Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH SASTRA INDONESIA

ANGKATAN 50

DISUSUN :

LISMA FITRI YANTI

Dosen Pembimbing :

RINI WIRASTI B, S.S.,M.Pd

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga

makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah

untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sejarah Sastra yang diberikan oleh dosen kami Ibu

Rini Wirasti B, S.S.,M.Pd.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun

menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih

banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................... 2

C. Tujuan........................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3

A. Krisis sastra pada periode 1950................................................................................ 3

B. Sastrawan pada priode 1950...................................................................................... 5

C. Karya penting pada periode 1950............................................................................. 1O

BAB III PENUTUP....................................................................................... 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 12

B. Saran............................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1950-an, ada orang yang mengatakan bahwa ada krisis kesusastraan.

Namun, ada juga orang yang mengatakan bahwa tidak ada krisis kesusastraan.

Orang tidak akan mengatakan ada yang tidak dilihatnya ada, atau yang menurut

anggapannya tak ada. Adanya kebenaran pada kedua pihak yang bertentangan

dengan itu, ternyata pula dari bukti- bukti yang masing-masing dapat

dikemukakan. Dalam angkatan ‘50-an terdapat banyak perbedaan pendapat dari

tokoh-tokoh angkatan itu. Perbedaan pandangan, prinsip, bahkan ada atau

tidaknya krisis kesusastraan pada saat itu perlu ditemukan dan dibahas kembali.

Perkembangan sastra Indonesia periode 1953-1961 adalah Masa Perkembangan,

menurut Ajip Rosidi. Olehnya, pembabakan ini digunakan istilah “periode” dan

bukan “angkatan” karena terdapat kekacauan dalam penggunaan istilah

“angkatan”. Dalam periode 1953-1961 terdapat beberapa gejolak sastra yang

salah satu di antaranya merupakan istilah atau sebutan “Angkatan Terbaru” pada

masa itu.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah:

1. Bagaimana krisis sastra Indonesia?

2. Apa perbedaaan krisis sastra Indonesia?

3. Siapa sastrawan pada periode 1950?

4. Apa karya penting sastra pada priode 1950?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui krisis sastra Indonesia

2. Untuk mengetahui perbedaan krisis sastra indonesia

3. Untuk mengetahui sastrawan Indonesia pada periode 1950

4. Untuk mengetahui karya penting sastra periode 1950

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.KRISIS SASTRA PADA PERIODE 1950

Lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka mulai kehilangan

vitalitasnya setelah Chairil Anwar meninggal dunia. Dua orang, Asrul Sani dan

Rivai Apin, yang diharapkan dapat melanjutkan kepeloporan Chairil Anwar justru

menjadi pasif dalam berkarya.

Pada saat itu pula, situasi nasional memburuk. Banyak pemimpin yang mulai

kehilangan semangat mengisi kemerdekaan. Keberanian untuk korupsi dan

manipulasi mulai mengotori pikiran dan tindakan para pemimpin. Kepentingan

golongan pun mulai ditonjolkan.

Pada April  1952 diselenggarakan sebuah simposium tentang “kesulitan-kesulitan

zaman peralihan sekarang” di Jakarta. Simposium ini diselenggarakan oleh

golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club

Indonesia dan Pujangga Baru. Beberapa di antara pembicaranya adalah Sutan

Takdir Alisjahbana, M. Said, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet

Iman Santoso, dan St. Sjahrir. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “krisis

akhlak”, dan “krisis ekonomi”.

3
Pada tahun berikutnya, 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposium

tentang kesusastraan Indonesia. Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Prof.

Dr. Wertheim bebicara pada simposium itu. Di sinilah untuk pertama kali

dibicarakan “impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat

dari gagalnya revolusi Indonesia”. Persoalan tentang krisis pun semakin ramai

dibicarakan ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954.

