Anda di halaman 1dari 56

PENYAKIT MENULAR DAN KRONIS

MALARIA DALAM KESEHATAN IBU DAN ANAK

Oleh:

AULIA RISTI R. 101814153025

PEMINATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK


PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

i
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.3.1 Tujuan umum ............................................................................... 4
1.3.2 Tujuan khusus ............................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
1.4.1 Manfaat teoritis ............................................................................. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Malaria .......................................................................................... 5
2.1.1 Definisi malaria ............................................................................. 5
2.1.2 Epidemiologi malaria .................................................................... 5
2.1.3 Etiologi malaria ............................................................................. 6
2.1.4 Patogenesis malaria ....................................................................... 9
2.1.4.1Siklus hidup aseksual plasmodium ............................................... 9
2.1.4.2 Siklus hidup seksual plasmodium ............................................... 10
2.1.5 Respon imun terhadap infeksi malaria........................................... 12
2.2 Malaria dalam Kehamilan............................................................. 13
2.2.1 Pengaruh pada ibu......................................................................... 13
2.2.2 Pengertian pada janin.................................................................... 14
2.2.3 Imunitas wanita hamil yang terinfeksi malaria............................. 15
2.2.4 Histopatologi …………………………………………………............ 16
2.2.5 Komplikasi Malaria dalam kehamilan......................................... 17
2.2.5.1 Anemia …………........................................................................ 17
2.2.5.2 Hipoglikemia ………................................................................... 18
2.2.5.3 Edema paru akut .......................................................................... 19
2.2.5.4 Imunisupresi …............................................................................. 19
2.2.5.5 Gagal ginjal …….......................................................................... 20
2.2.6 Risiko malaria terhadap janin ……….......................................... 20
2.2.5.1 Malaria kongenital........................................................................ 20
2.3 Malaria pada Balita dan Anak..................................................... 20
2.4 Diagnosis dan Penanganan Malaria............................................. 23
2.4.1 Anamnesis ...…............................................................................. 23
2.4.2 Pemeriksaan fisik.......................................................................... 23
2.4.3 Pemeriksaan Laboratorium ………….......................................... 24
2.4.4 Malaria berat.……........................................................................ 24
2.4.5 Pencegahan dan pengobatan malaria............................................ 25
2.4.6 Kriteria keberhasilan pengobatan................................................. 30
2.4.7 Penanganan komplikasi malaria................................................... 31
2.4.8 Penanganan saat persalinan.......................................................... 32
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi malaria.................................. 33
2.5.1 Faktor manusia dan nyamuk (host)............................................... 33
2.5.2 Faktor lingkungan …………….................................................... 35
2.4.8 Faktor agent (plasmodium)........................................................... 40

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KRONOLOGIS MASALAH


3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ................................................... 41
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual .................................................. 42

BAB 4 METODE PENELITIAN


4.1 Jenis Penelitian ………………...................................................... 43
4.2 Teknik dan Prosedur Pengambilan Data........................................ 44
4.3 Kerangka Operasional.................................................................... 44

BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan …...........................…............................................... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan …………………………........................................... 49
6.2 Saran……………………………………………………………... 50

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan masalah kesehatan berbagai negara di dunia dalam


dekade terakhir ini dan mengentaskannya merupakan salah satu tujuan
Sustainable Development Goals (SDGs). Program global ini pada
tahun 2030 menargetkan mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis,
malaria dan penyakit tropis yang terabaikan, serta memerangi hepatitis,
penyakit bersumber air dan penyakit menular lainnya (WHO, 2015).
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
protozoa Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles. Malaria menjadi penyakit dengan penyebaran paling luas
di dunia dan menjadi endemis terutama di daerah tropis dan subtropis.
Terdapat 212 juta kasus malaria terjadi secara global dan sebanyak
429.000 jiwa meninggal dunia pada tahun 2015, sebagian besar mereka
adalah anak berumur di bawah 5 tahun. Terdapat sekitar 91 negara yang
masih endemis malaria di dunia pada tahun awal 2016. Wilayah dengan
kasus malaria tertinggi berada di sebagian Afrika, Amerika, Timur
Tengah dan Asia (WHO, 2016).
Model prediksi berdasarkan systematic review pemetaan sebaran
malaria di tingkat global, memperkirakan 105 juta dari 239 juta
penduduk Indonesia merupakan populasi berisiko terinfeksi malaria.
Malaria juga mendapat perhatian khusus karena merupakan penyakit
dan penyebab kematian di banyak negara berkembang terutama pada
anak dan wanita hamil. Dalam hasil systematic review disebutkan,
proporsi wanita dengan parasitemia selama kehamilan di wilayah Asia-
Pasifik diperkirakan sebesar 15% (kisaran 1,2-40,8) berdasarkan hasil
survei cross-sectional, dan sebesar 36,5% (kisaran 6,0-64,0)
berdasarkan hasil studi longitudinal. Pada tahun 2015, lebih dari dua
pertiga (70%) dari semua kematian akibat malaria terjadi pada anak-
anak usia di bawah lima tahun. (Sulaeman, 2012)

1
2

Malaria selama kehamilan berkonsekuensi menyebabkan kesakitan,


kematian, aborsi, kelahiran dini, berat badan lahir rendah (mengacu
pada penghambatan pertumbuhan intra-uterine dan prematuritas) dan
transmisi transplacental dari parasit malaria. Infeksi malaria pada ibu
hamil tidak hanya dapat meningkatkan risiko anemia yang dapat
meningkatkan risiko perdarahan saat persalinan, namun juga
meningkatkan risiko kematian bayi, prematuritas dan berat badan lahir
rendah.(wolf, 2007)
Resiko terkena malaria semakin meningkat terutama pada kehamilan
trimester dua, ibu hamil memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk
menderita penyakit parah lainnya bila terinfeksi malaria dibandingkan
perempuan yang tidak sedang hamil.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki masalah
malaria dengan API (Annual Parasite Indeks) sebesar 0.85 per 1000
penduduk dan jumlah kasus 209.413.11 Kalimantan Timur (Kaltim)
merupakan salah satu provinsi endemis malaria di Indonesia yang
termasuk dalam peringkat 15 besar, dengan API sebesar 0,46 per 1.000
penduduk dan Case Fatality Rate Malaria 0,21%. Malaria perlu
mendapat perhatian le bih di Kaltim terlebih seiring perjalanan waktu
perubahan lingkungan khususnya fungsi hutan dan deforestasi telah
terjadi. Beberapa studi menunjukkan bahwa deforestasi dan pola
perubahan dalam penggunaan lahan, biodiversitas mempengaruhi
vektor penyakit dan mengubah pola penyakit. Nyamuk sangat sensitif
terhadap lingkungan perubahan akibat deforestasi, yang menghasilkan
perubahan kecil dalam kondisi lingkungan, seperti suhu, kelembaban
dan ketersediaan habitat larva yang cocok yang mungkin
mempengaruhi distribusi spesies mereka, kelangsungan hidup dan
densitas. Perubahan ini pada gilirannya akan mempengaruhi insiden
dan prevalensi malaria. Hal tersebut menekankan bahwa malaria pada
kehamilan memerlukan perhatian khusus bahkan menjadi hal yang
tetap harus diwaspadai, mengingat perubahan kondisi lingkungan
termasuk di Kabupaten Kutai Timur saat ini. Pertambangan dan
3

pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit menyebabkan


perubahan lahan menjadi 95.742 ha lahan kritis belukar.
Pada kelompok rentan, seperti anakanak umur 1-9 tahun dan ibu hamil,
didapatkan angka positif malaria yang cukup tinggi sebesar 1,9%
dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Proporsi penduduk
pedesaan yang positif malaria ditemukan sekitar dua kali lipat lebih
banyak mencapai 1,7% dibandingkan dengan penduduk perkotaan
yaitu sebesar 0,8% (Riskesdas, 2013). Sebanyak 247 kabupaten dan
kota di Indonesia telah mendapatkan sertifikat eliminasi malaria pada
tahun 2016. Sebanyak 37 kabupaten dan kota dari 38 kabupaten dan
kota di Provinsi Jawa Timur telah mendapatkan sertifikat eliminasi
malaria. Kabupaten dan kota harus dinyatakan bebas dari penularan
malaria indigenous yang penularannya terjadi di daerah setempat untuk
mendapatkan predikat eliminasi malaria. Menuju Indonesia
bebas malaria tahun 2030, kasus penyakit yang dibawa nyamuk
Anopheles ini mengalami penurunan drastis. Jika dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan Asia, Indonesia punya kontribusi penting
terhadap penurunan kasus malaria. Selama delapan tahun terakhir (dari
2010-2018), malaria di Indonesia menurun.
Data Kementerian Kesehatan RI mencatat, dari tahun 2010 sampai
2017 telah terjadi penurunan kasus malaria sebesar 44 persen. Jumlah
kasus malaria tahun 2010 sebanyak 465.000 kasus.
Dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 285
kabupaten/kota diantaranya sudah berstatus eliminasi malaria.
Sertifikat bebas malaria di kabupaten/kota pun diserahkan kepada
kepala pemerintah daerah setempat. Artinya, sudah 198 juta dari 260
juta penduduk Indonesia terbebas dari malaria. Ya, 70 sampai 75 persen
penduduk tidak berisiko kena malaria di tempat tinggalnya. Jumlah
penurunan kasus malaria di Indonesia termasuk salah satu contoh
perkembangan kondisi kesehatan di Asia Tenggara. Secara global,
kasus malaria menurun. Laporan World Malaria Report 2018 sudah
terjadi penurunan insiden malaria di dunia sebanyak 8 persen dari tahun
4

2010 sampai 2017. Sebanyak 239 juta kasus malaria pada tahun 2010.
Sementara itu, tahun 2017 turun menjadi 219 kasus malaria di dunia
dari data diambil dari 91 negara. (infodatin, 2018)
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan pada studi pustaka ini adalah
“Bagaimana kejadian malaria pada ibu dan anak?”
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dalam pembahasan ini adalah memperoleh informasi
tentang definisi, perjalanan penyakit, pengobatan, pencegahan dan factor
yang menyebabkan maria pada ibu dan anak.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui definisi, patofisiologi terjadinya malaria pada
ibu dan anak
b. Mengetahui pengobatan dan pencegahan malaria pada ibu
dan anak
c. Mengetahui factor yang menyebabkan terjadinya malaria
pada ibu dan anak
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini dapat diharapkan memiliki manfaaat sebagai beriku :
1.4.1 Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang diharapakan adalah penulisan dapat menjadi
rujukan bagi upaya pengembangan ilmu penyakit menular dan kronis
khususnya tentang penyakit malaria dan pengaruhnya pada kesehatan ibu
dan anak.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam kepenulisan ini diharapkan memperluas wawasan
sekaligus gambaran tentang penyakit malaria pada kesehatan ibu dan anak.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
2.1.1 Definisi malaria
Malaria adalah penyakit protozoa yang disebarkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina aktif. Protozoa penyebab malaria adalah genus
Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia maupun serangga. Infeksi
malaria, yang sebagian besar tersebar di daerah tropis, merupakan penyakit
yang berpotensi mengancam jiwa. Nama malaria mulai dikenal sejak zaman
kekaisaran Romawi, dan berasal dari kata Italia malaria atau “udara kotor”
dan disebut juga demam Romawi. Diduga penyakit ini berasal dari Afrika
dan menyebar mengikuti gerakan migrasi manusia melalui pantai
Mediterania, India dan Asia Tenggara.(Sulaeman, 2012 dan Bruce, 2010)
2.1.2 Epidemiologi malaria
Setiap spesies Plasmodium memiliki daerah endemik tertentu walaupun
seringkali memiliki geografi yang saling tumpang tindih. Infeksi malaria
tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika Selatan,
Amerika Tengah, Hispaniola, India, Timur Tengah dan daerah Oceania dan
Kepulauan Caribia. Lebih dari 1,6 triliun manusia terpapar oleh malaria
dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta
pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat,
Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong,
Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut terhindar dari
malaria karena vektor kontrolnya yang baik. Walaupun demikian, di negara
tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimpor karena
pendatang dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-
daerah malaria (Bruce, 2010).
6

Gambar 2.1. Peta penyebaran infeksi malaria (Diambil dari Wolf, 2002)
Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Malariae umumnya dijumpai
pada semua negara dengan malaria. Di Afrika, Haiti dan Papua Nugini
umumnya Plasmodium Falciparum. Adapun Plasmodium Vivax banyak di
Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan
India umumnya Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Vivax.
Plasmodium Ovale biasanya hanya di Afrika (Harijanto, 2014).
Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah
sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombok sampai Nusa
Tenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria
dengan Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Vivax. Beberapa daerah
di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi, dan Batam kasus malaria
cenderung meningkat (Harijanto, 2014).
2.1.3 Etiologi malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang masuk ke dalam tubuh manusia, ditularkan oleh
nyamuk Anopheles betina (Harijanto, 2014)..

Gambar 2.2 Plasmodium spp. (Diambil dari Suparman, 2014)


7

Lima species Plasmodium penyebab malaria pada manusia adalah:


a. Plasmodium vivax. Spesies ini cenderung menginfeksi sel-sel
darah merah yang muda (retikulosit), dengan demikian
menyebabkan tingkat parasitemia yang lebih rendah. Kira-kira
43% dari kasus malaria di seluruh dunia disebabkan oleh
Plasmodium vivax. Dari semua pasien yang terinfeksi P. vivax,
50% gejala berulang dalam beberapa minggu sampai 5 tahun
setelah gejala awal. Ruptur limpa mungkin berhubungan dengan
infeksi sekunder P. vivax, yakni splenomegaly yang merupakan
hasil sekuestrasi sel darah merah.
b. Plasmodium malariae. Mempunyai kecenderungan untuk
menginfeksi sel-sel darah merah yang tua. Seseorang yang
terinfeksi jenis Plasmodium ini biasanya tetap asimptomatik
untuk jangka waktu yang jauh lebih lama dibandingkan orang
yang terinfeksi P. vivax dan P. ovale. Kekambuhan biasanya
terjadi pada penderita P. malariae dan berhubungan dengan
sindrom nefrotik yang mungkin akibat dari pengendapan
kompleks antigen-antibodi di glomerulus.
c. Plasmodium ovale. Predileksinya dalam sel-sel darah merah
mirip dengan Plasmodium vivax (menginfeksi sel-sel darah
muda) walaupun gejalanya lebih ringan karena parasitemianya
lebih ringan. P. ovale sering sembuh tanpa pengobatan. Ada juga
seorang penderita terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium
secara bersamaan.
d. Plasmodium falciparum yang sering menjadi malaria cerebral
dengan angka kematian yang tinggi. Merozoitnya menginfeksi
sel darah merah dari segala usia (baik muda maupun tua)
sehingga menyebabkan tingkat parasitemia jauh lebih tinggi dan
cepat (> 5% sel darah merah terinfeksi). Spesies ini menjadi
penyebab 50% malaria di seluruh dunia. Sekuestrasi merupakan
sifat khusus dari P. falciparum. Selama berkembang dalam 48
jam, parasit terebut melakukan proses adhesi yang menyebabkan
8

sekuestrasi parasit pada pembuluh darah kecil. Karena hal


tersebut, hanya bentuk awal yang dapat dilihat pada darah tepi
sebelum sekuestrasi berlangsung, hal ini merupakan petunjuk
diagnostik penting seorang pasien terinfeksi P. falciparum.
Sekuestrasi parasit dapat menyebabkan perubahan status mental
dan bahkan koma. Selain itu, sitokin dan parasitemia
berkontribusi pada organ target. Gangguan pada organ target
dapat berlangsung sangat cepat dan secara khusus melibatkan
sistem saraf pusat, paru-paru, dan ginjal.
e. Plasmodium Knowlesi yang dapat meninfeksi manusia yang
sebelumnya hanya menginfeksi hewan primata/monyet dan
sampai saat ini masih terus diteliti. (Harijanto, 2014).
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles
betina. Terdapat lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia, dan hanya
sekitar 67 spesies yang terbukti mengandung sporozoit dan dapat
menularkan ke manusia. Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria
biasanya hanya ada satu atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang
menjadi vektor penting. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies
(Suparman, 2014).

Gambar 2.3 Anopheles betina (Diambil dari Knirsch, 2007)


Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Plasmodium
Falciparum dan Plasmodium Vivax atau campuran keduanya, sedangkan
Plasmodium Malariae hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan
Plasmodium ovale ditemukan di Papua. Morfologi spesies Plasmodium
dapat dibedakan dari pemeriksaan apusan darah. P. falciparum dibedakan
9

dari jenis Plasmodium lainnya oleh tingkat parasitemia dan bentuk


gametosit yang menyerupai pisang (Bruce, 2010).
2.1.4 Patogenesis malaria
2.1.4.1 Siklus hidup aseksual plasmodium
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk ke
dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga
puluh menit, parasit tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai
stadium eksoeritrositik dari daur hidupnya. Di dalam sel hati, parasit
tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit (10.000-30.000
merozoit, tergantung spesiesnya) . Sel hati yang mengandung parasit pecah
dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian di fagosit. Oleh karena
prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka disebut stadium
preeritrositik atau eksoeritrositik yang berlangsung selama 2 minggu. Pada
P. Vivax dan P. Ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang
menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut
hipnozoit. Hipnozoit dapat tinggal didalam hati sampai bertahun-tahun.
Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga
dapat menimbulkan relaps (kekambuhan) (Perez, 2012).
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah.
Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang
membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit, tropozoit
berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon
matang dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan selesainya
pembelahan tersebut sel darah merah pecah yang menyebabkan penderita
demam. Selanjutnya merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki
plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi
siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit dan membentuk
skizon dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual (gametosit
jantan dan betina) setelah melalui 2-3 siklus skizogoni darah. (Perez, 2012).
2.1.4.2 Siklus Hidup Seksual Plasmodium
Siklus aseksual terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk anopheles
betina menghisap darah yang mengandung gametosit. Gametosit yang
10

bersama darah tidak dicerna. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi


menjadi 6-8 inti yang bergerak ke pinggir parasit. Dipinggir ini beberapa
filamen dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet.
Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet kedalam makrogamet
untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek
disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal
dinding lambung. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista.
Didalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit
menembus kelenjar liur nyamuk dan bila nyamuk menggigit/menusuk
manusia maka sporozoit masuk kedalam darah dan mulailah siklus
preeritrositik. (Perez, 2012).

Gambar 2.4 Siklus seksual plasmodium (Diambil dari kepustakaan Knircsh,


2007)
P. falciparum dapat menyebabkan malaria serebral, edem paru, anemia dan
gangguan ginjal. Hal tersebut akibat kemampuan menginfeksinya yang hebat
dengan melekat dan bertahan pada dinding sel endotel dan menyebabkan
obstruksi vaskular. Ketika sel darah merah terinfeksi P. falciparum, organisme
tersebut menghasilkan protein yang berikatan dengan sel endotelial. Hal tersebut
menyebabkan sel darah merah menyumbat pembuluh darah di berbagai bagian
tubuh menyebabkan kerusakan mikrovaskuler dan memperberat kerusakan yang
ditimbulkan parasit. (Knircsh, 2007)
11

Gambar 2.5 Siklus hidup plasmodium (Diambil dari Bruce, 2010)


2.1.5 Respon imun terhadap infeksi malaria
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh limfosit T dan
imunitas humoral oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit
T helper (CD4+) dan sitotoksik (CD8+), sedangkan berdasarkan sitokin
yang dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1 (menghasilkan IFN dan
TNF) dan subset Th-2 (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL10). Sitokin
tersebut berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD4+ berfungsi sebagai
regulator membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit lain sedangkan
CD8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan
menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFNƔ.(Harijanto,
2014)
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B
yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal
ini CD4+. Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-
2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan
Ig oleh limfosit B. Ig tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis
makrofag. Sel Th-1 menghasilkan IFNƔ dan TNFα yang mengaktifkan
komponen imunitas seluler seperti makrofag dan monosit serta sel NK
(Suparman, 2014).
12

