(Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teknologi Tepat Guna dan Metodologi
Penelitian Kesehatan Ibu dan Anak)
Dosen Pembimbing :
1.3 Manfaat
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1.3.1 Bagi ilmu pengetahuan
Dapat menghasilkan informasi dapat memberikan data dan perkembangan
kebijakan dan program fortifikasi serta informasi mengenai aneka pangan
yang difortifikasi.
1.3.2 Bagi pemerintah
Dapat memberikan informasi tambahan dalam mengembangkan peraturan dan
pendidikan/penyuluhan produk fortifikasi yang beredar di pasaran.
1.3.3 Bagi masyarakat
Dapat memberikan informasi dalam menentukan produk pangan yang akan
dikonsumsi terutama produk yang difortifikasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fortifikasi Pangan
2.1.1 Definisi fortifikasi pangan
Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam
bahan pangan. Fortifikasi terhadap suatu bahan pangan bertujuan
meningkatkan nilai gizi bahan pangan dan juga untuk meningkatkan konsumsi
suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi et al. 1993).
Berikut ini pengertian beberapa istilah yang berhubungan dengan
penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan menurut Codex Alimentarius
(1983):
a. Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi
tertentu ke dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di
dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi
sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat
tertentu.
b. Restorasi adalah penambahan zat-zat gizi yang hilang selama proses
pengolahan pangan yang sesuai dengan GMP (Good Manufacturing 4
Practice), atau selama penyimpanan normal dan pada tahap penanganan,
jumlah yang ditambahkan akan menghasilkan komposisi zat gizi seperti
sebelum bahan pangan mengalami proses pengolahan, penyimpanan, atau
penanganan.
c. Standardisasi adalah penambahan sejumlah zat gizi ke dalam bahan
pangan yang bertujuan untuk mengganti kehilangan zat gizi ke dalam
variasi alaminya pada tingkatan zat gizi tertentu. The Joint Food and
Agricultural Organization World Health Organization (FAO/WHO)
Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification paling
tepat menggambarkan proses di mana zat gizi makro dan zat gizi mikro
ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum.
Istilah double fortification dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau
lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran
pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle',
sementara zat gizi yang ditambahkan disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971).
2.1.2 Tujuan fortifikasi pangan
Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan, yaitu:
1. memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki
defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan)
2. mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang
signifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama
pengolahan
3. meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang
digunakan sebagai sumber pangan, bergizi misal: susu formula bayi
4. menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan
pangan lain.
2.1.3 Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan
Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara
lain adalah (Siagian A 2003):
a. menentukan prevalensi defisiensi zat gizi mikro
b. segmen populasi (menentukan segmen)
c. tentukan asupan zat gizi mikro dari survei makanan
d. dapatkan data konsumsi untuk pangan pembawa (vehicle) yang potensial
e. tentukan availabilitas zat gizi mikro dari jenis pangan
f. mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
g. mencari dukungan industri pangan
h. mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri
pengolahan (termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
i. memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
j. kembangkan teknologi fortifikasi
k. lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas
organoleptik dari produk fortifikasi
l. tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
m. lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
n. kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifikasi
o. defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan
pelabelan
p. kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
q. promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh
konsumen.
Penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 1)
zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa makanan; 2)
dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak
menyebabkan timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang
ditambahkan atau yang ada dalam bahan pangan; 5) jumlah yang ditambahkan
harus memperhitungkan kebutuhan individu (Muchtadi et al. 1993). Ada pula
beberapa pertimbangan yang 5 perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi
vitamin, antara lain sebagai berikut: 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas; 3)
harga; dan 4) toksisitas.
Titik penambahan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap stabilitas
fortifikan. Mineral dapat ditambahkan ke dalam adonan yang akan diekstrusi,
sedangkan vitamin tidak dapat. Biasanya vitamin ditambahkan sebelum
pengemasan untuk memaksimalkan retensinya. Cara penanganan bahan
pangan sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi kandungan zat gizi mikro
yang secara alami ada atau yang ditambahkan di dalam bahan pangan. Bahkan
dengan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menjamin
stabilitas zat gizi mikro dalam bahan pangan, beberapa kehilangan zatzat gizi
tersebut masih terjadi selama proses pengolahan, distribusi, dan penyimpanan.
Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian khusus untukmengidentifikasi teknologi
fortifikasi terbaik sebanding dengan overage yang bersesuaian (OMNI 2005).
Overage merupakan jumlah tambahan fortifikan yang ditambahkan ke dalam
bahan pangan untuk mengkompensasikan kehilangan yang terjadi, yang akan
memastikan bahwa pangan yang telah difortifikasi tersebut memiliki level gizi
sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan tersebut dikonsumsi
(OMNI 2005).
2.2 Biofortifikasi
White dan Broadley (2005) dan Nestel et al. (2006) mendefinisikan
biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan
elemen esensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui teknik
pemuliaan konvensional maupun bioteknologi modern. Biofortifikasi untuk
peningkatan gizi mikro pada makanan pokok, dilakukan baik melalui
persilangan tanaman secara tradisional maupun dengan teknik molekuler
(Welch dan Grahara 2004).
Hasil penelitian dari The Consultative Group on International
Agricultural Research (CGIAR-2002), menyatakan makanan pokok yang
mempunyai potensi genetik untuk ditingkatkan kandungan Fe dan Zn di
antaranya adalah beras (Oryza sativa), gandum (Triticum aesticum), jagung
(Zea mays), buncis (Phaseolus vulgaris) dan singkong (Manihot esculenta).
Secara teori biofortifikasi dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah
kandungan mikro gizi pada bagian tanaman yang dapat dimakan pada
tanaman pokok. Di sisi lain, peningkatan konsentrasi kandungan dengan
meningkatkan penyerapan senyawa promoter (asam askorbat, β-karoten),
mengurangi konsentrasi penyerapan senyawa inhibitor (asam fitat, tannin,
senyawa fenolik, dan logam berat) (White dan Broadley 2005).
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dalam penulisan ini tertuang dalam butir-butir dibawah
ini:
1. Perkembangan fortifikasi pangan dalam tataran global telah melalui proses
sejarah yang panjang dimulai pada tahun 1920 dengan memberlakukan
fortifikasi garam beriodium. Pada tahun 1940 negara-negara di barat
mempraktekkan fortifikasi pada produk sereal dengan thiamin, riboflavin
dan niasin yang menjadi ketentuan umum industri pangan. Pada tahun
1960-1970 Amerika Serikat memberlakukan peraturan fortifikasi namun
hingga tahun 1992 baru diadakan Intenational Conference on Nutrition
untuk membahas pemberlakuan fortifikasi secara global. Maka, pada
tahun 2006 WHO dan FAO menerbitkan prinsip dasar penerapan
fortifikasi dan terus berkembang.
2. Perjalanan fortifikasi di Indonesia telah dimulai sejak jaman Belanda pada
tahun 1927 dengan menambahkan garam dengan iodium. Indonesia pada
saat ini telah menetapkan fortifikasi wajib yang diatur dalam SNI yaitu
garam dan tepung terigu. Secara peraturan fortifikasi sukarela di
Indonesia hanya memberikan batasan pada produk pangan yang
ditambahkan vitamin dan mineral dengan memberikan batasan kandungan
gizi yang harus dipenuhi.
3. Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi masalah
gizi dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan mineral)
produk pertanian melalui proses persilangan intra dan atau interspesies
tanaman secara konvensional maupun inkonvensional. Tanaman
biofortifikasi fokus pada penambahan vitamin A, seng (Zn) dan besi (Fe).
Program biofortifikasi di Indonesia baru tahap penelitian pada beras
dengan penambahan besi namun belum dilakukan secara massal.
3.2 Saran
Pelaksanaan program fortifikasi pangan telah menghasilkan berbagai jenis
produk sehingga perlu penyebaran informasi secara luas tentang jenis produk
yang difortifikasi dan memenuhi standar peraturan yang berlaku. Pemerintah
perlu melakukan edukasi kepada masyarakat atau konsumen tentang manfaat
dan cara memilih produk pangan hasil industri khususnya yang difortifikasi
dan melakukan pemantauan secara berkala terhadap kebijakan dan program
fortifikasi termasuk dampaknya terhadap status gizi masyarakat. Peran
pemerintah yang lain adalah mengadvokasikan semua kebijakan yang telah
ditetapkan mengenai fortifikasi kepada industi pangan serta melakukan
pembinaan agar produk fortifikasi pangan yang dihasilkan selain
mengutungkan produsen juga mampu meningkatkan status gizi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA