Disusun Oleh :
ILMU POLITIK
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan aspek paling penting dalam melihat perubahan politik di Timur
Tengah. Liberalism dan Marxisme telah mengubah system dan struktur politik di
Timur Tengah. Saat Timur Tengah memasuki era modern, pengaruh barat menjadi
dominan. Ini terjadi karena kolonialisasi barat tidak hanya bertujuan untuk
menguasai sumber daya alam, tetapi juga melemahkan system politik di Timur
Tengah agar sejalan dengan kepentingan Barat. Pada awal kemerdekaan, para
penguasa Timur Tengah tidak hanya pro-Barat, tetapi juga berusaha menerapkan
sekularisme secara radikal. Akibatnya, demi mempertahankan kekuasaan mereka,
para rezim menjadi otoriter dan tidak memberikan ruang kebebasan kepada
mereka, para rezim menjadi otoriter dan tidak memberikan ruang kebebasan
kepada rakyat mereka. Rakyat Timur Tengah hidup terkekang, mengalami
kemunduran ekonomi, sementara para penguasa menikmati hidup mereka.
Kegagalan rezim di Timur Tengah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat
yang menimbulkan terjadinya oposisi massa. Gerakan oposisi ini biasanya
dipelopori oleh kelompok sosialis dan islam. Kedua kelompok ini menjadi ancaman
serius bagi para rezim Timur Tengah. Kelompok sosialis menyoroti keadaan rakyat
yang tertindas dan diabaikan hak-haknya, sementara kelompok islam memandang
system sekuler telah gagal memberikan manfaat bagi rakyat. gerakan islam
muncul sebagai gerakan politik dan menawarkan islam sebagai solusi alternatif.
Dampaknya, munculnya gerakan islam yang termanifestasi dalam kegiatan politik
menjadi sumber masalah serius bagi para rezim yang berkuasa. Respons para
rezim di Timur Tengah beragam dalam menghadapi kemunculan gerakan islam
yang menuntut perubahan komprehensif. Para penguasa mendapatkan tekanan
untuk melakukan perubahan. Jika tidak, kekuasaan mereka akan terancam. Arab
Saudi memberikan respons berbeda dalam gelombang gerakan islam. Di Arab
Sausi gelombang islamisme yang merongrong kekuasaan Dinasti Saud terjadi
setelah munculnya Revolusi Iran pada tahun 1979 dan setelah perang Teluk 1991.
Iran dicurigai ikut mendalangi pemberontakan yang dilakukan oleh Juhaiman Al-
Uthaibi yang berhasil menduduki Masjidil Haram pada tahun 1979. Kritik
kelompok islam menguat Kembali, terutama setelah perang Teluk ketika kerajaan
Arab bersekutu dengan Amerika Serikat guna membendung ancaman agersi Irak
yang dipimpin oleh Saddam Hussein. Arab tidak memberikan ruang sedikitpun dan
cenderung bersifat represif pada kelompok-kelompok oposisi yang dimotori oleh
gerakan islam. Politik islam tidak mendapatkan ruang dan dijadikan sebagai
musuh negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh idiologi politik sejarah liberalism di arab ?
2. Bagaimana pengaruh idiologi politik sejarah marisme di arab?
BAB II
PEMBAHASAN
Arab Saudi merupakan negara kerajaan yang selama ini dikenal sebagai
gerbong utama yang menggerakkan penyebaran paham Wahabisme. Di negeri
Haramain ini Wahhabi lahir dan tumbuh menjadi sebuah ideologi besar, yang
konon menaungi segenap kebijakan yang lahir di negeri kerajaan tersebut.
Kombinasi antara seorang teolog sekaligus revivalis, Muhammad ibn Abd
alWahhab, dengan seorang kepala Suku lokal Arab, Muhammad Ibn Saud,
melahirkan sebuah gerakan politik keagamaan yang kemudian menjadi basis
konstitusi yang berlaku di kerajaan Arab Saudi. Esposito menegaskan, kerajaan
Arab Saudi sejak dari awalnya telah mengadalkan campuran antara agama dan
kekuasaan politik. Akibatnya, narasi agama masuk dalam berbagai kebijakan
politik Saudi sehingga memunculkan betasan-batasan yang tidak boleh disentuh
oleh rakyat Saudi.
Liberal diambil dari Bahasa latin liber yang berarti bebas dan bukan budak
atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebasdari kepemilikan orang lain. Makna
bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang
membuka pintu kebebasan berfikir (The Old Liberalism). Dari makna kebebasan
berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.
