Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“PERKEMBANGAN TRADISI MAKKULIWA


PADA MASYARAKAT MANDAR”

Dosen matakuliah:

Dr.NURHAYATI M.Hum
Disusun Oleh:
AULIYA MAGFIRAH
Nim(F061201006)
Fakultas Ilmu Budaya
Departemen Ilmu Sejarah
Universitas Hasanuddin 2021
Daftar Isi

Daftar Isi.............................................................................................................................i

Kata Pengantar...................................................................................................................ii

BABI.................................................................................................................................

PENDAHULUAN...............................................................................................................

A.Latar Belakang........................................................................................................

B.Rumusan Masalah...................................................................................................

C. Tujuan.....................................................................................................................

BABII...............................................................................................................................

PEMBAHASAN................................................................................................................

A.Pengertian tradisi..................................................................................................

B.Makkuliwa lopi.......................................................................................................

C.Masyarakat Mandar...............................................................................................

PENUTUP.......................................................................................................................

A.Kesimpulan............................................................................................................

B. Saran....................................................................................................................

Kata pengantar
syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadiran ALLAH SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah guna memenuhi tugas untuk mata kuliah Departemen
ilmu sejarah oleh Dr.NURHAYATI M.Hum dengan judul makalah
“Perkembangan tradisi makkuliwa pada masyarakat mandar”.

Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
Sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan segala bentuk saran serta masukkan
Bahkan kritikkan yang membangun dari berbagai pihak.Dan kami berharap
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Majene,November 2021

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG

Kebudayaan merupakan hal yang bersifat universal dalam tatanan


kehidupan manusia. Kebudayaan dimiliki oleh setiap manusia sesuai
dengan corak kebudayaannya masing-masing. Setiap manusia berada di
dalam garis kebudayaan yang kemudian memberi nilai dan makna atas
kehidupan manusia. Setiap orang bisa saja dengan mudah mendefinisikan
manusia dari beragam perbedaan dengan melihat kesukuan, bangsa, maupun
ras nya. Akan tetapi, fakta sejarah mengenai manusia sebagai makhluk
budaya tidak terbantahkan oleh siapa pun. Karena itulah kebudayaan
menempati posisi yang dianggap sebagai pusat dalam kehidupan manusia
(Maran, 2010). Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa secara umum kebudayaan merupakan sebuah aturan dalam
kehidupan manusia yang dimiliki setiap manusia sesuai dengan
kebudayaannya masing-masing, serta memberikan nilai dan makna dalam
kehidupan.
Masyarakat dibangun oleh adat, norma atau kebiasaan yang berupa
tradisi dan telah membudaya, sebagai hasil dari proses berfikir yang kreatif
secara bersama-sama yang kemudian membentuk sistem hidup yang
berkesinambungan. Tradisi artinya suatu kebiasaan seperti adat,
kepercayaan, kebiasaan ajaran dan sebagainya yang dilakukan secara turun-temurun
dari nenek moyang terdahulu yang telah dilestarikan sebagai
cerminan hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan (Mustari, 2009:12).
Penulis menyimpulkan bahwa tradisi tersebut merupakan kebiasaan yang
dilakukan secara turun-temurun dan dianggap sebagai cerminan hidup
masyarakat. Berbicara mengenai Mandar, pada abad ke-16 di kawasan ini berdiri
tujuh kerajaan kecil yang terletak di pantai. Pada akhir abad ke-16 kerajaan-
kerajaan kecil tersebut bersepakat membentuk federasi yang dinamai
dengan Pitu Baqbana Binanga yang bermakna tujuh kerajaan di muara
sungai/pantai. Pada Abad ke-17 federasi tujuh kerajaan di muara sungai ini
kemudian bergabung dengan tujuh kerajaan yang berada di pegunungan
yang bernama Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di hulu sungai.
Gabungan kedua federasi itu bernama Pitu Baqbana Binanga dan Pitu
Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh kerajaan dihulu
sungai (Alimuddin, 2013). Keempat belas kekuatan ini saling
melengkapi, Sipamanda (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui
perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Luyo. berbicara mengenai
tradisi di Mandar Sulawesi Barat tepatnya di kabupaten Majene, tidak terlepas
dari peran serta masyarakat yang menjadi objek atau pelaku sebuah tradisi.
Masyarakat Majene yang bertempat dikecamatan Banggae sebagian besar adalah
penduduk dengan mata pencaharian sebagai seorang nelayan atau posasiq.

