Dosen Pengampu :
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerkosaan adalah tindakan yang dikecam oleh masyarakat hampir selama
keberadaan daripada masyarakat itu sendiri, berbagai alasan yang tidak membenarkan
tindakan ini diantaranya ialah penyematan antara tindak pemerkosaan dengan tindak
penganiayaan dikarenakan ciri-cirinya yang serupa, melanggar kemerdekaan,
khususnya kemerdekaan seksual, pribadi lain, kekerasan yang terlibat di dalam
aksinya, sifat aksinya yang melanggar nilai kesucian pernikahan yang didirikan oleh
agama dan/atau aliran kepercayaan, dsb. Berdasarkan alasan-alasan diatas, dapat kita
ketahui bahwa sedari dulu, tindak pemerkosaan merupakan sesuatu yang dilarang
secara normatif, bahkan sebelum keberadaan hukum pidana.
Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam
penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap
penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian
misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran
orang lain. Alasan kasus-kasus pemerkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada
aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor,
diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui
oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa
dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu
saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga
berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat.1
Tentunya sebagai salah satu negara yang menyebut dirinya sebagai negara
hukum, Indonesia memiliki rancangan yang mengatur soal pemerkosaan sebagai
sebuah tindak pidana, agar pelarangan tindak pemerkosaan sebagai salah satu cita-cita
masyarakat akan adanya keadilan, dapat terwujudkan. Hukum tersebut dapat
ditemukan sebagaimana tercantum dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
1
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta,
Sinar Grafika, 1996), hal. 81
isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua belas tahun.”. Terdapat beberapa unsur penting yang
dapat kita petik berdasarkan rumusan pasal diatas, yang mengkategorisasikan apakah
suatu hubungan seksual merupakan tindak pemerkosaan atau bukan, yakni:2
a.) Dapat kita ketahui bahwa “Barangsiapa” yang terdapat dalam pasal tersebut
mengarah kepada laki-laki, dikarenakan kelanjutannya yang berbunyi
“...memaksa perempuan”, jadi “Barangsiapa” sebagai subjek hukum yang
tercantum di atas sudah pasti bukanlah seorang perempuan, dan subjek yang
dilindungi sebagai korban dari kasus ini sudah pasti merupakan seorang
perempuan
b.) Unsur kesengajaan dalam tindak pemerkosaan diwakili oleh adanya tindak
kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului hubungan intim
tersebut, dengan kata lain; jika sebuah hubungan intim didahului oleh tindak
kekerasan atau ancaman kekerasan, maka dapat dipastikan bahwa hubungan
tersebut bukanlah merupakan hubungan suka sama suka dan pihak wanita
telah dipaksa dengan ancaman kekerasan untuk melakukan suatu hal yang
tidak diinginkan, atau pun telah dibungkam dengan tindak kekerasan hingga
tidak berdaya dan tidak mampu melindungi dirinya sendiri
c.) unsur subjektif lain yang dapat kita petik adalah status pernikahan dari subjek
yang terkait didalamnya, yang sesuai pasalnya berbunyi “...perempuan yang
bukan isterinya”, artinya tindak pemerkosaan hanya dapat terjadi pada
perempuan dan laki-laki yang tidak terikat hubungan suami istri secara sah.
Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan
umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya
merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial maka penulis
melakukan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Dalam
Kasus Tindak Pidana Perkosaan Studi Kasus Peristiwa Pemerkosaan di Sentani
Timur”.
2
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, (hal. 210-211)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas Pelaku
B. Kronologi Masalah
Sebagaimana diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Barang siapa
juga dinyatakan bahwa kekerasan membuat orang lain tidak berdaya. dalam
Kasus ini TERDAKWA membanting KORBAN YS ke lantai dan membekap
mulut korban dengan bantal, sehingga KORBAN tidak berdaya.
Alat bukti peristiwa tersebut berupa 1(satu) buah kaos warna hitam bertuliskan ONE
HAEART ONE LOVE TO 4-EVER berwarna kuning emas, 1(satu) buah kaos sebatas
lutut warna coklat muda merek C.O.L.Z.A, 1(satu) buah celana dalam kombinasi warna
merah, kuning hijau, putih, bertuliskan CABERNET berwarna hitam dan terdapat bercak
darah. Dikembalikan kepada korban, 1(satu) botol miras whisky robinson 350 ml yang
telah kosong, 1(satu) buah bantal yang telah disobek, 1(satu) gelas takar dari air mineral
gelas 220 ml yang telah kosong. Dimusnahkan, dan 1(satu) unit sepeda motor Honda
Revo warna merah hitam (dikembalikan kepada yang berhak)
Perkosaan tidak bisa dipandang sebagai kejahatan yang hanya menjadi urusan privat
(individu korban), namun harus dijadikan sebagai problem publik karena kejahatan ini jelas-
jelas merupakan bentuk perilaku yang tidak bermoral dan keji yang selain melanggar
HAM, juga mengakibatkan derita fisik, sosial, maupun psikologis bagi kaum
perempuan.Perkosaan dan penanganan- nya selama ini menjadi salah satu indikasi dan bukti
lemahnya perlindungan (pengayoman) hak asasi manusia, khususnya perempuan dari
tindakan kekerasan seksual yang tergolong pada kekerasan terberat. Perlindungan terhadap
perempuan telah dinyatakan pula oleh Konvensi PBB yang telah menjangkau perlindungan
perempuan sampai ke dalam urusan rumah tangga, tidak sebatas hak perempuan di luar
rumah atau sektor publik. Hal itu dapat dijadikan tolok ukur mengenai peningkatan
kepedulian terhadap HAM khususnya perempuan, meskipun KUHP kita belum mengatur
mengenai perkosaan oleh suami kepada istri.Perkosaan ditempatkan sebagai contoh
perbuatan kriminalitas yang melanggar HAM perempuan karena lebih memposisikan
keunggulan diskriminasi gender.
Perkosaan menjadi salah satu tolok ukur pelanggaran HAM yang cukup parah terhadap
perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan bukti kesewenang- wenangan dan
kekejian yang bertentangan dengan watak diri manusia yang seharusnya menghormati dan
melindungi hak-hak sesamanya, apalagi terhadap perempuan. Mengenai kejahatan
kekerasan seksual (perkosaan) ini, tidak hanya merenggut kehormatan seorang perempuan,
namun juga merenggut hak-hak asasinya.
Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak ditemukan defnisi
secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi hanyadisebutkan dalam Pasal 89
:membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Dari rumusan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang
dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat pingsan dan
tidak berdaya. Dengan berkembangnya jaman, pemahaman kekerasan dapat dilakukan
dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata (fisik).
Pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah
dikodifikasi yaitu KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalam KUHP, yaitu:
Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh
Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul.
Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan, baik itu
sengaja atau alpa. Namun dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan
pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah terjadi persetubuhan antara
pelaku dan korban. Apabila tidak sampai terjadi persetubuhan maka perbuatan dimaksud
dapat dikualifikasikan dengan tindak pidana percobaan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal
285 Jo. Pasal 53 KUHP) dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul (Pasal 289
KUHP).
Dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perkosaan tersebut, dirumuskan pula
suatu sanksi pidana yang diberikan bagi pelaku kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 285
KUHP dinyatakan bahwa ancaman pidana maksimum yang diterima oleh pelaku adalah
duabelas tahun penjara. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga memungkinkan pelaku
dijerat dengan hukuman yang lebih ringan jauh dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan
yang dilakukannya terhadap korban kejahatan kekerasan seksual (perkosaan).
Keterkaitan antara hukum pidana dan kriminologi dapat dikaitkan secara teoritik, namun
secara praktik sangat terbatas keterkaitannya dan pengaruhnya. Hukum pidana memusatkan
perhatian kepada faktor- faktor penyebab terjadinya kejahatan. Kriminologi telah
ditunjukkan untuk mengungkapkan motif pelaku kejahatan sedangkan hukum pidana kepada
hubungan antara perbuatan dan akibat (hukum sebab akibat). 3Faktor motif dapat ditelusuri
dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat melakukan kejahatan. Dari uraian ini
keterkaitan tersebut berperan dalam proses penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan.
Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP yang secara yuridis mengatur kejahatan perkosaan,
terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu salah satunya adalah adanya kekerasan.
Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur yang membedakan pemerkosaan
dengan kejahatan kesusilaan yang lain yang diatur dalam KUHP. Berbeda halnya dengan
perspektif yuridis, dari perspektif kriminologi yang dijadikan tolak ukur adalah persetujuan
bukanlah kekerasan yang menjadi hal pokok.Unsur persetujuan tersebut yang menentukan
3
Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal.5
dan mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perkosaan.4 Menurut Steven Box dan J.E.
Sahetapy pengertian perkosaan secara kriminologis didasarkan atas tidak adanya consent
dari pihak wanita.
2. Jenis-Jenis perkosaan
4
Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.70
f. Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan
hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil
keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung
padanya secara ekonomis dan sosial.5.
5
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, 2001), hal. 65
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tanggung jawab pelaku tindak pidana permerkosaan menurut pasal 285
KUHP adalah selama-lamanya atau paling lama 12 tahun penjara apabila perbuatan
pelaku memenuhi semua unsur-unsur pasal, Maka dari studi kasus kali ini dapat
dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 285 KUHP serta bukti yang ada,
bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana Pemerkosaan.
B. Saran
Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan
perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya dilandasi oleh rasa
kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan
landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP
(tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal).
Daftar Pustaka
Buku:
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, 2001)
Peraturan perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana