Anda di halaman 1dari 11

PENANGANAN AWAL SAMPAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA

SEBAGAI SOLUSI MASALAH LINGKUNGAN

ISNAINI, NIM 221 RPL71016,

Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Mataram

Mataram 2021

Abstrak

Sampah merupakan masalah klasik, yang merupakan hasil dari proses kehidupan manusia
yang bila tidak dikelola dengan benar, maka bisa mengakibatkan efek samping yang
teramat sangat luas. Teknologi pengolahan sampah, semakin hari semakin berkembang.
Produksi sampah yang tidak diimbangi dengan penanganan secara baik, menimbulkan
permasalahan baru. TPA yang merupakan tujuan akhir dari sampah, semakin hari
semakin tidak mampu menampung kedatangan sampah, dikarenakan system pengelolaan
sampahnya masih sangat sederhana. Penanganan sampah dengan open dumping / landfill
masalah utamanya adalah kekurangan tempat. Pemilahan sampah memegang peranan
penting dalam pengelolaan persampahan. Partisipasi masyarakat sebagai penghasil
sampah sangat diperlukan agar program pengelolaan sampah dapat berjalan efektif.
Memahami apa yang memotivasi orang untuk memilah sampah dan apa yang
menghambat mereka dari melakukannya adalah langkah pertama menuju peningkatan
partisipasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemilahan sampah dan dampaknya terhadap
kesediaan masyarakat pada kegiatan pemilahan sampah.

Kata kunci : sampah, lingkungan hidup, komposting, daur ulang

1
2
Pendahuluan

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dirasa perlu untuk mencari alternative
penanganan sampah yang kuantitas dan kualitasnya terus meningkat tersebut. Karena
bagaimanapun juga apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita adalah apa yang
kita lakukan sekarang, atau dengan kata lain, tegakah kita meninggalkan lingkungan yang
kondisinya buruk akibat penanganan sampah yang tidak optimal. Bukankah dengan
meninggalkan kondisi lingkungan yang buruk bagi anak cucu kita, maka kita telah
mencuri hak – hak hidup mereka dimasa depan untuk terbebas dari sampah.

Berangkat dari hal tersebut, maka penulis menarik tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk
bisa dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan dengan
segala tantangan – tantangan yang ada dimasyarakat.

Adapun manfaat penulisan ini adalah untuk membuka serta melakukan pengulangan atau
repetisi tentang pengolahan sampah sehingga semua pihak yang terlibat dalam
penanganan sampah bisa mengambil kebijakan yang dirasa perlu sehingga persoalan
sampah dapat ditangani dengan sepenuhnya, dimulai dari produsen sampah.

Metode Studi

Adapun metode studi dalam pembuatan artikel ini adalah dengan melakukan studi
kepustakaan pada penelitian – penelitian sebelumnya yang telah dilakukan diberbagai
lokasi serta rentang waktu yang berbeda. Disamping itu, dikumpulkan data – data yang
diperlukan, dengan sumber – sumber resmi yang mempunyai data tersebut dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dari materi tulisan – tulisan yang berhasil dikumpulkan,
kemudian disimpulkan beberapa hal yang menjadi focus dari pembahasan yang relevan
atas artikel ini.

3
Hasil dan Pembahasan

Pengelolaan sampah kota adalah hal yang penting karena berbagai alasan, salah satunya
adalah lahan TPA yang telah menjadi sumber daya yang langka di banyak negara.
Pengelolaan sampah yang kurang efektif dapat mengakibatkan bahaya terhadap
kesehatan lingkungan dan memiliki dampak negatif pada lingkungan yang mungkin dapat
melampaui batas-batas geografis kota atau kotamadya. Sampah organik merupakan
komponen sampah yang cepat terdegradasi atau membusuk, terutama sampah yang
berasal dari sisa makanan. Sampah jenis ini dengan mudah terdekomposisi karena
aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian pengelolaannya menghendaki kecepatan,
baik dalam pengumpulan, pemrosesan, maupun pengangkutannya. Data tentang
komposisi sampah kota sangat penting untuk pemilihan alternatif manajemen sampah
seperti daur ulang. Daur ulang memegang perananan penting dalam mengurangi jumlah
sampah, memanfaatkan kembali material terbuang, mengurangi beban lingkungan, dan
meminimalisasi biaya pengelolaan sampah kota. Sampah di TPA seperti plastik, kertas,
logam, dan kaca merupakan bahan yang dapat didaur ulang untuk memperoleh barang
yang baru. Selain dapat memperpanjang masa layan TPA, daur ulang juga memeberikan
keuntungan ekonomi, sehingga dilakukanlah kajian mengenai komposisi, karakteristik
untuk mengetahui potensi daur ulang sampah di TPA (Zahra, 2011).

