Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK

BAGIAN ENDOPARASIT

Ascariasis (Ascaris suum) pada Babi

PPDH PERIODE I TAHUN 2021/2022 KELOMPOK C2

Hasnah Niaty, S.K.H B9404211002


Diana Fatwa Dinillah, S.K.H B9404211003
Nicolas Edward C.K, S.K.H B9404211083
Karen Lee Mei Fong, S.K.H B9404211801
M. Iqmal Nurhaqim, S. K.H B9404211805

Di bawah bimbingan:
Dr drh Elok Budi Retnani, MS

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Produksi pangan asal hewan merupakan bagian penting dalam menunjang


perekonomian banyak negara. Di Indonesia populasi babi terus meningkat dari
tahun ke tahun terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi
(Fendryanto et al. 2015). Produk daging babi di Indonesia tercatat sebesar 156 ribu
ton dengan jumlah populasi babi pada tahun 2019 sebesar 7261 ekor (BPS 2019).
Ternak babi memiliki berbagai masalah kesehatan, salah satunya adalah
infeksi cacing parasitik. Infeksi cacing pada saluran cerna babi, selain dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan, juga dapat merugikan peternak dari segi
ekonomi. Umumnya infeksi parasit usus menyerang ternak muda yang dipelihara
dengan kurang baik (Tolistiawaty et al. 2016). Salah satu penyakit parasit yang
dapat menginfeksi usus babi adalah cacing askaris. Ascariosis merupakan penyakit
infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris sp. Pada ternak babi, askariosis
disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris suum yang hidup sebagai parasit di dalam
usus halus, terutama pada babi muda (Soulsby 1982).
Infeksi A. suum pada babi tersebar luas di seluruh dunia, cacing yang
menginfeksi akan menghisap sari makanan dan darah sehingga menimbulkan
gangguan pada saluran pencernaan yang berdampak pada penurunan produksi,
anemia, dan dapat menimbulkan kematian (Permadi et al. 2012). Kerugian ekonomi
yang ditimbulkan dapat berasal dari penurunan pertumbuhan harian dan efisiensi
konversi pakan serta biaya pengobatan helmintiasis. Diperkirakan kerugian
ekonomi pada produsen babi di Amerika akibat infeksi A. suum mencapai 1.827
miliar rupiah per tahun (Boes et al. 2010).
Selain menimulkan kerugian ekonomi, ascariosis merupakan penyakit parasit
yang bersifat zoonosis. Di Denmark dilaporkan telah terjadi penularan cacing A.
suum dari babi kepada manusia (Nejsum et al. 2005). Di Jepang ditemukan 6 orang
manusia yang positif terinfeksi A. suum dari 9 sampel yang diamati, dan pada babi
ditemukan 3 babi positif dari 9 sampel. Sehingga terbukti bahwa A. suum yang
menginfeksi manusia bersumber dari babi (Arizono et al. 2010). Cacing A. suum
merupakan jenis cacing yang tergolong kedalam Soil Transmitted Helminth (STH),
dimana dalam penularannya melalui perantara tanah (Suryani et al. 2018).
2

Tujuan

Penulisan laporan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai


ascariasis yang disebabkan oleh Ascaris suum pada ternak babi.

KAJIAN PENYAKIT
Etiologi

Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariosis pada
ternak babi (Suryani et al. 2018). Cacing ini sangat pathogen pada ternak babi, dan
sebagian besar hidup cacing ini berada di dalam usus halus inang definitif.
Morfologi cacing. Berikut merupakan klasifikasi taksonomi Ascaris suum :

Kingdom : Animalia
Filum : Nematohelminthes
Kelas : Chromadorea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris suum

A. suum berbentuk bulat panjang, berkutikula tebal serta memiliki tiga buah
bibir pada bagian mulutnya dan tidak ditemukan adanya buccal capsule. Pada
bibirnya terdapat deretan gigi-gigi yang bentuknya menyerupai gigi pada spesies
Ascaris lumbricoides. Pada permukaanya terdapat organ sensor yang posisinya
berdekatan dengan mulut yang berhubungan dengan radiata esophagus. Masing-
masing bibir dilengkapi dengan papil di bagian lateral dan sub ventral. Panjang
tubuh cacing jantan dewasa adalah 15-25 cm sedangkan cacing betina dewasa
sekitar 20-40 cm. Telur cacing A. suum berukuran 50-80 x 40-60 mikron,
berdinding tebal dengan tonjolan-tonjolan yang jelas pada lapisan luarnya.
3