Secara politis liberalism merupakan ideologi politikyang berpusat pada individu,
dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak
dihormati, hak berekspektasi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan gama
dan ideologi. Dalam konteks social liberalism diartikan sebagai suatu etika social
yang membela kebebasan dan persamaan secara umum. Menurut Alonzo L.
Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalism adalah paham
ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan, persamaan dan
kesempatan.
Dalam sejarahnya liberalism ini berasal dari Yunani Kuno, salah satu elemen
terpenting dari peradaban Barat. Namun jika dilacak hingga abad pertengahan,
liberlisme dipicu oleh kondidi system ekonomi dan politik ynag didominasi oleh
system feudal. Di dalam system ini, raja dan bangsawan memiliki hak-hak
istimewa, sedangkan rakyat jelata tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk
menggunakan hak-hak mereka, apalagi hak untuk ikut serta dalam mobilisasi
social yang dapat mengantarkan mereka menjadi kelas atas. Perkembangan
awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan
Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada
bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan raja
John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalism awal (early liberalism).
Liberalism awal sendiri ditandai dengan perlawanan dan pembatasan terhadap
terhadap kekuasaan pemerintah yang cenderung absolut.
َك َعلَ ٰى َش ِري َع ٍة ِّمنَ اأْل َ ْم ِر فَاتَّبِ ْعهَا َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َء الَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُمون
َ ثُ َّم َج َع ْلنَا
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui. [al-Jâ tsiyah/45:18][4].
Perbedaan identitas dan kemudian gesekan antara satu peradaban dan worldview
inilah yang diskenariokan dan diteorikan Samuel P. Huntington sebagai “clash of
2
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam
http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
civilization” (benturan peradaban). Benturan ini menurutnya akan mengakibatkan
ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan. Selain itu, tesis
Huntington merupakan deklarasi ataupun self disclosure bahwa Barat akan
berhadapan dengan peradaban yang berbeda dan akan mengakibatkan
ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan. Masalahnya
bukan hanya karena terdapat perbedaan antar peradaban, tapi karena peradaban
atau bangsa-bangsa Barat mengklaim cara pandang mereka itu “universal” dan
dapat dianut oleh seluruh umat manusia. Persoalannya apa yang oleh Barat itu
dianggap “universal” ternyata tidak demikian bagi umat Islam. Faktanya memang
antara konsep-konsep Barat dan Islam terdapat perbedaan yang tidak dapat
disatukan. Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial menyebabkan konflik,
clash atau dalam bahasa Peter L. Berger disebut collision of consciousness (tabrakan
persepsi). Pada tingkat individu, mengakibatkan terjadinya pergolakan pemikiran
dalam diri seseorang dan pada tataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan
kebingungan konseptual (conceptual confusion). Perang pemikiran pada tingkat
inidividu inilah yang kini dirasakan umat Islam Indonesia. Jadi perang pemikiran
dalam skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan kebudayaan Barat
atau pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat. Akan tetapi Barat berusaha
memaksakan penggunaan konsep-konsep mereka itu ke dalam pikiran umat Islam.
Pemaksaan itu dikenal dengan proyek westernisasi13 dan globalisasi. Penggunaan
istilah “Islam fundamentalis”, “Islam Liberal”, “Islam tradisional”, “Islam modern”
dan sebagainya merupakan sedikit contoh bagaimana terminologi dan konsep-
konsep Barat dipaksakan kepada umat Islam. Untuk penyebaran bidang budaya,
paham-paham dan ideologi digunakan proyek Westernisasi dan Globalisasi, untuk
penyebaran bidang pemikiran keislaman digunakan gerakan orientalisme, untuk
memperluas penerimaan kultur dan kepercayaan Barat digunakan gerakan
misionarisme dan untuk penaklukan dunia Islam di berbagai bidang digunakan
kolonialisme. Sebenarnya jika globalisasi dipahami secara adil maka Barat dapat
memahami worldview Islam dan bahkan dapat saling tukar menukar konsep dan
sistem yang tidak bertentangan dengan worldview masing-masing. Namun,
kenyataannya sikap Barat jauh dari harapan itu. Masyarakat Barat memang
terbukti tidak toleran dan bahkan resisten terhadap praktik-praktik keagamaan
masyarakat Islam di Barat. Di negeri-negeri mereka (Barat) misalnya kita tidak
akan pernah menyaksikan mimbar agama Islam di TV, atau perayaan hari Raya
Islam di tempat terbuka, kumandang azan dari menara masjid. Padahal di negara
mayoritas Muslim umat Kristiani bebas merayakan hari natal, caramah di TV,
membunyikan lonceng gereja dan sebagainya. Demikian pula dalam soal pakaian.