Soedjatmoko menulis sebuah esai yang berjudul “Mengapa Konfrontasi” dan

dimuat di majalah tersebut. Dalam esainya ia melihat tanda-tanda bahwa krisis

dalam sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia juga berkata

bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen

kecil, sedangkan roman-roman besar tiada ditulis.

Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh secara tandas menolak

penamaan “krisis sastra”. Bagi mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan

subur. Begitu juga H.B. Jassin mengemukakan sebuah prasaran berjudul

“Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis” dalam simposium sastra pada

Desember 1954. Jassin tidak setuju dengan sebutan impasse dalam kehidupan

sastra Indonesia.

Sitor Situmorang pun berpendapat bahwa sastra Indonesia bukan mengalami

krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Pendapat itu ia kemukakan

dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis H.B. Jasssin” di majalah Mimbar

Indonesia pada 1955. Sitor menganggap krisis dalam  diri H.B. Jassin karena

ukurannya tidak matang. Pada masa ini pula banyak pengarang yang meragukan

kualitas penilaian H.B. Jassin. Hal tersebut sangat terlihat dari beberapa penolakan

4
hadiah dari penerima hadiah yang diberikan oleh majalah Sastra yang saat itu

H.B. Jassin sebagai juri pemberian hadiah. Mereka, di antaranya adalah Motinggo

Boesje dan Virga Belan, melakukan penolakan atas hadiah yang diberikan

oleh Sastra.

Penolakan itu mereka sampaikan dengan surat yang ditujukan kepada ketua

redaksi Sastra, H.B. Jassin. Motinggo Boesje yang kala itu menjadi pemenang

kedua untuk jenis cerpen mengatakan H.B. Jassin secara sadar atau tidak sadar

memberikan hadiah seperti orang pulang dari rumah judi dalam keadaan

mengantuk. Boesje juga berkata bahwa penolakan itu merupakan isyarat agar

Jassin bangun dari “kantuknya”, terutama adar sastra Indonesia, sastrawan

Indonesia, para sarjana kaum intelektual sastra bangun dari kantuknya untuk

melihat kenyataan dan hari depan sastra Indonesia pada tujuaannya.

B. SASTRAWAN PADA PERIODE 1950

Iwan Simatupang menunjukkan tren baru dan membawa udara baru bagi

dunia sastra, dengan memperlihatkan corak yang unik dengan pemikiran yang

bernas dan orisinal. Warta Harian edisi 5 Agustus 1970 menulis ‘Pribadinya

penuh idealisme bahkan optimisme, tetapi dalam hidupnya sering menunjukkan

paradoks dengan jalan pemikirannya sendiri.”

Iwan Simatupang gagal menjadi dokter dan tidak jadi rahib juga, walaupun dia

pintar dan jenius, itu menjadi inspirasi dan dituangkan ke novel Merahnya Merah.

Pada Juni 1953 dilaksanakan simposium di Amsterdam tentang kemunduran,

impas, krisis dalam seni dan kesusastraan. Berbeda dengan eksistensi Pramoedya

5
Ananta Toer yang sedang meningkat dengan penerbitan buku-bukunya.karyanya

mendapat hadiah pertama sayembara yang diadakan Balai Pustaka, Dia jang

Menjerah, yang diterbitkan ole Pustaka Rakyat, Pertjikan Revolusi, Gapura.

Aris Siswo adalah pengarang cerita pendek yang pandai menggunakan

peristilahan-peristilahan dari dunia penerbangan (Majalah Kisah 1954), selain

istilah-istilah ilmiah juga banyak istilah musik, seni lukis dan lain-lain. Banyak

pula metafor baru dibentuk dari peristilahan cabang-cabang kesenian tersebut.

Pada tahun ‘50-an, filsafat barat dan timur berpengaruh pada kebudayaan

Indonesia baru. Keduanya membentuk pandangan hidup yang diperlukan

manusia. Ini disebabkan oleh keterbukaan dan kesempatan yang diberikan kepada

keduanya untuk berkembang di Indonesia. Kedua filsafat menyebabkan

pendangkalan, yaitu tidak adanya hubungan dengan Tuhan, hingga kesusastraan

hanya berupa lukisan manusia sebagai manusia.

Dalam karangannya “Ke Mana Arah Perkembangan Puisi Indonesia”

dalam Bahasa dan Budaya Th.II Nomor2, Desember 1953, Slametmuljono

menganggap dengan positif filsafat eksistensialisme yang mempengaruhi

kesusastraan Indonesia satu bahaya. Kata Slametmuljono, filsafat ekstensialisme

memutuskan hubungan manusia denga Tuhan, yang berakibatny adalah

kedangkalan hidup.

Rosihan Anwar dalam tajukrencana Pedoman 7 Desember 1954 mengatakan

bahwa H.B Jassin ‘memujikan pengarang-pengarang baru yang banyak memberi

harapan’ dan ‘menarik batas pemisah antara pengarang-pengarang baru itu dengan

angkatan pengarang sebelumnya’.

6
H.B. Jassin menyatakan bahwa Nugroho yang menerangkan pembagian 45-50 dan

50-54 dalam majalah Kompas. Dinyatakan bahwa tahun 50-51-52 diduga

dimaksudkan oleh simposium di Amsterdam  ditandai oleh krisis, tahun-tahun

yang dimaksudkan melahirkan hasil-hasil, juga tahun-tahun sesudahnya, baik

yang berupa buku maupun yang termuat di majalah-majalah. H.B. Jassin tidak

membandingkan tahun-tahun sesudah 50 dan sebelum 50, satu hal yang

disesalkan oleh Beb Vuyk. Rosihan mengatakan ‘alangkah tepatnya peralihan dari

satu angkatan ke angkatan berikut’, seolah H.B. Jassinlah yang menentukan

angkatan. Angkatan maupun pengarang perseorangan menyatakan dirinya sendiri

dan jika terjadi demikian, ia akan menyatakannya.

Rosihan menunjukkan adanya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat karena

masyarakat baru sampai pada kulitnya saja dari Barat, belum sampai pada intinya

dan menjadikannya darah daging milik masyarakat sendiri. Ketegangan-

ketegangan itulah menurut Rosihan yang disebut juga krisis, ‘krisis yang terdapat

di segala lapangan, termasuk juga krisis di lapangan kesusastraan.’

Mengenai kuantitas pada umumnya orang-orang berpendapat sama bahwa ada

kegiatan tahun-tahun 1950 dan sesudahnya, kecuali Beb Vuyk dalam Indonesia

Raya pada tahun 1954, menyatakan bahwa yang hendak menindaknya dengan

mengatakan bahwa karangan-karangan Pramoedya yang dikemukakan H.B. Jassin

sebelumnya, begitu juga karangan-karangan pengarang lain yang terbit di masa itu

menurut Beb Vuyk ditulis sebelum 1950. Dengan demikian, Beb Vuyk hendak

mengatakan bahwa tahun 50-51-52 memang tahun-tahun yang kosong sama

sekali. Dia adakan perbedaan antara tahun terbit suatu buku dan kapan selesainya

7
ditulis oleh pengarang, dan jika dia hendak lebih teliti lagi dia dapat adakan

perbedaan pula mengenai kapan bermainnya cerita, apakah bermain di masa

revolusi, di waktu Jepang atau di zaman kolonial dan misalnya hanya menghitung

apa yang bermain di masa revolusi.

Menurut Beb Vujk : dengan memakai hasil-hasil Pramoedya Ananta Toer, Jassin

mencoba membuktikan bahwa tidak ada krisis kesusastraan. Dalam tahun 1949

diterbitkan tidak kurang dari 7 hasil-hasil karangannya, satu produksi yang hebat

dan dapat dimengerti sebagai reaksi seorang seiman terhadap revolusi dan perang.

Beberapa bulan sebelum penyerahan kedaulatan, Pram dibebaskan dan ketika itu

selesai manuskrip-manuskrip beberapa novel dan dalam bulan-bulan kemudian

dia menulis seakan ada satu ‘demam penciptaan’.