Gambar 1 Cacing A. suum dewasa betina dan jantan (Indira 2016)

Gambar 2 A: Telur A. suum, B: Stadium larva infektif (L3), C: Gambaran


mikroskopis L4 (Vlaminck 2013)

Siklus Hidup
Siklus hidup dari cacing Ascaris suum merupakan siklus hidup yang
sederhana. Tinja yang mengandung telur Ascaris suum merupakan media
persebaran infeksi ascariasis pada Babi. Telur dari Ascaris suum yang tidak
terbuahi (Infertil) akan berkembang menjadi fertil dalam waktu 4-6 minggu. Faktor
yang paling mendukung dalam perkembangan telur infertil menjadi fertil adalah
kondisi tanah yang optimum untuk perkembangan telur cacing dengan suhu 18-
20ᵒC (Meyers 1975). Infeksi cacing Ascaris suum pada babi terjadi menjadi dua
arah yaitu direct dan indirect. Pada fase direct babi akan menelan larva III yang
kemudian, larva tersebut akan bermigrasi ke bronkus. Larva yang telah sampai pada
bronkus akan menuju dinding usus besar untuk penettrasi. Larva kemudian menuju
4

paru-paru. Larva yang berada pada paru-paru akan menyebabkan hospes menjadi
batuk, ketika batuk inilah larva akan tertelan kembali dan masuk ke dalam saluran
gastrointestinal. Di dalam trakus gastrointestinal, larva kemudian akan tumbuh dan
berkembang menjadi larva dewasa yang selanjutnya akan hidup dan berkembang
pada usus halus babi (Loreille dan Bouchet 2003). Siklus yang selanjutnya adalah
siklus indirect. Siklus indirect berkembang melalui host perantara atau host
paratenik seperti halnya cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur cacing
Ascaris suum yang infertil yang didalamnya terkandung larva II. Larva II kemudian
akan berada dalam jaringan sampai babi menelan host paratenik. Larva II yang telah
tertelan oleh babi kemudian akan berkembang menjadi larva III dan mengalami
proses sama seperti siklus direct (Meyers 1975). Ascaris suum dapat menginfeksi
manusia melalui kontak langsung dengan kotoran babi yang menjadi pupuk untuk
tanaman atau manusia memakan daging babi yang masih mentah dari babi yang
terinfeksi cacing Ascaris suum (Nejsum et al, 2012). Manusia yang terinfeksi akan
terjadi manifestasi klinis atau Visceral Larva Migrans (VLM). Manifestasi klinis
ini dapat menyebabkan malaise, batuk dan gangguan fungsi pada hati (Sakakibara
et al, 2002).

Siklus hidup Ascaris suum


(Sumber : Loreille dan Bouchet 2003)

Gejala Klinis
Gelaja klinis yang disebabkan oleh cacing Ascaris suum mirip dengan gejala
klinis yang ditimbulkan oleh cacing Ascaris lumbricoides (Natadisastra 2009).
Infeksi Ascaris suum pada babi terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung
5

larva III secara oral. Infeksi yang terjadi saat menelan larva III menyebabkan
kerusakan pada mukosa intestinal babi. Selain terjadinya kerusakan pada mukosa
intestinal babi, infeksi Ascaris suum pada babi dapat menyebabkan kematian saat
terjadinya hemoragi atau saat larva bermigrasi ke kapiler paru. Infeksi yang berat
saat larva bermigrasi ke paru-paru dapat menyebabkan Ascaris pneumonitis atau
kongesti saluran pernafasan karena adanya akumulasi pendarahan dan kematian
epitel (Robets dan Janovy 2005).

Patogenesis
Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada
ternak babi, terutama pada babi muda di seluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat
tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis. Infeksi dapat terjadi melalui
pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus. Infeksi
dimulai ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium III. Migrasi
larva stadium III dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa intestinal babi,
namun simptom yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya
(Roberts dan Janovy 2005).
Gejala yang khas dari cacing ini adalah timbulnya milk spot atau bintik putih
pada hati dan terbentuknya filamen-filamen fibrosis oleh larva Ascaris suum. Hal
tersebut terjadi karena migrasi larva cacing ke hati melalui vena porta sehingga
menyebabkan reaksi inflamasi pada hati, nekrosis interlobular, dan reaksi
granulosa. Jaringan interlobular akan menebal karena terjadi pembentukan kolagen
yang disertai oleh infiltrasi eosinofil. Kejadian milk spot ini akan berangsur-angsur
menghilang ketika larva cacing meninggalkan lokasi tersebut setelah 4-6 minggu.
Infeksi berulang dapat menyebabkan timbulnya jaringan fibrotik di organ hati babi
(Dunn 1978).
Migrasi larva ke paru-paru menyebabkan kerusakan pada alveol, hemoragi,
dan infiltrasi sel radang yang bersifat lokal. Infeksi berat dapat menyebabkan babi
mengalami ascaris pneumonitis disertai batuk, sulit bernapas, oedema, pusat-pusat
hemoragik, dan emfisema. Jaringan paru-paru menjadi tebal dan basah sehingga
menyebabkan inefisiensi respirasi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya
debu, bakteri, dan virus yang masuk hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi
6

cacing pada saluran pencernaan khususnya usus halus dapat menyebabkan


kerusakan mukosa usus bahkan obstruksi usus pada infeksi berat (Roberts dan
Janovy 2005).

Metode Diagnosis
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Ascaris
suum adalah dengan melakukan pemeriksaan feses untuk mendeteksi keberadaan
telur cacing pada feses. Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan dengan metode natif
(cara langsung) dan metode apung (Muttaqien et al. 2018). Metode natif dilakukan
dengan meletakkan feses babi sebesar butir beras di atas objek glass, kemudian
ditambahkan satu tetes air lalu dicampurkan hingga homogen. Campuran feses dan
air ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10×. Metode apung dilakukan dengan meletakkan 5 gram feses babi
ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan air sampai 2/3 tabung lalu diaduk. Tabung
dibiarkan beberapa menit, air dan bahan yang terapung dibuang secara hati-hati.
Tabung disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Cairan dibuang
secara hati-hati, kemudian ke dalam tabung ditambahkan larutn NaCl jenuh sampai
2/3 tabung, lalu diaduk dan di sentrifus kembali selama 10 menit. Tabung diambil
dari mesin sentrifus dan diletakkan berdiri pada rak tabung, kemudian ditambahkan
perlahan larutan NaCl jenuh dan didiamkan selama 5 menit, cairan yang cembung
ditempelkan pada glass objek kemudian diperiksa dibawah mikroskop (Podung et
al. 2020).
Uji pengapungan sederhana menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan
gula jenuh yang didasarkan pada BJ (Berat Jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa feses
yang sedikit mengandung telur cacing. Cara kerjanya didasarkan pada berat jenis
larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk
memisahkan partikel-partikel yang besar dalam feses. Pemeriksaan ini hanya
berhasil unruk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang
berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala, maupun telur Arcaris
yang infertil.
7

Pemeriksaan kuantitatif dapat dilakukan dengan metode Mc Master. Metode


ini ditujukan untuk mengetahui tingkat infestasi Ascaris suum dengan melakukan
perhitungan telur tiap gram tinja (TTGT). Feses babi ditimbang sebanyak 4 gram
kemudian dimasukkan kedalam wadah, lalu ditambahkan larutan NaCl jenuh
sebanyak 56 mL dan diaduk homogen menggunakan batang pengaduk. Larutan
disaring. Hasil larutan yang telah disaring dipipet dan dimasukkan ke kamar hitung
(Mc Master) kemudian didiamkan selama 5-10 menit supaya telur mengapung ke
permukaan. Kamar hitung diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10×.
Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) dapat digunakan untuk penduga berat atu
ringannya derajat infestasi. Infestasi ringan memiliki jumlah TTGT 1-199, infestasi
sedang memiliki TTGT 200-999, dan infestasi berat memiliki jumlah TTGT lebih
dari 1000. Derajat keparaha infestasi tergantung jumlah cacing yang menginfeksi
(Bowman et al. 1999).
Pemeriksaan coproscopy dilakukan dengan menampung Sebanyak 2-5 gram
feses pada larutan SAF dalam tabung dengan volume 10 ml. Tabung reaksi dengan
dasar runcing disiapkan dalam rak tabung reaksi dan dimasukkan corong ke dalam
tabung reaksi. Kain kasa dipotong dengan panjang kira-kira 10 cm, kemudian
diletakkan di atas corong. Feses yang berada pada larutan SAF dikocok sampai
homogen lalu disaring dengan dua lapis kain kasa pada tabung reaksi dengan dasar
runcing volume 10 ml. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam centrifugator dan
disentrifuse selama 2 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Supernatan dibuang,
kemudian diletakkan lagi pada rak tabung, lalu tambahkan 7 ml NaCl fisiologis dan
2 ml ether ke dalam tabung. Aduk dengan rata endapan yang telah ditambah NaCl
fisiologis dan ether, suspensi tersebut dikocok sehingga kotoran mengendap pada
bagian ether. sentrifuse lagi selama 3 menit dengan kecepatan 2000 rpm.
Supernatan dibuang dengan hati-hati agar endapan tidak ikut terbuang. Kemudian
endapan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Sampel positif
pada pemeriksaan mikroskopis dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan molekuler menggunakan dua metode PCR
yaitu Copro PCR yang mampu membedakan genotif dari ascaris pada babi maupun
manusia dan RFLP-PCR yang akan mengamplifikasi 734 bp region dari internal
transkrip region-1 (ITS-1), 5.8S, dan gen ITS-2 dari Ascaris. Kedua proses PCR
8

tersebut dapat mendeteksi keberadaan Ascaris suum yang telah dilaporkan sebagai
parasit zoonosis (Subrata et al. 2016).

Gambar 1. Hasil pemeriksaan telur Ascaris suum pada feses babi dengan metode
coproscopy

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan RFLP-PCR dan Copro PCR Ascaris suum


pada sampel fese

PENGOBATAN DAN PENGENDALIAN

Hasil dari beberapa studi telah menggunakan obat anthelmintik seperti


levamisole, butamisole, pyrantel, benzimidazole dan lakton makrosiklik untuk
mengobati infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit ini .Tidak ada vaksin yang
9

efektif sehingga obat anthelmintik akan digunakan untuk pengobatan Ascaris suum
dan ini menyebabkan ketergantungan yang berat terhadap obat
anthelmintic.Resistensi terjadi karena berbagai hal seperti penyalahgunaan obat dan
modifikasi reseptor. Obat anthelmintik yang memiliki cara kerja yang sama dengan
obat-obatan lain yang memiliki resistensi terhadap Ascaris Suum kemungkinan
besar juga akan menjadi tidak efektif. Mempelajari cara kerja anthelmintik akan
membantu memahami mengapa parasit mengembangkan resistensi terhadap obat
(Tharaldson 2019).
Anthelmintik memiliki dua cara kerja utama, yaitu obat-obatan yang bekerja
pada saluran ion membran parasit dan obat yang bekerja pada target situs biokimia
cacing parasit. Obat-obatan yang bekerja pada saluran ion membran parasit
memiliki efek yang lebih cepat daripada target situs selain saluran ion. Reseptor
asetilkolin nikotinat (nACHRs) pada otot nematoda adalah target untuk obat
anthelmintik yang bekerja pada saluran ion mambran. Reseptor ini amat penting
dalam kelangsungan hidup Ascaris karena mereka memberikan transmisi sinaptik
di sambungan neuromuskular dan system saraf.Hal ini menyebakan semakin
banyak perusahaan yang mencoba mengembangkan obat selektif yang bekerja pada
nAChRs (Jones and Sattel 2004).Nematoda memiliki asetilkolin-, 5-HT-, dopamin-
, dan saluran klorida tyramine di mana mamalia tidak memilikinya. Ini berarti tidak
ada efek pada mamalia ketika menggunakan obat untuk menargetkan reseptor ini
(Tharaldson 2019).
Cara kerja levamisole adalah untuk meniru asetilkolin dan bertindak sebagai
agonis nikotinik post-sinaptik reseptor asetilkolin yang terletak pada otot somatik
nematod (Martin et al. 2005). Ini menyebabkan Ascaris suum paralisis hasil
daripada depolarisasi sel otot yang akan menyebabkan nematod dikeluarkan dari
badan (Wolstenholme 2011).Seterusnya adalah turunan Benzimidazole, seperti
albendazole dan mebendazole, bekerja pada b-tubulin dalam nematoda.
Mebendazol bekerja pada faring dan sel usus Ascaris suum, menyebabkan mereka
kehilangan mikrotubulus mereka.Hal ini menyebabkan ketidakmampuan untuk
mengambil glukosa, yang mengakibatkan kematian cacing. Selain itu, obat dari
turunan Lakton makrosiklik seperti ivermectin dan avermectins yang bekerja pada
10

glutamat-gated saluran klorida meningkatkan permeabilitas Cl- pada membran


saraf dan otot Ascaris yang juga menyebakan paralisis (Tharaldson 2019).
Pengendalian yang utama dalam meghalang berlakunya penularan kepada
ternakan babi adalah kebersihan tempat tidur dan makan, manajemen kandang yang
baik dan rawatan awal anthelmintik kepada anak babi yang berusia 5-6 minggu
yang diulang setiap 4 minggu.Kombinasi dari semua praktik ini adalah cara paling
efektif mengendalikan parasit internal babi. Selain itu, kandang babi yang
terkontaminasi disinitasi bagi mengelakkan penularan pada babi yang sehat.
Hindari dari ternakan babi dari menelan tanah yang mungkin terkontaminasi
dengan kotoran manusia atau babi (Shamima et al., 2020)

KESIMPULAN

Infeksi Ascaris suum adalah infeksi dari cacing nematoda yang paling
umum berlaku yang dapat menyebabkan kerugian produksi karena penurunan berat
badan,peningkatan konsumsi pakan ternak dan kos rawatan yang tinggi.Hal ini
disebabkan, seekor cacing betina A. suum dapat menghasilkan hampir dua juta telur
per hari dan berpotensi berlakunya pencemaran lingkungan yang masih tinggi
kepada hewan atau manusia. Justeru, pengobatan dan pengendalian yang efektif
perlu dilakukan bagi mengelakkan berlakunya kerugian dalam penternakan dan
penularan yang bersifat zoonosis.

SARAN

Mengingat tingginya angka prevalensi infeksi A. suum pada babi dan


ascariasis yang bersifat zoonosis, maka disarankan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dan penternak akan pentingnya kesehatan dan kebersihan lingkungan.
11

DAFTAR PUSTAKA

Arizono N, Yoshimura Y, Tohzaka N, Yamada M, Tegoshi T, Onishi K, Uchikawa


R. 2010. Ascariasis in Japan: is pig-derived ascaris infecting humans. Jpn. J.
Infect. Dis. 63(6): 447-448.
Boes J, Kanora A, Havn KT, Christiansen S, Vetergaard-Nielsen K, Jacobs J, Alban
L. 2010. Effect of Ascaris suum infection on performance of fattening pigs.
Veterinary Parasitology. 172: 269-276.
Bowman DD, Lynn RC, Eberhad ML, Alcaraz A. 1999. Georgi’s Parasitology for
Veterinary. Philadelphia: Saunders.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2019. Populasi Ternak (Ekor), 2017-2019.
https://sambaskab.bps.go.id/indicator/24/124/1/populasi-ternak.html
(diakses 9 november 2021)
Dunn AM. 1978. Veterinary Helminthology. London (UK): William Heinemann
Medical Books Ltd.
Fendryanto A, Dwinata IM, Oka IBM, Agustina KK. 2015. Identifikasi dan
prevalensi cacing nematoda saluran pencernaan pada anak babi di Bali.
Indonesia Medicus Veterinus. 4(5): 465-473.
Indira G. 2016. Morphometry variation of male and female Ascaris suum at Pegirian
slaughterhouse Surabaya [Thesis]. Surabaya: Airlangga University Press.
Jones, A. K. & D. B. Sattelle .2004. Functional genomics of the nicotinic
acetylcholine receptor gene family of the nematode, Caenorhabditis elegans.
BioEssays : news and reviews in molecular, cellular and developmental
biology, 26, 39
Loreille O and Bouchet F. 2003. Evolution Of scaris in Human and pigs. A Multi-
Disciplinary Approach.
Martin R. Verma M. Levandoski C. L, Clark H, Qian M, Stewart & A. P. Robertson.
2005.Drug resistance and neurotransmitter receptors of nematodes: recent
studies on the mode of action of levamisole. Drug resistance and
neurotransmitter receptors of nematodes: recent studies on the mode of
action of levamisole, 131, S71-S84
12

Meyers R. 1975. Worm and desease: A Manual of Medical helminthology.


London(UK): Wiliiam Heinemann Medical Books limited
Muttaqien, Azhar, Zahara L. 2018. Studi kasus nematoda dan gambaran
histopatologis pada usus halus babi hutan di kawasan lhoknga aceh besar.
Jimvet. 2(4): 576-583.
Natadisastra D. 2009. Parasitology Kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta(ID): EGC
Nejsum P, Paker DE, Frydenberg J, Roepstorff A, Boes J, Haque R, Astrup I, Prag
J, Sorensen UBS. 2005. Ascariasis is a zoonosis in Denmark. Journal of
Clinical Microbiology. 43(3): 1142-1148.
Permadi IM, Damriyasa IM, Suratma NA. 2012. Prevalensi cacing nematoda pada
babi. Indonesia Medicus Veterinus. 1(5): 596-606.
Podung Aj, Paath JF, ponto JHW. 2020. Identifikasi telur nematoda pada feses
ternak babi di desa kalasey satu kecamatan mandolang kabupaten Minahasa
provinsi Sulawesi Utara. Zootec. 40(1): 344-351.
Roberts LS, Janovy JR. 2005. Gerald D, Schmidt and Larry S. Roberts’
Faundations of Parasitology 7th edition. New York(USA): McGraw-Hill
Companies.
Robets LS and Janovy J. 2005. Phylum Nematoda: from, function and classification
In Generald. D Schmidt & Larry S Robert’s foundations of parasitology. New
York(USA): MCGreaw-Hill
Sakakibara H. Honda Y. Nakagawa. Ashida H. and Kanazawa K. 2002.
Simultaneous Determination of All Polyphenols in Vegetables, Fruits, and
Tear. J. Agric Food Chem. 51: 571-581.
Shamima P, Kamal H.B, Swaraj R, Seema R.P.2020. Ascariosis in pigs: An
overview. Int J Vet Sci Anim Husbandry:5(4):83-85.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthrophods and Protozoa of Domesticated
Animals. 7th Ed. London (UK): Bailliere Tindall.
Subrata IM, Swastika IK, Agustina IK. 2016. Kejadian Ascaris suum pada manusia
dan babi di Bali. SENASTEK III. 15-16 Desember. Kuta-Bali.
13

Suryani NMP, Apsari IAP, Dharmawan NS. 2018. Prevalensi infeksi Ascaris suum
pada babi yang dipotong di rumah potong hewan Denpasar. Indonesia
Medicus Veterinus. 7(2): 141-149.
Tharaldson K.2019. An Overview of Anthelmintic Drugs in Ascaris suum
Intestine".
Creative.Components.262.https://lib.dr.iastate.edu/creativecomponents/26.
Tolistiawaty I, Widjaja J, Lobo LT, Isnawati R, 2016. Parasit gastrointestinal pada
hewan ternak di tempat pemotongan hewan kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Balai Litbang P2B2 Donggala. 12(2).
Vlaminck J. 2013. Evaluation of Ascaris suum haemoglobin as a vaccine and
diagnostic antigen [Disertasi]. Belgium: Universiteit Gent.
Wolstenholme, A. J.2011.Ion channels and receptor as targets for the control of
parasitic nematodes. International Journal for Parasitology: Drugs and Drug
Resistance, 1, 2-13.

Anda mungkin juga menyukai