Di Barat pakaian jilbab bagi Muslimah di “haramkan”, sementara umat Islam
Indonesia dipaksa toleran terhadap orang Barat yang berpakaian setengah
telanjang di tempat-tempat umum. Jika sikap masyarakat Barat begitu resisten,
maka tidak heran jika umat Islam juga resisten terhadap paham-paham sekuler,
liberal, pragmatis dan hedonis serta berbagai kultur yang khas masayarakat Barat.
Sudah tentu situasi seperti ini harus diterima sebagai konflik atau perang
pemikiran yang telah terjadi dan berjalan terus. Inilah yang disebut dengan
Ghazwul fikri (perang pemikiran). Kini setelah peristiwa dramatis 11 September
2001, upaya-upaya Barat untuk menyebarkan nilai, ide, konsep, sistem dan kultur
Barat ke dunia Islam semakin gencar dan merupakan kerjasama kompak antara
Barat kolonialis, orientalis dan misionaris. Karena hal ini berkaitan dengan
pemikiran, maka mediun yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan
pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiah,
seperti buku, makalah-makalah dan workshop-workshop ataupun berupa opini di
media elektronik dan media massa. Namun, medium yang paling efektif bagi
penyebaran teori, konsep dan ideologi adalah bangku-bangku kuliah di perguruan
tinggi melalui transmisi oral para intelektual, ulama, saintis, budayawan. Melalui
berbagai sarana inilah maka secara teknis paham, ide, konsep, sistem dan teori
liberalisme Barat disebarkan ke dunia Islam.
Liberalisasi pemikiran Islam melalui program westernisasi dan globalisasi dalam
beberapa program di atas, memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kehidupan sosial umat Islam. Maryam Jameela, dalam bukunya Islam versus the
West, memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang
fundamental. Sehingga menurutnya, tindakan imitatif terhadap pandangan hidup
Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekuler, akan
berujung pada pemusnahan ajaran Islam. Dengan prinsip menjunjung tinggi
kebebasan individual, liberalisme memperbolehkan setiap orang melakukan apa
saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat aturan-
aturan agama. Bahkan kalau memang aturan agama yang ada tidak sesuai dengan
kehendak manusia, maka yang dilakukan kemudian adalah menafsir ulang ayat-
ayat Tuhan agar tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme.
Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun terjadi. Sebagaimana kasus-
kasus homoseksual, seks bebas, dan aborsi, bisa dianggap legal karena telah
mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang itu. Berikut
dampak-dampak liberalisasi pemikiran dalam konteks sosial yang diklasifikasikan
dalam bidang syari’ah, akidah, dan akhlak. Dalam bidang syari’ah, liberalisasi Islam
akan berdampak pada relativitas hukum-hukum syari’at yang telah pasti dan
absolute. Bagi mereka hukum-hukum Islam tersebut perlu untuk ditinjau kembali
dan disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena dunia saat ini
dikuasai oleh pradaban Barat yang berpahamkan sekuler dan liberal, maka secara
otomatis Islam harus mengikuti nilai-nilai liberal tersebut. Akhirnya kebenaran
mendasar dari agama dipandang hanya sebagai teori-teori, atau dibuang sebagai
ilusi yang sia-sia.3
Relativitas nilai inilah yang kemudian banyak memberikan dampak negatif
terhadap kehidupan sosial masyarakat. Baik terhadap seluruh masyarakat dunia
umumnya, ataupun Muslim khususnya. Agama Kristen dan Yahudi yang berada di
Barat secara otomatis telah lebih dahulu diliberalkan, sehingga mengakibatkan
terpisahnya agama dari ruang publik.
Negara-negara Barat tentu tidak merasa perlu menyeru masyarakat Muslim untuk
murtad dari Islam, karena pasti akan ditentang oleh umat Islam. Cukuplah mereka
mengajak kaum Muslim untuk mengikuti budaya yang mereka produksi. Setelah
itu, sejengkal demi sejengkal Muslim meninggalkan aturan agamanya dengan suka
rela. Hal ini sesuai dengan apa yang ditargetkan oleh Samuel M Zwemer. Ini
merupakan bahaya yang harus disadari dan dilawan oleh seluruh umat Islam.
Sebab, kerusakan yang dibawa liberalisme telah demikian nyata sehingga tidak
boleh diberi tempat sedikitpun dalam tubuh umat Islam. Justru yang harus terus
digencarkan adalah memulihkan kesadaran kaum Muslim untuk senantiasa terikat
dengan syariat Islam. Hanya syariat Islamlah yang mampu mengembalikan umat
3
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, 26.
manusia ke derajat kemuliaannya. Sebab syari’ah adalah sumber segala perlakuan
terhadap manusia. 4
B. Pengaruh Idiologi Politik Sejarah Marxisme Di Arab
Arab Saudi merupakan salah satu negara yang turut merasakan kekhawatiran
dengan ekspor revolusi dari negara para mullah tersebut. Bagi sebagian pihak,
revolusi Iran merupakan sebuah kemenangan Islam atas imperialisme Barat, yang
melahirakan nilai inspiratif tersendiri. Namun bagi Arab Saudi revolusi Iran
dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas kerajaan Saudi pada khususnya dan
kawasan Timur Tengah pada umumnya. Revolusi Islam Iran diasumsikan dengan
terorisme, penyanderaan, serangan ke kedutaan-kedutaan, dan promosi aktivitas
revolusioner. Asumsi negatif atau streotif tersebut muncul dari pihak-pihak yang
merasa terancam dengan kondisi geopolitik di kawasan Timur Tengah pasca
revolusi Islam Iran.
Marxisme merupakan ideologi yang dikembangkan oleh Karl Mark yang
muncul sebagai respons da ri dampaknya kapitalisme muda pada abad 18 M.
ideologi ini merupakan ideologi yang kompleks dan rinci yang mencaku cara
pandang filsafat politik, ekonomi dan social yang didasarkan pada materialistic
terhadap sejarah, kritik terhadap kapitalisme, teori perubahan social, pandangan
ateistik mengenai pembebasan manusia, rencana masa depan dan konsepsi
tentang sebuah masyarakat yang adil. 5 Bagi Marx semua sejarah merupakan
sejarah dari perjuangan kelas yang menunjukkan jauth bangunnya system
ekonomi di dunia.
Marxisme ini merupakan varian dari sosialisme yang ajarannya berasal dari
pemikiran Karl Mark itu sendiri. Dalam Filsafat Karl Mark ini memberikan senjata
kepada umat manusia terutama kelas buruh dengan alat-alat pengetahuan yang
perkasa yang sebelumnya filsafat ini telah disempurnakan. Filsafat harus keluar
menuju dunia termasuk di Arab Saudi. Ketidaksesuaian berbagai teori selain Karl
Marx mengenai Marxisme ini menyebabkan dilsafat harus diuji kepraktisannya
dan memalingkan hasratnya terhadap dunia.6
6
Ramin, Maghfur M. 2017. Teori Kritis Filsafat Lintas Madzab. Yogyakarta: Sociality
Realisasi dalam filsafat materialism ini menurut Marx adalah mengalahkan
kapitalisme borjuis melalui perjuangan kelas buruh industry, ide final dari Marx
yaitu pembentukan masyarakat komunis yang ahirnya menghaouskan kontradiksi
laten dari si pemeras dan yang diperas. Marx mengkritis dan berkeinginan
menghapus system kapitalisme yang menindas masyarakat. Karea idiologi ini
seolah memberikan mimpi kepada masyarakat dalam hal keadilan yang diberikan
para penguasa akan dibagikan secara merata, tetapi dalam kenyataannya tidak
demikian. Ideologi tersebut telah menyembunyikan watak aslinya yaitu
keserakahan kapitalis.
7
Kusumohamidjojo, Budiono. 2015. Filsafat Politik dan Kotak Pandora abad ke-21. Yogyakarta: Jalasutra.
dapat dihilangkan dan segala dasar material bagi ketidaksetaraan diantara umat
manusia dapat diakhiri.
