Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FRAKTUR RADIUS ULNA

OLEH :

TEGUH GAMA ZARKASYI

020.02.1135

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR LUMBAL

A. PENGERTIAN

Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai


servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin,
2005, hal. 98).

Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang


belakang bagian bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra,
kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis
(Batticaca, 2008).

Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :

a. Frankel A : Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah
level lesi.
b. Frankel B : Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di
bawah level lesi.
c. Frankel C : Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak
fungsional.
d. Frankel D : Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan
fungsional.
e. Frankel E : Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit
neurologisnya.

B. ETIOLOGI
a. Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari fraktur adalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7. Kejatuhan benda keras
C. MANIFESTASI KLINIS
 Manifestasi klinis fraktur antara lain :
1. Edema/pembengkakan
2. Nyeri : spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung
pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori,
pergerakan pada daerah fraktur.
3. Echimosis : ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan.
4. Crepitasi : pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma
terbuka.
5. Kehilangan fungsi
6. Deformitas

 Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal :

Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal


memberikan gejala paraparese

L1 : Abdominalis

L2 : Gangguan fungsi ejakulasi L3 : Quadriceps

L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut.

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut
Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah :

a. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view.
Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk
melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat
kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae,
garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique
berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.

b. C T S c a n
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang
mengenai elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur
sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang
baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan
untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur
elemen posterior.
c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula
spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih
mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap
penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact
yang menggangu penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa
melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan
medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi
cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih
instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.

d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf


Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu
setelahterjadinyacedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya
denervasi pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat
membedakan lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada
pleksus lumbal atau sacral.

e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai
komplikasi pada organ lain akibat cedera tulang belakang.

E. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama dan penanganan darurat:
a. Survey primer
1. Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang.
2. Breathing.
3. Sirkulasi dan perdarahan.
4. Disabilitas: AVPU /GCS, pupil.
5. Exposure: cegah hipertermi.
b. Resusitasi
1. Pastikan paten/intubasi.
2. Ventilasi adaptif.
3. Perdarahan berhenti, nadi, CRT, urin output.
c. Survey sekunder
1. GCS.
2. Kaji TTV, nadi, tekanan darah, suhu, RR.
F. KOMPLIKASI
a. Syok

Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke


jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besarakibat
trauma.

b. Mal union

Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat
menyebabkan mal union.

c. Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang. Non
union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

- Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan


fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan bone
grafting.

- Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)terdapat


jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairanyang berisi cairan,
proses union tidak akan tercapai walaupun dilakukan imobilisasi
lama.Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi
periosteumyang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur,
waktuimobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan
penyakittulang (fraktur patologis). Non union adalah jika tulang tidak
menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang
kurang memadai.

d. Delayed union

Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam


waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosispada ujung-ujung
fraktur.

e. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID).

Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemak

Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sum-
sum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh
darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.

g. Sindrom Kompartemen

Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas


maupuntungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler
sekitarnya.Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula
padapemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu
alirandarah dan terjadi edema didalam otot.Apabila ischemi dalam 6 jam
pertama tidak mendapatkan tindakan dapatmengakibatkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibros
yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan disebutdengan kontraktur
volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor
(pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.

h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan

Iskemia,dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya


injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan
ataupemasangan traksi.

i. Dekubitus

Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena
itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.

G. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Menurut Arif Muttaqin (2009) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien
fraktur lumbal adalah sebagai berikut :
H. Pengkajian.

a. Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada.


usia muda), jenis kela min (kebanyakan laki-laki karena sering
mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan jam masuk rumah sakit (MRS), Register, dan diagnosis
medis.
b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan
kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas
daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.

c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang


belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk,
luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan
kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi
hilangnya sensibilitas,paralisis (dimulai dari paralisis layu
disertai hilangnya sensibilitas secara total dan
melemah/menghilangnya reeks alat dalam) ileus paralitik,
retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.

d. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol. Perawat


perlu menanyakan masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan
penggunaan alkohol kepada klien atau keluarga yang
mengantar klien (bila klien tidak sadar) karena sering terjadi
beberapa klien yang suka kebut-kebu tan menggunakan obat-
oba tan adiktif atau alkohol.

e. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan


meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada tulang
belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang.
Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayatcedera tulang
belakang sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, dan obat-obat adiktif perlu ditanyakan agar
pengkajian lebih komprehensif.

f. Pengkajian psikososiospiritual. Pengkajian mengenai


mekanisme koping yang digunakan klien diperlukan untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

g. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan klien. Umumnya, klien yang
mengalami cedera tulang belakang tidak mengalami
penurunan kesadaran. Tanda-tanda vital mengalami
perubahan, seperti bradikardia, hipotensi, dan tandatanda syok
neurogenik, terutama trauma pada servikal dan toraks bagian
atas.

a. Pernapasan

Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf


parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma
pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus.
Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah
servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:

a) Inspeksi : Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi


sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
peningkatan frekuensi pemapasan, re traksi interkostal, dan
pengembangan paru tidak simetris. Pada observasi ekspansi
dada dinilai penuh a tau tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya atelektasis,
lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, dan
pneumotoraks. Selain itu, juga dinilai retraksi otot-otot
interkostal,substernal, dan pernapasan abdomen. Respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini
dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf
parasimpatis.

b) Palpasi : Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi


yang lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga
toraks.

c) Perkusi : Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma


terjadi pada toraks/hematoraks.

d) Auskultasi : Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi,


stridor, ronki pada klien dengan peningkatan produksi sekret,
dan kemampuan batuk menu run sering didapatkan pada klien
cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran (koma). Saat dilakukan pemeriksaan sistem
pemapasan klien cedera tulang belakang dengan fraktur
dislokasivertebra lumbalis dan protrusi diskus intervertebralis
L-5 dan S-1, klien tidak mengalami kelainan inspeksi
pemapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus
seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapatkan
suara napas tambahan.

b. Kardiovaskular Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien


cedera tulang belakang didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan
kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-
debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas
dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi
jaringan otak. Kulit yang tampak pucat menandakan adanya
penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan
adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu
renjatan.

c. Persyarafan
a) Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap
Iingkungan adalah indika tor paling sensitif untuk disfungsi
sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang
biasanya berkisar dari letargi,
stupor, semikoma sampai koma.
b) Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah
lama mengalami cedera
tulang belakang biasanya mengalami perubahan status mental.
c) Pemeriksaan Saraf kranial:
a) Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang
belakang dan tidak ada kelainanfungsi penciuman.
b) Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam
kondisi normal.
c) Saraf III, 1V, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat
kelopak mata dan pupil isokor.
d) Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak
mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks komea
biasanya tidak ada kelainan
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sterno kleidomastoideus
dan trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi
leher dan kaku
kuduk
h) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d. Pemeriksaan refleks:
a) Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan
refleks pa tela biasanya melemah karena kelemahan pada
otot hamstring.
b) Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks
fisiologis akan menghilang. Se telah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan
refleks patologis.

e. Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kauda ekuina, is
mengalami hilangnya sensibilitas secara me-netap pada kedua
bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial
dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma
di daerah tulang belakang.

f. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurun-nya
perfusi pada ginjal.

g. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan
adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising
usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan
gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa ha ri
sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena
adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi. Pemeriksaan rongga
mulut dengan menilai ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan
pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.

h. Muskuloskletal.

Paralisis motor & dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada


ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai
dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.

II. Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien
dengan gangguan tulang belakang, yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen
pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan atau
interupsi aliran darah: cidera vaskuler langsung, edema

berlebihan, pembentukan trombus dan hipovolemia.


c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri:
ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.
d. Gangguan eliminasi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
7) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau
matras.
Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang
menurunkan spasme.
8) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri

e. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan atau


interupsi aliran darah: cidera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus dan hipovolemia.
Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan
Kriteria hasil : Terabanya nadi, kulit hangat/kering, sensasi normal, sensasi
biasa, tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit
Rasional : Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
2) Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur
Rasional : Kembalinya warna harus cepat (3-5 detik), warna kulit putih
menunjukkan gangguan arterial, sianosis diduga adanya gangguan vena.
3) Awasi posisi atau lokasi cincin penyokong bebat
Rasional : Alat traksi dapat menyebabkan tekanan pada pembuluh darah atau
saraf, terutama pada aksila dan lipat paha, mengakibatkan iskemia dan
kerusakan saraf permanen.
4) Ambulasi sesegera mungkin
Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah,
khususnya pada ekstremitas bawah.
5) Awasi tanda vital. Perhatikan tanda-tanda pucat atau sianosis umum, kulit
dingin, perubahan mental
Rasional : Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistim
perfusi jaringan.
6) Berikan kompres es di sekitar fraktur sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan edema atau pembentukan hematoma yang dapat
mengganggu sirkulasi.

f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan;


spasme otot; kerusakan neuromuscular.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan
aturan pengobatan individu.
2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang sakit atau kompensasi.
Rencana tindakan :
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang
spesifik.
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur,
aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan
aktivitas yang disesuaikan dengan klien.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan,
peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam
memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan batasan tersebut.
3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang,
memperbaiki mekanika tubuh.
4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena
yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi
biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.

g. Gangguan elimanasi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra


Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai
kebutuhan individu.
Rencana tindakan :
1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan
intervensi itu diperlukan.
2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
Rasional : Menandakan adanya retensi urine
3) Tingkat pemberian cairan
Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal
4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air
hangat diarea suprapubis.

Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana


keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Drs. Nasrul
Effendi, 2000). Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :
1. Fase Persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan
keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
2. Fase Intervensi
Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan
fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien
termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan
dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional,
yaitu :

Secara Mandiri (Independen)

Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu


pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya
stressor (penyakit), misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari
2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
secara wajar.
4) Menciptakan lingkungan terapeutik
b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan
atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.
c. Rujukan/ Ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya
dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.
Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan
dilakukan secara : 1). Langsung : Ditangani sendiri oleh
perawat
2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat
dipercaya
3. Fase Dokumentasi
Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah
implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang
dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang digunakan :

Sources Oriented
Record Problem
Oriented Record
Computer
Assisted Record

5. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan
keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien.
Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang
dicapai dan perubahan tingkah
laku klien. Jenis evaluasi ada
dua macam, yaitu :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon
segera.
b. Evaluasi Sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status
pasien pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil
yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif
yang dapat dipergunakan oleh
perawat dalam memutuskan/ menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian
dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan
dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R, Jong, W.D.(2005).Soft Tissue Tumor dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi


2. Jakarta : EGC

Weiss S.W.,Goldblum J.R.(2008).Soft Tissue Tumors.Fifth Edition. China : Mosby Elsevier

Manuaba, T.W.( 2010).Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid, Peraboi 2010. Jakarta :


Sagung Seto

Smeltzer. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC

Reeves, J.C.(2001). Keperawatan medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia A. (2006).Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC

Nurarif A, H, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda NIC-Noc, Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta : Mediaction Jogja

Potter and Perry Volume 2 .2006.Fundamental Keperawatan .Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai