Anda di halaman 1dari 18

 

MAKALAH

GULMA INVASIF PERKEBUNAN PISANG

OLEH :
AGRO A

KELOMPOK 2
Endang Hafidzah (1910211001)
Wahyu Anggoro (1910211002)
Vino Samudra (1910211003)
Chery Narindika Putri (1910211059)
Halimah Amatullah M (1910211071)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tanaman pisang merupakan salah tanaman yang memiliki banyak kegunaan dalam
kehidupan manusia saat ini, mulai dari buah, daun, dan jantung pisang pun dimanfaatkan oleh
manusia. Sebagai sumber pangan di dunia, pisang menduduki urutan empat setelah padi, jagung,
dan gandum . Di Indonesia, komuditas ini menjadi kontributor utama dalam produksi buah
unggulan secara nasional dengan persentase hingga 31% dibandingkan dengan jeruk (16%),
mangga (10%), durian (5%) serta buah-buahan lainya (38%) (Balai Penelitian Tanaman Buah
Tropika dalam Rizal, Widowati, dan Rahayu, 2015). Terdapat sekitar 20 juta hektar lahan
potensial untuk pisang, membuat pisang ini memiliki prospek pengembangan yang besar.
Pisang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki kandungan
karbohidrat, nutrisi, mineral, dan kandungan serat yang sangat tinggi. Kandungan gizi pisang
yang tinggi membuat pisang menjadi salah satu komoditas hortikultura yang berpeluang sangat
tinggi untuk diversifikasi pangan, food security dan agribisnis di Indonesia. Selain karena
kandungan gizinya yang tinggi, faktor lain yang menyebabkan pisang berpeluang sangat tinggi
untuk diversifikasi pangan adalah karena di Indonesia, pisang termasuk buah tropika yang
produksinya melimpah saat panen raya karena kondisi iklim Indonesia yang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman pisang (Adriani dan Nasriati, 2011).
Berbicara mengenai tanaman Pisang, pastinya tak terlepas dari yang namanya gulma atau
tumbuhan yang tidak diinginkan. Gulma adalah tumbuhan yang mudah tumbuh pada setiap
tempat yang berbeda-beda, mulai dari tempat yang miskin nutrisi sampai yang kaya nutrisi Sifat
inilah yang membedakan gulma dengan tanaman yang dibudidayakan. Luasnya penyebaran
gulma dikarenakan daun dapat dimodifikasikan. Inilah yang memungkinkan gulma unggul dalam
persaingan dengan tanaman budidaya. Di samping itu, gulma juga dapat membentuk biji dalam
jumlah banyak, ini yang menyebabkan gulma cepat berkembang biak (Palijama, 2012).
Sifat umum yang dimiliki gulma dibandingkan tanaman sangat berbeda, yaitu: adaptasi
yang tinggi terhadap lingkungan terganggu, jumlah biji yang dihasilkan banyak sekali, daya
kompetisi tinggi, dormansi biji lama, daya bertahan hidup pada keadaan lingkungan tumbuh
yang tidak menguntungkan lebih besar, sanggup menyebar luas atau berkembang biak secara
vegetative maupun generatif.
Penggunaan lahan secara umum didefinisikan sebagai penggolongan penggunaan lahan
yang dilakukan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian irigasi, padang rumput,
kehutanan, atau daerah rekreasi. Kemampuan adaptasi yang besar dari gulma invasif
menyebabkan gulma berkembang cepat dengan dominansi yang tinggi terhadap tumbuhan
lainnya (tanaman asli) pada suatu kawasan yang relatif cukup luas dan kemudian berkembang
menjadi spesies yang berbahaya pada kondisi lingkungan yang rusak atau berubah. Dalam
habitat barunya mungkin hanya ada sedikit predator atau penyakit sehingga populasinya tumbuh
tak terkendali dan tanaman asli tidak dapat berkompetisi dengan baik terhadap ruang dan
makanan, sehingga terdesak bahkan dapat mengalami kepunahan (Pusat Litbang Hutan Tanaman
Departemen Kehutanan, 2014).
Keberadaan gulma invasif ini disadari sebagai salah satu ancaman terbesar bagi
keanekaragaman hayati. Dampak gulma yang bersifat invasif ini mampu merubah struktur dan
komposisi spesies dalam ekosistem. Spesies lokal tidak mampu bersaing dan terancam punah.
Secara ekonomi, dampak invasi gulma sangat signifikan, dalam bidang pertanian muncul
berbagai jenis hama dan penyakit tanaman asing yang belum dikenal petani cara penanganannya,
ekosistem air tercemar oleh berbagai gulma, yang akhirnya semua berujung pada peningkatan
biaya pengendalian yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seiring dengan meningkatnya penyebaran
spesies invasif yang akan mengancam keragaman hayati, maka diperlukan kajian untuk
menghitung dominansi yang ditimbulkan dari kehadiran gulma invasif.

B. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah memenuhi tugas mata kuliah Ilmu gulma
Kelas Agro A, dengan tujuan utama adalah agar mahasiswa mengetahui dan mendepskripsikan
mengenai bagaimana sejarah, distribusi dan penyebaran, serta pengelolaan gulma pada
perkebunan pisang.
BAB II PEMBAHASAN

A. Bandotan (Ageratum conyzaides)


1. Sejarah
Ageratum conyzoides L. di Sumatera dikenal dengan nama daun tombak, rumput tahi
ayam atau siangit sedangkan di Jawa dikenal dengan nama babandotan, bandotan, dus wedusan,
tempuyak dan berokan, untuk masyarakat Sulawesi mengenal tumbuhan ini dengan nama dawet,
lawet, rukut manoe dan sopi (Dalimartha, 2006)
Bandotan merupakan sejenis tanaman pengganggu yang banyak ditemukan di pinggir
jalan, hutan, ladang dan tanah terbuka. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, Karibia, Florida, China Selatan dan 9 Australia. Tanaman ini dikenal
sebagai tanaman hias dari Amerika dan banyak ditemukan di Pasifik Selatan serta negara
beriklim hangat lainnya (Prasad, 2011). Bandotan merupakan tanaman liar di Indonesia dan lebih
dikenal sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan ladang (Retno, 2009).
2. Deskripsi dan visualisasi
Jenis tumbuhan herba menahun (1 tahun) asli Amerika yang biasa ditemukan di tepi
jalan, halaman kebun, semak belukar, dan bagian hutan sekunder. Tinggi tumbuhan ini berkisar
30 cm sampai dengan 1,2 meter. Batang berbentuk bulat dan berambut jarang. Daun bagian
bawah berhadapan dan bertangkai cukup panjang. Helaian daun berbentuk bulat telur dan
beringgit. Ageratum conyzoides memiliki bongkol bunga berkelamin satu, tiga, atau lebih dan
berkumpul menjadi karangan bunga yang berbentuk malai rata yang terminal. Bunga sama
panjang dengan pembalut. Mahkota dengan tabung sempit dan pinggiran sempit bentuk lonceng
berlekuk 5. (Stennis, 2006)
3. Distribusi atau penyebaran
Bandotan mempunyai bunga yang berwarna putih, bunga bandotan dapat menghasilkan
banyak biji (90.000 biji per tanaman) dan dapat mudah terbawa oleh angia sehinga berpotensi
mendominasi suatu wilayah..
4. Dampak
Ageratum conyzoides adalah gulma yang tersebar di banyak negara tropis dan subtropis
dan seringkali sulit dikendalikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Ageratum
conyzoides secara signifikan mengurangi jumlah total biomassa dan jenis, yaitu keanekaragaman
hayati, juga mengubah struktur komunitas vegetasi dan memodifikasi regieme tanah. Jenis gulma
ini sangat mudah beradaptasi dengan kondisi ekologis yang berbeda dan memiliki potensi untuk
mendominasi suatu wilayah hingga menurunkan jenis tumbuhan asli lainnya. (Andriani, 2016)
5. Pengendalian gulma
Pengendalian gulma ini bisa dilakukan dengan cara manual yakni mencabut tanaman
dengan tangan ataupun mencangkulnya. Selain itu juga bisa dikendalikan secara kimiawi dengan
menyemprotkan herbisida sistemik terhadap gulma. Untuk dosis bisa disesuaikan dengan luas
lahan yang di tumbuhi gulma tersebut.

