Tindakan pemerkosaan dengan motif ini umum terjadi pada konflik etnis sebagai
bagian dari penghancuran etnis tertentu (etnis cleansing). Perempuan menempati posisi korban
pemerkosaan karena kemampuan tubuh mereka yang mampu melahirkan generasi selanjutnya.
Sehingga pada kasus ini identitas perempuan merupakan gabungan dari jenis kelamin, etnisitas,
agama maupun aliran politiknya. Beberapa feminis antara lain, Seifert dan Sideris, menyebut
keadaan ini sebagai politik tubuh, yang mana idealnya seseorang perempuan berhak untuk
memilih keyakinan serta tindakan yang ingin maupun tidak ingin mereka lakukannya,
termasuk memilih anak dalam kandungannya. Dalam situasi konflik, politik tubuh perempuan
ini tidak dihargai karena perempuan tidak memiliki perlindungan yang cukup. Taktik
pemerkosaan ini terjadi secara luas di konflik etnis, antara lain yang mendapat perhatian paling
luas yakni di Bosnia-Herzegovina,Zagreb, Kosovo dan Rwanda. Dibawah ini adalah cerita dari
perempuan Bosnia bernama Trensjevika (bukan nama sebenarnya):
Posisi perempuan dalam masyarakat sebagai pembawa identitas budaya juga membuat
perempuan lebih rentan akan pemerkosaan di wilayah konflik. Susan Bronmiller memberikan
sebutan bagi tubuh perempuan sebagai medan perang simbolik. Tubuh perempuan bagi pihak
lawan merepresentasikan yang berbeda dan kemampuannya untuk mereproduksi budaya itu
melalui melahirkan, membesarkan anak, dan berkecimpung dalam masyarakat. Pemerkosaan
perempuan kemudian dilakukan untuk menghentikan reproduksi budaya sekaligus
menghancurkan kebudayaan dimana seksualitas perempuan dianggap suci dan harus dijaga.
Taktik ini dilakukan dibeberapa wilayah konflik berbasis etnis maupun agama seperti di
Bangladesh, Bosnia, dan beberapa wilayah di Afrika.
Taktik pemerkosaan juga dipengaruhi oleh budaya yang ada dimasyarakat. Semakin
kehormatan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan harus dijaga, maka pihak
lawan akan semakin memiliki dorongan untuk melakukan pemerkosaan. Hal ini terjadi pada
perempuan-perempuan Albania di Kosovo. Seorang laki-laki di Albania bernama Parvin
Darabi menuturkan bahwa perempuan yang diperkosa akan membuat malu keluarga dan akan
diceraikan oleh suaminya:
Teror, rasa takut dapat mempengaruhi seseorang maupun sekelompok orang, dan
pemerkosaan dilakukan untuk menciptakan ketakutan tersebut. Hal ini dapat terjadi dengan dua
cara. Pertama, dengan tindakan fisik pemerkosaan seperti pemerkosaan di tempat umum atau
dihadapan keluarga yang akan mengakibatkan trauma, rasa malu dan demoralisasi. Yang
kedua, Ketakutan terbangun secara psikis setelah mendengar atau menyaksikan tindak
pemerkosaan akan menimbulkan rasa takut akan menjadi korban selanjutnya. Kedua hal ini
merupakan faktor pemicu mengungsinya keluarga maupun kelompok masyarakat dari tempay
tinggal asalnya.
Ketakutan dibangun disemua konflik. Hal ini terjadi juga di Sierra Leone dalam
penuturan perempuan berinisial FB. Ketika ia berumur 10 tahun, kakak perempuannya diculik
dari rumah oleh para milisi dan baru kembali ketika pamannya pergi menghadap milisi. Kini ia
dan keluarga telah mengungsi ke Liberia. Ini adalah penuturan FB pada salah satu media
internasional Inggris BBC.
Pemerkosaan, walaupun berbeda motif dan dampaknya, adalah juga suatu bentuk
kekerasan. Tindakan ini umumnya dilakukan terhadap perempuan dalam tahanan maupun
penyanderaan untuk menyakiti dan untuk mendapatkan keterangan mengenai kerabatnya yang
aktif dalam pergerakan. Pemerkosaan terhadap perempuan dari pihak musuh juga merupakan
upaya balas dendam terhadap pasukan musuh yang relative mudah dilakukan karena
perempuan jarang dipersenjatai dan tidak cukup kuat untuk melawan. Taktik ini dilakukan
hampir seluruh konflik.
Di masa konflik ketika laki-laki berperang, maka perempuanlah yang tinggal dirumah
mengurus lading, mengurus ternak dan menjalankan tugas sehari-hari. Kekhawatiran pihak
musuh bahwa suami atau kerabat dari perempuan tersebut sewaktu-waktu datang untuk
meminta bantuan baik makanan maupun perlindungan membuat tindak pemerkosaan dilakukan
sehingga perempuan mengalami trauma dan tidak bisa menjalani kehidupannya seperti biasa.
Selain itu pemerkosaan juga digunakan untuk membungkam perempuan yang aktif dalam
pergerakan dan diplomasi. Taktik terakhir ini juga cukup umum terjadi di wilayah konflik
seluruh dunia.
Selain itu pemerkosaan dilakukan terhadap perempuan karena mereka memiliki peran
social dalam masyarakat. Dengan begitu pemerkosaan akan terus saja terjadi karena fenomena
tersebut mempunyai taktik sendiri dalam konflik.