Anda di halaman 1dari 15

A.

Soil-Transmitted Helminths

Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah

cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai

untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Terdapat empat jenis STH yang paling

sering ditemukan, yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

(Trichuris trichiura), dan cacing tambang atau hookworm (Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale) (Serra, 2011). 2.1.1Cacing gelang (A. lumbricoides)Cacing

gelang merupakan cacing yang hidup dan tersebar di daerah tropis dan sub tropis

dengan kelembaban udara yang tinggi. Cacing gelang dewasa habitatnya terdapat di

usus halus manusia dan stadium larvanya mengalami migrasi ke paru-paru. Cacing

dewasa berbentuk silindris memanjang berwarna krem keputihan dengan panjang

dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm, dan

cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm. Umur yang normal dari cacing

dewasa adalah 12 bulan, paling lama bisa lebih dari 24 bulan. Cacing betina dapat

memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan telur

yang tidak dibuahi. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan

hidup selama bertahun-tahun (Pacifico, 2001).Telur cacing yang telah dibuahi yang

keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal

akan berkembang menjadi telur yang infektif (mengandung larva cacing) dalam waktu

2-3 minggu. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam

mulut, di dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat

keluar untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan masuk ke vena porta hati.

Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu

menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung

sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing menuju


bronki, trakea, dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun ke lambung

akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva akan tumbuh menjadi cacing

dewasa. Dua bulan sejak infeksi (tertelan telur yang infektif), seekor cacing betina mulai

mampu bertelur (Soedarto, 2008)

Siklus Hidup Ascaris lumbricoides, Cacing cambuk (T. trichiura) Cacing dewasa berbentuk

cambuk, dengan bagian anterior yang merupakan tiga perlima panjang tubuh berbentuk

langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua perlima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip

pegangan cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4 cm, dengan bagian ekor melengkung

ke arah ventral, mempunyai satu spikulum yang terselubung refraktil. Cacing betina

panjangnya 5 cm dengan bagian caudal membulat tumpul seperti koma. Telur berwarna

coklat mirip biji melon, berukuran sekitar 50x25 mikron, mempunyai dua kutub jernih yang

menonjol (Pacifico, 2001).Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur yang infektif sesudah

telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 2-3 minggu. Di dalam usus halus dinding

telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa.

Cacing dewasa melekat pada mukosa usus halus terutama di daerah sekum dan kolon dengan

membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke

dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat

hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Serra, 2011). Telur berbentuk lonjong tidak

berwarna, berukuran 65x40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan berisi embrio

(Soedarto, 2008).

.Jika larva filariform menembus kulit manusia, memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar

di dalam aliran darah, masuk ke dalam jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler

paru. Larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli, kemudian migrasi ke

bronki, trakea, laring, dan faring, akhirnya tertelan masuk ke filariform A.duodenale

jika tertelan juga dapat menyebabkan infeksi. larva berganti kulit untuk yang ketiga
kalinya. Migrasi ini berlangsung sekitar 10 hari. Dari esofaguslarva masuk ke usus

halus, berganti kulit untuk yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa.

Dalam waktu satu bulan cacing betina sudah mampu bertelur .(Pacifico, 2001)

Epidemiologi Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di

daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas

infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH, karena

morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan jumlah cacing di

dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan pada anak-anak

prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak tersebut terpapar dengan

banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya

infeksi STH adalah kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing,

fasilitas jamban yang belum memadai, higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat

pendidikan, status sosial ekonomi yang lemah (Serra, 2011).

B. Dampak manusia yang diakibatkan Larva

Migrasi larva STH dapat menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilalui. Larva

ascaris yang melalui paru-paru dapat menimbulkan reaksi hipersensitif pulmonum,

reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala seperti asma,

misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni

inflamasi eosinofilik granuloma pada jaringan paru yang dikenal dengan sindrom

Loffler’s, dan hipersensitifitas lokal menyebabkan peningkatan sekresi mukus,

inflamasi bronkiolar, dan eksudat serosa. Larva yang mati saat migrasi menimbulkan

vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Larva filariform cacing tambang saat

penetrasi menembus kulit menyebabkan perubahan pada kulit seperti pruritus dan

eritema yang disebut Ground itch. Bila larva cacing tambang masuk secara oral dapat
mengakibatkan nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas, dan suara serak

(Bethony, 2006).

Manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal umumnya terjadi bila

intensitas infeksinya sedang dan berat, dengan intensitas infeksi yang paling tinggi

pada anak-anak (Suriptiastuti, 2006).Cacing dewasa A.lumbricoides dalam jumlah

yang besar di usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan rasa sakit, juga

dapat membentuk bolus yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal. Juga dapat

menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorpsi vitamin A, dan menghisap karbohidrat

dan protein yang berpengaruh pada gangguan nutrisi dan pertumbuhan. Migrasi

cacing dewasa dari duodenum ke saluran empedu bisa menyebabkan kolik empedu,

kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, abses hepar, migrasi ke saluran appendiks

menyebabkan appendiksitis (Soedarto, 2008).Cacing cambuk dewasa yang menembus

dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan usus sehingga sering

terjadi infeksi sekunder dengan parasit usus lainnya seperti Entamoeba histolityca,

Shigella. Pada infeksi berat akan timbul gejala berupa anemia, diare berdarah, nyeri

perut, mual dan muntah, berat badan menurun, kadang terjadi prolaps rectum.

Kelainan akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah yang

disebabkan invasi ke mukosa dan sub mukosa usus halus. Hal ini menyebabkan

terjadinya anemia defisiensi besi, daya kognitif yang menurun, dan malnutrisi protein

(Bethony, 2006). 2.4Diagnosa Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur, atau

larva, atau cacing dewasa dalam feses (Soedarto, 2008) 2.5Pencegahan dan

pemberantasan Secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga intervensi untuk

mengendalikan infeksi STH, yaitu pemberian obat antelmintik, sanitasi dan

pendidikan kesehatan (Serra, 2011). Tujuan pemberian obat antelmintik adalah

mengurangi kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi STH dan


memutuskan rantai penularan. Pemberian obat berulang kali secara teratur dengan

interval tertentu pada kelompok resiko tinggi mampu menurunkan angka kesakitan

dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Anak usia pra sekolah (1-5

tahun) dan anak usia sekolah (5-15 tahun) merupakan kelompok resiko tinggi untuk

menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi. Obat yang direkomendasikan

untuk mengendalikan infeksi STH di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole,

mebendazole, levamisole, atau pyrantel pamoate (Kappagoda, 2011). Sanitasi atau

fasilitas jamban bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara

menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk

menghilangkan infeksi STH, tetapi agar efektif harus mencakup populasi yang luas

dan memerlukan waktu bertahun-tahun serta memerlukan biaya yang tidak sedikit

(Serra, 2011) . Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan

terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Dengan pendidikan

kesehatan diharapkan dapat mengurangi kontaminasi STH dengan tanah dan air

melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan

kebiasaan buang air besar tidak di jamban, pengobatan secara teratur tidak mampu

menurunkan penyebaran infeksi STH, hal ini karena setelah keberhasilan pengobatan

akan terjadi lagi reinfeksi (Ziegelbauer, 2012).

C. SIKLUS HIDUP LARVA RABDITIFORM

Telur keluar bersama tinja pada kondisi lembab, hangat, dan tempat yang teduh.

Telur  menetas dalam 1-2 hari menjadi larva rabditiform yang tumbuh di tinja

dan/atau tanah menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5-10

hari. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari

langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Pada kontak hewan
(anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah

menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, ke bronkiolus

menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan

tumbuh menjadi dewasa (Saroufim et al.,2014).

Gambar 1. Siklus hidup Ancylostoma sp. (CDC.gov)


Contoh larva Rabditiform

Larva rabditiform dan filariform Ancylostoma dodenale

Larva rabditiform dan filariform N. americanus


Perlakuan Sampel dalam pemeriksaan spesimen feses

Syarat pengambilan spesimen

tempat kering, bersih, bebas urin, segera dikirim ke laboratorium pemeriksa. Lama tinja di

perjalanan sampai mencapai lab 1-2 jam setelah dikeluarkan penderita Sampel terbaik adalah

yang segar(baru) Pengumpulan harus dilakukan sebelum terapi antibiotika, antidiare, antasid,

bismuth dan barium serta diambil seawal mungkin saat sakit.

Jumlah sampel yang dibutuhkan minimal 20-30 gram tinja padat atau 2-3 sendok

makan tinja cair

Bila dijumpai mukus atau darah maka sampel diambil dari tempat tersebut karena parasit

biasanya terdapat disitu. Tidak boleh menggunakan feses yang ditampung di kloset atau

terkontaminasi barium atau produk x-ray Beri label yang berisi identitas seperti nama,

tanggal, alamat, apa yang akan diminta untuk diperiksa

Persiapan Penderita

Terangkan cara penampungan dan apa yang akan diperiksa Penderita diminta untuk defekasi

pada penampung feses bermulut lebar Jangan kencing di tempat penampungan Jangan

meletakkan kertas toilet pada penampung karena akan berpengaruh terhadap hasil

Pemeriksaan tinja Cara makroskopis Warna tinja Bau tinja

Adanya lendir, darah,potongan jaringan,sisa makanan yang belum dicerna,bahan sisa

pengobatan dll Konsistensi tinja :padat,lembek atau cair

Cara mikroskopis Pemeriksaan tinja cara langsung

Pemeriksaan tinja cara langsung dengan kaca tutup cara langsung foto pem feses.doc

Pemeriksaan tinja cara langsung tampa kaca tutup (sediaan apus)


Pemeriksaan tinja dengan cara konsentrasi untuk telur cacing

Pemeriksaan tinja dengan cara sedimentasi (metode Faust&Russell) Pemeriksaan tinja cara

flotasi dengan larutan NaCl jenuh (Metode Willis) Pemeriksaan tinja dengan teknik Kato

Cara Pemeriksaan tinja dengan teknik modifikasi Kato Katz Pemeriksaan tinja dengan teknik

formalin – eter (Ritchie) Teknik AMS III (acid-sodium sulfate-tritone-ether concentration-

(Army Med.Sch) Teknik hitung telur (Stool) Sediaan tinja langsung kaca tutup metoda

Beaver

Teknik pemeriksaan tinja khusus

Beberapa macam telur dalam tinja tidak dapat menentukan spesiesnya seperti cacing tambang

Cara biakan Harada-Mori Cara biakan modifikasi Harada-Mori Cara biakan Medium arang

Cara biakan medium pasir Cara pembiakan telur

Teknik Pemeriksaan spesimen lainnya

Pemeriksaan cacing keremi ANAL SWAB.doc Pemeriksaan bahan sigmoidoskopi Parasit

yang mungkin ditemukan : E.hystolitica dan telur cacing Cara pengambilan bahan : cara

aspirasi/dikerok Cara pemeriksaan spesimen : cara langsung sediaan permanen Tractus

urogenital Parasit yang mungkin ditemukan : T.vaginalis,mikrofilaria,S.haematobium cara

sedimentasi

Kulit : (dengan irisan kulit) Kelenjar limfe : toxoplasma, filaria

Dahak : Larva dari Ascaris lumbricoides, SS,cacing tambang. Telur Paragonimus westermani

Kulit : (dengan irisan kulit) contoh : Onchocerca volvulus Kelenjar limfe : toxoplasma, filaria

Nematoda usus Ascaris lumbricoides : Cacing tambang :

Pemeriksaan tinja secara langsung Keluar sendiri :mulut,hidung,tinja Cacing tambang :

Sediaan langsung Biakan Harada –Mori Trichuris trichiura :


Strongiloides stercoralis :

Larva rhabditiform :tinja segar,biakan,aspirasi duodenum Larva filariform dan dws: biakan

2x24 jam Oxyuris vermicularis Anal swab

Nematoda jaringan W.bancrofti : B.malayi & B.timori : D/ parasit :

mikrofilaria dalam darah tahapan pem filaria.doc PCR D/ Radioologi : USG, limfosintigrafi

D/ imunologi : ICT, deteksi antibodi B.malayi & B.timori : D/ parasit = W.bancrofti D/

Radiologi:tidak ada D/ imunologi : deteksi IgG4

Trematoda F.hepatica : P.westermani :