B. Chromolaena odorata L
1. Sejarah
Menurut VANDERWOUDE et al. (2005), Ki rinyuh berasal dari Amerika Tengah, tetapi
kini telah tersebar di daerah-daerah tropis dan subtropis. Gulma ini dapat tumbuh baik pada
berbagai jenis tanah dan akan tumbuh lebih baik lagi apabila mendapat cahaya matahari yang
cukup. Kondisi yang ideal bagi gulma ini adalah wilayah dengan curah hujan > 1000 mm/tahun
(BINGGELI, 1997). Dengan demikian, gulma ini tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang
terbuka seperti padang rumput, tanah terlantar dan pinggir pinggir jalan yang tidak terawat.
Menurut FAO (2006) gulma ini tidak tahan naungan sehingga tidak ditemukan di hutan-hutan
yang tertutup, namun walaupun demikian di Indonesia dan di berbagai negara lain di Asia, Ki
rinyuh banyak ditemukan di perkebunan-perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa, jambu
mente dan sebagainya (MUNIAPPAN dan MARUTANI, 1988).
Ki rinyuh (Sunda) atau dalam bahasa Inggris disebut siam weed (Chromolaena odorata
(L) R.M. King and H. Robinson) merupakan salah satu gulma padang rumput yang penting di
Indonesia, di samping saliara (Lantana camara). Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di
Indonesia sejak tahun 1910-an (SIPAYUNG et al., 1991), namun keberadaannya kurang
mendapat perhatian, kecuali oleh kalangan perkebunan , karena selain merupakan gulma di
padang rumput, Ki rinyuh juga gulma yang sangat merugikan perkebunan Pisang. Gulma ini
tiba-tiba mendapat perhatian lagi setelah peneliti padang rumput Australia mencemaskan gulma
ini akan masuk ke Australia dari padang rumput di NTT (MARTOJO, 2006 komunikasi
pribadi).
2. Distribusi atau penyebaran

MC FADYEN dalam WILSON dan WIDAYANTO (2004) memperkirakan bahwa Ki


rinyuh menyebar di kepulauan Indonesia sejak Perang Dunia II. Dengan penyebaran itu kini Ki
rinyuh dapat dijumpai di semua pulau-pulau besar di Indonesia. Di lain pihak SIPAYUNG et al.
(1991) memperkirakan Ki rinyuh telah ada di Indonesia sebelum tahun 1912. Namun demikian,
laporan pertama yang menyangkut kerugiannya terhadap ternak baru dilaporkan pada tahun 1971
(SOEROHALDOKO, 1971), yaitu mengenai keberadaan Ki rinyuh di cagar alam Pananjung,
Jawa Barat, yang merugikan banteng di suaka alam tersebut karena rumput pakannya berkurang
akibat invasi gulma berkayu ini. Ki rinyuh tidak hanya ditemukan di Pulau Jawa, tetapi juga
ditemukan di seluruh Indonesia seperti di Sumatera (SIPAYUNG et al., 1991), di Kalimantan
(DE CHENON et al., 2003), di Lombok, Sumbawa, Flores, Timor (WILSON dan
WIDAYANTO, 2004; DE CHENON et al., 2003; MCFAYDEN, 2004), Sulawesi dan Irian Jaya
(SIPAYUNG et al., 1991; WILSON dan WIDAYANTO, 2004).
Di Afrika, gulma padang rumput ini digolongkan pada gulma yang paling berbahaya
selain dari alangalang (Imperata cylindrica), puteri malu (Mimosa sp.), sadagori (Sida acuta),
Commelina sp., Hyptis sp. dan saliara (Lantana camara) karena mengganggu padang rumput
dengan mengurangi produktivitas dan mengurangi diversitas jenis-jenis rumput (OPPONG-
ANANE dan FRANCAIS, 2002). Menurut MURPHY (1997), gulma berkayu ini tidak hanya
tumbuh di daratan Afrika, tetapi juga di pulau-pulau sekitarnya seperti Pulau Madagaskar dan
Mascarene.
Tidak hanya di Asia dan Afrika, gulma ini juga ternyata sudah masuk ke Australia.
Laporan PHELOUNG (2003) menunjukkan bahwa pada tahun 1994 Ki rinyuh telah berada di
Queensland, bahkan kini digolongkan pada gulma kelas 1, yaitu gulma yang mendapat prioritas
untuk dikendalikan (DEPARTMENT OF NATURAL RESOURCES, MINES AND WATER,
2006). Karantina Australia pada tahun 2003 telah menganggarkan dana sebanyak 200 juta AUD
untuk mengendalikan berbagai hama dan gulma. Untuk C. odorata saja selama tujuh tahun sejak
1994 telah dihabiskan dana sebanyak 1,1 juta AUD.
3. Dampak
Ada empat alasan pokok mengapa Ki rinyuh digolongkan pada gulma yang sangat
merugikan. (1) Apabila Ki rinyuh telah berkembang dengan cepat dan meluas dapat mengurangi
kapasitas tampung padang penggembalaan. Selain itu, juga menurunkan produktivitas pertanian
dengan menginvasi lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan kakao, kelapa, kelapa
sawit dan tembakau yang tidak terpelihara, (2) bila termakan ternak dapat menyebabkan
keracunan, bahkan mungkin sekali kematian ternak, (3) menimbulkan persaingan dengan
tanaman lain, dalam hal ini dengan rumput pakan di padang penggembalaan, sehingga
mengurangi produktivitas padang rumput, dan (4) dapat menimbulkan bahaya kebakaran,
terutama pada musim kemarau (SOEROHALDOKO, 1971; OPPONG-ANANE dan
FRANCAIS, 2002; DEPARTMENT OF NATURAL RESOURCES, MINES AND WATER,
2006; FAO, 2006).
4. Pengendalian gulma