2.2 Malaria dalam Kehamilan


Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi.
Perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat
malaria mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing,
sehingga semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil dan janinnya. P.
falciparum dapat menyebabkan keadaan yang memburuk dan dramatis
untuk ibu hamil. Primigravida umumnya paling mudah terpengaruh oleh
malaria, berupa anemia, demam, hipoglikemia, malaria serebral, edema
pulmonar, sepsis puerperalis dan kematian akibat malaria berat dan
hemoragis (Kakilaya, 2010).
Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung
pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan
paritas (jumlah kehamilan). Ibu hamil dari daerah endemi yang tidak
mempunyai kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai
menyebabkan kematian (Kakilaya, 2010).
Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan II
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering
pada wanita hamil, hal ini disebabkan karena penurunan imunitas selama
kehamilan. Beberapa factor yang menyebabkan turunnya respon imun pada
kehamilan seperti: peningkatan dari hormone steroid dan gonadotropin,
alpha fetoprotein dan penurunan dari limfosit menyebabkan kemudahan
terjadinya infeksi malaria, ibu hamil dengan infeksi HIV cenderung
mendapat infeksi malaria dan sering mendapatkan malaria congenital pada
bayinya dan berat bayi lahir rendah (Kakilaya, 2010).
2.2.1 Pengaruh pada ibu
Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan tergantung
pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan
paritas dimana gejala malaria akan lebih berat pada primigravida dan
13

menurun seiring jumlah paritas karena kekebalan pada ibu telah dibentuk
dan meningkat. (Chahaya, 2003)
Perempuan dewasa yang belum pernah terkena parasit dalam jumlah banyak
(tinggal di daerah epidemik atau transmisi malaria rendah), seringkali
menjadi sakit bila terinfeksi oleh parasit pertama kali. Ibu hamil yang
tinggal di daerah dengan transmisi rendah mempunyai resiko 2 sampai 3
kali lipat untuk menjadi sakit yang berat dibandingkan dengan perempuan
dewasa tanpa kehamilan. Kematian ibu hamil biasanya diakibatkan oleh
penyakit malarianya sendiri atau akibat langsung anemia yang berat.
Masalah yang biasa timbul pada kehamilannnya adalah meningkatnya
kejadian berat bayi lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin
terhambat, infeksi malaria dan kematian janin. (Harijanto, 2014)
Pada daerah dengan transmisi malaria sedang sampai tinggi, kebanyakan
ibu hamil telah mempunyai kekebalan yang cukup karena telah sering
mengalami infeksi. Gejala biasanya tidak khas untuk penyakit malaria.
Yang paling sering adalah berupa anemia berat dan ditemukan parasit dalam
plasentanya. Janin biasanya mengalami gangguan pertumbuhan dan selain
itu menimbulkan gangguan pada daya tahan neonatus (Harijanto, 2014).
2.2.2 Pengaruh pada janin
Seorang ibu yang terinfeksi parasit malaria, parasit tersebut akan mengikuti
peredaran darah sehingga akan ditemukan pada plasenta bagian maternal.
Bila terjadi kerusakan pada plasenta, barulah parasit malaria dapat
menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi darah janin sehingga terjadi
malaria kongenital. Beberapa peneliti menduga hal ini terjadi karena adanya
kerusakan mekanik, kerusakan patologi oleh parasit, fragilitas dan
permeabilitas plasenta yang meningkat akibat demam akut dan akibat
infeksi kronis. (Harijanto, 2014)
Kekebalan ibu berperan menghambat transmisi parasit ke janin. Oleh sebab
itu pada ibu-ibu yang tidak kebal atau dengan kekebalan rendah terjadi
transmisi malaria intra-uretrin ke janin walaupun mekanisme transplasental
dari parasit ini masih belum diketahui. (Harijanto, 2014)
14

Abortus, kematian janin, bayi lahir mati dan prematuritas dilaporkan terjadi
pada malaria berat dan resiko ini meningkat sampai tujuh kali, walaupun
apa yang menyebabkan terjadinya kelainan tersebut diatas juga masih belum
diketahui. Malaria maternal dapat menyebabkan kematian janin karena
terganggunya transfer makanan secara transplasental, demam yang tinggi
(hiperpireksia) atau hipoksia karena anemia. Kemungkinan lain adalah
Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dikeluarkan oleh makrofag bila di
aktivasi oleh antigen merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
berbagai kelainan pada malaria, antara lain demam, kematian janin dan
abortus. (Ukaga, 2009)
Umumnya infeksi pada plasenta lebih berat daripada darah tepi. Kortmann
(1972) melaporkan bahwa plasenta dapat mengandung banyak eritrosit yang
terinfeksi (sampai 65%), meskipun pada darah tepi tidak ditemukan parasit.
Hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan tempat parasit
berkembang biak, seperti pada kapiler alat dalam lainnya. (Bargaji, 2011)
Pada semua daerah, malaria maternal dapat dihubungkan dengan
berkurangnya berat badan lahir, terutama pada kelahiran anak pertama. Hal
ini mungkin akibat gangguan pertumbuhan intra-uretrin, persalinan
prematur atau keduanya akibat berkurangnya transfer makanan dan oksigen
dari ibu ke janin. Namun patofisiologi pertumbuhan lambat intra-uretrin
pada malaria adalah multifaktor. (Bargaji, 2011)
Insidens malaria plasenta dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu lebih tinggi
pada primipara (persalinan pertama) dan makin rendah sesuai dengan
peningkatan paritas ibu. Demikain pula berat badan lahir dipengaruhi oleh
paritas ibu, ini dapat diterangkan bahwa pada multigravida kekebalan pada
ibu telah dibentuk dan meningkat. (Bargaji, 2011)
2.2.3 Imunitas wanita hamil yang terinfeksi malaria
Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta
sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut mengalami
supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistem imun baik humoral
maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus
sebagai "benda asing" di dalam tubuh ibu. Supresi sistem imun selama
15

kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormon


progesteron yang meningkat selama kehamilan berefek menghambat
aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi
kortisol juga berperan dalam menghambat respon imun (Suparman, 2014).
2.2.4 Histopatologi
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria di
dalam:4 Darah maternal ,Darah plasenta/melalui biopsi.
Pada wanita hamil yang terinfeksi malaria, eritrosit berparasit dijumpai di
plasenta sisi maternal dari sirkulasi tetapi tidak di sisi fetal, kecuali pada
penyakit plasenta. Pada infeksi aktif, plasenta terlihat hitam atau abu-abu
dan sinusoid padat dengan eritrosit terinfeksi. Secara histologis ditandai
oleh sel eritrosit berparasit dan pigmen malaria dalam ruang intervilli
plasenta, monosit mengandung pigmen, infiltrasi mononuklear, simpul
sinsitial (syncitial knotting), nekrosis fibrinoid, kerusakan trofoblas dan
penebalan membrana basalis trofoblas. (Suparman, 2014).
Prevalensi malaria plasenta lebih tinggi pada primigravida dibandingkan
multigravida. Penyebaran malaria ke janin diperkirakan dicegah karena
adanya adhesi par asit ke kondroitin sulfat A yang ada dalam plasenta. Oleh
karena itu, jumlah parasit dalam plasenta jumlahnya lebih besar ditemukan
dibandingan dalam darah perifer. Namun sawar plasenta tidak mampu
mencegah transmisi malaria sepenuhnya, terutama jika terdapat perlukaan
plasenta yang dicetuskan selama persalinan atau telah ada infeksi lain
sebelumnya (Krishnan, 2009).
Bila terjadi nekrosis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan
membrana basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin
berkurang dan akan terjadi gangguan nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang
ditemukan adalah penebalan membrana basalis trofoblas, pengurusan
mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta dan sinus venosum mengalami
kongesti dan terisi eritrosit berparasit dan makrofag, maka aliran darah
plasenta akan berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur,
lahir mati ataupun berat badan lahir rendah. (Suparman, 2014).
2.2.5 Komplikasi malaria dalam kehamilan
16

2.2.5.1 Anemia
Menurut defini WHO, anemia dalam kehamilan adalah bila kadar
hemoglobin (Hb) < 11 g/dL. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa
penurunan kadar Hb dalam darah hubungannya dengan parasetimia,
terbesar terjadi pada primigravida dan berkurang sesuai dengan peningkatan
paritas. Malaria dapat menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal ini
disebabkan:
a. Hemolisis eritrosit yang terinfeksi parasite
b. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
c. Penekanan hematopoeisis
d. Peningkatan klirens sel darah merah oleh limpa
e. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat yang mampu
memperberat anemia.
Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara
usia kehamilan 16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya
dapat memperberat anemia ini. Brabin (1990) menyatakan bahwa makin
besar ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya, dan anemia yang terjadi
pada trimester I kehamilan sangat menentukan apakah wanita tersebut akan
melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan
pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan.
Seiring dengan berlangsungnya infeksi, parasit tersebut dapat menyebabkan
trombositopenia. Laporan WHO menyatakan bahwa anemia berpengaruh
terhadap morbiditas ibu hamil dan secara tidak langsung dapat
menyebabkan kematian ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus
yang disebabkan oleh pendarahan setelah persalinan. (Sulaeman, 2012)
Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas
maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan
pasca persalinan secara tidak langsung akibat perubahan hemodinamik.
Transfusi yang terlalu cepat, khususnya whole blood dapat menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler dan edema paru berat. (Suparman, 2014).
17

2.2.5.2 Hipoglikemia
Mekanisme terjadinya hipoglikemi sangat kompleks dan belum diketahui
secara pasti. Komplikasi hipoglikemia lebih sering ditemukan pada wanita
hamil daripada yang tidak hamil. Diduga pada wanita hamil terjadi
perubahan metabolisme karbohidrat yang cenderung menyebabkan
terjadinya hipoglikemia, terutama trimester akhir kehamilan. Selain itu,
parasit memperoleh energinya hanya dari glukosa dan organisme tersebut
memetabolisme 70—75 kali lebih cepat sehingga menyebabkan
hipoglikemia dan asidosis laktat serta pada wanita hamil terjadi peningkatan
fungsi sel B pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya guinine) sehingga
pembentukan insulin bertambah. (Sulaeman, 2012)
Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap asimtomatik
dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia juga
menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil
dll. Akan tetapi sebagian pasien dapat menunjukkan tingkah laku yang
abnormal, kejang, penurunan kesadaran, pingsan, bahkan sampai koma
yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Bila sebelumnya
penderita sudah dalam keadaan koma karena malaria serebral maka
komanya akan lebih dalam lagi. Penderita ini bila diinjeksikan glukosa atau
diinfus dengan dekstrosa maka kesadarannya akan pulih kembali, tetapi
karena hiperinsulinemi, keadaan hipoglikemi dapat kambuh dalam beberapa
hari. Oleh karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria
falciparum, khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar
gula darahnya setiap 4-6 jam sekali dan sebaiknya monitor kadar gula darah
harus konstan dilakukan (Sulaeman, 2012).
Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis
dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat.
Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada
tanda-tanda yang spesifik. (Suparman, 2014).
2.2.5.3 Edema paru akut
Mekanisme terjadinya edema paru masih belum diketahui secara pasti,
kemungkinan terjadi karena autotransfusi darah post-partum yang penuh
18

dengan sel darah merah yang terinsfeksi. Keadaan edema paru akut bisa
ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam
perawatan. Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3 dan setelah
persalinan. (Suparman, 2014).
Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan
adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat
meningkatkan risiko mortalitas. Gejalanya mula-mula frekuensi pernafasan
meningkat, kemudian terjadi dispneu dan penderita dapat meninggal dalam
waktu beberapa jam (Sulaeman, 2014)
2.2.5.4 Imunosupresi
Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi
menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria
sendiri dapat menekan respon imun. Perubahan hormonal selama kehamilan
menurunkan sintesis imunoglobulin.Penurunan fungsi sistem
retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini
menyebabkan hilangnya imunitas didapat terhadap malaria sehingga ibu
hamil lebih rentan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih
berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami
demam paroksismal dan relaps. (Bardaji, 2011)
Infeksi sekunder (infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan pneumonia
algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena
imunosupresi ini. (Bardaji, 2011)
2.2.5.5 Gagal ginjal
Hemoglobinuri (blackwater fever) merupakan kondisi urin yang berwarna
gelap akibat hemolisis sel darah merah dan parasitemia yang hebat dan
sering merupakan tanda gagal ginjal. (Bruce,2010)
2.2.6 Risiko terhadap janin
Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam,
insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain
dapat menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan
P. falciparum dapat menimbulkan masalah bagi janin, akan tetapi jenis
infeksi P. falciparum lebih serius (dilaporkan insidensinya mortalitasnya
19

l5,7% vs 33%). Akibatnya dapat terjadi abortus spontan, persalinan


prematur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta, gangguan
pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan lahir rendah dan gawat
janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat
menyebabkan malaria kongenital. (Sulaeman, 2012)
2.2.6.1 Malaria kongenital
Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5%
kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus
plasenta dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi
non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi
malaria. Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari kadarnya
dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat
menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat
menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah P. malariae.
Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah minum,
hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan
saja dalam satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah
inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis dan
sifilis. (Sulaeman, 2012)
2.3 Malaria pada Balita dan Anak
Malaria dapat mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu
melahirkan serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), sehingga
merupakan salah satu5 masalah kesehatan masyarakat yang utama. Malaria
dapat pula menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi
yaitu6 bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria sebagian besar terjadi pada
daerah endemis seperti di Afrika dan Asia. Berdasarkan data Word Health
Organization (WHO) pada tahun 2010, secara global estimisasi kematian
yang diakibatkan oleh malaria sebesar 655.000 kasus di seluruh dunia dan
bahkan kematian terbesar 91% terjadi pada anak di bawah umur lima tahun,
yang sebagian besar kematian terjadi pada anak-anak Afrika. Setiap orang
mempunyai risiko untuk terkena malaria, wanita hamil dan anak di bawah
20

umur lima tahun merupakan kelompok8 yang rawan. Penduduk yang


mempunyai risiko tinggi untuk tertular malaria adalah pada kelompok umur
1-5 tahun.9 Kematian anak di bawah umur lima tahun akibat malaria di
ASEAN sebesar 1% pada tahun 2010 dan 10 menempati urutan kedua setelah
Afrika.
Berdasarkan WHO (2013), antara tahun 2000 dan 2012 angka kematian
akibat malaria sebesar 45% pada semua kelompok umur dan 51% pada anak
dibawah lima tahun.11 Sekitar tiga juta (90%) kematian akibat malaria di
tahun 2001 hingga tahun 2012 berasal dari anak-anak di bawah lima tahun.
Pada tahun 2015 ditargetkan penurunan angka kematian akibat malaria pada
anak dibawah lima tahun sebesar 63%. Indonesia menduduki urutan ketiga
terburuk di ASEAN setelah Timor Leste dan Kamboja dengan kasus malaria
pada tahun 2010 sebesar 229.819 kasus dan persentase kematian anak balita
akibat malaria cenderung meningkat dari 1% pada tahun 2000 menjadi 2%
pada tahun 2010.10 Malaria menjadi sasaran prioritas komitmen global dalam
Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh 189 negara
anggota PBB pada tahun 2000. World Health Assembly (WHA) pada tahun
2005 menargetkan penurunan angka kesakitan dan kematian malaria
sebanyak lebih dari 50% pada tahun 2010 dan lebih dari 75% pada tahun
2015. Berbagai upaya pengendalian malaria dilakukan dalam rangka
eliminasi malaria di Indonesia.12 Eliminasi malaria di Indonesia dimulai
sejak tahun 2004 dengan intervensi kelambu berinsektisida untuk penduduk
berisiko, pengobatan yang tepat untuk subjek terinfeksi malaria dengan
Artemisinin-based Combination Therapy (ACT), penyemprotan rumah
dengan insektisida dan pengobatan 4 pencegahan pada ibu hamil. Walaupun
telah dilakukan upaya tersebut, penularan malaria masih terus terjadi dari
tahun ke tahun. Angka kesakitan penyakit ini relatif cukup tinggi sekitar 70
juta atau 35 permil tinggal di daerah berisiko tertular malaria terutama di
kawasan timur Indonesia.
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan
sejak tahun 2008-2012 menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar
34/1.000.000 kelahiran hidup. Adanya infeksi penyakit menular dapat
21

mempengaruhi AKB yang salah satunya adalah infeksi oleh Plasmodium


penyebab malaria.
Angka kejadian malaria juga dipengaruhi oleh pemahaman dan informasi
mengenai malaria serta bagaimana usaha pencegahannya. Anak-anak adalah
golongan yang rentan dengan malaria. Pada Riskesdas 2007 diperoleh
proporsi penyebab kematian karena malaria pada anak umur kurang dari13
lima tahun (29 hari–4 tahun) sebanyak 2,9%. Adanya angka kasus baru
malaria pada kelompok umur <1 tahun merupakan indikator terjadinya
penularan malaria di dalam rumah atau di sekitar rumah. (Riskesdas, 2018)
Tahun 2013 prevalensi malaria di Indonesia sebesar 6,0%. Terdapat kasus
kematian akibat malaria pada anak, yaitu pada pengobatan efektif penderita
malaria positif satu bulan terakhir menurut karakteristik umur diperoleh pada
umur <1 tahun (4,20%), usia 4 1-4 tahun (23,90%).
Indikator dalam keberhasilan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan tahun
2010- 2014 adalah menurunkan angka kesakitan malaria dan kematian
malaria, pada tahun 2015 meliputi 1 per 1.000 penduduk dari baseline tahun
1990 sebesar 4,7 per 1.000 penduduk. Indikator lain adalah target MDGs
yaitu angka kematian malaria dan proporsi balita yang tidur menggunakan
kelambu berinsektisida dan proporsi balita yang16 diobati. Anak sebagai
bagian dari generasi muda yang merupakan penerus cita-cita perjuangan
bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Malaria pada
anak khususnya di bawah umur lima tahun menimbulkan berbagai dampak
terhadap kesehatan anak yang akan mempengaruhi pula terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak. Apabila tidak terdeteksi dini dan
terlambat ditangani akan berpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak.
2.4 Diagnosis dan Penanganan Malaria
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai membahayakan
jiwa. Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi lain: seperti
demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi
saluran nafas.
Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis, demam
dengue atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterikbahkan sering
22

diintepretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan


kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau
bahkan stroke.
Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis riwayat
perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam
harus dilakukan. Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
Untuk malaria berat diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria WHO. Untuk
anak <5 tahun diagnosis menggunakan MTBS namun pada daerah endemis
rendah dan sedang ditambahkan riwayat perjalanan ke daerah endemis dan
transfusi sebelumnya. Pada MTBS diperhatikan gejala demam dan atau pucat
untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Diagnosis pasti malaria harus
ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis atau uji
diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test=RDT).
2.4.1 Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
a) Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
b) Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.
c) Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
d) Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
2.4.2 Pemeriksaan fisik
a) Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
b) Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c) Sklera ikterik
d) Pembesaran Limpa (splenomegali)
e) Pembesaran hati (hepatomegali)
2.4.3 Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/
rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:
23

1) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).


2) Spesies dan stadium plasmodium.
3) Kepadatan parasit.
b) Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum
menggunakan RDT perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal
kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk
mengevaluasi pengobatan.
2.4.4 Malaria berat
Malaria berat adalah : ditemukannya Plasmodium falciparum stadium
aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan
temuan hasil laboratorium (WHO, 2015):
a) Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3)
b) Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
c) Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
d) Distres pernafasan
e) Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik
<80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg)
f) Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasite >100.000)
g) Hemoglobinuria
h) Perdarahan spontan abnormal
i) Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%
Gambaran laboratorium :
a) Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
b) Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
c) Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis
sedang-rendah), pada dewasa Hb<7gr% atau hematokrit <15%)
d) Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di
daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di
daerah endemis tinggi)
e) Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
24

f) Hemoglobinuria
g) Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

2.4.5 Pencegahan dan pengobatan malaria


2.4.5.1 Pencegahan
a) Kemoprofilaksis
Kesadaran akan resiko menderita malaria pada ibu hamil sangat penting.
WHO dan CDC merekomendasikan bahwa wanita hamil jangan
bepergian ke wilayah endemik malaria. Kemoprofilaksis dapat
mengurani anemia pada ibu dan menambah berat badan lahir terutama
pada kelahiran pertama. Resiko malaria dan konsekuensi bahayanya
tidak meningkat selama kehamilan kedua pada wanita yang menerima
kemoprofilaksis selama kehamilan pertama. Pemberian obat profilaksis
selama kehamilan dianjurkan untuk megurangi resiko transmisi
diantaranya dengan pemberian klorokuin basa 5 mg/kgBB (2 tablet)
sekali seminggu, tetapi untuk daerah yang resisten, klorokuin tidak
dianjurkan pada kehamilan dini, namun dapat diganti dengan meflokuin.
Obat lain yang sering digunakan untuk profilaksis adalah kombinasi
sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis digunakan dosis 1 tablet
perminggu, tetapi tidak dianjurkan untuk trimester pertama karena
pirimetamin dapat menyebabkan teratogenik.(Harijanto, 2014)
Pemberian profilaksis pada ibu hamil di atas 20 minggu dapat
megurangi malaria falciparum sampai 85% dan malaria vivax sampai
100%. Profilaksis klorokuin menurunkan infeksi plasenta yang
asimptomatik menjadi 4% bila dibandingkan tanpa profilaksis sebanyak
19%. (Sulaeman, 2012)
b) Mengurangi kontak dengan vektor
Pemakaian kelambu, insektisida, atau keduanya dinilai efektif untuk
menurunkan jumlah kasus malaria pada ibu hamil dan neonatus
khususnya densitas tinggi, insidens klinis dan mortalitas malaria.
Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pemakaian kelambu setiap
malam menurunkan kejadian berat badan lahir rendah atau bayi
25

prematur sebanyak 25%. Adapun pada wanita hamil di Thailand


dilaporkan bahwa pemakaian kelambu efektif dalam mengurangi
anemia maternal dan parasitemia densitas tinggi. Kelambu sangat
disarankan terutama pada kehamilan dini dan bila memungkinkan
selama kehamilan. (Harijanto, 2014)
c) Vaksinasi
Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen protektif
pada ketiga permukaan stadium parasit malaria yang terdiri dari
sporozoit, merozoit, dan gametosit. Sampai saat ini belum ditemukan
vaksin yang aman dan efektif untuk penanggulangan malaria.
Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru
muncul dan perlu pertimbangan yang kompleks. Tiga hal yang perlu
dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah malaria
selama kehamilan, yaitu:
1) Tingkat imunitas sebelum kehamilan
2) Tahap siklus hidup parasit
3) Waktu pemberian vaksin
2.4.5.2 Pengobatan
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan yang radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada didalam tubuh manusia,
termasuk stadium gametosit. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk
mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai
penularan. (Suparman, 2014)
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong
karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu penderita harus makan
terlebih dahulu setiap minum obat anti malaria. Dosis pemberian obat
sebaiknya berdasarkan berat badan. (Harijanto, 2014)
Pengobatan malaria di Indonesia menggunakan obat kombinasi. Yang
dimaksud dengan pengobatan kombinasi malaria adalah penggunaaan dua
atau lebih obat anti malaria yang farmakodinamik dan farmakokinetiknya
sesuai, bersinergi dan berbeda cara terjadinya resistensi. Tujuan terapi
kombinasi ini adalah untuk pengobatan yang lebih baik dan mencegah
26

terjadinya resistensi plasmodium terhadap obat anti malaria. Pengobatan


kombinasi malaria harus:
a. Aman dan toleran untuk semua umur
b. Efektif dan cepat kerjanya
c. Resistensi dan / atau resistensi silang belum terjadi
d. Harga murah dan terjangkau
Saat ini dipakai program nasional adalah derivate artemisinin dengan
golongan aminokuinolon, yaitu:
1. Kombinasi tetap (Fixed Dose Combination=FDC) yang terdiri atas
Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). Satu tablet FDC
mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat
ini diberikan per oral selama 3 hari dengan range dosis tunggal harian
sebagai berikut : Dihydroartemisinin dosis 2-4mg/kgBB; Piperakuin
dosis 16-32mg/kgBB

2. Artesunat-Amodiakuin .Kemasan artesunat-amodiakuin yang ada


pada program pengendalian malaria dengan 3 blister, setiap blister
terdiri dari 4 tablet artesunat @ 50mg dan 4 tablet amodiakuin 150
mg. (Harijanto, 2014)

a) Pengobatan malaria pada ibu hamil

Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan


pengobatan pada orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pada
pemberian obat malaria berdasarkan usia kehamilan. Pada ibu hamil tidak
diberikan primakuin.(Kemenkes, 2013)

Tabel 2.1 Pengobatan malaria falsiparum pada ibu hamil


*Dosis Klindamisin 10mg/kgBB diberikan 2 x sehari
27

Sebagai kelompok yang berisiko tinggi pada ibu hamil dilakukan


penapisan/skrining terhadap malaria yang dilakukan sebaiknya sedini
mungkin atau begitu ibu tahu bahwa dirinya hamil. Pada fasilitas kesehatan,
skrining ibu hamil dilakukan pada kunjungannya pertama sekali ke tenaga
kesehatan/fasilitas kesehatan. Selanjutnya pada ibu hamil juga dianjurkan
menggunakan kelambu berinsektisida setiap tidur. (Kemenkes, 2013)

Ibu hamil kunjungan pertama dan kunjungan


berikutnya dengan gejala malaria

Pemeriksaan ANC, Konseling dan


SKrining malaria (RDI/Mikroskop)

Positif P. Falciparum atau P. Negatif


vivax atau keduanya

Trimester I Trimester 2-3 Dengan gejala Tanpa gejala


Kina 3x2 (7hari) ACT* (3hari)

Periksa ulang Lanjutkan ANC


sediaan darah tebal

Tak ada Membaik


perbaikan
Positif Negatif

Rujuk segera

Gambar 2.1 Skema Penemuan Dan Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil
b) Pengobatan anak
Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks,
Primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja
dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari
28

dengan dosis 0,25 mg /kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi
usia < 6 bulan. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah
seperti yang tertera di bawah ini:

Gambar 2.2 Dosis pemberian obat malaria perumur perberat badan


2.4.5.3 Pemantauan respon pengobatan
Pemantauan pengobatan untuk Plasmodium falsiparum dan Plasmodium
vivax pada pasien rawat jalan dilakukan pada hari ke-2, hari ke-3, hari ke-
7, hari ke- 14, sampai hari ke-28 setelah pemberian obat hari pertama,
dengan memonitor gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopik. Apabila
terjadi perburukan gejala klinis sewaktu-waktu segera kembali ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Pada pasien rawat inap, evaluasi pengobatan
dilakukan setiap hari dengan memonitor gejala klinis dan pemeriksaan
mikroskopis. Evaluasi dilakukan sampai bebas demam dan tidak ditemukan
parasit aseksual dalam darah selama 3 hari berturu-turut. Setelah pasien
29

dipulangkan harus kontrol pada hari ke-14 dan ke-28 sejak hari pertama
mendapatkan obat anti malaria. (Harijanto, 2014)
2.4.6 Kriteria keberhasilan pengobatan
Kriteria keberhasilan pengobatan antara lain:
a. Sembuh
Penderita dikatakan sembuh apabila gejala klinis (demam) hilang dan
parasit aseksual tidak ditemukan pada hari ke-4 pengobatan sampai
dengan hari ke-28.
b. Gagal pengobatan dini/Early treatment failure
1) Menjadi malaria berat pada hari ke-1 sampai hari ke-3 dengan
parasitemia
2) Hitung parasit pada hari ke-2 > hari ke-0
3) Hitung parasit pada hari ke-3 ≥ 25% hari ke-0
4) Ditemukan parasit aseksual dalam hari ke-3 disertai demam
c. Gagal pengobatan kasep/Late treatment failure
Gagal kasep pengobatan klinis dan Parasitologis
1) Menjadi malaria berat pada hari ke-4 sampai ke-28 dan parasitemia
2) Ditemukan kembali parasit aseksual antara hari ke-4 sampai hari
ke-28 disertai demam

Gagal kasep Parasitologis ditemukan kembali parasit aseksual dalam


hari ke-7, 14, 21, dan 28 tanpa demam.

d. Rekurensi
Ditemukan kembali parasit aseksual dalam darah setelah pengobatan
selesai. Rekurensi dapat disebabkan oleh :
1) Relaps : rekurensi dari parasit aseksual setelah 28 hari pengobatan.
Parasit tersebut berasal dari hipnozoit P. vivax atau P. ovale
2) Rekrudesensi : rekurensi dari parasit aseksual selama 28 hari
pemantauan pengobatan. Parasit tersebut berasal dari parasit
sebelumnya (aseksual lama)
30

3) Reinfeksi : rekurensi dari parasit aseksual setelah 28 hari pemantaun


pengobatan pasien dinyatakan sembuh. Parasit tersebut berasal dari
infeksi baru (sporozoit).
2.4.7 Penanganan komplikasi malaria
a) Edem paru akut
Pemberian cairan yang dimonitor dengan ketat; tidur dengan posisi
setengah duduk, pemberian oksigen, diuretik dan pemasangan ventilator
bila diperlukan.
b) Hipoglikemia
Dekstrosa 25-50%, 50-100 cc i.v., dilanjutkan infus dekstrosa 10%. Bila
sebabnya adalah kelebihan cairan, dapat diberikan glukagon 0,5-l mg
intramuskuler. Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untuk
mencegah rekurensi hipoglikemia.
c) Anemia
Harus di berikan transfusi bila kadar hemoglobin <5 g%. Anemia yang
signifikan (Hb <7-8gr%) harus ditangani dengan transfusi darah.
Sebaiknya diberikan packed red cells daripada whole blood untuk
mengurangi tambahan volume intravaskuler.
d) Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi pre prenal karena dehidrasi yang tidak
terdeteksi atau renal karena parasitemia berat. Penanganannya meliputi
pemberian cairan yang seksama, diuretik dan dialisa bila diperlukan.
e) Syok septikemia
Infeksi bakterial sekunder seperti infeksi saluran kemih, pneumonia dll,
sering menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-
pasien tersebut dapat mengalami syok septikemia, yang disebut ’algid
malaria’. Penanganannya adalah dengan pemberian cephalosporin
generasi ketiga, pemberian cairan, monitoring tanda-tanda vital dan
intake-output.
f) Transfusi ganti
Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falciparum berat untuk
menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti
31

dengan packed sel. Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus


parasitemia yang sangat berat (membantu membersihkan) dan
impending odema paru (membantu menurunkan jumlah cairan). (Surya,
2012)
2.4.8 Penanganan saat persalinan
Anemia, hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat malaria
pada kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun
janin. Malaria falciparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan risiko
mortalitas yang tinggi. Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa
terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring yang baik, bahkan
untuk wanita hamil dengan malaria berat sebaiknya dirawat di unit
perawatan intensif. (Surya, 2012)
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan
persalinan prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya
berhubungan dengan tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan
seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring
terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung janin untuk menilai adanya
ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta bradikardia atau
deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi uterus
karena hal ini menunjukkan adanya gawat janin. Harus diupayakan segala
cara untuk menurunkan suhu tubuh dengancepat, baik dengan kompres,
pemberian antipiretika seperti parasetamol, dll. (Hanrettey, 2003)
Pemberian cairan denagn seksama juga merupakan hal penting. Hal ini
disebabkan baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah karena kedua
keadaan tadi dapat membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada kasus
parasitemia berat, harus dipertimbangkan tindakan transfusi ganti. (Surya,
2012)
Bila diperlukan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan. Kala II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat
indikasi pada ibu atau janin. Seksio sesarea ditentukan berdasarkan indikasi
obstetrik. (Surya, 2012)
32

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Malaria


2.5.1 Faktor manusia dan nyamuk (Host)
2.5.1.1 Manusia
a. Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Anak yang bergizi baik
justru lebih sering mendapat kejang dan malaria selebral dibandingkan
dengan anak yang bergizi buruk. Akan tetapi anak yang bergizi baik dapat
mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi
buruk. (Gunawan, 2000)
b. Jenis kelamin
Perempuan mempunyai respon yang kuat dibandingkan laki-laki tetapi
apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang
lebih berat. (Supariasa, 2001)
c. Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya terbentuk
imunitas dalam tubuhnya terhadap malaria demikian juga yang tinggal di
daerah endemis biasanya mempunyai imunitas alami terhadap penyakit
malaria. (WHO, 2015)
d. Ras
Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan
alamiah terhadap malaria, misalnya sickle cell anemia dan ovalositas.
e. Status gizi
Masyarakat yang gizinya kurang baik dan tinggal di daerah endemis malaria
lebih rentan terhadap infeksi malaria.
2.5.1.2 Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air.
Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk
dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm.
Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong
(pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Umur nyamuk relatif pendek,
nyamuk jantan umurnya lebih pendek (kurang 1 minggu), sedang nyamuk
betina lebih panjang sekitar rata-rata 1-2 bulan. Nyamuk jantan akan terbang
33

disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya.


Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya
terjadi setelah 24-48 jam setelah keluar dari kepompong. Makanan nyamuk
Anopheles betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
telurnya. Nyamuk Anopheles yang ada di Indonesia berjumlah 80 spesies.
Sampai saat ini di Indonesia telah ditemukan sejumlah 24 spesies yang dapat
menularkan malaria. Tidak semua Anopheles tersebut berperan penting
dalam penularan malaria. Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah :
a. Perilaku nyamuk
1. Tempat hinggap atau istirahat
a) Eksofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di
luar rumah.
b) Endofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di
dalam rumah.
2. Tempat menggigit
a) Eksofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah.
b) Endofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah.
3. Obyek yang digigit
a) Antrofofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit manusia.
b) Zoofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan.
c) Indiscriminate biters/indiscriminate feeders, yaitu nyamuk
tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes.
b. Frekuensi menggigit manusia
Frekuensi membutuhkan darah tergantung spesiesnya dan
dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus
gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar
48-96 jam.
c. Siklus gonotrofik, yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya
telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk.
d. Faktor lain yang penting
1. Umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur nyamuk
semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau
34

vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan


dipengaruhi oleh lingkungan. Pengetahuan umur nyamuk ini
penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan
sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program
pemberantasan vektor.
2. Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit.
2.5.2 Faktor lingkungan
2.5.2.1 Lingkungan fisik
a. Suhu udara
Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni
atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas
tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik, dan sebaliknya makin
rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik35. Pada suhu
26,7oC masa inkubasi ekstrinsik pada spesies Plasmodium berbeda-
beda yaitu P.falciparumI 10 sampai 12 hari, P.vivax 8 samapi 11 hari,
P.malariae 14 hari P.ovale 15 hari40. Menurut Chwatt (1980), suhu
udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30o C
32. Menurut penelitian Barodji (1987) bahwa proporsi tergigit nyamuk
Anopheles menggigit adalah untuk di luar rumah 23-24oC dan di dalam
rumah 25-26oC sebagai suhu optimal. (Babba, 2007)
b. Kelembaban udara
Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk.
Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan
menggigit, istirahan, dan lain-lain dari nyamuk. Tingkat kelembaban
60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya
nyamuk. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan
lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.35
Menurut penelitian Barodji (1987) menyatakan bahwa nyamuk
Anopheles paling banyak menggigit di luar rumah pada kelembaban 84-
88%dan di dalam rumah 70-80%.
c. Ketinggian
35

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin


bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada
ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Ketinggian
paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m di
atas permukaan laut.
d. Angin
Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang
merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah, adalah
salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia
dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat
diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak
terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-
3 km dari tempat perindukannya. Bila ada angin yang kuat nyamuk
Anopheles bisa terbawa sampai 30 km.
e. Hujan
Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi
bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan,
derasnya hujan, jumlah hari hujan jenis vektor dan jenis tempat
perkembangbiakan (breeding place). Hujan yang diselingi panas akan
memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.19
f. Sinar matahari
Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies
nyamuk. Nyamuk An. aconitus lebih menyukai tempat untuk
berkembang biak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya
peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari yang
cukup tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, Pengaruh sinar
matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.
sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An. hyrcanus spp dan An.
punctulatus spp lebih menyukai tempat yang terbuka, dan An.
barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang.
g. Arus air
36

An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir


lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An.
letifer menyukai air tergenang. An. maculatus berkembang biak pada
genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti.
Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air
asin seperti dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur,
NTT bahwa An. subpictus air payau ternyata di laboratorium mampu
bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air
tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya.
h. Tempat perkembangbiakan nyamuk
Tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles adalah
genangangenangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung
dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu
berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air
(genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi
genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil.
i. Keadaan dinding
Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan
kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena
insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding
rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat kontak dengan
insektisida tersebut. Dinding rumah yang terbuat dari kayu
memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk.44
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Piyarat (1986) dibagian timur
Thailand menemukan hubungan antara keadaan/tipe rumah dengan
kejadian malaria (p=0,000)45. Penelitian Suwendra (2003)
menyebutkan bahwa ada hubungan antara keadaan dinding/lantai
rumah dengan kejadian malaria (p=0,000), dimana rumah dengan
dinding/lantai berlubang berpeluang menderita malaria 2,74 kali
dibandingkan dengan rumah yang keadaan dinding/lantai rapat.46
37

Penelitian Yoga (1999) menyatakan bahwa penduduk dengan rumah


yang dindingnya banyak berlubang berisiko sakit malaria 18 kali di
banding dengan rumah penduduk yang mempunyai dinding rapat.
j. Pemasangan kawat kasa
Pemasangan kawat kasa pasda ventilasi akan menyebabkan semakin
kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni
rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut
Penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara
nyamuk Anopheles dan manusia. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
masyarakat yang rumahnya tidak terlindung dari nyamuk mempunyai
risiko 2,41 kali untuk tertular malaria dibandingkan dengan rumah yang
terlindung dari nyamuk.(Gunawan, 2000)
2.5.2.2 Lingkungan kimia
Dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam
dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An. Sundaicus tumbuh
optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12 – 18% dan
tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di
beberapa tempat di Sumatera Utara An. Sundaicus sudah ditemukan pula
dalam air tawar. An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/pH rendah.
(Nofianti, 2014)
2.5.2.3 Lingkungan biologi
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari
atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai
jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (panchax spp),
gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk
di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau dan babi
dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak
tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah. (Nofianti, 2014)
2.5.2.4 Lingkungan sosial ekonomi dan budaya
a. Kebiasaan keluar rumah
38

Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana


vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan
nyamuk. Kebiasaan penduduk berada di luar rumah pada malam hari dan
juga tidak berpakaian berhubungan dengan kejadian malaria.
b. Pemakaian kelambu
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemakaian kelambu secara
teratur pada waktu tidur malam hari mengurangi kejadian malaria.
Menurut penelitian penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara
teratur mempunyai risiko kejadian malaria 6,44 kali dibandingkan
dengan yang menggunakan kelambu. Penelitian CH2N-UGM (2001)
menyatakan bahwa individu yang tidak menggunakan kelambu saat tidur
berpeluang terkena malaria 2,8 kali di bandingkan dengan yang
menggunakan kelambu saat tidur. (Nofianti, 2014)
c. Obat anti nyamuk
Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat
seperti menggunakan obat nyamuk bakar, semprot, oles maupun secara
elektrik dan ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk dengan
kejadian malaria.
d. Pekerjaan
Hutan merupakan tempat yang cocok bagi peristirahatan maupun
perkembangbiakan nyamuk (pada lubang di pohon-pohon) sehingga
menyebabkan vektor cukup tinggi. Masyarakat yang mencari nafkah ke
hutan mempunyai risiko untuk menderita malaria karena suasana hutan
yang gelap memberikan kesempatan nyamuk untuk menggigit. Ada
hubungan bermakna antara pekerjaan yang berisiko (nelayan, berkebun)
dengan kejadian malaria sebesar 2,51 kali dibandingkan yang tidak
berisiko (pegawai, pedagang).19
e. Pendidikan
Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap
kejadian malaria tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan
perilaku kesehatan seseorang. Masyarakat yang tingkat pendidikannya
39

rendah berpeluang terkena malaria sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan


yang berpendidikan tinggi. (Babba 2007)
2.5.3 Faktor agent (Plasmodium)
Agent atau penyebab penyakit adalah semua unsur atau elemen hidup
ataupun tidak hidup dimana dalam kehadirannya, bila diikuti dengan kontak
efektif dengan manusia yang rentan akan menjadi stimulasi untuk
memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Penyebab penyakit malaria
dari genus Plasamodium, family Plasmodiidae dan ordo Coccidiidae.
Hingga saat ini parasit malaria yang dikenal ada 4 macam, yaitu :
a. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering
menyebabkan malaria otak/berat dengan risiko kematian yang tinggi.
b. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
c. Plasmodium malariae, penyebab malaria quartana.
d. Plasmodium ovale, jarang dijumpai terbanyak ditemukan di Afrika dan
Pasifik Barat.
Pada penderita penyakit malaria, penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari
satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed
infection). Kejadian infeksi campuran ini biasanya paling banyak dua jenis
parasit, yakni campuran antara Plasmodium falcifarum dengan
Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang-kadang di jumpai
tiga jenis parasit sekaligus meskipun hal ini jarang terjadi. Infeksi
campuran ini biasanya terjadi di daerah yang tinggi angka penularannya.
40

BAB III
KRONOLOGIS MASALAH
3.1 Kerangka Teori

Lingkungan Fisik

Dalam rumah
 Suhu Imunitas Status gizi
 Jarak rumah dengan
breeding place
 Sinar Matahari
 Kelembapan Acoured of immunity
 Pencahayaan
 Tempat tidur
 Genangan air Imunitas

Vektor
Luar rumah
 Dinding rumah
 Ventilasi
Kepadatan Agent
 Penggunaan kawat
Nyamuk
kasa Gigitan
 Lantai rumah nyamuk yang Kejadian
mengandung Malaria
Lingkungan Kimia
sporozoit
 Air tawar Yankes
 Air payau  Penyuluhan
 Air garam  Penyemprotan
 pengobatan
Lingkungan Biologi
 Kandang hewan besar

Sosial Ekonomi
Demografi
 Pekerjaan
 Pendidikan  Umur
 Penghasilan  Jenis kelamin
 Suku