Telur dalam tinja, cairan duodenum,empedu Reaksi serologis : ELISA Imunodiagnostik:

deteksi Ag USG D/ fasioliasis bilier P.westermani : Telur dalm sputum/cairan pleura Reaksi

serologis

Trematoda usus : telur dalam tinja Tremato darah :

telur dalam tinja,urin,jaringan biopsi Reaksi serologi

Cestoda T.saginata=T.solium

Proglotid keluar aktif dengan tinja/keluar spontan Telur dalam tinja atau anal swab D/

sistiserkosis : Histopatologi CT scan.MRI Deteksi Antibodi : ELISA western blot (EIBT)

counter immuno electrophoresis (CIE) Deteksi coproantigen pada tinja PCR

ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)

ELISA(Enzyme-linked immunosorbent assay) atau nama lainnya enzyme immunoassay

(EIA) merupakan teknik biokimia yang banyak digunakan di bidang imunologi untuk

mendeteksi adanya antibody atau antigen pada suatu sampel. ELISA diperkenalkan pada

tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya
interaksiantigendenganantibodidi dalam suatu sampel dengan menggunakanenzimsebagai

reporter label. Terdapat beberapa jenis teknik ELISA, yaitu (1) Indirect ELISA; (2) Direct

ELISA; (3) ELISA Sandwich; (4) ELISA Multiplex dan (5)

2ELISA Biotin Streptavidin. Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan unruk

melabel suatu antigen atau mengetahui antibody yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin

mengetahui antigen apa yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah antibody-

nya, begitu pula sebaliknya. Untuk mendeteksi kadar suatu protein, maka dapat digunakan

teknik ELISA sandwich assaydengan dengan mengedapkan antibody pada well plate.Gambar

1. Prinsip metode ELISA sandwichuntuk memeriksa kadar protein sampelFungsi dari test

ELISA yaitu bukan hanya untuk mengetahui keberadaan suatu antigen dengan antibodi tetapi

juga untuk mengukur kadar antigen atau antibodi tersebut dengan menggunakan

alatspektrofotometer. Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat mengukur jumlah dari

cahaya yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang terjadi

pada well mcroplate dan setelah pemberian substrat, enzim yang terikat pada antibody ke dua

pada kompleks antigen-antibodi yang terbentuk akan memberikan perubahan warna pada

cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical densityyang berbeda. Optical densitydapat

dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standart, sehingga

akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk mengestimasi

kadar protein tersebut

Pemeriksaan Metode Elisa

Sampel

1.Pengambilan sampel darah masing-masing tabung 1,5 cc sampel 1 dan 2 dimasukkan ke

dalam tabung yang berisi EDTA untuk diambil plasma darahnya, sementara sampel ke 3

dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifuge tanpa EDTA untuk diambil serumnya.


Selanjutkan dilakukan sentrifugasi ketiga sampel darah tersebutuntuk memisahkan plasma

darah dan serum darah dengan sel darah.

Tabungsampel+EDTA1 dan 2 → sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.

Perlengkapan

untuk pengambilan sampel darah, (Alkohol Swab, Torniquet dan Plester) b.Tabung sampel

darah (BD Vacutainer® Blood Collection Tubesdengan K2 EDTA 3,6 mg)

Pengambilan sampel darah.;d. Sentrifugasi tabug microsentrifugedengan mesin

SentrifugeEppendorfeHasil Sampel yang telah disentrifugasi

Pengenceran DiluentSolution5X → 1XUntuk mendapatkan 10 ml diluent sol1x= 2 ml

Diluent sol. + 8 ml Aquades.3.Pengenceran sampel.Siapkan @ 2 tabung eppendorf untuk tiap

sampel,Tabung I = 5 μl Sampel + 495μl Diluent1X = 1/100 dilution→ sentrifugasi.Tabung II

= 5μlTabung I +495μl Diluent1X = 1/10000 dilution→ sentrifugasi.abc Gambar 3. a. Stok 5x

ELISA Diluent b.Pengenceran 5x Diluentmenjadi 10 ml 1X diluent(dengan menambahkan 2

ml 5Idiluentdengan aquadest sebanyak 8 ml)c. Pengenceran sampel plasma dan serum

7b.StandardSiapkan 8 tabung eppendorf-Standard 7 = 8 μLHuman Pre-Calibrator + 677

μLDiluent 1X → sentrifugasi.-Standard 6 = 300 μLstandard 7 + 300 μLDiluent 1X →

sentrifugasi.-Standard 5 = 300 μLstandard 6+ 300 μLDiluent 1X → sentrifugasi.-Standard 4

= 300 μLstandard 5 + 300 μLDiluent 1X → sentrifugasi.-Standard 3 = 300 μLstandard 6 +

300 μLDiluent 1X → sentrifugasi.-Standard 2 = 300 μLstandard 3 + 300 μLDiluent 1X →

sentrifugasi.-Standard 1 = 300 μLstandard 2 + 300 μLDiluent 1X → sentrifugasi.-Standard 0

= 600 μL Diluent Stok Human Pre-Albumin Calibratorb.1X Elisa Diluentc.Pembuatan

Standard 0-7. Well ELISA (Anti-Human Prealbumin ELISA Microplate)1.Dengan

menggunakan micropipet, masukkan Standard 7-0 ke dalam well kolom 1 (A-H) sebanyak

100 μL.2.Dengan menggunakan micropipet, masukkan Sampel 1-3 ke dalam well kolom 2
(A-H) sebanyak 100 μL.3.Diinkubasikan pada suhu ruangan selama 60±2 menit. Tutup well

platedengan plastik transparan dan dalam posisi sejajar.Gambar 5.Elisa Well Plateyang telah

dicoating dengan antibody anti-prealbumin dari pabrik. Standard 0-7 dimasukkan masingke

dalam well A01-H01, sementara sampel 1 pada well A02, D02dan G02; sampel 2 pada well

B02, E02 dan H02; sampel 3 pada well C02 dan F02standardSampel

94.Siapkan Wash Solution20X → 1Xsebanyak 100 ml.= 5 ml Wash Solution+ 95 ml

Aquades.5.Setelah selesai diinkubasi, well platedicuci dengan larutan Wash

Solutionsebanyak 4 kali dengan menggunakan alat Elisa Washer(Thermo Scientific™

Wellwash™ Microplate Washer).Gambar 6a.Stok 20x Wash Solution; b.Elisa Washer

(Thermo Scientific™ Wellwash™ Microplate Washer)6.Siapkan 100x enzyme-antibody

conjugateyang diencerkanmenjadi 1x(dalam keadaan gelap).= 20 μlenzim+ 1980 μl1X

diluent.7.Masukkan ke masing-masing well 100 μlenzim yang telah diencerkan. Kemudian

tutup dengan aluminium foil (dalam keadaan gelap) dan inkubasi selama 30±2

menit.8.Lakukan pencucian kembali.

10ab.cGambar 7.a.Stok 100x enzyme-antibody conjugate-1x diluent solution -Pengenceran

enzyme-antibody conjugate dengan diluent solutionpada tabung yang dilapisi alumunium

foil. b.multichannel pipette reservoir digunakan sebagai tempatmengambil bahan

menggunakan multichannel mikropipette. c.berbagai micropipette baik single channel

maupun multichannel9.Masukkan 100 μLTMB Substrate Solution(Chromogen-Substrate

Solution)pada masing-masing welldan inkubasi dengan suhu ruangan dan keadaan gelap

selama 10 menit.10.Kemudian masukkan 100 μLStop Solutionpada masing-masing

well.11.Masukkan seluruh well ke Elisa Reader Multiskan GOdan lakukan pembacaan hasil

dengan gelombang absorbansi 450 nm. Stok TMB Substrate Solutionb.Stop

Solutionc.Standard dan smpel berwarna biru sebelum diberikan substrat d. setelah pemberian
substrat dan stop solution menjadi berwarna kekuningan dan diperiksa menggunakan ELISA

Reader Multiskan GO.


Refrensi :

__ https://s3-us-west-2.amazonaws.com/oww-files-public/9/97/Laporan_ELISA.pdf

__ http://www.pdspatklin.or.id/assets/files/pdspatklin_2017_10_03_10_53_12.pdf

__http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50223/Chapter%20II.pdf?

sequence=4&isAllowed=y

__https://e-journal.unair.ac.id/BIOPASCA/issue/view/390

__https://medlab.id/cacing-tambang-hook-worm/

Anda mungkin juga menyukai