Pengamatan PRAWIRADIPUTRA (1985) menunjukkan bahwa pada umumnya Ki


rinyuh dikendalikan dengan cara pemangkasan, kemudian hasil pangkasannya dibenamkan ke
dalam tanah atau dibakar. Hal ini dilakukan karena dianggap oleh masyarakat merupakan cara
yang paling mudah dikerjakan. Namun, cara ini sebenarnya tidak efektif karena dalam waktu
yang singkat, biasanya dua bulan di awal musim hujan, gulma ini sudah tumbuh kembali. Hal ini
terjadi karena tumbuhan hanya dipangkas, sementara akarnya tidak dibongkar, sehingga
tunastunas masih bisa tumbuh. Selain itu, tumbuhan ini bistumbuh kembali dari potongan-
potongan batangnya. Biji yang terbawa angin juga dalam waktu singkat dapat berkecambah.
Pengendalian dengan cara manual ini menurut MCFADYEN (2004) tidak efisien karena
memerlukan banyak tenaga manusia, namun di Indonesia hal ini bukan merupakan masalah. Di
Australia, gulma ini dikendalikan dengan cara pembabadan dengan menggunakan traktor sebagai
pengganti tenaga manusia. Pengendalian dengan cara kimia yaitu dengan penggunaan herbisida,
biasanya dilakukan terutama di perkebunan-perkebunan karet (SIPAYUNG et al., 1991). Cara ini
memberikan hasil yang lebih baik daripada pemangkasan, namun apabila tidak dilakukan dengan
terus menerus gulma ini masih bisa tumbuh kembali. Selain itu, cara ini juga memerlukan biaya
yang tinggi sehingga hanya dapat dilakukan di perusahaanperusahaan yang besar.

C. Imperata cylindrica L
1. Sejarah
Alang-alang tersebar luas di daerah tropik dan sub tropik. Terdapat sekitar 500 juta hektar
lahan alang-alang di seluruh dunia dan sekitar 200 juta hektarterdapat di Asia Tenggara. Nama
umum dari Imperata cylindrica antara lain cogon grass, spear grass, blady grass, satintail dan di
Indonesia disebut alang- alang (Murniati, 2002 dalam Anonim).
Alang-alang ( Imperata cylindrica(L.) merupakan gulma penting di berbagai negara
tropik dan sub-tropik, terutama di daerah yang memiliki curah hujan tinggi di Asia Tenggara dan
Afrika Barat. Gulma tersebut umumnya tumbuh di areal pertanaman tahunan seperti karet,
kelapa sawit dan kelapa; pertanaman pangan seperti padi, jagung dan Pisang;dan pertanaman
industri seperti kapas. Di Indonesia informasi tentang luas lahan alang-alang sangat bervariasi,
namun diperkirakan berkisar antara 7.5-65 juta hektar. Lahan alang-alang tersebut umumnya
terbentuk sebagai akibat dari pembukaan hutan yang tidak segera ditanami atau dikelola secara
intensif. Alang-alang mempunyai tingkat kebutuhan unsur hara cukup randah sehingga mampu
tumbuh secara baik pada areal yang tidak subur,tanah berpasir dan rawa. Di Indonesia, gulma
tersebut masih dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian mencapai 2.600 meter di atas
permukaan laut.
2. Distribusi atau penyebaran

Alang-alang ( Imperata cylindrica(L.) mempunyai daerah pernyebaran yang cukup luas,


terutama pada daerah Afrika, Australia, India , Cina , Jepang, Afganistan, Indonesia, dan Eropa
Selatan. Alang-alang ( Imperata cylindrica L.) Merupakan jenis tumuhan pioner yang menyukai
sinar matahari dengan bagian yang mudah terbakar berada diatas tanah dan rimpang (rhizoma)
yang menyebar luas berada dibawah permukaan tanah. . Alang-alang ( Imperata cylindrica L.)
tumbuh baik pada ketinggian 2700 mdpl dan curah hujan 500 – 5000 mm/tahun (holm et al.,
1997).
3. Dampak

kerugian yang disebabkan oleh gulma ini yaitu terganggunya pertumbuhan tanaman
pokok dan mahalnya biaya pengolahan tanah. Alang-alang juga menimbulkan bahaya kebakaran
terutama pada musim kering karena mengandung bahan kering yang sangat mudah dibakar dan
Gulma jenis ini merupakan gulma yang paling merugikan bagi tumbuhan disekitarnya, karena
paling banyak menyerap nutrisi pada tumbuhan yang ada di sekitarnya.
4. Pengendalian gulma
Telah banyak dilakukan upaya-upaya untuk mengendalikan pertumbuhan gulma ini.
Petani umumnya pengendalian alang-alang dapat dilakukan secara manual dengan cara
membabat, membakar dan mencangkul, namun cara ini sangat tidak efektif karena
menghabiskan banyak waktu dan tenaga kerja. Cara lain yang dapat dilakukan dalam
pengendalian gulma ini yaitu dengan cara mekanik, namun cara ini hanya dapat dilakukan pada
lahan yang yang relatif luas dan relatif datar (Juarsah, 2015).
Pengendalian gulma ini juga dapat dilakukan dengan beberap metode seperti dengan
melakukan pembakaran, merode pengolahan tanah, metode mulsa dan pemanfaatan herbisida
sintetis namun cara-cara tersebut kurang efektif dan berdampak terhadap lingkungan. Pada saat
ini alternatif pengendalian gulma yang berwawasan lingkungan sudah mulai dikembangkan.
Pengendalian tersebut dapat dilakukan dan dikembangkan dengan mencari potensi senyawa
allelokimia yang terdapat pada tumbuhan lain sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bioherbisida
(Khoddami et al., 2013). Salah satu pengendalian gulma dapat dilakukan dengan pemanfaatan
senyawa allelokimia dari tumbuhan kirinyuh

D. Senna obtusifolia
1. Sejarah dan Persebaran

Senna obtusifolia ( senna Cina , American sicklepod atau sicklepod ) adalah kacang


polong di genus Senna , kadang-kadang terpisah dalam genus monotypic Diallobus . Tumbuh
liar di Amerika Utara, Tengah, dan Selatan, Asia, Afrika, dan Oceania, dan dianggap sebagai
gulma yang sangat serius di banyak tempat. Ini memiliki sejarah panjang kebingungan
dengan Senna tora dan takson yang di banyak sumber sebenarnya mengacu pada spesies saat ini.
Daun hijau tanaman difermentasi untuk menghasilkan produk makanan berprotein tinggi yang
disebut "kawal" yang dimakan oleh banyak orang di Sudan sebagai pengganti daging. Daun, biji,
dan akarnya juga digunakan dalam pengobatan tradisional, terutama di Asia. Hal ini diyakini
memiliki efek laksatif, serta bermanfaat bagi mata. Sebagai obat tradisional, bijinya sering
dipanggang, lalu direbus dalam air untuk menghasilkan teh. Biji tanaman adalah sumber
komersial permen cassia, aditif makanan biasanya digunakan sebagai pengental dan diberi nama
untuk penempatan bekas Senna Cina di genus Cassia . Dipanggang dan digiling, bijinya juga
telah digunakan sebagai pengganti kopi.
2. Dampak

Mengganggu tanaman lain yaitu tumbuh dengan menyaing tanaman yang pelihara dengan
cara perakaran yang dalam dan rapat, tumbuh membentuk rumpun yang besar, membentuk akar
dari batang, membentuk tajuk dengan daun sangat lebat, menghasilkan senyawa kimia yang
merugikan individu tumbuhan lain di sekitarnya.

3. Pengendalian gulma
a. Preventif (Pencegahan)

Pengendalian gulma secara preventif dapat dilakukan melalui: mencegah invasi gulma ,
mencegah menetapnya gulma, dan/atau mencegah menyebarnya suatu species gulma ke suatu
daerah yang sebelumnya tidak pernah ditumbuhi gulma tersebut
Tindakan preventif:
 Menanam benih bebas dari biji gulma
 Menggunakan pupuk kandang yang bebas gulma
 Menggunakan alat panen yang bersih dan bebas gulma
 Memberantas gulma yang tumbuh dan menyebar di sekitar daera irigasi dan areal tanam

b. Mekanis
Cara ini telah dilaksanakan jauh sebelum penemuan herbisida
1. Hand-weeding (pencabutan)
 Paling efektif untuk gulma yang baru tumbuh, gulma yang masih muda, terutama gulma
semusim
 Tidak efektif dalam mengendalikan gulma tahunan yang telah kuat tumbuhnya dimana
organ perbanyakan vegetatifnya yang terdapat di bawah permukaan tanah tidak akan
terganggu oleh pencabutan
 Baik untuk mengendalikan gulma di pekarangan atau di kebun yang tidak terlalu luas

2. Tillage (mengolah tanah)


 Tidak satupun cara olah tanah yang sesuai untuk semua kondisi pertanian, sehingga
membutuhkan beberapa fleksibilitas
 Cara ini dapat menimbun gulma dan biji-bijinya, memisahkan sistem perakaran,
menyebabkan gulma di atas permukaan tanah menjadi mengering dan/atau dapat
menstimulasi perkecambahan biji gulma agar selanjutnya dapat dikendalikan
 Biasanya digunakan cangkul atau bajak
 Masih bertahan sebagai alat pengendali gulma sampai saat ini di hampir seluruh tempat
di dunia
3. Mowing (Pembabatan)
Terbatas penggunaannya, terutama dilakukan untuk mengurangi produksi biji gulma dan
untuk membatasi pertumbuhan gulma tertentu pada pekarangan, lapangan golf, dan sepanjang
tepi jalan.
4. Pembakaran
Telah lama dilakukan untuk mengendalkan gulma pada daerah non-peseperti sepanjang
jalan, sepanjang rel kereta api, dan sepanjang aliran irigasi.

E. Lantana camara L.
1. Sejarah

Tanaman ini bukan asli Indonesia, akan tetapi berasal dari Amerika. Menurut sejarahnya
tanaman ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1860, didatangkan dariSingapura ke pulau Jawa
untuk ditanam sebagai tanaman pagar. Tembelekan ini termasuk dalam kelompok tumbuahn
yang mudah hidup. Biasanya akan tumbuh baik pada daerah dataran rendah ataupun di daerah
pegunungan dengan ketinggian 1700 m diatas permukaan laut. Australian Department of the
Environment and heritage, 2003 Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan liar yang mudah
ditemukan ditanah-tanah yang kering, bahkan di tanah yang tidak seburpun tumbuhan ini masih
mampu tumbuh dengan baik. Bahkan menurut Australian Department of the Entironment and
heritage 2003 dengan jarangnya interval penyiraman akan meningkatkan jumlah bunga,karangan
bunga dan diameter bunga.
Lantana camara adalah gulma yang memiliki beberapa varietas yakni 650 dilebih dari 60
negara. Tanaman ini dapat tumbuh secara individual dalam rumpun atau sebagai semak-semak
yang lebat. Pada beberapa situs, investasi telah sangat gigih bahwa mereka benar-benar telah
terhenti regenerasi hutan hujan selama tiga dekade. Kualitas allelopathi dapat mengurangi
semangat terdekat spesies tanaman dan mengurangi produktivitas di kebun. Lantana camara telah
menjadi fokus upaya-upaya pengendlian hayati selama satu abad, namun masih ada masalah
besar di banyak daerah. ( Global invasive species database 2004).
2. Distribusi atau penyebaran

Lantana camara terdistribusi secara merata di daerah tropis, beriklim sedang seperti
Amerika Tengah dan Selatan, Florida Selatan, Texas, California, Hawaii, Guam, Australia,
Hindia Barat, Kepulauan Galapagos di Ekuador, Afrika Selatan serta Indonesia (Adams 1976,
Cruz dkk. 1986, Nelson dkk. 2007, Bhagwat dkk. 2012).
3. Dampak

penyakit layu bakeri pisang memiliki gejala yang ditunjukkan dengan menguningnya
daun ketiga atau keempat yang kemudian menyebabkan seluruh daunnya kering dan akhirnya
tanaman mati. Bagian dalam buah tampak berwarna coklat kehitaman disertai cairan agak kental
yang berwarna coklat kekuningan. Apabila dibuat potongan melintang bagian batang, maka akan
terlihat adanya perubahan warna kecoklat-coklatan pada batang aslinya dan setelah beberapa saat
akan muncul eksudat bakteri berwarna putih kotor atau coklat kehitaman pada permukaan irisan.
Saat ini, upaya pengendalian penyakit layu bakteri sudah banyak dilakukan termasuk
penggunaan bahan kimia yang ternyata menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka perlu alternatif pengendalian yang efektif dan ramah
lingkungan, misalnya penggunaan pestisida nabati (Trisnadi, 2016). Beberapa tanaman yang
telah diteliti sebagai pestisida nabati antara lain adalah gulma siam (Chromolaena odorata)
(Ulpa, 2008), kemuning (Murraya paniculata) (Raharja dkk., 2004) dan saliara (Lantana camara)
(Lestari dkk., 2013)
4. Pengendalian gulma

Gulma Saliara (Lantana camara) mengandung senyawa aktif seperti Alkaloid, Saponin,
Flavonoid dan Tanin. Senyawa Flavonoid dan Tanin diidentifikasi sebagai alelopati (Wardani
et al. 2010; Rice 1984). Aplikasi herbisida juga dilaksanakan pada kondisi gulma pasca
tumbuh, yang artinya bagian vegetatif gulma sudah tumbuh ke permukaan tanah.Namun, apabila
pencegahan bisa dilakukan sejak awal, pada masa biji dan perkecambahan gulma, maka hal
ini dapat mengurangi populasi gulma. Alternatif pengendalian gulma yang dapat dilakukan
adalah dengan menerapkan pengendalian secara kultur teknis. Pengendalian ini dilakukan
dengan mengubah keseimbangan ekologis yang bertujuan menekan pertumbuhan gulma
namun tidak berpengaruh negatif terhadap tanaman budidaya (Sukman dan Yakup 2002).
Salah satu kegiatannya adalah pengolaan tanah, dengan kegiatan tersebut biji-biji
gulma yang berada di dalam tanah dapat berpindah tempat ke atas sehingga tumbuh dan
dikendalikan, atau biji dapat terpotong-potong karena terkena alat pengolahan tanah.
Pemanfaatan gulma Saliara dan penerapan pengolahan tanah sebagai pengendalian gulma
secara kultur teknis diharapkan mampu menjadi metode alternatif baru yang efektif dan
ramah lingkungan. Limbah gulma yang umumnya kurang dimanfaatkan dapat dijadikan
bioherbisida yang bisa diaplikasikan di perkebunan, namun gulma yang memiliki kadar
alelopati perlu dilakukan proses pengekstrakan terlebih dahulu.
Junaedi et al. (2006) menyatakan bahwa residu gulma dan tanaman yang memiliki
pengaruh negatif alelopati sebaiknya tidak dibiarkan terdekomposisi di areal pertanaman.
Kegiatan pengolahan tanah yang umumnya hanya untuk memperbaiki struktur tanah juga
dapat bertambah fungsi, karena secara tidak langsung dapat efektif mengendalikan gulma sejak
dini.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, F. Y, dan Nasriati 2011. Teknologi Pengolahan Tepung Pisang. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP): Lampung
Andriani, Putri. 2016. Identifikasi Tumbuhan Asing Invasif (Invasive Alien Species) Herba Di
Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Sebagai Media Pendukung Pembelajaran Pada
Submateri Faktor Menghilangnya Keanekaragaman Hayati Di SMAN 1 Lembah
Seulawah Aceh Besar, [Skripsi], Universitas Islam Negeri AR-RANIRY Darussalam-
Banda Aceh.
Australian Depertment of the Environment and Heritage, 2003. Lantana (Lantana camara).
Weeds of National Significance: Weed Managent Guide Department of the Environment
and Heritage and the CRC for Australian weed Management.
BINGGELI, P. 1997. Chromolaena odorata. Woody Plant Ecology.
http://members.lycos.co.uk/WoodyPlant Ecology/docs/web-sp4.htm. ( 13 Januari 2006)
Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4. Puspa Swara, Anggota IKAPI.
Jakarta
Eastern Indonesia. In: Chromolaena in the Asia-Pacific Region. DAY, M.D. and R.E. MC
FADYEN (Eds.) ACIAR Technical Reports No. 55. pp. 39-44.

FAO. 2006. Alien Invasive Species: Impacts on Forests and Forestry - A Review.
http://www.fao.org//docrep/008/ j6854e/j6854e00.htm. (25 Oktober 2007)
Global invasive species database. 2014. Lantana Camara. (onine) yang dia akses di
http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=56 pada tanggal 4 mei 2014
Holm, L.R.G.,D.L. Pluekneet, J.V. Pancho dan J.P. Herberger. 1977. The Worlds Worst weeds
Distribution abd Biology. Honolulu: UniversityPress of Hawai.