Dalam karangannya “Krisis H.B. Jassin”, dimuat dalam Mimbar Indonesia Th. IX

No.2-3, 15 Januari 1955, Sitor Situmorang berpendapat bahwa krisis kesusastraan

tidak ada dan tidak pernah ada, hanya yang ada ialah krisis ukuran. Sitor

memberikan karakterisasi tentang H.B. Jassin sebagai kritikus dan bagi H.B.

Jassin agak sukar untuk membicarakan dirinya sendiri. Perbedaan H.B. Jassin

dengan Sitor cukup jelas, di mana ukuran Sitor adalah ukuran seniman dan seni,

berdasarkan pula satu pandangan hidup tertentu, sedang bagi H.B. Jassin tidak

hanya nilai seni yang dicari tetapi banyak lagi analisis-analisis lain yang

menentukan nilai. Selain itu, ukuran seni pun tidak hanya satu dan ditinjau seperti

ini terus-meerus ada krisis ukuran dari sudut salah satu aliran yang hanya

mengakui ukuran sendiri.

8
Tahun 1959 buku Muhammad Ali berjudul Hitam atas Putih  sesudah naskahnya

yang pertama dikirimkan tujuh tahun sebelumnya kepada Balai Pustaka.

Salah satu penerbit yang mencoba menerbitkan buku-buku bernilai sastra ialah

N.V. Nusantara, berkedudukan di Bukittinggi-Jakarta-Medan. Tahun 1956 terbit

dari penerbit ini dalam “Seri Denai” Robohnya Surau Kami karangan A.A. Navis

dan Dua Dunia Nh Dini. Namun usaha tersebut patah di tengah jalan.

Trisnojuwono memberikan harapan-harapan baik dengan bukunya Laki-laki dan

Mesiu juga menyodorkan kumpulan Angin Laut yang jauh di bawah nilai pada

masyarakat yang mulai mengaguminya. Keduanya terbit pada Pembangunan

berantara satu tahunm yang pertama terbit tahun 1957 dab yang ekdua tahun

1958.

Rijono Pratikto tertarik pada kesusastraan tatkala muncul karangan-karangan

Idrus dan tidaklah mengherankan jika karangan-karangannya yang pertama

banyak dipengaruhi oleh Idrus. Cerita Rijono yang pertama berjudul “Api” pada

Januari 1949, dimuat dalam Mimbar Indonesia. Saat Belanda baru melancarkan

aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 yang dihentikan oleh

Dewan Keamanan dan suasana antara Belanda dan Indonesia. Seperti Chairil

Anwar dalam Krawang-Bekasi, Rijono mengidentifikasikan diri dengan roh orang

yang mati.

9
C. KARYA PENTING PADA PERIODE 1950

1. Kumpulan cerpen Dua Dunia (1956) karya NH Dini Kumpulan cerpen ini berisi

tujuh judul. Sebagian besar tokoh utamanya adalah perempuan dan diceritakan

melalui sudut pandang perempuan. Nama Dua Dunia diambil dari salah satu judul

dalam cerpen. Cerpen tersebut mengisahkan tentang Iswati, seorang perempuan

yang memperjuangkan hak asuh atas anaknya. Ia bercerai dan hukum saat itu

mendiskriminasi kaum perempuan. Iswati ingin tinggal bersama anaknya.

2. Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)

Bumi manusia termasuk dalam kategori tetralogi pulau buru yang ditulis Pram

pada sekitar tahun 1980an diterbitkan oleh Hasta Mitra. Buku ini ditulis saat ini

ditahan di pulau Buru. Buku ini menceritakan tentang perjalanan tokoh utama

bernama Minke. Minke merupakan seorang pribumi yang pandai dan sangat

pandai menulis. Tak hanya minke, buku ini juga menceritakan tentang tokoh Nyai

Ontosoroh. Melalui buku ini Pram menggambarkan keadaan pemerintahan

kolonialisme Belanda.  Buku ini juga pada tahun 2019 diadaptasi oleh sutradara

Hanung Bramantio sebagai film yang menarik.

3. Tak Ada Esok (Mochtar Lubis)

Tak ada esok merupakan karangan sastrawan Mochtar Lubis ia menulisnya dan

mulai terbit pada tahun 1950-an. Novel ini bercerita tentang perjuangan seorang

10
tokoh Johan ketika masa  penjajahan Jepang, masa kemerdekaan dan paska

kemerdekaan.

 4. simphoni (Subagio Sastrowardoyo)

Merupakan sebuah kumpulan sajak sastrawan Subagio Sastrowardoyo pada tahun

1957. Kemudian ia menciptakan karyanya selanjutnya yaitu Simfoni dua pada

tahun 89 berjumlah 49 puisi.  Berikut salah satu sajaknya berjudul ‘Sajak’.

5. Kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga (1956)

karya Ajip Rosidi Karya ini menggambarkan kehidupan seorang pemuda dengan

latar penceritaan budaya Jawa dan Sunda, pada masa pendudukan Jepang. Sudut

pandang penceritaan difokuskan pada seorang anak laki-laki yang beranjak

dewasa. Ada pergulatan batin dalam dirinya ketika menghadapi perceraian orang

tua.

6.Kumpulan Puisi Balada Orang-Orang Tercinta (1957)

karya WS Rendra Ini merupakan kumpulan puisi pertama Rendra. Ia membawa angin segar

karena menghadirkan jenis puisi balada dalam sastra Indonesia. Puisi ini menggambarkan

sosok dengan karakter luar biasa, karena memiliki keberanian menentang bahaya dan konflik.

Balada Orang-Orang Tercinta penuh dengan pencitraan dan imaji tentang alam. Alam dalam

kumpulan puisi karya Rendra mengandung roh dan daya magis. Maka muncul banyak majas

personifikasi dalam karya sastra ini.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan Kehidupan sastra tahun 1950-an memiliki isi yang pastinya

amat berpengaruh kepada periode- periode berikutnya. Hal itu tidak dapat

dipungkiri karena dilihat dari rentang waktunya yang cukup singkat namun

memiliki banyak masalah dalam sastra yang terjadi kala itu. Pada periode ini pula

banyak membuka wawasan pembaca tentang masalah-masalah yang pernah

menjadi hiasan sastra pada masa tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa

kehidupan sastra sekarang ini dibesarkan oleh pemikiran-pemikiran dan masalah-

masalah pada kehidupan sastra masa 1950-an.

Kehidupan sastra tahun 1950-an memiliki isi yang pastinya amat

berpengaruh kepada periode-periode berikutnya. Hal itu tidak dapat dipungkiri

karena dilihat dari rentang waktunya yang cukup singkat namun memiliki banyak

masalah dalam sastra yang terjadi kala itu

12
B. Saran

Dari tugas makalah tersebut, banyak hal yang dapat kita pelajari. Seperti

halnya yang sudah kami harapkan dan sampaikan pada kata pengantar tugas

makalah ini, yaitu semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat

menambah wawasan kita dan pemahaman kita mengenai karakteristik agama

islam yang baik dan benar yang tentu saja sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Demikian makalah yang dapat kami buat. Apabila ada kata-kata yang

kurang berkenan di hati atau belum sesuai dengan apa yang Anda harapkan,

kami mohon maaf. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang

membangun kami agar dalam tugas-tugas selanjutnya,kami dapat

menyelesaikannya dengan lebih baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rampan, Korrie Layun. 1985. Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia.

Jakarta: Yayasan Arus. Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam

Kritik dan Esei. Jakarta: PT Gunung Agung. Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah

Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Moeljanto, D.S., dan Taufiq Ismail.

Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan. Rosidi,

Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: PT

Dunia Pustaka Jaya.

14

Anda mungkin juga menyukai