Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337257460

Dikotomi Ruang Publik dan Privat pada Masyarakat Kota

Research · November 2002

CITATIONS READS
0 2,205

1 author:

Dewi Parliana
Institut Teknologi Nasional
22 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Public Spaces in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Dewi Parliana on 14 November 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dikotomi Ruang Publik dan Privat pada
Masyarakat Kota
(Studi Literatur Tahun 2002)

Dewi Parliana
dpar@itenas.ac.id
Pengajar pada Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Nasional, Bandung-Indonesia

Manusia dalam melakukan kegiatan hidupnya membutuhkan ruang, ruang yang dengan sengaja ditata dan dirancang
tersebut merupakan karya arsitektur. Dalam melaksanakan kegiatannya tersebut manusia melakukannya secara sendiri
sendiri maupun berkelompok, sehingga ruang yang terbentuknyapun mempunyai besaran, nilai, makna, fungsi serta
batasan yang berbeda beda.
Hal tersebut diatas terjadi disebabkan oleh manusia sendiri yang mempunyai perilaku yang berbeda-beda, perbedaan
tersebut diakibatkan oleh latar belakang dari manusia yang berbeda-beda diantaranya sosial budaya, ekonomi, dan
religi, semua itu dilakukan selalu oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya yaitu hidup, baik sendiri maupun
berkelompok.

Manusia dalam menjalani kehidupannya tersebut tidak lepas dari keterkaitannya dengan lingkungan alaminya, yaitu
sebagai wadah fisik , pengaruh lingkungan alami terhadap manusia sangat besar, lingkungan alami dapat membentuk
perilaku manusia, baik dalam cara mempertahankan hidupnya maupun dalam membentuk kebudayaan manusia, akibat
dari hal itu manusia kemudian menciptakan lingkungan binaan yang bentuknya tergantung kepada kebudayaan serta
lingkungan alami masing masing.

Kebudayaan manusia yang diantaranya mengandung nilai dan norma berkembang dengan kemajuan teknologi jaman,
manusia yang mempunyai tujuan yaitu mempertahankan hidup, dengan perubahan ekonomi berbaur dengan manusia
lain yang mempunyai kebudayaan yang berbeda pula.
Perkembangan nilai budaya tersebut lama kelamaan berubah dari jaman ke jaman disebabkan oleh kebudayaan yang
bercampur dan saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan tersebut terjadi dalam wadah lingkungan binaan yang
disebut ruang, ruang yang terjadi akibat aktivitas manusia dalam menjalani kehidupannya sehari hari.

1. Pengertian Ruang Public & Ruang Private


Setiap manusia hidup didunia ini mempunyai keinginan untuk diterima oleh masyarakat lingkungannya, juga
mempunyai keinginan untuk dimiliki oleh lingkungannya, ingin pula memiliki sebuah tempat untuk dirinya sendiri.
Semua perilaku dalam masyarakat mempunyai pengaruh yang berperan dalam hidup manusia, yang mana kepribadian
setiap individu dipengaruhi oleh bagaimana orang lain melihat dirinya.
Didalam dunia kita, kita mengalami pertentangan antara exaggerated individuality dan di sisi lain exaggerated
collectivity. Kedudukan dua kutub ini terlalu tegas, sementara tidak ada satu hubungan manusiapun dimana arsitek
hanya memfokuskan secara khusus kepada satu individual saja atau satu kelompok saja, tidak juga secara khusus pada
lainnya, atau dunia luar. Masalahnya selalu pada manusia dengan kelompoknya dalam hubungannya dan tanggung
jawabnya bersama, selalu saja tentang collective dengan individual. Jika individual meliputi bagian dari manusia, juga
collective meliputi manusia sebagai manusia seutuhnya secara keseluruhan.
Individualism dirasakan manusia hanya dalam orientasi dirinya, tetapi collectivism tidak dirasakan manusia sama
sekali, hal itu hubungannya hanya dengan masyarakat saja. Kedua pandangan hidup ini adalah produk atau pengalaman
dari keadaan manusia yang sama.
Di jaman modern keinginan untuk memilki tempat sendiri diakibatkan pula oleh world anxiety dan life anxiety. Dalam
usaha untuk menghindari dari perasaan tidak aman yang disebabkan oleh perasaan terisolasi, manusia mencari
perlindungan didalam kebanggaan individualism nya. Individualism modern mempunyai basis imajiner, oleh sebab itu
akan menjadi malapetaka apabila imajinasinya tidak dapat menerima kenyataan pada situasi yang ada. Berdasarkan
sejarah, manusia berjuang dari penindasan manusia lain.
Pada masa kini manusia tidak akan berjuang untuk hal itu lagi tetapi berjuang melawan realisasi yang keliru,
perjuangan yang akbar yaitu perjuangan demi kepentingan orang banyak, untuk tujuan menuju realisasi yang benar.

