Pakar Psikologi (Papalia & Olds, dalam Human Development, mengemukakan bahwa
usia terbaik dan membahagiakan untuk menikah, bagi dan membahagiakan untuk menikah, bagi
perempuan adalah 19-25 tahun,dan laki-laki usia 20-25 tahun. Sigmund Freud (Pakar
Psikoanalisa), Libido seksual pada usia dewasa awal / mahasiswa sedang berada pada masa
puncaknya.
Hal ini juga diatur dalam Undang-undang nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan pasal
7 menyebutkan Perkawinan hanya diizinkan jika pria berusia 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai 16 tahun. Kini berdasarkan peraturan perundang-undangan perkawinan yang telah
direvisi dan disetujui oleh MK, usia maksimal perkawinan adalah 19 tahun baik bagi wanita
maupun pria. Namun berdasarkan penelitian kesehatan, kesiapan usia menikah yang ideal adalah
21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Kesiapan ini diperlukan agar para calon pengantin
mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reprodukasi, kehamilan, merawat anak serta
kehidupan berkeluarga.
Batasan usia tersebut dianggap sudah siap menghadapi kehidupan keluarga yang
dipandang dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional. Apabila terjadi perkawinan sebelum
usia yang dianjurkan usahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia minimal 21 tahun.
Dampak positif jika menikah pada usia yang matang adalah adanya kedewasaan dalam
menyikapi berbagai permasalahan yang timbul setelah perikahan baik secara biologis maupun
kejiwaan. Sebaliknya pernikahan dibawah umur seringkali berakibat tidak langgengnya ikatan
perkawinan karena masih labilnya emosi dan kejiwaan dalam mensikapi berbagai permasalahan
setelah pernikahan sehingga rawan terjadinya perceraian. Boleh jadi banyaknya kasus perceraian
yang terjadi belakangan ini disebabkan karena pernikahan yang tidak direncanakan atau karena
keterpaksaan.
Banyak kasus pernikahan usia dini di Indonesia. Padahal banyak dampak buruk yang
akan ditimbulkan, antara lain (1) gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan
perkembangan emosional; (2) Berbagai risiko kesehatan akibat hubungan seksual usia dini,
seperti kanker leher rahim. Perkawinan pada usia muda meningkatkan risiko berganti pasangan,
sehingga meningkatkan risiko hepatitis B dan infeksi penyakit menular seksual lainnya termasuk
HIV dan AIDS; (3) Risiko kehamilan dan persalinan usia dini, seperti keracunan kehamilan,
perdarahan hebat, cacat bawaan pada janin, bayi lahir prematur atau berat lahir rendah dan
kematian ibu; (4) Risiko psikologis. Emosi yang belum stabil, memungkinkan banyaknya
pertengkaran atau bentrokan (KDRT) yang berkelanjutan dan dapat mengancam kelangsungan
rumah tangga dan berujung pada perceraian; (5) Risiko ekonomi/keuangan. Perkawinan dini
umumnya belum mandiri secara ekonomi dan ini dapat menjadi sumber ketidakharmonisan
keluarga; (6) Risiko pendidikan. Perkawinan dini dapat menyebabkan pencapaian pendidikan
tinggi terhambat; (7) Resiko hukum. Perkawinan yang dilangsungkan kurang dari syarat usia
berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Orangtua dan/atau pengantin
terancam dapat dipidana kurungan sekurang-kurangnya lima tahun dan setinggitingginya 15
tahun, dan dapat diancam dengan denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000 (lima milliar rupiah).
KESIAPAN FISIK
Kesiapan fisik meliputi kesiapan secara biologis seperti kesiapan organ tubuh untuk
melakukan proses reproduksi seperti melakukan hubungan seksual yang sehat dan aman,
kemampuan melakukan pengasuhan serta pekerjaan rumah tangga dengan baik. Dengan kesiapan
fisik yang baik seseorang akan dapat merawat dan membersihkan diri dengan baik sehingga
dapat melakukan hubungan seksual dengan baik dan sehat.
Disamping kesiapan fisik, seseorang yang akan menikah juga harus dibekali dengan
kesiapan mental dan emosi yang baik. Oleh karena itu menikah diusia yang ideal 21 tahun bagi
wanita dan 25 tahun bagi pria merupakan usia pernikahan yang direkomendasikan dari sisi
kesehatan karena pada usia ini calon penganten sudah mempunyai mental dan emosi yang stabil
sehingga jika terjadi permasalahan atau goncangan dalam biduk rumah tangga mereka, pasangan
keluarga ini akan dapat mengatasinya secara dewasa dan penuh tanggung jawab. Sebesar
apapun badai yang menerpa dalam keluarga akan disikapi dengan tenang dan penuh pengertian,
dan badai itupun pasti akan berlalu.
Kesiapan psikologis untuk menikah diartikan sebagai: (1) kesiapan individu dalam
menjalankan peran sebagai suami atau istri; meliputi pengetahuan akan tugasnya masingmasing
dalam rumah tangga; (2) kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi; (3) mampu melakukan
manajemen konflik yang sehat.
