Anda di halaman 1dari 17

Semua sifat tersebut merupakan perincian dari akhlak jelek yang jelas tercela

dalam ajaran Islam. Disinilah pentingya menitik beratkan penilaian segi keagamaan
seorang calon suami atau istri

B. MUNAKAHAT
1. Konsep Nikah
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha- yankihu- nikaahan yang
mempunyai dua arti yakni: pertama berarti al-jam’u yang bermakna berkumpul,
bersebadan atau bersatu; kedua berarti al-wath’u yang bermakna bersetubuh, atau
bersenggama. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah akad atau perjanjian yang
menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat
biologisnya sehingga antara keduanya (suami dan isteri) mempunyai hak dan
kewajiban. Pada hakikatnya pernikahan merupakan suatu bentuk perjanjian yang harus
dipertanggungjawabkan baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah Swt.
Perjanjian itu muncul dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas, suka rela untuk
mewujudkan kebahagiaan hidup yang hakiki, yakni membentuk rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan warahmat di bawah naungan ridha Allah Swt.

Perjanjian tersebut bukan sekedar perjanjian biasa, melainkan suatu perjanjian


suci, keduanya dihubungkan atau disatukan menjadi pasangan suami isteri dengan

mengatas namakan Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisak ayat
1 yang berbunyi:
Juga Hadis Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan Imam Bukhari Nikah itu
sunnahku (jalan hidupku), barang siapa membenci pernikahan, maka ia bukan
termasuk golongan/umatku (HR Bukhari).

2. Hukum Pernikahan
Hukum dasar/asal hukum nikah adalah mubah atau boleh. Hukum dasar ini
dapat berubah sesuai dengan keadaan dan situasi orang yang melaksanakannya. Oleh
karena itu hukum dasar dapat berubah menjadi sunnat, makruh, haram, bahkan dapat
berubah menjadi wajib.

Hukum nikah dapat berubah menjadi makruh apabila orang yang


melaksanakannya belum mempunyai bekal materi sama sekali, kecuali hanyalah
berbekal kemampuan pisik belaka. Hukum nikah dapat berubah menjadi haram,
apabila orang yang melaksanakannya bertujuan untuk menguasai dan menyakiti baik
pisik maupun mental dari calon pasangannya pasangannya. Hukum nikah dapat
berubah menjadi wajib, apabila orang yang melaksanakannya sudah mempunyai bekal
yang cukup, dan mereka dikhawatirkan terjerumus ke dalam perzinahan. Umumnya
atau kebanyakan hukum nikah itu berubah menjadi sunnat, apabila orang yang
melaksanakannya sudah mempunyai bekal yang cukup, dan mereka bertujuan untuk
mengikuti danmelestarikan sunnah nabi Muhammad saw.

3. Tujuan Pernikahan
Pernikahan dalam ajaran Islam berada pada tempat yang tinggi, suci, dan
mulia. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar pernikahan itu dipersiapkan secara
matang dan sempurna, sebab pernikahan bukan sekedar mengesahkan hubungan badan
antara laki-laki dan perempuan saja, atau hanya untuk memuaskan hasrat nafsu
biologis belaka, namun ia memiliki arti yang luas, tinggi dan mulia. Dari perkawinan
yang sah akan lahir generasi penerus yang shaleh dan shalehah, yang mampu berbakti
kepada kedua orang tuanya, bangsa, Negara, dan agamanya.

Ajaran Islam membagi tujuan melaksanakan pernikahan itu kepada dua, yakni
tujuan pokok/primer, dan tujuan antara atau sekunder. Adapun tujuan pokok dari
pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang shaleh maupun shalehah.
Keturunan merupakan dambaan atau idaman bagi setiap suami isteri. Anak merupakan
investasi dunia dan akhirat yang patut diperjuangkan dan dilertarikan. Oleh karena itu
bagi pasangan suami-isteri yang sulit memperoleh tujuan utama ini, hendaknya
senantiasa memohon kepada Allah agar berkenan memberikan anamat, berupa anak
keturunan yang menyenangkan hati, pelipur lara baik dalam suka maupun duka. Hal
ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Fur’qan ayat 74 yang berbunyi:

Artinya: “Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami isteri-isteri, anak, dan cucu
(keturunan) yang akan menjadi cahaya mata (pelipur lara)” (QS 25: 74).

Demikian juga tujuan pokok dari pernikahan ini dipertegas oleh sabda Nabi
Muhammad saw yang

“Nikahilah perempuan yang engkau cintai dan yang dapa memberikan


keturunan, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku di
akhirat” (HR Muslim).

Adapun tujuan antara atau tujuan sekusder dari pernikahan itu antara lain:
a. Untuk memnuhi hasrat naluriah yakni kebutuhan biologis secara syah.
Sudah menjadi fitrah manusia untuk tertarik dan saling mencintai pada
lawan jenis dan mempunyai keinginan yang kuat untuk mengadakan hubungan
biologis. Karena itu Islam menganjurkan untuk cepat-cepat menikah bagi laki-laki
atau perempuan yang sudah mampu (baik fisik maupun materi) untuk menikah,
dengan demikian apa yang menjadi kebutuhan atau hasrat dan keinginannya akan
terpenuhi atau tersalurkan secara syah dan halal. Allah mengibaratkan hubungan
keduanya(suami-isteri) bagaikan selimut atau pakaian yang saling memberi
kehangatan, dan saling menutupi cacat dan kekurangan di antara keduanya. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

b. Menjaga manusia dari kerusakan dan kejahatan.


Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi nafsu biologis atau nafsu
seksual. Nafsu biologis tersebut harus disalurkan, diarahkan, dan dikendalikan,
agar nafsu tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan
masyarakatnya. Tanpa adanya upaya untuk menyalurkan, mengarahkan, dan
mengenmdalikan, maka manusia akan rusak, karena nafsu biologis yang tidak
terarah dan tidak terkendali dapat menjadikan manusia gelap mata dan lupa
terhadap aturan, baik aturan agama maupun aturan Negara, dan menjadikan
mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat. Alquran surat Al-Nisak ayat 28 telah
mengingatkan bahwa manusia dijadikan oleh Allah bersifat lemah, yakni lemah
dalam mengandalikan nafsu biologisnya ketika berhadapan dengan lawan
jenisnya.

c. Membentuk keluarga atau rumah tangga dan menumbuhkan semangat berusaha


untuk memperoleh rezeki.
Ikatan pernikahan dalam membentuk keluarga atau rumahtangga
merupakan ikatan yang paling teguh dan kuat. Hal ini dikarenakan ikatan tersebut
terbentuk berdasarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang yang tulus ikhlas tanpa
pamrih antar suami dan isteri bahkan pasangan yang terbentuk dengan ikatan yang
kokoh ini akan saling memberi dan menerima tanpa harus diminta. Ikatan
perkawinan yang semacam ini akan menumbuhkan keinginan yang kuat dari para
anggota keluarganya untuk berupaya dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (mencari rezeki) sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-
masing. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nur ayat 32 yang
berbunyi:

Artinya: “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak dinikahi dari hamba-hamba sahayamu (baik laki-laki
maupun perempuan). Jika kamu miskin Allah akan mencukupkan
(memberi rezeki) mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS, al-Nur 24: 32).

4. Hikmah Pernikahan
Allah menciptakan makhluk di dunia ini berpasang-pasangan, menjadikannya
manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina, begitu pula
tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.

Hikmahnya ialah agar supaya manusia itu hidup berpasang- pasangan, hidup
bersuami-isteri, membangun dan membentuk rumah tangga yang damai tenteram,
teratur yang dilandasai dengan cinta kasih sayang di antara keduanya. Untuk itu
haruslah diadakan suatu ikatan dan pertalian yang kokokh, kuat dan tidak mudah putus
dan diputuskan, yakni ikatan akad nikah atau ijab qabul dalam perkawinan.

Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dihadapan
Allah dan di hadapan manusia bahwa mereka bersedia membangun dan membentuk
suatu rumah tangga yang harmonis, damai dan teratur; mereka berjanji akan sehidup
dan semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama bungkuk, melompat sama patah
sehingga mereka menjadi satu kesatuan dalam rumah tangga.

Dalam pada itu, mereka akan melahirkan suatu keturunan yang syah dan
shaleh/shalehah dalam masyarakat. Kemudian keturunan itu akan membangun pula
rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru pula, dan begitulah seterusnya. Dari
beberapa keluarga dan rumah tangga itu berdirilah kampung, dan dari beberapa
kampung berdirilah desa, dan dari beberapa desa berdirilah kecamatan, dan dari
beberapa kecamatan berdirilah kabupaten, dan dari beberapa kabupaten berdirilah
propinsi, dan dari beberapa propinsi berdirilah Negara, dan dari beberapa Negara
berdirilah dunia.