Sampah terdiri dari buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan hewan,
umumnya dalam bentuk padat dan dibuang karena tidak berguna dan tidak diinginkan.
Masa sekarang, sampah merupakan salah satu permasalahan lingkungan di perkotaan
karena volumenya yang terus bertambah. Untuk itu, perlu adanya peningkatan pelayanan
terhadap sampah. Namun, sektor pelayanan publik yang ada gagal memenuhi
pertambahan kebutuhan pelayanan tersebut. Pengelolaan sampah di perkotaan di
Indonesia yang umum dilakukan adalah pengelolaan sampah berbasis Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) dengan pola Kumpul – Angkut - Buang. Sementara pola ini
sudah tidak relevan lagi untuk menangani timbulan sampah yang bertambah.
Pengangkutan dan pembuangan sampah berpotensi menimbulkan pemborosan
4
sumberdaya karena alokasi biayanya bisa mencapai 70%-80% dari total biaya
pengelolaan sampah kota. Selain itu, daya tampung TPA terbatas, sedangkan pembukaan
TPA baru sering menimbulkan penolakan oleh masyarakat.

Permasalahan ini sebenarnya bisa diatasi, bila penanganan sampah tidak menggunakan
pendekatan pengolahan di hilir, untuk kedepannya di coba menggunakan pendekatan
pengolahan di hulu, dengan kata lain, pengolahan dimulai dari sejak sampah itu timbul
ditingkat rumah tangga atau tingkat sumber timbulan sampah. Pemilahan sampah
memegang peranan penting dalam pengelolaan persampahan. Partisipasi masyarakat
sebagai penghasil sampah sangat diperlukan agar program pengelolaan sampah dapat
berjalan efektif. Memahami apa yang memotivasi orang untuk memilah sampah dan apa
yang menghambat mereka dari melakukannya adalah langkah pertama menuju
peningkatan partisipasi.

Oleh karena itu, reduksi timbulan sampah harus dilakukan sebelum diurug ke TPA.
Mengurangi timbulan sampah yang masuk ke TPA dapat dilakukan dengan cara
minimasi di sumber dan maksimasi proses daur ulangnya. Untuk mewujudkan manfaat
dari daur ulang tersebut, sampah harus dipisahkan pada sumber. Sampah yang telah
dipilah di sumber sebaiknya tidak tercampur kembali pada saat pengumpulan dan
pengangkutan. Untuk itu, diperlukan alat dan fasilitas agar sampah tidak tercampur
kembali, misalnya gerobak terpilah atau container terpilah. Namun, jika modifikasi atau
penambahan alat dan fasilitas dinilai terlalu berat, maka pembedaan jadwal dapat menjadi
alternatif yang lebih ekonomis. Pemilahan sampah berbasis pengumpulan terjadwal ini
terbukti dapat meningkatkan efektivitas kegiatan daur ulang. Waktu yang dibutuhkan
untuk memilah-milah sampah yang telah tiba di TPS akan semakin berkurang dengan
adanya perlakuan pemilahan sampah di sumber dan pemberlakuan jadwal khusus. Selain
itu, dengan adanya pengumpulan terjadwal kegiatan pemulungan dapat lebih
terkonsentrasi sehingga lebih banyak barang layak daur yang diperoleh, kegiatannya pun
lebih mudah dan cepat. Pemilahan sampah mutlak menjadi salah satu prasyarat utama
untuk kegiatan daur ulang yang sukses dan ekonomis. Selain lebih ekonomis, pemilahan
5
sampah di sumber membutuhkan komitmen dan partisipasi dari masyarakat. Tanpa
adanya partisipasi masyarakat, maka semua progam pengelolaan sampah tidak akan
efektif dan menjadi sia-sia. Perilaku manusia didorong oleh kehendak dari dalam dan
adanya pengaruh dari luar. Kedua hal inilah yang harus diketahui agar faktor-faktor atau
potensi masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dapat dimanfaatkan. Perubahan
bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud apabila ada usaha membangkitkan
masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku terhadap sampah tidak lagi
didasarkan kepada keharusan dan kewajiban, akan tetapi lebih didasarkan pada nilai.
Memahami apa yang memotivasi orang untuk memilah sampah dan apa yang
menghambat mereka dari melakukannya adalah langkah pertama menuju peningkatan
partisipasi, hal ini sangatlah penting untuk menggambarkan efisiensi program daur ulang
di masa mendatang. Kegiatan yang nyaman, informasi yang cukup dan memadai, adanya
instruksi untuk melakukan pemilahan sampah, dan bukti bahwa pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya berkontribusi adil dalam upaya untuk melindungi
lingkungan adalah faktor-faktor pendorong bagi masyarakat untuk melakukan pemilahan
sampah ( Sari, 2011 )

Teknik pengolahan konvensional tidak dapat menyelesaikan permasalahan sampah


karena terbentur kebutuhan ruang, biaya dan timbulan lindi. Saat ini, ada banyak
teknologi pengolahan baru yang dikembangkan dan diterapkan di negara maju, namun
tidak selalu tepat dan berjalan dengan efektif ketika diterapkan di negara berkembang,
terutama karena rendahnya nilai kalor sampah dan mahal investasi dan operasi. Di sisi
lain, kebutuhan akan energi semakin tinggi, namun sumber daya yang tersedia semakin
berkurang. Energi yang terkandung di dalam sampah, dikenal dengan konsep waste to
energy yaitu proses rekoveri energi dari limbah melalui pembakaran langsung (insinerasi,
pirolisis, dan gasifikasi), atau dengan produksi bahan bakar dalam bentuk metan,
hidrogen, dan bahan bakar sintetik lainnya (anaerobic digestion, mechanical biological
treatment, refused-derived fuel). Karena kaitannya dengan energi, nilai kalor sampah
menjadi parameter penting.

6
Nilai kalor suatu sampah kota dapat diukur. Sampah yang paling baik untuk digunakan
dalam waste to energy, baik pembakaran langsung maupun RDF adalah kertas, plastik,
dan tekstil. Nilai kalor minimal dibutuhkan untuk insinerasi adalah 1500 kcal/kg,
sedangkan nilai kalor sampah di Indonesia hanya mencapai 1000 kcal/kg ( Novita, 2010).

Sehingga salah satu solusi yang dapat diterapkan di Indonesia adalah konsep “waste to
energi” diatas, yaitu dengan mengubah limbah menjadi salah satu sumber energi. Refuse
Derived Fuel (RDF) merupakan salah satu penerapan konsep waste to energi yang
memanfaatkan bahan bakar alternatif yang berasal dari residu atau bahan bakar yang
memiliki nilai kalor yang tinggi. RDF dapat dibakar sebagai bahan bakar alternative atau
pun dicampurkan dengan bahan bakar lainnya seperti batu bara. Pembuatan RDF
memanfaatkan keberadaan sampah yang memiliki nilai kalor tinggi dalam jumlah dan
kualitas yang sangat banyak. (Dong et.al, dalam Putri 2013) Bahan bakar padat ini
diproduksi dari pencampuran produk lumpur minyak (karbonasi RDF) dan dengan
lumpur industri dengan rasio pencampuran tertentu. Material ini dapat diproses menjadi
bentuk padat yang memiliki keandalan, bentuk penyimpanan, keterbakaran, dan nilai
ekonomis yang baik (Uesugi dalam Putri, 2013). Pendekatan RDF telah banyak
diterapkan di negara-negara Asia seperti Korea dan Jepang. Kurangnya lahan untuk lahan
landfill dan kurangnya pasokan energi mendorong mereka untuk memanfaatkan sampah
menjadi RDF. Korea merupakan negara dengan kawasan industri yang memiliki
beberapa jenis limbah padat yang potensial untuk RDF seperti kertas, kayu, tekstil,
plastik, karet, dan lumpur yang berasal dari industri (Dong et.al,2008 dalam Putri, 2013).

Alternatif teknologi pengolahan sampah lain yang bisa di pertimbangkan antara lain yaitu
pengomposan yang metodenya dapat dipilih antara lain : 1. Aerated Static Pile aktif,
sampah organik dicampur bersama dalam satu kolom pile besar. Dalam metode ini,
sebuah blower digunakan untuk memasukkan atau mengeluarkan udara sepanjang
gundukan. Pembalikan sampah dilakukan hanya sekali ketika pile dibentuk. Karena pile
tidak mengalami proses turning, perhatian harus diberikan pada pencampuran sampah.
Sangatlah penting untuk membentuk campuran yang homogen dan tidak mengkompaksi
7
material (sampah) dengan mesin dalam pembuatan pile, sehingga distribusi udara dapat
berimbang, dan tidak ada area anaerobik yang dapat mengakibatkan sampah menjadi
tidak dikomposkan. 2. Aerated Static Pile pasif dimana didalam metode ini, kebutuhan
untuk proses pembalikan dapat ditiadakan, dan sebagai gantinya digunakan pipa berpori
yang melintang di bagian dasar tumpukan sampah, untuk memberikan ruang udara masuk
bagi material. Tumpukan sampah dilapisi dengan kompos matang, jerami atau peat moss
(lumut tanah). Pipa disusun di atas lapisan selimut, dan kemudian di atasnya ditutupi
dengan lapisan sampah (windrow), dengan ukuran tinggi tertentu. Lapisan selimut
berguna untuk pembatas lahan pengolahan (site), mengusir serangga, dan mengurangi
timbulan bau. Pipa disusun di antara bagian tengah lapisan selimut. 3. Windrow yaitu
perlakuan dimana sampah disusun dalam gundukan yang kecil memanjang dengan lebar
dan tinggi tertentu. Lebar windrow ditentukan oleh ukuran mesin yang akan digunakan
untuk pembalikan windrow. Ukuran windrow ditentukan oleh porositas material.
Windrow yang besar akan lebih cepat menjadi anaerobik pada bagian tengahnya,
sehingga membutuhkan pembalikan yang konstan, sementara windrow yang terlalu kecil
tidak akan mencapai suhu yang diinginkan untuk pengomposan yang efisien dan
membunuh bibit penyakit dan patogen. Frekuensi pembalikan akan tergantung pada laju
reaksi pengomposan. Suhu, konsenterasi oksigen, dan bau adalah indikator yang bagus
untuk pembalikan. 4. Vermicomposting yaitu proses yang menggunakan bantuan cacing
tanah dan mikroorganisme untuk membantu menstabilisasi material organik dan
mengubahnya menjadi tanah yang kaya dengan sumber nutrien. Cacing tanah akan
mengkonsumsi sebagian besar material organik, termasuk kotoran hewan, sisa-sisa
pertanian, benda - benda organik dari industri, sampah dari kebun, sisa-sisa makanan,
sampah kertas, dan sewage sludge (Susangka, 2010).

Komposisi Sampah Organik merupakan komponen sampah yang cepat terdegradasi atau
membusuk, terutama sampah yang berasal dari sisa makanan. Sampah jenis ini dengan
mudah terdekomposisi karena aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian
pengelolaannya menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan, pemrosesan, maupun

8
pengangkutannya (Damanhuri dalam Zahra, 2011). Adapun sampah organik digolongkan
menjadi : 1Sampah Dapur dimana jenis sampah yang termasuk ke dalam golongan ini
yaitu sampah daging, ikan, sisa makanan, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Sampah
plastik ditemukan paling besar diantara jenis sampah anorganik lainnya, disusul oleh
kertas.

Sampah bukanlah benda yang harus selalu dibuang. Potensi Daur Ulang Sampah Daur
ulang adalah penggunaan limbah itu sendiri sebagai sumber daya (Kaburagi dalam Zahra,
2011). Kegiatan daur ulang dapat meliputi perbaikan, re-manufacturing, konversi bahan,
suku cadang dan produk. Daur ulang sampah saat ini diakui sebagai pendekatan yang
berkelanjutan untuk pengelolalaan limbah padat dan dianggap membantu ekonomi
masyarakat, lingkungan, social, dan ekologis (Kaseva dalam Zahra, 2011).

