jelas, melainkan
hanya ikut-ikutan orangtua atau nenek moyang saja.
1. Faktor obyektif yang bersifat Internal
a. Kelemahan dan praktek ajaran Islam, dapat dijelaskan melalui dua bentuk:
1) Tradisionalisme; Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai
dengan pengukuhan yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan
menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan-pembaharuan
dalam bidang agama. Paham dan praktek agama seperti ini mempersulit agenda
ummat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang banyak datang
dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan adaptasi itu
termanifestasikan dalam bentuk-bentuk sikap penolakan terhadap perubahan dan
kemudian berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah menjadi
pengalaman hidup selama ini.
2) Sinkretisme; Pertemuan Islam dengan budaya lokal disamping telah memperkaya
khasanah budaya Islam, pada sisi lainnya telah melahirkan format-format
sinkretik, percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakatbudaya
setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya ini tidak dapat
dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan ketika
percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku
sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis
tidak berubah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek
moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan
orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-sama
dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
b. Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam Lembaga pendidikan tradisional Islam,
Pesantren, merupakan sistem pendidikan Islam yang khas Indonesia. Transformasi
nilai-nilai ke Islaman ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara institusional
sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat kelemahan dalam sistem
pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan kader-kader umat
Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman. Salah satu
kelemahan itu terletak pada materi pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran
agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan ilmu falak.
Pesanteren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti ilmu hitung,
biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru sangat diperlukan
bagi umat Islam untuk memahami perkembangan Artamin Hairit : Dinamika
Pendidikan Islam Multikultural 49 zaman dan dalam rangka menunaikan tugas
sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan lembaga pendidikan yang mengajarkan
kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang dan sebab kenapa KH.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani kebutuhan umat
terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu duniawi.
2. Faktor Objektif yang Bersifat Eksternal
a. Kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk
mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen.
Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia,
memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-
kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda.
Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH.
Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
b. Kolonialisme Belanda; Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat
buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik,
ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah
Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam,
semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini,
KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya mlakukan
perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
c. Gerakan Pembaharuan Timur Tengah; Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada
dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin
Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain
sebagainya. Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin
al-Afgani yang dimuat dalam majalah alUrwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH.
Ahmad Dahlan. Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu,
ternyata sangat mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan-
gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga. Dengan
melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa
KH. Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam beritijtihad.
Prinsipprinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada al-Quran
dan Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memeliki
karakter dinamis dan terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman
Muhammadiyah banyak memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara terbuka
(misalnya sistem kerja organisasi yang banyak diilhami dari yayasan-yayasan
Katolik dan Protestan yang banyak muncul di Yogyakarta waktu itu

B. Faktor Subjektif (keprihatinan dan keterpanggilan KH. Ahmad Dahlan terhadap umat
dan bangsa)
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor
penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA.
Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji
kandungan isinya.

Sikap KH Ahmad Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman
Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat
MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati
dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti ini pulalah
yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 : "Dan hendaklah
ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung".

Memahami seruan diatas, KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah
perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya
berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah
masyarakat kita.
C. Pengertian Muhammadiyah
1. Arti Bahasa atau Estimologis
Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama Nabi atau Rasul
Allah SWT yang terakhir. Kemudian mendapatkan “ya nisbiyah” yang artinya
menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Nabi Muhammad SAW atau
pengikut Nabi Muhammad SAW. Yaitu semua orang yang meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Allah SWT yang terakhir. Dengan demikian
siapapun yang beragama Islam maka dia adalah orang Muhammadiyah, tanpa dilihat atau
dibatasi oleh perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis, dsb.
2. Arti Istilah atau Terminologis
Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar yang
berarti perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dengan mencegah
hal-hal yang buruk bagi masyarakat) dengan maksud dan tujuan menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh
aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang
merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan
perseorangan maupun kolektif.  berasaskan Islam dan bersumber Al-Quran dan
Sunah/Hadist. Didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H,
bertepatan tanggal 18 November 1912 M dikota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama
Muhammadiyah dengan maksud untuk berta’faul (berpengharapan baik) dapat
mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW, sehingga umat
Muhammadiyah merasa bangga dan terhormat dengan agama yang dianutnya dan tidak
merasa malu kepada siapapun. Dalam rangka menegakkan dan menjujung tinggi agama
Islam semata-mata demi terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai
idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas.

D. Profil KH. Ahmad Dahlan


Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1
Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari1923 pada umur 54 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara
dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa
itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat
penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

E. Pemikiran-Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Tentang Islam dan Umatnya


1. Dalam bidang aqidah, KH. Ahmad Dahlan sejalan dengan pandangan dan pemikiran
ulama’ Salaf.
2. Menurut pandangan KH. Ahmad Dahlan, beragama itu adalah beramal, artinya berkarya
dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan pedoman al-Qur’an dan as-
Sunnah. Orang yang beragama adalah orang yang menghadapkan hidupnya dan jiwanya
hanya kepada Allah SWT, yang dibuktikan dengan perbuatan dan tindakan, seperti rela
berkurban baik harta benda dan dirinya, serta bekerja dalam hidupnya untuk Allah SWT.
3. Dasar pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika dari keduanya tidak
ditemukan qaidah hukum yang eksplisit maka ditentukan berdasarkan kepada penalaran
dengan menggunakan kemampuan berfikir logis (akal pikiran) serta ijma’ dan qiyas.
4. Terdapat lima jalan untuk memahami al-Qur’an yaitu: mengerti artinya, memahami
maksudnya (tafsir), selalu bertanya kepada diri sendiri, apakah larangan dan perintah
agama yang telah diketahui telah ditinggal dan perintah agamanya telah dikerjakan, tidak
mencari ayat lain sebelum isi ayat sebelumnya dikejakan.
5. Kyai Ahmad Dahlan menyatakan bahwa tindakan nyata adalah wujud kongrit dari
penerjemahan al-Qur’an, dan organisasi adalah wadah dari tindakan nyata tersebut.
Untuk memperoleh pemahaman demikian, orang Islam harus selalu memperluas dan
mempertajam kemampuan akal pikiran dengan ilmu mantiq dan logika.
6. Sebagai landasan agar seseorang suka dan bergembira, maka orang tersebut harus yakin
bahwa mati itu bahaya, akan tetapi lupa kepada kematian meripakan bahaya yang jauh
lebih besar dari kematian itu sendiri. Disamping itu, Kyai menyatakan selanjutnya,
bahwa harus ditanamkan pada hati seseorang ghirah dan gerak hati untuk maju dengan
landasan moral dan ikhlas dalam beramal.
Kesimpulan
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid,
bersumber pada Al Qur’an dan Hadist. Muhammadiyah merupakan organisasi
kemasyarakatan yang terlahir dari hasil pergejolakan pemikiran pendirinya yaitu KH.
Ahmad Dahlan berdasarkan kondisi sosial dan keagamaan pada zaman kolonial serta
keprihatinan dan keterpanggilan KH. Ahmad Dahlan terhadap umat dan bangsa.
Sehingga membuat beliau berpikir untuk memberikan pengetahuan agama Islam agar
umat Islam kembali pada ajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.

Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung
Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2
derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah
masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen
masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia
membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu
turun tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa
karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi
saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan
bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa
demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang
dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.

Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang
dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap
“berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan
tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap
memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad
Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan

Anda mungkin juga menyukai