Inilah hikmahnya Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di muka bumi,


sehingga anak cucunya berkembang biak meramaikan, memakmurkan, dan
melestarikan bumi yang luas in. Dalam pada itu Allah menjadikan segala sesuatu yang
ada di muka bumi ini untuk kebaikan dan kemaslahatan anak cucu Adam tersebut.

Agama Islam mengatur dan menetapkan bahwa untuk membangun dan


membina rumah tangga yang damai dan tenteram, teratur dan harmonis haruslah
dengan perkawinan dan akad nikah yang syah serta diketahui oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan sanak
famili, karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah).
Dengan demikian, terpeliharalah keturunan tiap-tiap keluarga dan mengenal
tiap-tiak anak akan bapaknya terjauh dari bercampur aduk antara satu keluarga dengan
yang lain, atau anak-anak yang tidak kenal akan bapaknya.

Lain pada itu, kehidupan suami-isteri dengan keturunannya temurun adalah


berhubung rapat dan bersangkut-paut, bahkan bertali- temali laksana rantai yang sama
kuat dan tak ada putusnya.

Ketika anak masih kecil dijaga dan dipelihara oleh orang tuanya, bila anak
sudah dewasa dan orang tuanya sudah lemah dan tak sanggup berusaha, maka dijaga
dan dipelihara pula oleh anak-anaknya. Beitulah seterusnya turun temurun, sehingga
mereka hidup dengan aman dan makmur.

Alangkah malangnya nasib seorang wanita yang menyia-nyiakan


kecantikannya waktu muda dengan berpoya-poya dengan pergaulan bebas yang tak
terbatas. Kemudian setelah habis manis sepah dibuang, maka wanita itu tinggal
sebatang kara, seorang diri, tak ada suami yang memeliharanya dan tak ada anak yang
menyayanginya, bahkan tak ada keluarga yang membujuknya, seolah-olah ia tinggal di
neraka dunia, setelah mebngecap surga dunia beberapa waktu. Demikian pula alnkah
malangnya nasib seorang pria yang menyia-nyiakan ketampanannya waktu muda
dengan berpoya-poya dengan pergaulan bebas. Kemudian setelah tua, lemah, tinggal
sebatang kara, seorang diri, tak ada isteri yang memelihara dan tidak ada anak yan
menjaga dan memeliharanya.

Demikianlah nasib seorang wanita dan pria Barat yang tidak bersuami dan
tidak beristeri di waktu mudanya, dan pemuda-pemudinya

mogok berumah tangga karena mereka berpendapat cukup dengan perpoya- poya dan
bergaul bebas yang tak terbatas itu.

Berbeda sekali dengan nasib seorang wanita yang bersuami dan seorang pria
yang beristeri di waktu mudanya. Setelah tiba masa tuanya, di sampingnya ada suami
ada isteri yang memelihara dan menjaganya, dan ada anak-anak yang menyayanginya
seolah-olah mereka hidup dalam surga dunia sejak dari kecil sampai waktu tuanya.
Inilah hikmah melangsungkan pernikahan dan itulah manfaat mendirikan dan
membentuk rumah tangga yang damai dan teratur, serta harmonis. Lain pada itu
faedah melangsungkan pernikahan adalah terpeliharanya seseorang dari terjerumus ke
lembah dosa (perzinahan). Karena apabila ada seorang isteri di sampingnya, maka
tentu suami akan terhindar untuk melakukan pekerjaan keji; begitu pula wanita yang
ada di sampingnya suami, tentu ia tidak akan terjatuh ke dalam maksiat tersebut.

5. Inseminasi Buatan menurut Konsep Islam


Salah satu maksud dan tujuan pokok seseorang melangsungkan pernikahan atau
berumah tangga adalah ingin memperoleh anak atau keturunan yang shaleh maupun
shalehah. Namun kenyataannya, tidak semua pasangan suami-isteri mendapatkan atau
memperoleh keturunan atau anak dengan cepat dan mudah. Ada pasangan baru satu
tahun sudah dikaruniai anak, ada yang lima tahun, bahkan ada pasangan yang tidak
dikaruniai anak. Ini sebagai bukti bahwa keturunan termasuk salah satu dari sekian
banyak rahasia Allah. Ada pasangan suami-isteri yang amat sangat menginginkan
keturunan, sehingga mereka berusaha dengan berbagai cara, namun Allah belum
ataubahkan tidak mengabulkan usaha dan ikhtiarnya itu. Ada pula pasangan suami-
isteri yang belum menginginkan keturunan karena beberapa alasan seperti mengikuti
program keluarga berencana dsb., namun Allah tidak mengabulkan usahanya itu,
sehingga ia baru dua tahun usia pernikahannya sudah melahirkan anak yang kedua.

Bagi pasangan yang mengalami kesulitan memperoleh keturunan, mereka tidak boleh
berputus asa, harus berusaha, berikhtiar disertai dengan berdo’a agar Allah berkenan
mengabulkan usaha dan do’anya. Salah satu upaya untuk memperoleh keturunan
adalah melalui inseminasi buatan. Tetapi masalahnya adalah apakah inseminasi buatan
itu sesuai dengan tuntunan Islam ataukah tidak? Karena inseminasi buatan itu
menyangkut tiga permasalahan pokok yaitu: 1) Apakah inseminasi buatan itu termasuk
dalam batasan nikah atau tidak? 2) Apakah inseminasi buatan itu termasuk dalam
batasan zina atau tidak? 3) Bagaimanakah nasab anak yang diperoleh melalui
inseminasi buatan itu?
Dalam kenyataannya, inseminasi buatan terdiri atas dua klasifikasi jika dilihat
dari sudut donor spermanya, yaitu: 1) Inseminasi buatan suami (IBS); dan 2)
Inseminasi buatan donor (IBD atau orang lain). Oleh karena itu pembahasan berikut ini
akan difokuskan kepada kedua golongan tersebut.

a. Inseminasi Buatan Suami (IBS)


1) Inseminasi Buatan Suami Kaitannya dengan Batasan Nikah
Dalam masalah IBS suami isteri masih terikat dalam akad nikah
sebagaimana yang didefnisikan dalam konsep nikah. Artinya suami isteri
yang berkeinginan untuk mempunyai keturunan itu adalah suami isteri yang
syah menurut ketentuan Islam. Perbedaannya di sini adalah kalau suami isteri
biasanya memperoleh anak atau keturunan melalui hubungan badan
(bersenggama). Dalam IBS ini mereka memperoleh keturunan dengan
bantuan teknologi kedokteran. Bantuan teknologi kedokteran dibutuhkan
karena salah satu di antara keduannya mempunyai hambatan untuk dapat
membuahi atau dibuahi, sedangkan sperma dan ovum dalam keadaan sehat
dan memenuhi syarat untuk dapat membuahi atau dibuahi. Caranya adalah
sperma suami disemprotkan atau disuntikkan ke dalam rahim si isteri ketika si
isteri dalam keadaan subur; atau sperma dan ovum di ambil lalu dibuahi di
luar, setelah keduanya berbuah dipindahkan ke rahim si isteri. Jadi interupsi
dokter ini pada awal kehamilan yaitu pada proses pembuahan.

Para ulama fiqih memperbolehkan seorang dokter membantu


kehamilan dengan inseminasi buatan asal dilakukan kepada pasangan suami
isteri yan syah dalam perkawinan. Peran dokter sama sekali tidak mencederai
status hukum nikah dari suami isteri tersebut. Dengan kata lain, interupsi
dokter dalam terjadinya pembuahan pada seorang isteri dari sperma suami
sendiri, tidaklah merusak akad nikah suami isteri tersebut.

2) Inseminasi Buatan Suami Kaitannya dengan Batasan Zina Berdasarkan


penjelasan sebagaimana tersebut di atas, maka
IBS tidak termasuk kategori perbuatan zina. Karena definisi zina adalah
memasukkan kelamin ke dalam vagina perempuan yang bukan pasangannya,
atau memasukkan sperma ke dalam vagina atau rahim perempuan yang bukan
pasangan syahnya. Dengan demikian IBS tidak memenuhi syarat ketentuan
zina.

b. Inseminasi Buatan Donor (IBD atau orang lain)


