Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FRAKTUR LUMBAL

OLEH :

TEGUH GAMA ZARKASYI

020.02.1135

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR LUMBAL

A. PENGERTIAN

Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai


servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif
Muttaqin, 2005, hal. 98).

Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang


belakang bagian bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur
vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada
medulla spinalis (Batticaca, 2008).

Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :

a. Frankel A : Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah
level lesi.
b. Frankel B : Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih
tersisa di bawah level lesi.
c. Frankel C : Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi
tidak fungsional.
d. Frankel D : Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan
fungsional.
e. Frankel E : Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit
neurologisnya.
B. ETIOLOGI
a. Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari fraktur adalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7. Kejatuhan benda keras

C. MANIFESTASI KLINIS
 Manifestasi klinis fraktur antara lain :
1. Edema/pembengkakan
2. Nyeri : spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma
langsung pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf
sensori, pergerakan pada daerah fraktur.
3. Echimosis : ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan.
4. Crepitasi : pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma
terbuka.
5. Kehilangan fungsi
6. Deformitas

 Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal :

Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal


memberikan gejala paraparese

L1 : Abdominalis

L2 : Gangguan fungsi ejakulasi L3 : Quadriceps

L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut.
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal


menurut Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah :

a. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view.
Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk
melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat
kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae,
garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique
berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.

b. C T S c a n
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama
yang mengenai elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis
fraktur sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur
kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi
tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen
tulang, dan melihat fraktur elemen posterior.

c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan
medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek
seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian
MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana
akan memberikan artifact yang menggangu penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita
bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen,
diskus dan medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk
menetukan klasifikasi cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang
berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.
d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf
Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu
setelahterjadinyacedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya
denervasi pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal
dapat membedakan lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan
lesi pada pleksus lumbal atau sacral.

e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai
komplikasi pada organ lain akibat cedera tulang belakang.

E. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama dan penanganan darurat:
a. Survey primer
1. Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang.
2. Breathing.
3. Sirkulasi dan perdarahan.
4. Disabilitas: AVPU /GCS, pupil.
5. Exposure: cegah hipertermi.

b. Resusitasi
1. Pastikan paten/intubasi.
2. Ventilasi adaptif.
3. Perdarahan berhenti, nadi, CRT, urin output.

c. Survey sekunder
1. GCS.
2. Kaji TTV, nadi, tekanan darah, suhu, RR.
F. KOMPLIKASI
a. Syok

Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke


jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah
besarakibat trauma.

b. Mal union

Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat
menyebabkan mal union.

c. Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.


Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

- Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan


fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan bone
grafting.

- Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu


(pseudoartrosis)terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta
ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun
dilakukan imobilisasi lama.Beberapa faktor yang menimbulkan non union
seperti disrupsi periosteumyang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-
fragmen fraktur, waktuimobilisasi yang tidak memadai, distraksi
interposisi, infeksi dan penyakittulang (fraktur patologis). Non union adalah
jika tulang tidak menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan
oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union

Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung


dalam waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur
secara normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan
sklerosispada ujung-ujung fraktur.

e. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID).

Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka


atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan
alat seperti plate, paku pada fraktur.

f. Emboli lemak

Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan


sum-sum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan
organ lain.

g. Sindrom Kompartemen

Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas


maupuntungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler
sekitarnya.Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi
pula padapemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
mengganggu alirandarah dan terjadi edema didalam otot.Apabila
ischemi dalam 6 jam pertama tidak mendapatkan tindakan
dapatmengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti
dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan
disebutdengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu
Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang)
dan Paralisis.

h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan

Iskemia,dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya


injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan
ataupemasangan traksi.
i. Dekubitus

Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh


karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang
menonjol.

G. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Menurut Arif Muttaqin (2009) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien
fraktur lumbal adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian.

a. Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi


pada. usia muda), jenis kela min (kebanyakan laki-laki
karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS),
Register, dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta


pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan
kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di
atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.

c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma


tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali
pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.
Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya
sensibilitas,paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai
hilangnya sensibilitas secara total dan
melemah/menghilangnya reeks alat dalam) ileus paralitik,
retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
Perawat perlu menanyakan masalah penggunaan obat-
obatan adiktif dan penggunaan alkohol kepada klien atau
keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar)
karena sering terjadi beberapa klien yang suka kebut-kebu
tan menggunakan obat-oba tan adiktif atau alkohol.

e. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan


meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada tulang
belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang.
Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayatcedera tulang
belakang sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, dan obat-obat adiktif perlu ditanyakan agar
pengkajian lebih komprehensif.

f. Pengkajian psikososiospiritual. Pengkajian mengenai


mekanisme koping yang digunakan klien diperlukan untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat.

g. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan klien. Umumnya, klien yang
mengalami cedera tulang belakang tidak mengalami
penurunan kesadaran.
Tanda-tanda vital mengalami perubahan, seperti
bradikardia, hipotensi, dan tandatanda syok neurogenik,
terutama trauma pada servikal dan toraks bagian atas.

a. Pernapasan

Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok


saraf parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan)
dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden
akibat trauma pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula
spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang
belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan
fisik sebagai berikut:

a) Inspeksi : Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi


sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
peningkatan frekuensi pemapasan, re traksi interkostal,
dan pengembangan paru tidak simetris. Pada observasi
ekspansi dada dinilai penuh a tau tidak penuh dan
kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan mungkin
menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi
pada bronkus, fraktur tulang iga, dan pneumotoraks. Selain
itu, juga dinilai retraksi otot-otot interkostal,substernal,
dan pernapasan abdomen. Respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika
otot-otot interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding
dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.

b) Palpasi : Fremitus yang menurun dibandingkan dengan


sisi yang lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada
rongga toraks.

c) Perkusi : Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila


trauma
terjadi pada toraks/hematoraks.
d) Auskultasi : Suara napas tambahan, seperti napas
berbunyi, stridor, ronki pada klien dengan peningkatan
produksi sekret, dan kemampuan batuk menu run sering
didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang
mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma). Saat
dilakukan pemeriksaan sistem pemapasan klien cedera
tulang belakang dengan fraktur dislokasivertebra lumbalis
dan protrusi diskus intervertebralis L-5 dan S-1, klien
tidak mengalami kelainan inspeksi pemapasan. Pada
palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan
dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapatkan suara napas
tambahan.

b. Kardiovaskular Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien


cedera tulang belakang didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan
kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-
debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan
ekstremitas dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit yang tampak pucat
menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam
darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi
jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan.

c. Persyarafan
a) Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap
Iingkungan adalah indika tor paling sensitif untuk disfungsi
sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada
keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang biasanya
berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.
b) Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah lama
mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental.

c) Pemeriksaan Saraf kranial:


a) Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang
belakang dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.
b) Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam
kondisi normal.
c) Saraf III, 1V, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan
mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
d) Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak
mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks
komea biasanya tidak ada kelainan
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.

f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli


persepsi.
g) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sterno
kleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien
untuk melakukan fleksi leher dan kaku
kuduk
h) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d. Pemeriksaan refleks:
a) Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang
dan refleks pa tela biasanya melemah karena kelemahan
pada otot hamstring.
b) Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks
fisiologis akan menghilang. Se telah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului
dengan refleks patologis.
e. Perkemihan

Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan


karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan
jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurun-nya perfusi pada ginjal.

f. Pencernaan

Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan


adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya
bising usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung
beberapa ha ri sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
Pemeriksaan rongga mulut dengan menilai ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan
adanya dehidrasi.

g. Muskuloskletal.

Paralisis motor & dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada


ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai
dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.

II. Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien
dengan gangguan tulang belakang, yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen
pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
atau interupsi aliran darah: cidera vaskuler langsung, edema
berlebihan, pembentukan trombus dan hipovolemia.

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan


nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan
neuromuscular.

d. Gangguan eliminasi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra


III. Perencanaan keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Gang Nyeri hilang atau terkonrol 1. Kaji adanya keluhan
nyeri, catat lokasi, lama
guan Kriteria hasil : serangan, faktor pencetus
rasa atau memperberat. Minta
1. Klien melaporkan klien untuk mendapatkan
nyam
skala nyeri 1 – 10.
nyeri hilang atau
an
terkontrol. 2. Pertahankan tirah baring
nyeri
selama fase akut.
2. Klien dapat
berh Letakkan klien dalam
mengungkapkan yang posisi semi fowler dengan
ubun
tulang spinal, pinggang
dapat menghilangkan.
gan dan lutut dalam keadaan
3. Klien dapat fleksi; posisi telentang
deng
dengan atau tanpa
mendomenstrasikan
an meninggikan kepala 10° -
penggunaan intervensi 30° atau pada posisi
agen
lateral.
terapeutik seperti
penc
keterampilan relaksasi, 3. Batasi aktivitas selama
edera
fase akut sesuai
modifikasi perilaku
fisik kebutuhan
untuk menghilangkan
kom
4. Letakkan semua
nyeri.
presi kebutuhan, termasuk bel
panggil dalam batas yang
saraf:
mudah dijangkau atau
spas diraih klien.
Rasional : Menurunkan
me
resiko peregangan saat
otom meraih
atis.
5. Ajarkan teknik distraksi
dan relaksasi

6. Berikan obat sesuai


kebutuhan: relakskan otot
seperti Diazepam
(Valium)

2 Gang Mempertahankan perfusi 1. Kaji aliran kapiler,


warna kulit dan
guan jaringan
kehangatan distal pada
perfu Kriteria hasil : fraktur.
si Terabanya nadi, kulit
jarin hangat/kering, sensasi
2. Awasi posisi atau lokasi
gan normal, sensasi biasa, tanda
cincin penyokong bebat.
perif vital stabil dan haluaran urine
3. Awasi tanda vital.
er adekuat untuk situasi
Perhatikan tanda-tanda
berh individu. pucat atau sianosis
umum, kulit dingin,
ubun
perubahan mental
gan
4. Berikan kompres es di
deng
sekitar fraktur sesuai
an indikasi.
penu
runa
n
atau
inter
upsi
alira
n
darah
:
cider
a
vask
uler
langs
ung,
edem
a
berle
bihan
,
pemb
entuk
an
trom
bus
dan
hipo
vole
mia.
3 Ham Kerusakan mobilitas fisik 1. Berikan tindakan
pengamanan sesuai
batan tidak terjadi Kriteria hasil :
indikasi dengan situasi
mobi 1. Klien mengungkapkan yang spesifik.
litas pemahaman tentang
2. Catat respon-respon
fisik situasi atau faktor resiko emosi atau perilaku pada
immobilisasi, berikan
berh dan aturan pengobatan
aktivitas yang
ubun individu. disesuaikan dengan
klien. Bantu klien untuk
gan 2. Mempertahankan atau melaksanakan latihan
deng meningkatkan kekuatan rentang gerak aktif dan
pasif.
an dan fungsi bagian tubuh
nyeri yang sakit atau 3. Anjurkan klien untuk
melatih kaki bagian
: kompensasi. bawah dan lutut
ketid
4. Bantu klien dalam
akny
melakukan ambulasi
aman progresif
an;
spas
me
otot;
kerus
akan
neur
omus
cular.
4 Gang Setelah dilakukan tindak
1. Observasi dan catat
guan keperawatan retensi
jumlah frekuensi
elima urinarius teratasi. Kriteria berkemih
nasi hasil : Mengosongkan
2. Lakukan palpasi
urina kandung kemih secara terhadap adanya distensi
rius adekuat sesuai kandung kemih
berh kebutuhan individu.
3. Berikan stimulasi
ubun terhadap pengosongan
urine dengan
gan
mengalirkan air hangat
deng diarea suprapubis.
an
ceder
a
verte
bra

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R, Jong, W.D.(2005).Soft Tissue Tumor dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi


2. Jakarta : EGC

Weiss S.W.,Goldblum J.R.(2008).Soft Tissue Tumors.Fifth Edition. China : Mosby Elsevier

Manuaba, T.W.( 2010).Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid, Peraboi 2010. Jakarta :


Sagung Seto

Smeltzer. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC

Reeves, J.C.(2001). Keperawatan medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia A. (2006).Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC

Nurarif A, H, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda NIC-Noc, Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta : Mediaction Jogja

Potter and Perry Volume 2 .2006.Fundamental Keperawatan .Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai