Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nurma Afifa

NIM : 19136089

Prodi : Geografi (NK)

Tugas : GEOGRAFI EKONOMI

1. Studi kasus pendekatan geografi ekonomi


a. Pendekatan komoditas

KONVERSI HUTAN MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT:


IMPLIKASI PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

Tanaman kelapa sawit sebagai komoditi perkebunan yang banyak dikembangkan di


Indonesia telah meningkat dengan pesat, menjadi sekitar 7.8 juta ha pada tahun 2009.
Pertumbuhan pesat tanaman sawit disebabkan oleh nilai ekonomi tanaman ini yang seringkali
harus dibayar mahal karena bertentangan dengan pelestarian lingkungan. Perluasan
pembangunan sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan. Salah satu kawasan hutan
dengan tingkat kandungan karbon yang tinggi adalah lahan gambut. Alih fungsi kawasan hutan
termasuk pada lahan gambut untuk pengembangan tanaman kelapa sawit masih akan terjadi.
Besarnya kandungan karbon pada lahan gambut yang akan terlepas menjadi emisi apabila lahan
gambut tersebut dikonversi, didrainase dan mudah terbakar memerlukan perhatian khusus dan
kebijakan untuk menanganinya. Menyadari tentang pentingnya peran lahan gambut pemerintah
sesungguhnya telah mengeluarkan berbagai peraturan yang mengarah kepada pengelolaan hutan
gambut yang lestari, meskipun dijumpai ada ketidak konsitenan dalam kebijakan. Untuk itu
diperlukan pertimbangan khusus dalam pelaksanaan konversi. Kawasan yang masih tertutup oleh
vegetasi hutan yang baik juga kawasan dengan kandungan gambut tebal serta kawasan bernilai
tinggi lainnya seharusnya tidak dikonversi dan tetap dipertahankan sebagai hutan. Pembangunan
tanaman kelapa sawit seharusnya dialokasi dan diarahkan pada lahan-lahan terdegradasi di luar
lahan gambut yang masih luas di Indonesia.
Tanaman kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang banyak dikembangkan di
Indonesia. Luas tanaman kelapa sawit telah meningkat dengan pesat. Sejak tahun 1967 luas
kebun sawit telah meningkat 35 kali lipat menjadi sekitar 5,6 juta ha tahun 2005 (Bisinfocus
2006) dan sekitar 7.8 juta ha pada tahun 2009. Perluasan kebun sawit terjadi paling besar di 6
propinsi yaitu Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Jambi dan Kalimantan
Tengah. Dari luas tanaman sawit tersebut, sekitar 2 juta hektar kebun sawit dimiliki oleh petani
dan selebihnya dikelola oleh perusahaan induk.
Pertumbuhan pesat tanaman sawit disebabkan oleh nilai ekonomi tanaman ini.
Pengembangan tanaman sawit merupakan sumber devisa, pendapatan dan menyediakan lapangan
kerja. Kontribusi ekonomi tanaman kelapa sawit melalui penjualan CPO (Crude Palm Oil)
terhadap pendapatan negara sangat besar, yaitu 12% dari Rp. 700 triliyun total pendapatan
negara tahun 2008 (kontribusi ini terbesar kedua setelah pendapatan sektor minyak dan gas).
