BAGIAN ENDOPARASIT
Di bawah bimbingan:
Dr drh Elok Budi Retnani, MS
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
KAJIAN PENYAKIT
Etiologi
Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariosis pada
ternak babi (Suryani et al. 2018). Cacing ini sangat pathogen pada ternak babi, dan
sebagian besar hidup cacing ini berada di dalam usus halus inang definitif.
Morfologi cacing. Berikut merupakan klasifikasi taksonomi Ascaris suum :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematohelminthes
Kelas : Chromadorea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris suum
A. suum berbentuk bulat panjang, berkutikula tebal serta memiliki tiga buah
bibir pada bagian mulutnya dan tidak ditemukan adanya buccal capsule. Pada
bibirnya terdapat deretan gigi-gigi yang bentuknya menyerupai gigi pada spesies
Ascaris lumbricoides. Pada permukaanya terdapat organ sensor yang posisinya
berdekatan dengan mulut yang berhubungan dengan radiata esophagus. Masing-
masing bibir dilengkapi dengan papil di bagian lateral dan sub ventral. Panjang
tubuh cacing jantan dewasa adalah 15-25 cm sedangkan cacing betina dewasa
sekitar 20-40 cm. Telur cacing A. suum berukuran 50-80 x 40-60 mikron,
berdinding tebal dengan tonjolan-tonjolan yang jelas pada lapisan luarnya.
3
Siklus Hidup
Siklus hidup dari cacing Ascaris suum merupakan siklus hidup yang
sederhana. Tinja yang mengandung telur Ascaris suum merupakan media
persebaran infeksi ascariasis pada Babi. Telur dari Ascaris suum yang tidak
terbuahi (Infertil) akan berkembang menjadi fertil dalam waktu 4-6 minggu. Faktor
yang paling mendukung dalam perkembangan telur infertil menjadi fertil adalah
kondisi tanah yang optimum untuk perkembangan telur cacing dengan suhu 18-
20ᵒC (Meyers 1975). Infeksi cacing Ascaris suum pada babi terjadi menjadi dua
arah yaitu direct dan indirect. Pada fase direct babi akan menelan larva III yang
kemudian, larva tersebut akan bermigrasi ke bronkus. Larva yang telah sampai pada
bronkus akan menuju dinding usus besar untuk penettrasi. Larva kemudian menuju
4
paru-paru. Larva yang berada pada paru-paru akan menyebabkan hospes menjadi
batuk, ketika batuk inilah larva akan tertelan kembali dan masuk ke dalam saluran
gastrointestinal. Di dalam trakus gastrointestinal, larva kemudian akan tumbuh dan
berkembang menjadi larva dewasa yang selanjutnya akan hidup dan berkembang
pada usus halus babi (Loreille dan Bouchet 2003). Siklus yang selanjutnya adalah
siklus indirect. Siklus indirect berkembang melalui host perantara atau host
paratenik seperti halnya cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur cacing
Ascaris suum yang infertil yang didalamnya terkandung larva II. Larva II kemudian
akan berada dalam jaringan sampai babi menelan host paratenik. Larva II yang telah
tertelan oleh babi kemudian akan berkembang menjadi larva III dan mengalami
proses sama seperti siklus direct (Meyers 1975). Ascaris suum dapat menginfeksi
manusia melalui kontak langsung dengan kotoran babi yang menjadi pupuk untuk
tanaman atau manusia memakan daging babi yang masih mentah dari babi yang
terinfeksi cacing Ascaris suum (Nejsum et al, 2012). Manusia yang terinfeksi akan
terjadi manifestasi klinis atau Visceral Larva Migrans (VLM). Manifestasi klinis
ini dapat menyebabkan malaise, batuk dan gangguan fungsi pada hati (Sakakibara
et al, 2002).
Gejala Klinis
Gelaja klinis yang disebabkan oleh cacing Ascaris suum mirip dengan gejala
klinis yang ditimbulkan oleh cacing Ascaris lumbricoides (Natadisastra 2009).