Oleh karena itu, sampah yang telah masuk ke TPA bukan berarti tidak memiliki nilai
guna kembali. Beberapa jenis sampah anorganik yang masuk ke TPA masih memiliki
bahan yang dapat dimanfaatkan kembali atau masih bernilai ekonomi. Sampah anorganik
yang tergolong masih memiliki nilai jual antara lain : 1. Plastik Densitas plastik yang
rendah, kekuatannya, desain yang ramah pengguna, tahan lama, ringan, dan murah
menjadi faktor dibalik peningkatan angka penggunaan plastik (Siddique dalam Zahra,
2011). maka plastik jenis kresek (kantong plastik) merupakan bahan berpotensi daur
ulang yang terbesar 2. Kertas didominasi oleh kardus dan karton, koran, kertas
pembungkus makanan. 3. Logam dimana jenis logam yang diperdagangkan oleh
pemulung hanya terbatas jenis logam terbanyak saja, yaitu besi, seng, alumunium,
tembaga, kuningan, timah, kaleng besi, dan kaleng non-besi. 4. Kaca yang merupakan
salah satu jenis sampah yang mempunyai nilai jual dan dapat di daur ulang. Proses daur
ulang kaca menggunakan lebih sedikit energi dibandingkan dengan proses pembuatan
kaca dari pasir, kapur, dan soda. Setiap ton sampah kaca yang didaur ulang menjadi
barang-barang baru membantu mengurangi 315 kilogram karbon dioksida yang
dilepaskan ke atmosfer dibandingkan dengan proses pembuatan kaca dari bahan baku
(Thomas et al dalam Zahra, 2011).
9
Kendala dalam Pemilahan Sampah antara lain : sarana dan prasarana yang tidak
memadai, rendahnya kesadaran masyarakat dan kurangnya informasi ( Zahra, 2011 )
sehingga dirasa perlu semua pihak yang terlibat untuk mengadakan sarana dan prasarana
pengumpulan sampah, sehingga pemilahan sampah di tingkat sumber dapat dilakukan
secara maksimal, sehingga sampah yang dihasilkan dapat diperlakukan sesuai dengan
jenisnya, apakah didaur ulang, di jadikan kompos, ataupun dijadikan sumber bahan bakar
alternative (RDF).

10
Daftar Pustaka

Novita. D.M., dan Damanhuri. T.P. Perhitungan Nilai Kalor Berdasarkan Komposisi
dan Karakteristik sampah Perkotaan di Indonesia Dalam Konsep Waste To
Energy . Jurnal Teknik Lingkungan Volume 16 Nomor 2, Oktober 2010 (hal. 103-
114) [e-ISSN: 27146715 dan p-ISSN: 8549796], Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
2010

Putri. A.P dan Sukandar. Studi Pemanfaatan Limbah B3 Sludge Produced Water Sebagai
Bahan Baku Refuse Derived Fuel (RDF). Jurnal Teknik Lingkungan Volume 19
Nomor 1, April 2013 (Hal 1-10). Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung 2013

Sari. P.P, dan Rahardyan. B. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat


Kepercayaan Masyarkat Terhadap Pemilahan Sampah. Jurnal Teknik Lingkungan
Volume 18 Nomor 2, Oktober 2011 (Hal. 189-200) 189 Program Studi Teknik
Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
2011

Susangka. A., dan Chaerul. M. Analisis Multi Kriteria Pemilihan Teknologi


Pengomposan Sampah. Jurnal Teknik Lingkungan Volume 16 Nomor 1, April
2010, Program Studi Teknik Lingkungan, FTSL ITB, Bandung, 2010

Zahra. F., dan Damanhuri. T.P. Kajian Komposisi, Karakteristik, Dan Potensi Daur
Ulang Sampah Di TPA Cipayung. Jurnal Teknik Lingkungan Volume 17 Nomor
1, April 2011 (Hal 59-69). Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung 2011

11

Anda mungkin juga menyukai