Produk yang dihasilkan pada tahun 2008 adalah 18, 7 juta CPO, yaitu 4,5 sampai 5 juta ton CPO
digunakan untuk kebutuhan domestik, dan sisanya diekspor ke Negara China, India, Uni Eropa,
Pakistan dan Bangladesh. Selain itu perkebunan sawit juga menampung lebih dari 4 juta tenaga
kerja, di luar 2 juta kepala keluarga yang menjadi petani plasma (Saragih, 2010).
Kebijakan pemerintah yang mengutamakan pembangunan dengan prinsip pro-job,
pro poor dan pro-growth memang seringkali bertentangan dengan upaya pelestarian
lingkungan. Perluasan pembangunan sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan.
Data tahun 2000-2005 menunjukan luas deforestasi hutan di indonesia yang mencapai 1.1 juta ha
per tahun. Selain itu dalam penetapan fungsi kawasan hutan masih dialokasikan kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi seluas 22,7 juta ha (Dephut, 2007).
Berdasarkan data Sawit Watch (Saragih, 2010), setiap tahun terjadi konversi hutan
menjadi perkebunan sawit sebesar 200-300 ribu ha per tahun. Konversi juga terjadi di lahan
gambut. Keterbatasan lahan mineral dan relatif rendahnya isu land tenure pada kawasan lahan
gambut mengakibatkan lahan gambut menjadi pilihan untuk dikembangkan menjadi tanaman
lain termasuk kelapa sawit. Konversi hutan rawa gambut (peat swamp forest) menjadi
perkebunan sawit setiap tahun mencapai 50 - 100.000 ha.
Terkait dengan isu perubahan iklim, hasil inventarisasi emisi dari sektor kehutanan
(LULUCF) mencapai 48% dari total emisi Indonesia (KLH, 2009). Artinya sektor kehutanan di
Indonesia menyumbang emisi terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya yaitu energi, industri,
limbah dan pertanian. Besarnya emisi tersebut terutama disebabkan oleh besarnya deforestasi.
Sumbangan emisi yang besar juga berasal dari manajemen lahan gambut dan kebakaran lahan
gambut. Untuk itu pemerintah bertekat untuk menurunkan emisi GRK di Indonesia sebesar 26%
pada tahun 2020.
Alih fungsi kawasan hutan termasuk pada lahan gambut untuk pengembangan tanaman
kelapa sawit masih akan terjadi. Besarnya kandungan karbon pada lahan gambut yang akan
terlepas menjadi emisi apabila lahan gambut tersebut dikonversi, didrainase dan mudah terbakar
memerlukan perhatian khusus dan kebijakan untuk menanganinya. Meskipun berbagai aturan
dan kebijakan telah dikeluarkan untuk mendukung pemanfaatan lahan gambut yang lestari,
upaya ini masih belum cukup untuk mencegah terjadinya konversi dan emisi. Untuk itu
diperlukan kebijakan dan pengawasan yang lebih intensif. Kajian ini akan mengulas tentang
peran lahan gambut dalam perubahan iklim, emisi akibat konversi hutan untuk tanaman kelapa
sawit di lahan gambut, serta kebijakan terkait konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut.
b. Pendekatan aktivitas

PENGARUH AKTIVITAS INDUSTRI TERHADAP PENINGKATAN EKONOMI


PENDUDUK DAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN DAN JASA DI KOTA BATAM

Di negara berkembang, khususnya Indonesia, terdapat beberapa daerah pesisir yang


dimanfaatkan untuk membangun kegiatan-kegiatan industri dengan berbasis industri pengolahan,
baik itu padat karya maupun padat modal. Untuk kegiatan industri, menurut Sagala (2003),
pengembangan kawasan industri (industrial estate) di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun
1970 dengan mengemban dua misi besar. Pertama, untuk merangsang tumbuhnya iklim industri,
terutama bagi daerah-daerah yang iklim investasinya belum berkembang dan yang kedua untuk
menjadi sarana pengaturan ruang. Contoh daerah yang menjadi sasaran kawasan industri di
wilayah pesisir yang dikembangkan oleh pemerintah adalah Kota Batam. Saat ini kota yang
sekaligus merupakan pulau tersebut terus berkembang dan dapat disaksikan bahwa kegiatan
industri, perdagangan, perkapalan dan pariwisata sedang digencarkan di kota ini.
Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum, pada awalnya pengembangan fungsi
Batam didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun1971 tentang Pengembangan
Pembangunan Pulau Batam, yang diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai Kawasan
Berikat (Bonded Zone) peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28
Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang
serta beberapa Pulau Kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang (Wilayah Barelang).
Penetapan Pulau Batam sebagai daerah Industri tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1978 yang disempurnakan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun
1998. Penyempurnaan fungsi sebagai daerah industri yang diperluas hingga meliputi Wilayah
Barelang ini dimaksudkan untuk menangkap peluang investasi yang lebih besar dan untuk
memperlancar usaha pengembangan industri.
Dampak awal dari adanya kegiatan ini adalah adanya perubahan pendapatan ekonomi
penduduk yang diperoleh dari adanya kawasan industri yang memanfaatkan penduduk lokal.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di satu sisi telah menjadikan keberadaan Batam menjadi
sangat penting oleh karena peranannya sebagai salah satu mesin pertumbuhan bagi
perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi Kota Batam pada tahun
2011 yang mencapai 7,22%, lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauam
Riau dengan persentase 6,67% dan Nasional sebesar 6,49% dengan kontribusi melalui sektor
industri pengolahan (BPS provinsi Kepri, 2013). Kota ini pada awalnya dijadikan sebagai salah
satu kota industri yang mampu menopang seluruh kegiatan industri yang ada di Provinsi
Kepulauan Riau dan memiliki jaringan distribusi yang baik dan saat ini bisa dilihat bahwa setiap
pengembangan wilayah pesisir di Kota Batam lebih dari 50% dikembangkan untuk kegiatan
industri dan hal inilah yang menjadikan pembangunan di Kota Batam berjalan lebih cepat untuk
mendukung adanya kawasan industri tersebut
Sehubungan dengan banyaknya kawasan industri di Kota Batam yang didukung oleh
adanya kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif dan sumbangsih sektor industri terhadap
perkembangan PDRB, maka hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya perubahan terhadap
pendapatan penduduk yang bekerja di sektor industri dan adanya local multiplier effect yang
berupa proses pembangunan fasilitas di wilayah industri yang juga memicu terjadinya
pertumbuhan ekonomi sekitar wilayah tersebut. Misalnya tumbuhnya kegiatan ekonomi untuk
mendukung kegiatan para pekerja, yaitu ruko-ruko dan unit kios serta warung, selain itu
pertumbuhan ekonomi lokal yang tercipta adalah adanya kegiatan perdagangan dan
meningkatnya sektor jasa-jasa yang mendukung kegiatan kawasan industri. Hal ini tentunya yang
menjadi kajian dalam penelitian ini. Adanya kegiatan industri mengakibatkan peningkatan
ekonomi di sekitar lokasi tersebut dan efek-efek lain yang ditimbulkan, seperti akan tercipta juga
titik-titik ekonomi baru.
Artikel ini disusun berdasarkan penelitian mengenai Pengaruh Aktivitas Industri terhadap
Peningkatan Ekonomi Penduduk dan Perkembangan Perdagangan Jasa di Kota Batam. Penelitian
bertujuan untuk menganalisis peningkatan pendapatan penduduk di Kota Batam dengan adanya
aktivitas industri dan melihat tumbuhnya aktivitas perdagangan jasa sebagai ekonomi baru di
sekitar lokasi industri yang mendukung aktivitas kegiatan industri tersebut. Aspek yang dilihat
dari penelitian ini adalah aspek peningkatan ekonomi, aspek perdagangan jasa, dan aspek
kesejahteraan ekonomi.
c. Pendekatan Regional

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DI


WILAYAH SUMATERA

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana pemerintah dan seluruh komponen
masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk membentuk lapangan pekerjaan baru dan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi
pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu keberhasilan dalam pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi.
Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan
pemerataan hasil pembangunan menjadi sasaran yang utama. Namun pada kenyataannya
pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi menyebabkan ketimpangan pembangunan pada
setiap daerah.
Ketimpangan pembangunan seringkali menjadi permasalahan serius dan jika tidak dapat
diatasi secara hati-hati akan menimbulkan krisis yang lebih kompleks seperti masalah
kependudukan, ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan juga dalam konteks makro dapat
merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai suatu wilayah. Wilayah maju terus
meninggalkan wilayah terbelakang serta adanya sektor non unggulan yang membebani.
Di Indonesia sendiri terlihat adanya wilayah yang maju dan yang kurang maju sebagai
akibat dari perbedaan tersebut. Maka disinilah peran pemerintah diperlukan dalam penyelesaian
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan wilayah sehingga ketika pertumbuhan
ekonomi meningkat maka pemerataan wilayah akan meningkat pula.
Di era otonomi daerah sekarang ini, dimana setiap daerah dituntut untuk mengelola
sendiri potensi daerah yang dimilikinya secara tepat sehingga dapat mendorong terjadinya proses
pembangunan dengan tingkat pemerataan yang baik serta pertumbuhan ekonomi yang baik pula.
Dengan demikian ketimpangan pembangunan antara wilayah yang maju dan wilayah yang belum
maju dapat menurun.
Indonesia mempunyai 33 provinsi dan 6 pulau yang salah satunya adalah Pulau
Sumatera. Pulau Sumatera sendiri memiliki 10 provinsi didalamnya dengan potensi alam dan
penggunaan teknologi yang berbeda-beda. Perbedaan ini berupa perbedaan karakteristik alam,
sosial, ekonomi, dan sumber daya alam yang penyebarannya berbeda pada setiap daerah.
Perbedaan seperti ini dapat menjadi penghambat dalam pemerataan pembangunan karena
terkonsentrasinya kegiatan perekonomian di beberapa provinsi yang memiliki sumber daya alam
yang melimpah. Kekayaan alam seperti ini seharusnya dapat menjadi nilai tambah dalam
pembangunan ekonomi dan dapat memberikan efek menyebar (spread effect). Namun pada
kenyataannya kekayaan alam ini tidak dimiliki setiap provinsi secara merata. Hal inilah yang
dapat menyebabkan ketimpangan pada setiap provinsi.
Berkembangnya provinsi-provinsi sejak tahun 2000-an di Pulau Sumatera dan
desentralisasi juga berdampak mendorong ketimpangan antar provinsi menjadi lebih luas. Oleh
karena itu, dengan melihat perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi yang
menyebabkan ketimpangan antar wilayah menjadi tidak merata, maka penelitian ini diharapkan
dapat meninjau seberapa besar ketimpangan pada berbagai provinsi di Pulau Sumatera.

2. Kenapa kasus di atas dikategorikan pendekatan komoditas, aktivitas dan regional?

a. Kasus pertama dikategorikan pendekatan komoditas karena terdapat komoditi


ekonomi yaitu kelapa sawit sebagai komoditas dan terdapat kaitannya dengan iklim
yang mempengaruhi lahan gambut serta konversi lahan sebagai studi geografi
b. Kasus kedua termasuk pendekatan aktivitas karena terdapat akvitas ekonomi berupa
perdagangan dan jasa yang berfokus pada kegiatan industri sehingga berdampak pada
pertumbuhan ekonomi penduduk dan pendapatan penduduk yang merupakan kajian
geografi sosial
c. Kasus ketiga termasuk pendekatan regional dikarenakan terdapat kajian ekonomi
berupa pertumbuhan ekonomi, pengaruh investasi, belanja pemerintah, aglomerasi,
dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut berawal dari
aglomerasi wilayah sumatera yang tidak seimbang sehingga perlu dikaji secara
geografis menggunakan ilmu wilayah

3. Perbedaan antara 3 pendekatan geografi ekonomi


-Pendekatan komoditas: Pada pendekatan komoditas uraiannya mengenai penggunaan,
dan rencana pengembangan serta hubungan dengan kondisi geografis seperti iklim, tanah,
air vegetasi dsb
-Pendekatan aktivitas: Aktivitas ekonomi penduduk menjadi sorotan utama. Peninjauan
aktivitas tersebut dilihat dari persebaran, inetralasinya
-Pendekatan regional: Pada pendekatan regional membahas gejala/masalah dari wilayah
tsb. Pendekatan ini lebih komprehensif dan menjawab 5 W + 1 H

Anda mungkin juga menyukai