Anda di halaman 1dari 12

Tujuan Pembelajaran

1. Mengetahui tentang penyakit reproduksi hewan jantan yang terjadi melalui infeksi

ORCHITIS

Orchitis adalah radang pada testis yang timbul karena adanya infeksi mikroorganisme pada
bagian di sekitar testis seperti keradangan pada skrotum atau saluran urogenital, khususnya
penularan penyakit kelamin menular akibat perkawinan alam dengan hewan betina yang terinfeksi
penyakit kelamin menular tersebut (Anonim A, 2009).
Bentuk orchitis dapat bersifat akut maupun kronis. Kesuburan hewan jantan menjadi
menurun selama fase akut dan menjadi lebih jelek pada fase kronis, khususnya jika kedua testis
meradang. Jika satu testis meradang biasanya hanya testis tersebut yang mengalami degenerasi,
tetapi jika sembuh akan terjadi regenerasi. Penurunan kualitas semen pada hari pertama dan kedua
setelah terjadi infeksi orchitis akut dan akan tetap ada selama fase akut dan fase kronis. Jika kedua
testis mengalami orchitis makapenurunan kualitas semen dapat bersifat permanen.
Etiologi
Penyebab orchitis terbagi menjadi 2, yakni infeksius dan non infeksius. Yang termasuk agen
infeksius pun terbagi menjadi 2, yakni agen infeksi pathogen spesifik dan agen infeksi pathogen
oportunis. Yang termasuk dalam agen pathogen oportunis antara lain : Brucella abortus,
Mycobacterium tuberculosis, Arcanobacterium pyogenes, Haemopillus sp (Andrews, 1992).
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bakteri pathogen oportunis antara lain : Streptococcus
sp, Staphylococcus sp, Eschericia coli (Bagian Reproduksi dan Kebidanan, 2012).

Pathogenesis
1. Patogenesis Orchitis yang disebabkan Brucella abortus
Pada sapi jantan, secara tidak sengaja makan/minum (per oral) tercemar oleh bakteri ini,
termakan oleh sapi dewasa, bakteri ini mulai menginfeksi hewan melalui metabolisme yang
dihasilkannya, tempatnya berada pada jaringan limfoid, kemudian bakteri dibawa ke dalam
makrofag, akibat dari jumlah bakteri ini makin berkembang biak, makrofag tidak dapat
menanganinya, bakteri masuk ke dalam aliran darah (intermitten bakterimia) lalu bakteri ini
berpredileksi pada testis dan epididimis sehingga bakteri dapat ditemukan di semen (Quinn, et
al,2002).

1
2. Patogenesis dari Bovine herpesvirus (BHV-1)
Penularan melalui coitus, mencium, atau menjilati organ genital hewan yang terinfeksi, virus
masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan hematogenous dalam leukosit, beberapa sapi dapat
menjadi carier, infeksi memassuki fase laten pada sel-sel ganglion dari sistem syaraf. Pada keadaan
tertentu misal stress, infeksi laten tersebut akan terjadi kembali. Jadi sepanjang saraf menuju
peripheral, virus akan bermultiplikasi kemudian dieksresikan.

Gejala klinis

Pada kejadian akut pembengkakan dan odema serta rasa sakit pada semua bagian testis,
mungkin juga abses. Secara mikroskopik, saluran epididimis yang terkena, mengandung darah
yang telah rusak, nanah, spermatozoa yang telah mati atau reruntuhan sel-sel epitel. Dinding
epididimis infiltrasi sel radang, sering juga terjadi pertumbuhan jaringan ikat. Pada perlukaan yang
sudah lanjut sering ditemukan adanya reaksi tuberkuloid dan sisa keradangan pada saluran tersebut.
Pada domba, kejadian ini sangat sering yang biasanya disebabkan oleh Brucella ovis yang
berpredileksi di kauda epididimis (Hardjopranjoto, 1995).