Ishak Juarsah, 2015. Teknologi pengendalian gulma alang-alang dengan tanaman legum untuk
pertanian tanaman pangan. Jurnal agro, 11(1), 30-31.
Junaedi A, Muhammad AC, Kwang HK. 2006. Perkembangan terkini kajian alelopati.
Jurnal Hayati. 13(2): 79-84
Khoddami, A. Meredith, A.W. Thomas, H.R. 2013. Techniques for Analysis of Plant Phenolic
Compounds. Molecules. 18. 2328-2375.
MUNIAPPAN, R. and M. MARUTANI. 1988. Ecology and distribution of Chromolaena
odorata in Asia and the Pacific. Proc. First International Workshop on the Biological
Control and Management of C. odorata. Bangkok. pp. 103 – 107.
MURPHY, S.T. 1997. Protecting Africa's trees. Paper submitted to the Eleventh World Forestry
Congress. 13 – 22 October 1997, Antalya, Turkey.
OPPONG-ANANE, K. and FRANCAIS. 2002. Ghana Country Pasture/Forage Resource
Profiles. Ministry of Food and Agriculture, Accra-North, Ghana
Palijama, J. Riry dan A. Y. Wattimena.2012. Komunitas Gulma pada Pertanaman Pala
(Myristica fragrans H) belum Menghasilkan dan Menghasilkan di Desa Hutumuri Kota
Ambon. Jurnal Agrologia, 1(2): 134-142.
PHELOUNG, P. 2003. Contingency planning for plant pest incursions in Australia. Proc. of a
workshop in Braunschweig, Germany 22 – 26 September 2003. Food and Agriculture
Organization of the United Nations. www.fao.org/doctep/008/y5968e/y5968e Ov.htm. (13
Januari 2006)
PRAWIRADIPUTRA, B.R. 1985. Perubahan Komposisi Vegetasi Padang Rumput Alam akibat
Pengendalian Ki Rinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. King and H. Robinson) di
Jonggol, Jawa Barat. Thesis, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 79 hlm.
Prasad, KB., 2011, Evaluation of Would Healing Activity of Leaves of Ageratum conyzoides L.
Int J of Pharm Pract Drug Res. India. Inj Pharmacy Practice and Drug Research, 13(3),
319-322.
Pusat Litbang Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan. 2014. Potensi Invasif beberapa Jenis
Acasia dan Eucalyptus di Indonesia. Departemen Kehutanan. Bogor.
Retno, Handayani Andaru., 2009, Uji Sitotoksik Ekstrak Petroleum Eter Herba Bandotan
(Ageratum conyzoides L.) terhadap Sel T47D dan Profil Kromatografi Lapis Tipis.
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rizal, M., R. Widowati dan S.P. Rahayu. 2015. Perbaikan Teknologi Budidaya Pisang Kepok
dan Analisis Usahataninya di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Pros Sem Nas
Mas Biodiv Indon, 1(7): 1678-1682.
SIPAYUNG, A., R.D. DE CHENON and P.S. SUDHARTO. 1991. Observations on
Chromolaena odorata (L.) R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second
International Workshop on the Biological Control and Management of Chromolaena
odorata. Biotrop, Bogor. http://www.ehs.cdu.edu.au/chromolaena/2/ 2sipay. (13 Januari
2006)
SOEROHALDOKO, S. 1971. On the occurrence of Eupatorium odoratum at the game reserve
Pananjung, West Java. Weeds in Indonesia. 2(2): 1 – 9.

Steenis, Van C.G.G.J. (2006). Flora. Jakarta: Pradnya Paramita.


Sukman Y, Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta (ID): PT. Raja
Grafindo Persada
Wardani RS, Mifbakhuddin, Kiky Y. 2010. Pengaruh konsentrasi ekstrak daun tembelekan
(Lantana camara) terhadap kematian larva Aedes Aegypti. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 6(2): 30-38.
WILSON, C.G. and E.B. WIDAYANTO. 2004. Establishment and spread of Cecidochares
connexa in Wardani RS, Mifbakhuddin, Kiky Y. 2010. Pengaruh konsentrasi ekstrak
daun tembelekan (Lantana camara) terhadap kematian larva Aedes Aegypti. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 6(2): 30-38.
VANDERWOUDE, C.S., J.C. DAVIS and B. FUNKHOUSER. 2005. Plan for National
Delimiting Survey for Siam weed. Natural Resources and Mines Land Protection
Services: Queensland Government.

Anda mungkin juga menyukai