Anda di halaman 1dari 13

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK

PIDANA PEMERKOSAAN STUDI KASUS PERISTIWA PEMERKOSAAN DI


SENTANI TIMUR.

Disusun Oleh Kelompok 8Sesi Y:

Bernadette Felicia (2017-0551-0030)

Darren Putranto (2020-0551-0009)

Josua Christian Raymond (2020-0551-0006)

Nanda Setiawan (2020-0500-0159)

Dosen Pengampu :

Dr. F. H. Eddy Nugroho, S.H., S.SOS., M.M., M.H.

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemerkosaan adalah tindakan yang dikecam oleh masyarakat hampir selama
keberadaan daripada masyarakat itu sendiri, berbagai alasan yang tidak membenarkan
tindakan ini diantaranya ialah penyematan antara tindak pemerkosaan dengan tindak
penganiayaan dikarenakan ciri-cirinya yang serupa, melanggar kemerdekaan,
khususnya kemerdekaan seksual, pribadi lain, kekerasan yang terlibat di dalam
aksinya, sifat aksinya yang melanggar nilai kesucian pernikahan yang didirikan oleh
agama dan/atau aliran kepercayaan, dsb. Berdasarkan alasan-alasan diatas, dapat kita
ketahui bahwa sedari dulu, tindak pemerkosaan merupakan sesuatu yang dilarang
secara normatif, bahkan sebelum keberadaan hukum pidana.
Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam
penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap
penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian
misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran
orang lain. Alasan kasus-kasus pemerkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada
aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor,
diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui
oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa
dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu
saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga
berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat.1
Tentunya sebagai salah satu negara yang menyebut dirinya sebagai negara
hukum, Indonesia memiliki rancangan yang mengatur soal pemerkosaan sebagai
sebuah tindak pidana, agar pelarangan tindak pemerkosaan sebagai salah satu cita-cita
masyarakat akan adanya keadilan, dapat terwujudkan. Hukum tersebut dapat
ditemukan sebagaimana tercantum dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan

1
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta,
Sinar Grafika, 1996), hal. 81
isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua belas tahun.”. Terdapat beberapa unsur penting yang
dapat kita petik berdasarkan rumusan pasal diatas, yang mengkategorisasikan apakah
suatu hubungan seksual merupakan tindak pemerkosaan atau bukan, yakni:2
a.) Dapat kita ketahui bahwa “Barangsiapa” yang terdapat dalam pasal tersebut
mengarah kepada laki-laki, dikarenakan kelanjutannya yang berbunyi
“...memaksa perempuan”, jadi “Barangsiapa” sebagai subjek hukum yang
tercantum di atas sudah pasti bukanlah seorang perempuan, dan subjek yang
dilindungi sebagai korban dari kasus ini sudah pasti merupakan seorang
perempuan
b.) Unsur kesengajaan dalam tindak pemerkosaan diwakili oleh adanya tindak
kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului hubungan intim
tersebut, dengan kata lain; jika sebuah hubungan intim didahului oleh tindak
kekerasan atau ancaman kekerasan, maka dapat dipastikan bahwa hubungan
tersebut bukanlah merupakan hubungan suka sama suka dan pihak wanita
telah dipaksa dengan ancaman kekerasan untuk melakukan suatu hal yang
tidak diinginkan, atau pun telah dibungkam dengan tindak kekerasan hingga
tidak berdaya dan tidak mampu melindungi dirinya sendiri
c.) unsur subjektif lain yang dapat kita petik adalah status pernikahan dari subjek
yang terkait didalamnya, yang sesuai pasalnya berbunyi “...perempuan yang
bukan isterinya”, artinya tindak pemerkosaan hanya dapat terjadi pada
perempuan dan laki-laki yang tidak terikat hubungan suami istri secara sah.
Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan
umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya
merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial maka penulis
melakukan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Dalam
Kasus Tindak Pidana Perkosaan Studi Kasus Peristiwa Pemerkosaan di Sentani
Timur”.

2
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, (hal. 210-211)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Identitas Pelaku

1. Nama lengkap : PELAKU RI alias Vaick


2. Tempat lahir : Sentani
3. Umur/Tanggal lahir : 26 Tahun
4. Jenis kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat tinggal : Kabupaten Jayapura
7. Agama : Kristen Advent
8. Pekerjaan : Mahasiswa

B. Kronologi Masalah

Peristiwa pemerkosaan yang dilakukan oleh PELAKU RI terhadap KORBAN


YS bermula pada hari Jumat tanggal 11 Agustus 2017, setelah PELAKU RI dan
KORBAN YS YS mengantar saudara KORBAN YS ke BTN Sosial Sentani Kabupaten
Jayapura, KORBAN YS dan PELAKU RI berboncengan menggunakan sepeda motor
menuju Sentani dari Waena Jayapura, kemudian KORBAN YS dan PELAKU RI
melakukan persinggahan untuk membeli bensin eceran di tempat cucian motor di
kawasan Waena. Namun di depan markas Yonif Batalion 751/R, PELAKU RI menawari
KORBAN YS untuk meneguk minuman keras dengan alasan sebagai obat tidur.
KORBAN YS sempat menolak dan sesampainya di rumah kosong di belakang Ruko
Haway, Sentani, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jaya sebelum kantor TVRI Lama ,
PELAKU RI kembali mengajak KORBAN YS dengan mengeluarkan minuman keras
yang sudah ada di dalam jok motornya.

PELAKU RI memaksa KORBAN YS untuk melakukan hubungan badan


layaknya suami istri namun KORBAN YS menolak dengan mengatakan bahwa dirinya
sedang datang bulan (menstruasi) , tetapi PELAKU RI tetap memaksa KORBAN YS,
KORBAN YS pun meronta dan berteriak minta tolong, setelah itu PELAKU RI
membekap mulut KORBAN YS dan membanting KORBAN YS kelantai, namun karena
KORBAN YS tetap meronta-ronta , PELAKU RI pun membekap mulut KORBAN YS
dengan bantal sehingga KORBAN YS kesulitan untuk bernapas. Setelah itu PELAKU
RI pun langsung memperkosa KORBAN YS hingga PELAKU RI puas, lalu setelah
KORBAN YS diperkosa oleh PELAKU RI, KORBAN YS pun langsung bergegas
bangun dan keluar ke jalan raya dengan berteriak-teriak minta tolong dan karena
PELAKU RI ketakutan PELAKU RI pun meninggalkan KORBAN YS di pinggir jalan.

C. Perbuatan Yang Diancam Pidana

Melakukan tindak pidana Pemerkosaan sebagaimana dalam Surat Dakwaan


Tunggal telah melanggar pasal 285 KUHP, yang berbunyi :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang


wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Sebagaimana diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1. Barang siapa

merupakan subjek hukum yang kepadanya dapat dipertanggungjawabkan


perbuatannya, bahwa subjek hukum tersebut sehat secara fisik dan psikis
sehingga dapat menentukan perbuatannya dengan cara yang normal.

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

Menimbang bahwa salah satu bentuk kekerasan merupakan pemerkosaan yang


menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Didalam pasal 89 KUHP
yang berbunyi :

“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan


kekerasan.”

juga dinyatakan bahwa kekerasan membuat orang lain tidak berdaya. dalam
Kasus ini TERDAKWA membanting KORBAN YS ke lantai dan membekap
mulut korban dengan bantal, sehingga KORBAN tidak berdaya.

3. Memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia


Dalam kasus ini hubungan antara TERDAKWA dengan KORBAN YS masih
ada hubungan keluarga tetapi bukanlah suami istri. Setelah KORBAN YS
dibanting ke lantai dan dibekap mulutnya TERDAKWA langsung memperkosa
KORBAN YS yang tengah tidak berdaya setelah melakukan perlawanan
terhadap TERDAKWA.

D. Locus dan Tempus Delicit


Locus peristiwa tersebut bertempat pada Rumah Kosong tepatnya di belakang Ruko
Haway Sentani Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura atau setidak-tidaknya pada
suatu tempat lain yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Jayapura.
Mengingat kembali locus peristiwa, maka pengadilan hukum yang berhak memiliki
kuasa atas peristiwa tersebut merupakan Pengadilan Negeri Jayapura. Tempus peristiwa
terjadi pada hari Jumat, tanggal 11 Agustus 2017, sekitar pukul 03.15 WIT atau setidak
tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan Agustus tahun 2017.

Alat bukti peristiwa tersebut berupa 1(satu) buah kaos warna hitam bertuliskan ONE
HAEART ONE LOVE TO 4-EVER berwarna kuning emas, 1(satu) buah kaos sebatas
lutut warna coklat muda merek C.O.L.Z.A, 1(satu) buah celana dalam kombinasi warna
merah, kuning hijau, putih, bertuliskan CABERNET berwarna hitam dan terdapat bercak
darah. Dikembalikan kepada korban, 1(satu) botol miras whisky robinson 350 ml yang
telah kosong, 1(satu) buah bantal yang telah disobek, 1(satu) gelas takar dari air mineral
gelas 220 ml yang telah kosong. Dimusnahkan, dan 1(satu) unit sepeda motor Honda
Revo warna merah hitam (dikembalikan kepada yang berhak)

E. Sanksi Pidana KUHP

Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-perundangan lain
yang bersangkutan maka Pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1(satu) tahun dan 2(dua) bulan.
Hal ini juga berarti; gugurnya hak penuntutan hukuman (strafsactie) hanya akan
terjadi jika tindak pidana sudah melewati tenggang waktu selama 12 tahun dari waktu
kejadian. Mengingat ketentuan Pasal 78 KUHP, bahwa kewenangan menuntut pidana
hapus karena daluwarsa bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
tiga tahun, dapat dilakukan sesudah periode dua belas tahun, dan apabila orang yang
pada saat melakukan perbuatan belum berumur delapan belas tahun, tenggang daluarsa
tersebut dikurangi menjadi sepertiga

F. Teori Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Pemerkosaan

1. Kekerasan Seksual (Perkosaan) dalam Tinjauan Hukum Pidana Indonesia

Perkosaan tidak bisa dipandang sebagai kejahatan yang hanya menjadi urusan privat
(individu korban), namun harus dijadikan sebagai problem publik karena kejahatan ini jelas-
jelas merupakan bentuk perilaku yang tidak bermoral dan keji yang selain melanggar
HAM, juga mengakibatkan derita fisik, sosial, maupun psikologis bagi kaum
perempuan.Perkosaan dan penanganan- nya selama ini menjadi salah satu indikasi dan bukti
lemahnya perlindungan (pengayoman) hak asasi manusia, khususnya perempuan dari
tindakan kekerasan seksual yang tergolong pada kekerasan terberat. Perlindungan terhadap
perempuan telah dinyatakan pula oleh Konvensi PBB yang telah menjangkau perlindungan
perempuan sampai ke dalam urusan rumah tangga, tidak sebatas hak perempuan di luar
rumah atau sektor publik. Hal itu dapat dijadikan tolok ukur mengenai peningkatan
kepedulian terhadap HAM khususnya perempuan, meskipun KUHP kita belum mengatur
mengenai perkosaan oleh suami kepada istri.Perkosaan ditempatkan sebagai contoh
perbuatan kriminalitas yang melanggar HAM perempuan karena lebih memposisikan
keunggulan diskriminasi gender.

Perkosaan menjadi salah satu tolok ukur pelanggaran HAM yang cukup parah terhadap
perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan bukti kesewenang- wenangan dan
kekejian yang bertentangan dengan watak diri manusia yang seharusnya menghormati dan
melindungi hak-hak sesamanya, apalagi terhadap perempuan. Mengenai kejahatan
kekerasan seksual (perkosaan) ini, tidak hanya merenggut kehormatan seorang perempuan,
namun juga merenggut hak-hak asasinya.
Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak ditemukan defnisi
secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi hanyadisebutkan dalam Pasal 89
:membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Dari rumusan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang
dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat pingsan dan
tidak berdaya. Dengan berkembangnya jaman, pemahaman kekerasan dapat dilakukan
dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata (fisik).
Pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah
dikodifikasi yaitu KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalam KUHP, yaitu:
 Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh
 Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul.

Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan, baik itu
sengaja atau alpa. Namun dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan
pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah terjadi persetubuhan antara
pelaku dan korban. Apabila tidak sampai terjadi persetubuhan maka perbuatan dimaksud
dapat dikualifikasikan dengan tindak pidana percobaan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal
285 Jo. Pasal 53 KUHP) dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul (Pasal 289
KUHP).
Dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perkosaan tersebut, dirumuskan pula
suatu sanksi pidana yang diberikan bagi pelaku kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 285
KUHP dinyatakan bahwa ancaman pidana maksimum yang diterima oleh pelaku adalah
duabelas tahun penjara. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga memungkinkan pelaku
dijerat dengan hukuman yang lebih ringan jauh dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan
yang dilakukannya terhadap korban kejahatan kekerasan seksual (perkosaan).

Keterkaitan antara hukum pidana dan kriminologi dapat dikaitkan secara teoritik, namun
secara praktik sangat terbatas keterkaitannya dan pengaruhnya. Hukum pidana memusatkan
perhatian kepada faktor- faktor penyebab terjadinya kejahatan. Kriminologi telah
ditunjukkan untuk mengungkapkan motif pelaku kejahatan sedangkan hukum pidana kepada
hubungan antara perbuatan dan akibat (hukum sebab akibat). 3Faktor motif dapat ditelusuri
dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat melakukan kejahatan. Dari uraian ini
keterkaitan tersebut berperan dalam proses penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan.

Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP yang secara yuridis mengatur kejahatan perkosaan,
terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu salah satunya adalah adanya kekerasan.
Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur yang membedakan pemerkosaan
dengan kejahatan kesusilaan yang lain yang diatur dalam KUHP. Berbeda halnya dengan
perspektif yuridis, dari perspektif kriminologi yang dijadikan tolak ukur adalah persetujuan
bukanlah kekerasan yang menjadi hal pokok.Unsur persetujuan tersebut yang menentukan
3
Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal.5
dan mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perkosaan.4 Menurut Steven Box dan J.E.
Sahetapy pengertian perkosaan secara kriminologis didasarkan atas tidak adanya consent
dari pihak wanita.

2. Jenis-Jenis perkosaan

Perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut:


a. Sadistic Rape
Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam
bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan
erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang
mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
b. Anger Rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana
untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan.
Tubuh korban disini seakan- akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku
yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan
dan kekecewaan hidupnya.
c. Domination Rape
Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas
kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan
seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan
berhubungan seksual.
d. Seductive Rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang
tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa
keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku
pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena
tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks.
e. Victim Precipitated Rape
Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban
sebagai pencetusnya.

4
Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.70
f. Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan
hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil
keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung
padanya secara ekonomis dan sosial.5.

5
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, 2001), hal. 65
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanggung jawab pelaku tindak pidana permerkosaan menurut pasal 285
KUHP adalah selama-lamanya atau paling lama 12 tahun penjara apabila perbuatan
pelaku memenuhi semua unsur-unsur pasal, Maka dari studi kasus kali ini dapat
dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 285 KUHP serta bukti yang ada,
bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana Pemerkosaan.

Dengan pertimbangan diatas, maka dinyatakan secara “sah” bahwa


TERDAKWA terbukti telah melakukan tindakan “pemerkosaan” sebagaimana dalam
dakwaan tunggal, serta tindakan terdakwa TERDAKWA telah memenuhi unsur-
unsur yang tercantum dalam pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Unsur-unsur tersebut merupakan melakukan kekerasan terhadap seorang wanita di
luar pernikahan sehingga wanita tersebut tidak berdaya, dan memaksa wanita
tersebut melakukan hubungan layaknya suami istri.

TERDAKWA dijatuhkan hukum penjara pidana selama 1 (satu) tahun dan 2


(dua) bulan, yang merupakan keringanan dari ancaman sanksi paling lama yaitu 12
(dua belas) tahun. Keringanan tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan karena
pelaku berperilaku dengan sopan dalam persidangan, serta pelaku sudah berdamai
dengan korban serta keluarganya diluar dari proses pengadilan.

B. Saran

Terjadinya kasus perkosaan di Indonesia yang cenderung mengalami


peningkatan, diharapkan agar pemerintah Indonesia memperbaharui produk perundang-
undangan mengenai kejahatan seksual khususnya perkosaan itu dengan memperhatikan
dan mengoptimalkan sanksi pidana yang bersifat lebih memberatkan agar timbul efek
jera. Disamping itu masyarakat diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap
perkembangan jaman dan teknologi. Selain itu pendidikan moral dan agama tetap
menjadi prioritas, dengan memegang teguh nilai Pancasila. Untuk memaksimalkan
upaya penanggulangan diharapkan partisipasi masyarakat dan konsistensi dari aparat
penegak hukum.

Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan
perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya dilandasi oleh rasa
kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan
landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP
(tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal).
Daftar Pustaka

Buku:

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya.


Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996
Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung
Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, 2001)

Peraturan perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Anda mungkin juga menyukai