Diagnosa

Diagnosa dapat dilakukan berdasarkan perubahan bentuk, konsistensi, pergerakan testis


didalam skrotum dan mungkin juga suhu, pemeriksaan serologis dan semen secara mikroskopis
(Hardjopranjoto, 1995).

Perubahan patologis
Pada sapi terdapat tiga tigkatan derajat orchitis :
1. Orchitis Intra tubuler
Secara makroskopik, pada sayatan testis yang menderita orchitis intratubuler, terlihat
bintik-bintik putih kekuningan. Secara histologis terlihat sisa-sisa tubulus seminiferus pada
daerah yang terkena radang. Sel-sel epitel tubulus seminiferus menjadi rusak dan digantikan
oleh sejumlah besar sel-sel radang di bagian tengahnya. Di bagian tepi tubulus seminiferus,
juga banyak terdapat sel-sel raksasa (giant cell). Membrana basalis dari tubulus menjadi tidak
jelas atau hilang dan terjadi akumulasi sel-sel radang (Hardjopranjoto, 1995).
2. Orchitis interstisialis
Secara histologis terjadi infiltrasi sel radang di antara tubulus seminiferus. Akhirnya
tubulus saling menjauh dipisahkan oleh jaringan tenunan pengikat dan testis yang terkena

2
konsistensinya akan lebih kenyal. Akibat dari hal ini adalah ketidakmampuan sel-sel leydig
dalam menghasilkan hormone testosterone dan akan bermanifestasi secara langsung dalam
penurunan libido (Hardjopranjoto, 1995).

3. Orchitis Nekrotik
Bersifat spesifik khususnya pada testis yang menderita brucellosis, tetapi dapat pula
berasal dari testis kerena infeksi lain. Testis yang menderita infeksi mengalami nekrotik
seluruhnya atau sebagian saja, pada irisan melintang, testis terlihat daerah yang mengalami
nekrosis tampak kering, berwarna kuning, dan terdapat lapisan tipis yang sedikit mengalami
pengapuran (Hardjopranjoto, 1995)..

Pengendalian

Perlu adanya pengawasan baik hal dalam perkawinan, program vaksinasi, dan factor –
factor manifestasi yang mungkin dapat menimbulkan penyakit ini.
Pada domba untuk pengobatan belum diketahui untuk Brucella ovis yang manifestasinya
pada epididimis, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan dengan pengawasan yang baik,
atau dengan program vaksinasi yang teratur. Pada sapi, pengobatan dilakukan berdasar
mikroorganisme penyebabnya, atau dapat pula diobati dengan khloromisetin atau aureomisin
dan dengan istirahat kelamin sampai radangnya sembuh (Hardjopranjoto, 1995).

BVD DISEASE
Penyakit ini disebabkan oleh simple virus yang menyebabkan diare. BVD pertama kali
ditemukan sebagai penyebab aborsi pada ternak (Arthur, 2001). Virus BVD/MD adalah virus
yang menginfeksi sapi maupun biri-biri. Virus ini merupakan RNA virus kecil beramplop yang
diklasifikasikan sebagai Pestiviruses. Ada dua spesies berbeda dari virus BVD/MD yang telah
ditemukan; BVD-1 dan BVD-2. BVD-1 terdistribusi di seluruh dunia dan memiliki subspesies
yang beragam. BVD-2 telah dilaporkan ditemukan di Eropa, walaupun sangat jarang
ditemukan di luar Amerika Utara. Penyakit yang disebabkan oleh BVD-1 cenderung tidak
parah, sedangkan infeksi BVD-2 biasanya menyebabkan outbreaks penyakit yang lebih parah
menyebabkan diare haemorhagic akut serta kematian. Virus ini masuk tubuh hewan via rute
oronasal. (Quinn, 2002).

