Anda di halaman 1dari 28

FORTIFIKASI PANGAN GLOBAL DAN NASIONAL

(Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teknologi Tepat Guna dan Metodologi
Penelitian Kesehatan Ibu dan Anak)

Dosen Pembimbing :

Dr. Roedi Irawan, dr., Sp.A (K)

AULIA RISTI R. 101814153025

PEMINATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK


PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat
mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha
pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang
mendasar. Masalah kekurangan zat gizi mikro yang masih cukup tinggi
prevalensinya saat ini merupakan indikasi rendahnya asupan pangan sumber
vitamin dan mineral dari menu sehari-hari. Untuk itu intervensi gizi yang
mampu menjamin pemenuhan kecukupan zat gizi mikro perlu dikembangkan
khususnya untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan
keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro
masyarakat (Soekirman 2008).
Kejadian stunting sebagai salah satu pengaruh kekurangan zat gizi dilansir
cukup banyak sekitar 159 juta anak didunia dengan 9 juta diantaranya terjadi
di Indonesia (Martianto, 2018). Pravalensi stunting di Indonesia pun angkanya
masih tinggi yakni 36% pada balita. (Kemenkes, 2016). Banyak faktor yang
mempengaruhi tejadinya stunting pada 1000 hari kehidupan yakni kondisi
social ekonomi yang kurang, asupan gizi yang tidak adekuat, infeksi dan
penyakit infeksi, status gizi ibu, defissiensi zat gizi mikro, dan lingkungan.
Idealnya perbaikan gizi ditempuh dengan memperbaiki konsumsi makanan
keluarga sehari-hari berdasarkan gizi seimbang. Namun, tidak semua anggota
keluarga dapat memenuhi gizi seimbang karena ketidakmampuan ekonomi
dan atau kurangnya pengetahuan. Diversifikasi pangan merupakan solusi
jangka panjang untuk menanggulangi masalah kurang zat gizi mikro. Dalam
jangka pendek dan menengah, para imuwan di bidang gizi dan teknologi
pangan sejak awal abad ke-20 telah berhasil melakukan fortifikasi pangan
sebagai terobosan teknologi baru yang lebih murah guna membantu mereka
yang menderita kurang gizi mikro. Terobosan baru ini dapat memberikan
dampak yang nyata dan diterima oleh masyarakat.
Pada awal perkembangannya, fortifikasi digunakan untuk mengatasi penyakit
yang disebabkan oleh kekurangan zat gizi tertentu. Kekurangan zat gizi tidak
hanya terjadi di negara berkembang, yang antara lain disebabkan oleh
kekurangan pangan, rendahnya daya beli masyarakat dan keterbatasan
pengetahuan gizi. Namun, defisiensi juga terjadi di negara maju, yang antara
lain disebabkan oleh kecenderungan konsumsi produk olahan komersial
dengan komposisi zat gizi terbatas. Oleh karena itu, istilah fortifikasi hanya
diberikan untuk proses penambahan vitamin, mineral dan asam-asam amino
pada produk pangan. Sekarang banyak sekali “senyawa” selain vitamin,
mineral dan asamasam amino yang “ditambahkan” (difortifikasikan) pada
produk pangan, dan tidak terbatas pada zat-zat gizi, tetapi juga senyawa-
senyawa non gizi seperti antosianin, polifenol, antioksidan dan lain-lain.
Fortifikasi terbagi menjadi dua, yakni fortifikasi sukarela dan fortifikasi
wajib. Fortifikasi sukarela (voluntary) merupakan program fortifikasi yang
dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produsen pangan tanpa diwajibkan
oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan
untuk memperbaiki gizi masyarakat. Fortifikasi wajib (mandatory) adalah
fortifikasi yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dengan
tujuan utama mengatasi masalah KGM (kekurangan zat gizi mikro).
Sasaran utama program ini adalah masyarakat miskin serta masyarakat secara
umum. Program ini merupakan tanggung jawab pemerintah bekerja sama
dengan beberapa industri pangan yang terkait dengan jenis pangan yang
difortifikasi. Ada beberapa produk pangan fortifikasi yang dilakukan hanya
untuk alasan komersil. Dengan adanya fortifikasi diharapkan, harga jual
produk pangan tersebut harus tetap terjangkau oleh masyarakat dan tidak
menambah biaya produksi secara signifikan. Hal ini penting karena sasaran
utama fortifikasi adalah masyarakat miskin. Hingga saat ini belum ada
informasi mengenai produk apa saja yang sudah difortifikasi secara voluntary.
Oleh karena itu pada penulisan ini akan dilakukan identifikasi perkembangan
program fortifikasi secara global umumnya dan Indonesia khususnya baik
secara wajib (mandatory) maupun seacara sukarela (voluntary).

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini antara lain mempelajari perkembangan
program fortifikasi pangan global dan di Indonesia serta mengidentifikasi
jenis-jenis pangan yang telah difortifikasi.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan termasuk
biofortifikasi global dan di Indonesia.

1.3 Manfaat
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1.3.1 Bagi ilmu pengetahuan
Dapat menghasilkan informasi dapat memberikan data dan perkembangan
kebijakan dan program fortifikasi serta informasi mengenai aneka pangan
yang difortifikasi.
1.3.2 Bagi pemerintah
Dapat memberikan informasi tambahan dalam mengembangkan peraturan dan
pendidikan/penyuluhan produk fortifikasi yang beredar di pasaran.
1.3.3 Bagi masyarakat
Dapat memberikan informasi dalam menentukan produk pangan yang akan
dikonsumsi terutama produk yang difortifikasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fortifikasi Pangan
2.1.1 Definisi fortifikasi pangan
Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam
bahan pangan. Fortifikasi terhadap suatu bahan pangan bertujuan
meningkatkan nilai gizi bahan pangan dan juga untuk meningkatkan konsumsi
suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi et al. 1993).
Berikut ini pengertian beberapa istilah yang berhubungan dengan
penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan menurut Codex Alimentarius
(1983):
a. Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi
tertentu ke dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di
dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi
sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat
tertentu.
b. Restorasi adalah penambahan zat-zat gizi yang hilang selama proses
pengolahan pangan yang sesuai dengan GMP (Good Manufacturing 4
Practice), atau selama penyimpanan normal dan pada tahap penanganan,
jumlah yang ditambahkan akan menghasilkan komposisi zat gizi seperti
sebelum bahan pangan mengalami proses pengolahan, penyimpanan, atau
penanganan.
c. Standardisasi adalah penambahan sejumlah zat gizi ke dalam bahan
pangan yang bertujuan untuk mengganti kehilangan zat gizi ke dalam
variasi alaminya pada tingkatan zat gizi tertentu. The Joint Food and
Agricultural Organization World Health Organization (FAO/WHO)
Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification paling
tepat menggambarkan proses di mana zat gizi makro dan zat gizi mikro
ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum.
Istilah double fortification dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau
lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran
pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle',
sementara zat gizi yang ditambahkan disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971).
2.1.2 Tujuan fortifikasi pangan
Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan, yaitu:
1. memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki
defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan)
2. mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang
signifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama
pengolahan
3. meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang
digunakan sebagai sumber pangan, bergizi misal: susu formula bayi
4. menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan
pangan lain.
2.1.3 Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan
Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara
lain adalah (Siagian A 2003):
a. menentukan prevalensi defisiensi zat gizi mikro
b. segmen populasi (menentukan segmen)
c. tentukan asupan zat gizi mikro dari survei makanan
d. dapatkan data konsumsi untuk pangan pembawa (vehicle) yang potensial
e. tentukan availabilitas zat gizi mikro dari jenis pangan
f. mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
g. mencari dukungan industri pangan
h. mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri
pengolahan (termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
i. memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
j. kembangkan teknologi fortifikasi
k. lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas
organoleptik dari produk fortifikasi
l. tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
m. lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
n. kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifikasi
o. defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan
pelabelan
p. kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
q. promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh
konsumen.
Penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 1)
zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa makanan; 2)
dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak
menyebabkan timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang
ditambahkan atau yang ada dalam bahan pangan; 5) jumlah yang ditambahkan
harus memperhitungkan kebutuhan individu (Muchtadi et al. 1993). Ada pula
beberapa pertimbangan yang 5 perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi
vitamin, antara lain sebagai berikut: 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas; 3)
harga; dan 4) toksisitas.
Titik penambahan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap stabilitas
fortifikan. Mineral dapat ditambahkan ke dalam adonan yang akan diekstrusi,
sedangkan vitamin tidak dapat. Biasanya vitamin ditambahkan sebelum
pengemasan untuk memaksimalkan retensinya. Cara penanganan bahan
pangan sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi kandungan zat gizi mikro
yang secara alami ada atau yang ditambahkan di dalam bahan pangan. Bahkan
dengan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menjamin
stabilitas zat gizi mikro dalam bahan pangan, beberapa kehilangan zatzat gizi
tersebut masih terjadi selama proses pengolahan, distribusi, dan penyimpanan.
Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian khusus untukmengidentifikasi teknologi
fortifikasi terbaik sebanding dengan overage yang bersesuaian (OMNI 2005).
Overage merupakan jumlah tambahan fortifikan yang ditambahkan ke dalam
bahan pangan untuk mengkompensasikan kehilangan yang terjadi, yang akan
memastikan bahwa pangan yang telah difortifikasi tersebut memiliki level gizi
sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan tersebut dikonsumsi
(OMNI 2005).
2.2 Biofortifikasi
White dan Broadley (2005) dan Nestel et al. (2006) mendefinisikan
biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan
elemen esensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui teknik
pemuliaan konvensional maupun bioteknologi modern. Biofortifikasi untuk
peningkatan gizi mikro pada makanan pokok, dilakukan baik melalui
persilangan tanaman secara tradisional maupun dengan teknik molekuler
(Welch dan Grahara 2004).
Hasil penelitian dari The Consultative Group on International
Agricultural Research (CGIAR-2002), menyatakan makanan pokok yang
mempunyai potensi genetik untuk ditingkatkan kandungan Fe dan Zn di
antaranya adalah beras (Oryza sativa), gandum (Triticum aesticum), jagung
(Zea mays), buncis (Phaseolus vulgaris) dan singkong (Manihot esculenta).
Secara teori biofortifikasi dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah
kandungan mikro gizi pada bagian tanaman yang dapat dimakan pada
tanaman pokok. Di sisi lain, peningkatan konsentrasi kandungan dengan
meningkatkan penyerapan senyawa promoter (asam askorbat, β-karoten),
mengurangi konsentrasi penyerapan senyawa inhibitor (asam fitat, tannin,
senyawa fenolik, dan logam berat) (White dan Broadley 2005).

2.3 Persyaratan Makanan yang dapat difortifikasi


Terdapat dua macam fortifikasi, pertama fortifikasi sukarela oleh
industri pangan kemasaan untuk meningkatkan nilai tambah. Kedua fortifikasi
wajib yang bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi masyarakat,
khususnya masyarakat miskin.
Syarat untuk fortifikasi wajib, pertama, makanan yang umumnya selalu ada
disetiap rumah tangga dan dimakan secara teratur dan terusmenerus oleh
masyarakat termasuk masyarakat miskin. Kedua, makanan itu 6 diproduksi
dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah diawasi proses
fortifikasinya. Ketiga, tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang
dipilih. Keempat, makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah
difortifikasi. Kelima, tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, program fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau
peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur
dan terus menerus. Dan keenam, harga makanan setelah difortifikasi tetap
terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran (Soekirman 2008). Atas
dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi (wajib)
terbatas pada jenis makanan pokok (terigu, jagung, beras), makanan penyedap
atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedele, kecap ikan,
dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan
kedalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah
kekurangan gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap
dalam sistem pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya
terhadap rasa, penampilan, dan keamanan makanan, dan harga (Soekirman
2008). Setiap negara menentukan jenis makanan yang akan difortifikasi, yang
selanjutnya disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai dengan pola
makan setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan
jenis dan dosis fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan
pembawa, peraturan pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan
tubuh, serta masalah kekurangan gizi setempat (Soekirman 2008).
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Program Fortifikasi Di Dunia
Fortifikasi pangan memiliki sejarah panjang yang digunakan di negara
industri untuk mengendalikan kekurangan vitamin A dan D, beberapa vitamin
B (thiamin, riboflavin dan niasin), iodium dan zat besi. Pada tahun 1917
dalam perekrutan tentara Angkatan Darat AS ditemukan beberapa tentara
yang menderita penyakit gondok, hal ini mendasari penelitian lebih mendalam
mengenai fortifikasi garam. Iodisasi garam diperkenalkan pada awal tahun
1920 di Swiss (Burgi H et al. 1990) dan Amerika Serikat (Marine D dan
Kimball OP 1920) dan mulai sejak itu garam beriodium dikenal di seluruh
negara dan digunakan di banyak negara. Upaya fortifikasi awal diikuti pada
tahun 1933 pada fortifikasi susu dengan vitamin D. Penambahan vitamin D
untuk susu pada awalnya dilakukan dengan penyinaran susu atau dengan
memberi makan sapi dengan pakan yang dicampur dengan ragi. Teknik ini
diganti pada tahun 1940 dengan metode sederhana dan lebih efektif yaitu
dengan menambahkan vitamin D berkonsentrasi untuk susu, seperti yang
dipraktekkan saat ini (Quick dan Murphy 1982).
Pada tahun 1930-an dan 1940-an sindrom defisiensi penyakit yang
spesifik pertama kali diidentifikasi dan didokumentasikan di Amerika Serikat
(Foltz et al. 1944). Hal ini menyebabkan, pada tahun 1940 Committee on
Food and Nutrition (sekarang Food and Nutrition Board (FNB)
merekomendasikan penambahan thiamin, niacin, riboflavin, dan besi untuk
tepung (NRC 1974). Pada tahun 1940 juga lembaga Food and Drug
Administration (FDA) pertama kali didirikan untuk menetapkan standar
tepung fortifikasi dan diberi cap "enriched" dalam rangka meningkatkan
status gizi penduduk (FNB 2004).
Dari tahun 1940 dan seterusnya, produk sereal difortifikasi dengan
penambahan thiamin, riboflavin dan niasin menjadi ketentuan umum industri
pangan. Pada tahun berikutnya fortifikasi dilakukan pada margarin yang
diperkaya dengan vitamin A di Denmark dan susu dengan vitamin D di
Amerika Serikat. Setelah beberapa tahun berlalu, fortifikasi asam folat
gandum telah menyebar luas di Amerika. Hal serupa juga menjadi strategi
yang diterapkan oleh Kanada dan Amerika Serikat dan sekitar 20 negara
Amerika Latin (FNB 2004).
Pada tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mengadakan
konferensi mengenai gizi di White House dan menyimpulkan fortifikasi
pangan adalah cara terbaik untuk mencegah kekurangan zat gizi mikro. Hasil
konferensi tersebut diimplementasikan di seluruh Amerika Serikat serta
Inggris dan Canada. Pasca perang dunia, Inggris dan Kanada tidak
memberlakukan fortifikasi dikarenakan dampak kekurangan zat gizi mikro
dinilai telah hilang (Backstrand JR 2002).
Pada tahun 1960 FDA mengusulkan pendekatan regulasi yang lebih
ketat dalam menanggapi peningkatan fortifikasi makanan yang ditakutkan
mungkin menyebabkan overfortification. Pada tahun 1962 FDA mengusulkan
untuk membatasi fortifikasi zat gizi yang penting terhadap kesehatan manusia
dan sesuai untuk suplementasi. Dalam rangka usaha untuk mengurangi
fortifikasi makanan dan penyalahan pengunaaan produk suplemen makanan,
pada tahun 1966 FDA mengusulkan untuk membatasi jumlah produk
makanan yang dapat difortifikasi hingga delapan kelas dan menentukan gizi
yang dapat digunakan pada masing masing kelas. Regulasi yang diusulkan
dalam standar di antaranya: vitamin dan mineral untuk suplemen diet dan
jumlah produk makanan yang difortifikasi. Peraturan yang diusulkan dan
selanjutnya ditetapkan pada tahun 1974 oleh FDA mengenai peraturan gizi
untuk makanan dan ketentuannya (FNB 2004).
Selama tahun 1970-an fortifikasi gula dengan vitamin A pertama kali
diimplementasikan di Guatemala, diikuti oleh negara Amerika Tengah
termasuk Kosta Rika, Honduras dan El Salvador. Rumah tangga yang
mengkonsumsi gula yang difortifikasi dengan vitamin A di El Salvador dan
Guatemala sekitar 95% dan lebih dari 80% di Honduras. Keberhasilan
program fortifikasi gula memberikan dorongan untuk negara lain
memberlakukan intervensi yang sama. Pada tahun 1998 di Zambia
memberlakukan fortifikasi gula dengan vitamin A (Mora et al. 2000)
Pada tahun 1980 FDA menetapkan kebijakan 21 C.F.R.104.20 tentang
pedoman penambahan gizi untuk makanan. Dalam peraturan tersebut
ditetapkan produk pangan yang difortifkasi harus menyertakan label gizi pada
kemasan. Pada tahun 1982 tinjauan dari U.S. Departement of Agriculture’s
Food Safety and Inspection Service (FSIS) menyimpulkan kebijakan
penambahan gizi makanan akan terus mengikuti pedoman kebijakan FDA
(Quick dan Murphy 1982). Beragamnya produk fortifikasi pangan yang
berada di pasaran, FSIS menemukan produk tersebut tidak terdapat dalam
pedoman 21 C.F.R.104.20. FSIS akhirnya membuat beberapa peraturan untuk
produk-produk pangan tersebut dengan menyertakan label gizi yang
difortifikasikan (FNB 2004). Fortifikasi pangan terus menjadi mekanisme
yang banyak digunakan di negara maju. Dalam konteks ini, terjadi perubahan
yang begitu cepat terutama dalam hal gaya hidup dan kebutuhan diet.
Pada tahun 1990-an, UK Medical Research Council melaporkan
bahwa konsumsi asam folat ketika ibu hamil dapat mencegah neural tube
defects (NTD-cacat bawaan pada syaraf tulang belakang). Pemberian
suplemen asam folat pada ibu hamil mampu menurunkan sepertiga populasi
berisiko NTD. Akibatnya FDA mewajibkan fortifikasi asam folat dan banyak
negara lain yang mengikuti, hal ini sudah dilakukan oleh Negara Kanada sejak
tahun 1979 (MRC 1991).
Pada tahun 1992 diadakan konferensi International Conference on
Nurtrition (ICN) di Roma, menekankan pentingnya kegiatan berbasis pangan
