1. Akuntansi Keuangan
Pada awal tahun 1969 diusulkan bahwa prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara
umum (generally accepted accounting standards-GAAP) dapat mempengaruhi perilaku
korporat. Hawkins membahas dampak-dampak yang mungkin terhadap kebijakan operasi
manajer mengenai prinsip-prinsip akuntansi untuk pajak tangguhan, kredit, translasi mata
uang asing, laba per saham, konsolidasi, laba atau rugi, ekuivalen saham biasa, dan sewa
guna usaha. Ia menyatakan bahwa GAAP yang bagus secara keperilakuan akan “menghambat
manajer untuk mengambil tindakan operasi yang tidak diinginkan guna membenarkan adopsi
atas suatu alternatif akuntansi dan menghambat adopsi praktik akuntansi oleh korporasi yang
menciptakan ilusi kinerja.” Sayangnya, ia tidak melakukan investigasi apakah dampak yang
ia argumentasikan benar-benar terjadi atau tidak. Ia juga tidak membahas “situasi hadirin”
yang dapat mempengaruhi kekuatan dari dampak tersebut. Akan tetapi, sejak saat itu telah
dilakukan perubahan dalam banyak bidang GAAP yang dibahasnya.
Dalam akuntansi minyak dan gas bumi ini , pengakuan beban dengan metode-metode
yang diperbolehkan menunjukkan adanya negosiasi antar kelompok yang kompeten dan
terlibat dengan penggunaan akuntansi minyak dan gas bumi tersebut. Dalam akuntansi
tersebut dinyatakan bahwa penggunaan perhitungan biaya penuh (full costing-FC) dan usaha
yang berhasil (successful effort-SE) merupakan dua metode yang disetujui. Kedua metode
tersebut muncul tidak bersamaan melainkan bertahap. Karena penggunaan metode SE dapat
mengakibatkan kerugian besar yang harus ditampilakn dalam laporan laba rugi, maka baik
pihak penyusun laporan maupun penerima laporan memiliki suatu kekhawatiran yang serius
atas pandangan negatif terhadap informasi keuangan yang dilaporkan itu. Rasa khawatir itu
diwujudkan lewat pengajuan usulan metode yang lain, yaitu metode FC.
2. Akuntansi Perpajakan
Beberapa persyaratan pelaporan telah dikenakan tidak hanya kepada pembayar pajak
itu sendiri, tetapi juga pada pihak lain, seperti karyawanm dengan maksud untuk membuat
hukum pajak lebih dipatuhi. Pengetahuan bahwa informasi tersebut akan dilaporkan kepada
kantor pajak oleh orang lain diharapkan akan membuat pembayar pajak kemungkinan kecil
akan mencoba untuk menghindari pajak. Perhatikan bahwa hukum pajak tidak berubah :
persyaratan pelaporan menurunkan peluang untuk berbuat curang tanpa mendapatkan
hukuman.
Usaha pada tahun 1985 untuk mengharuskan catatan yang rinci atas pengurangan
beban bisnis mungkin adalah contoh yang paling baru dan kontroversial mengenai dampak
keperilakuan dari persyaratan pealporan pajak. Telah dibantah bahwa orang-orang bisnis
akan mengeluarkan lebih sedikit dan dengan demikian mengklaim lebih sedikit pengurangan
dibandingkan dengan persyaratan pembukuan yang sekarang. Faktanya, catatan yang lebih
rinci itu sendiri tidak perlu dilaporkan, tetapi pembayar pajak dan penyusun laporan pajak
diharuskan untuk melaporkan bahwa catatan semacam itu disimpan dan tersedia untuk
diperiksa.
3. Akuntansi Sosial
Hanya sedikit saja yang diketahui mengenai dampak dari akuntansi sosial terhadap
pengirim informasi. Masih terdapat relatif sedikit akuntansi sosial bagi publik, dan
kebanyakan riset mengenai hal itu berkaitan dengan dampak penerima dari informasi yang
dilaporkan. Karena akuntansi sosial eksternal masih bersifat sukarela, maka tidak terdapat
dampak apapun terhadap persyaratan pelaporan, meskipun masih terdapat dampak terhadap
pelaporan sukarela. Karena akuntansi sosial merupakan bidang perhatian yang relatif baru
dan sering kali mengalami konflik dengan kriteria kinerja yang sudah lebih mapan, maka
terutama sangat penting utnuk menggabungkan persyaratan pelaporan dengan pedoman
keperilakuandan sanksi untuk ketidakpatuhan yang sangat ekplisit. Dilema pelaporan yang
disajikan pada awal bab ini adalah salah satu kasus akuntansi sosial. polusi dan keamanan
produk adalah adalah bidang sensitif lainnya dari akuntansi sosial.
4. Akuntansi Manajemen
Kombinasi dari hasil riset dalam bidang ini menunjukkan proses yang sangat
kompleks di mana persyataran pelaporan berinteraksi dengan sejumlah variabel dan proses
organisasional lainnya. Kesimpulan yang paling masuk akal yang dapat ditarik dari hasil riset
yang bersedia bahwa kadang kala, persyaratan pelaporan menghasilkan dampak yang dapat
diamati terhadap perilaku pelapor dan kadang kala tidak. Keanekaragaman dan faktor-faktor
yang mungkin yang harus dipertimbangkan membuatnya menjadi sangat sulit untuk
memprediksikan kapan dan dampak apa yang akan terjadi.
V.T.Ridgeway (1956) adalah salah satu orang pertama yang menarik perhatian pada
apa yang ia sebut sebagai “konsekuensi disfungsional dari ukuran kinerja.” Ia
memperingatkan bahwa satu ukuiran numerik tunggal biasanya tidak dapat mencakup segala
sesuatu yang penting mengenai suatu operasi. Peringatan tersebut sama relevannya pada hari
ini seperti pada saat itu. ia membahas mengenai badan tenaga kerja publik yang
menggunakan jumlah wawancara yang dilakukan sebagai ukuran dari keberhasilan di
pewawancara dan bukannya menggunakan penempatan kerja yang benar-benar dibuat. Dalam
sistem pelaporan ini, pewawancara mencoba untuk memaksimalkan jumlah wawancara yang
mereka lakukan dan bukannya melokasikan pekerjaan, bahkan tujuan yang dinyatakan dari
badan tersebut adalah menempatkan klien dalam pekerjaan.
Terdapat banyak cara untuk menilai dampak dari persyaratan pelaporan terhadap
pengirim informasi. Hal yang paling tersedia adalah pengambilan keputusan deduktif yang
melibatkan pemikiran secara hati-hati mengenai bagaimana persyaratan pelaporan akan
berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan motivasional lainnya guna membentuk perilaku
manajer. Teknik ini sebaiknya selalu digunakan sebelum memberlakukan suatu persyaratan
pelaporan. Coba tempatkan diri anda pada posisi si pengirim dan tanyakan pada diri Anda
senidiri, “Apa yang akan saya lakukan jika saya ada di posisinya dan harus melaporkan
informasi tersebut?”. Berguna untuk bertanya kepada orang lain dengan latar belakang dan
perspektif yang berbeda untuk melakukan hal yang sama karena mereka mungkin melihat
sesuatu dengan cara yang tidak pernah Anda pikirkan. Ini adalah cara sederhana, murah, dan
cepat untuk mencoba memprediksikan dampak dari persyaratan pelaporan sebelum
persyaratan tersebut diterapkan.
Metode lain adalah dengan menanyakan kepada para pelapor mengenai perilaku
mereka. Suatu cara formal untuk melakukan hal ini adalah dengan survei, yang dapat terdiri
atas pertanyaan-pertanyaan sempit dengan kemungkinan tanggapan yang ditentukan atau atas
pertanyaan-pertanyaan luas dengan kemungkinan jawaban yang terbuka atau atas gabungan
dari keduanya. Survei tersebut dapat menanyakan secara langsung, “Apakah persyaratan
pelaporan ini menyebabkan Anda mengubah perilaku Anda?.” atau lebih tidak langsung
mencoba untuk memperoleh hal yang sama. Survei tersebut dapat dilakukan secara pribadi,
lewat telepon, atau lewat kuesioner yang dikirimkan melalui pos. Metode ini hanya
memberikan apa yang rela dan mampu untuk diberikan oleh pelapor kepada Anda mengenai
persepsi mereka sendiri atas perilaku dan reaksinya terhadap persyaratan pelaporan.
Sayangnya, respons ini tidak selalu mencerminkan perilaku mereka secara akurat. Pelapor
dapat dengan sengaja berbohong, tetapi mereka juga memiliki persepsi yang tidak akurat atas
perilaku mereka. Kesalahan yang mungkin ini dapat terjadi untuk kedua kemungkinan.
Pelapor dapat berpikir bahwa mereka telah mengubah perilaku mereka dengan cara-cara atau
jumlah yang sebenarnya tidak mereka lakukan, atau sebaliknya.
Beraneka ragam pendekatan dapat diambil untuk mengukur perilaku dalam kondisi
alamiah itu sendiri. Ketika terdapat akses langsung ke pelapor dan paling tidak beberapa
variabel relevan yang dapat dikendalikan atau dimanipulasi, gunakan “studi lapangan yang
bersifat eksperimen semu,”yang merupakan suatu kompromi antara kepastian dan relevansi.
Metode tersebut adalah metode yang paling mendekati eksperimen laboratorium dalam hal
pengendalian dan oleh karena itu memberikan suatu pengujian atas kualitas. Ketika pengirim
hanya dapat diamati (yaitu, tidak ada variabel relevan yang dapat dikendalikan atau
dimanipulasi), maka hal itu merupakan suatu “studi kasus.” Dalam beberapa konteks
akuntansi, terutama keuangan, tidak ada pengendalian yang tersedia, sehingga seseorang
harus menggunakan data apapun yang bersedia mengenai perilaku dari pengirim. Hal ini
disebut dengan “analisis post hoc atas data sekunder.”
Masalah dalam kondisi alamiah adalah bahwa banyak hal-hal lain yang kemungkinan
akan berubah pada saat yang bersamaan dengan persyaratan pelaporan. Hal ini menyulitkan
untuk menentukan apakah penyebab dari perilaku yang diamati adalah karena persyaratan
pelaporan atau karena satu atau lebih faktor lainnya. Juga, terutama ketika analisis post hoc
terhadap data sekunder digunakan, ukuran-ukuran langsung dari perilaku yang diminati
mungkin tidak tersedia.