1
Orang akan berjuang melawan penyimpangan dan kesucian, dan langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menghancurkan alternatif yang salah, alternatif: individualisme atau collectivisme (dikutip dari Hertzberger, Herman
“Lessons for Students in Architecture, 1988)

Berbicara mengenai public dan private tidak bisa terlepas dari space, sebab space adalah wadah fisik aktivitas manusia
yang membedakan antara public dan private, bahkan dalam mengiterpretasikan keduanya harus secara spatial.
Konsep public dan private dimengerti sebagai pemahaman pada terminologi spatial yaitui collective dan
individual.(Hertzberger)

Pengertian yang lebih mutlak mengenai public space dapat dikatakan sebagai berikut, yaitu bahwa public space adalah
sebuah area yang dapat diakses oleh setiap orang pada setiap waktu; tanggung jawab pada pemeliharaannya ditanggung
secara collective, public space bisa diartikan secara psikologis sebagai social space.(Hertzberger)

Private space sebuah area yang aksesibilitasnya ditentukan oleh kelompok kecil atau satu orang, berikut tanggung
jawab pemeliharaannya, pengertian lain dari private space menurut ilmu psikologi adalah personal space dengan
perbedaan bahwa aktivitas personal space dapat dilakukan pada public space. (Hertzberger).
Sebagai contoh private space adalah sebuah rumah tinggal, termasuk ruang dalam dan ruang luarnya sebatas petak
kepemilikannya, diluar batas petak kepemilikannya tersebut sudah merupakan public space dan merupakan bagian dari
public domain.

Batas public dan private dalam bentuk fisik yang jelas untuk mengatasi ruang yang terbentuk sebagai batas tersebut
yang sangat sempit.

2. Pemisahan Antara Public & Private Domain


Kita telah mengetahui bahwa urban space dibagi kedalam domain, dimana domain itu dibedakan oleh berbagai aturan
dan simbol. Adapun fungsi yang mendasar dari domain ini adalah untuk menentukan antara kita dengan mereka, antara
private dan public, jadi memastikan juga tingkat interaksi yang diinginkan seseorang, memasukan atau mengeluarkan
dan mengadakan control yang tepat.
Semua beda pendapat ini terjadi diantara bermacam macam kelompok, jadi apabila privacy secara luas diartikan adalah
sebagai control dari interaksi yang tidak diinginkan, ada tiga variabel yang terkandung didalamnya yaitu unwanted,
interaction, dan control., jadi ada perbedaan-perbedaan dalam memberikan toleransi, dan tentu saja dalam menentukan
pilihan dari berbagai tingkat interaksi. Dengan siapa seseorang berinteraksi, dimana dan dalam keadaan bagaimana,
apakah terdapat penarikan diri, dimana dua-duanya yaitu interaksi dan penarikan diri terjadi dalam merubah segalanya.

Definisi yang operasional mengenai privacy, yaitu penghindaran interaksi yang tidak diinginkan dengan orang lain,
yang melibatkan informasi yang mengalir dari orang ke orang. Interaksi yang tidak diinginkan dapat dikontrol dengan
aturan(sikap, penghindaran, hirarki,dll), melalui makna psychologi (penarikan diri, melamun, mabuk, tidak berselera,
dll), melalui isyarat perilaku, dengan menstrukturkan aktifitas dalam waktu( jadi individu tertentu atau kelompok
tertentu tidak bertemu), melalui pemisahan secara spatial, melalui perlengkapan fisik (dinding, lapangan, pintu, tirai,
kunci – mekanisme arsitektur yang mengontrol secara selektif atau menyaring informasi).(Rapoport, Amos. “Human
Aspects of Urban Form”, 1977),