Pathogenesis

3
Virus masuk melaui oronasal dan bereplikasi pada mukosa oronasal. Saat terjadi viremia,
virus tersebar keseluruh tubuh secara bebas di serum atau bersatu dengan leukosit. Limfosit B
dan T mengalami penurunan. Karena virus ini bersifat imunosupresif, infeksi dapat
menyebabkan gangguan pernafasan dan pencernaan (Quinn, 2002).

Gejala klinis
Pada kejadian akut penyakit akan diikuti tanda- tanda klinis yang berlangsung selama 1-
2 minggu dengan gejala naiknya suhu tubuh, turunnya leukosit dan diare. Pada sapi perah,
produksi susu menurun cepat karen hilangnya nafsu makan. Dari hidung dan mulut keluar
cairan. Terdapat lepuh- lepuh dan nekrosa pada mukosa mulut dan saluran pencernaan.
Pada kejadian kronis, tanda yang muncul saat akut berkurang dan penyakit berjalan
lama, diare dapat berlangsung selama 2- 6 bulan, namun kematian sangat jarang terjadi. Bull
akan mengekskresikan virus pada semennya pada infeksi spontan, persisten maupun kronis.
Virus bereplikasi terutama pada vesikula seminalis dan prostat, sehingga dapat menimbulkan
keradangan.
Pada keadaan prostatitis akut, diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik
langsung pada skrotum, mengetahui radang pada testis atau epididimis. Pada palpasi rektal,
teraba prostat membengkak. Pemeriksaan laboratorium erupa urinalysis, untuk melihat sel
darah putih dan bakteri penyebab. Urin dapat juga digunakan untuk identifikasi bakteri yang
berguna dalam pemberian terapi antibiotic yang tepat. Pada keadaan kronis, diagnosis
dilakukan dengan melihat adanya abnormalitas urinalysis. Terkadang cairan prostat dapat
ditemukan dalam urin. Pemeriksaan darah PSA (prostate surface antigen) dapat dilakukan
untuk membedakan dengan kanker.
Seminal vesikulitis kronis ditandai dengan terdapat pengecilan kelenjar, konsistensinya
lebih kenyal karena adanya pertumbuhan jaringan ikat yang berlebihan, batas-batas lobus
menghilang, terbentuk kista berongga yang dilapisis selaput halus keputihan. Seminal
vesikulitis akut ditandai dengan pembesaran kelenjar dan ada rasa sakit bila ditekan, kondisi
kelenjar menjadi sedikit kenyal. Komplikasi yang mungkin terjadi pada seminal vesikulitis
adalah adanya abses yang dapat menjalar ke jaringan sekitarnya, perlekatan dan pembentukan
fistula yang menembus rectum dan kandung kemih. Pancaran semen mengandung gumpalan
nanah sehingga berwarna kuning kehijauan.

4
Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas gejala klinis, isolasi virus, pengujian serologis dan hasil
pemeriksaan pasca mati. Pengambilan Specimen / Laboratorium Bahan yang diambil
untuk pemeriksaan laboratorium adalah :
1. Darah, air seni, lendir dari hidung dan mulut
2. Nekropsi jaringan limpa, sumsum tulang belakang
3. Untuk isolasi virus diambil sample darah yang dimasukan dalan antikoagulan
(Bearden, 2004).

Terapi dan Pencegahan


1. Pengobatan yang tepat untuk penyakit ini belum ada, namun dapat dicoba dengan
pemberian astringensia ditambah dengan calsium borogluconas 500cc yang diberikan
secara IV selama 2- 3 hari yang akan memperkuat resistensi adn meningkatkan daya
tahan tubuh (Hardjopranjoto, 1995).
2. Untuk mencegah infeksi sekunder, dapat digunakan antibiotika yang disertai
pemberian makan yang bergizi (konsentrat).
3. Untuk mengganti cairan tubuh yang keluar karena diare dapat diberikan larutan oralit
( larutan gula yang diberi sedikat garam).

4. Pencegahan dapat dilakukan dengan:


a. Mencegah penyebaran dari hewan yang terinfeksi
i. Hanya membawa masuk hewan-hewan dari peternakan yang tidak
terinfeksi BVD.
ii. Penanganan Pemotongan Hewan dan daging: Hewan yang sakit boleh
dipotong dengan pengawasan dokter hewan, Hewan yang dipotong karena
DGS, dagingnya dapat dikonsumsi setelah mengalami pelayuan selama 12
jam
iii. Hanya membawa hewan dari peternakan yang punya program vaksinasi
yang efektif.
iv. Menghindari pembelian hewan-hewan dari kandang –kandang penjualan.
v. Pengujian hewan baru untuk infeksi persisten.
vi. Pengisolasian hewan baru selama ± 30 hari sebelum diijinkan untuk kontak
dengan ternak di dalam peternakan.
b. Meningkatkan keresistenan dari peternakan terhadap BVD dengan cara:
5
i. Memberi vaksin secara langsung oleh dokter hewan dan label produknya.
ii. Ternak/ sapi yang aru lahir diberi mengkonsumsi kolostrum secara
maksimum.
iii. Kurangi stress pada sapi yang bisa disebabkan oleh penyakit-penyakit lain,
kekurangan nutrisi, ketidaknyamanan tempat tinggalnya dan kualitas air
yang jelek.
c. Mengurangi penyebaran BVD
i. Cegah kontaminasi pupuk kandang terhadap bulu, makanan dan air.
ii. Tempat tinggal anak sapi dibuat sendiri-sendiri.
iii. Isolasi hewan sakit.
iv. Vaksinasi untuk BV merupakan komponen penting dari sebuah program
pencegahan BVD.

EPIDIDIMITIS
Etiologi

Pada sapi penyebabnya hampir sama dengan orkhitis, seperti Pseudomonas aeroginosa atau
E.coli. Selain itu, fibrosis, periorchitis, dan perlangketan tunica vaginalis yang meluas dan
keradangan korda spermatica dapat menyebabkan epididimitis (Hardjopranoto, 1995).

Patogenesis

Pada domba/ kambing jantan => secara tidak sengaja makan / pakan , minum tercemar oleh
Brucella ovis dan termakan oleh hewan dewasa => bakteri ini mulai menginfeksi hewan jantan
melalui metabolisme yang dihasilkannya => tempatnya berada di jaringan Limfoid => kemudian
bakteri di bawa ke dalam makrofag, akibat dari bakteri ini yang makin berkembang biak, makrofag
tidak dapat menanganinya => masuk ke dalam aliran darah (intermitten bakterimia) => bakteri ini
paling bnayak berpredileksi pada organ reproduksi yaitu testis dan epididimis => sehingga
menyebabkan kambing infertile ( Quinn, 2002).

Gejala Klinis

Pada kejadian akut: terdapat pembengkakan dan udema serta rasa sakit pada semua bagian
dari epididymis mungkin dapat juga diikuti abses. Dalam hal ini harus dibedakan antara akumulasi
nanah dan semen berdasarkan warna dan konsisitensi dari cairan yang ada di dalamnya. Secara

6
mikroskopis, saluran epididymis yang terkena mengandung darah yang rusak, nanah, spermatozoa
yang telah mati atau reruntuhan sel epitel.

Pada kejadian kronis: terjadi indurasi dan pembengkakan kauda epididymis kemudian mengeras
dan mengkerut sehingga bentuknya jadi tidak teratur.

a. Perubahan Patologi

Secara mikroskopik, saluran


epididimis yang terkena
mengandung darah yang telah
rusak, nanah, spermatozoa yang
telah mati atau reruntuhan sel-
selepitel. Dinding epidimis di
infiltrasi sel radang, sering juga
teerjadi pertumbuhan jaringan
ikat. Pada perlukaan yang sudah
lanjut sering ditemukan adanya
reaksi tubercoid dan sisa keradangan pada saluran tersebut (Hardjopranoto,
1995).

Diagnosis

Diagnosis epididimis menurut Arthur (1989) :

- Gejala klinis
- Palpasi pada bagian belakang testis
- Pemeriksaan bakteri dalam semen
- Serologi melalui uji pengikatan komplemen (CFT)

Pada beberapa kasus, epididymitis berakibat tidak baik, karena sering terjadi penyumbatan
lumen dan menghambat perjalanan spermatozoa dari testis ke vas deferens. Bila penyumbatan ini
terjadi pada kedua epididymis (bilateral), dapat mengakibatkan kemajiran yang tetap. Namun, bila
penyumbatan hanya terjadi satu epididymis (unilateral), hanya dapat menimbulkan penurunan
kesuburan pejantan yang bersangkutan.

7
Terapi

Pengobatan yang tepat belum diketahui untuk Brucella ovis yang manifestasinya pada
epididymis domba, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan dan pengawasan yang baik atau
dengan program vaksinasi yang teratur. Pada sapi pengobatan epididymitis tergantung kepada
mikroorganisme penyebabnya, atau dapat pula diobati seperti pengobatan pada oorkhitis.

AMPULITIS
Ampulitis yaitu radang yang terjadi pada bagian ampula dari saluran vas deferens, keadaan
ini umumnya berhubungan dengan orkhitis, epididimis atau seminal vesikulitis. Meskipun kasus ini
jarang terjadi, diketahui mikroorganisme penyebabnya adalah Brucella, Streptococcus, C.
pyogenes, Pseudomonas aeroginosa. Pada perabaan melalui rectal terdapat penebalan pada bagian
ampula dan ada rasa sakit bila ditekan. Didapatkan adanya leukosit dan mikroorganisme
penyebabnya pada pemeriksaan sperma dengan motilitas yang sangat rendah, pada ejakulat sering
ditemukan adanya nanah. Sesaat setelah koleksi semen kualitas motilitas sperma tergolong bagus,
akan tetapi kemudian dalam waktu yang singkat menghilang motilitasnya.

Etiologi

Suatu peradangan pada vas deferens, khususnya pada bagian ampula ysng disebut ampulitis.
Keadaan ini biasanya berhibungan dengan orchitis, epididimitis, atau seminal vesikulitis. Penyakit
ini jarang terjadi, pada kuda dan sapi ampulitis dapat disebabkan oleh Sterptococcus sp,
Corynebacterium piogenes, Brucella,radang ini dapat terjadi unilateral bisa juga terjadi bilateral
(Hardjopranoto, 1995).

Diagnosa

Pada perabaan melalui perektal ada terasa penebalan dinding ampula dan ada rasa sakit bila
ditekan. Pada pemeriksaan air manoi dijumpai adnya gumpalan nanah dan motilitas semen menjadi
sangat rendah, awalnya kualitas baik tetapi akan segara non motil setelah koleksi (Hardjopranoto,
1995).

Pengendalian

Pemberian antibiotika atau obat lain sesuai dengan agen penyebabnya (Hardjopranoto, 1995).

INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)

Etiologi

8
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat
reproduksi ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan
gejala demam tinggi 40,5-42 °C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung,
hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi, 2003).
Bovine Herpes Virus 1 (BHV-1) adalah sebuah virus yang memiliki komponen
DNA yang dikelompokkan kedalam α-herpes virus. Penyakit ini dihubungkan dengan
multiple syndrome. Penyakit dari sapi yang didalamnya termasuk Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR), konjunctivitis, Infectious Pustular Vulvovaginitis, balanopostitis,
Abortion, Encephalomyelitis dan mastitis. Meskipun hanya satu serotype dari BHV-1,
tetapi ada tiga tipe dari pembelahan endonuklease restriksi. Ketiga tipe tersebut adalah:
BHV 1.1 (infeksi respirasi), BHV-1.2 (infeksi genital dan respirasi), BHV-1.3 (infeksi
syaraf). BHV-1.3 telah diklasifikasikan sebagai herpes virus yang berbeda dan ditunjuk
sebagai bovine herpes virus tipe 5. Karakteristik dari respirasi. Bentuk pernapasannya
digolongkan dengan rhinitis, tracheitis, phyrexia, dan yang mengacu kepada IBR.
(Kurniadhi, 2003).
Patogenesis
Infeksi dari bovine rinotrcheitis jarang terjadi secara fatal pada ternak yang dewasa
kecuali jika itu terjadi selama periode dari beberapa stress atau komplikasi infeksi
sekunder dari bakteri pneumonia. Pemeriksaan postmertum mengungkapkan kongesti dari
mukosa trakea dengan ptechial dan ecchymotic hemoragic dan beberapa
bronkopneumoni. Biasanya lesi radang diinduksi oleh BHV-1 tidak memperpanjang
kedalam saluran udara sampai paru-paru. Lesi pustular dapat diamati. Meskipun tidak
patognomonik, observasi dari lesi pustular bergabung menjadi bentuk lesi nekrotik
adherent pada pernafasan, ocular, dan mukosa saluran reproduksi mungkin bermanfaat
untuk peneguhan diagnose. Konjungtivitis mungkin juga terjadi. Meskipun benda inklusi
intra nuclear tampak pada infeksi herpes virus, mereka tidak umum terjadi dari
gambaran histology BHV-1. (Smith,2002)
Gejala klinis
Tanda-tanda klinis sangat beragam dan berkisar dari ringan sampai bera, tergantung pada
infeksi sekunder bakteri pneumonia. Faktor genetic juga berpengaruh penting dalam
menentukan infeksi BHV-1 yang beragam, lebih spesifik pada genotip interferon tipe satu.
Tanda-tanda klinis yang lain termasuk didalamnya adalah: Phyrexia, Anorexia, Produksi susu

9
yang turun, meningkatnya angka respirasi, derajat ringan dari hiperexitabilitas, Ptialism,
batuk, Leleran dari hidung dari serous ke mukopurulent.
Infeksi BHV-1 dapat berkembang dengan baik dengan adanya infeksi sekunder
bakteri pneumonia. Dispnoe mempunyai karakteristik bernapas dengan mulut terbuka yang
mungkin tampak jika larynx atau trachea menjadi terghalang dengan material
mukopurulent. Auskultasi pada paru-paru terlihat adanya kenaikan suara pernapasan yang
mengacu pada suara tracheal (tracheal sound). Beberapa hyperemia dan memerah pada
ujung moncong yang pada umumnya dinamakan sebagai “Red Nose”. Pustula bisa
berkembang pada mukosa hidung dan kemudian berbentuk plak diphteric. Konjunctivitis
dengan leleran mata yang berlebihan bisa terjadi. Konjunctivitis dengan kornea opak dapat
terjadi jika manifestasi prinsip dari infeksi BHV-1 dan mungkin menjadi kesalahan diagnose
pada infeksi bovine keratoconjuctivitis atau Pink eye. Aborsi mungkin terjadi bersamaan
dengan penyakit respirasi, tetapi ini dapat terjadi setela 100 hari masa infeksi. Aborsi
dapat terjadi di ternak yang memiliki penyakit respirasi yang serius. (Sudarisman, 2003)
Diagnosa
Infeksi BHV-1 yang tidak lengkap dapat didiagnosa dari tanda-tanda karakteristik
dan lesinya. Namun demikian, karena beragamnya dari penyakit dapat berubah, yang
paling baik untuk membedakan BHV-1 dari infeksi virus yang lain dengan isolasi virus.
Sample seharusnya dapat mengakibatkan penyakit lebih awal, dan diagnose seharusnya
menjadi mungkin di hari 2-3. Kenaikan di serum titer antibody dan juga dipakai untuk
menegaskan diagnose, meskipun sampel tunggal, bahkan jika itu memiliki titer yang lebih
tinggi, adalah dari nilai yang kecil. Itu tidak mungkin untuk mengenali kenaikan titer
antibody pada aborsion, karena infeksi pada umumnya terjadi pada waktu yang sangat
panjang sebelum aborsion, dan titer sudah maksimal. BHV-1 aborsion dapat di diagnose
dengan mengenali karakteristik lesi dan mempertunjukkan virus itu pada jaringan fetal dengan
isolasi virus dan fluorescent antibody. Lesi besar dan mikroskopiknya terdeteksi secara
singkat setelah mati, dapat untuk meneguhkan diagnose. (Sudarisman, 2003)
Pencegahan dan pengobatan
1. Pencegahan
Masa inkubasinya adalah 4-6 hari, tetapi pada infeksi buatan masa ini lebih
pendek. Penyakit ini bermanifestasi dalam 3 bentuk : 1) Bentuk respirasi, 2) Bentuk alan
kelamin dan 3) Bentuk konjunktivitis. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan awal
terhadap sapi-sapi impor dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta

10
perlu benar-benar bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR. Sedangkan
pengobatan penderita IBR umumnya hanya bersifat simptomatik (Anonimous, 2008).
Sudarisman (2007) mengemukakan bahwa keberhasilan pengawasan penyakit pada
lembaga-lembaga pembibitan ternak akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan
seperti berikut:
a. Menghindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan. Memisahkan
hewan yang serologik positif dan yang negatif. Hambat impor hewan yang
serologik positif, embrio dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1
untuk tujuan pembibitan ternak ataupun program inseminasi buatan.
b. Mempertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, melakukan uji serologik
dan isolasi virus dua kali setahun pada ternak-ternak yang ada pada pusat
pembibitan dan pusat inseminasi buatan terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan
hewan yang positif BHV-1 berdasarkan isolasi virus dan kelompok hewan yang
serologik positif dapat dilakukan vaksinasi, terutama dengan vaksin yang mati
guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggunaan vaksin hidup.
Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok
hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat.
c. Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologic positif terhadap BHV-1 pada Balai
Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen
beku yang dihasilkan. Reputasi BIB sangat tergantung dari bebasnya pejantan
dari penyakit menular
2. Pengobatan
Bentuk respiratori IBR seharusnya dapat diatasi dengan antibiotic berspektrum
luas, chloromycetin, teramicyne, aureomycin, dengan 2 mg sampai 5 mg/lb. ini tidak
diharapkan pada beberapa efek dari virus, tapi mereka akan mengontrol infeksi
sekunder. Enzyme proteolitik seharusnya dapat diberikan pada doses penuh dimana
disana terjadi nekrose pada saluran nafas. Perawatan secara hati-hati sangatlah penting.
(Sudarisman,2007)

11
DAFTAR PUSTAKA

Anonim A. 2009. www.vet-klinik.com/Peternakan/Brucellosis-pada-sapi.html

Anonim B. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis pada Sapi
dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.

Arthur, GH. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetrics 8th ed. WB Saunders Company, London

Bearden, HJ; John, WF; Scott, TW. 2004. Applied Animal Reproduction 6th ed. Pearson Prentice
Hall, New Jersey

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Universitas AirLangga Press. Surabaya.

Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk Menumbuhkan
Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor

Quinn, PJ; Markey, BK; Carter, ME; Donnelly, WJ; Leonard, FC. 2002. Veterinary Microbiology
and Microbial Disease. Blackwell Science, Dublin

Smith, Bradford P. 2002. Large Animal Internal Medicine Third Edition. Mosby: St. Louis.
Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga
Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.

Sudarisman 2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada
Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007

12

Anda mungkin juga menyukai