dalam rangka untuk penanganan masalah gizi buruk terutama zat gizi mikro
(FAO/WHO 1992). Pembahasan dalam konferensi tersebut lebih menekan
pemberian solusi berupa fortifikasi pangan karena dianggap paling relevan.
Hal ini dilandasi oleh beberapa penelitian bahwa fortifikasi merupakan
program yang dapat mengatasi kekurangan zat gizi mikro terutama vitamin A,
iodium dan zat besi dalam waktu singkat dan dapat diimplementasikan.
(Austin et al. 1981; Arroyave 1987; INACG 1990).
Pada tahun 1994 UNICEF dan WHO merekomendasikan fortifikasi
garam dengan iodium secara universal sebagai pendekatan utama dalam
mengoreksi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada tahun 1992
diadakan 7th World Salt Symposium di Kyoto (Jepang), tujuan dari simposium
ini adalah pengendalian gangguan akibat kekurangan iodium. Akhirnya, pada
8th Session of the World Salt Symposium di Den Haag pada tahun 2000,
industri garam memiliki peran khusus dan bertanggung jawab dalam
fortifikasi garam dengan iodium.
Secara internasional, Codex Alimentarius, Food and Agriculture
Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) telah
menetapkan prinsip umum untuk penambahan vitamin dan mineral pada
makanan. Sebagai contoh, the guidelines on food fortification with
micronutrients diterbitkan pada tahun 2006 (Allen L et al. 2006). Namun,
masing-masing negara menentukan kebijakan atau peraturan sendiri dan
pendekatan penerapan fortifikasi dapat bervariasi secara luas di seluruh dunia.
Pada tahun 2006 parlemen Eropa membentuk peraturan untuk
mengontrol penambahan gizi pada makanan dan klaim gizi yang tertuang
pada Regulation (EC) No 1924/2006 of the European Parliament and of the
Council of 20 December 2006 on nutrition and health claims made on foods.
Peraturan tersebut menjadi ketentuan di negara-negara Eropa untuk
melakukan fortifikasi secara sukarela.
US Centers for Disease Control and Prevention melaporkan pada
tahun 2008 sebanyak 33 negara telah melakukan fortifikasi pada tahun 2004
dan meningkat menjadi 54 negara pada tahun 2007 dan dalam kurun waktu
tiga tahun mampu melindungi 540 juta orang dari kekurangan zat gizi mikro.
Sebagian besar negara melakukan fortifikasi terhadap zat besi, asam folat
tetapi banyak juga dengan thiamin, riboflavin dan niacin. Cakupan program
fortifikasi pangan mengalami penurunan menjadi 97% dari populasi Amerika,
meningkat 5-44% di Timur Tengah, dari 26% menjadi 31% di wilayah Afrika,
dari 16% menjadi 21 persen di wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 2007
hanya 6% populasi di wilayah Eropa dan 4% di wilayah Asia Pasifik Barat
yang melakukan fortifikasi.
Pembahasan fortifikasi pangan di Eropa sebagai solusi penting dalam
mengatasi pemasalahan kesehatan masyarakat diatur masing-masing negara
dan European Union free trade complexities (Tulchinsky TH et al. 2004).
Fortifikasi asam folat dilakukan secara sukarela oleh produsen makanan dan
belum ditetapkan fortifikasi wajib di negara Eropa per November 2009. The
United Kingdom Food Standards Agency (UKFSA) merekomendasikan
fortifikasi wajib asam folat pada tahun 2007, tapi ditunda oleh Chief Medical
Officer untuk meninjau bukti ilmiah. Rekomendasi UKFSA diperbarui pada
bulan Oktober 2009, namun masalah ini dibawa ke ranah politik dan belum
ada keputusan (Tulchinsky TH 2010).
Selama 6 bulan percobaan efikasi di Vietnam menetapkan bahwa
fortifikasi saus ikan dengan besi secara signifikan dapat meningkatkan status
zat besi dan mengurangi anemia dan defisiensi besi (Thuy PV et al. 2003).
Subyek penelitian adalah perempuan pekerjaan yang mengalami anemia
diintervensi dengan mengkonsumsi 10 ml per hari saus yang difortifikasi
dengan 100mg besi (NaFeEDTA) per 100 ml.
Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk menilai efikasi,
efektivitas dan kelayakan fortifikasi kecap dengan besi (NaFeEDTA).
Konsumsi harian kecap yang difortifikasi zat besi sebesar 5mg atau 20mg
dilaporkan sangat efektif dalam mengatasi defisensi anemia besi pada anak,
efek positif terlihat dalam waktu 3 bulan dari awal intervensi. Uji efektivitas
dilakukan dengan metode double blind placebo controlled pada kecap yang
diperkaya zat besi, yang melibatkan sekitar 10000 anak-anak laki-laki dan
wanita, penurunan prevalensi anemia diamati dalam waktu 6 bulan (Mannar V
dan Boy GE 2002). Penelitian efikasi menunjukkan bahwa konsumsi harian
dari 7,1 mg besi dari ferrous sulfate (setara dengan 7,1 mg besi sebagai
ferrous fumarat, 4,6 mg zat besi sebagai natrium besi
ethylenediaminetetraacetate [NaFeEDTA], atau 10 mg elektrolit besi) pada
produk yang difortifikasi akan meningkatkan status zat besi pada wanita usia
subur (Biebinger R et al. 2009).
Penelitian yang dilakukan di Filipina telah menunjukan fortifikasi
monosodium glutamat (MSG) dengan vitamin A menurunkan angka
kematian, meningkatkan pertumbuhan dan kadar hemoglobin pada anak-anak
(Muhilal et al. 1988). Kemudian studi pada anak usia prasekolah yang
mengkonsumsi margarin yang difortifikasi 27g vitamin A margarin per hari
untuk jangka waktu 6 bulan, menunjukan penurunan prevalensi konsentrasi
serum retinol serum 26% menjadi 10% (Solon FS et al. 1996). Efektivitas
biologis fortifikasi vitamin A tergantung pada konsumsi target yang
diintervensi. Negara-negara yang memiliki konsumsi tepung terigu 75 g atau
kurang perkapita/hari menambahkan relatif lebih tinggi jumlah vitamin A
(misalnya, 5,9 mg Retinol Activity Equivalents (RAE)/g) akan memberikan
kontribusi asupan sekitar 24%, 21%, dan 22% dari kecukupan Recommended
Dietary Allowance (RDA) untuk perempuan dewasa, anak usia sekolah, dan
anak usia prasekolah dengan biaya fortifikasi sebesar US$ 8.62/MT (metric
ton) tepung terigu.
Efektivitas biaya merupakan salah satu sumber estimasi yang
konsisten untuk menentukan intervensi zat gizi mikro. Perkiraan efektifitas
biaya tidak secara langsung diperoleh dari intervensi, tetapi diketahui dari
biaya intervensi, efektifitas (peningkatan status zat gizi mikro) dari intervensi,
dan hubungan antara status zat gizi mikro dengan morbiditas/mortalitas hasil.
Perkiraan intervensi efek fortifikasi pangan sangat tergantung pada asumsi
kemampuan kognitif, fisik dan produktifitas, biaya program fortifikasi serta
efektivitas dalam mengurangi defisiensi zat gizi mikro.
Pada tahun 2001, hampir 126 negara berkembang memberlakukan
fortifikasi garam iodium (Mason et al. 2001). Program fortifikasi pangan telah
berhasil diterapkan di negara-negara berkembang (Darnton-Hill dan Nalubola
R 2002). Fortifikasi pangan dan suplemen multivitamin sering termasuk
dalam diet sehari-hari masyarakat di negara-negara maju. Pengguna produk
fortifikasi adalah perempuan, orang tua, pasien kronis dan terutama orang-
orang yang berpendidikan atau dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi
(Shaikh et al. 2009). Publikasi dari US National Health dan Nutrition
Examination Survey (NHANES) melaporkan proporsi orang dewasa (Yang Q
et al. 2010) dan juga anak-anak 1-13 tahun (Bailey RL et al. 2010) sering
mengkonsumsi produk fortifikasi. Sebuah era baru dalam gizi telah jelas
berevolusi dan diharapkan hasil yang signifikan pada tingkat populasi di masa
depan.
Saat ini tampak jelas bahwa gizi yang optimal tetap menjadi target
yang bergerak dibidang fortifikasi pangan. Selain itu, studi nutrigenomik telah
mengidentifikasikan individu dengan kebutuhan gizi yang berbeda-beda,
fortifikasi pangan dapat membantu mengoptimalkan kebutuhan gizi. Dasar
bukti ilmiah terus berkembang dengan penemuan senyawa baru, dapat
meningkatkan derajat kesehatan serta menentukan strategi baru yang
melibatkan pengetahuan gizi dan fortifikasi pada masa depan yang lebih
menguntungkan.

