Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PUTRI

DAMPAK DARI PERNIKAHAN DINI DI KECAMATAN


WONOPRINGGO KABUPATEN PEKALONGAN

Disusun Oleh :

1. Luluk Erni S (17.1342.S)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN

TAHUN 2020
Latar belakang

Remaja menurut World Health Organization (WHO) adalah usia antara 10 sampai
19 tahun, sedangkan perserikata bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan kaum muda
(Youth) yaitu usia 15 sqampai 24 tahun. Sementara itu menurut The health Resource
And Services Administrations Guideline Amerika serikat, rentang usia remaja adalah
-21 tahun dan remaja akhir 18-21 tahun.(kusmiran,2014)

Sebuah pernikahan haruslah dilakukan ketika sudah mencapai usia yang matang
agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Menurut BKKBN yang menjelaskan
bahwa usia normal untuk melakukan sebuah pernikahan adalah untuk laki-laki adalah
25 tahun dan pada perempuan adalah 21 tahun, akan tetapi saat ini telah muncul satu
masalah yang terjadi dan stigma dari lingkungan remaja yang menyebabkan terjadinya
pernikahan dini.

Menurut BKKBN (2016) pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan ataupun salah satu pasangannya dikategorikan masih anak-anak atau dibawah
21 tahun. Pernikahan dini menurut WHO adalah pernikahan dini atau early merried
adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang
dikategorikan masih remaja dibawah 9 tahun, menurut UU RI No.1 tahun 1974 pasal 7
ayat 1 menyatakan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak operempuan mencapai umur 9 tahun, sedangkan menurut
united nation children fund (UNICEF) adalah pernikahan usia dini adalah pernikahan
yang dilaksanakan secara resmi sebelum usia 18 tahun.

Pengertian secara umum pernikahan dini yaitu dua insan lawan jenis yang masih
remaja dalam satu ikatan keluarga remaja itu sendiri adalah anak yang ada masa
peralihan anak-anak kedewasa. Pernikahan dibawah umur yang belum memenuhi batas
usia pernikahan pada hakikatnya disebut masih berusia muda atau anak-anak yang
ditegaskan dalam pasal 81 ayat 2 UU no. 23 anak adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun.

Darurat pernikahan dini di indonesia ditunjukan denganlaporanpenelitian


mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh pusat kajian dan advokasi perlindungan
dan kualitas hidup anak bersama UNICEF, badan pusat statistik (BPS), dan badan
perencanaan pembangunan nasional (BPENAS), laporan yang dikeluarkan pada tahun
2020 itu menyebut bahwa berdasarkan populasi [penduduk indonesia menmpati
peringkat ke 10 perkawinan anak tertinggi didunia, diperkirakan sekitar 1.220.900 anak
di indonesia mengalami perkawinan usia dini. Serta kedua di ASEAN setelah kambodja
berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2013), diantara wanita usia 10-50 tahun,
sebanyak 2,6% melakukan pernikahan dini pada usia 15 tahun dan 23,9% pada usia 15-
19 tahun (kemenkes,RI,2013).

Jumlah pernikahan dini di Indonesia terutama di daerah pedesaan masih tergolong


tinggi dengan rasio pada tahun 2013 yaitu 67 per 1000 pernikiahan (BKKBN,2016),
Menurut beberapa penelitian yang terdahulu ada banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya pernikahan dini. Diantaranya faktor budaya yang ada dimasyarakat setempat,
rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya angka kemiskinan, dan pernikahan dini
terjadi pada masyarakat yang memiliki budaya membenarkan adanya pernikahan dini
tersebut .

Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa


pernikahan dilakukan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita 16
tahun dengan ketentuan harus ada ijin dari orang tua. Namun jika terjadi hal yang
menyimpang dari undang-undang tersebut misalnya karena adanya pergaulan bebas
sehingga seorang wanita hamil diluar nikah dan wanita tersebut belum mencapai umur
16 tahun dan pria belum mencapai umur 19 tahun maka undang-undang No.1 tahun
1974 masih dapat memberikan kemungkinan dari batas umur yang telahdi tetapkan
yaitu dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun wanita, hal ini berdasarkan pada pasal 7
ayat (2) undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974.

Kemudian terkait dengan dampak kesehatan yang ditimbulkan dari pernikahan


dini khususnya kesehatan reproduksi dari pasangan pernikahan dini. Kesehatan
reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan fisik,
mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam
segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi atau prosesnya. Hal
ini terkait dengan suatu keadaan yaitu manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya
serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman.
Kesehatan reproduksi terkait dengan siklus hidup, yang setiap tahapannya mengandung
resiko yang terkait dengan kesakitan dan kematian (BKKBN, 2013).

Kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan pernikahan dini yang pada umumnya
dilakukan oleh pasangan yang masih terlalu muda terutama perempuannya. Pernikahan
dini menyumbang 20% angka kematian ibu (WHO, 2015). Sebanyak 10% kehamilan
remaja usia 15-19 tahun juga akan meningkatkan resiko kematian dua hingga empat kali
lebih tinggi dibandingkan dengan usia lebih dari 20 tahun. Demikian pula dengan resiko
kematian bayi, 30% lebih tinggi pada ibu usia remaja, dibandingkan dengan bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang sudah berusia 20 tahun keatas. Hal inilah yang menyebabkan
remaja perempuan rentan terhadap kematian maternal dan neonatal (Profil kesehatan,
2016).

Selain beresiko terhadap kematian ibu dan bayi, pernikahan dini juga beresiko
terhadap penurunan kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang semakin berat,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan bunuh diri (BKKBN, 2017) .
Remaja putri yang melakukan pernikahan dini akan kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan formal untuk mengembangkan dirinya dikarenakan
bertambahnya tanggung jawab di dalam rumah tangganya terutama setelah mengandung
dan memiliki anak (BKKBN, 2016). Terlebih lagi jika mereka menikah diusia muda
karena kurangnya pendidikan tentang seks sehingga menimbulkan suatu kehamilan
diluar pernikahan. Ibu yang menikah di usia muda dan hamil di usia muda lebih banyak
memiliki resiko bunuh diri (Bahar, 2014).

Data World Health Organizations (WHO) tahun 2014 menunjukan bahwa


sebanyak 16 juta kehalihan terjadi pada ibu berusia 15-19 tahun atau 11% dari seluruh
kelahiran di dunia yang mayoritas 95% terjadi di negara yang sedang berkembang,
Indonesia tercatat menempati rangking ke-37 negara yang melakukan pernikahan dini
tertinggi di dunia. Pernikahan dini sejatinya masih banyak terjadi di wilayah indonesia.
Badan pusat statistik pada tahun 2017 menyebut kan 25,71% perempuan menikah pada
usia kurang dari 18 tahun. Artinya 1 dari 4 perempuan di Indonesia menikah di usia
anak (BPS, 2017).

Anda mungkin juga menyukai