1) Kaitan IBD dengan Batasan Nikah
Inseminasi Buatan Donor ialah memasukkan sperma orang lain (bukan
sperma pasangannya) ke dalam rahim isterinya. Dalam kasus ini jelas ada
unsur ketiga yang terlibat (selain dari dokter yang membantu dan teknologi
inseminasi buatan). Unsur ketiga itu ialah pendonor yang memberikan sperma
untuk wanita yang ingin hamil. Dalam hal ini pendonor sama sekali tak
pernah bertemu atau bersenggama dengan wanita tersebut, dan tidak pernah
terjadi ikatan perkawinan yang sah. Mengingat definisi nikah adalah ikatan
perjanjian untuk memperoleh manfaat dari seluruh anggota suami-isteri.
Maka jelas pendonor dengan wanita tersebut tidak pernah membuat
perjanjian. Oleh karena iru, inseminasi buatan donor yang diambil dari
pasangan yang tidak terikat dengan uikatan perkawinan yang sah adalah tidak
dibenarkan. Oleh karena itu, IBD sama dengan berzina. Demikian juga
mengambil ovum orang lain yang bukan isterinya kemudian dipertemukan
dengan sperma suaminya, setelah dibuahi dimasukkan ke dalam rahim
isterinya, hal ini juga termasuk IBD.

2) Kaitan IBD dengan Batasan Nasab


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nasab seorang anak adalah
dikaikan dengan seorang bapak dalam ikatan perkawinan. Dalam hal ini IBD,
jika inseminasi buatan donor berhasil, jelas anak tersebut bukan anak dari
pasangan suami yang sah. Oleh karenanya, Islam melarang hal demikian itu.

Dari uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan


bahwa: 1) IBS (Inseminasi Buatan Suami) dilihat dari batasan nikah, batasan
zina, dan batasan nasab menurut Islam diperbolehkan yakni halal hukumnya;
2) IBD (Inseminasi Buatan Donor) dilihat dari batasan nikah, batasan zina,
dan batasan nasab dilarang oleh Islam dan hukumnya haram.
Sebagai jalan keluar dari pasangan suami isteri yang tidak
memperoleh keturunan (anak), maka Islam memperbolehkan mengambil anak
angkat (orang lain). Namun Islam melarang mengadobsi anak.

Perbadaan antara mengasuh anak dengan mengadobsi anak adalah


terletak pada penghilangan garis keturunan atau nasab seseorang yang
menurut Islam dikaitkan dengan ayah(genitor) si anak tersebut. Mengasuh
anak adalah perbuatan dan pekerjaan terpuji, sedangkan mengadobsi anak
adalah perbuatan tercela. Untuk lebih jelasnya perhatikan perbandingan
berikut ini.

Pasangan suami-isteri bernama Ahmad-Zainab (keduanya tidak


mempunyai anak.

Pasangan Abdullah-Fatimah mempunyai anak Muhammad.


Muhammad diambil anak angkat oleh pasangan Ahmad-Zainab, namun
Muhammad masih tetap Muhammad bin Abdullah, tetapi diangkat dan
diasuh, dipelihara oleh Ahmad- Zainab (Hal ini diperbolehkan dalam Islam
sebab garis keturunan masih tetap utuh).

Muhammad diadobsi pasangan Ahmad-Zainab, berarti Muhammad


bin Ahmad. Ini menghilangkan garis keturunan yakni ayah kandung dari
Muhammad yang sebenarnya. Oleh karenanya Islam melarang.

6. Poligami
a. Konsep Poligami
Poligami adalah seorang laki-laki mempunyai isteri lebih dari satu.
Sedangkan kebalikannya adalah poliandri, yaitu seoran wamita mempunyai suami
lebih dari satu.

Pada dasarnya, Islam hanya mengakui monogamy sebagai bentuk perkawinan


yang sah. Hanya dalam keadaan darurat saja seorang laki-laki boleh mempunyai
isteri lebih dari satu. Sedangkan seorang wanita yang sudah menikah tidak sah
melakukan perjanjian atau pernikahan lagi dengan laki-laki lain. Hal tersebut
dengan mudah kita pahami jika kita memperhatikan kewajiban kaum laki-laki dan
kaum wanita dalam mengelola dan mengasuh anak atau keturunannya. Dalam hal
ini kodrat alam telah membagi sendiri-sendiri kewajiban kaum pria dan kewajiban
kaum wanita; misalnya, seorang pria dapat menghasilkan beberapa anak sekaligus
dari isteri lebih dari satu, sedankan kaum wanita sudah cukup memperoleh anak
dari seorang suami saja. Oleh sebab itu poligami pada saat tertentu membantu
kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kelangsungan umat, tetapi
poliandri tidak sedikit pun berguna bagi manusia.

b. Dasar Hukum Poligami


Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang amat ketat
sekali, di antaranya ialah mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk berlaku
adil terhadap sesama isteri dan anak-anak keturunannya, serta mempunyai

kemampuan pisik dan materi yang cukup untuk memberikan nafkah kepada semua
isteri dan semua anak- anaknya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-
Nisak ayat 3 yang berbunyi :

Ayat Alquran sebagaimana tersebut di atas sebenarnya tidak memerintahkan


poligami, melainkan hanya memberi izin kepada suami dengan syarat-syarat yang
amat ketat. Menurut Alquran, poligami hanya diperbolehkan apabila ada anak
yatim yang harus dipelihara yang dikhawatirkan bahwa pemeliharaan itu tidak
adil. Jadi jelas sekali bahwa pensyaratan itu lebih dititik beratkan kepada
kesejahteraan masyarakat daripada kepentingan orang-seorang.

Atas dasar ayat itulah sehingga Nabi Muhammad saw, melarang


menghimpun atau mengumpulkan dalam saat yang sama lebih dari empat orang
isteri bagi seorang pria. Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua
suami yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan isteri-
isterinya sehingga maksimal setiap orang suami hanya memperisterikan empat
orang wanita. Imam Malik, Al-Nasai dan Al-Daul Quthni meriwayatkan bahwa
Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada Sulaiman yang ketika itu memiliki
sepuluh orang isteri: “Pilihlah dari mereka empat orang isteri dan ceraikan
selebihnya” (Hadis Riwayat Bukhari).

Di sisi lain, ayat ini pula yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami.
Namun ayat ini sering disalah artikan. Sebab ayat ini turun sebagaimana
dijelaskan Aisyah ra, bahwa orang-orang yang ingin mengawini anak-anak yatim
yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi mereka tidak
ingin memberikan kepadanya mas kawin yang sesuai serta tidak
memperlakukannya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu
susunan kalimat yang sangat tegas. Penyebutan dua, atau tiga, atau empat, pada
hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksi
ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain memakan
makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “jika anda
khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan
selainnya yang ada di hadapan anda selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu saja
perintah menghabiskan makanan yang lain hanya sekedar untuk menekankan
larangan memakan makanan tertentu.

Perlu digaris bawahi bahwa ayat tersebut tidak membuat satu peraturan
mengenai poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat
agama dan adat istiadat sebelum ayat ini turun. Ayat ini juga tidak mewajibkan
poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami
dan itu pun merupakan pintu darurat, yang hanya boleh dilalui saat amat
diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dan masalah poligami yang
tersurat dalam Alquran, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik

buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi.

Surat Al-Nisa ayat 3 diturunkan dengan sebab antara lain, sejarah telah
mencatat pada saat banyak terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan
kaum kafir. Semua kepala rumah tangga harus maju ke medan perang guna
menghadapi serangan lawan, dan banyak di antara kaum lelaki yang gugur karena
jumlah lawan lebih besar daripada jumlah kaum muslimin. Para isteri banyak yang
kehilangan suami yang dicintainya, dan banyak anak yang kehilangan ayah yang
disayanginya, dan akibatnya banyak janda dan yatim piatu yang harus dipelihara.
Jika mereka diserahkan begitu saja kepada nasib, mereka pasti akan binasa, dan
masyarakat akan menjadi lemah, sehingga mereka tidak mempunyai daya juang
lagi. Dalam keadaan demikianlah surat ke empat itu diturunkan, yakni surat yang
memperbolehkan mengambil isteri lebih dari satu, dengan maksud agar janda dan
yatim piatu itu mendapat perlindungan. “Apabila kamu khawatir bahwa kamu
tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita (ibu anak
yatim itu), dua, atau tiga, atau empat”, dengan syarat bahwa kamu berlaku adil
terhadap mereka, dan dalam keadaan yang luar biasa, yakni monogami tidak
mampu menampung kehidupan keluarga, seperti isteri tidak dapat melahirkan
anak keturunan karena sesuatu hal dsb.

Dengan banyaknya kaum pria yang terbunuh dalam peperangan


menyebabkan jumlah kaum wanita melebihi jumlah kaum pria. Keadaan ini jika
tidak ditanggulangi dengan poligami, akan mengakibatkan kerusakan moral yang
sangat membahayakan bagi peradaban. Peradaban itu harus berlandaskan moral,
seperti halnya agama Islam.

Poligami dalam konsep Islam, baik teori maupun praktek, bukanlah


peraturan yang harus dijalankan, melainkan suatu jalan keluar. Poligami dapat
dibenarkan bukan hanya disebabkan tidak seimbangnya antara jumlah laki-laki
dengan wanita, melainkan poligami kadang-kadang perlu dijalankan guna
kepentingan akhlak dan kesejahteraan masyarakat. Pelacuran yang dalam zaman
kemajuan ini semakin meraja rela, tentu menggerogoti peradaban bagaikan
kanker, dan menyebabkan banyaknya anak tak berbapak.

Alasan lain yang menyebabkan poligami diperbolehkan adalah mandulnya


seorang isteri, atau parahnya penyakit yang diderita seorang isteri yang
mengakibatkan terhambatnya cita-cita untuk melanjutkan keturunan. Dan masih
banyak lagi kondisi-kondisi lain yang memungkinkan terbukanya jalan untuk
melakukan poligami, hanya saja dengan syarat yang tidak mudah dan tidak ringan.

Perlu ditegaskan juga bahwa keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang
memperbolehkan poligami adalah bukan hanya keadilan dalam bidang material saja,
tetapi juga keadilan dalam bidang rohani dan spiritual. Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Nisak ayat 129 yang berbunyi:

Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini adalah keadilan di bidang


immaterial (cinta). Itulah sebabnya hati seseorang yang poligami dilarang
memperturutkan hatinya dengan selalu cenderung kepada yang dicintai, dan tidak
memperdulikan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat pula menggunakan
ayat ini sebagai dalih menutup pintu poligami serapat-rapatnya.

7. Homo Seksual
Homo seks adalah hubungan seks antara laki-laki dengan laki- laki.
Sedangkan lesbian adalah hubungan seks antara wanita dengan wanita. Cara ini
tidak dibenarkan dalam Islam sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam
surat Al-A’raf ayat 80 – 81 yang berbunyi:

Demikian juga larangan yang sama termaktub dalam surat Al- Naml ayat 55,
dan surat Al-Syuara’ ayat 165.

Yang dimaksud dengan mencintai di sini adalah tidak sekedar kasih-


sayang sesama makhluk, melainkan cinta dalam arti berhubungan badan untuk
memuaskan hawa nafsu syahwat dengan berhubungan seks secara tidak wajar.
Bila antar laki-laki dilarang, maka demikian juga halnya antar wanita juga
hukumnya haram atau dosa besar.

Para ulama menafsirkan ayat-ayat Alquran sebagaimana tersebut di atas


bahwa perbuatan homo dan lesbian yang diperbuat oleh kaum Nabi Luth
merupakan perbuatan keji dan termasuk perbuatan abnormal, karena hewan pun
tidak ada yang berbuat demikian.

Homoseks sebagaimana dijelaskan oleh Dadang Hawari, adalah salah satu


bentuk perilaku seks yang menyimpang. Homoseks lanjut dadang adalah rasa
tertarik secara perasaan (kasih-sayang, hubungan emosional) atau secara erotik,
terhadap jenis kelamin yang sama. Untuk mendeteksi apakah seseorang itu
mengidap homoseks atau tidak dapat dibuat kreteria sebagai berikut: pertama,
seserang mengeluh bahwa secara terus-menerus kegairahan heteroseksualnya
tidak ada atau melemah, dan secara cukup bermakna menghalangi upaya dirinya
untuk memulai atau mempertahankan hubungan heteroseksualnya. Kedua,
terdapat pola kegairahan homoseksual yang menetap dan tidak dikehendaki dan
merupakan suatu sumber penderitaan yang terus- menerus. Homoseksual termasuk
ketegori perbuatan dosa besar, karena ia merupakan perbuatan menyimpang dari
sunnatullah.

C. TOPIK DISKUSI
Setelah mempelajari bab ini bahwa salah satu hal yang dapat menimbulak dosa yaitu
pacaran bagaimana anda menyikapi teman disekeliling anda yang saat ini sedang
pacaran sehingga mencegah timbulnya perbuatan zina.

PERTEMUAN KE 16

UJIAN AKHIR SEMESTER

Anda mungkin juga menyukai