Infeksi Ascaris suum pada babi terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung
5
larva III secara oral. Infeksi yang terjadi saat menelan larva III menyebabkan
kerusakan pada mukosa intestinal babi. Selain terjadinya kerusakan pada mukosa
intestinal babi, infeksi Ascaris suum pada babi dapat menyebabkan kematian saat
terjadinya hemoragi atau saat larva bermigrasi ke kapiler paru. Infeksi yang berat
saat larva bermigrasi ke paru-paru dapat menyebabkan Ascaris pneumonitis atau
kongesti saluran pernafasan karena adanya akumulasi pendarahan dan kematian
epitel (Robets dan Janovy 2005).
Patogenesis
Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada
ternak babi, terutama pada babi muda di seluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat
tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis. Infeksi dapat terjadi melalui
pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus. Infeksi
dimulai ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium III. Migrasi
larva stadium III dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa intestinal babi,
namun simptom yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya
(Roberts dan Janovy 2005).
Gejala yang khas dari cacing ini adalah timbulnya milk spot atau bintik putih
pada hati dan terbentuknya filamen-filamen fibrosis oleh larva Ascaris suum. Hal
tersebut terjadi karena migrasi larva cacing ke hati melalui vena porta sehingga
menyebabkan reaksi inflamasi pada hati, nekrosis interlobular, dan reaksi
granulosa. Jaringan interlobular akan menebal karena terjadi pembentukan kolagen
yang disertai oleh infiltrasi eosinofil. Kejadian milk spot ini akan berangsur-angsur
menghilang ketika larva cacing meninggalkan lokasi tersebut setelah 4-6 minggu.
Infeksi berulang dapat menyebabkan timbulnya jaringan fibrotik di organ hati babi
(Dunn 1978).
Migrasi larva ke paru-paru menyebabkan kerusakan pada alveol, hemoragi,
dan infiltrasi sel radang yang bersifat lokal. Infeksi berat dapat menyebabkan babi
mengalami ascaris pneumonitis disertai batuk, sulit bernapas, oedema, pusat-pusat
hemoragik, dan emfisema. Jaringan paru-paru menjadi tebal dan basah sehingga
menyebabkan inefisiensi respirasi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya
debu, bakteri, dan virus yang masuk hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi
6
Metode Diagnosis
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Ascaris
suum adalah dengan melakukan pemeriksaan feses untuk mendeteksi keberadaan
telur cacing pada feses. Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan dengan metode natif
(cara langsung) dan metode apung (Muttaqien et al. 2018). Metode natif dilakukan
dengan meletakkan feses babi sebesar butir beras di atas objek glass, kemudian
ditambahkan satu tetes air lalu dicampurkan hingga homogen. Campuran feses dan
air ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10×. Metode apung dilakukan dengan meletakkan 5 gram feses babi
ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan air sampai 2/3 tabung lalu diaduk. Tabung
dibiarkan beberapa menit, air dan bahan yang terapung dibuang secara hati-hati.
Tabung disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Cairan dibuang
secara hati-hati, kemudian ke dalam tabung ditambahkan larutn NaCl jenuh sampai
2/3 tabung, lalu diaduk dan di sentrifus kembali selama 10 menit. Tabung diambil
dari mesin sentrifus dan diletakkan berdiri pada rak tabung, kemudian ditambahkan
perlahan larutan NaCl jenuh dan didiamkan selama 5 menit, cairan yang cembung
ditempelkan pada glass objek kemudian diperiksa dibawah mikroskop (Podung et
al. 2020).
Uji pengapungan sederhana menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan
gula jenuh yang didasarkan pada BJ (Berat Jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa feses
yang sedikit mengandung telur cacing. Cara kerjanya didasarkan pada berat jenis
larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk
memisahkan partikel-partikel yang besar dalam feses. Pemeriksaan ini hanya
berhasil unruk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang
berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala, maupun telur Arcaris
yang infertil.
7
tersebut dapat mendeteksi keberadaan Ascaris suum yang telah dilaporkan sebagai
parasit zoonosis (Subrata et al. 2016).
Gambar 1. Hasil pemeriksaan telur Ascaris suum pada feses babi dengan metode
coproscopy
efektif sehingga obat anthelmintik akan digunakan untuk pengobatan Ascaris suum
dan ini menyebabkan ketergantungan yang berat terhadap obat
anthelmintic.Resistensi terjadi karena berbagai hal seperti penyalahgunaan obat dan
modifikasi reseptor. Obat anthelmintik yang memiliki cara kerja yang sama dengan
obat-obatan lain yang memiliki resistensi terhadap Ascaris Suum kemungkinan
besar juga akan menjadi tidak efektif. Mempelajari cara kerja anthelmintik akan
membantu memahami mengapa parasit mengembangkan resistensi terhadap obat
(Tharaldson 2019).
Anthelmintik memiliki dua cara kerja utama, yaitu obat-obatan yang bekerja
pada saluran ion membran parasit dan obat yang bekerja pada target situs biokimia
cacing parasit. Obat-obatan yang bekerja pada saluran ion membran parasit
memiliki efek yang lebih cepat daripada target situs selain saluran ion. Reseptor
asetilkolin nikotinat (nACHRs) pada otot nematoda adalah target untuk obat
anthelmintik yang bekerja pada saluran ion mambran. Reseptor ini amat penting
dalam kelangsungan hidup Ascaris karena mereka memberikan transmisi sinaptik
di sambungan neuromuskular dan system saraf.Hal ini menyebakan semakin
banyak perusahaan yang mencoba mengembangkan obat selektif yang bekerja pada
nAChRs (Jones and Sattel 2004).Nematoda memiliki asetilkolin-, 5-HT-, dopamin-
, dan saluran klorida tyramine di mana mamalia tidak memilikinya. Ini berarti tidak
ada efek pada mamalia ketika menggunakan obat untuk menargetkan reseptor ini
(Tharaldson 2019).
Cara kerja levamisole adalah untuk meniru asetilkolin dan bertindak sebagai
agonis nikotinik post-sinaptik reseptor asetilkolin yang terletak pada otot somatik
nematod (Martin et al. 2005). Ini menyebabkan Ascaris suum paralisis hasil
daripada depolarisasi sel otot yang akan menyebabkan nematod dikeluarkan dari
badan (Wolstenholme 2011).Seterusnya adalah turunan Benzimidazole, seperti
albendazole dan mebendazole, bekerja pada b-tubulin dalam nematoda.
Mebendazol bekerja pada faring dan sel usus Ascaris suum, menyebabkan mereka
kehilangan mikrotubulus mereka.Hal ini menyebabkan ketidakmampuan untuk
mengambil glukosa, yang mengakibatkan kematian cacing. Selain itu, obat dari
turunan Lakton makrosiklik seperti ivermectin dan avermectins yang bekerja pada
10
KESIMPULAN
Infeksi Ascaris suum adalah infeksi dari cacing nematoda yang paling
umum berlaku yang dapat menyebabkan kerugian produksi karena penurunan berat
badan,peningkatan konsumsi pakan ternak dan kos rawatan yang tinggi.Hal ini
disebabkan, seekor cacing betina A. suum dapat menghasilkan hampir dua juta telur
per hari dan berpotensi berlakunya pencemaran lingkungan yang masih tinggi
kepada hewan atau manusia. Justeru, pengobatan dan pengendalian yang efektif
perlu dilakukan bagi mengelakkan berlakunya kerugian dalam penternakan dan
penularan yang bersifat zoonosis.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Suryani NMP, Apsari IAP, Dharmawan NS. 2018. Prevalensi infeksi Ascaris suum
pada babi yang dipotong di rumah potong hewan Denpasar. Indonesia
Medicus Veterinus. 7(2): 141-149.
Tharaldson K.2019. An Overview of Anthelmintic Drugs in Ascaris suum
Intestine".
Creative.Components.262.https://lib.dr.iastate.edu/creativecomponents/26.
Tolistiawaty I, Widjaja J, Lobo LT, Isnawati R, 2016. Parasit gastrointestinal pada
hewan ternak di tempat pemotongan hewan kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Balai Litbang P2B2 Donggala. 12(2).
Vlaminck J. 2013. Evaluation of Ascaris suum haemoglobin as a vaccine and
diagnostic antigen [Disertasi]. Belgium: Universiteit Gent.
Wolstenholme, A. J.2011.Ion channels and receptor as targets for the control of
parasitic nematodes. International Journal for Parasitology: Drugs and Drug
Resistance, 1, 2-13.