Kecamatan Banggae merupakan salah satu kecamatan dari 8 kecamatan yang ada
di kabupaten Majene. Kecamatan Banggae dan kecamatan Banggae Timur
merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil di antara kecamatan-
kecamatan lain yang ada di kabupaten Majene. Kecamatan Banggae dan
kecamatan Banggae Timur merupakan wilayah yang relatif lebih datar, sehingga
mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai nelayan. Sementara wilayah kecamatan lainnya lebih dominan
berupa wilayah berbukit dan pegunungan.

seiring dengan perkembangan Zaman, perbedaan ini pun terlihat dalam


masyarakat yang melaksanakan tradisi tersebut di samping masyarakat yang
sudah semakin berkembang, pengetahuan tentang agama pun mulai berkembang
dan masyarakat menganggap bahwa dalam pelaksanaan tradisi bukanlah suatu hal
yang wajib karena terkadang dalam proses tradisi tersebut terdapat sebuah
anggapan tentang kesyirikan. Tetapi 8 ada juga masyarakat yang meyakini bahwa
dalam sebuah tradisi dianggap bahwa cara-cara terdahulu merupakan hal yang
paling baik dan benar. Terlepas dari beberapa anggapan tersebut semua
tergantung dari cara masyarakat dalam memaknai sebuah tradisi. Oleh karena itu
penulis tertarik untuk mengulas lebih mendalam bagaimana perkembangan tradisi
makkuliwa lopi saat ini dan bagaimana pemaknaan masyarakat Mandar di
kecamatan Banggae kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi. Untuk
itu peneliti memutuskan meneliti tentang tradisi di kalangan nelayan dengan
judul “Makna Tradisi Makkuliwa Lopi dalam Masyarakat Mandar di Kecamatan
Banggae Kabupaten Majene”. Semoga dengan penelitian ini, masyarakat
mengetahui makna yang terdapat dalam setiap proses pelaksanaan tradisi
makkuliwa lopi, sehingga tradisi tersebut tetap ada dan dilakukan secara turun
temurun.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat Mandar


di kecamatan Banggae kabupaten Majene saat ini?
2. Bagaimana pemaknaan masyarakat Mandar di kecamatan Banggae
kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat


Mandar di kecamatan Banggae kabupaten Majene saat ini.

2. Untuk mengetahui pemaknaan masyarakat Mandar di kecamatan Banggae


kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi.

BAB II

PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN TRADISI
Tradisi atau kebiasaan dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan sejak lama,
yang kemudian menjadi bagian dari kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat. Hal yang
paling mendasar dari sebuah tradisi adalah adanya kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke
generasi melalui informasi yang sudah ada sejak dahulu yang kemudian dilakukan secara turun
temurun. Karena tanpa adanya kegiatan sebuah tradisi yang dilakukan dari generasi ke
generasi, akan menyebabkan tradisi tersebut bisa saja hilang atau bahkan punah (Juliana,
2017).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan yang turun
temurun (dari nenek moyang) yang masih dilakukan oleh masyarakat dan juga diartikan
sebagai penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan hal yang paling
baik dan benar.

Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang


adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan
oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi
memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang
bersifat duniawi maupun hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Di dalam tradisi diatur
bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok manusia
dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya,
dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang menjadi suatu
sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan saksi dan ancaman
terhadap pelanggaran dan penyimpangan.

Sebagai sistem budaya, tradisi akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku
yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Sistem dan gagasan utama ini akan
terwujud dalam sistem ideologi, sistem sosial dan sistem teknologi. Sistem ideologi merupakan
etika, norma, dan adat istiadat. Ia berfungsi memberikan pengarahan atau landasan terhadap
sistem sosial, yang meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakat.

Berbicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dan masa kini haruslah lebih dekat.
Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini ketimbang sekedar menunjukan fakta
bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua
bentuk material dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap,
tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun
benar-benar masih ada kini, belum di hancurkan, dirusak, di buang, atau dilupakan. Disini
tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Seperti yang
diungkapkan Shils (1981:12), bahwa tradisi merupakan segala sesuatu yang diwariskan dan
disalurkan dari masa lalu hingga ke masa kini.

2.MAKKULIWA LOPI
Secara harfiah makkuliwa berarti sama lewa‛, sitottong‛ (dalam bahasa Mandar) yang
bermakna tidak miring ke kanan dan tidak pula miring ke kiri. Dari arti tersebut dapat
didefinisikan bahwa kuliwa adalah menyeimbangkan. Makkuliwa dalam kaitannya dengan
ritual nelayan Mandar berarti doa selamatan. Doa ini dimaksudkan agar tatanan 14 kehidupan,
baik di darat maupun di laut senantiasa berada dalam keseimbangan, tidak saling mengganggu
dan merusak, sehingga bisa hidup tenang (Ismail, 2007).
Sedangkan kata lopi dalam masyarakat Mandar Majene diartikan sebagai perahu. Perahu
tersebut dijadikan sebagai alat yang digunakan dalam mencari ikan layaknya rutinitas sebagai
seorang nelayan. Kata lopi jika didahului oleh kata berarti syukuran atau selamatan atas perahu.
Tradisi makkuliwa lopi adalah salah satu tradisi atau ritual yang dilakukan nelayan Mandar sebelum
memulai perjalanannya dalam mencari ikan di laut dengan menggunakan perahu atau lopi. Tradisi
makkuliwa lopi ini merupakan tradisi nelayan Mandar yang mengadakan syukuran atau ma’baca (dalam
istilah Mandar) ketika sebuah perahu baru atau telah jadi dan siap pakai, sebelum diturunkan ke laut,
dipanjatkan doa guna memperoleh keselamatan dalam setiap perjalanannya selama mengarungi lautan,
baik keselamatan bagi posasiq (istilah bagi pelaut Mandar atau nelayan) maupun bagi perahu itu sendiri.
Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk jamuan pertemuan antara perahu dan pengguna perahu dengan laut
sebagai tempat untuk mengais rezeki agar kiranya pula dapat bersahabat langsung dengan berbagai jenis
iri’ dan lembong, dalam bahasa Mandar berarti angin dan ombak (Goncing, 2017).

Adapun proses dalam pelaksanaan tradisi makkuliwa yang merupakan serangkaian kegiatan
yang diadakan di perahu dan di rumah pemilik perahu. Pola pelaksanaannya ada dua macam;
pertama, pembacaan Barzanji terlebih dahulu dilakukan di perahu atau di kapal (Ismail, 2012).
Kedua, sesudah acara pembacaan Barzanji di perahu, dilanjutkan serangkaian acara di rumah
warga yang akan melakukan kuliwa lopi yang dihadiri oleh para sawi (anak buah kapal),
kerabat dan para tetangga. Acara di rumah ini didahului dengan pembacaan Barzanji, kemudian
doa, dan makan bersama. Di rumah juga disiapkan hidangan khusus, yaitu satu baki berisi
sokkol tallung rupa (ketan tiga warna: hitam, merah, dan putih). Khusus ketan berwarna putih
di atasnya diletakkan telur ayam yang sudah matang. Di sekitar baki terdapat banyak
bungkusan kecil yang berisi kue-kue manis ditambah satu bungkus kecil ketan dan beberapa
buah pisang. Bungkusan-bungkusan tersebut dibagikan kepada semua yang hadir untuk di
bawa pulang ke rumah masingmasing.

Ada beberapa bahan yang penting dipersiapkan dalam makkuliwa, yaitu tujuh piring kecil
sokkol, telur, loka manurung (pisang kapok), loka tira (pisang ambon), loka warangan (pisang
barangan), cucur miana (kue pelang), dan ule-ule (Ismail. 2012). Hal tersebut merupakan
aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan kepada Allah
Swt. Hal itu juga terkadang dimaksudkan sebagai upaya negosiasi 16 spiritual, sehingga segala
hal gaib yang diyakini berada di atas manusia tidak akan menyentuhnya secara negative.

3.MASYARAKAT MANDAR
Masyarakat Mandar yang dimaksudkan di sini adalah penduduk provinsi Sulawesi Barat
yang khusus mendiami kabupaten Majene yang pada umumnya termasuk suku Mandar asli.
Kabupaten Majene diawali oleh kota Majene yang dekat dengan teritorial laut yang mata
pencaharian warganya adalah nelayan atau posasiq (istilah nelayan dalam Mandar), tepatnya di
kecamatan Banggae, seperti yang diungkapkan Muh. Ridwan Alimuddin dalam bukunya yang
berjudul “Orang Mandar Orang Laut” (Alimuddin, 2005), bahwa Mandar adalah salah satu
suku-bangsa di nusantara yang budayanya berorientasi melaut. Karena itulah, sebagian besar
orang-orang Mandar dikenal melalui kebudayaannya yang pandai melaut.

Masyarakat Mandar terkenal dengan budayanya yang pandai melaut dan umumnya
masyarakat Mandar bekerja sebagai nealyan atau posasiq. Posasiq dalam masyarakat Mandar
diartikan sebagai pelaut atau nelayan. Posasiq berasal dari kata sasiq yang berarti laut.
Kasarnya, posasiq adalah pelaut. Akan tetapi, posasiq yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
orang yang bekerja di laut atau dengan kata lain adalah nelayan.

Alimuddin (2017) mengemukakan bahwa nelayan menurut istilah adalah orang yang
menangkap ikan di laut. Sedangkan pelaut adalah orang yang bekerja di laut. Akan tetapi,
dalam istilah Mandar, keduanya sama- 17 sama disebut sebagai posasiq. Posasiq dalam arti
nelayan merupakan pekerjaan di laut yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat nelayan
yang berdiam di pesisir laut Mandar. Dengan menggunakan berbagai macam media, dari
berbagai jenis perahu, alat tangkap dan sebagainya. Sedangkan posasiq dalam arti sebagai
pelaut (selain menangkap ikan) sekarang ini, untuk di daerah Mandar, tidak terlalu banyak
ditemukan, disebabkan perdagangan antar pulau sudah tidak sebanyak pada waktu lampau.
Meski demikian, posasiq dalam arti pelaut tetap dapat melakukan pekerjaan sebagai posasiq
dalam arti nelayan karena mereka mempunyai dasar akan hal tersebut.

Pada dasarnya, posasiq Mandar kategori nelayan maupun kategori pelaut memiliki makna
yang sama. Mereka memilki kemampuan mosasiq (melaut) yang sama. Memiliki pengetahuan
mosasiq yang sama, terutama dalam hal tradisi ataupun ritual nelayan. Sebagian besar posasiq
Mandar berasal dari keturunan dari generasi ke generasi yang berdiam diri di wilayah pesisir
laut. Akan tetapi, untuk di masa sekarang ini, pekerjaan melaut sudah dapat dilakukan oleh
berbagai kalangan ataupun di luar wilayah tanah Mandar yang tidak memiliki budaya bahari.
Di daerah lain pun dapat ditemukan orang-orang yang bekerja di laut meskipun tempat
tinggalnya berada jauh dari pesisir laut.

Berbicara mengenai Mandar, pada abad ke-16 di kawasan ini berdiri tujuh kerajaan kecil
yang terletak di pantai. Pada akhir abad ke-16 kerajaankerajaan kecil tersebut bersepakat
membentuk federasi yang dinamai dengan Pitu Baqbana Binanga yang bermakna tujuh
kerajaan di muara sungai/pantai. Pada Abad ke-17 federasi tujuh kerajaan di muara sungai ini
kemudian bergabung dengan tujuh kerajaan yang berada di pegunungan yang bernama Pitu
Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di hulu sungai. Gabungan kedua federasi itu bernama Pitu
Baqbana Binanga dan Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh
kerajaan di hulu sungai (Alimuddin, 2013). Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi,
sipamanda (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh
leluhur mereka.

PENUTUP

A.KESIMPULAN
Tradisi makkuliwa lopi adalah sebuah tradisi ma’baca-baca ketika ada sebuah perahu
(lopi) baru maupun perahu lama yang baru akan melaut lagi setelah lama tidak terpakai dan
biasanya dilakukan nelayan sebelum berangkat melaut, dimana perahu atau lopi yang
digunakannya terlebih dahulu dikuliwa. Tradisi ini juga diartikan sebagai doa keselamatan,
maksudnya meminta doa kepada Allah Swt untuk senantiasa diberi keselamatan, baik untuk
posasiq (nelayan) dan perahu itu sendiri ketika berada di laut. Tradisi makkuliwa lopi
merupakan tradisi yang sudah ada sejak sebelum Islam datang dan diwariskan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi. Setelah Islam datang, tradisi makkuliwa lopi telah
diimplementasikan dengan nilai-nilai Islam.

Pelaksanaan tradisi makkuliwa tidak memiliki waktu-waktu tertentu, seperti sebulan atau
setahun sekali. Tradisi ini dilakukan kapan saja, apabila perahu sudah jadi atau ketika nelayan
ingin melaut, sesuai dengan kesediaan dan kesiapan punggawa lopi (juragan kapal) dalam hal
mempersiapkan syarat-syarat kuliwa. Untuk melaksanakan tradisi makkuliwa lopi ada
beberapa hal yang perlu disiapkan mulai dari persiapan perahu yang akan dikuliwa,
menentukan waktu baik dan persiapan bahan makanan. Adapun syarat makanan kuliwa yang
perlu disiapkan seperti empat macam pisang, sokkol, telur ayam, cucur, peca-peca lopi,
undungan atau dupa. Setelah semuanya siap, proses tradisi makkuliwa lopi mulai dilakukan
dengan pembacaan barazanji oleh Imam masjid/annangguru di perahu atau lopi, lantunan
sholawat, dan berdoa. Setelah tradisi makkuliwa lopi selesai, kemudian dilanjutkan makan
bersama di rumah punggawa lopi.

Wujud nilai-nilai budaya Islam yang tercermin dalam tradisi makkuliwa lopi yaitu selain
sebagai bentuk permohonan diberi keselamatan dan rezeki yang banyak kepada Allah Swt,
tetapi juga memiliki nilai-nilai positif dalam pelaksanaannya. Keberagaman nilai-nilai budaya
Islam dalam tradisi ini dapat tercermin dari adanya nilai musyawarah, nilai religius, nilai
gotong royong, nilai solidaritas dan nilai kesederhanaan yang terkandung dalam prosesi
pelaksanaan tradisi makkuliwa lopi.

2.SARAN
Masyarakat merupakan komponen penting dalam melestarikan sebuah budaya atau tradisi
yang sudah ada, seperti halnya dengan tradisi makkuliwa lopi. Saya berharap kepada
masyarakat maupun pemerintah setempat senantiasa menjaga dan melestarikan budaya-budaya
yang menjadi icon daerah kita dan mampu memperkaya kearifan lokal Indonesia khususnya
Mandar Majene.

Daftar Pustaka
Humaniora, S., Sejarah, J. and Islam, P. (2020) ‘DI KECAMATAN BANGGAE
KABUPATEN MAJENE ( Studi Unsur-unsur Budaya Islam )’.
)1377( .‫ ع‬.‫ و‬. .‫ م‬.‫ غ‬.‫ س‬,‫‘ کوچکی‬No Title)‫’فيزيولوژی گياهان زراعی (ترجمه‬, pp. 68–70.

Anda mungkin juga menyukai