2
jika privacy adalah situasi dimana orang menghindari interaksi dengan orang lain, maka public domain sebaliknya
dimana orang ingin melakukan interaksi dengan orang lain. Pada beberapa contoh hunian di America Latin juga
termasuk diantaranya di Indonesia, dimana public dan private dapat disebut juga dengan istilah daerah depan dan
daerah belakang, pemisahannya menggunakan simbol, seperti tirai kain atau tirai dari biji-biji an atau pintu.
Juga pada bangunan-bangunan kolonial dimana terdapat daerah untuk para pembantu, yang terletak di daerah belakang,
pada kenyataannya, seluruh masalah pada private dan public domain dapat dihubungkan dengan perbedaan antara
daerah depan dan belakang: dimana daerah depan merupakan daerah yang dipamerkan, memperlihatkan wajah yang
formal kepada dunia dan mengkomunikasikan public image, sementara daerah private dan service beserta perilaku
yang berantakan merupakan kontrol yang cocok dengan penetrasi yang ada.

3
Ruang pada public building yang seharusnya mudah diakses oleh setiap orang(individual atau collective) tidak
membutuhkan batas fisik yang kaku seperti pagar.

3. Territoriality Dalam Ruang Publik


Mengkaji tentang public dan private erat hubungannya dengan teritori, sebab teritori merupakan faktor terjadinya batas
fisik maupun batas imajiner antara public dan private domain. Teritori, didalam kajian arsitektur lingkungan dan
perilaku diartikan sebagai batas dimana organisme hidup menentukan tuntutannya, menandai, serta
mempertahankannya , terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain.
Konsep teritori bagi manusia menyangkut juga perceived environment serta imaginary environment. Artinya konsep
teritori bagi manusia lebih dari sekadar tuntutan atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga
untuk kebutuhan emotional dan kultural/budaya. Berkaitan dengan kebutuhan emosional, konsep teritori berkaitan
dengan isu isu mengenai ruang privat(personal space) dan publik, serta konsep mengenai privasi. Sementara berkaitan
dengan aspek kultur/budaya, konsep teritori akan menyangkut isu-isu mengenai areal sakral (suci) dan
profan(umum)(dikutip dari Haryadi & B. Setiawan “Arsitektur Lingkungan dan Perilaku”).

Sebuah mesjid(kanan) yang berseberangan dengan rumah tinggal(kiri) mempunyai batas teritori fisik yang sama yaitu
pagar, keduanya mempunyai fungsi yang amat berbeda yaitu public dan private juga sakral dan profan, bagaimana
membedakannya didalam disain?

Teritori terdiri dari teritori utama (primary) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh
orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya.
Contoh yang paling sederhana, terutama dalam kultur masyarakat Barat, adalah rumah dimana invasi atau memasuki
area rumah tanpa permisi merupakan sesuatu masalah yang sangat serius. Teritori sekunder (secondary) adalah suatu
area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang, mempunyai cakupan area
yang relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh kelompok yang menuntutnya. Contoh yang sederhana adalah suatu
lingkungan di pusat kota yang dikuasai oleh satu kelompok kriminal tertentu atau gang-gang remaja tertentu.
Teritori publik adalah suatu area yang dapat digunakan atau dimasuki oleh siapa pun, akan tetapi ia harus mematuhi
norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut. Contoh teritori publik adalah suatu lingkungan kampung yang
batas-batas fisiknya relatif jelas. Klasifikasi oleh Altman ini perlu dikaji kembali, terutama dikaitkan dengan kekhasan
aspek kultur masyarakat kita. Meskipun terlihat sederhana, aspek teritori ini merupakan unsur yang penting dalam
perancangan lingkungan, karena akan berkaitan dengan perasaan terhadap tempat (sense of place), identitas, simbol-
simbol ruang.