Perilaku

 Kebiasaan
menggunakan ON
 Kebiasaan keluar
rumah malam hari
 Penggunaan kelambu
41

3.2 Deskripsi Kerangka Teori


Kerangka teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan
teori yang ada, khususnya mengenai hubungan antar satu faktor risiko
dengan factor risiko yang lain yang mempengaruhi terjadinya malaria.
Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya malaria
adalah faktor karakteristik (meliputi : umur, jenis kelamin, suku), faktor
lingkungan fisik luar rumah dan dalam rumah (meliputi : jarak rumah
dengan breeding place, suhu, sinar matahari, kelembaban, pencahayaan,
tempat istirahat, genangan air, dinding rumah, ventilasi, penggunaan kawat
kasa, dan lantai rumah), faktor lingkungan kimia (meliputi : air tawar, air
payau, dan air garam), faktor lingkungan biologi (meliputi : keberadaan
kandang hewan besar), faktor sosial ekonomi (meliputi : pekerjaan,
pendidikan, dan penghasilan), faktor perilaku (meliputi : kebiasaan
menggunakan obat nyamuk, kebiasaan keluar rumah pada malam hari,
penggunaan kelambu). faktor pelayanan kesehatan (meliputi : penyuluhan,
penyemprotan, pengobatan), faktor lain (meliputi vektor, imunitas, status
gizi, kepadatan nyamuk, dan angin).
42

BAB IV
METODOLOGI
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian observasional yang bersifat analitik.
Penelitian observasional yaitu penelitian yang tidak memberikan perlakuan
sama sekali tetapi hanya melakukan observasi atau pengamatan terhadap objek
penelitian.
Penelitian analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis
dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor resiko dengan faktor efek.
Sehingga yang dimaksud penelitian analitik observasional adalah suatu
pengamatan ataupun pengukuran yan mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi tanpa dilakukan manipulasi atau
intervensi apapun yang kemudian di analisis.
4.2 Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan dan proses pengumpulan
karakteristik sampel yang diperlukan dalam suatu penelitian yang terbagi
menjadi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.
Peneliti mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan sumber
buku, laporan, maupun jurnal yang terakit dengan tuberculosis.
Beberapa strategi pencarian digunakan untuk mengidentifikasi studi yang
relevan. Pencarian data dan informasi menggunakan situs elektronik sebagai
sumber data. Hasil pencarian artikel selanjutnya menghilangkan artikel yang
tidak relevan dengan kriteria identifikasi, penyaringan, kelayakan, dan akhirnya
mengunduh artikel yang relevan.
Seleksi dokumen menggunakan kata kunci “Malaria in preagnancy” OR
“Malaria in child” pada jurnal di mesin pencarian google. Kami menemukan
Dokumen berdasarkan full text akses dokumen gratis, Dokumen, berdasarkan
tahun publikasi (10 tahun) dan berdasarkan Bahasa inggris dan Indonesia,
Kemudian menyeleksi jurnal berdasarkan judul dan abstrak 29 Dokumen dan
seleksi secara keseluruhan (full text) 4 dokumen untuk di analisis
43

4.3 Kerangka Operasional


Kerangka operasional merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan
dalam penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian. Penulisan
kerangka kerja disajikan dalam bentuk alur penelitian mulai dari desain hingga
analisis data.
Identifikasi
Dokumen diidentifikasi melalui database searching berdasarkan free
full text

Skrining
Tidak ada document ganda berdasarkan judul dan abstrak

Skrining
Tidak ada document ganda berdasarkan judul dan abstrak

Eligibility
Full text dinilai untuk eligibility

Include
Studi terpilih dianalisis

Penyajian data hasil analisis

Laporan

Gambar 4.1. Kerangka kerja penyusunan studi pustaka malaria pada ibu dan anak
43

BAB V
PEMBAHASAN
Dari penelitian di Manokwari, berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga,
tingginya kejadian malaria lebih banyak dialami oleh balita yang memiliki orangtua
berumur kurang dari 35 tahun, memiliki jumlah anggota keluarga kecil, pendidikan
orangtua rendah, dan ibu tidak bekerja. Kejadian malaria yang tinggi lebih banyak
dialami oleh balita berumur dua sampai tiga tahun, berjenis kelamin perempuan,
dan memiliki berat badan lahir yang normal. (Nofianti, 2014)
Terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian malaria.
Banyaknya anggota keluarga sangat mempengaruhi konsumsi pangan dalam
keluarga, sebagaimana yang dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara besar keluarga dan kejadian kurang gizi pada masing-masing keluarga.
Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan
meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan
semakin tidak merata. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi sehingga berhubungan erat
dengan status gizi. (Suhardjo, 2003)
Keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu merupakan faktor yang kurang
mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan balita. Hal ini disebabkan tingkat
pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan keluarga. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu memiliki pendapatan keluarga di
bawah UMR Provinsi Papua Barat yakni kurang dari Rp 1.450.000. Sebagian besar
pendapatan keluarga yang tinggi berasal dari masyarakat pendatang, balita asal
pendatang atau non-asli Papua lebih rentan terhadap malaria dibandingkan balita
dari suku asli Papua. (Nankabirwa, 2011)
Selanjutnya, ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian malaria. Ibu yang
tidak bekerja umumnya berpendidikan rendah dan memiliki pengetahuan yang
kurang mengenai praktik dan pencegahan malaria dibandingkan ibu yang bekerja
sehingga kejadian malaria lebih banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari
ibu yang tidak memiliki pekerjaan. Namun, ada juga ibu bekerja yang membawa
anaknya ketika bekerja tanpa melindungi mereka dari gigitan nyamuk. Sebagian
besar ibu belum menerapkan praktik pencegahan malaria yang baik. Praktik
44

pencegahan malaria sangat penting dilakukan guna menurunkan angka kesakitan


malaria.(Nofianti, 2014)
Pengetahuan mengenai cara pencegahan malaria ini sangat penting mengingat
program pencegahan malaria dengan menggunakan kelambu pada masyarakat tidak
begitu tepat dilakukan. Di samping itu, kondisi rumah yang tidak terpasang kasa
nyamuk pada ventilasi menyebabkan nyamuk masuk ke dalam ruangan. Penelitian
di daerah pedesaan seperti Warmare dan Prafi , ditemukan banyak rumah yang tidak
menggunakan kasa pada jendela dan ventilasi dibandingkan di daerah perkotaan
seperti Sanggeng dan Wosi sehingga kebiasaan menggunakan kelambu lebih
banyak ditemukan di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Sementara itu,
kebiasaan menggunakan obat antinyamuk semprot dan elektrik lebih banyak
dilakukan oleh ibu yang berada di perkotaan. Pada dasarnya, ibu hanya menerapkan
dua sampai tiga praktik pencegahan saja dari tujuh praktik pencegahan malaria yang
dianjurkan oleh dinas kesehatan setempat, padahal jika semua praktik dilakukan
akan semakin efektif upaya untuk menghindarkan keluarga dari infeksi malaria.
Sebagian besar balita yang datang ke puskesmas menderita malaria dengan tipe
malaria yang berbeda. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang bergizi baik
justru lebih sering mendapat kejang dan malaria dibandingkan dengan anak yang
bergizi buruk. Namun, anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan
lebih cepat dibandingkan anak yang bergizi buruk. Selain itu, diketahui bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan
vitamin B12 dengan status malaria.22 Berbeda dengan peneliti lain yang
menyatakan bahwa prevalensi malaria lebih tinggi pada anak-anak yang belum
menerima suplemen vitamin A dibandingkan dengan anak yang telah mendapatkan
suplemen vitamin A. (Nankabirwa, 2011)
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa infeksi malaria mempengaruhi
penurunan status gizi anak balita di Purworejo, sebaliknya penelitian lain
menyebutkan bahwa kejadian malaria tidak berhubungan dengan status gizi pada
balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Provinsi DIY.
Berdasarkan hasil penelitian disebutkan juga bahwa malaria dan kekurangan gizi
menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di daerah pedesaan sub
Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anak-anak kekurangan gizi kronis memiliki risiko
45

lebih tinggi untuk mengalami malaria. Selanjutnya, kejadian malaria merupakan


faktor pendorong status gizi balita yang kurang baik. Hal ini berarti bahwa balita
dengan kejadian malaria yang rendah berpeluang 0,113 lebih kecil memiliki status
gizi kurang dibandingkan balita dengan kejadian malaria tinggi. Hasil ini didukung
oleh penelitian yang menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang berisiko
menderita malaria 1,86 kali dibandingkan dengan yang berstatus gizi baik. Lebih
lanjut, penelitian yang menguji hubungan antara malaria dan status gizi
menunjukkan bahwa malnutrisi protein dan energy mempunyai hubungan dengan
morbiditas dan mortalitas pada berbagai malaria. Berbeda dengan penelitian lain
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara KEP dan morbiditas malaria,
tetapi anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih dari dua kali lipat lebih tinggi
meninggal dibandingkan anak tanpa kekurangan gizi. (Nofianti, 2014)
Pengetahuan ibu tentang malaria merupakan faktor pencegah status gizi balita yang
kurang baik. Hal ini berarti bahwa ibu dengan pengetahuan malaria yang baik
berpeluang lebih kecil memiliki anak dengan status gizi kurang dibandingkan ibu
yang memiliki pengetahuan malaria yang kurang baik. Penelitian serupa
menyebutkan bahwa warga di Kabupaten Muleba Utara Tanzania memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi tentang malaria, tetapi pengetahuan ini belum sepenuhnya
dipraktikkan dalam penggunaan intervensi malaria yang tersedia.25 Penelitian lain
menyebutkan bahwa masyarakat hutan asli dan pedesaan Distrik Lipis dari Pahang
Malaysia memiliki kesadaran akan penyakit malaria tetapi sikap dan praktik dalam
pencegahan malaria tidak memadai. (Adhroey, 2010)
Sementara dari penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa malaria selama
kehamilan meningkatkan risiko anak terserang malaria, namun mekanisme yang
tepat dari risiko yang tinggi masih belum jelas. Telah dipostulatkan bahwa bayi
tertentu terpapar P. falciparum antigen dalam rahim menjalani priming kekebalan
prenatal yang dapat menyebabkan fenotipe toleran imun setelah lahir, dan keadaan
imunologis yang berubah berpotensi dikaitkan dengan peningkatan risiko tertular
malaria. Selain itu, paparan lingkungan dan entomologis bersama sebagian dapat
menjelaskan risiko serupa malaria yang dialami oleh ibu dan keturunan
mereka. Namun, risiko yang relatif lebih rendah untuk bayi perempuan
primigravida dibandingkan dengan multigravida. (Desai, 2018)
46

Hasil tinjauan sistematis dan meta analisis kami menunjukkan bahwa infeksi
malaria selama kehamilan meningkatkan keseluruhan risiko malaria pada
anak. Meskipun heterogenitas prediktor spesifik, hubungan mereka dengan
peningkatan risiko malaria pada anak cukup konsisten. Temuan ini menyoroti
kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi yang aman dan efektif untuk
mencegah malaria selama kehamilan. (Ferenchick, 2018)
Sekarang saatnya untuk memfokuskan kembali upaya. Pembaruan terbaru di
Rekomendasi WHO tentang Perawatan Antenatal untuk yang Pengalaman
Kehamilan yang positif menyajikan kesempatan untuk memperkuat Malaria dalam
kehamilan sebagai masalah inti kesehatan ibu dan anak dan memposisikan
pencegahan sebagai prioritas. Dari perspektif operasional, ada beberapa peluang
untuk memperkuat komponen pemberian layanan pencegahan Malaria pada
kehamilan. Kehadiran ANC awal harus menjadi prioritas diarahkan untuk
memastikan bahwa perempuan menerima dan menggunakan jaring yang diberi
insektisida dimulai pada trimester pertama, dan mereka diberitahu tentang gejala
malaria dan pentingnya manajemen kasus yang cepat.
Di wilayah transmisi SSA sedang hingga tinggi, kontak ond harus mengikuti sedini
mungkin untuk memastikan pemberian dosis pertama. Mereka juga harus didukung
untuk memperbaiki keterampilan mereka untuk memperkirakan usia kehamilan
dini. Kehadiran terus menerus ANC sangat penting sehingga perempuan menerima
intervensi untuk malaria dalam kehamilan sebagaimana direkomendasikan dalam
panduan WHO saat ini.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Tingginya kejadian malaria lebih banyak dialami oleh balita yang memiliki
orangtua berumur kurang dari 35 tahun, memiliki jumlah anggota keluarga kecil,
pendidikan orangtua rendah, dan ibu tidak bekerja. Kejadian malaria yang tinggi
lebih banyak dialami oleh balita berumur dua sampai tiga tahun, berjenis kelamin
perempuan, dan memiliki berat badan lahir yang normal.
Keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu merupakan faktor yang kurang
mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan balita. Ibu yang tidak bekerja
umumnya berpendidikan rendah dan memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
praktik dan pencegahan malaria dibandingkan ibu yang bekerja sehingga kejadian
malaria lebih banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari ibu yang tidak
memiliki pekerjaan.
Pengetahuan mengenai cara pencegahan malaria ini sangat penting mengingat
program pencegahan malaria dengan menggunakan kelambu pada masyarakat tidak
begitu tepat dilakukan.
Anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat
dibandingkan anak yang bergizi buruk. Prevalensi malaria lebih tinggi pada anak-
anak yang belum menerima suplemen vitamin A dibandingkan dengan anak yang
telah mendapatkan suplemen vitamin A.
Sementara dari penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa malaria selama
kehamilan meningkatkan risiko anak terserang malaria, namun mekanisme yang
tepat dari risiko yang tinggi masih belum jelas. Namun, risiko yang relatif lebih
rendah untuk bayi perempuan primigravida dibandingkan dengan multigravida.
Hasil tinjauan sistematis dan meta analisis kami menunjukkan bahwa infeksi
malaria selama kehamilan meningkatkan keseluruhan risiko malaria pada
anak. Meskipun heterogenitas prediktor spesifik, hubungan mereka dengan
peningkatan risiko malaria pada anak cukup konsisten. Temuan ini menyoroti
kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi yang aman dan efektif untuk
mencegah malaria selama kehamilan.

47
48

Sekarang saatnya untuk memfokuskan kembali upaya. Pembaruan terbaru di


Rekomendasi WHO tentang Perawatan Antenatal untuk yang Pengalaman
Kehamilan yang positif menyajikan kesempatan untuk memperkuat Malaria dalam
kehamilan sebagai masalah inti kesehatan ibu dan anak dan memposisikan
pencegahan sebagai prioritas.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai pertimbangan bagi pejabat yang berwenang dalam mengambil
kebijakan untuk memberantas malaria di daerah endemis dan upaya
kewaspadaan dini bagi masyarakat yang berada di daerah non endemis.
Dengan telah mengatahui factor dan cara penanggunalangan diharapkan
dapat menjadikan program efektif dan tepat sasaran
6.2.2 Bagi tenaga kesehatan
Lebih mengenali dan membantu memberikan pelayanan sesuai guideline
yang ada dan menapis factor resiko pada masyarakat.
6.2.3 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat menghindari kontak denan vector dan mendapatkan
informasi mengenai malaria terutama bahaya bagi kesehatan ibu dan
anak.
DAFTAR PUSTAKA

Adhroey AL, Nor ZM, Mekhlafi AL, Mahmud R. Opportunities and obstacles to
the elimination of malaria from Peninsular Malaysia: knowledge,
attitudes and practices on malaria among aboriginal and rural
communities. Malar J 2010;9:137
Babba, I. (2007). ( Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota
Jayapura ) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
DIPONEGORO SEMARANG.
Bardaji A, Sigauque B, Sanz S, et al. Impact of Malaria at the End of Pregnancy on
Infant Mortality and Morbidity. USA Journal of Infectious Disease;
2011. p.691-99.
Bruce LJ, Chwatt. Malaria and pregnancy. England: British Medical Journal; 2010.
Volume 286. p.1457-458
Chahaya I. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan. Available from
www.Usudigitallibrary.pdf. Last update in 2003.
Desai, M., Gutman, J., Hill, J., ter Kuile, F. O., Fernandes, S., Webster, J., … ter
Kuile, F. O. (2018). Series Malaria in pregnancy 2 Prevention of
malaria in pregnancy. Lancet Infect Dis, 18(18), 119–151.
https://doi.org/10.1016/S1473-3099(18)30064-1
Ferenchick, E. K., Roman, E., Wolf, K., Florey, L., Youll, S., Mangiaterra, V., …
Gutman, J. (2018). A renewed focus on preventing malaria in
pregnancy.
Gunawan S, Epidemiologi Malaria dalam Malaria : Epidemiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis, & Penanganannya, dikutip oleh Harijanto P.N,
EGC, Jakarta, 2000
Harijanto, N Paul. Malaria. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2014
Hanretty KP. Obstetric Illustrated. 6th Ed. British: Crurchill Livingstone; 2003.
p.152-55.
Kakkilaya. Pregnancy dan malaria,malaria dalam kehamilan. 2010
Kementerian Kesehatan. Pedoman Tata Laksana Malaria. Jakarta: Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Tatalaksana Kasus
Malaria.Jakarta: 2017
Knirsch DGH. The Malaria. In: Parasitic Disease. 5th Ed. USA: Apple Trees
Productions L.L.C.NY; 2007. p:50—68.
Kinung’hi SM, Mashauri F, Mwanga JR, Nnko SE, Kaatano GM, Malima R,
Kishamawe C, Magesa S, Mboera LE. Knowledge, attitudes and
practices about malaria among communities: comparing epidemic
and non-epidemic prone communities of Muleba District, North-
Western Tanzania. BMC Public Health 2010;10:395.
Krishnan S, Cheripalli P, Tangella K. Placental Malaria . [online]. 2009 diakses
dari: http://www.turner-white.com.
Perez EV, Jorge. Malaria. [online]. 2012. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/221134-overview.

49
50

Nofianti, T. (2014). Kejadian malaria dan status gizi balita di Kabupaten


Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Gizi Klinik Indonesia,
10(4), 180. https://doi.org/10.22146/ijcn.18870
Nankabirwa V, Tylleskar T, Nankunda J, Engebretsen IM, Sommerfelt H, Tumwine
JK; PROMISE EBF Research Consortium. Malaria parasitaemia
among infants and its association with breastfeeding peer
counselling and vitamin A supplementation: a secondary analysis of
cluster randomized trial. PLoS ONE 2011;6(7):e21862.
Rijken MJ Rijken JA Papageorghiu AT etc. Malaria in pregnancy: the difficulities
in measuring birthweight. England: BJOG An International Journal
of Obstetric and Gynecology; 2011. p.671-77.
Suparman E, Suryawan A. Malaria pada Kehamilan. Jurnal Kedokteran
Maranatha. 2014; Vol. 4 Reproductive Health, 15(1), 9–10.
https://doi.org/10.1186/s12978-018-0573-9
Sangshin, A., Nixon, C. E., Miller, R., Choi, N., Kurtis, J. D., Friedman, J. F., …
Michelow, I. C. (n.d.). Impact of malaria in pregnancy on risk of
malaria in young children : systematic review and meta-analyses
Center for International Health Research , Rhode Island Hospital ,
Providence , RI 02903 , US Department of Pediatrics , The Warren
Alpert Medical School of Brown University , Providence , RI 02903
, US Graduate School of Urban Public Health , University of Seoul
, Seoul 02504 , Republic of Korea Department of Pathology and
Laboratory Medicine , The Warren Alpert Medical School of Brown
University , Department of Global Health , DePauw University ,
Greencastle , IN 46135 , US Running title : Impact of malaria in
pregnancy on children Correspondence to : Sangshin Park , DVM ,
MPH , PhD , Graduate School of Urban Public Health , University
of Seoul . 163 Seoulsiripdae-ro , Dongdaemun-gu , Seoul 02504 ,
Republic of Korea . 82.
Suhardjo. Berbagai cara pendidikan gizi. Bogor: Bumi Aksara; 2003.
Sulaeman J, Pribadi A. Demam Dalam Kehamilan dan Persalinan: Malaria dalam
Kehamilan: Ilmu Kandungan. Edisi IV. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p. 634-642.
Surya I.G.P .Penyakit Infeksi : Infeksi Malaria. Ilmu Kandungan Edisi IV. Jakarta
: P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p912-17.
Supariasa D.N, Bakri B, Fajar I, Penilaian Status Gizi, ECG, Jakarta, 2001
Ukaga CN, Nowke BEB, et al. Placental malaria in Owerri, Imo State, south-eastern
Nigeria. [online].diakses dari: http://www.bioline.org.br.2009
Wolf JE. Treatment and Prevention of Malaria : An Update . [online]. 2002 [Cited
2012 November 20]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf.
World Health Organization. Guidelines for Treatment of Malaria. Third Edition.
Geneva: WHO Press. 2015.

Anda mungkin juga menyukai