1. Eksploitasi. Eksploitasi ini terjadi karena terdapat selisih nilai kerja akibat
dari adanya kerja yang lebih banyak yang dihasilkan oleh kaum buruh
daripada yang seharusnya diterimma sebagai imbalan atau upah. Arti lain
jika buruh tersebut menghasilkan kerja lebih dari apa yang dikonsumsi oleh
masyarakat. Buruh bekerja lebih tetapi tidak menerima nilai lebih dari
kerjanya. Selisih nilai antara nilai produksi dengan nilai yang diterima
pekerja sama dengan kerja lebih dan selisih itulah yang disebut dengan
surplus yang diambil oleh kaum kapitalis. Pada zaman feudal atau
prakapaitalis, eksploitasi ini terjadi secara paksa, sedangkan dalam era
kapitalis buruh dengan sukarela memasuki hubungan kerja dengan pemilik
modal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
2. Alienasi. Alienasi atau pengasingan ini hakikatnya terjadi sebagai akibat
dari sistematis kapitalisme. Menurut Karl Marx alienasi ini terdiri dari 4
unsur, yaitu (a) para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari
pekerjaan mereka, (b) pekerja teralienasi dari sesama pekerja, (c) dalam
kapitalisme para pekerja teralienasi dari masyarakat dimana mereka hidup,
(d) kehidupan manusia teralienasi dari alam. 8 Alienasi Marx merupakan
koreksi terhadap konsep alienasi Hegel yang terbatas pada proses
kesadaran diri, tetapi oleh Marx keterasingan atau alienasi diri dari
seseorang ditentukan oleh kondisi kelasnya bukan karena kesadran diri.
Alienasi ini dapat di atasi jika terdapat sarana yang menjembatani antara
manusia dan alam. Yang dimaksud dengan perantara ini adalah kerja.
Dengan kerja dapat mengubah alam objektif dan dapat menyesuaikannya
dengan alam subjektifnya. Manusia menjadikan alam sebagai bagian dari
dirinya. Sehingga ala menjadi berhuna bagi kehidupan manusia. Hanya
8
Rejai, Mostafa. 1991. Political Ideologis A Comparative Approach. New York: M. E. Sharpe, Inc
dengan kerja alam bisa dimanusiawikan dan manusia tidak akan terasing
dari alamnya sendiri.
3. Materialism historis. Materialism historis ini bisa disebut dengan Dialectical
Materialism. Dialektika diartikan sebagai konflik sedangkan materialism
berarti menunjukkan sebuah kekuatan atau kelas ekonomi. Jika
digabungkan materialism dialektika bermakna konflik kelas. Dalam system
kapitalis konflik kelas terjadi antara kelas borjuis atau yang memiliki alat-
alat produksi dengan kelas proletary yaitu kelas pekerja atau buruh yang
tidak menguasai alat-alat produksi. Konflik kelas dalam pemikiran Marx itu
penting dikarenakan sebuah kelas benar-benar eksis yang hanya ketika
menyadari kalau kelas tersebut sedang berkonflik dengan kelas-kelas
lainnya. Marx memandang bahwa ketidakadilan akan berlangsung terus
selama system kapitalis tidak diganti. Marx menyarankan perlunya kelas
proletary memiliki keasadaran kelas untuk Bersatu melawan kelas borjuis
dan mengalahkannya sehingga dapat dicapai masyarakat tanpa kelas.
4. Subtruktur dan superstruktur. Ini merupakan dimensi yang ada di dalam
masyarakat. Subtruktur disebut dengan pondasi yang merupakan dimensi
penting berupa struktur ekonomi dalam masyarakat yang ditegaskan dalam
istilah ownership of private property. Superstruktur terdiri dari atas segala
hal yang ada di dalam masyarakat, seperti budaya masyarakat, seni, agama,
institusi social dan politik, dan praktik-praktik dalam masyarakat yang
ditentukan keberadaannya oleh subsruktur dalam masyarakat yang
dikendalikan oleh kelas dominan atau kelas penguasa di masyarakat. Kelas
penguasa menggunakan seni, budaya, politik, dan ideologi supaya mereka
dapat memelihara kelas bawah pada tempatnya, dapat menjaga posisi
dirinya dan mengabadikan aturannya.
5. Kelas social. Dalam system kapitalis terdapat du akelas yang dipengaruhi
oleh hubungan produksi, yaitu kelas borjuis dan kelas proletary. Kelas
borjuis adalah kelas yang menguasai alat-alat produksi yang memiliki
kemampuan membeli tenaga kerja sekaligus memiliki power untuk
melakukan eksploitasi terhadap kelas pekerja. Sedangkan kelas proletary
adalah mereka yang menjual tenaganya karena tidak memiliki alat-alat
produksi. Kusumohamidjojo (2015) menambahkan kelas proletary seperti
para criminal jalanan,petualang, gelandangan dan pengemis yang dalam
kegiatan ekonomi menjual tenaganya agar dapat memperoleh uang.
6. Ideologi. Menurut Marx ideologi bukan saja kesadaran yang keliru
melainkan juga digunakan oleh penguasa untuk mrnyembunyikan
kepentingan tertentu. Kaum pemikir yang disubordinasi oleh kaum
penguasa untuk memproduksi pengetahuan yang menjamin terpeliharanya
posisi kelas penguasa. Ideologi berlangsung melalui proses hegemoni.
Gramci percaya bahwa hegemoni akan berhasil apabila kelas penguasa
berhasil menyingkirkan kekuatan oposisi dan memenangkan persetujuan
baik secara aktif maupun pasif dari para sekutunya. Menurut Gramsci,
proses hegemoni bekerja dakam dua arah yaitu top-down pada saat rezim
opresif melakukan hegemonisasi dan bottom-up pada saat resistensi
masyarakat terhadap penindasan atau tekanan rezim. Melalui proses
hegemoni inilah kelas yang menguasai negara dapat bertahan lama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Liberalisme pemikiran Islam merupakan hasil adopsi dari ide dan
konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan serta peradaban Barat.
Liberalisme yang bermula dari bidang sosial dan politik, telah
memarjinalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan
politik secara perlahan-lahan. Kemudian agama ditundukkan di bawah
kepentingan politik dan humanisme. Ketika pandangan Barat ini gencar
diekspor ke negara-negara Islam,tidak sedikit cendekiawan Muslim
yang mengimpor pemikiran Barat ini. Bahkan mereka dengan gencarnya
menawarkan konsep ke semua elemen masyarakat. Akhirnya banyak
dari mereka yang berpikir “agar maju, umat Islam harus meniru Barat”.
Di Indonesia sendiri banyak dari kalangan cendekiawan Muslim, baik
yang berstatus mahasiswa, dosen atau aktifis yang telah tersusupi
paham liberalisme. Tantangan pemikiran akhirnya bukan lagi berasal
dari luar, melainkan berasal dari tubuh Islam sendiri. Jika liberalisme
tersebut diadopsi ke dalam pemikiran Islam, yang berimplikasi pada
relativitas kebenaran, maka kebenaran mendasar dari agama dipandang
hanya sebagai teori bahkan dibuang sebagai ilusi yang sia-sia. Pada
akhirnya kerusakan akhlak dan akidah pun tidak bisa dihindari. Maka
dari itu liberalisasi yang dipicu oleh globalisasi dan westernisasi, lebih
merupakan perang pemikiran, perang konsep, dan perang ide. Untuk
menghadapi ini semua, kuncinya adalah kembali kepada Islam yang
patuh dan tunduk kepada peraturan Allah SWT, Islam yang bebas dari
intervensi dan distorsi nilai dari Barat. Hal ini bisa terjadi setelah Islam
betul-betul tertanam dalam kesadaran pikiran seorang Muslim.
Penanaman kesadaran tersebut tentunya melalui peningkatan
pengetahuan Muslim dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi
keilmuan yang dikembangkan dari pandangan hidup Islam (Islamic
Worldview) yang bersumber dari alQur’an, sunnah, dan warisan tradisi
intelektual Islam masa lampau.
C. Masalah pemikiran adalah masalah yang berkaitan dengan ilmu, dan
masalah ilmu berkaitan dengan ibadah. Jika terjadi kerancuan
pemikiran maka upaya atau meng-islah permikiran
D. tersebut adalah termasuk dalam bab ibadah. Kerancuan pemikiran yang
disebabkan oleh masuknya anasir peradaban di luar Islam bukan terjadi
pada masa sekarang saja, tapi sejak periode awal peradaban Islam
bangkit dan berkembang. Dalam situasi perang pemikiran seperti ini
Islam sebagai agama yang telah memiliki mekanisme tersendiri untuk
merespon.
E. Namun perlu diingat bahwa perang pemikiran memerlukan rentang
waktu yang lebih lama, ia bahkan boleh jadi berlangsung sepanjang satu
generasi. Maka dari itu dalam perang pemikiran yang dipicu oleh
globalisasi dan westernisasi ini umat Islam tidak perlu membawanya
kepada peperangan fisik. Akhirul kalam, perlu disadari bahwa pemikiran
mempunyai peran penting dalam pembangunan peradaban Islam, sebab
dalam Islam pemikiran selalu mendahului perilaku individu, ilmu selalu
mendahului amal. Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu. Ilmu
tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong (al-
Ghazzali). Amal tanpa ilmu lebih cenderung merusak daripada
memperbaiki. Oleh sebab itu dalam menghadapi perang pemikiran
prioritas utama perlu diberikan kepada peningkatanilmu pengetahu an
dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi keilmuan yang
dikembangkan ari pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-
Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam perlu terus
dipertahankan dan dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA