Anda di halaman 1dari 3

Dibalik Perjalanan Rempah

"Weladalahh, iki kepiye lak tugasku durung mari?!" Kata seorang gadis berkulit
cokelat khas Asia Tenggara yang sedang berjalan tergesa-gesa di salah satu universitas
terbaik Indonesia. Ia bernama Arum. Arum merupakan seorang mahasiswi asal kota
Gandrung, Banyuwangi. Kulitnya yang coklat langsat, hidungnya yang kecil tidak terlalu
mancung, dan wajahnya yang keturunan Osing terlihat biasa saja saat melihatnya. Namun,
saat ia melebarkan senyuman di bibirnya yang merah ranum dan melepaskan ikatan dirambut
gelombangnya seukuran bahu itu, ia dapat menarik perhatian siapa saja yang melihatnya.
Para mahasiswa akan berdecak kagum, sedangkan beberapa mahasiswi lainnya akan menatap
dengan pandangan sinis. Ia benar-benar tipe wanita yang sempurna saat menebarkan
senyuman sumringahnya kepada semua orang yang ia temui. Dengan sifat ramah dan sopan
itu membuat ia dapat memiliki banyak teman.

Arum yang merupakan mahasiswi mendapat kesempatan menerima beasiswa,


tentunya harus menyelesaikan tugasnya dengan tepat waktu agar kontrak beasiswanya tidak
dicabut. Ia sedang menuju aula yang menjadi tempat seminar mengenai inovasi perdagangan
rempah-rempah di Indonesia. Beberapa dosen dan motivator dari dalam maupun luar negeri
mengisi acara di aula kampusnya. Arum merasa beruntung mengikuti acara tersebut karena ia
mendapat beberapa poin penting untuk tugas karya tulisnya. Riuhan tepuk tangan dan
teriakan para mahasiswi tiba-tiba memenuhi aula, Arum mendongak dan melihat seorang pria
berkulit putih mengenakan jas dengan rahang tegas dan iris mata warna cokelat terang. Ia
berjalan dan menaiki podium dengan lampu sorot menerangi dirinya.

“Ola boa tarde meu nome e Arcelio Henriques Filipe. Halo nama saya Arcelio
Henriques Filipe, kalian semua bisa memanggil saya Arcelio. Saya adalah pengusaha dari
Portugal yang lahir di Indonesia.” Arcelio menyampaikan perkenalannya dengan senyum
yang ramah, ia menyampaikan pengetahuannya tentang perdagangan dengan fasih dalam
bahasa Indonesia. Arum fokus menuliskan poin-poin penting yang bisa ia jadikan sebagai
bahan tulisan. Mata Arcelio menangkap sosok Arum yang dikelilingi oleh cahaya putih. Ia
tersenyum dan melanjutkan presentasinya tentang kondisi perekonomian Maluku setelah
datangnya Bangsa Portugis.

“Rempah-rempah menjadi sumber perekonomian Indonesia, maka dari itu dibutuhkan


proses ekspor untuk meningkatkannya. Atas seluruh perhatiannya, terima kasih” Arcelio
memberikan senyuman perpisahan sebagai penutup presentasinya dan kembali ke belakang
panggung. Arum merasa bahwa Arcelio dapat menjadi informan yang tepat dalam karya
tulisnya. Arum berlari ke belakang panggung dan menerobos deretan mahasiswi yang ingin
berfoto dengan Arcelio. Dia merasa sungguh lelah untuk menorobos puluhan mahasiswi di
depannya dan memutuskan untuk menyerah. Tiba-tiba seorang penjaga berteriak menyuruh
Arum untuk menyingkir dari posisinya karena tepat berada di tengah pintu keluar. Arum yang
merasa bahwa inilah kesempatannya untuk berada di dekat Arcelio pun langsung menyobek
kertas dan menuliskan sepucuk surat berisi : “Sr. Arcelio, meu nome é Arum. Preciso de um
gênio pensado como você para fazer meu trabalho. Entre em contato com meu número:
081211122004 Desculpe e obrigado, tenho certeza que você é uma pessoa gentil.” (Tuan
Arcelio, perkenalkan nama saya Arum. saya membutuhkan seorang berpikiran jenius seperti
anda dalam pengerjaan tugas saya. Tolong hubungi nomor saya: 081211122004 Maaf dan
terima kasih, saya yakin anda adalah seorang yang baik hati.) Ia melipat suratnya dan segera
mendekati Arcelio yang menuju pintu keluar. Tepat saat Arcelio berada di hadapannya, ia
berkata, “Sr. Arcelio, por favor aceite isto.” (Tuan Arcelio, tolong terimalah ini). Arcelio
menerima surat tersebut dengan senyum indahnya yang membuat Arum sedikit terpana.
Setelah menerima surat tersebut, Arum terdesak rombongan dan terdorong ke belakang.
Arcelio yang didorong masuk ke mobil oleh penjaga hanya bisa melihat kepergian Arum dari
bahunya.

Malam hari, ketika Arcelio berada di meja kerja dalam apartemennya, dia membaca
sepucuk surat yang diberikan Arum dan mengambil ponselnya. “Halo, Arum. Ini Arcelio”,
sapanya dalam panggian. “Boa noite senhor Arcelio.” (Selamat malam, Tuan Arcelio.), jawab
Arum dengan riang karena Arcelio Filipe benar-benar menerima permintaannya untuk
meneleponnya. “Tuan Filipe yang terhormat, sebelumnya saya mohon maaf karena saya
lancang untuk memberikan surat dan meminta tolong untuk-“ “Nah, it’s okey, saya sangat
bersedia untuk siapapun yang membutuhkan bantuan, apa lagi mahasiswi pintar sepertimu
yang menyanjung saya dengan mengatakan bahwa saya orang yang baik.”, sahut Arcelio
dengan candaan. Arum menjelaskan tentang tugasnya dari topik yang ia angkat, yaitu
rempah-rempah dan kehidupan rakyat Maluku dalam jajahan Bangsa Portugis. Arcelio
menyatakan kesediannya untuk menjadi narasumber dan mengajak Arum untuk bertemu di
Pasar Blambangan dan berbincang-bincang tentang rempah-rempah.

Keeseokan harinya, Arum pergi ke pasar dan melihat-lihat rempah-rempah dan


membelinya untuk dibawa pulang. “Hei, apa yang kamu beli? Oh, secang. Apa kamu bisa
mengolahnya?”, Arcelio berdiri dibelakangnya dan bertanya dengan tiba-tiba, membuat
Arum terkejut. “Tentu saja bisa, Tuan. Silahkan mengunjungi kedai saya apabila anda
berkenan untuk mencoba wedhang secang yang saya buat.” Arum menjawabnya dengan
senyuman. “Dengan senang hati, Arum. Perlu kamu ketahui bahwa perekonomian rempah-
rempah sekarang lebih baik, sangat lebih baik dibanding saat nenek moyangku mencari
wilayah lain penghasil rempah. Mereka tidak diizinkan kembali membeli rempah dari
Constantinople sejak jatuh ke Turki Usmani. Karena agama nenek moyang kami berbeda”,
jelas Arcelio panjang lebar tentang sejarah datangnya Portugis mencari rempah di Indonesia.
Mereka bercakap-cakap dan duduk di sebuah kursi taman. “Perjalanan itu berlanjut dan
mereka mengira negara India lah yang menjadi wilayah penghasil rempah. Namun ternyata
dugaan mereka salah.”, Tambahnya. “Tetapi Tuan Arcelio, Perjalanan rempah-rempah itu
mulai pada saat nenek moyangmu datang ke Maluku”, sahut Arum. Tuan Arcelio tersenyum
dan mengangguk, “Kau benar, Arum.”

Arum mengajak Arcelio ke kedainya dan membuatkannya secangkir wedhang secang


yang beraroma manis. “Terima kasih Arum, secang ini sungguh manis. Kamu sungguh
seperti bagaimana saya menyukai secang ini. Harum, manis, dan hangat.”, Arcelio
menyeruput minuman ditangannya dengan senyuman dan netra yang menatap dalam ke
lawan bicaranya. “Terima kasih, Tuan Arcelio. Atas pengetahuan anda dan sanjungannya.”,
jawab Arum. “Oh, itu bukan sanjungan, Arum. Itu kenyataan yang sedang saya lihat di
hadapan saya. Jangan pernah sungkan untuk menghubungi saya untuk menanyakan sesuatu
tentang rempah-rempah, ataupun hanya untuk menemanimu meminum secang seperti
sekarang.” Arcelio berdiri setelah menghabiskan minumannya diikuti Arum. Arum
melambaikan tangangannya melihat punggung Arcelio pergi menjauh dari kedainya.

Anda mungkin juga menyukai