3.2 Perkembangan Program Fortifikasi Di Indonesia


Penerapan fortifikasi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada
masa pemerintah Belanda pada tahun 1927. Pada waktu itu pemerintah
Belanda menerbitkan peraturan yang mengharuskan fortifikasi garam dengan
iodium yang dikonsumsi oleh rakyat, yang secara kesuluruhan garamnya
diproduksi oleh Perusahaan Negara (PN) Garam di Madura. Semenjak
kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mulai bermunculan perusahaan garam
yang mengakibatkan peraturan itu tidak lagi dilaksanakan karena garam tidak
menjadi produk monopoli P N Garam.
Pada awal tahun 1970-an wacana memberlakukan fortifikasi pada
garam dan tepung terigu menjadi pembahasan di seminar-seminar gizi dan
pangan. Fokus utama yang dilakukan UNICEF dalam mengadvokasi adalah
bagaimana mengatasi masalah kurang iodium pada garam dengan menerapkan
fortifikasi garam yang dikenal sebagai iodisasi garam. Koordinasi antara
Bappenas dan Departemen Kesehatan menghasilkan gagasan untuk iodisasi
garam secara nasional. Gagasan ini dibicarakan oleh Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan serta Departemen Dalam Negeri
(Soekirman 2008).
Hasil survei awal tahun 1980-an menemukan 5 makanan yang
berpotensi menjadi pembawa fortifikasi, yaitu : garam, bumbu penyedap
MSG, minyak goreng, gula, dan tepung terigu. Beras tidak termasuk karena
ada beberapa aspek yang tidak memenuhi kriteria fortifikasi wajib, yang akan
diuraikan kemudian. Dari ke-5 komoditi pangan tersebut yang paling
memenuhi syarat untuk dicoba difortifikasi pada awal tahun 1980an adalah
garam, MSG, dan terigu. Karena itu program fortifikasi di Indonesia dimulai
dengan 3 komoditi tersebut. Sebenarnya garam kurang memenuhi syarat
untuk difortifikasi wajib karena produsen garam, petani garam dan pengusaha
garam rakyat (besar dan kecil) jumlahnya sangat besar (puluhan ribu) dan
tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian karena luas
dan gawatnya masalah gangguan kesehatan karena kurang iodium (GAKI) di
masyarakat, upaya pencegahan dan penanggulangannya harus segera
dilaksanakan, sehingga tidak banyak pilihan kecuali melaksakanan iodisasi
garam secara nasional (Soekirman 2008).
Bumbu penyedap MSG yang pada tahun 1980-an hanya diproduksi
oleh 2 pabrik, sangat memenuhi persyaratan fortifikasi. Seperti halnya dengan
garam, MSG dijumpai dihampir setiap rumah tangga, baik kaya maupun
miskin. MSG memenuhi syarat untuk fortifikasi vitamin A yang juga
merupakan salah satu masalah kekurangan gizi penting di Indonesia sampai
sekarang. Pada tahun 1980-an dilakukan percobaan fortifikasi vitamin A pada
bumbu penyedap MSG. Hal serupa pernah dilakukan juga di Philipina. Hasil
percobaan dari kedua negara tersebut positif. Fortifikasi MSG dengan vitamin
A menurunkan prevalensi kurang vitamin A pada balita keluarga miskin.
Meskipun demikian percobaan ini tidak berlanjut menjadi program, oleh
karena masalah teknologi (terjadi perubahan warna MSG) dan adanya
kelompok masyarakat yang menentang pemakaian MSG secara luas
(Soekirman 2008).
Pada 1982 diadakan pertemuan antara Menteri Kesehatan,
Perindustrian dan Perdagangan serta Dalam Negeri. Dalam pertemuan
tersebut akhirnya terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang
dimulainya upaya iodisasi garam rakyat. Tiga tahun berjalan SKB tersebut
ditingkatkan menjadi SKB 4-Menteri dengan ditambah Menteri Pertanian.
Menurut hukum di Indonesia pada tahun 1994 Presiden menerbitkan
Keputusan Presiden No 69 tahun 1994 tentang mewajibkan Iodisasi Garam
yang merupakan penerapan fortifikasi wajib di Indonesia. Dikeluarkannya
SKB antar menteri tentang iodisasi garam, dan lobi-lobi para pakar gizi dan
UNICEF tentang pentingnya fortifikasi telah mendapat perhatian para
pengambil kebijakan dan perencana pembangunan di Bappenas. Pada tahun
1998 kebijakan perlunya program fortifikasi dicantumkan dalam rencana
pembangunan lima tahun (REPELITA) III dan seterusnya. Program iodisasi
garam merupakan program fortifikasi nasional yang pertama dalam Repelita
(Soekirman 2008).
Pada tahun 1993 Pemerintah Orde Baru membentuk Kementerian
Negara Urusan Pangan dan memperkasai kebijakan fortifikasi pangan dan
diperkuat dalam rencana REPELITA III pada salah satu bab dari pasal 27
Undang-Undang Pangan tahun 1996. Bab III tentang Mutu dan Gizi Pangan,
Pasal 27 (3) UU 22 tersebut berbunyi : “Dalam hal terjadi kekurangan dan
atau penurunan status gizi masyarakat, pemerintah dapat menetapkan
persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang
diedarkan“. Kata pengayaan gizi yang dimaksud dalam UU Pangan ini adalah
fortifikasi. Terjadi perubahan peraturan pangan menjadi UU no 18 tahun 2012
tentang Pangan. Peraturan fortifikasi pada UU No 18 tahun 2012 diatur bagian
ketiga perbaikan gizi pasal 63 ayat 1 dan ayat 2(a). Menyikapi berlakunya UU
Pangan tersebut Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan (SK)
Menteri tanggal 16 Juni 1996 tentang Fortifikasi Tepung Terigu. Undang-
undang Pangan menyebabkan Kementerian Urusan Pangan membentuk
Komisi Fortifikasi yang bersifat lintas sektor Kementerian. Diskusi teknis
pelaksanaan fortifikasi tepung terigu dimulai di komisi ini dengan dukungan
aktif UNICEF. Pembahasan secara nasional diadakan tahun 1998 di forum
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke VI (Soekirman 2008).
Sejak itu berbagai percobaan fortikasi tepung terigu dimulai dan
pengoperasian fortifikasi tepung terigu dimulai tahun 1998 di salah satu
pabrik tepung terigu di Jakarta. Akhirnya pada tanggal 14 Januari 1999,
program fortifikasi tepung terigu dengan zat besi dicanangkan secara resmi
oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Negara Urusan Pangan dan
disaksikan oleh kepala perwakilan UNICEF di Indonesia. Dua tahun
kemudian fortifikasi ini menjadi wajib setelah dikeluarkannya Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar
Nasional Indonesia Tepung Terigu. Standar Nasional Indonesia (SNI) ini
mewajibkan fortifikasi tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat,
vitamin B1 dan B2 (Soekirman 2008).
Pada tahun 2003 diadakan evaluasi pelaksanaan wajib iodisasi garam.
Hasilnya menunjukkan kemajuan yang nyata. Apabila di tahun 1980-an hanya
30% rumah tangga menggunakan garam beriodium, pada tahun 2003
meningkat menjadi 64%. Data terakhir tahun 2006 menjadi 78% dengan
catatan masih ada 30% kabupaten dengan konsumsi garam beriodium
dibawah 50%. Salah satu masalah yang masih dihadapi program iodisasi
garam adalah masih banyak beredarnya garam dengan label beriodium, tetapi
tanpa iodium alias palsu (Soekirman 2008).
Salah satu masalah pada tahun-tahun pertama pelaksanaan fortifikasi
wajib tepung terigu adalah beredarnya tepung terigu impor tanpa fortifikasi.
Masalah lainnya, kurang dipahami arti dan maksud fortifikasi oleh masyarakat
termaksud pejabat negara. Kecurigaan yang bersumber dari ketidaktahuan
tentang apa itu fortifikasi, mencapai klimaksnya pada Februari 2008, SNI
wajib fortifikasi tepung terigu dicabut oleh pemerintah. Pencabutan ini tentu
saja mendapat tantangan keras dari pers dan para pakar gizi dan kesehatan,
termasuk UNICEF. Pada tahun 2008/2009 harga bahan makanan pokok
termasuk terigu meningkat tajam. Fortifikasi tepung terigu dituduh sebagai
salah satu sebab nya. Kesalahan persepsi ini dapat diperbaiki setelah
pemerintah dan lembaga independen memberi penjelasan melalui surat dan
media massa (Soekirman 2008). SNI Wajib fortifikasi tepung terigu
diberlakukan lagi pada tahun 2009.
Pilihan pada minyak goreng sebagai pembawa vitamin A melalui
perjalanan panjang. Minyak goreng yang mengandung provitamin A sehingga
berwarna merah pernah disosialisasikan pada 1960-an, tetapi tak berhasil
karena membuat warna makanan jadi merah. Beberapa tahun lalu, sebuah
perusahaan swasta gagal memasarkan minyak goreng sawit dengan
provitamin A tinggi. Selain warna makanan jadi merah, rasa makanan juga
getir (Soekirman 2008). Pada 25 januari 2011 yang bertepatan dengan hari
Gizi Nasional, Kementrian Kesehatan meluncurkan program rintisan
fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng. Fortifikasi vitamin A pada
minyak goreng masih merupakan kegiatan sukarela dan akan segera menjadi
fortifikasi wajib setelah Standar Nasional Indonesia diterbitkan. Pada tahun
2012 ditetapkan SNI 7709:2012 tentang minyak goreng sawit yang
difortifikasi sukarela dengan vitamin A.
Diberlakukan peraturan pangan dan sistem pangan yang lebih luas dan
terkontrol merupakan mekanisme umum yang digunakan oleh pemerintah
untuk mengatur ketentuan teknis fortifikasi pangan dan terutama yang
berhubungan dengan label, komposisi dan klaim. Peraturan pangan juga dapat
digunakan untuk memaksakan pengontrolan pada industri makanan dan
sebagai sistem informasi kepada publik dalam mendukung fortifikasi pangan.
Peraturan pangan biasanya memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang paling
penting adalah perlindungan kesehatan masyarakat. Adapun tujuan lain
diantaranya: 1) penyediaan informasi yang memadai untuk memungkinkan
pilihan yang tepat dalam memilih produk pangan; 2) pencegahan penipuan
dan perilaku menyesatkan atau menipu; 3) perdagangan yang adil.
Dalam memenuhi tujuan tersebut, ketentuan fortifikasi pangan
sebaiknya tidak hanya memastikan bahwa semua komposisi parameter
berlaku, tetapi harus mampu menciptakan makanan yang aman dan berkhasiat
bagi kesehatan masyarakat. Label, klaim dan iklan makanan yang difortifikasi
harus faktual, tidak menyesatkan dan memberikan informasi yang cukup
untuk memungkinkan setiap masyarakat mengetahui produk fortifikasi yang
sesuai dengan kebutuhan asupan konsumsi.
Sebelum memutuskan pada format dan detail ketentuan fortifikasi,
pengambil kebijakan seharusnya memahami faktor-faktor yang membentuk
pola pasokan dan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Pertimbangan
penting lainnya yaitu, keseimbangan antara produk domestik dan
memperketat produk impor yang beredar, komposisi zat gizi mikro dari
produk impor, kapasitas industri dalam negeri untuk memproduksi dan sistem
industri yang terpusat. Pemahaman ini sangat relevan jika produk impor yang
difortifikasi akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap asupan zat
gizi mikro. Jika parameter komposisi dalam peraturan nasional tidak
mengakomodasi produk fortifikasi misalnya jika tingkat zat besi minimal
fortifikasi produk impor lebih tinggi dibandingkan produk dalam negeri maka
industri pangan dalam negeri akan mengalami kebangkrutan.
Pengambil kebijakan juga perlu menyadari tingkat pengetahuan gizi
masyarakat dan setiap pendidikan gizi yang direncanakan sehingga dapat
menentukan informasi label, komposisi dan klaim yang diperlukan atau
diijinkan dalam pelabelan dan iklan. Akhirnya, setiap perubahan dari undang-
undang yang mengharuskan industri pangan untuk mengubah praktek
produksi dan atau label produk harus memasukkan masa transisi. Hal ini pasti
membutuhkan beberapa waktu sebelum semua produsen dalam negeri dan
importir menjadi sadar persyaratan peraturan baru dan dapat memodifikasi
produksi dan/atau operasi pelabelan yang sesuai.
Fortifikasi pangan sangat tergantung dengan kemitraan yang kuat
antara sektor pemerintah, swasta dan sipil. Pemerintah memiliki peran dengan
memberlakukan dan menegakkan undang-undang dan mengatur tarif bea
impor pangan yang masuk ke Indonesia. Para ahli dan peneliti melakukan
terobosan terbaik untuk menciptakan makanan yang bermanfaat dalam
mengurangi defisiensi zat gizi mikro dan menguntungkan bagi pemerintah dan
industri jika diproduksi secara massal. Industri berkontribusi dalam pemasaran
bisnis dan teknis keahlian untuk mempromosikan makanan yang diperkaya
kepada konsumen. Konsumen dan media menginfomasikan penyebaran berita
dan membantu menstimulasi permintaan berkelanjutan untuk makanan yang
difortifikasi.
Pemerintah memiliki peran penting untuk membuat peraturan dan
memastikan bahwa fortifikasi pangan efektif untuk kelompok populasi paling
berisiko dari malgizi zat gizi mikro, tetapi aman untuk populasi secara
keseluruhan. Peraturan pangan dan langkah-langkah teknis pemberlakuan
sistem pangan yang lebih luas merupakan alat utama yang dimiliki pemerintah
untuk membangun dan mengontrol praktek fortifikasi agar tepat guna.
Pemerintah dan peneliti memiliki peran sentral dalam menafsirkan
bukti pangan yang difortifikasi menguntungkan dan kemudian
memberlakukan peraturan untuk mempromosikan fortifikasi pangan agar bisa
diproduksi secara skala industri. Sektor swasta dalam hal ini produsen
memainkan peran yang sangat penting untuk menindaklanjuti respon
permintaan terhadap produk yang telah difortifikasi dan tetap dalam
pengawasan. Pelaksanaan fortifikasi pangan merupakan kolaborasi keilmuan
dari ahli gizi, kesehatan, asosiasi medis untuk membantu meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang manfaat fortifikasi. Para donatur dalam dan luar
negeri dan mitra pembangunan pemerintah lainnya dapat menyumbangkan
keahlian teknis dan dukungan lainnya untuk membantu memperluas program
fortifikasi dengan cara menekan biaya. (BAPENAS 2012).
Masalah yang dirasakan saat ini kurangnya monitoring mutu
fortifikasi, baik pada garam maupun tepung terigu. Hal ini menjadi masalah
karena masih adanya laporan tentang pemalsuan label fortifikasi terutama
garam beriodium, dan adanya tepung terigu yang berkualitas rendah tanpa
fortifikasi beredar dipasaran. Masalah lain, masih ada sekelompok masyarakat
yang meragukan efektivitas fortifikasi sehingga menimbulkan kebijakan
pemerintah yang kurang tepat seperti terjadi pencabutan sementara SNI wajib
fortifikasi tepung terigu tahun 2008. Beberapa pemerintah daerah tidak
menyadari pentingnya iodisasi garam untuk melindungi ibu hamil dan bayi,
seperti ditandai dengan kurangnya perhatian terhadap program iodisasi garam,
sehingga peraturan daerah yang sudah dikeluarkan tidak efektif. Kaitannya
dengan fortifikasi tepung terigu, pemerintah perlu segera melakukan uji
efektivitas untuk mengetahui dampaknya terhadap penurunan prevalensi
anemia karena kurang zat besi pada berbagai kelompok masyarakat seperti
telah dibuktikan di negara-negara lain.
Perkembangan fortifikasi juga tergantung pada hasil rintisan
pengembangan BTB (Bantuan Tunai Bersyarat) untuk MP-ASI (Makanan
Pendamping Air Susu Ibu) balita. Beberapa pakar gizi menaruh harapan besar
terhadap "sprinkles" atau taburia sebagai terobosan teknologi gizi mencegah
dan mengatasi masalah gizi kurang (termasuk kurang zat gizi mikro) pada
balita dari keluarga miskin. Sedang keberhasilan fortifikasi minyak dengan
vitamin A, akan menentukan perlu tidaknya program suplementasi kapsul
vitamin A untuk balita dan ibu nifas di hentikan dikemudian hari. Penggantian
suplementasi dengan fortifikasi berarti penghematan anggaran belanja negara
karena biaya program fortifikasi relatif jauh lebih murah dan lebih efektif
daripada suplementasi.

3.3 Perkembangan Program Biofortifikasi


Pangan merupakan sumber utama gizi yang diperlukan untuk hidup
sehat, tetapi kebijakan pertanian dan teknologi telah difokuskan pada
peningkatan profitabilitas di tingkat pertanian dan agroindustri, bukan pada
peningkatan gizi (Bouis dan Welch 2010). Meningkatnya prevalensi hidden
hunger (kelaparan tidak kentara) mengharuskan pertanian harus berperan
dalam meningkatkan kandungan gizi, khususnya dengan lebih memperhatikan
kualitas gizi makanan yang sering dikonsumsi.
Program fortifikasi pangan mengutamakan penambahan vitamin dan
mineral pada saat produksi maupun pasca produksi dan sangat berbeda
dengan program biofortifikasi. Hal yang menjadi dasar perbedaan dengan
program biofortifikasi adalah penambahan vitamin dan mineral dilakukan
pada saat penanaman varietas makanan pokok yang sering dikonsumsi. Hal ini
menjadikan program biofortifikasi diutamakan pada wilayah miskin dalam
mengatasi masalah defisiensi zat gizi mikro.
Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi
masalah gizi dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan
mineral) produk pertanian melalui proses persilangan intra dan atau
interspesies tanaman secara konvensional maupun inkonvensional.
Biofortifikasi adalah metode ilmiah untuk meningkatkan nilai gizi dari
makanan yang dikonsumsi untuk mengatasi kelaparan tidak kentara (Bouis et
al. 2011). Metode utama biofortifikasi meliputi: meningkatkan kandungan
vitamin dan mineral pada tanaman pangan melalui teknik pemuliaan
konvensional selektif, mengurangi tingkat zat anti gizi dalam makanan pokok
yang menghambat penyerapan vitamin dan mineral.
HarvestPlus adalah sebuah program penelitian dibawah lembaga
Centers of the Consultative Group on International Agricultural Research
(CGIAR), memimpin upaya global untuk mengembangkan tanaman
biofortifikasi sebagai makanan pokok dengan penambahan vitamin A, seng
dan besi yang merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling sering terjadi
pada golongan masyarakat miskin (Brown 1991). HarvestPlus merupakan
program interdisipliner yang bekerja dengan para ahli di lebih dari 40 negara.
Setelah melakukan berbagai percobaan hingga akhirnya menerbitkan jadwal
melepas tanaman biofortifikasi yang dikembangkan pada negara tertentu.

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dalam penulisan ini tertuang dalam butir-butir dibawah
ini:
1. Perkembangan fortifikasi pangan dalam tataran global telah melalui proses
sejarah yang panjang dimulai pada tahun 1920 dengan memberlakukan
fortifikasi garam beriodium. Pada tahun 1940 negara-negara di barat
mempraktekkan fortifikasi pada produk sereal dengan thiamin, riboflavin
dan niasin yang menjadi ketentuan umum industri pangan. Pada tahun
1960-1970 Amerika Serikat memberlakukan peraturan fortifikasi namun
hingga tahun 1992 baru diadakan Intenational Conference on Nutrition
untuk membahas pemberlakuan fortifikasi secara global. Maka, pada
tahun 2006 WHO dan FAO menerbitkan prinsip dasar penerapan
fortifikasi dan terus berkembang.
2. Perjalanan fortifikasi di Indonesia telah dimulai sejak jaman Belanda pada
tahun 1927 dengan menambahkan garam dengan iodium. Indonesia pada
saat ini telah menetapkan fortifikasi wajib yang diatur dalam SNI yaitu
garam dan tepung terigu. Secara peraturan fortifikasi sukarela di
Indonesia hanya memberikan batasan pada produk pangan yang
ditambahkan vitamin dan mineral dengan memberikan batasan kandungan
gizi yang harus dipenuhi.
3. Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi masalah
gizi dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan mineral)
produk pertanian melalui proses persilangan intra dan atau interspesies
tanaman secara konvensional maupun inkonvensional. Tanaman
biofortifikasi fokus pada penambahan vitamin A, seng (Zn) dan besi (Fe).
Program biofortifikasi di Indonesia baru tahap penelitian pada beras
dengan penambahan besi namun belum dilakukan secara massal.
3.2 Saran
Pelaksanaan program fortifikasi pangan telah menghasilkan berbagai jenis
produk sehingga perlu penyebaran informasi secara luas tentang jenis produk
yang difortifikasi dan memenuhi standar peraturan yang berlaku. Pemerintah
perlu melakukan edukasi kepada masyarakat atau konsumen tentang manfaat
dan cara memilih produk pangan hasil industri khususnya yang difortifikasi
dan melakukan pemantauan secara berkala terhadap kebijakan dan program
fortifikasi termasuk dampaknya terhadap status gizi masyarakat. Peran
pemerintah yang lain adalah mengadvokasikan semua kebijakan yang telah
ditetapkan mengenai fortifikasi kepada industi pangan serta melakukan
pembinaan agar produk fortifikasi pangan yang dihasilkan selain
mengutungkan produsen juga mampu meningkatkan status gizi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

[BAPENAS] Badan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangka Kebijakan: Gerakan


Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).
Jakarta: Bapenas
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Garam Konsumsi Beriodium. Jakarta: SNI 01-
3556
Bouis, H. E., and R. M. Welch. 2010. Biofortification—a sustainable agricultural strategy
for reducing micronutrient malnutrition in the global south. Crop Science 50
(2): S1–S13.
Bouis, H. E., C. Hotz, B. McClafferty, J. V. Meenakshi, and W. H. Pfeiffer. 2011.
Biofortification: A New Tool to Reduce Micronutrient Malnutrition.
Supplement, Food and Nutrition Bulletin 32 (1): 31S-40S.
[FAO/WHO] Food and Agriculture Organization of United Nations World Health
Organization. 1992. International Conference on Nutrition World
Declaration and Plan of Action for Nutrition. Genewa.
[FNB] Food and Nutrition Board. 2004. Dietary reference intakes: Guiding principles
for nutirition labelling and fortification. Institute of Medicine: United States.
HarvestPlus. 2012. Crops. www.harvestplus.org/content/crops. [21 Desember 2012].
INACG, 1990. Combating Iron Deficiency Anemia Through Food Fortification
Technology - An Action Plan, XII INACG Meeting Washington, DC.
[MI] Micronutrient Initiative. 1996. Micronutrient fortification of foods: Current
practices, research and oppurtunities. International Development Research
Centre (IDRC): Kanada.
[MRC] Medical Research Council. 1991. Vitamin Study Research Group. Prevention of
neural tube defects: result of the Medical Research Council vitamin study.
Lancet. 1991:338:131-7: www.thelancet.com/journals/
lancet/article/PII0140-6736(9)90133 A/abstract (12 Februari 2013).
[ODS] Office of Dietary Supplements. 2011. Vitamin D and healthful diets. Dietary
Supplement Fact Sheet. www.dietary-supplements.info.nih.gov/
factsheets/vitamind.asp [11 Februari 2013]
OMNI. 2005. Fortification Basics: Stability. www.idpas.org/pdf/1154FortBasic
Stability.pdf. [12 Desember 2012]
Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pangan Fortifikasi. Jakarta (ID):
Sekretariat Negara.
Siagian, A. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah
Kekurangan Zat Gizi Mikro, www.library.usu.ac.id. [10 September 2012].
Soekirman. 2008. Fortifikasi Pangan: Program Gizi Utama Masa Depan?. Jakarta:KFI
Welch R. M. and R. D. Grahara. 2004. Breeding for micronutrients in staple food crops
from a human nutrition perspective. Journal of Exprimental Botany: 55,
(396): 353-364
White P. J. and M. R. Broadley. 2005. Biofortifying crops with essential mineral
elements. Trends in Plant Science. 10 (12): 586-593

Anda mungkin juga menyukai