Untuk mencapai kesiapan psikologis hal hal yang perlu diusahakan ialah (1)
Menumbuhkan niat dan Motivasi diri; (2) Percaya diri (PD tapi tidak ‘PDOD’!); (3) Berupaya
mencapai pendewasaan diri; (4) Menjaga dan memelihara stabilitas emosi; (5) Mempunyai
kesesuaian dan komitmen antara nilai, sikap; (6) Mempunyai kesesuaian dan komitmen antara
nilai, sikap & perilaku calon pasangan; (7) Memahami, menerima dan mensikapi Kelebihan dan
Kekurangan masing-masing; (8) Siap untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing; (9)
Mampu berkomunikasi secara efektif dan terbuka; (10) Mampu dan konsekuen dalam
mengambil keputusan
Menurut Ega Alfath, terdapat 3 formula yang dapat membantu mempersiapkan mental
sebelum menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga. Formula itu juga bisa digunakan dalam
mengarungi pernikahan nantinya. Apa saja tiga formula tersebut? Simak penjelasannya berikut
ini: (1) Sadar bahwa setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan, termasuk pasangan,
keluarga besar, dan teman-teman dari pasangan. Kekurangan tidak hanya ada pada mereka, tetapi
juga pada diri Anda. Bila ada konflik yang muncul berulang kali, sebaiknya Anda bersama
pasangan sadar diri mencari penyebabnya untuk mengantisipasi atau menyelesaikan masalah itu;
(2) Tahu, tak hanya mengetahui perasaan yang saling mencintai, tapi kita juga perlu mengetahui
tentang kebutuhan, harapan, dan visi pernikahan yang Anda dan pasangan miliki untuk
menyelaraskan tujuan hidup. Memiliki pengetahuan tentang ilmu pernikahan juga perlu untuk
mengedukasi diri; (3) Mau, pasangan harus mau berjuang dan komitmen bersama pasangan.
Berjuang untuk saling memperbaiki diri, memaafkan kesalahan diri dan pasangan dalam
hubungan. Mau terbuka mengenai apa yang membuat kita nyaman dan tidak. Pertikaian hebat
dalam kehidupan berpasangan seringkali terjadi bukan karena suatu masalah besar saja, tetapi
ketidaknyamanan yang kecil dan menumpuk dalam hubungan. “Kebanyakan pernikahan kandas
bukan karena hilangnya cinta, tapi karena hilangnya kemauan untuk tetap memperjuangkan
hubungan,” tutup Ega.
KESIAPAN INTERPERSONAL
Kemampuan ini merupakan hal yang penting sebelum berumah tangga, karena dalam
bahtera rumah tangga tak selamanya akan tenang. Akan ada saat dimana konflik muncul maka
pasangan harus saling memahami dan menguasai manajemen konflik.
Kesiapan ini adalah kemampuan untuk memahami peran sebagai suami atau istri, Secara
umum seorang suami berperan sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Suami juga berperan sebagai mitra istri yaitu
menjadi teman setia yang menyenangkan dan selalu ada di saat suka maupun duka dengan selalu
menyediakan waktu untuk berbincang dan menghabiskan waktu senggang dengan sang istri.
Sebagai suami juga harus berperan untuk mengayomi atau membimbing istri agar selalu tetap
berada di jalan yang benar. Selain menjadi rekan yang baik untuk istri, suami juga dapat
membantu meringankan tugas istri, seperti mengajak anak-anak bermain atau berekreasi serta
memberikan waktu-waktu luang yang berkualitas untuk anak di sela-sela kesibukan suami dalam
mencari nafkah. Selain peran suami, istri juga mempunyai peran yang sangat penting, yaitu
sebagai pendamping suami di setiap saat dan ibu yang siap menjaga dan membimbing anak-
anaknya. Sama seperti suami, istri juga berperan sebagai mitra atau rekan yang baik dan
menyenangkan bagi pasangan hidupnya. Istri dapat diajak untuk berdiskusi mengenai berbagai
macam permasalahan yang terjadi dan juga berbincang tentang hal-hal yang ringan. Istri sebagai
pendorong dan penyemangat demi kemajuan suami di bidang pekerjaannya (Dewi, 2011). Selain
keterampilan ini wajib pula bagi orang yang belum menikah untuk mempelajari Parenting agar
mampu mengasuh anak dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayah, B., & Hariyadi, S. (2019). “Siapa yang Lebih Terampil Mengelola Konflik Rumah
Putri, D. P. K., & Lestari, S. (n.d.). PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA
PADA PASANGAN SUAMI ISTRI JAWA. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1), 14.
Sari, F., & Sunarti, E. (2013). Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dan Pengaruhnya terhadap
https://doi.org/10.24156/jikk.2013.6.3.143
Sari, Y., Khasanah, A. N., & Sartika, S. (2016). STUDI MENGENAI KESIAPAN MENIKAH