Mengkaji kembali konsep-konsep teritori yang dikembangkan oleh para peneliti Barat sangat penting, oleh karena
perbedaan dan kekhasan kultur masyarakat Barat dengan Timur. Bagi masyarakat Timur yang unsur-unsur komunalnya
lebih kental, konsep dan perwujudan teritori diasumsikan akan sangat berbeda dengan yang terdapat di Barat. Terutama

4
sebagaimana kita jumpai pada lingkungan-lingkungan pernukiman tradisional di Indonesia, pertimbangan kultural dan
norma-norma sosial setempat sangat berpengaruh pada batas-batas teritori suatu desa atau rumah tinggal.

Sebagai contoh adalah sebuah rumah tinggal perumahan menengah atas mempunyai batas fisik teritori berupa ruang
antara public dan private, juga pagar, sedangkan contoh dibawah ini adalah sebuah rumah tinggal perumahan
menengah bawah yang hampir tidak mempunyai batas teritori baik berupa ruang maupun pagar.

Banyak contoh dapat dipelajari antara lain dari rumah dan pernukiman desa tradisional di Bali yang-mempunyai batas-
batas.yang jelas mengenai teritori, begitu juga pada komunitas perkampungan di Suku Naga Jawa Barat. (dikutip dari
Haryadi & B. Setiawan “Arsitektur Lingkungan dan Perilaku”).

Salah satu pertanyaan besar yang perlu terus dikaji berkaitan dengan lingkungan perkotaan di Indonesia menyangkut
konsep-konsep mengenai ruang privat dan publik. Hal ini sangat menarik, terutama karena sistem sosial dan kultur
masyarakat kota di Indonesia, yang oleh beberapa ahli dikatakan tidak atau belum mencirikan urban way of life yang
sesungguhnya sebagaimana dikemukakan oleh Louis Wirth (1938). Meskipun dikotomi masyarakat kota dan desa yang
diusulkan Wirth ini semakin tidak diterima oleh banyak ahli, akan tetapi tetap menarik dalam konteks kajian arsitektur
lingkungan dan perilaku, terutama untuk mengetahui batas-batas ruang publik dan privat. Dalam kajian arsitektur
lingkungan dan perilaku, diusulkan paling tidak tiga tipologi untuk membedakan atau mengklasifikasikan batas-batas
ruang publik dan privat ini (Rapoport, 1977: 288-289).
Tipologi pertama adalah yang mengusulkan empat klasifikasi ruang perkotaan yakni: personal occupancy, terbatas
untuk keluarga (misalnya rumah), community occupancy, terbatas untuk satu anggota grup atau satu kelompok sosial

5
tertentu (misalnya lingkungan kampung), society occupancy, bebas untuk seluruh masyarakat kota (misalnya jalan-
jalan kota), serta free occupancy, tak ada pembatasan (misalnya: pantai atau lapangan terbuka).
Tipologi kedua, mengusulkan enam pembagian atau klasifikasi ruang kota yakni: urban public, terbuka untuk semua
(misalnya: jalan-jalan kota), urban semi-public space, terbatas penggunaannya (misalnya: kantor pos), grup publik,
bebas untuk beberapa kelompok penduduk kota (misalnya: deretan pertokoan), group private, terbatas untuk satu
kelompok saja (misalnya: kampung), family private, terbatas untuk satu keluarga (misalnya: rumah dan
pekarangannya),serta individual privat, hanya untuk individu (misalnya: kamar).
Tipologi :ketiga, mengusulkan empat klasifikasi akan tetapi berbeda dengan tipologi pertama yakni: public
territory, bebas untuk setiap orang, akan tetapi harus mematuhi norma-norma yang ditetapkan diarea tersebut, home
territory, dikuasai oleh satu keluarga, interactional territory, suatu area untuk berkomunikasi antar beberapa kelompok
sosial tertentu, body territory, yakni personal space yang bersifat individual.
Sekali lagi, tipologi di atas didasarkan atas definisi mengenai territory dan batas-batas antara ruang publik dan privat
yang samar-samar berbeda. Diperlukan penelitian lebih lanjut, khususnya dengan kasus Indonesia, untuk memahami
konsep dan wujud mengenai ruang perkotaan yang khas (mungkin) Indonesia.

4. Personal Space Dan Crowding Dalam Ruang Publik


Secara sederhana, Sommer mendefinisikan ruang privat(personal space) sebagai batas tak nampak di sekitar seseorang,
dimana orang lain tidak boleh atau merasa enggan untuk memasukinya. Personal space, sebagai bagian yang elementer
dari kajian arsitektur lingkungan dan perilaku menunjukan secara jelas pengaruh psikologis individu atau kultural
sekelompok individu terhadap kognisinya mengenai ruang.

Dalam konteks ruang individu ini, sebagai misal, sama sekali jauh batasan atau radius yang diklasifikasikan sebagai
ruang individu antara orang Inggris dan orang Perancis, Cina, serta Indonesia. Meskipun batas ruang privat ini
bervariasi, tergantung pertimbangan-pertimbangan personal seseorang (misalnya tergantung environmental, perception
mereka), secara umum dapat dikatakan bahwa orang Barat lebih menjaga jarak daripada orang Timur, untuk
mendapatkan ruang personal ini.

Jarak individu yang dijaga untuk mendapatkan personal space ini o!eh Sommer disebut sebagai individual distance.
Individual distance dan personal space memang seringkali dicampur adukkan, akan tetapi individual distance
sebenarnya merupakan faktor penentu personal space. Menurut Hall (1963; 1966) hubungan manusia dapat dijabarkan
melalui spatial zones yang terdiri dari intimate distance (0 sampai 1,5 feet), kemudian personal distance (1,5 sampai 4
feet), social distance(4 sampai 12 feet) dan public distance (lebih dari 12 feet).

6
Perlu dipahami bahwa personal space juga merupakan konsep yang dinamis dan adaptif, tergantung pada-situasi
lingkungan dan psikologis seseorang.
Dengan kata lain, jarak individu untuk mendapatkan personal space dapat bertambah atau mengecil. Orang yang
sedang dalam keadaan marah, biasanya berkeinginan untuk memperluas personal spacenya.. Sebaliknya, dua orang
yang sedang bercinta cenderung justru mempersempit personal space mereka.

Personal space seseorang dapat diperoleh pada public space, dengan membuat jarak duduk yang berjauhan, tetapi
ketenangan sulit diperoleh pada kondisi seperti ini.

Dinegara-negara Barat, studi terhadap personal space ini telah banyak dilakukan, akan tetapi, terus menjadi bahan
kajian yang menarik terutama karena beragamnya variasi personal space ini. Dikaitkan dengan konsep terltori, karena
batas-batas personal space tidak nampak secara fisik, studi mengenai personal space mengamati batas-batas ini dalam
bentuk gesture, posture, sikap, atau posisi seseorang. Konsep mengenai personal space ini, lebih lanjut menentukan isu
lain dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku yakni crowding (kesumpekan).

Secara urnum dapat dikatakan bahwa crowding adalah situasi dimana seseorang atau sekelompok orang sudah tidak
mampu mempertahankan personal spacenya. Dengan kata lain, oleh karena situasi tertentu, masing-masing telah
mengintervensi batas-batas personal space. Oleh karena personal spacenya diintervensi oleh orang atau banyak orang
lain, situasi crowding, apabila menerus akan mengarah pada munculnya stres. Secara urnum dapat dikatakan bahwa
faktor utama crowding adalah densitas manusia yang terlalu tinggi di suatu tempat. Akan tetapi, mengingat bahwa
konsep personal space menyangkut pula aspek psikologis dan kultur seseorang, masalah crowding tidak hanya
berkaitan dengan densitas fisik.

7
Di bidang psikologi, telah banyak dilakukan penelitian mengenai crowding akan tetapi lebih pada efek dari crowding,
terutama kepada individu-individu. Dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, studi crowding diarahkan pada
determinant, proses, serta persepsi tentang crowding. Dengan kata lain, peneliti mencoba menjawab beberapa
pertanyaan antara lain: dalam kondisi seperti apa crowding menimbulkan efek negatif terhadap seseorang? faktor-
faktor apa yang berperan dalam menimbulkan crowdings serta mengapa crowding menimbulkan efek yang berbeda
pada banyak orang? Berdasar Loo (1977) determinan crowding dapat dikategorikan menjadi tiga yakni: (1)
environment, (2) situational, serta (3) intrapersonal.

Faktor lingkungan (environment) diklasifikasikan lagi menjadi faktor fisik dan sosial. Faktor fisik terutama
menyangkut dimensi tempat, densitas, serta suasana suatu ruang atau tempat (warna, susunan perabot dll). Faktor sosial
meliputi norma, kultur, serta adat istiadat. Faktor situasional menyangkut karak teristik dari hubungan antar individu,
lama serta intensitas kontak. Faktor ini menunjukkan bahwa meskipun secara fisik, densitas suatu tempat tata ruang
sangat tinggi, akan tetapi kalau secara situasional, hubungan antar orang-orang yang berada di tempat tersebut intim,
saling mengenai, serta lama hubungannya terbatas (misalnya dalam kasus pesta antar kolega di satu pub) tidak dapat
dikatakan mncul situasi crowding. Faktor ketiga, intrapersonal, meliputi karekteristik dari seseorang antara lain: usia,
sex, pendidikan.pengalaman, sikap.

Kompleksitas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap crowding ini menarik dan menimbulkan obsesi para peneliti di
bidang arsitektur lingkungan dan perilaku.

5. Kesimpulan
Didalam mengkaji ruang publik dan ruang privat terdapat dikotomi didalam masyarakat urban kita, terutama
disebabkan oleh karena masyarakat kita yang kebanyakan merupakan masyarakat pendatang, sehingga terdapat
perbedaan pandangan dalam membatasi ruang publik dan ruang privat. Pada masyarakat kota asli yang mempunyai
tingkat pendidikan yang tinggi, batas antara ruang publik dan ruang privat dapat terlihat dengan jelas baik secara fisik
maupun secara imajiner, mereka mengerti betul batas teritori mereka, hal ini disebabkan karena “Urban Way of Life”
yang sudah melekat pada strata masyarakat ini, sedangkan bagi masyarakat pendatang yang pola kehidupannya masih
kekeluargaan dan gotong royong, maka batas antara publik dan privat terasa masih kabur, bertetangga bengan baik
berarti diijinkan untuk memasuki daerah privat tanpa permisi. Kemudian dalam hal perasaan memiliki ruang publik
seperti halnya jalan, pada masyarakat kita masih terasa bias, pada ruang jalan masih terasa ada konflik kepentingan,
terutama apabila menyangkut hal hajat hidup masyarakat strata kelas sosial bawah, menutup jalan dengan portal tanpa
merasa bersalah demi kemanan dan kenyaman satu kelompok kecil sudah menjadi satu budaya pada masyarakat urban
kita, sehingga hal tersebut menjadi pembenaran yang bukan berdasarkan norma dan aturan, tetapi berdasarkan konvensi
kelompok kecil.
Demikian halnya dengan personal space dan crowding di masyarakat kita memperlihatkan fenomena yang berbeda
dengan masyarakat barat, melihat orang lain sedang mencari kesendirian di ruang publik terasa sangat janggal, dan
seolah mempunyai hak untuk mengganggu untuk mengajak mengobrol orang tersebut, bahkan itu dianggap keramah
tamahan. Untuk melakukan olah raga dan rekreasi pun masyarakat kita masih tidak merasakan ketidak nyamanan
walaupun dalam keadaan berdesak-desakan penuh dengan orang, atau pada ruangan yang kecil dan sempit sekalipun.
Jadi pertanyannya adalah bagaimana mewujudkan batas teritori pada public domain dan private domain secara

8
arsitektur didalam masyarakat kita (pada perumahan), dan bagaimanakah bentuk ruang terbuka publik yang dapat
menciptakan ruang-ruang personal? Semuanya perlu diteliti ulang sesuai dengan perilaku masyarakat kita

Daftar Pustaka

1. Bell, Paul A, Fisher Jeffrey D, Loomis, Roos J, 1976 “Environmental Psychology”.


2. Haryadi , Setiawan, B. 1995 “Arsitektur Lingkungan Dan Perilaku”.
3. Hertzberger, Herman. 1988 “Lessons For Students In Architecture”.
4. Lang, Jon, Burnette, Charless, Moleski, Walter, Vachon David. 1974 “Designing For Human Behavior”.
5. Rapoport, Amos, “Human Aspects Of Urban Form”, 1977.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai