Anda di halaman 1dari 252

‹IILID I Prof. Dr. Jimmy AsshiddiqieS.H.

PENGANTA2

SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN


MAHKAMAH KONSTITUSI RI
PENGANTAR ILMU
HUKUM TATA NEGARA
JILID I

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Persembahan
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

i ii
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
PENGANTAR ILMU
HUKUM TATA
NEGARA JILID I

Asshiddiqie, Jimly
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI
Cetakan Pertama, Juli 2006
xvi + 381 hlm; 14 x 21 cm

1. Hukum Tata Negara 2. Konstitusi

PENGANTAR ILMU
HUKUM TATA NEGARA
JILID I Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
All right reserved

Hak Cipta @ Jimly Asshiddiqie


Cetakan Pertama, Juli 2006

Koreksi naskah:
Muchamad Ali Safa’at dan Pan Mohamad Faiz
Rancang Sampul : Abiarsya
setting layout : Ery SP, M. Azis Hakim, Irvan A.
Indeks : Subhan Hariri

Penerbit:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Penerbit
Mahkamah Konstitusi RI
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat 10110
Mahkamah Konstitusi RI Telp. (021) 3520173, 3520787 Ext. 213
Jakarta, 2006 www.mahkamahkonstitusi.go.id
Hariri yang telah membuat indeks buku ini, dan semua
DARI PENERBIT pihak yang turut membantu hingga terbitnya buku ini.
Akhirnya, kami sampaikan selamat membaca
dan semoga membawa manfaat bagi perkembangan
ketata- negaraan di Indonesia.

Pasca perubahan UUD 1945, Ilmu Hukum Tata Jakarta, Juli 2006
Negara mengalami perkembangan yang sangat
Sekretaris Jenderal
pesat. Berbagai perubahan ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi
mengharuskan ada- nya pengkajian yang lebih luas
RI
dan mendalam. Apalagi saat ini norma-norma tersebut
berada dalam proses kon- solidasi untuk menyesuaikan
Janedjri M. Gaffar
sistem aturan dan sistem kelembagaan yang telah ada
dan dibuat sebelum peru- bahan UUD 1945.
Proses pelaksanaan norma-norma dasar
dalam UUD 1945 dalam praktik membutuhkan
wawasan dan medan pengalaman. Oleh karena itu
diperlukan perspek- tif keilmuan yang merupakan
sublimasi dari pengalaman berbagai negara sebagai
kerangka dan alternatif pilihan pelaksanaan norma-
norma dasar dalam UUD 1945.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Sekretariat
Jen- deral dan Kepaniteraan MKRI menerbitkan buku
yang menjadi pintu masuk untuk mempelajari Ilmu
Hukum Tata Negara ini. Buku karya Bapak Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, S.H. ini terdiri dari Jilid I dan Jilid II
yang sesungguhnya merupakan satu kesatuan naskah.
Dengan penerbitan buku ini diharapkan dapat ikut
mendukung terwujudnya konstitusionalitas Indonesia
dan budaya sadar berkonstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI
mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Muchamad Ali
Safa'at dan Sdr. Pan Mohammad Faiz yang telah dengan
tekun membaca dan mengedit naskah buku ini, Sdr. Ery
Satria Pamungkas, M. Azis Hakim dan Irvan Aprialdi
yang telah membantu me-lay out buku ini, Sdr. Subhan

v vi
mempengaruhi antara sistem konstitusi menjadi suatu
KATA PENGANTAR keniscayaan. Dikotomi antara nasionalisme versus
inter- nasionalisme sistem hukum dan konstitusi juga
semakin tipis batasan-batasannya. Bahkan, karena
perkembangan Uni Eropa yang semakin menguat
tingkat kohesi dan in- tegrasinya, maka kedaulatan
Bismilahhirrahmanirrahim, sistem hukum dan konsti- tusi masing-masing negara
anggotanya juga semakin cair. Apalagi, sebagai akibat
Buku ini saya persembahkan sebagai bahan kaji-
kuat dan luasnya pengaruh gelombang liberalisme di
an bagi para mahasiswa dan pemula, para dosen,
hampir semua negara di dunia, peran pemerintah dan
pemer- hati hukum, serta para peminat pada umumnya
negara pada umumnya terus me- nerus dituntut untuk
yang ter- tarik untuk mempelajari seluk-beluk mengenai
dikurangi melalui kebijakan demo- kratisasi, privatisasi,
hukum tata negara sebagai ilmu pengetahuan hukum.
deregulasi, debirokratisasi, dan pe- majuan hak asasi
Sebenar- nya, banyak buku yang sudah ditulis oleh para
manusia di semua sektor kehidupan. Akibatnya, format
ahli mengenai hal ini sebelumnya. Akan tetapi, di
organisasi negara dan fungsi-fungsi kekuasaan negara
samping tidak dimaksudkan sebagai buku teks yang
juga dipaksa oleh keadaan untuk ber- ubah secara
bersifat me- nyeluruh, pada umumnya buku-buku
mendasar.
tersebut ditulis pada kurun waktu sebelum reformasi.
Kedua, setelah era reformasi, Negara Kesatuan
Oleh karena itu, buku-buku teks yang sampai sekarang
Republik Indonesia (NKRI) juga telah mengalami per-
masih dipakai sebagai pegangan dalam perkuliahan
ubahan yang sangat mendasar di hampir semua
hukum tata negara di berbagai fakultas hukum di tanah
aspek- nya. Undang-Undang Dasar Negara Republik
air kita dewasa ini sudah banyak yang ketinggalan
Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan
zaman.
Buku-buku dimaksud dapat dikatakan ketinggal- hukum tertinggi dalam sistem hukum Indonesia telah
an zaman, karena dua sebab utama. Pertama, dunia pa- mengalami per- ubahan secara besar-besaran. Jumlah
da umumnya di abad KE-21 sekarang ini telah ketentuan yang tercakup dalam naskah UUD 1945 yang
berubah secara sangat mendasar, sehingga menyebabkan asli mencakup 71 butir ketentuan. Sekarang, setelah
struktur dan fungsi-fungsi kekuasaan negara juga mengalami empat kali perubahan dalam satu rangkaian
mengalami per- ubahan yang sangat significant proses perubahan dari tahun 1999 sampai dengan
apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. tahun 2002, butir ketentuan yang tercakup di
Perubahan-perubahan mendasar itu tidak hanya terjadi dalamnya menjadi 199 butir. Dari ke- 199 butir
di lapangan perekono- mian global, tetapi juga di ketentuan itu, hanya 25 butir ketentuan yang berasal
bidang kebudayaan dan di bidang sosial politik yang dari naskah asli yang disahkan oleh Panitia Persi- apan
mau tidak mau telah pula mempengaruhi format dan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18
fungsi kekuasaan di hampir semua negara di dunia. Agustus 1945. Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir
Dikarenakan perubahan-perubahan yang ketentuan, dapat dikatakan merupakan ketentuan
bersifat global atau mondial itu, hubungan saling yang baru sama sekali.
pengaruh Banyak pihak yang merasa kecewa atau bahkan
menentang perubahan secara besar-besaran dan
vii viii
menda-

vii viii
pengetahuan hukum.
sar tersebut. Bahkan di kalangan guru besar hukum tata
negara sendiri banyak juga yang terlibat dalam
gerakan politik yang berusaha untuk mengubah atau
bahkan me- ngembalikan hasil perubahan yang sudah
ditetapkan itu ke naskah UUD 1945 yang asli
sebagaimana disahkan pa- da tahun 1945. Namun,
terlepas dari perbedaan-perbeda- an pendapat yang
demikian, naskah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sudah berubah dan
perubahannya itu sudah disahkan secara
konstitusional. Oleh karena itu, sekarang bukan lagi
sa- atnya untuk menyatakan setuju atau tidak setuju.
Akan tetapi, sekarang adalah saatnya untuk
melaksanakan segala ketentuan UUD 1945 pasca
perubahan itu secara konsekuen.
Jikapun perbedaan pendapat yang terjadi dapat
dikembangkan dalam tataran ilmiah, maka tentunya per-
bedaan-perbedaan itu justru dapat memperkaya pers-
pektif bagi perkembangan ilmu hukum tata negara posi-
tif di Indonesia. Akan tetapi, para jurist dan para
calon jurist di bidang hukum tata negara harus pula
mema- hami bahwa norma hukum dasar sebagai
hukum yang tertinggi sebagaimana tertuang dalam
ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah sah dan mengikat secara konstitusional
sejak ditetapkan. Oleh karena itu, sistem hukum dan
ketatanegaraan Indonesia pasca Perubahan UUD 1945
harus pula berubah secara mendasar sesuai dengan
tuntutan baru UUD 1945. Ber- samaan dengan itu,
buku-buku teks dan buku-buku pelajaran lainnya
yang berkenaan dengan sistem hukum dan
ketatanegaraan Indonesia dewasa ini juga harus di-
ubah dan disesuaikan secara besar-besaran pula. Oleh
sebab itulah, buku ini dipersembahkan dengan
harapan agar dapat membantu para mahasiswa, para
dosen, dan para peminat pada umumnya yang
berusaha untuk me- mahami segala seluk-beluk
hukum tata negara sebagai satu cabang ilmu
ix x
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
Oleh karena luasnya masalah yang perlu
dibahas, saya sengaja membagi dua buku ini menjadi
(i) Pengan- tar Ilmu Hukum Tata Negara, dan (ii)
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Buku
pertama adalah pengantar bagi kajian hukum tata
negara pada umumnya sebagai satu cabang ilmu
pengetahuan hukum. Materi buku per- tama inilah
yang biasa disebut sebagai Hukum Tata Ne- gara
Umum. Sedangkan buku yang kedua berkenaan de-
ngan materi Hukum Tata Negara Positif yang berlaku
di Indonesia. Oleh karena banyaknya materi yang
penting, maka pada Buku kedua ini juga diberi judul
“Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, karena
sifatnya hanya sebagai pengantar saja. Artinya, bagi
mereka yang ber- minat untuk mengkaji materi
tertentu secara lebih men- dalam lagi, perlu membaca
buku yang tersendiri me- ngenai hal-hal dimaksud.
Karena luasnya pembahasan dalam buku pertama,
maka buku pertama tersebut dibagi menjadi dua Jilid.
Buku ini adalah Jilid I yang khusus membahas
masalah bidang Ilmu Hukum Tata Negara mulai dari
sisi definisi, metode, hingga pada pergeseran dalam
orientasinya.
Namun sebenarnya, buku mengenai apa saja
yang
berkenaan dengan buku Hukum Tata Negara, baik
yang bersifat umum ataupun yang bersifat positif,
sangat tera- sa masih sangat kurang di Indonesia.
Terlebih lagi, buku- buku yang sengaja diabdikan
untuk membahas hukum tata negara sebagai ilmu
pengetahuan di antara sedikit buku tentang hukum
tata negara, pada umumnya hanya membahas
mengenai hukum tata negara positif yang berlaku di
Indonesia. Sangat sedikit yang secara khusus
membahas teori umum tentang hukum tata negara.
Oleh sebab itu, saya berusaha mengisi kekosongan
tersebut dengan menerbitkan buku ini sebagaimana
mestinya.
Lahirnya buku ini tentunya juga atas dukungan
dan keterlibatan dari berbagai pihak. Untuk itu saya
ix x
ikut membidani dalam penyusunan buku ini. Besar ha-
rapan saya bahwa kiranya buku ini dapat dijadikan
sebagai salah satu buku pedoman Hukum Tata Negara
bagi siapapun. Syukur-syukur buku ini dapat pula dija-
dikan sebagai buku pegangan bagi setiap mahasiswa
Fakultas Hukum dalam mempelajari seluk-beluk ilmu
hukum tata negara.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita
semua. Amiin.

Jakarta, Juli 2006


Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

xi xii
DAFTAR 3. Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara  46
ISI 4. Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara 
50
5. Hukum Tata Negara dan
Dari Penerbit  v Hukum Internasional Publik 
Kata Pengantar  vii 65
Daftar Isi  xiii 6. Kecenderungan Hukum Tata
Negara, Hukum Administrasi
Negara, dan Hukum Internasional
BAB I Publik  66
D. Objek dan Lingkup Kajian
Hukum Tata Negara  70
PENDAHULUAN 2. Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
A. Latar Belakang  1 serta Ilmu Sosial Lainnya  44
B. Ruang Lingkup Pembahasan  7
C. Pendekatan Pembahasan  8

BAB II
DISIPLIN ILMU
HUKUM TATA NEGARA
A. Negara sebagai Objek
Ilmu Pengetahuan  11
B. Ilmu Hukum Tata Negara  15
1. Peristilahan  15
2. Definisi Hukum Tata Negara  23
3. Hukum Tata Negara Formil dan Materiel  37
4. Hukum Tata Negara Umum dan
Hukum Tata Negara Positif  39
5. Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis  41
C. Keluarga Ilmu
Hukum Kenegaraan 
42
1. Keluarga Ilmu Hukum
Kenegaraan Pada Umumnya  42

xiii xiv
E. Objek Dan Lingkup Kajian
Hukum Administrasi Negara  80

BAB III
KONSTITUSI SEBAGAI OBJEK
KAJIAN HUKUM TATA NEGARA
A. Sejarah Konstitusi  89
1. Terminologi Klasik: Constitutio,
Politeia, dan Nomoi  89
2. Warisan Yunani Kuno
(Plato dan Aristoteles)
 95
3. Warisan Cicero (Romawi Kuno)  102
4. Warisan Islam:
Konstitusionalisme dan Piagam 
106
5. Gagasan Modern: Terminologi Konstitusi  113
B. Arti dan Pengertian Konstitusi  119
C. Nilai dan Sifat Konstitusi  135
1. Nilai Konstitusi  135
2. Konstitusi Formil dan Materiil  137
3. Luwes (Flexible) atau Kaku (Rigid)  142
4. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis  148
D. Tujuan dan Hakikat Konstitusi  149

xiii xiv
C. Praktik Peradilan Tata Negara  332
BAB IV
SUMBER HUKUM TATA NEGARA
A. Sumber Hukum Tata Negara  151
1. Pengertian Sumber Hukum  151
2. Sumber Hukum Tata Negara  158
3. Contoh Sumber Hukum Tata
Negara Inggris  182
4. Sumber Hukum Primer, Sekunder,
dan Tertier  193
B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia  197
1. Sumber Materiel dan Formil  197
2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar  199
3. Peraturan Perundang-undangan  202
4. Konvensi Ketatanegaraan  228
5. Traktat (Perjanjian)  230
C. Konvensi Ketatanegaraan  236
1. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan  236
2. Pengakuan Hakim terhadap
Konvensi (Judicial Recognition) 
249
3. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan  254
4. Beberapa Contoh Konvensi di Indonesia  256

BAB V
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA
A. Penafsiran dan
Anatomi Metode Tafsir
 273
B. Hermeneutika Hukum  308

BAB VI
PRAKTIK HUKUM TATA NEGARA
A. Pergeseran Orientasi Politis ke Teknis  315
B. Lahan Praktik Hukum Tata Negara  323

xv xvi
1. Peradilan Tata Negara  332
2. Pengujian
Konstitutionalitas
Undang-Undang  335
3. Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara 
336
4. Pembubaran Partai Politik  338
5. Perselisihan Hasil Pemilu  339
6. Pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden 
341
7. Kebutuhan akan
Sarjana Hukum Tata
Negara  342

Daftar Pustaka  349


Daftar Indeks  369
Tentang Penulis  377

xv xvi
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

BAB I
hidup. Karena tidak ada orang yang mampu hidup
PENDAHULUAN
hanya dengan mengandalkan kemampuan menulis.
Oleh karena itu, buku yang bermutu juga
menjadi sangat kurang jumlahnya. Kata kuncinya tidak
lain adalah bahwa konsumen dan konsumsi buku di
A. Latar Belakang masya- rakat kita masih sangat tipis jumlahnya,
sehingga tidak dapat menggerakkan roda industri buku
Terdapat tiga hal yang melatarbelakangi penu- untuk dapat tumbuh sehat. Untuk itu, sebagai seorang
lisan buku ini. Pertama, dunia pustaka di tanah air sa- guru dalam pendidikan hukum yang kebetulan
ngat miskin dengan buku-buku yang berisi informasi mendapat keperca- yaan menjadi Ketua Mahkamah
yang luas dan mendalam dengan perspektif yang Konstitusi, di tengah ke- sibukan kerja sehari-hari, saya
bersifat alternatif. Informasi dan hasil analisis kritis merasa bertanggung jawab secara moral untuk terus
mengenai berbagai soal dalam bidang ilmu hukum tata menulis buku untuk kepentingan mahasiswa dan
negara dalam buku ini merupakan alternatif pilihan masyarakat peminat lain- nya.
terhadap semua buku dan karya yang sudah ada selama Ketiga, perkembangan ketatanegaraan Indonesia
ini. Ka- dang-kadang buku-buku yang tersedia hanyalah sendiri sesudah terjadinya reformasi nasional sejak ta-
buku yang berisi kumpulan peraturan perundang- hun 1998 yang kemudian diikuti oleh terjadinya Peruba-
undangan di bidang politik dan ketatanegaraan dengan han UUD 1945 secara sangat mendasar sebanyak empat
tambahan komentar dan catatan yang serba sumir, kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, telah
tanpa keda- laman analisis dengan berbasis teori-teori mengubah secara mendasar pula cetak biru (blue-
yang telah berkembang pesat di lingkungan negara- print) ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan
negara maju. Oleh karena itu, buku dengan kedalaman datang. Oleh karena itu, diperlukan banyak buku
pengertian ten- tang berbagai aspek ilmiah tentang baru yang dapat menggambarkan perspektif-
hukum tata negara sungguh diperlukan. perspektif baru itu, tidak saja di dunia teori, tetapi
Kedua, dari segi jumlahnya, buku-buku yang ter-
juga di bidang hukum positif yang sekarang berlaku.
sedia di perpustakaan dan di toko buku juga sangat ter- Sampai sekarang, pemasyarakatan UUD 1945
batas. Oleh sebab itu, dibutuhkan lebih banyak buku
pasca Perubahan Keempat relatif masih sangat terbatas.
untuk mendorong peningkatan pengkajian-pengkajian Padahal, isinya telah mengalami perubahan lebih dari
yang lebih intensif oleh para mahasiswa dan peminat
300 persen. Sebagai gambaran, sebelum diadakan Peru-
masalah ketatanegaraan. bahan, naskah UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan
Budaya baca di kalangan masyarakat kita sangat-
ayat atau pasal. Akan tetapi sekarang, setelah
lah lemah, dan demikian pula budaya menulis juga sa- mengalami 4 (empat) kali perubahan, ketentuan yang
ngat terbatas, apalagi untuk menjadi penulis buku-buku
terkandung di dalamnya menjadi 199 butir. Dari
yang bermutu. Menjadi penulis yang baik saja pun rumusan ketentuan yang asli, hanya tersisa 25 butir
sekarang ini belumlah dapat dijadikan andalan untuk
saja yang sama sekali tidak berubah. Sedangkan
selebihnya, yaitu 174 butir, sama sekali merupakan
butir-butir ketentuan baru dalam

1 2
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya,


sering terjebak dalam keinginannya sendiri mengenai
meskipun namanya masih menggunakan nama lama de-
apa yang semestinya diatur, bukan apa yang
ngan penegasan kembali dengan nama resmi
dikehendaki oleh peraturan itu sendiri. Para sarjana
“Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
hukum kita cen- derung bersikap sebagai politisi hukum
Tahun 1945”, tetapi isinya sudah lebih dari 300 persen
daripada ber- sikap sebagai jurist. Perhatian para
baru. Untung- lah bahwa pembukaannya tidak
sarjana hukum keba- nyakan tertuju kepada politik
mengalami perubahan, dan naskah standar yang
hukum (legal policy) dari- pada norma hukum itu
dijadikan pegangan dalam melakukan perubahan itu
sendiri. Para sarjana hukum, apalagi di kalangan aktivis
adalah naskah UUD 1945 se- bagaimana Dekrit
di lapangan, para advokat, ataupun para dosen yang
Presiden 5 Juli 1959. Dengan demi- kian, meskipun
terlibat aktif sebagai pengamat, cenderung bertindak
isinya sudah mengalami perubahan lebih dari 300
sebagai sarjana patriotis yang ingin memperjuangkan
persen, tetapi jiwanya tetap jiwa proklamasi, dan
nilai agar dapat turut memperbaiki hukum.
orisinalitas ideologinya tetap terpelihara sesuai nas- kah Kecenderungan demikian biasanya dibungkus
aslinya yang diwarisi dari tahun 1945. pula oleh alasan yang bersifat pseudo-ilmiah, dengan
Namun, sebagai akibat dari perubahan yang mendasarkan diri pada teori-teori ilmiah yang secara
sangat mendasar dan bersifat besar-besaran itu, tidak salah kaprah dipergunakan. Misalnya, dikatakan bahwa
ada jalan lain, harus ada upaya bersengaja untuk sarjana hukum tidak boleh berpikir dogmatis-positi-
menyebarluaskan pengertian-pengertian baru dalam vistik, atau sarjana hukum sudah seharusnya mengu-
UUD 1945, terutama di kalangan para calon ahli hukum tamakan perasaan keadilan yang hidup dalam masya-
sendiri, yaitu para mahasiswa hukum di seluruh rakat, sehingga tidak perlu terpaku kepada bunyi teks.
tanah air. Untuk itu, penulisan buku ini termasuk Padahal, ukuran perasaan keadilan itu sangat relatif dan
dalam rangka kebutuhan yang amat mendesak cenderung menyebabkan penerapan hukum menjadi sa-
mengenai pe- masyarakatan kesadaran akan ngat dipengaruhi oleh faktor-faktor kekuatan politik
konstitusi “baru” In- donesia, yaitu UUD Negara ma- joritarian.
Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan. Apabila dipandang dari segi kebutuhan akan
Banyak kalangan dosen dan bahkan banyak pula para pembaruan hukum di negara kita yang dewasa ini
guru besar hukum tata negara sendiri serta para ahli sedang berubah menjadi lebih demokratis dan
hukum pada umumnya yang belum sungguh-sungguh berkeadilan, hal itu tentu merupakan fenomena yang
memahami pengertian-penger- tian baru dalam baik dan positif. Upaya melakukan perombakan
substansi perubahan yang terjadi dalam Undang- memerlukan sikap kritis dari banyak kalangan, terutama
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta- hun dari kalangan para ahli hukum sendiri. Namun,
1945. kebiasaan semacam itu jika tidak terkendali, justru
Lagi pula, di kalangan para sarjana hukum Indo- dapat menyebabkan terjadinya destabilisasi dan
nesia sejak dulu, terdapat pula kebiasaan buruk menge- disharmoni dalam diskursus publik (public discourse)
nai cara berpikir politis tentang hukum. Para sarjana yang pada gilirannya menyebabkan semakin kacaunya
hu- kum sering berpikir mengenai apa yang ia inginkan tertib hukum nasional kita.
de- ngan suatu ketentuan hukum, bukan apa yang
diingin- kan oleh perumusan norma hukum itu
sendiri. Orang
3 4
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Demikian pula dalam memahami ketentuan


ngertian-pengertian lama yang sudah tidak cocok lagi
un- dang-undang dasar, sarjana hukum banyak yang
untuk dijadikan pegangan ilmiah.
tidak berusaha memahami apa yang terkandung di
Misalnya saja, teori mengenai susunan
dalam UUD 1945, melainkan mengajukan pikirannya
organisasi negara yang selama berabad-abad dipahami
sendiri yang seharusnya ada dalam UUD 1945. Pikiran
terdiri atas tiga kemungkinan bentuk, yaitu negara
dan ha- rapannya itulah yang dijadikan bahan dalam
kesatuan (uni- tary state atau eenheidsstaat), negara
memahami apa yang diatur dalam pasal-pasal UUD
serikat atau fede- ral (bondstaat), dan negara
1945. Akibatnya, yang berkembang di antara para ahli
konfederasi (confederation). Sekarang kita menyaksikan
hukum bukanlah pengertian-pengertian yang
terbentuknya wadah Uni Eropa (European Union) di
terkandung di dalam rumusan-rumusan naskah
antara negara-negara Eropa Bersatu yang dari waktu ke
UUD 1945, melainkan apa yang mereka setuju atau
waktu terus menguat derajat integrasinya menjadi suatu
yang mereka ingin untuk dirumuskan dalam naskah
komunitas kenegaraan yang sama sekali tidak dapat
UUD 1945.
dikategorikan sebagai salah satu dari ketiga bentuk
Hal inilah sebenarnya yang membedakan seorang
susunan organisasi negara tersebut di atas.
ilmuwan hukum dari seorang politisi hukum. Norma hu-
Kelima, sebagai akibat dari gelombang globalisasi
kum bagi jurist dan ilmuwan hukum adalah apa adanya
ekonomi dan kebudayaan umat manusia, meluas pula
(das sein), sedangkan bagi para politisi hukum
hubungan saling pengaruh mempengaruhi mengenai
me- rupakan norma yang seharusnya (das sollen). Para
pola-pola kehidupan bernegara dan aspek-aspek ketata-
jurist lebih mengutamakan norma hukum yang
negaraan di berbagai negara, sehingga hukum tata ne-
mengikat atau ius constitutum, sedangkan para
gara sebagai bidang ilmu pengetahuan juga tidak lagi
politisi hukum lebih menekankan ius constituendum
terkungkung dalam ruang-ruang nasionalisme norma
atau hukum yang dicita- citakan. Kebiasaan demikian
konstitusi masing-masing negara. Para mahasiswa hu-
itu pada gilirannya dapat semakin mempersulit
kum harus menangkap pula kecenderungan baru
upaya kita untuk memasya- rakatkan kesadaran
dimana hukum tata negara sebagai bidang hukum yang
dan menyebarluaskan pengertian- pengertian baru
bersifat internal suatu negara mulai menyatu atau
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pas- ca Perubahan
setidaknya saling pengaruh mempengaruhi dengan
Pertama, Kedua, Ketiga, dan Perubahan Keempat.
bidang kajian hukum internasional publik. Hukum tata
Keempat, keadaan dunia dewasa ini juga telah negara meluas dari sempitnya orientasi selama ini yang
mengalami perubahan yang sangat pesat dan mendasar, hanya bersifat internal ke arah orientasi eksternal,
apabila dibandingkan dengan keadaan di masa-masa lalu sehingga ilmu hu- kum tata negara di samping harus
pada abad ke-20. Kehidupan kenegaraan di seluruh dipelajari sebagai bi- dang ilmu hukum tata negara
du- nia dewasa ini juga berubah dengan sangat positif, juga harus dipelajari sebagai bidang ilmu hukum
fundamental sehingga teori-teori dan konsep-konsep tata negara umum.
hukum yang berlaku di masa lalu juga banyak yang Hukum tata negara positif hanya berkisar kepada
menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman norma-norma hukum dasar yang berlaku di satu negara,
sekarang. Demi- kian pula halnya dengan bidang sedangkan hukum tata negara umum mempelajari juga
hukum tata negara, banyak sekali konsep-konsep baru fenomena hukum tata negara pada umumnya. Hukum
yang muncul dan pe-

5 6
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Tata Negara Positif hanya mempelajari hukum yang


mendalam mengenai berbagai aspek hukum tata negara
berlaku di Indonesia saja dewasa ini. Tetapi Hukum
sebagai bidang ilmu pengetahuan hukum. Di dalamnya
Tata Negara Umum mempelajari gejala-gejala ilmiah
dapat saja tercakup pula aspek-aspek hukum tata negara
hukum tata negara pada umumnya. Oleh karena itu,
positif yang berlaku di Indonesia, tetapi hal itu bukanlah
judul yang dipilih untuk buku ini bukanlah “Pengantar
menjadi muatan utamanya.
Hukum Tata Negara Indonesia”, melainkan “Pengantar
Sebagai buku Pengantar, maka tentulah tidak se-
Ilmu Hukum Tata Negara” saja.
mua aspek pengantar itu akan diuraikan di sini. Dalam
buku ini, hanya diuraikan beberapa aspek pembahasan
B. Ruang Lingkup Pembahasan
yang berkenaan dengan (i) disiplin ilmu hukum tata
negara sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan hu-
Buku ini dimaksudkan sebagai bacaan bagi maha-
kum kenegaraan, (ii) gagasan umum tentang konstitusi,
siswa Strata-1 dan para pemula yang ingin
(iii) sumber-sumber hukum tata negara atau the laws of
mengetahui mengenai garis besar ruang lingkup ilmu
the constitution, (iv) konvensi ketatanegaraan atau the
pengetahuan hukum yang dinamakan ilmu Hukum Tata
conventions of the constitution, dan (v) metode-metode
Negara. Oleh karena itu buku ini diberi judul “Pengantar
penafsiran yang dikenal dalam hukum tata negara; serta
Ilmu Hukum Tata Negara”. Dari judul ini, pertama
(vi) berbagai aspek mengenai praktik hukum tata
dapat diketahui bahwa buku ini hanyalah merupakan
negara. Dengan demikian, dalam buku ini,
bagian pengantar untuk pengkajian yang lebih
belum diuraikan mengenai persoalan-
mendalam mengenai ilmu hukum tata negara. Artinya,
persoalan pokok yang biasa dibahas dalam ilmu hukum
yang dibahas dalam buku ini barulah kulit atau hal-hal
tata negara, seperti bentuk dan susunan organisasi
yang belum merupakan sub- stansi pokok ilmu hukum
negara, fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
tata negara itu. Pada jilid I ini belum dibahas
yudisial, sistem kepartaian dan pemilihan umum,
mengenai prinsip-prinsip dasar dalam hukum tata
kewarganegaraan, dan sebagainya. Pada saatnya, hal-
negara seperti konsep pembatasan ke- kuasaan dan
hal yang dimaksud itu
implikasinya terhadap struktur kekuasaan yang akan dibahas dalam Jilid II.
biasanya dibagi dalam cabang-cabang legislatif,
eksekutif, dan yudisial, yang akan dibahas pada jilid C. Pendekatan Pembahasan
II. Buku ini benar-benar baru bersifat pengantar ke
arah studi yang lebih mendalam mengenai materi ilmu Dalam menyusun buku ini, penulis sangat me-
hukum tata negara itu. nyadari bahwa banyak buku-buku teks yang biasa
Kedua, dalam judul ini, juga tergambar bahwa isi dipakai sehari-hari sebagai buku wajib oleh mahasiswa
buku ini merupakan pengantar terhadap kajian ilmu dan dosen hukum di tanah air kita, banyak yang sudah
hukum tata negara yang bersifat umum, yang tidak ha- ketinggalan atau obsolete. Akan tetapi, saya sendiri
nya terbatas kepada hukum tata negara positif, dalam tidak bermaksud meniadakan atau menafikan
ar- ti hukum tata negara Indonesia yang dewasa ini sumbangan ya- ng telah diberikan oleh buku-buku
sedang berlaku. Oleh karena itu, lingkup pembahasan tersebut sebelumnya. Buku-buku lama itu menurut
dalam buku ini bersifat mengantarkan studi yang lebih saya masih tetap berguna
luas dan

7 8
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dan bagi mereka yang memilikinya masih tetap dapat


menggunakannya sebagai bahan perbandingan.
Misalnya saja, di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, buku karya Mohammad
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (keduanya sudah
almarhum) dengan judul “Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia” masih terus dipakai sebagai buku
pegangan mahasiswa sampai sekarang. Isinya jelas
sudah sangat banyak ke- tinggalan, tetapi tetap penting
untuk dijadikan pegangan bagi dosen dan mahasiswa.
Bahkan, oleh sebab itu, buku ini juga ditulis dengan
berpatokan pada apa yang ditulis oleh Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim tersebut. Dengan demikian, buku
teks yang lama ini tidak perlu se- luruhnya dihapuskan,
karena banyak bagian yang masih tetap dapat dipakai
sampai sekarang.
Hanya saja, jika buku teks lama ini dibaca tanpa
dilengkapi dengan buku baru, pemahaman pembacanya
dapat tergelincir kepada kesalahan fatal. Banyak sekali
pengertian-pengertian baru yang telah berubah secara
fundamental baik karena pengaruh perubahan global,
nasional, regional, maupun perubahan yang bersifat lo-
kal. Semua itu memerlukan keterangan-keterangan dan
penjelasan-penjelasan baru yang hanya dapat dibaca da-
lam buku-buku yang baru pula.
Di samping itu, pembahasan dalam buku ini
tidak dilakukan semata-mata secara normatif ataupun
menu- rut peraturan hukum positif, melainkan melalui
des- kriptif-analitis. Pembahasan dilakukan melalui
pendes- kripsian pendapat ahli mengenai persoalan
yang dibahas dengan contoh-contoh yang dipraktikkan
di berbagai ne- gara. Baru setelah itu, pembahasan
dikaitkan pula de- ngan pengalaman praktik
ketatanegaraan di Indonesia.

9 10
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

BAB II “No independent political society can be termed as


DISIPLIN ILMU HUKUM TATA NEGARA state unless it professes to exercise both these functions;
but no modern state of any importance contents itself
with this narrow range of activity. As civilisationm
A. Negara Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan becomes more complex, population increases and
social conscience arises, the needs of the governed
Negara merupakan gejala kehidupan umat ma- call for incresed attention; taxes have to be livied to
nusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep meet these needs; justice must be administered,
commerce regulated, educational facilities and many
negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling
other social services provided”.2
sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman
sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama
dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat Selanjutnya dikemukakan juga oleh ketiga
perhatian dan obyek kajian bersamaan dengan sarjana Inggris tersebut:
berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia. “A fully developed modern state is expected to deal with
Banyak cabang ilmu penge- tahuan yang menjadikan a vast mass of social problems, either by direct activity
negara sebagai objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, or by supervision, or regulation. In order to carry out
ilmu negara, ilmu hukum ke- negaraan, ilmu Hukum these functions, the state must have agents or organs
Tata Negara, Hukum Ad- ministrasi Negara, dan ilmu through which to operate. The appointment or
Administrasi Pemerintahan (Public Administration), establishment of these agents or organs, the general
semuanya menjadikan negara sebagai pusat nature of their functions and powers, their relations
inter and between them and the private citizen, form a
perhatiannya.
large part of the constitution of a state”.3
Namun demikian, apa sebenarnya yang diartikan
orang sebagai negara tentulah tidak mudah untuk di-
Secara sederhana, oleh para sarjana sering
definisikan. Meskipun diakui merupakan istilah yang
diurai- kan adanya 4 (empat) unsur pokok dalam setiap
su- lit didefinisikan, O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan
Pa- tricia Leopold mengartikan negara atau state negara, 4 yaitu (i) a definite territory, (ii) population,
sebagai: (iii) a Government, dan (iv) Sovereignity. Namun
demikian, untuk menguraikan pengertian negara dalam
“An independent political society occupying a tataran yang lebih filosofis, dapat pula merujuk kepada
defined territory, the members of which are united pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory
together for the purpose of resisting external force
of Law and State”.5 yang menguraikan pandangannya
and the preser- vation of internal order”.1
tentang
Dikatakan pula oleh Phillips, Jackson, dan
Leopold: 2
Ibid., hal. 4-5.
3
Ibid., hal. 5.
4
A. Appadorai, The Substance of Politics, (India: Oxford University Press,
2005), hal. 11.
1
O. Hood Phillips, Paul Jackson and Patricia Leopold, Constitutional and 5
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and
Administrative Law, 8th edition, (London: Sweet and Maxwell, 2001), hal. 4. Russel, 1961), hal. 188-191.

11 12
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

negara atau state a juristic entity dan state as a politi-


ma kajiannya. Sementara, ilmu Hukum Tata
cally organized society atau state as power. Elemen
Negara mengkaji aspek hukum yang membentuk dan
negara menurut Kelsen mencakup: (i) The Territory of
yang di- bentuk oleh organisasi negara itu. Ilmu
the State, seperti mengenai pembentukan dan pembu-
politik melihat negara sebagai a political society
baran negara, serta mengenai pengakuan atas negara
dengan memusatkan perhatian pada 2 (dua) bidang
dan pemerintahan;6 (ii) Time Element of the State, yaitu
kajian, yaitu teori politik (political theory) dan
wak- tu pembentukan negara yang bersangkutan; (iii)
organisasi politik (political organi- zation). Ilmu Politik
The People of the State, yaitu rakyat negara yang
sebagai bagian dari ilmu sosial lebih memusatkan
bersang- kutan; (iv) The Competence of the State as the
perhatian pada negara sebagai realitas politik.
Material Sphere of Validity of the National Legal
Seperti dikatakan oleh M.G. Clarke:
Order, misalnya yang berkaitan dengan pengakuan
internasional; (v) Conflict of Laws, pertentangan antar “... politics can only be understood through the
tata hukum; (vi) The so-called Fundamental Rights and bahaviour of its participants and that this behaviour is
Duties of the States, soal jaminan hak dan kebebasan determined by ‘social forces’: social, economic, racial
factions, etc”.9
asasi manusia; dan (vii) The Power of the State, aspek-
aspek mengenai kekuasaan negara.7
Ilmu politik hanya dapat dimengerti melalui peri-
Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang laku para partisipannya yang ditentukan oleh
diciptakan oleh umat manusia (human creation) kekuatan- kekuatan sosial, ekonomi, kelompok-
tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan kelompok rasial, dan sebagainya. Lebih lanjut, Clarke
berma- syarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa menyatakan bahwa legalisme itu bersifat redundant
untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai dalam studi ilmu politik, tetapi bahwa the rules of the
tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang constitution dan, lebih pen- ting lagi, struktur-struktur
bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai institutional pemerintahan negara, bukanlah hal yang
tujuan sebagai satu unit pemerintahan tertentu, maka relevan untuk dipersoalkan dalam ilmu politik.
perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan Struktur kelembagaan negara itu, menurut Clarke,
secara politik, dan disebut body politic atau negara tidak mempunyai pengaruh yang berarti perilakulah
(state) sebagai a society politi- cally organized.8 yang menjadi subjek utama dalam ilmu po- litik. 10
Negara sebagai body politic itu oleh ilmu negara
Orang boleh menerima begitu saja pendapat Clarke
dan ilmu politik sama-sama dijadikan sebagai objek uta-
ini dalam kerangka studi ilmu politik, tetapi di
lingkungan negara-negara yang sedang berkembang,
banyak studi ilmu sosial lainnya yang justru
menunjuk- kan gejala yang sebaliknya, yaitu bahwa
peranan institusi

7
6
Pengakuan atas suatu negara meliputi persoalan recognition of a Ibid., hal. 207-267.
8
community as a state, pengakuan de facto atau de jure, pengakuan dengan Appadorai, Op. Cit., hal. 3.
kekuatan yang bersifat retroaktif, pengakuan melalui penerimaan oleh
organisasi PBB, pengakuan terhadap pemerintahan dan pengakuan terhadap
insurgents seba- gai a belligerent power. Ibid. hal. 221-231.

13 14
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
9
Pengantar M.G. Clarke sebagai editor buku C.F. Strong, Modern
Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their
History and Existing Forms, (London: Sidgwick & Jackson, 1973),
hal.xvi.
10
Ibid. “What they are saying is not just that legalism is redundant in the
study of politics, but that the rules of the constitution and, more important,
the institutional structures of government, are irrelevant because they
don’t significantly affect that behaviour which is the only subject worthy
of study”.

13 14
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

kenegaraan itu justru sangat signifikan pengaruhnya


disebut Constitutional Law. Dalam bahasa Belanda dan
terhadap perilaku politik warga masyarakat.
Jerman, hukum tata negara disebut Staatsrecht, tetapi
Bagi disiplin ilmu politik, pendapat Clarke itu
dalam bahasa Jerman sering juga dipakai istilah verfas-
tidak aneh. Bahkan, Robert Dahl dalam bukunya
sungsrecht (hukum tata negara) sebagai lawan
“Pre- face to Democratic Theory” (1956) juga
perkataan verwaltungsrecht (hukum administrasi
menyatakan bahwa bagi para ilmuwan sosial yang
negara).
lebih penting adalah social not constitutional. 11 Ilmu
Dalam bahasa Belanda, untuk perkataan
politik lebih mengutakan dinamika yang terjadi
hukum tata negara juga biasa dipergunakan istilah
dalam masyarakat daripada norma-norma yang
staatsrecht atau hukum negara (state law). Dalam istilah
tertuang dalam konstitusi negara. Hal itu tentunya
staatsrecht itu terkandung 2 (dua) pengertian, yaitu
sangat berbeda dari ke- cenderungan yang
staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan
terdapat dalam ilmu hukum, khu- susnya ilmu
staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit).
hukum tata negara (constitutional law). Dalam studi
Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara
ilmu hukum tata negara (the study of the constitution
dalam arti sempit itulah yang biasa- nya disebut Hukum
atau constitutional law), yang lebih di- utamakan
Tata Negara atau Verfassungsrecht yang dapat
justru adalah norma hukum konstitusi yang biasanya
dibedakan antara pengertian yang luas dan yang
tertuang dalam naskah undang-undang dasar. Di
sempit. Hukum Tata Negara dalam arti luas (in
situlah letak perbedaan mendasar antara ilmu Hukum
ruimere zin) mencakup Hukum Tata Negara (verfas-
Tata Negara dari ilmu politik.
sungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi
Negara (verwaltungsrecht). 13
B. Ilmu Hukum Tata Negara
Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai peng-
1. Peristilahan gunaan verfassungslehre daripada
Ilmu Hukum Tata Negara adalah salah satu verfassungsrecht. Dalam berbagai kuliahnya yang
cabang ilmu hukum yang secara khusus dikumpulkan oleh salah seorang mahasiswanya, yaitu
mengkaji persoalan hukum dalam konteks kenegaraan. Harun Alrasid, pada tahun 1959, 14 dan diterbitkan
Kita me- masuki bidang hukum tata negara, pertama kali pada tahun 1982, Djokosoetono berusaha
menurut Wirjono Prodjodikoro, apabila kita mengambil jalan tengah antara Carl Schmitt yang
membahas norma-norma hu- kum yang mengatur menulis buku Verfassungslehre dan Hermann Heller
hubungan antara subjek hukum orang atau bukan dengan bukunya Staatslehre. Istilah yang tepat untuk
orang dengan sekelompok orang atau badan hukum Hukum Tata Negara sebagai ilmu (con- stitutional law)
yang berwujud negara atau bagian dari negara. 12 adalah Verfassungslehre atau teori kons- titusi.
Dalam bahasa Perancis, hukum tata negara disebut Verfassungslehre inilah yang nantinya akan men- jadi
Droit Constitutionnel atau dalam bahasa Inggris dasar untuk mempelajari verfassungsrecht, teru-

11
Robert A. Dahl, Preface to Democratic Theory, (Chicago: University of 13
Chicago Press, 1956), hal. 83. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
12
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, cet. Indonesia, cet. kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
keenam, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal. 2. Hukum
14
Universitas Indonesia, 1983), hal. 22.
Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
15 16
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tama mengenai hukum tata negara dalam arti positif,


sebut, Hukum Konstitusi dipahami lebih sempit daripada
yaitu hukum tata negara Indonesia.
Hukum Tata Negara.17
Istilah “Hukum Tata Negara” dapat
Perkataan “Hukum Tata Negara” berasal dari
dianggap identik dengan pengertian “Hukum
per- kataan “hukum”, “tata”, dan “negara”, yang di
Konstitusi” yang merupakan terjemahan langsung dari
dalamnya dibahas mengenai urusan penataan negara.
perkataan Consti- tutional Law (Inggris), Droit
Tata yang terkait dengan kata “tertib” adalah order yang
Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale
biasa juga diterjemahkan sebagai “tata tertib”. Tata
(Italia), atau Verfassungsrecht (Jerman). Dari segi
negara berarti sistem penataan negara, yang berisi
bahasa, istilah Constitutional Law dalam bahasa
ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi
Inggris memang biasa diterjemahkan se- bagai
norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, ilmu Hukum
“Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata
Tata Negara dapat dikatakan merupakan cabang ilmu
Negara” itu sendiri jika diterjemahkan ke dalam
hukum yang membahas mengenai tatanan struktur
bahasa Inggris, niscaya perkataan yang dipakai
kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-
adalah Con- stitutional Law.15 Oleh karena itu,
struktur organ atau struktur kenegaraan, serta
Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau
mekanisme hubungan antara struktur negara dengan
disebut sebagai istilah lain belaka dari “Hukum
warga negara.
Konstitusi”.16 Hanya saja, yang dibahas dalam Hukum Tata
Di antara para ahli hukum, ada pula yang ber-
Negara atau Hukum Konstitusi itu sendiri hanya terbatas
usaha membedakan kedua istilah ini dengan me-
pada hal-hal yang berkenaan dengan aspek hukumnya
nganggap bahwa istilah Hukum Tata Negara itu lebih
saja. Oleh karena itu, lingkup bahasannya lebih
luas cakupan pengertiannya dari pada istilah Hukum
sempit daripada Teori Konstitusi sebagaimana yang
Konstitusi. Hukum Konstitusi dianggap lebih sempit
dianjurkan untuk dipakai oleh Prof. Dr. Djokosoetono,
karena hanya membahas hukum dalam perspektif teks
yaitu Verfas- sungslehre atau Theorie der Verfassung.18
undang-undang dasar, sedangkan Hukum Tata Negara
Istilah Verfas- sungslehre itu, menurut Djokosoetono
tidak hanya terbatas pada undang-undang dasar.
lebih luas dari- pada Verfassungsrecht. Theorie der
Pembedaan ini sebenarnya terjadi karena kesalahan
Verfassung lebih luas daripada Theorie der
dalam mengartikan perkataan konstitusi (verfassung)
Verfassungsrecht. Untuk ke- pentingan ilmu
itu sendiri yang seakan-akan diidentikkan dengan
pengetahuan, Djokosoetono menganggap lebih tepat
undang- undang dasar (gerundgesetz). Karena
untuk menggunakan istilah “Teori Konstitusi” daripada
kekeliruan ter-
“Hukum Konstitusi” ataupun “Hukum Tata Ne- gara”.
Sebab yang dibahas di dalamnya adalah persoalan
15
Lihat dan bandingkan Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut konstitusi dalam arti yang luas dan tidak hanya terbatas
UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik kepada aspek hukumnya, maka yang lebih penting
Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 29. Lihat juga dalam Miriam ada- lah Theorie der Verfassung atau Verfassunglehre
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992), hal. 95
(Teori Konstitusi), bukan Theorie der
16
Lihat dan bandingkan pula pendapat dari Bagir Manan yang membedakan Verfassungsrecht, The-
antara Konstitusi (UUD) dengan Hukum Konstitusi (Hukum Tata Negara).
Lihat Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, 17
2004), hal. 5. 18
Ibid., hal. 23.
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 45.
17 18
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

orie der Constitutionnel Recht (Teori Hukum Konstitusi


stitution of the United States of America baru
atau Teori Hukum Tata Negara), ataupun Theorie der
disahkan pada tanggal 17 September 1787, yaitu 11
Gerundgesetz (Teori Undang-Undang Dasar). 19
tahun setelah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat
Sejalan dengan penggunaan kata theorie dan
dari Inggris pada tanggal 4 Juli 1776. Bekas
lehre tersebut, dapat dibandingkan pula antara
negara federasi Uni Soviet mengesahkan undang-
staatsrecht dengan staatslehre. Dalam staatslehre di-
undang dasarnya (Konsti- tusi Federal) pada tahun
bahas mengenai persoalan negara dalam arti luas,
1924, setelah 2 tahun ber- dirinya, yaitu pada 30
sedangkan staatsrecht hanya mengkaji aspek hukumnya
Desember 1922.21 Kerajaan Belan- da yang sekarang
saja, yaitu hukum negara (state law). Dapat disebut
juga baru mengesahkan Grondwet pada tanggal 2
beberapa sarjana yang mempopulerkan istilah staats-
Februari 1814, yaitu setelah 2 bulan dan 11 hari sejak
lehre ini, misalnya adalah Hans Kelsen dalam buku
proklamasi kemerdekaannya dari Perancis pada tanggal
“Algemeine Staatslehre” dan Herman Heller dalam
21 November 1813. Republik Indonesia sen- diri yang
bukunya “Staatslehre”. Cakupan pengertiannya jelas le-
sudah diproklamasikan sebagai negara merdeka
bih luas daripada staatsrecht, seperti halnya ver-
dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, baru
fassunglehre lebih luas daripada verfassungsrecht.
mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 pada
Konstitusi atau verfassung itu sendiri, menurut
tanggal 18 Agustus 1945.
Thomas Paine dibuat oleh rakyat untuk membentuk
Dalam ilmu hukum tata negara juga berlaku
pe- merintahan, bukan sebaliknya ditetapkan oleh
doktrin “teori fiktie hukum” (legal fiction theory) yang
peme- rintah untuk rakyat. Bahkan, lebih lanjut
menyatakan bahwa suatu negara dianggap telah memi-
dikatakan oleh Paine bahwa “A constitution is a thing
liki konstitusi sejak negara itu terbentuk. Terbentuknya
antecedent to a government and a government is only
negara itu terletak pada tindakan yang secara resmi
the creature of a constitution”. Konstitusi itu
menyatakannya terbentuk, yaitu melalui penyerahan
mendahului pemerintahan, karena pemerintahan itu
kedaulatan (transfer of authority) dari negara induk
justru dibentuk berdasarkan konstitusi. Oleh karena
seperti penjajah kepada negara jajahannya, melalui
itu, konstitusi lebih dulu ada daripada
pernyataan deklarasi dan proklamasi, ataupun melalui
pemerintahan.20
revolusi dan perebutan kekuasaan melalui kudeta.
Pengertian bahwa konstitusi mendahului peme- Secara juridis formal, negara yang bersangkutan atau
rintahan tetap berlaku, meskipun dalam praktik banyak pemerin- tahan tersebut dapat dinyatakan legal secara
negara sudah lebih dulu diproklamasikan baru undang- formal sejak terbentuknya. Namun, legalitas tersebut
undang dasarnya disahkan. Misalnya, the Federal Con- masih bersifat formal dan sepihak. Oleh karena itu,
derajat legi- timasinya masih tergantung kepada
19
20
Ibid. pengakuan pihak- pihak lain.
“A constitution is not the act of a government, but of a people constituting
a government, and a government without a constitution is power without
right”. Lihat “Rights of Man in the Complete Works of Thomas Paine”, p.
21
302-303 dalam Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on Menurut Andrei Y. Vyshinsky, Undang-Undang Dasar Soviet menggam-
Constitutional and Administrative Law, 7th edition, (London: Oxford Univer- barkan perkembangan historis yang dijalani oleh negara Soviet. Lihat dalam
sity Press, 2003), hal. 1. Andrei Y. Vyshinsky, The Law of Soviet State, diterjemahkan dari the
Russian oleh Rugh W. Babb, (New York: The Macmillan Company, 1961).

19 20
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Istilah constitution 22 dalam bahasa Inggris


undang-undang dasar dalam arti konstitusi yang
se- padan dengan perkataan grondwet dalam bahasa
ter- tuang dalam naskah tertulis. 23 Untuk pengertian
Be- landa dan gerundgesetz dalam bahasa Jerman.
kon- stitusi dalam arti undang-undang dasar,
Grond dalam bahasa Belanda memiliki makna yang
sebelum di- pakainya istilah grondwet, di Belanda
sama dengan Gerund dalam bahasa Jerman yang
pernah dipakai juga istilah staatsregeling. Atas
berarti “dasar”. Sedangkan, wet atau gesetz biasa
prakarsa Gijsbert Karel van Hogendorp pada tahun
diartikan undang-undang. Oleh sebab itu, dalam
1813, istilah grondwet dipa- kai untuk menggantikan
bahasa Indonesia, grondwet itu disebut dengan istilah
istilah staatsregeling.24
undang- undang dasar. Namun, para ahli pada
Oleh sebab itu, di negeri Belanda, seperti
umumnya sepakat bahwa pengertian kata konstitusi itu
di- katakan oleh Sri Soemantri, istilah grondwet itu
lebih luas daripada undang-undang dasar. Sarjana
baru digunakan pada tahun 1813. 25 Artinya, yang
Belanda seperti L.J. van Apeldoorn juga menyatakan
dapat diidentikkan dengan Undang-Undang Dasar
bahwa constitutie itu lebih luas daripada grondwet.
negara jajahan Hindia Belanda adalah Indische
Menurut Apeldoorn, grondwet itu hanya memuat
Staatsregeling. Oleh sebab itu, dengan terbentuknya
bagian tertulis saja dari constitutie yang cakupannya
negara Republik In- donesia berdasarkan UUD 1945
meliputi juga prinsip-prinsip dan norma-norma dasar
pada tahun 1945, sudah seharusnya undang-undang
yang tidak tertulis. Demikian pula di Jerman, verfassung
dasar zaman Hindia Belanda ini dianggap tidak lagi
dalam arti konstitusi dianggap lebih luas pengertiannya
mempunyai kekuatan hukum me- ngikat. Kalaupun
daripada gerundgestz dalam arti undang-undang
berbagai peraturan perundang- undangan yang
dasar.
diwarisi dari zaman Hindia Belanda itu masih
Oleh karena itu, sampai sekarang, dalam bahasa diberlakukan berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945,
Jerman, dibedakan antara istilah gerundrecht (hak maka daya ikatnya tidak lagi berdasarkan ke-
dasar), verfassung, dan gerundgezet. Kemudian dalam tentuan Indische Staatsregeling, melainkan karena UUD
bahasa Belanda juga dibedakan antara grond-recht (hak 1945 sendiri tetap memberlakukannya ke dalam wilayah
dasar), constitutie, dan grondwet. Demikian pula dalam negara Republik Indonesia yang merdeka dan
bahasa Perancis, dibedakan antara Droit berdaulat berdasarkan undang-undang dasar yang
Constitutionnel dan Loi Constitutionnel. Istilah yang baru, semata- mata untuk mengatasi kekosongan
pertama identik de- ngan pengertian konstitusi, sedang hukum (rechts- vacuum) yang dapat timbul karena
yang kedua adalah situasi perubahan transisional sebagai negara yang baru
merdeka.
22
Sebagai perbandingan, di dalam Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Semua produk hukum masa lalu, sepanjang me-
Constitution diartikan sebagai “The fundamental and organic law of a mang masih diperlukan haruslah dilihat sebagai produk
nation or state that establishes the institutions and apparatus of government, hukum Indonesia sendiri yang memang diperlukan un-
defines the scope of governmental sovereign powers, and guarantees indiv- tuk negara hukum Indonesia. Seperti halnya di zaman
idual civil rights and civil liberties”. Sedangkan, di dalam Oxford
Dictionary of Law, Fifth Edition, Constitution diartikan “The rules and 23
Dalam bahasa Italia disebut Diritto Constitutionale; sedangkan dalam
practices that determine the composition and functions of the organs of
bahasa Arab disebut Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi.
central and local government in as state and regulate the relationship 24
Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan
between the individual and the state”. Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 1-2.
25
Ibid.
21 22
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

kemerdekaan sekarang ini, cukup banyak produk pe-


dikan objek penelitian oleh sarjana hukum itu masing-
raturan perundang-undangan yang sebagian
masing. Misalnya, di negara-negara yang menganut
atau seluruh materinya berasal dari contoh-contoh
tradisi common law tentu berbeda dari apa yang diprak-
praktik hukum di negara-negara lain yang dinilai
tikkan di lingkungan negara-negara yang menganut tra-
patut untuk dicontoh.26 Atas dasar alasan inilah, maka
disi civil law.
pemberlakuan produk-produk hukum peninggalan
Bahkan, dalam perkembangan praktik selama
zaman Hindia Belanda dapat dibenarkan, meskipun
berabad-abad, di antara negara-negara yang menganut
hal itu tetap tidak menutup keharusan untuk
tradisi hukum yang sama pun dapat timbul perbedaan-
melakukan upaya pembaruan besar-besaran terhadap
perbedaan karena latar belakang sejarah antara satu
produk-produk hukum masa lalu itu disesuaikan dengan
negara dengan negara lain yang juga berbeda-beda.
kehendak perubahan zaman.
Misalnya, meskipun sama-sama menganut tradisi com-
Apalagi, Indonesia dewasa ini berada dalam mon law, antara Inggris dan Amerika Serikat jelas
alam modern yang sangat ditentukan oleh (i) mem- punyai sejarah hukum yang berbeda, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konsep- konsep hukum dan konstitusi yang
modern, (ii) sistem de- mokrasi yang terus tumbuh, dipraktikkan di kedua negara ini juga banyak sekali
dengan (iii) tuntutan sistem ekonomi pasar yang yang tidak sama. Apalagi, di Inggris sendiri tidak
semakin kuat, serta (iv) diiringi pula oleh pengaruh terdapat naskah konstitusi yang bersifat tertulis dalam
globalisasi dan gejolak kedaerahan yang sangat kuat. satu naskah UUD, sedangkan Amerika Serikat memiliki
Semua ini memerlukan respons sistem hukum dan naskah UUD tertulis yang dapat dikatakan sebagai
konstitusi yang dapat menjalankan fungsi kontrol dan negara modern pertama yang memilikinya.
sekaligus fungsi pendorong ke arah pem- baruan terus Berbagai pandangan para sarjana mengenai de-
menerus menuju kemajuan bangsa yang semakin finisi hukum tata negara itu dapat dikemukakan antara
cerdas, damai, sejahtera, demokratis, dan ber- keadilan. lain sebagai berikut:

2. Definisi Hukum Tata Negara a. Christian van Vollenhoven


Di antara para ahli hukum, dapat dikatakan tidak Menurut van Vollenhoven, hukum tata negara
terdapat rumusan yang sama tentang definisi hukum mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masya-
dan demikian pula dengan definisi hukum tata negara rakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya,
seba- gai hukum dan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang masing-masing menentukan wilayah atau lingku-
hu- kum. Perbedaan-perbedaan itu sebagian disebabkan ngan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-
oleh faktor-faktor perbedaan pandangan di antara para badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang ber-
ahli hukum itu sendiri, dan sebagian lagi dapat sangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta me-
disebabkan oleh perbedaan sistem yang dianut oleh
negara yang dija-

26
Sebagian besar dari hal tersebut seringkali kita temukan pada peraturan
perundang-undangan dalam ranah hukum perdata dan pidana baik itu dalam
praktik maupun ilmu hukumnya masing-masing.

23 24
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

nentukan pula susunan dan kewenangan badan-badan


yang berasal dari negara.29 Jika yang diatur adalah orga-
yang dimaksud. 27
nisasi negara, maka hukum yang mengaturnya itulah
Sebagai murid Oppenheim, van Vollenhoven juga
yang disebut sebagai hukum tata negara
mewarisi pandangan gurunya itu yang membedakan an-
(constitutional law). Mengenai hubungan antara
tara hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
organisasi negara de- ngan warga negara, seperti
Pembedaan itu digambarkannya dengan perumpamaan
mengenai soal hak asasi manusia, belum
dalam hukum tata negara, melihat negara dalam keadaan
dipertimbangkan oleh Paul Scholten.
diam (in rust), sedangkan dalam hukum administrasi
negara, melihat negara dalam keadaan bergerak c. van der Pot
(in beweging).28 Menurut van der Pot, hukum tata negara adalah
peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan
b. Paul Scholten yang diperlukan beserta kewenangannya masing-
Menurut Paul Scholten, hukum tata negara itu masing, hubungannya satu sama lain, serta
tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorgani- hubungannya dengan individu warga negara dalam
satie, atau hukum yang mengatur mengenai tata or- kegiatannya.30 Pandangan van der Pot ini mencakup
ganisasi negara. Dengan rumusan demikian, Scholten pengertian yang luas, di sam- ping mencakup soal-soal
hanya menekankan perbedaan antara organisasi negara hak asasi manusia, juga men- jangkau pula berbagai
dari organisasi non-negara, seperti gereja dan lain-lain. aspek kegiatan negara dan warga negara yang dalam
Scholten sengaja membedakan antara hukum tata definisi sebelumnya dianggap sebagai objek kajian
negara dalam arti sempit sebagai hukum organisasi hukum administrasi negara.
negara di satu pihak dengan hukum gereja dan hukum
perkum- pulan perdata di pihak lain dengan kenyataan d. J.H.A. Logemann
bahwa kedua jenis hukum yang terakhir itu tidak Mirip dengan pendapat Paul Scholten, menurut
memancarkan otoritas yang berdiri sendiri, melainkan J.H.A. Logemann, hukum tata negara adalah
suatu otoritas hukum yang mengatur organisasi negara. Negara adalah
organi- sasi jabatan-jabatan. 31 Jabatan merupakan
pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi
merupakan penger-
28
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48.
27
Christian van Vollenhoven, Staatsrecht Overzee, (Leiden: Stenfert Kroese,
1934), hal. 30, “Het staatsrecht heeft vooreerst alle hogere en lagere
rechtsgemeenschappen met hun hierarchie te tekenen, dan van elke
diergemeenshappen het grond en personengebied te omschrijven en ver-
volgens aan te geven, over welke organen de verschillende overheidsfuncties
verdeeld zijn bij elke dier gemeenshappen (samenstelling en bevoegdheid
dier organen ter regelen)”. Lihat Prof. Mr. J. Oppenheim, “Nederlandsch
Administratiefrecht”, 1912, dan “Omtrek van het Administratiefrecht” dalam
Verhandelingen voor Gedragen in de Koninklijke Academie van
Wetenshappen.
25 26
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
29
Lihat Asser-Scholten, “Algemeen Deel”, cetakan kedua, 1934, hal. 42
dalam J.H.A. Logemann, Over de Theorie van Eeen Stellig Staatsrecht
(1948), diterjemahkan menjadi Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara
Positif, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1975), hal. 88.
30
van der Pot, Handboek van het Nederlands Staatsrecht, (Zwolle:
W.E.J. Tjeenk Willink, 1968), hal. 5, “Die regelen stellen de nodige
organen in, regelen de bevoegdheden dier organen, hun orderlinge
verhouding, hun ver- houding tot de individuen (en zijn werkzaarm hed)”.
Lihat juga dalam Kus- nardi dan Ibrahim, Op.Cit., hal. 25.
31
“Het staatsrecht als het recht dat betrekking heeft op de staat –die
gezags- organisatie– blijkt dus functie, dat is staatsrechtelijk gesproken
het ambt, als kernbegrip, als bouwsteen te hebben”. Logemann, Op. Cit.,
hal. 81.

25 26
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tian yang bersifat sosiologis. Karena negara “... within the sphere of the State, there are two kinds of
merupakan organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi law. There is the law which governs the state and there is
dalam hubu- ngannya satu dengan yang lain maupun the law by means of which the state governs. The former
dalam keseluru- hannya, maka dalam pengertian juridis, is constitutional law, the latter we may for the sake of
negara merupa- kan organisasi jabatan. Hukum tata distinction call ordinary law”.34
negara meliputi baik persoonsleer maupun gebiedsleer,
dan merupakan suatu kategori historis, bukan kategori Baginya, hanya ada dua golongan hukum, yaitu
sistematis. Artinya, hu- kum tata negara itu hanya hukum tata negara atau constitutional law dan hukum
bersangkut-paut dengan geja- la historis negara. 32 yang bukan hukum tata negara, yaitu yang disebutnya
sebagai ordinary law. Hukum Tata Negara (Constitu-
e. van Apeldoorn tional Law) merupakan hukum yang memerintah ne-
Hukum tata negara (verfassungsrecht) dise- gara, sedangkan Hukum Biasa (Ordinary Law) dipakai
butkan oleh van Apeldoorn sebagai staatsrecht dalam oleh negara untuk memerintah.35
arti yang sempit. Sedangkan dalam arti yang luas,
staatsrecht meliputi pula pengertian hukum g. Wade and Phillips
administrasi negara (verwaltungsrecht atau Dalam bukunya “Constitutional Law” yang terbit
administratiefsrecht). Sebenarnya, van Apeldoorn pada tahun 1939, Wade and Phillips merumuskan
sendiri dalam karya- karyanya tidak banyak membahas “Constitutional law is ... body of rules which
soal-soal yang berkenaan dengan hukum tata negara prescribes
(ver- fassungsrecht), kecuali mengenai tugas-tugas dan (a) the structure, (b) the functions of the organs of
ke- wenangan atau kewajiban dan hak-hak alat-alat per- central and local government”. Dalam buku yang
lengkapan negara. Dalam berbagai bukunya, van Apel- sama terbitan tahun 1960, dinyatakan:
doorn malah tidak menyinggung sama sekali mengenai “In the generally accepted of the term it means the rules
pentingnya persoalan kewarganegaraan dan hak asasi which regulate the structure of the principal organs of
manusia. 33 government and their relationship to each other, and
determine their principal functions”.36
f. Mac-Iver
Hukum Tata Negara (constitutional law) adalah Dalam kedua rumusan tersebut, Wade and
hukum yang mengatur negara, sedangkan hukum yang Phillips, yang bukunya terkenal sebagai buku teks yang
oleh negara dipergunakan untuk mengatur sesuatu sangat luas dipakai di Inggris, menentukan bahwa hu-
selain kum tata negara mengatur alat-alat perlengkapan ne-
negara disebut sebagai hukum biasa (ordinary law).
Menurut Mac Iver: 34
MacIver, R.M., The Modern State, First Edition, (London: Oxford
University Press, 1955), hal. 250.
35
Lihat Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia,
32
Ibid., hal. 88.
33 (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal. 9.
Lihat “Inleiding tot de Studie van het Nederlandsrecht”, diterjemahkan 36
Bandingkan Wade and Phillips, Constitutional Law, edisi tahun 1939, hal.
menjadi Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1968), hal. 240. 4, dan edisi tahun 1960 hal 3.

27 28
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

gara, tugas dan wewenangnya, serta mekanisme hu- 38


Ibid.
bungan di antara alat-alat perlengkapan negara itu.
Dengan perkataan lain, Wade and Phillips juga tidak
mencantumkan pentingnya persoalan kewarganegaraan
dan hak asasi manusia sebagai objek kajian hukum tata
negara.

h. Paton George Whitecross


Dalam bukunya yang berjudul “Textbook of
Juris- prudence”, Paton George Whitecross
merumuskan bahwa “Constitutional law deals with the
ultimate ques- tions of distribution of legal power and
the functions of the organs of the state”.37 Hukum Tata
Negara itu berhu- bungan dengan persoalan distribusi
kekuasaan hukum dan fungsi organ-organ negara. Lebih
jauh, ia menyata- kan:
“In a wide sense, it includes admistrative law, but it is
convenient to consider as a unit for many purposes of
the rules which determine the organzation, power, and
duties of administrative authorities”.38

Dalam arti luas, Hukum Tata Negara itu meliputi


juga pengertian Hukum Administrasi Negara, tetapi
untuk lebih mudahnya, Hukum Tata Negara itu dapat
dianggap sebagai suatu cabang ilmu yang dapat dipakai
untuk berbagai macam kegunaan hukum yang menen-
tukan organisasi, kekuasaan, dan tugas-tugas otoritas
administrasi.

i. A.V. Dicey
A.V. Dicey dalam bukunya “An Introduction to
the Study of the Law of the Constitution” tahun
1968,

37
Paton George Whitecross, Textbook of Jurisprudence, (Oxford: The
Clarendon Press, 1951).

29 30
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
menyebutkan bahwa Hukum Tata Negara mencakup power in the state”. A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the
semua peraturan yang secara langsung atau tidak Constitution, (London: Macmillan, 1968), hal. 23.
lang- sung mempengaruhi distribusi atau pelaksanaan
ke- kuasaan yang berdaulat dalam negara. Dalam hal
ini,
A.V. Dicey menitikberatkan mengenai persoalan
distri- busi atau pembagian kekuasaan dan
pelaksanaan kekua- saan tertinggi dalam suatu negara.
39
Semua aturan (rules) yang mengatur hubungan-
hubungan antar peme- gang kekuasaan negara yang
tertinggi satu dengan yang lain disebut olehnya
sebagai hukum tata negara atau con- stitutional law.40

j. Maurice Duverger
Menurut sarjana Perancis, Maurice Duverger,
hukum tata negara adalah salah satu cabang hukum
publik yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi po-
litik suatu lembaga negara. Seperti halnya para sarjana
lainnya, Maurice Duverger juga hanya memberikan te-
kanan pada aspek keorganisasian serta tugas-tugas
dan kewenangan lembaga-lembaga sebagai alat
perlengkapan negara. Hal yang lebih diutamakan oleh
Maurice Du- verger dalam definisi yang
dikembangkannya tersebut adalah bahwa hukum tata
negara itu (droit constitu- tionnel) termasuk cabang
hukum publik.

k. Michael T. Molan
Dalam bukunya “Constitutional Law: The
Machi- nery of Government”, Michael T. Molan
berpendapat bahwa ruang lingkup hukum tata negara
biasanya dirumuskan secara kurang tegas batasan-
batasannya apabila dibandingkan dengan bidang-
bidang hukum
39
Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit., hal. 27.
40
“As the term is used in England, appears to include all rules which
directly or indirectly affect the distribution or exercise of the souvereign

29 30
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

yang lain,41 seperti dalam hukum perjanjian ataupun Machinery of Government, 4th edition, (London: Old Bailey Press, 2003), hal.
“the law of torts”, sebagaimana diuraikan olehnya 2.
sebagai berikut:
”The scope of constitutional law as an academic
discipline is, therefore, somewhat less clearly defined
than might be the case with other areas of law such as
the law of contract or the law of torts”.

Oleh karena itu, secara umum, ia berpendapat


bahwa:
“The subject is concerned with the functions discharged
by the organs of government, the distribution of power
between the organs of government, the law-making
process, the relationship between individuals and the
state in terms of the power of the state to interfere with
the exercise of individual rights and freedoms, and the
protection that the state can afford to its citizens”.

l. O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold


Dalam bukunya “Constitutional and
Administra-
tive Law”, ketiga sarjana ini menyatakan:
“The constitutional law of a state is the law relating to its
constitution. Where the constitution is written, even
though it may have to be supplemented by other
materials, it is fairly easy to distinguish the
constitutional law of a state from the rest of its legal
system; but where, as in Britain, the constitution is
unwritten, it is largely a matter of convenience what
topics one includes what in constitutional law, and there
is no strict scientific distinction between that and the rest
of the law. Thus the United Kingdom constitution can
well be said to be marked by three striking features: it is
indeterminate, in-

41
Michael T. Molan, Textbook: Constitutional and Administrative Law: The

31 32
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
distinct, and unentrenched. 42 It follows from what of
has been said that constitutional law deals, in
general, with the distribution and exercise of the
functions of govern- ment, and the relations of the
government authorities to each other and to the
individual citizen. It includes the rules –though the
nature of these is difficult to define– which identify
the law-making authorities themselves,
e.g. the legislature and the courts”.43

m. A.W. Bradley dan K.D. Ewing


Menurut kedua sarjana ini, tidak ada jawaban
yang dapat diberikan dengan mudah dan segera atas
pertanyaan mengenai apa definisi hukum tata negara.
Pengertian hukum tata negara yang paling luas men-
cakup bagian dari hukum nasional yang mengatur
sistem administrasi publik (negara) dan hubungan
antara indi- vidu dengan negara. Oleh karena itu,
hukum tata negara mengandaikan bahwa adanya
aturan yang mendahului keberadaan negara, dan di
dalamnya tercakup penga- turan mengenai struktur
dan fungsi-fungsi organ-organ utama dari negara, dan
hubungan di antara organ-organ itu satu sama lain,
serta hubungan antara organ-organ negara itu dengan
warga negara. Di negara yang memi- liki konstitusi
tertulis, maka norma-norma yang terkan- dung di
dalamnya lebih diutamakan keberlakuannya be- serta
hal-hal yang timbul dalam praktik sebagai hasil pe-
nafsiran hakim tertinggi yang menjalankan fungsi
pera- dilan konstitusi.44

42
Phillips, Jackson, and Leopold, Op Cit., hal. 8. Lihat juga S.E. Finer,
Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden, Comparing Constitutions,
(London: Oxford University Press, 1995), hal. 40.
43
Lihat juga H.L.A. Hart, The Concept of Law, Tenth Impression,
(Oxford: Oxford University Press, 1979).
44
“There is no hard and fast definition of constitutional law. According to
one wide definition, constitutional law is that part of national law which
govern the systems of public administration and the relationships between
the individual and the state. Constitutional law presupposes the existence

31 32
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Dalam definisi kedua sarjana ini, bidang kajian


n. Kusumadi Pudjosewojo hukum tata negara mencakup pula soal kedudukan war-
Kusumadi Pudjosewojo, dalam bukunya “Pedo- ga negara dan hak-hak asasinya. Menurut Moh.
man Pelajaran Tata Hukum Indonesia” merumuskan Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, warga negara
de- finisi yang panjang tentang Hukum Tata Negara. merupakan salah satu unsur yang penting bagi
Menu- rutnya, Hukum Tata Negara adalah hukum yang berdirinya suatu negara. Oleh karena itu, dalam Hukum
me- ngatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, Tata Negara perlu diba- has tentang asas-asas dan
yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan syarat-syarat kewarganegara- an serta perlindungan
maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang diberikan kepadanya, yang lazim disebut sebagai
yang se- lanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan perlindungan terhadap hak-hak asasi. 47 Dengan
rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan demikian, Hukum Tata Negara tidak hanya mengatur
akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang wewenang dan kewajiban alat-alat per- lengkapan
memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum negaranya saja, tetapi juga mengatur me- ngenai warga
itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan negara dan hak-hak asasi warga negara.
dari dan antara alat perlengkapan itu.45
Setelah mempelajari rumusan-rumusan definisi
n. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim tentang Hukum Tata Negara dari berbagai sumber ter-
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, sebut di atas, dapat diketahui bahwa di antara para ahli
dalam buku “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai hal ini. Dari
dinyatakan bahwa: pendapat yang beragam itu kita dapat mengetahui
“Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai se- bahwa sebenarnya:
kumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi (a) hukum tata negara itu adalah ilmu yang termasuk
dari pada negara, hubungan antar alat perlengkapan salah satu cabang ilmu hukum, yaitu hukum ke-
negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta negaraan yang berada di ranah hukum publik;
kedudukan warga negara dan hak azasinya”. 46 (b) definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh
para ahli sehingga tidak hanya mencakup kajian me-
ngenai organ negara, fungsi dan mekanisme hu-
bungan antar organ negara itu, tetapi mencakup
the state and includes those laws which regulate the structure and functions
pula persoalan-persoalan yang terkait dengan
of the principal organs of government and their relationship to one another
and to the citizen. Where there is a written constitution, emphasis is placed mekanisme hubungan antara organ-organ negara itu
on the rules which it contains and on the way in which they have been dengan warga negara;
interpreted by the highest court with constitutional jurisdiction”. A.W. (c) hukum tata negara tidak hanya merupakan Recht
Bradley and K.D. Ewing, Constitutional and Administrative Law, 13th atau hukum dan apalagi hanya sebagai Wet atau
edition, (Pearson Education Ltd., 2003), hal. 9.
45 norma hukum tertulis, tetapi juga adalah lehre atau
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.
ke-10, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 86. teori, sehingga pengertiannya mencakup apa yang
46
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit, hal. 29.
47
Ibid., hal. 30.

33 34
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

disebut sebagai verfassungsrecht (hukum


nitif atau collective minds dan perilaku segenap warga
konstitusi) dan sekaligus verfassungslehre (teori
negara (civic behaviors). Oleh karena itu, menurut pen-
konstitusi); dan
dapat saya, hukum tata negara itu haruslah diartikan
(d) hukum tata negara dalam arti luas mencakup baik
sebagai hukum dan kenyataan praktik yang mengatur
hukum yang mempelajari negara dalam keadaan
tentang:
diam (staat in rust) maupun yang mempelajari
1) nilai-nilai luhur dan cita-cita kolektif rakyat suatu
negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging).
negara;
2) format kelembagaan organisasi negara;
Oleh sebab itu, saya sendiri berpendapat ke
3) mekanisme hubungan antar lembaga negara; dan
dalam pengertian hukum tata negara itu harus di-
4) mekanisme hubungan antara lembaga negara
masukkan pula faktor konstitusi sebagai objek kajian
dengan warga negara.
yang pokok. Konstitusi, baik dalam arti materiel, formil,
administratif, ataupun tekstual, dalam arti collective
Dengan demikian, Ilmu Hukum Tata Negara
minds ataupun dalam arti civic behavioral realities,
dapat dirumuskan sebagai cabang ilmu hukum yang
adalah pusat perhatian yang sangat penting dari ilmu
mempelajari prinsip-prinsip dan norma-norma hukum
hukum tata negara atau the study of the constitutional
yang tertuang secara tertulis ataupun yang hidup dalam
law. Konstitusi yang dijadikan objek kajian itu dapat
kenyataan praktik kenegaraan berkenaan dengan (i)
mencakup tiga pengertian, yaitu:
konstitusi yang berisi kesepakatan kolektif suatu
(a) Constitutie in materiele zin yang dikualifikasikan
komunitas rakyat mengenai cita-cita untuk hidup ber-
karena isinya, misalnya berisi jaminan hak asasi,
sama dalam suatu negara, (ii) institusi-institusi ke-
bentuk negara, dan fungsi-fungsi pemerintahan, dan
kuasaan negara beserta fungsi-fungsinya, (iii) me-
sebagainya;
kanisme hubungan antar institusi itu, serta (iv) prinsip-
(b) Constitutie in formele zin yang dikualifikasikan
prinsip hubungan antara institusi kekuasaan negara
karena pembuatnya, misalnya oleh MPR; atau
dengan warga negara. Keempat unsur dalam definisi
(c) Konstitusi dalam arti naskah Grondwet sebagai
hukum tata negara tersebut di atas, pada pokoknya
geschreven document, misalnya harus diterbitkan
adalah hakikat konstitusi itu sendiri sebagai objek
dalam Lembaran Negara, supaya dapat menjadi alat
utama kajian hukum tata negara (constitutional law).
bukti dan menjamin stabilitas satu kesatuan sistem
Karena pada dasarnya, konstitusi itu sendiri berisi (i)
rujukan.48
konsensus antar rakyat untuk hidup bersama dalam
suatu ko- munitas bernegara dan komunitas
Di samping itu, konstitusi yang dijadikan objek
kewarganegaraan, (ii) konsensus kolektif tentang format
kajian itu dapat berupa nilai-nilai dan norma yang
kelembagaan or- ganisasi negara tersebut, dan (iii)
terkandung dalam teks konstitusi itu sendiri, ataupun
konsensus kolektif tentang pola dan mekanisme
nilai-nilai dan norma yang hidup dalam kesadaran kog-
hubungan antarinstitusi atau kelembagaan negara, serta
48
(iv) konsensus kolektif tentang prinsip-prinsip dan
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48. mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara
tersebut dengan warga negara.

35 36
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tata negara materiel dan formil juga mempunyai tiga arti,


3. Hukum Tata Negara Formil dan Materiel yaitu dalam arti materiel, dalam arti formil, dan
J.H.A. Logemann, dalam bukunya dalam arti naskah yang terdokumentasi. Menurutnya,
“Staatsrecht”, membedakan antara formeele undang- undang dapat dilihat:52
stelselmatigheid dan materieele stelselmatigheid.49 a. dalam arti materiel, algemene verbindende voors-
Istilah yang pertama ada- lah hukum tata negara, chriften;
sedangkan yang kedua adalah asas-asas hukum tata b. dalam arti formil, yaitu bahwa undang-undang itu
negara. Perbedaan keduanya sea- kan-akan adalah telah mendapat persetujuan (wilsovereen-
perbedaan antara bentuk dan isi, antara vorm en stemming) bersama antara Pemerintah dan DPR;
inhoud, atau antara stelsel en beginsel. Vorm adalah dan
bentuk, sedangkan inhoud adalah isinya. Beginsel adalah c. dalam arti naskah hukum yang harus
asas-asasnya, sedangkan stelsel adalah pelem- terdokumentasi (gedocumenteerd) dalam Lembaran
bagaannya. Istilah vorm en inhoud dipakai oleh Negara supaya bersifat bewijsbaar atau dapat
van Vollenhoven seperti dalam Vorm en Inhoud menjadi alat bukti dan stabil sebagai satu kesatuan
van het Internationale Recht. 50Sedangkan Ter Haar rujukan.
Bzn meng- gunakan istilah beginsel en stelsel seperti
dalam Beginsel en Stelsel van het Adatrecht. 51 Demikian pula konstitusi yang menjadi objek
Oleh karena itu, berbagai buku hukum tata ne- kajian hukum tata negara juga mempunyai tiga pe-
gara dan juga silabus perkuliahan hukum tata negara ngertian, yaitu:53
yang menggunakan judul “Asas-Asas Hukum Tata Ne- a. Constitutie in materiele zin dikualifikasikan karena
gara”, “Pengantar Hukum Tata Negara”, ataupun “Po- isinya (gequalificerd naar de inhoud), misalnya
kok-Pokok Hukum Tata Negara”, mestinya tidak beri- si jaminan hak asasi, bentuk negara, dan
gegabah dengan istilah-istilah. Pengertian kata “asas- fungsi- fungsi pemerintahan, dan sebagainya;
asas” hanya berkaitan dengan inhoud atau materieele b. Constitutie in formele zin, dikualifikasikan karena
stelsel- matigheid, yaitu aspek materiel belaka dari pembuatnya (gequalificerd naar de maker), misal-
hukum tata negara. Oleh karena itu, perkataan “Pokok- nya oleh MPR;
Pokok” atau- pun “Pengantar” dapat dipahami lebih luas c. Naskah Grondwet, sebagai geschreven document,
cakupan pe- ngertiannya, meskipun hanya bersifat garis misalnya harus diterbitkan dalam Lembaran Negara,
besar atau- pun hanya bersifat pengantar (introduction) voor de bewijsbaarheid en voor de stabiliteit
saja. sebagai satu kesatuan rujukan, yaitu sebagai naskah
Seperti halnya undang-undang, menurut Djoko- kenega- raan yang penting atau belangrijke
soetono, konstitusi yang menjadi objek kajian hukum staatkundige stukken.

49
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, edisi revisi, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000), hal. 10.
50
Christian van Vollenhoven, H.D. Tjeenk Willink & Zoon, (Haarlem: Mar-
tinus Nyhoof & Gravenhage, 1934).
51
Lihat terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas dan Susunan Hukum Adat, 52
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48.
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1992). 53
Ibid.

37 38
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

4. Hukum Tata Negara Umum dan Hukum Tata


b. Hukum Tata Negara yang berisi asas-asas yang ber-
Negara Positif
kembang dalam teori dan praktik di suatu negara
Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan
tertentu, seperti misalnya Indonesia.
antara Hukum Tata Negara Umum dan Hukum Tata
c. Hukum Tata Negara Positif yang berlaku di Indo-
Negara Positif. Hukum Tata Negara Umum membahas
nesia yang mengkaji mengenai hukum positif di
asas- asas, prinsip-prinsip yang berlaku umum,
bidang ketatanegaraan di Indonesia.
sedangkan Hukum Tata Negara Positif hanya
membahas hukum tata negara yang berlaku pada suatu
Pada umumnya, aspek hukum tata negara yang
tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan pengertian kebanyakan mewarnai pemikiran para ahli hukum tata
hukum positif. Misalnya, hukum tata negara Indonesia,
negara kita seperti yang tercermin dalam berbagai buku
Hukum Tata Negara Inggris, ataupun Hukum Tata yang diterbitkan dan menjadi bahan bacaan di berbagai
Negara Amerika Serikat yang dewasa ini berlaku di
perguruan di Indonesia adalah yang disebutkan
masing-masing negara yang bersangkutan, adalah terakhir, yaitu Hukum Tata Negara Positif. Sudah tentu
merupakan hukum tata negara positif. Sedangkan
hal ini tidak ada salahnya, karena nyatanya pada aspek
prinsip-prinsip teoritis yang berlaku umum atau ketiga ini, buku-buku yang ditulis dan diterbitkan juga
universal di seluruh negara tersebut adalah merupakan
terbilang masih sangat sedikit. Namun demikian, jika
materi kajian Hukum Tata Negara Umum atau disebut semua ahli hukum tata negara dan semua sarjana
sebagai Hukum Tata Negara saja.
hukum tata ne- gara di tanah air kita hanya terpaku
Kadang-kadang dalam istilah Hukum Tata Negara
kepada fenomena hukum tata negara positif saja, maka
Indonesia juga tercakup 2 (dua) pengertian, yaitu (i)
kita sebagai bangsa akan ketinggalan zaman di bidang
hukum tata negara positif yang sedang berlaku di
ini.
Indonesia dewasa ini, dan (ii) berbagai kajian
Sekarang dunia sudah sangat pesat berubah. Ilmu
mengenai hukum tata negara Indonesia di masa lalu dan
pengetahuan dan teknologi di semua cabang dan
yang akan datang, meskipun belum ataupun sudah
ranting- nya juga bergerak cepat menyesuaikan diri
tidak berlaku lagi sebagai norma hukum positif. Oleh
dengan perubahan zaman. Dalam bidang ilmu hukum
karena itu, kita dapat membedakan pula antara
tata negara, tidak terkecuali, juga telah mengalami
Hukum Tata Negara sebagai Ilmu Hukum (the
peruba- han yang fundamental di era globalisasi
science of constitutional law) dan Hukum Tata
sekarang ini. Oleh karena itu, teori-teori umum tentang
Negara sebagai Hukum Positif (the positive
hukum tata negara yang berkembang di dunia juga
constitutional law). Jika hal ini ditambahkan kepada
penting untuk diikuti dengan seksama oleh para sarjana
kedua unsur bentuk (vorm) dan isi (inhoud) se- perti
hukum, khu- susnya oleh para ahli hukum tata negara
dikemukakan di atas, maka Hukum Tata Negara ya- ng
kita. Oleh karena itu, sudah saatnya, studi hukum tata
kita bahas di sini dapat dibedakan dalam tiga aspek,
negara di berbagai fakultas hukum di tanah air
yaitu:
hendaklah me- ngembangkan ketiga aspek hukum tata
a. Hukum Tata Negara Umum yang berisi asas-asas hu-
negara tersebut secara bersama-sama dan seimbang.
kum yang bersifat universal.
Kita tidak boleh membiarkan bidang hukum tata
negara hanya dikembangkan sebagai ilmu kata-kata dan

39 40
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

upaya pengkajian terhadap konstitusi dipersempit hanya


Materi yang terkait dengan fungsi-fungsi adminis-
sebagai studi tentang perumusan kata-kata dalam pasal-
trasi negara atau tata usaha negara tersebut sangatlah
pasal konstitusi belaka. Hukum Tata Negara, pertama-
luas cakupannya. Seperti dikatakan oleh Profesor Kusu-
tama haruslah dikembangkan sebagai ilmu pengetahuan
madi Pudjosewojo, yaitu:
hukum yang bersifat universal. Setelah itu, Hukum Tata
Negara baru dapat dipahami sebagai persoalan hukum “Hukum tatausaha meliputi keseluruhan aturan hukum
dan konstitusi yang tumbuh dalam praktik yang menentukan secara bagaimana alat-alat perleng-
ketatane- garaan Indonesia dari waktu ke waktu, kapan negara yang bersangkutan hendaknya bertingkah
laku dalam mengusahakan tugas-tugas pemerintahan,
sehingga untuk selanjutnya dapat pula dimengerti
perundang-undangan, pengadilan, keuangan, hubungan
sebagai persoalan hu- kum positif di negara kita yang luar negeri, dan pertahanan negara beserta keamanan
berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik umum”. 55
Indonesia Tahun 1945.
Norma hukum yang mengatur kesemua aktifitas
5. Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis demikian itu disebut sebagai hukum administrasi
Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan antara negara atau biasa disebut pula dengan istilah hukum
sifatnya yang statis dan dinamis. Ilmu Hukum Tata Ne- tata usaha negara, dan ilmu yang membahasnya disebut
gara itu disebut sebagai ilmu yang statis apabila negara ilmu Hu- kum Administrasi Negara atau ilmu Hukum
yang dijadikan objek kajiannya berada dalam keadaan Tata Usaha Negara (Verwaltungsrechtlehre).
statis atau keadaan diam (staat in rust). Hukum Tata
Negara yang bersifat statis inilah yang biasa disebut
sebagai Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Sedang- C. Keluarga Ilmu Hukum Kenegaraan
kan Hukum Tata Negara dalam arti luas, mencakup Hu-
kum Tata Negara dalam arti dinamis, yaitu manakala 1. Keluarga Ilmu Hukum Kenegaraan
negara sebagai objek kajiannya ditelaah dalam keadaan pada umumnya
bergerak (staat in beweging). Pengertian yang terakhir Ilmu Hukum Tata Negara termasuk keluarga
inilah yang biasa disebut sebagai bidang Ilmu Hukum ilmu hukum kenegaraan (staatslehre). Seperti
Administrasi Negara (Administrative Law, dikemukakan di atas, staatslehre atau theorie der staat
Verwaltung- srecht). dapat dibagi 2 (dua), yaitu staatslehre in ruimere zin
Perhatian pokok ilmu Hukum Tata Negara atau teori negara dalam arti luas dan staatslehre in
(Verfas- engere zin atau teori negara dalam arti sempit.
sungsrecht, Constitutional Law, Droit Constitutionnel) Staatslehre dalam arti sempit itulah yang dapat
adalah menyangkut struktur hukum dan kehidupan ber- diidentikkan dengan staatsrecht yang dapat lagi dibagi
negara, sedangkan ilmu Hukum Administrasi Negara dua, masing-masing dalam arti luas dan sempit.
memusatkan perhatian pada substansi sistem pengam- Dalam bukunya yang terkenal berjudul
bilan keputusan dalam kegiatan berpemerintahan.54 “Allgemeine Staatslehre”, Georg Jellineck, ahli hukum
kenamaan dari
54 55
Ibid. Pudjosewojo, Op. Cit., hal. 176.

41 42
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Austria menguraikan pohon ilmu kenegaraan atau


staatsrechtslehre atau Hukum Tata Negara Umum.
staat- swissenschaft dalam arti luas yang mencakup
Oleh karena itu, buku ini kita beri judul “Pengantar Ilmu
cabang- cabang dan ranting-ranting ilmu pengetahuan
Hukum Tata Negara” dengan maksud akan berisi pe-
sebagai berikut. Staatswissenschaft mencakup
ngantar terhadap pengertian allgemeine staatsrecht-
staatswissens- chaft dalam arti sempit dan
slehre itu.
rechtswissenschaft. Staats- wissenschaft dalam arti
Dalam konteks verfassungsrecht atau hukum kon-
yang sempit meliputi:
stitusi, dapat pula dibedakan antara teori hukum ilmiah
a. beschreidende staatswissenschaft, yaitu
dengan hukum positif (positive law). Misalnya, dalam
staatenkun- de;
istilah Hukum Tata Negara Indonesia dapat dibedakan
b. theoritische staatswissenschaf atau staatsleer; dan
antara pengertiannya sebagai cabang ilmu hukum yang
c. pratktische staatswissenschaft atau angewandte
berorientasi pada teori ilmiah yang bersifat umum, atau
staatswissenschaft;
dapat pula diartikan sebagai hukum positif di bidang
ketatanegaraan yang berlaku dewasa ini berdasarkan
Sementara itu, cabang ilmu pengetahuan hukum
konstitusi tertulis (schreven constitutie, written
yang biasa disebut dengan istilah rechtswissenschaft
constitu- tion).
me- liputi:
a. verfassungsrecht; 2. Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
b. verwaltungsrecht; dan serta Ilmu Sosial Lainnya
c. internationale recht. Dalam buknya “Wetenshap der Politiek”, Prof. Ba-
rents secara khusus menyatakan:
Sedangkan Teoritische Staatswissenschaft atau “Een van de meest actuele afbakenningsproblemen,
Staatsleer dibagi ke dalam: welke wij uit moeten als wij deze wetenshap een plaats
a. allgemeine staatslehre atau ilmu negara umum; dan trachten te geven tussen de andere, is de grensbepaling
b. besondere staatslehre atau ilmu negara khusus. met de jurische vakken; het staats en administra-
tiefrecht, het volkens-recht en de rechtsfilosofie...”.
Termasuk kategori algemeine staatslehre adalah
(a) allgemeine soziale staatslehre dan (b) allgemeine “De scheiding tussen de juridische vakken en de
wetenshap der politiek is dan ook de belangrijkste
staatsrechtslehre. Sedangkan yang termasuk besondere reden, waarom deze laatste beter niet ‘algemeine
staatslehre adalah (a) individuele staatslehre dan (b) staatsleer’ og kortweg staatsleer kan heten”.
speziale staatslehre.
Apabila yang dijadikan penekanan utamanya ada- “Voor de samengang tussen de studie het jurische
lah recht atau hukum, maka Hukum Tata Negara (Con- geraamnte onderzocht, en de andere die helt vlees er
stitutional Law) yang kita pahami dewasa ini dapat dili- omheen beziet”.56
hat dalam pengertian verfassungsrecht. Akan tetapi,
apabila yang diutamakan adalah aspek keilmuannya, 56
Barents, De Wetenshap der Politiek, een terreinverkenning, derde durk,
maka Hukum Tata Negara (Constitutional Law) itu
(Gravenhage: A.A.M. Stols’s, 1952), hal. 78, 82, dan 83.
dapat pula dipahami dalam pengertian allgemeine

43 44
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, sehingga


Ibarat tubuh manusia, maka ilmu hukum tata me- lahirkan ilmu sosial pada umumnya. Ilmu yang
negara diumpamakan oleh Barent sebagai kerangka tu- menye- lidiki gejala-gejala kemasyarakatan pada
lang belulangnya, sedangkan ilmu politik ibarat daging- umumnya di- sebut sosiologi, dan yang mengkhususkan
daging yang melekat di sekitarnya (het vlees er omheen kajiannya me- ngenai gejala kekuasaan disebut ilmu
beziet). Oleh sebab itu, untuk mempelajari hukum tata politik, dan demi- kian pula dengan cabang-cabang ilmu
negara, terlebih dulu kita memerlukan ilmu politik, sosial lainnya. Bahkan, di berbagai perguruan tinggi,
seba- gai pengantar untuk mengetahui apa yang ada di dibentuk program- program studi ilmu sosial dan politik
balik daging-daging di sekitar kerangka tubuh manusia yang berdiri sendiri di program studi ilmu hukum yang
yang hendak diteliti. Dalam hal ini, negara sebagai objek sudah berkembang sejak sebelumnya.
studi hukum tata negara dan ilmu politik juga dapat Bahkan, dalam sejarah perkembangan perguruan
diiba- ratkan sebagai tubuh manusia yang terdiri atas tinggi di Indonesia, fakultas-fakultas ilmu sosial dan po-
daging dan tulang. litik memang dikembangkan dari cikal bakal program-
Bagaimanapun juga, organisasi negara itu sendiri program yang terdapat di lingkungan fakultas-fakultas
merupakan hasil konstruksi sosial tentang peri kehi- hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia sendiri-
dupan bersama dalam suatu komunitas hidup berma- pun dulunya adalah Fakultas Hukum dan Pengetahuan
syarakat. Oleh karena itu, ilmu hukum yang Kemasyarakatan. Baru kemudian Fakultas Ilmu Sosial
mempelajari dan mengatur negara sebagai organisasi dan Politik dibentuk tersendiri di luar Fakultas Hukum.
tidak mungkin memisahkan diri secara tegas dengan
peri kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, 3. Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara
menurut Profesor Wir- jono Prodjodikoro: Ilmu Negara atau Staatsleer (bahasa Belanda) atau
“... seorang sarjana hukum, untuk memperdalam Staatslehre (bahasa Jerman) adalah ilmu pengetahuan
pengetahuannya dalam bidang Hukum Tata Negara, yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pe-
ada baiknya mempelajari juga ilmu sosiologi sebagai ngertian pokok mengenai negara dan hukum tata nega-
ilmu penunjang (hulpwetenshap) bagi ilmu Hukum ra.58 Oleh karena itu, ilmu negara merupakan ilmu pe-
Tata Negara.”57 ngantar untuk mempelajari ilmu Hukum Tata Negara,
ilmu Hukum Administrasi Negara, dan juga ilmu
Bagi sarjana hukum tata negara, di samping Hukum Internasional Publik. Kedudukannya dapat
sosiologi, ilmu sosial lainnya juga sangat penting dibandingkan dengan mata kuliah Pengantar Ilmu
sebagai penunjang, seperti ilmu sejarah, ilmu politik, Hukum yang me- ngantarkan mahasiswa untuk
ilmu eko- nomi, antropologi, dan sebagainya. mempelajari ilmu hukum publik dan hukum privat.
Dikarenakan eratnya hubungan antara hukum dan Sebab, posisinya bersifat pre- requisite. Mahasiswa
negara di satu pihak dengan masyarakat pada Fakultas Hukum diharuskan me- ngambil mata kuliah
umumnya, maka studi tentang gejala kemasyarakatan Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Negara lebih dulu
itu tumbuh sebelum mengikuti perkuliahan Hu-

57 58
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 3. Kusnardi dan Saragih, Op. Cit., hal.8.

45 46
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

kum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Se-


lajari, dapat dikaitkan dengan pendapat Rengers Hora
bab, dalam perkuliahan Hukum Tata Negara, tidak akan
dibahas lagi mengenai teori asal mula terbentuknya Siccama yang membedakan antara kebenaran hakikat
negara, apa tujuan orang bernegara, dan lain dari kenyataan sejarah. 59 Menurut Rengers Hora Sic-
sebagainya, yang sudah dibahas secara tuntas dalam cama, tugas ahli hukum dapat digolongkan, di satu
Ilmu Negara. pihak sebagai penyelidik yang hendak mendapatkan
Dalam ilmu negara yang diutamakan adalah nilai kebenaran obyektif, dan untuk itu ia tidak
teoritis-ilmiahnya, sedangkan dalam ilmu Hukum Tata melaksanakan hukum itu sendiri. Sedangkan, di lain
Negara dan ilmu Hukum Administrasi Negara terkait pihak ada pula tugas ahli hu- kum sebagai pelaksana
pula dengan norma hukumnya dalam arti positif. Oleh yang akan mempergunakan hu- kum itu dalam
karena itu, ilmu negara disebut sebagai keputusan-keputusan konkrit. Golongan pertama
seinwissenschaft, sedangkan Hukum Tata Negara dan
disebut oleh Rengers Hora Siccama yaitu se- orang ahli
juga Hukum Admi- nistrasi Negara merupakan
normwissenschaft. Demikian pula dengan ilmu hukum hukum sebagai penonton (de jurist als toes- chouwer),
pidana, ilmu hukum perdata, ilmu hukum ekonomi, dan sedangkan yang kedua disebutnya ahli hukum sebagai
lain sebagainya, sudah dikait- kan dengan persoalan pemain (de jurist als medespeler). Sebagai pe- nonton,
norma hukum yang berlaku di bidang masing-masing. seorang ahli hukum lebih mengetahui kekurang- an atau
Dalam kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para pemain
pengantar bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Admi- dan mencoba mencari sebab musababnya de- ngan
nistrasi Negara, Ilmu Negara tidak mempunyai nilai mengadakan analisa-analisa tentang sesuatu pe- ristiwa
yang praktis seperti halnya dengan Hukum Tata Negara hukum untuk menentukan cara yang lebih baik dan
dan Hukum Administrasi Negara. Orang yang lebih sempurna mengenai bagaimana hukum dilak-
mempelajari Ilmu Negara tidak memperoleh hasil yang sanakan. Sedangkan dalam golongan kedua, seorang
dapat lang- sung dipergunakan dalam praktik. ahli hukum diandaikan sebagai pemain (de jurist als
Sedangkan mempela- jari Hukum Tata Negara dan medes- peler) yang harus memutuskan, baik yang
Hukum Administrasi Nega- ra dapat langsung bersifat pengaturan (regeling), penetapan administratif
menghasilkan sesuatu pengetahuan yang bernilai (beschik- king), ataupun putusan peradilan (vonnis).
praktis. Perbedaan ini dapat dilihat dari penggunaan Oleh karena keputusan-keputusan dimaksud ter-
istilah “ilmu” yang dikaitkan pada Ilmu Ne- gara, gantung kepada para pelaksananya, maka tidak jarang
sedangkan pada Hukum Tata Negara (verfassungs- terjadi bahwa keputusan yang dianggap baik oleh pelak-
recht) dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungs- sana, tetapi sebaliknya dianggap tidak baik atau kurang
recht), meskipun dapat saja dilakukan, tidak lazim
orang menggunakan istilah “Ilmu” Hukum Tata Negara 59
Rengers Hora Siccama, Naturlijke waarheid en historische bepaaldheid,
atau “Ilmu” Hukum Administrasi Negara. Zwollw, 1985; Ibid., “Au Commencement”, de la theorie du droit, dalam Re-
vue Internationale de la theorie du droit, 1938, hal. 22. Lihat juga “Het
Dari segi kemanfaatannya, hubungan antara Ilmu Recht naar gelang van het staanpunt van het welk men het ziet,” dalam
Negara dan Hukum Tata Negara sebagai ilmu, jika dipe- Themis, 1938, hal. 99.

47 48
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

memuaskan bagi penerima keputusan itu, hal mana di-


landa dan sebagainya. Sehingga, pada umumnya, di
sebabkan karena adanya sifat subyektifisme dalam
kala- ngan ahli hukum tata negara timbul
setiap keputusan tersebut. Sehubungan dengan
kecenderungan sa- ngat nasionalistis dan dogmatis
pendapat Ren- gers Hora Siccama itu, kita dapat
karena sangat terpaku kepada norma hukum dasar
mengumpamakan yang pertama itu dengan tugas Ilmu
positif yang berpuncak ke- pada konstitusi. Hukum Tata
Negara yang tidak me- mentingkan bagaimana caranya
Negara cenderung hanya dilihat dalam konteks yang
hukum dijalankan, kare- na Ilmu Negara mementingkan
positivistik dengan agak me- ngabaikan pentingnya
nilai teoritisnya. 60 Se- dangkan sebaliknya, Hukum Tata
penyelidikan ilmiah yang bersifat universal yang biasa
Negara dan Hukum Administrasi Negara lebih berkaitan
dibahas dalam konteks Hukum Tata Negara Umum.
dengan tugas ahli hukum sebagai pemain (the player).
Dikarenakan Ilmu Negara sangat penting bagi
Hal yang lebih di- pentingkan adalah nilai-nilai praktis
ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
dari kedua cabang ilmu ini, karena hasil penelitian
Negara, maka dengan bantuan Ilmu Negara, Hukum
ilmiah dalam bidang hukum tata negara dan hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dapat
adaministrasi negara itu secara langsung dapat
memperoleh ciri ilmiahnya yang penting. Ilmu Negara
dipergunakan dalam praktik oleh para ahli hukum yang
sangat memen- tingkan nilai teoritisnya sehingga
duduk sebagai pejabat-pejabat negara dan pejabat
disebut sebagai suatu Seinswissenschaft, sedangkan
pemerintahan menurut bidang tugas- nya masing-
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
masing.
merupakan suatu Normati- ven Wissenschaft. Bagi
Di samping itu, perbedaan antara Ilmu Negara
mereka yang mempelajari Hu- kum Tata Negara atau
dengan Hukum Tata Negara juga dapat dilihat dari segi
Hukum Administrasi Negara su- dah tidak perlu
obyek penyelidikannya. Jika obyek penyelidikan Ilmu
diterangkan lagi secara mendalam me- ngenai arti dan
Negara adalah asas-asas pokok dan pengertian-penger-
tian pokok tentang negara dan hukum negara pada asas dari negara dan hukum negara, karena semua hal
umumnya, maka obyek Hukum Tata Negara sebagai itu sudah dianggap diketahui ketika mempelajari llmu
ilmu adalah hukum positif yang berlaku pada suatu Negara. Oleh karena itulah oleh para ahli dikatakan
waktu di suatu tempat. Oleh karena itu lazim disebut bahwa Ilmu Negara merupakan ilmu pe- ngetahuan
Hukum Tata Negara positif sebagai Hukum Tata Negara pengantar bagi mereka yang hendak mempe- lajari
Indonesia atau Hukum Tata Negara Inggris, Amerika, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Ne- gara.
Jepang, Be-
4. Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara
60
Dalam Ilmu Negara pada umumnya dipelajari mengenai Teori-Teori Di berbagai negara, kedua cabang ilmu hukum ini
tentang Asal Mula Negara, Hakekat Negara, Tujuan Negara, Pengertian seringkali disebutkan secara bersama-sama secara be-
Negara, Bentuk Negara, dan lain sebagainya. Lihat dan bandingkan buku- rangkai. Di berbagai universitas di negeri Belanda,
buku teks mengenai Ilmu Negara, seperti misalnya Padmo Wahjono, Ilmu misal- nya, cabang ilmu ini disebut dengan perkataan
Negara, Indo Hill Co., Jakarta, 1999; Djokosoetono, Ilmu Negara, Himpu-
nan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ind Hill. Co., 2006); Soehino, Ilmu “Staats
Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1998); dan lain-lain.

49 50
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

en Administratief Recht” sebagai mata kuliah tersendiri


“The decisions about the State, its duties and
yang diajarkan oleh seorang guru besar. Di Amerika competences and its relationship with its citizens as
Seri- kat dan Inggris, banyak pula dijumpai buku-buku expressed in the constitution must have an implication
teks hukum yang diberi judul “Constitutional and in administration and administrative law”.64
Adminis- trative Law”, atau bahkan “Textbook on
Constitutional and Administrative Law”. Namun, Jika tidak demikian, maka seperti dikatakan oleh
kedua bidang ilmu hukum ini biasa juga dibedakan H. Maurer, ketentuan konstitusi tidak akan pernah
sebagai dua cabang ilmu yang tersendiri. Sedangkan di men- jadi kenyataan (reality).65 Oleh karena itu,
Jerman, biasa dikenal ada istilah Verfassungsrecht und administrasi dapat digambarkan sebagai tindakan
Verwaltungs-recht. pengundangan konstitusi (enacting the constitution)
Namun demikian, keduanya tetap dapat dibedakan atau tatig werden- de Verfassung.
antara satu sama lain. Dalam arti luas, Hukum Tata Selain itu, menurut Profesor Wirjono
Negara itu sendiri memang mencakup juga pengertian Prodjodikoro, perbedaan antara Hukum Tata Negara
hukum tata negara dalam arti sempit dan hukum dengan Hukum Perdata dan Hukum Pidana sebenarnya
admi- nistrasi negara. Bagi mereka yang menyetujui mudah terlihat. Secara negatif, dapat dikatakan bahwa
pendapat Oppenheim, perbedaan di antara keduanya Hukum Tata Ne- gara itu tidak seperti Hukum Perdata
dikaitkan de- ngan perbedaan antara objek negara yang mengatur hu- bungan-hubungan perdata antara
yang dikaji, yaitu negara dalam keadaan diam (staat pelbagai oknum atau badan, dan tidak seperti Hukum
in rust) atau dalam keadaan bergerak (staat in Pidana yang berisi atau mengatur penentuan mengenai
beweging). Akan tetapi, hu- kum tata negara di hukuman-hukuman pi- dana untuk setiap pelanggaran
samping mempelajari aspek statisnya, juga mempelajari hukum. Sedangkan per- bedaan antara Hukum Tata
berbagai aspek dinamis dari negara. Dengan istilah Negara dan Hukum Admi- nistrasi Negara tidak begitu
yang berbeda, Fritz Werner menyatakan, nampak dengan jelas.66Oleh karena itu, pembedaan
“Verwaltungsrecht als konkretisiertes Verfassungs- keduanya membutuhkan lebih dari sekedar penjelasan
recht”,61 yaitu bahwa hukum administrasi negara itu ada- biasa.67
lah hukum tata negara yang diletakkan dalam
keadaan yang konkrit. 62 Mantan Ketua Mahkamah
Administrasi Federal Jerman ini menganggap
“administrative law as
constitutional law put into concrete terms”.63 Menurut
Meinhard Schroder: 64
Ibid.
65
H. Maurer, Allgemeines Verwaltungsrecht, 13th edition, (Munich: Beck,
2000,) catatan 1 dan 12.
66
Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 7.
67
Lihat dan pelajari Phillipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Adminis-
61
62
Fritz Werner, Deutsches Verwaltungsblatt, 1959, hal. 527. trasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), cet. ke-
Meinhard Schroder, “Administrative Law in Germany”, dalam Rene Seer-
9, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).
den dan Frits Stroink (eds.), Administrative Law of the European Union, Its
Member States and the United States, (Groningen: Intersentia Uitgevers
Antwerpen, 2002), hal. 91-92.
63
Ibid. hal. 91.

51 52
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Menurut van Vollenhoven,68 Hukum Tata Negara trol, housing, education, each of which can be studied
adalah rangkaian peraturan hukum yang mendirikan in its own right”.70
badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan
memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan Dua sarjana Inggris, A.W. Bradley and K.D. Ewing,
membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak menyatakan:
alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah
kedudukannya. Sedangkan, Hukum Tata Usaha Peme- “There is no precise demarcation between
rintahan digambarkan oleh van Vollenhoven sebagai se- constitutio- nal law and administrative law in
rangkaian ketentuan yang mengikat alat-alat negara, Britain. Adminis- trative law may be defined as the
baik yang tinggi maupun yang rendah, pada waktu alat- law which determines the organisation, powers and
alat negara itu mulai menjalankan pekerjaan dalam me- duties of administrative authorities. Like
nunaikan tugasnya, seperti yang ditetapkan dalam Hu- constitutional law, administrative law deals with the
exercise and the control of governmental power. A
kum Tata Negara. Uraian van Vollenhoven ini melanjut- rough distinction is that constitutional law is mainly
kan saja pandangan Oppenheim selaku gurunya menge- concerned with the structure of the primary organs
nai fenomena negara dalam keadaan diam dan negara of government, whereas administrative law is
dalam keadaan bergerak seperti yang telah diuraikan di concerned with the work of official agencies in
atas.69 provi- ding services and in regulating the activities of
John Alder, dalam bukunya “Constitutional and citizens. Within the vast field of government,
Administrative Law” juga menyatakan: questions often arise as to the sources of
administrative power, the adjudication of disputes
“Many of the standard texts, and indeed many courses, arising out of the public servi- ces and, above all, the
are called constitutional and administrative law. There means of securing a system of legal control over
are also separate courses on administrative law. The the activities of government which takes account of
difference between the two subjects is really one of both public needs and the private inte- rests of the
practical convenience and thus a rough and ready one. individual”. 71
Administrative Law is an aspect of constitutional law.
It deals with the work of the executive branch of go- Jika kita menelaah perbedaan di kalangan para
vernment and how it is controlled. Administrative law ahli mengenai lingkup masing-masing kedua cabang
can be subdivided into particular branches of executive ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara itu,
activity, for example public health, immigration con-
menu- rut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
pendapat- pendapat tersebut di atas pada garis besarnya
68
van Vollenhoven menjelaskan panjang lebar pandangannya mengenai dapat dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok yang
ruang lingkup Hukum Administrasi Negara (Omtrek van het Administratief
Recht) dalam satu uraian (verhandeling) di muka “Koninklijke Academie
perta- ma membedakan ilmu Hukum Tata Negara dan
van Wettenschappen” di Amsterdam pada tahun 1926. Ketika itu, ia meng- ilmu Hukum Administrasi Negara secara prinsipil,
gambarkan kelahiran dan perkembangan mata pelajaran “Hukum Adminis- karena
trasi
69
Negara” di Perancis dan berbagai negara lain.
Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 8.
70
John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: Macmillan,
1989), hal. 6.
71
A.W. Bradley and K.D.Ewing, Constitutional and Administrative Law,
13th edition, (Pearson Education Ltd., 2003), hal. 10.
53 54
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

menurut mereka kedua ilmu pengetahuan ini


nya seperti Negara di dalam keadaan bergerak (staat in
dapat dibagi secara tajam baik mengenai
sistematikanya mau- pun isinya. Sedangkan, banyak beweging). Selanjutnya ia katakan: 73
ahli hukum lain yang beranggapan bahwa antara
“Ter eener zijde windt men, als staatsrecht dat complex
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi van rechtsvoorschriften toekent, dat de werkzaam-
Negara tidak terdapat perbedaan yang bersifat asasi, heden van een moderne overheid distribueert over tal
melainkan hanya karena pertim- bangan manfaat van hoeger, en lagere organen, het houdt zich bezig
praktisnya saja. Hukum Administrasi Negara tidak lain naar Oppenheim’s woord, meet de staat in rust. Ander-
merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas zijds staat alles Administratiefrecht dat complex van
dikurangi dengan Hukum Tata Negara dalam arti bepalingen, waaraan hogere en lagere organen gebon-
sempit. Inilah yang disebut sebagai teori residu den zijn, zoodra ze van hun reeds vaststaande staats-
dalam memahami dan membedakan definisi ilmu hukum rechtelijke bevoegheid gebruik gaan maken; het betreft
administrasi negara dari ilmu hukum tata negara.72 naar Oppenheim’s verdere woord, de staat in beweg-
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, ing”.74
yang termasuk ke dalam golongan yang membedakan
ke- dua cabang ilmu hukum ini secara prinsipil antara Dalam bukunya yang lain, van Vollenhoven mem-
lain adalah Christian van Vollenhoven. Tulisannya bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Ne-
mengenai hal tersebut yang pertama adalah “Thorbecke gara agak berbeda dari bukunya yang terdahulu. Menu-
en het Ad- ministratiefrecht”. Dalam buku ini, van rut pendapatnya, semua peraturan yang sejak berabad-
Vollenhoven mendefinisikan Hukum Tata Negara abad lamanya tidak termasuk ke dalam lingkup hukum
sebagai sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang tata negara materil, hukum perdata materil, ataupun
menentukan badan- badan kenegaraan serta memberi hu- kum pidana materil seharusnya dimasukkan dalam
wewenang kepadanya, dan bahwa kegiatan suatu ca- bang hukum administrasi negara. Dengan demikian,
van Vollenhoven mengartikan Hukum Administrasi
pemerintahan modern adalah membagi-bagikan
Negara meliputi seluruh kegiatan negara dalam arti
wewenang itu kepada badan-badan tersebut dari yang
luas, tidak hanya terbatas pada tugas pemerintahan
tertinggi sampai yang terendah. Sesuai dengan
dalam arti sempit saja. Hukum Administrasi Negara itu,
pandangan Oppenheim, Hukum Tata Negara di-
menurut- nya, juga meliputi tugas peradilan, polisi, dan
ibaratkan sebagai kondisi negara dalam keadaan tidak
tugas
bergerak (staat in rust). Sedangkan, Hukum Adminis-
trasi Negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang
73
mengikat badan-badan negara baik yang tinggi maupun C. van Vollenhoven, “Thorbecke en het Administratiefrecht” dalam J.
yang rendah jika badan-badan itu mulai menggunakan Oppenheims bundel, Nederlandsch Administratiefrecht, 1921, hal. 21.
74
van Vollenhoven, Omtrek van het Administratiefrecht, verbandelingen
wewenangnya yang ditentukan dalam Hukum Tata voorgedragen in de Koninklijke Academie van Wetenschappen, Deel 62, atau
Nega- ra. Oleh Oppenheim, kondisi demikian itu dalam “Verspreide Geschriften”, jilid I hal. 88, “alle recht, dat niet sinds
diibaratkan- eeuwen gelijkt is als materieel staatsrecht, materieel privaatrecht of ma-
terieel staatrecht, krijgt op natuurlijke wijze een welgevoed onderdak in het
administratiefrecht”.
72
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 35.
55 56
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

membuat peraturan. Menurutnya, Hukum Administrasi


Negara dalam arti luas itu dapat dibagi dalam 4 (empat)
Badan atau organ-organ negara tanpa hukum tata
bidang, yaitu:
negara akan lumpuh bagaikan tanpa sayap, sebab
1) bestuursrecht (hukum pemerintahan) ;
organ- organ itu tidak mempunyai wewenang sehingga
2) justitierecht (hukum peradilan);
keada- annya tidak menentu. Sebaliknya, badan-badan
3) politierecht (hukum kepolisian); dan negara tanpa Hukum Administrasi Negara menjadi
4) regelaarsrecht (hukum perundang-undangan).
bebas tanpa batas, sehingga mereka dapat berbuat
menurut apa yang mereka kehendaki.76
Menurut para sarjana, pandangan van Vollenhoven
Di sini dapat kita ketahui maksud van Vollenhoven
mengenai Hukum Administrasi Negara tersebut sebenar-
pada karangannya yang pertama itu bahwa badan Hu-
nya dapat dibagi dalam 2 (dua) pengertian yaitu:
kum Administrasi Negara diadakan untuk mengekang
1) Hukum Administrasi Negara dalam arti klasik; dan
pemerintah sesuai dengan prinsip liberal yang hidup pa-
2) Hukum Administrasi Negara dalam arti modern.
da waktu itu. Sedangkan pada bukunya yang kedua, Hu-
kum Administrasi Negara tidak bermaksud hanya me-
Pada perumusan pertama, yaitu Hukum Adminis-
ngekang pemerintah agar jangan bertindak sewenang-
trasi Negara dalam arti klasik, van Vollenhoven masih
diliputi oleh suasana kehidupan kenegaraan yang wenang dengan kekuasaannya, melainkan memberi ke-
menga- nut paham liberal (liberale leluasaan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
rechtstaatsgedachte) yang di- pengaruhi oleh kepentingan rakyat, bahkan juga menentukan kewa-
Emmanuel Kant di mana negara tidak boleh jiban-kewajiban kepada rakyat sesuai dengan faham ke-
mencampuri kepentingan-kepentingan individu, sejahteraan yang dianut oleh negara (welvaartstaats-
melainkan tugas negara hanyalah sebagai penjaga gedachte).
malam (nachtwachtersstaat atau l’etat Gendarm). Dalam menyelenggarakan kepentingan umum, ada
Sementara itu, ketika van Vollenhoven mengembangkan kalanya Negara harus melanggar hak rakyat, misalnya
pandangan kedua, praktik kenegaraan tengah diliputi menyita untuk kepentingan umum (onteigening ten al-
oleh suasana baru dengan berkembangnya pemikiran gemene nutte).
mengenai nega- ra kesejahteraan atau welfare state Dikarenakan negara memerlukan pembuatan jalan
(welvaartsstaat-ge- dachter). Dalam bukunya yang agar hubungan antara dua tempat itu lebih lancar, maka
kedua, dinyatakan:
“Staatsorganen zonder staatsrecht is vleugellam, want 76
van Vollenhoven, Staatrecht Oversee. Lihat buku-buku, Kontjoro Purbo-
hun bevoegheid ontbreek of is onzeker Staatsorganen pranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 14 dan 15; Amrah
zonder Administratiefrecht is vluegelvrij, want zij kun-
Muslimin, Beberapa Azas-Azas Dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang
nen hun bevoegdheid niet zo toepassen als zii zelf it Administrasi dan Hukum Administrasi, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 8-13;
lieftst willen”.75 dan Djenal Hoesen Koesoemaatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha
Negara, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 12-14
75
Ibid.

57 58
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Negara terpaksa mengambil sebagian tanah rakyat


termasuk dalam lingkungan dimaksud adalah
untuk kepentingan tersebut. Lazimnya penyitaan ini
waktu, tempat, manusia atau kelompok, dan
dilakukan dengan ganti rugi kepada rakyat yang
benda.
bersangkutan. Da- pat juga misalnya Pemerintah
2) Hukum Administrasi Negara meliputi ajaran
memberi konsesi atas na- ma perusahaan-perusahaan
menge- nai hubungan-hubungan hukum (leer der
(nuts-bedrijven) untuk ke- pentingan umum.
rechtsbet- rekkingen).
Sementara itu, Logemann dalam bukunya “Over
de theorie van en stellig staatsrecht” mengadakan
Dengan demikian, menurut J.H.A. Logemann, 77
perbeda- an yang tajam antara Hukum Tata Negara dan
dapat dikatakan bahwa ilmu Hukum Tata Negara itu
Hukum Administrasi Negara. Untuk membedakannya,
mempelajari:78
Loge- mann bertitik tolak dari sistematika hukum pada
a. susunan dari jabatan-jabatan;
umum- nya yang meliputi tiga hal, yaitu:
b. penunjukan mengenai pejabat-pejabat;
1) ajaran tentang status (persoonsleer);
c. tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu;
2) ajaran tentang lingkungan (gebiedsleer);
d. kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jaba-
3) ajaran tentang hubungan hukum (leer de rechtsbet-
tan;
rekking).
e. batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap
dae- rah dan orang-orang yang dikuasainya;
Berhubung Hukum Tata Negara dan Hukum
f. hubungan antar jabatan;
Administrasi Negara merupakan suatu jenis hukum
g. penggantian jabatan;
yang tersendiri (als byzonder soort van recht) yang
mem- punyai obyek penyelidikan hukum, maka
sistematika hu- kum pada umumnya dapat diterapkan 77
Lihat juga J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara
pula terhadap Hu- kum Tata Negara dan Hukum Positif (terjemahan, disertai pengantar G.J. Resink), (Jakarta: Ichtiar Baru -
Van Hoeve, tanpa tahun).
Administrasi Negara. Sis- tematika yang dibuat oleh 78
Logemann, Over de theorie van een stelling Staatsrecht, (Jakarta: Saksa-
Logemann dalam bukunya itu, dibagi sebagai berikut: ma, 1954), hal. 54, “Tot de persoonsleer behoren dan, om samen te vatten
1) Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi: en aan te vullen, niet het verwantschaps en huwelijksrecht, maar wie de
prob- lemen van de mens als plichten subject (toerekenbaarheid,
a. persoonsleer yaitu mengenai persoon dalam arti mondigheid, han- delingbevoegdheid), de personifikatie, de
hukum yang meliputi hak dan kewajiban manu- vertegenwoordiging, onstaan en tenietgaan van persoonlijkeheid, het
sia, personifikasi, pertanggungjawaban, lahir organisatie recht, de competentie-af- bakening”; hal. 59, “De term ‘gebieg’
word hier zoals baven bleek, gebruik als aanduding van de sfeer waarbinnen
dan hilangnya hak dan kewajiban tersebut, hak de norm geldt, in abstracte zin met de vraag, op welke wijze tijd, ruimte,
organisasi, batasan-batasan dan wewenang; persoonen groep, als gedingsbegren- zing van de a stelligrechtelijke norm
b. gebiedsleer, yang menyangkut wilayah atau kunnen optreden”; hal. 85, “mij schynt atgende wat aan de juridiche
lingkungan di mana hukum itu berlaku dan dogamatische pogingen tot ondershceid voor zweeft, met de stof die naast de
persoonsleer en de gebiedsleer behandeling vraagt, dus met de leer der
yang rechtsbetrekingen, nu als descritie van een duide- lijk aangewesen
problemkring te mogen opeisen”.

59 60
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

h. hubungan antara jabatan dan pemegang jabatan.


Administrasi Negara tidak lagi merupakan suatu kum-
pulan monographi-monographi, melainkan merupakan
Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis, sistematika yang menghubungkan bagian satu dengan
bentuk, serta akibat hukum yang dilakukan oleh para
bagian yang lainnya, yang masing-masing bagian itu di-
pe- jabat dalam melakukan tugasnya. letakkan dalam tempatnya yang tepat. Arti sistematika
Selain van Vollenhoven dan Logemann, sarjana ke-
di sini adalah waar de delen zijn juiste plaats vindt.
tiga yang biasa dijadikan rujukan dalam persoalan ini Sebenarnya, Logemann juga mempunyai pendirian
adalah Stellinga yang membedakan Hukum Tata Negara
yang sama dengan Stellinga mengenai soal ini.80
dan Hukum Administrasi Negara secara tegas. Dalam
Di samping itu, juga terdapat Hukum Adminis-
pidatonya yang berjudul “Systematische Staatsrecht-
trasi Negara yang berlaku bagi para individu dalam
studie”, 79 dikemukakan bahwa tidak hanya di dalam
ma- syarakat yang diperintah oleh Negara. Lebih jauh,
Hu- kum Tata Negara saja diadakan sistematika, tapi
Stel- linga menyatakan:
juga dalam Hukum Administrasi Negara.
“dan zal er voorts moeten uitgaan dat het staats-
Dalam bukunya yang lain yaitu yang berjudul
recht meer omvat dan de bevoegdheden en ver-
“Grondtrekken van het Nederlandsch Administratief-
plichtingen van de Overheidsorganen. Ook de bur-
recht”, Stellinga berusaha untuk menemukan
ger heeft zijn staatsrechtelijke bevoegdheden en
perbedaan prinsipil antara Hukum Tata Negara dan
verplichtingen. De regels voor het uitoefenen, on-
Hukum Admi- nistrasi Negara, seperti yang sudah
derscheidenlijk het nakomen daarna, maken
dilakukan oleh gurunya yaitu van Vollenhoven.
eveneens een deel van het administratiefrecht uit”.
Stellinga menge- mukakan bahwa kebanyakan
penyelidikan tentang Hu- kum Administrasi Negara
Kita harus menyadari bahwa masih banyak hal
tidak meliputi keseluruhan- nya, melainkan hanya
lain yang diatur oleh Hukum Tata Negara selain hanya
membicarakan beberapa bagian tertentu saja. Bagian-
soal tugas dan wewenang dari alat-alat atau organ-
bagian itu dibicarakan secara ter- pisah yang hanya
organ negara. Dalam Hukum Tata Negara, baik me-
sebagai monographi. Ia baru menjadi sistematika, jika
nurut Stellinga maupun menurut Hans Kelsen, seorang
bagian-bagian di dalamnya diletakkan pada tempatnya
warga negara pun mempunyai hak dan kewajiban
yang tepat. Dengan demikian, Hukum
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendek
kata, seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen, kriteria
79
J.R. Stellinga, Systematische Staatrectstudie, hal. 15 “de systematische terpenting adalah ada tidaknya (i) norm creating
studie schijnt ook voor het administratiefrecht aangewezen”; Ibid. “Grond- function, dan (ii) norm applying function yang terkait
trekken van het Administratiefrecht”, hal. 1, “de einige betekenis welke de
onderscheid tussen staatrecht en administratiefrecht kan heben is een
wetenschappelijke beoefgening van het staatrecht en het administratiefrecht 80
Logemann, Over de theorie van een stellig Staatsrecht, Op. Cit., hal. 2,
dien de grens tussen deze beide zo te behandelen krijgen welke door hun “dat het op te delven systeem inderdaad systeem is, zal namelijk bewezen
overeemkonstige aard bijeen horen”; hal. 3, “warner inzicht bestaat ten an- zijn, als elk problem daarin zijn eigen plaats vanzelf vindt”.
nzien van de juiste plaats welke zij in het kader van het geheel innemen”.

61 62
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dengan subjek hukum tertentu.81 Jika kedua fungsi


untuk dipelajari. Hukum Tata Negara dibagi meliputi
itu ada, maka menurut Hans Kelsen, subjek hukum su- sunan, tugas, wewenang, dan cara badan-badan itu
yang menyandangnya dapat disebut sebagai organ atau men- jalankan tugasnya, sedangkan bagian lain yang
state organ, dan menurut Stellinga, norma-norma lebih ter- perinci itu dimasukkan dalam bidang Hukum
hukum yang mengatur cara menjalankan hak dan Adminis- trasi Negara.83 Dengan demikian, pembedaan
kewajiban itu termasuk dalam bidang Hukum antara Hu- kum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Administrasi Negara.82 Negara itu dapat dikatakan bukanlah disebabkan oleh
Sarjana lain yang tidak membedakan antara karena alasan yang prinsipil, akan tetapi sekedar untuk
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kepentingan pembagian kerja yang bersifat praktis
secara tajam di antaranya adalah Kranenburg, van der belaka.
Pot, dan Vegting. Kranenburg berpendapat bahwa pem- Van der Pot juga tidak membedakan secara tajam
bedaan antara kedua cabang ilmu pengetahuan itu antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
secara tajam, baik karena isinya ataupun karena Negara karena pembedaan secara prinsipiil tidak
wataknya yang berlainan, merupakan sesuatu yang tidak menim- bulkan akibat hukum apa-apa. Oleh karena itu,
riil. Perbedaan itu menurutnya disebabkan oleh pembe- daan dimaksud menurutnya tidaklah terlalu
pengaruh ajaran organis mengenai negara perlu. Jika- pun hendak diadakan pembedaan yang
(organischestaats theorie) yang timbul dalam ilmu tegas di antara keduanya, maka hal itu hanya penting
pengetahuan medis yang membedakan anta- ra untuk ilmu penge- tahuan, bukan untuk kebutuhan
anatomie dan psikologi. Sistematika yang diambil de- praktik. Dengan pem- bedaan itu, para ahli hukum
ngan analogi kedua ilmu pengetahuan medis itu sama dapat memperoleh gam- baran mengenai keseluruhan
sekali tidak tepat karena obyek keduanya memang tidak sistem hukum dan rincian perbedaan di antara unsur-
sama. unsurnya yang bermanfaat untuk diketahui.84
Perbedaan antara Hukum Tata Negara dan Hukum Begitu pula Vegting ketika menyampaikan pidato
Administrasi Negara itu tidaklah bersifat fundamental jabatannya dengan judul “Plaats en aard van het Admi-
dan hubungan antara keduanya dapat disamakan
dengan hubungan antara Hukum Perdata dan Hukum 83
Kranenburg, Het Nederlandsch Staatsrecht, eeerste deel zesde durk,
Dagang. Jika keduanya dipisahkan, maka hal itu (Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon, 1947). hal. 14, menyatakan: “Ik
semata-mata karena kebutuhan akan pembagian kerja zou ae splitsing willen verklaren als een gevolg van de behoefte aan ar-
beidsverdeling bij de zeer snelle uitgroei van het corporatieve recht der
yang secara praktis diperlukan sebagai akibat pesatnya
territoriale gemeenschappen en de noodzakelijkheid om zich bij de
perkemba- ngan hukum korporatif dari masyarakat behandeling cler stof te beperken tot samenstelling, de taak, de bevoegdheid
hukum teri- torial. Di samping itu, materi yang en de functionerings-wijze van de belangrijkste organen die dan als
diajarkan dalam pen- didikan hukum memang perlu staatsrecht worden gedoceerd, terwijl de nadere en me er in bijzonderheden
afdalende behandeling van bijzondere takken der staats rechtorganisatie
dibagi sehingga mudah
onder het administratiefrecht werd gebracht”; selanjutnya pada hal. 15, “De
onderscheiding Staatsrecht en Administratiefrecht is dus niet principieel,
maar eenvoudig een van doelmatige arbeidsverdeling”.
81
82
Lihat dalam Kelsen, Op Cit. 84
van der Pot, Op Cit., hal. 510
Stellinga, Grondtrekken van het Nederlandsche Administratiefrecht, Op.
Cit., hal. 13.
63 64
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

nistratiefsrecht”, seperti halnya Kranenburg dalam “Het


pelajari negara dari struktur internalnya, sedangkan
algemene Nederlandsch Administratiefsrecht”, menje- Hukum Internasional Publik mempelajari hubungan-
laskan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum hubungan hukum antarnegara itu secara eksternal. Di
Adminis- trasi Negara mempunyai lapangan samping itu, Hukum Internasional itu sendiri, ada pula
penyelidikan yang sama. Perbedaan keduanya hanya yang bersifat privat (perdata) di samping ada yang ber-
terletak pada cara pen- dekatan yang dipergunakan oleh sifat publik. Tentunya yang mempunyai hubungan erat
masing-masing ilmu pengetahuan itu mengadakan dengan ilmu Hukum Tata Negara adalah cabang Hukum
penyelidikan ilmiah. Hu- kum Tata Negara berusaha Internasional Publik.
mengetahui seluk beluk orga- nisasi negara dan badan- Keduanya sama-sama menelaah dan mengatur
badan lainnya. Sedangkan, Hu- kum Administrasi me- ngenai organisasi negara. Akan tetapi, Hukum
Negara menghendaki bagaimana cara- nya negara serta Interna- sional mempelajari dan mengatur mengenai
organ-organ negara itu menjalankan tugasnya. Vegting hubungan- hubungan eksternal dari negara, sedangkan
tidak membedakan Hukum Tata Nega- ra dan Hukum Hukum Tata Negara berurusan dengan aspek-aspek
Administrasi Negara karena pembatasan wewenang hubungan yang bersifat internal dalam negara yang
(competentie afbakening) melainkan karena caranya dikaji. Misalnya, konsep kedaulatan yang dikaji oleh
negara bertindak itu saja pun sudah merupakan Hukum Internasional adalah konsep kedaulatan yang
pembatasan wewenang juga. Artinya, bagi Vegting, H- bersifat eksternal dalam hubungan antarnegara,
ukum Tata Negara itu mempunyai obyek penyelidikan sedangkan dalam Hukum Tata Negara yang dibahas
adalah perspektif yang bersifat internal, misalnya teori
yang berkenaan dengan hal-hal yang pokok mengenai
tentang kedaulatan rakyat, ke- daulatan hukum,
organisasi Negara, sedangkan objek penyelidikan
kedaulatan raja, ataupun teori kedau- latan Tuhan.
Hukum Administrasi Negara adalah peraturan-
peraturan yang bersifat teknis.85 6. Kecenderungan Hukum Tata
Negara, Hukum Administrasi
5. Hukum Tata Negara dan Negara,
Hukum Internasional Publik dan Hukum Internasional Publik
Baik hukum tata negara maupun hukum inter- Pada abad KE-21 dewasa ini, perkembangan
nasional publik, sama-sama merupakan cabang ilmu dunia sudah sangat berbeda dari apa yang terjadi
hukum publik. Akan tetapi, objek perhatian hukum pada abad- abad yang lalu. Objek studi Hukum Tata
inter- nasional publik sangat berbeda dari objek Negara dan Hu- kum Administrasi Negara tumbuh
perhatian hukum tata negara. Hukum Tata Negara dan berkembang menjadi sangat spesifik dan rinci,
hanya mem- sehingga keahlian yang diperlukan menjadi semakin
terspesialisasi. Berbagai bu- ku hukum tata negara dan
85
hukum administrasi negara di Amerika Serikat dan
W.G. Vegting, Plaats en aard van het Administratiefrecht, pidato
inagurasi, Amsterdam, 1946. Lihat juga “Het Algemeen Nederlandach Eropa membahas berbagai persoa- lan dengan sangat
Administratiefrecht”, I, 1954, hal. 6-7, “Staats en administratiefrecht spesifik dan mendalam. Kecen- derungan gejala
hebben een gemeenschappelijk gebied van te bestuderen regelen, die echter, ilmiah yang demikian inilah yang di- sebut sebagai
bij ene studie anders benaderd worden dan bij de andere”. gejala diferensiasi struktural yang menye-

65 66
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

babkan tingkat keahlian seseorang semakin dituntut


Instituut voor Verfassungsrecht und Verwaltungsrecht
kekhususan dan spesialisasinya. Bahkan, di bidang hu-
(Lembaga Kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
kum administrasi negara telah bermunculan banyak se-
Admi- nistrasi Negara) pada Fakultas Hukum
kali cabang ilmu hukum baru seperti hukum
Universitas Salz- burg. Institut yang sama juga terdapat
perpajakan, hukum lingkungan, hukum kepegawaian,
di Fakultas Hu- kum Universitas Vienna. Di dalamnya
hukum bangu- nan, dan sebagainya.
tergabung para ahli, baik dari lapangan Hukum Tata
Bersama dengan munculnya kecenderungan per-
Negara maupun Hukum Administrasi Negara.86
tama tersebut, timbul pula kecenderungan kedua, yaitu
Di samping kedua kecenderungan tersebut di atas,
gejala konvergensi fungsional antar cabang ilmu yang
ada pula kecenderungan ketiga yang relatif masih sangat
semula terpisah-pisah, tetapi dalam praktik
baru, yaitu menyatunya aspek-aspek kajian internal
penyelesaian suatu masalah memerlukan pendekatan
negara yang biasanya menjadi ciri ilmu hukum tata ne-
yang terpadu yang melibatkan cabang-cabang ilmu yang
gara dan hukum administrasi negara dengan aspek-as-
berbeda itu dalam satu kesatuan konsepsi. Dari
pek eksternal yang biasanya menjadi domain ilmu hu-
kenyataan ini ber- kembang kebutuhan akan adanya
kum internasional publik. Kedua bidang ilmu ini sama-
pendekatan yang mul- ti-disipliner dan pendekatan yang
sama menjadikan negara dan organisasi negara sebagai
holistik-integral dalam penyelesaian masalah. Dalam
objek kajiannya. Akan tetapi, Hukum Tata Negara pada
kaitan dengan perbedaan antara cabang ilmu Hukum
umumnya hanya melihat aspek internal dalam negara
Tata Negara (Constitutional Law) dan Hukum
yang dikajinya, sedangkan hukum Internasional publik
Administrasi Negara (Administrative Law),
justru melihatnya dari segi hubungan eksternal antar-
kecenderungan konvergensi fungsional itu juga terjadi,
negara. Namun, dengan terjadi perkembangan Uni Ero-
sehingga muncul kebutuhan untuk mengintegra- sikan
pa (European Union) dewasa ini, timbul masalah
kembali secara relatif antara pendekatan- pendekatan
menge- nai perbedaan antara Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara dan Hukum Adminis- trasi Negara
dengan Hu- kum Internasional Publik. Ketika orang
dalam satu kesatuan disiplin berpikir.
membicarakan tentang konstitusi Uni Eropa, parlemen
Oleh karena itu, di beberapa negara, seperti misal- Eropa, Penga- dilan Eropa, tidak lagi jelas apa
nya di Austria, kedua kecenderungan itu diatasi dengan perbedaan antara Hu- kum Tata Negara dengan Hukum
cara ganda. Di satu segi, spesialisasi dipacu, tetapi upaya Internasional.
konvergensi melalui koordinasi dan integrasi juga dila-
Peraturan (Regeling), Keputusan (Beschikking),
kukan secara bersengaja. Misalnya, di Universitas
dan Putusan Hakim (Vonnis) yang ditetapkan oleh
Vienna dan Universitas Salzburg, mata kuliah hukum
Parle- men, Dewan Eksekutif, atau Pengadilan Eropa, di
adminis- trasi negara (verwaltungsrecht)
satu segi dapat disebut sebagai norma hukum
dikembangkan sangat
internasional,
terperinci. Prof. Dr. Jahnel Ilmar adalah guru besar
hukum bangunan di Universitas Salzburg yang sangat direktur
menguasai bidangnya tetapi tidak banyak tahu
mengenai aspek-aspek hukum administrasi negara dan
hukum tata negara pada umumnya. Namun, di samping
sebagai guru besar, dia juga dipercaya untuk menduduki

67 68
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
86
Pada bulan Juni 2003, saya sendiri mengadakan kunjungan kerja dan
pertemuan dengan pimpinan Instituut voor Verfassungsrecht und Verwal-
tungsrecht, baik di Universitas Vienna maupun Universitas Salzburg. Bah-
kan, selama di Universitas Salzburg, Prof. Dr. Jahnel Ilmar bertindak
sebagai guide yang mendampingi kemanapun saya pergi selama
berkunjung di kampus Universitas Salzburg.

67 68
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tetapi di lain segi sudah dianggap menjadi bagian


D. Objek dan Lingkup
dari pengertian hukum domestik setiap negara anggota
Kajian Hukum Tata
Uni Eropa. Oleh karena itu, di Jerman, para guru
Negara
besar hu- kum tata negaranya biasa disebut sebagai
Buku J.H.A. Logemann yang diterbitkan pada ta-
guru besar hukum publik, bukan lagi guru besar hukum
hun 1948 di Leiden yang berjudul “Over de Theorie van
tata negara. Prof. Dr. Hanns Jarrass, seorang guru besar
Een Stellig Staatsrecht” berisi tiga bagian, yaitu (1)
di Muenster University, Jerman, ketika memberikan
Hu- kum Positif, (2) Hukum Tata Negara Positif,
ceramah di Fa- kultas Hukum Universitas Indonesia
dan (3) Sistem Formil Hukum Tata Negara Positif.88
pada tahun 2003 yang lalu tentang Perkembangan
Pada Bagian Kedua, oleh Logemann dibahas
Hukum Eropa juga memperkenalkan dirinya sebagai
mengenai (i) Hukum Tata Negara, (ii) Kesistematisan
guru besar hukum publik, bukan sebagai guru besar
Hukum Tata Negara,
hukum tata negara.87
(iii) Bentuk Penjelmaan Sosial Negara, (iv) Negara
Tentu saja, gejala yang terjadi di Eropa tersebut
dalam Hukum Positif, (v) Hukum Tata Negara dalam
memang belum final, karena konstitusi Uni Eropa juga
Arti Sem- pit, (vi) Hukum Administrasi, dan (vii) Tipe-
belum berlaku mengikat sebagai konstitusi. Akan tetapi,
Tipe Negara. Sedangkan pada Bagian Ketiga, dibahas
gejala regionalisasi politik dan ekonomi di berbagai
mengenai (i) Jabatan Sebagai Pribadi, (ii) Batas-Batas
bagi- an dunia terus berkembang. Di satu segi
Jabatan, (iii) Lahir dan Lenyapnya Jabatan, (iv) Cara
gelombang glo- balisasi yang semakin meluas, tetapi di
Menempati Jabatan, (v) Jabatan dan Pemangku
pihak lain ber- kembang pula tuntutan regionalisasi
Jabatan: Perwakilan
wilayah-wilayah ekonomi dan politik di berbagai bagian
(vi) Jabatan dan Pemangku Jabatan: Hubungan Dinas
dunia dan bah- kan lokalisasi dalam arti tumbuhnya
dengan Negara, (vii) Jabatan Majemuk, (viii) Kelompok
tuntutan otonomi lokal di mana-mana. Pada saatnya,
Jabatan, (ix) Lingkungan Kerja, (x) Wewenang Hukum,
perkembangan-per- kembangan baru semacam itu akan
(xi) Pegangan Waktu, (x) Pegangan Ruang dan
mempengaruhi pola- pola hubungan hukum antara satu
Pegangan Pribadi, dan (xi) Perbandingan Kekuasaan.
negara dengan negara yang lain, sehingga konsep-
Sarjana Inggris, Michael J. Allen dan Brian
konsep hukum Internasional publik akan semakin
Thom- pson dalam bukunya “Cases and Materials
mendekat ke arah konsep-konsep hukum tata negara
on Cons- titutional and Administrative Law”
yang sebelumnya hanya bekerja di se- kitar aspek-aspek
(1990-2003) 89 mengelompokkan materi bahasannya
internal saja dari organisasi negara.
ke dalam 11 (se- belas) bagian, yaitu (i) Constitutional
Law in the United Kingdom, (ii) The Legislative
Supremacy of Parliament,

2003, dia menjelaskan perkembangan hukum Eropa dan status bidang ilmu
hukum tata negara dewasa ini.

87
Prof. Hanns Jarrass berkunjung ke Indonesia atas biaya Hanns Seidel
Stiftung dan menjadi tamu saya selaku guru besar Hukum Tata Negara.
Dalam salah satu pembicaraan dengan saya dan juga dalam kuliah umum
yang ia berikan di depan mahasiswa S1 Fakultas Hukum UI pada tahun
69 70
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
88
Buku ini diterjemahkan oleh Makkatutu dan J.C. Pangkerego serta
dikoreksi oleh G.H.M. Riekerk serta diberi kata pengantar oleh G.J.
Resink, lalu diterbitkan oleh Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, pada tahun
1975. Sebelumnya buku ini pernah diterbitkan dalam bentuk asli untuk
kebutuhan perkuliahan dengan judul “College-aantekeningen over het
staatsrecht van Nederlands-Indie”.
89
Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on Consti-
tutional and Admnistrative Law, 7th edition, (London-New York: Oxford
University Press, 2003).

69 70
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

(iii) The European Union, (iv) The Rule of Law, (v)


power, (4) parliamentary supremacy, (5) the European
Constitutional Conventions, (vi) Parliamentary Govern-
communities; (II) Parliament, yang mencakup (6) the
ment at Work, (vii) Civil Liberties, (viii) Judicial Review:
constitutional position of parliament, (7) the House of
The Grounds, (ix) The Availability of Judicial Review,
Lords, (8) the House of Commons, (9) parliamentary
(x) Ombudsman, dan (xi) Statutory Tribunals.
supremacy; (III) The Executive, yang meliputi (10)
Versi textbook yang ditulis oleh Michael T.
the Crown, (11) the powers of the Crown, (12) Ministers
Molan dengan judul “Constitutional Law: The
and departments, (13) the civil service and the armed
Machinery of Government” memuat pokok bahasan
forces,
yang sedikit ber- beda.90 Molan membagi bukunya
(14) Ad hoc bodies, (15) local government, (16)
dalam 13 (tiga belas) bab, yaitu (i) The Nature and
The police; (IV) The Judicial Branch of the State,
Sources of Constitutional Law, (ii) The European
mencakup
Union, (iii) Constitutional Prin- ciples: The Separation
(17) the Judiciary, (18) Tribunals and Inquiries,
of Powers, the Rule of Law, and the Independence of
(19) Judicial Review of the Executive; dan (V) Civil
the Judiciary, (iv) The Sovereignty of Parliament, (v)
Liberties, yang meliputi (20) General principles of
The Electoral System, (vi) The House of Commons,
civil liberties,
(vii) The Executive, (viii) Judicial Review of Executive
(21) Freedom of speech and assembly, (22) entry to and
Action, (ix) The European Convention on Hu- man
exclusion from the UK, (23) emergency powers, dan (24)
Rights, (x) The Police Power, (xi) The Right to Pri- vacy
police powers of arrest and search in the investigation of
and Family Life: Article 8 of the European Conven- tion
crime.
on Human Rights, (xii) Freedom of Expression: Ar- ticle
Sementara itu, O. Hood Phillips dan kawan-kawan
10 of the European Convention on Human Rights,
dalam bukunya “Constitutional and
and (xiii) Freedom of Assembly and Association:
Administrative Law” membagi pokok bahasannya juga
Article 11 of the European Convention on Human Rights.
dalam 4 (empat) bagian.92 Bagian Umum antara lain
Versi lain lagi adalah dari John Alder, Erwin membahas soal the nature of constitutional and
Che- merinsky, A.W. Bradley and K.D. Ewing, O. administrative law, parlia- mentary supremacy,
Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, devolution and regionalism, the constitutional
serta ba- nyak lagi buku teks Hukum Tata Negara conventions, dan sebagainya. Bagian II tentang
lainnya. John Alder, dalam bukunya, “Constitutional Parliament, Bagian III tentang Central Govern- ment,
and Administra- tive Law”, 91 membagi bukunya dalam Bagian IV tentang Justice and Police, Bagian V
5 (lima) bagian, yaitu (I) General Constitutional tentang Rights and Duties of the Individual, Bagian
Theory, yang mencakup bahasan mengenai (1) the VI khusus tentang Administrative Law, dan Bagian
nature of the United Kingdom Constitution, (2) the VII tentang The Commonwealth. Masing-masing
sources of the constitution, (3) constitu-tionalism: bagian itu membahas secara terperinci segala aspek yang
the rule of law and the separation of terkait.
Demikian pula buku “Constitutional and Adminis-
trative Law”, A.W. Bradley dan K.D. Ewing juga dibagi
dalam 4 (empat) bagian. 93 Bagian I tentang General
Principles of Constitutional Law, yang mencakup baha-

71 72
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
90
Michael T. Molan, Constitutional Law: The Machinery of Government, 4th
edition, (London: Old Bailey Press, 2003). 92
Phillips, Jackson, and Leopold, Op Cit.
91
Alder and English, Op Cit. 93
Bradley dan Ewing, Op Cit.

71 72
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

san tentang (1) Definition and scope of constitutional


ground and Contemporary Themes, (ii) The Federal
law, (2) sources and nature of the constitution, (3)
Judicial Power, (iii) The Federal Legislative Power, (iv)
the structure of the united kingdom, (4) parliamentary
The Federal Executive Power, (v) Limits on State Regu-
sup- remacy, (5) the relationship between legislature,
latory and Taxing Power, (vi) The Structure of the
execu- tive, and judiciary, (6) the rule of law, (7)
Consti- tution’s Protection of Civil Rights and Civil
responsible and accountable government, (8) the
Liberties, (vii) Procedural Due Process, (viii) Economic
United Kingdom and the European Union; Bagian II
Liberties, (ix) Equal Protection, (x) Fundamental Rights
tentang The Institution of Government, meliputi (9)
Under Equal Protection and Due Process, (xi)
Composition and meeting of parliament, (10) functions
Expression, dan (xii) Religion.
of parliament, (11) privileges of parliament, (12) the
Di Indonesia, juga dikenal beberapa buku yang bia-
Crown and the royal prerogative,
sa dijadikan pegangan oleh mahasiswa dalam mempe-
(13) the Cabinet, government departments and the lajari ilmu hukum tata negara. Di antaranya adalah buku
civil service, (14) public bodies and regulatory karya Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang ber-
agencies, (15) foreign affairs and the commonwealth, judul “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”.
(16) the armed forces, (17) the treasury, public Buku ini dipakai secara luas sebagai salah satu
expenditure and the economy, (18) the courts and buku teks Hukum Tata Negara di berbagai
the machinery of justice; Bagian III tentang The Citizen perguruan tinggi di tanah air. Di dalamnya, dibahas
and the State, yang meli- puti (19) the nature and mengenai 9 (sembilan) hal, yaitu (1) Pendahuluan, (2)
protection of human rights, (20) citizenship, Ilmu Pengetahuan Hu- kum Tata Negara, (3) Sumber-
immigration, and extradition, (21) the police and Sumber Hukum Tata Ne- gara, (4) Konstitusi, (5)
personal liberty, (22) the protection of privacy, (23) Beberapa Azas yang dianut oleh UUD 1945, (6) Bentuk
freedom of expression, (24) freedom of association Negara dan Sistem Pemerintahan,
and assembly, (25) state security and official secrets, dan (7) Asas-Asas Kewarga-negaraan, (8) Hak-Hak Asasi
(26) emergency powers and terrorism; Bagian IV Manusia, dan (9) Sistem Pemilihan Umum.
khusus membahas Administrative Law, meliputi Dalam buku Prof. Kusumadi Pudjosewojo,
pembahasan mengenai (27) the nature and berjudul “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”, 95
development of adminis- trative law, (28) delegated dibahas khusus mengenai tata hukum Indonesia. Dalam
legislation, (29) administra- tive justice, (30) judicial Bagian Kedua dibahas empat bab, yaitu Bab IV tentang
control of administrative action, dan terakhir (31) Lapa- ngan-Lapangan Hukum, Bab V tentang Hukum
liability of public authorities and the Crown. Tata Ne- gara, Bab VI tentang Hukum Tatausaha Bagian
Banyak lagi buku teks lainnya yang membagi Umum, dan Bab VII tentang Hukum Tatausaha Bagian
materi bahasan dalam berbagai versi. Misalnya, buku Khusus. Dalam Bab Hukum Tata Negara dibahas
teks karya Erwin Chemerinsky yang berjudul mengenai (i) materi yang diatur dalam hukum tata
“Constitu- tional Law: Principles and Policies” terdiri negara, (ii) Rakyat Negara Republik Indonesia, (iii)
atas 12 (dua belas) bab. 94 KE-12 bab itu adalah (i) Daerah Negara Republik Indonesia, (iv) Penguasa
Historical Back- Tertinggi Negara Republik In-

94
Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, (New 95
Pudjosewojo, Op. Cit.
York: Aspen Law & Business, 1997).
73 74
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

donesia, (v) Beberapa asas-asas pokok hukum tata ne- (India: Wadhwa & Company, 2000).
gara Indonesia, dan (vi) Sumber-sumber hukum tata ne-
gara Indonesia.96
Hal yang menarik dan dapat dianggap paling
luas cakupan pembahasannya adalah ilmu Hukum
Tata Ne- gara di India. Sebabnya ialah Undang-Undang
Dasar In- dia tergolong naskah undang-undang dasar
yang paling tebal di dunia, sehingga mencakup
keseluruhan aspek yang penting dalam aktifitas
penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, dalam
buku Durga Das Basu yang berjudul “Introduction to
the Constitution of India” ter- gambar cakupan yang
sangat luas itu.97 Buku itu terdiri atas 9 (sembilan)
bagian, yaitu Part I terdiri atas (1) The Historical
Background, (2) The Making of the Consti- tution, (3)
The Philosophy of the Constitution, (4) Out- standing
Features of the Constitution, (5) Nature of Fe- deral
System, (6) Territory of the Union, (7) Citizenship,
(8) Fundamental Rights dan Fundamantal Duties, (9)
Di-
rective Principles of State Policy, dan (10) Procedure
of Amendment; Part II terdiri atas (11) The Union
Execu- tive, and (12) The Union Legislature; Part III
mencakup
(13) The State Executive, (14) The Legislature, (15)
The State of Jammu and Kashmir; Part IV berisi (16)
Admi- nistration of Union Territories and Acquired
Territories; Part V mencakup (17) The New System of
Panchayats and Municipalities, (18) Panchayats, (19)
Municipalities;
96
Bandingkan juga dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka yang mengatakan inti permasalahan Hukum Tata Negara adalah
(a) Status atau kedudukan yang menjadi subyek/pribadi dalam Hukum
Negara yaitu siapa penguasa/pejabat negara dan apa lembaga-lembaga
negara, serta siapa warga negara dan siapa bukan warga negara; (b) Role
atau peranan yang meliputi kewajiaban dan hak, serta peranan wantah yang
di luar tetapi tidak bertentangan dengan hukum. Soerjono Soekanto dan
Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 56-59.
97
Durga Das Basu, Introduction to the Constitution of India, 18th edition,
75 76
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Part VI berisi (20) Administration of Scheduled
and Tribal Areas; Part VII tentang The Judicature
yang ter- diri atas (21) Organisation of the Judiciary
in General,
(22) The Supreme Court, dan (23) The High Court;
Part VIII tentang The Federal System yang
meliputi (24) Distribution of Legislative and
Executive Powers, (25) Distribution of Financial
Powers, (26) Administrative Relations between the
Union and the States, (27) Inter- State Relations,
(28) Emergency Provisions; Part IX ten- tang lain-lain
atau “miscellaneous” yang mencakup (29) Rights and
Liabilities of the Government and Public Ser- vants,
(30) The Services and Public Service Commis-
sions, (31) Elections, (32) Minorities, Scheduled
Castes and Tribes, (33) Languages, dan (34) How
the Consti- tution Has Worked.
Menurut John Alder, “The main function of a con-
stitution is to provide the ground rules through which
the organisation operates”.98 Untuk itu, menurutnya:

“constitutional law is different from other kinds of


law in that the other laws of a country obtain their
validity from its constitution. Constitutional law is as
it were the law behind the law”.99

Itu sebabnya banyak sarjana yang menganggap


bahwa hukum tata negara itu meliputi semua aspek
hukum yang berkenaan dengan negara dan pemerin-
tahan, meskipun untuk alasan-alasan yang bersifat
prak- tis, studi mengenai hal itu dibatasi hanya pada
soal-soal hukum dasar konstitusi saja (basic rules of
the consti- tution). Sehubungan dengan itu, John
Alder merumus- kan lingkup hukum tata negara itu
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kunci, yaitu:

98
John Alder, Op. Cit.
99
Ibid.

75 76
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

1) Siapa atau lembaga apakah yang menjalankan ber-


study of the constitutional law). Namun, jika diperhati-
bagai fungsi kekuasaan negara? Biasanya kekuasaan
kan, pandangan John Alder itu bersifat terlalu menye-
negara secara horizontal dibagi ke dalam tiga
derhanakan. Lingkup materi pertanyaan yang diaju-
cabang, yaitu (i) the law making power; (ii) the
kannya dapat dikatakan sangat terbatas dan terlalu sem-
executive power, yaitu the power to implement and
pit untuk menggambarkan ruang lingkup kajian hukum
enforce the laws; and (iii) the judicial power, yakni
tata negara pada umumnya. Dalam studi hukum tata ne-
the power to settle disputes by applying the law to
gara atau constitutional law, di mana pun berada, selalu
particular ca- ses. Di samping itu, kekuasaan negara
ditelaah mengenai (a) Konstitusi sebagai hukum dasar
juga dibagi ke dalam struktur hierarkis antara
beserta berbagai aspek mengenai perkembangannya
central and local government, dan menurut tugas-
dalam sejarah kenegaraan yang bersangkutan, proses
tugas yang bersifat khusus, seperti polisi dan
pembentukan dan perubahannya, kekuatan
tentara;
mengikatnya dalam hierarki peraturan perundang-
2) Apa dan bagaimanakah hubungan antara masing- undangan, cakupan substansi, ataupun muatan isinya
masing cabang kekuasaan itu satu sama lain, dan sebagai hukum dasar yang tertulis; (b) Pola-pola dasar
secara khusus, siapa pula atau lembaga mana yang ketatanegaraan yang dianut dan dijadikan acuan bagi
bertindak sebagai pemegang kata akhir dalam pe- pengorganisasian insti- tusi, pembentukan dan
ngambilan keputusan mengenai sesuatu urusan penyelenggaraan organisasi ne- gara, serta mekanisme
tertentu? kerja organisasi-organisasi negara dalam menjalankan
3) Bagaimanakah para anggota dan pimpinan dari fungsi-fungsi pemerintahan dan pembangunan; (c)
cabang-cabang kekuasaan negara tersebut Struktur kelembagaan negara dan mekanisme
ditetapkan dan diberhentikan? Apakah pengisian hubungan antar organ-organ kelembagaan negara, baik
jabatan keang- gotaan dan pimpinan lembaga- secara vertikal maupun horizontal dan dia- gonal; dan
lembaga negara yang menjalankan fungsi-fungsi (d) Prinsip-prinsip kewarganegaraan dan hubungan
kekuasaan negara itu di- pilih atau diangkat, dan antara negara dengan warga negara beserta hak-hak dan
bagaimanakah caranya? kewajiban asasi manusia, bentuk-bentuk dan prosedur
4) Bagaimanakah caranya pemerintahan dan demikian pengambilan keputusan hukum, serta mekanisme
pula semua jabatan kenegaraan yang ada dibatasi perlawanan terhadap keputusan hukum.
dan dikontrol? Apakah semua pemegang jabatan ke-
Tentu saja, kita dapat merumuskan pokok bahasan
negaraan itu bertanggung jawab, dan kepada siapa
hukum tata negara itu ke dalam rincian yang lebih
mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya. Apa-
terurai, tetapi dapat pula merumuskannya dalam garis
kah dan bagaimanakah mekanisme pertanggungja-
besar saja. Lingkup materi yang dibahas, tergantung
waban itu kepada rakyat?
kepada data yang disajikan dalam buku masing-masing.
5) Bagaimana pula mekanisme dan prosedur untuk
Namun, secara umum, dalam buku-buku yang dapat
membentuk dan mengadakan perubahan atau peng-
digolongkan sebagai buku teks, keseluruhan materi ter-
gantian terhadap undang-undang dasar?
sebut di atas selalu tercakup dalam pembahasan, meski-
pun ada yang membaginya ke dalam 3 (tiga) bagian dan
Menurut John Alder, kelima pertanyaan itulah
ada pula yang membaginya ke dalam 4 (empat) bagian.
yang merupakan pusat perhatian hukum tata negara
(the
77 78
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Misalnya, A.W. Bradley dan K.D. Ewing,


100 lah soal hubungan-hubungan hak dan kewajiban
menyederha- nakan pokok-pokok bahasan hukum
secara timbal-balik antara negara dan warga negara. Di
tata negara itu menjadi tiga aspek, yaitu (i) general
dalam- nya, termasuk pula persoalan hak dan
principles of con- stitutional law; (ii) The Institutions
tanggung jawab asasi manusia, seperti yang
of Government; and
dipromosikan Inter Action Council dengan “The
(iii) The Citizens and The State, meskipun ketiga
Universal Declaration of Human Responsibility” tahun
aspek itu diuraikan secara sangat rinci oleh kedua
1998.
sarjana ini, sehingga bukunya sendiri mencapai 812
halaman tebal- nya. E. Objek dan Lingkup Kajian
Pembahasan yang pertama, misalnya, terdiri atas Hukum Administrasi
topik-topik (1) definition and scope of constitutional law, Negara
(2) sources and nature of constitutional law, (3) Untuk menggambarkan lingkup kajian atau baha-
the structure of the United Kingdom, (4) Parliamentary san mengenai Hukum Administrasi Negara, berikut ini
sup- remacy, (5) the relationship between legislature, dapat diambilkan beberapa contoh mengenai tulisan
execu- tive and judiciary, (6) the rule of law, (7) yang menggambarkan lingkup kajian hukum
Responsible and accountable government, dan (8) the administra- si negara di berbagai negara Eropa dan
United Kingdom dan Uni Eropa. Soal kedua tentang Amerika Serikat. Tentu saja, setiap sarjana mempunyai
The Institutions of Government terdiri atas (9) kecenderungan sendiri-sendiri dalam persoalan luas
Composition and Meeting of Parliament, (10) Functions sempitnya materi yang akan dibahas dalam buku yang
of Parliament, (11) Privileges of Parliament, (12) The disusun. Akan te- tapi, hal ini dapat dipakai untuk
Crown and the royal prerogative, sekedar memberikan gambaran mengenai apa saja yang
(13) The Cabinet, government departments, and the civil dipikirkan oleh para ahli, jika diberi kesempatan
service, (14) Public bodies and regulatory agencies, menjelaskan mengenai hu- kum administrasi negara di
(15) Foreign affairs and the Commonwealth, (16) the negara-negara tertentu yang diketahuinya.
Armed Forces, (17) The Treasury, public expenditure Menurut Sabien Lust,101 hukum administrasi nega-
and the economy, dan (18) The courts and the ra itu mencakup pembahasan mengenai “definition of
machinery of justice. administrative law and the use of administrative powers,
Sementara itu, Bagian ketiga tentang “The serta “the place of executive in the constitutional system”,
Citizen and the State” mencakup pembahasan “the Administrative Powers”, “the Instruments Available
mengenai (19) The nature and protection of human to the Administration”, “the Norms the Administrative
rights, (20) citizen- ship, immigration and extraditions, Authorities Have to Comply”, dan “Legal
(21) The police and personal liberty, (22) The Protection Against Administrative Action”. 102 Sementara
protection of privacy, (23) itu, Brian
Freedom of expression, (24) Freedom of association and
assembly, (25) State security and official secrets, (26) 101
Rene Seerden dan Frits Stroink (eds.), Administrative Law of the Euro-
Emergency powers and terrorism. Termasuk di dalam pean Union, Its Member States and the United States, (Groningen:
pembahasan mengenai negara dan warga negara ini ada- Intersentia Uitgevers Antwerpen, 2002), hal. 5-58.
102
Lihat A. Alen, Handboek van het Belgisch Staatsrecht, (Antwerpen:
100
Kluwer Rechtswettenschappen, 1995), hal. 889; H. Bocken and W. De
Bradley dan Ewing, Op Cit.
79 80
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Bondt (eds), Introduction to Belgian Law, (Brussel: Bruylant, 2001),
hal. 464; A.

79 80
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Jones and Katharine Thompson membahas persoalan


tion Under the Adminitrative Procedure Act, (h) Agency
hukum administrasi negara Inggris dengan bahasan
Discretion in Rulemaking and Adjudication, (i) Choices
mengenai (i) introduction yang meliputi (a) what is
of Process, (j) Relationship of Rules to Adjudication, (k)
administrative law, (b) the constitutional context of sup-
The Role of Private Parties, (l) Alternative Dispute Reso-
remacy of parliament, human rights, separation of po-
lution, (m) Due Process and Informal Adjudication, (n)
wers, the rule of law, and the royal prerogative; (ii) the
The Role of Private Law; (iv) Judicial Review of
distribution of administrative powers, yang mencakup
Adminis- trative Action yang mencakup pembahasan
soal the institutions of the government dalam arti luas;
tentang (a) Availability of Judicial Review, (b) Standing,
(iii) administrative decision making yang dikaitkan
(c) Timing of Judicial Review, (d) Ripeness, (e)
dengan (a) sources of powers, (b) inquiries, (c) inspec-
Exhaustion of Admi- nistrative Remedies, (f) Finality,
tions, (d) public participation and open government, (e)
(g) Scope of Review, (h) Review of the Facts, dan yang
the use of private law by the administration; (iv) non-
terakhir (i) Review of Law and Policy.
judicial redress of grievances yang meliputi soal om- Dengan demikian, lingkup kajian hukum ad-
budsmen dan tribunals; (v) judicial reviews yang berke- ministrasi negara itu sangat luas cakupannya. Oleh
naan dengan (a) general views, (b) filing a claim for kare- na itulah, oleh Brian Jones dan Katharine,
judicial review, (c) standing, (d) public or private divide, konsepsi administrative law itu didefinisikan sebagai:
(e) exceptions to ‘procedural exclusivity’, (f) matters “the study of rules and procedures that on the one
which are not reviewable, (g) legitimate expectations, hand serve to promote good administrative practice
(h) grounds for judicial review, (i) illegality, (j) in Go- vernmental agencies, and on the other hand
irrationality, and (k) procedural impropriety. provide mechanisms of redress, judicial or
Sedangkan, dalam membahas Hukum otherwise, when grievances have arisen as a result
Administrasi Negara di Amerika Serikat, Philip Harter of decisions or ac- tions of Government”.103
menguraikan hal-hal berikut (i) What is administrative
law dengan membahas soal (a) pengertian administrasi Bahkan, lebih lanjut, dikatakan oleh kedua sarjana
negara, (b) the role of agencies, dan (c) brief history of tersebut:
administra- tive law; (ii) The Constitutional Structure of “In very general terms, administrative law covers spe-
Congress, The President, the Courts, and the issues of cialist subject areas as diverse as planning law,
separation of powers generally; (iii) the American immigration law and revenue law. The administrative
Administrative Pro- cess, yaitu (a) Acquisition of lawyer cannot hope to have a detailed knowledge of all
Information, (b) Open Go- vernment, (c) Freedom of these areas of law, rather his or her concern is with the
administrative process, at the levels of central, local
Information, (d) Adjudication versus Rulemaking, (e) and at European Union levels; and the means by which
Rulemaking, (f) Non-Legislative Rules, Policy grievances in respect of governmental actions may be
Statements, and Guidelines, (g) Adjudica- examined and, where appropriate redressed. In parti-

Mast, J.Djuardin, M.van Damme and J. Vande Lanotte, Overzicht van het
Belgisch Administratief recht, (Antwerpen: Kluwer-Rechtswetenschappen, 103
Brian Jones dan Katharine Thompson, Garner's Administrative Law, 8th
1999), hal. 10, 18, dan lain-lain. Ed, (Butterworths Law Binding: Paperback Edition, 1996).

81 82
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

cular, the procedure for what is technically known, as


European Community). It may, then, operate in
‘judicial review’ must be understood”.
respect of controlling the prerogative powers of
ministers, but it might equally well apply to the
Pendek kata, seperti dikatakan oleh Harlow and minutiate of adminis- tration in central and local
Rawlings (1984), hukum administrasi negara itu government. It embodies general principles which can
adalah the law relating to public administration, be applied to the exercise of the powers and duties of
yaitu hukum yang berhubungan dengan dengan authorities in order to ensu- re that the myriad of
administrasi publik. Hukum administrasi negara rules and discretionary powers available to the
berhubungan dengan cara atau upaya dengan mana executive conform to basic standards of legality and
pemerintahan menjalankan tu- gas yang diberikan fairness. The ostensible purpose of these principles is
to ensure that, as well as observance of the rule of
kepadanya, termasuk mengenai haki- kat kekuasaan itu
law, there is accountability, transparency and
dan tugas-tugas serta cara bagaimana kekuasaan itu effectiveness in the exercise of power in the
dikendalikan. Bahkan bagi sementara sar- jana, public domain”.105
administrative law is also about the control of the
administration and the protection of individual Dalam Hukum Administrasi, menarik juga untuk
liberty, with the focus of attention being the case law of dikaji adanya red and green-light theories yang
judicial review of administrative action. Hukum dikem- bangkan oleh Harlow dan Rawlings tahun 1984.
Administrasi Negara juga memberikan perhatian kepada Teori ini berkaitan dengan semakin kompleksnya
upaya untuk memungkinkan atau membuat para peranan hukum dalam kehidupan negara modern. Untuk
administrator atau penyelenggara administrasi negara itu, Harlow dan Rawlings mengembangkan dua model
mampu menjalankan pemerintahan. Pandangan pendekatan yang saling bertentangan yang mereka
semacam inilah yang biasa di- kenal sebagai a green- namakan sebagai per- spektif red light and green
light theory.104 light perspectives. Red-light perspective lebih
Sementara itu, sarjana Inggris lainnya, yaitu Peter
konservatif dan berorientasi pada pe- ngendalian
Leyland dan Terry Woods, dalam bukunya “Textbook on
(control). Sedangkan, Green-light perspec- tive lebih
Administrative Law” juga berusaha menjawab
liberal atau sosialistis dalam orientasinya dan bersifat
pertanya- an mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
facilitative. Menurut Peter Leyland dan Terry Woods
dengan Hukum Administrasi Negara itu. Menurut
dalam bukunya tersebut di atas, keduanya telah
kedua sarjana Inggris ini:
berkembang secara bersamaan (tandem) dengan tum-
“What in fact is administrative law? Normally, it is
regarded as the area of law concerned with the control buhnya negara modern.
of governmental powers, powers which originate in “They serve us here with both to describe what admi-
nistrative law is and toact as normative (i.e. moral and
primary legislation or in the prerogative. Or the sub-
political) suppositions about what its role in society
ordinate powers exercised by individuals and bodies
ought to be. However, we do say for our purposes; it
acting under the power given by primary legislation
should not be supposed that Harlow and Rawlings use
(or legislation of a binding nature emanating from the
these terms in exactly the same way, or that they
would

104
C. Harlow and R. Rawlings, Law and Administration, 2nd edition, (London: Butterworths, 1997), chapter 1 & 2.

83 84
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
105
Peter Leyland and Terry Woods, Textbook on Administrative Law, 4th
edition, (New Delhi: Oxford University Press, 2003), hal. 1-2.

83 84
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

necessarily share our purpose. We employ them not to 107


Pudjosewojo, Op. Cit.
describe what happens in any givern set of circum-
stances where lawyers and judges make
decisions; rather, as models to describe what in the
real world of everyday legal activity is a continuum of
assumptions, from red light as one end of the spectrum
to green light at the other”.106

Dalam berbagai buku tentang Hukum Administrasi


Negara atau Hukum Tata Usaha Negara di Indonesia,
lingkup kajian kurang lebih sama dengan uraian tersebut
di atas. Bahkan dalam buku Prof. Kusumadi Pudjosewojo
yang berjudul “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indo-
nesia”, 107 materi hukum tata usaha negara
dibedakan antara Bagian Umum dan Bagian Khusus.
Pada Bagian Umum Bab VI tentang Hukum
Tatausaha dibahas (i) materi yang diatur oleh hukum
tatausaha, (ii) Alat Per- lengkapan Tatausaha, (iii)
Perbuatan Hukum Tatausaha,
(iv) Perbekalan Hukum Tatausaha, (v) Beberapa Asas
Pokok Hukum Tatausaha Indonesia, dan (vi) Sumber-
sumber Hukum Tatausaha Indonesia. Sedangkan pada
Bagian Khusus Bab VII, dibahas mengenai (i) Bagian-
ba- gian Khusus dari Hukum Tatausaha, (ii) Hukum
Pajak atau Hukum Fiskal, (iii) Beberapa Asas Pokok
Hukum Pajak Indonesia, (iv) Sumber-sumber Hukum
Pajak Indonesia. Bagian Khusus ini dimaksudkan oleh
Kusu- madi sebagai bagian yang dinamis, tergantung
pokok persoalan yang hendak dibahas.
Di dalam bukunya, yang dibahas memang hanya
persoalan Hukum Pajak. Akan tetapi, di lapangan yang
lain seperti hukum lingkungan hidup, hukum adminis-
trasi kepegawaian, hukum anggaran negara dan daerah,
hukum bangunan, dan sebagainya, semuanya dapat di-
lihat sebagai objek kajian hukum tata usaha negara yang

106
Ibid., hal. 5.

85 86
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
bersifat khusus seperti halnya hukum pajak. Oleh (xiii) hukum fiskal dan anggaran (pusat dan daerah),
karena itu, lingkup kajian hukum administrasi negara (xiv) hukum administrasi lingkungan, (xv) hukum
atau hu- kum tata usaha negara dapat berkembang adminis- trasi pendidikan, (xvi) hukum administrasi
sangat luas cakupannya. Di negara-negara yang sistem ilmu penge- tahuan dan teknologi, (xvii) hukum
administra- sinya (public administration) sudah administrasi kese-
sangat berkembang, bidang-bidang hukum yang
menjadi objek kajian para sarjana hukum tata negara
(verfassungsrecht) dan hu- kum tata usaha negara
(verwaltungsrecht) pada umum- nya sangat luas
cakupannya.
Oleh karena itu, kebutuhan akan spesialisasi
keahlian menjadi sesuatu yang niscaya, sehingga tidak
jarang kita menemukan para ahli yang tingkat spesiali-
sasi keahlian-nya sangat mendalam di sesuatu bidang
yang tidak lazim di Indonesia. Misalnya, para Guru
Besar di beberapa negara Eropa yang mendalami
keahlian di bidang hukum bangunan, belum tentu
memahami ber- bagai aspek hukum administrasi
kepegawaian, meskipun sama-sama berasal dari
keahlian di lapangan ilmu hu- kum administrasi
negara (verwaltungsrecht) dan hukum tata negara
pada umumnya (verfassungsrecht).
Dalam perkembangan dewasa ini, berbagai
bidang hukum yang dapat dikategorikan termasuk ke
dalam rumpun hukum administrasi atau hukum tata
usaha ne- gara, mencakup bidang-bidang, seperti (i)
hukum admi- nistrasi kepegawaian, (ii) hukum
perburuhan dan kete- nagakerjaan, (iii) hukum
administrasi kependudukan,
(iv) hukum keimigrasian, (v) hukum perpajakan, (vi)
hukum transportasi udara, (vii) hukum transporasi
laut,
(viii) hukum transportasi darat, (ix) hukum
administrasi perdagangan, bea dan cukai, (x) Hukum
perindustrian,
(xi) hukum administrasi kehutanan dan perkebunan,
(xii) hukum administrasi moneter dan perbankan,

85 86
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

hatan, (xviii) hukum administrasi kesejahteraan dan


pelayanan sosial, (xix) hukum administrasi informasi
dan telematika, (xx) hukum administrasi hukum, (xxi)
dan lain-lain sebagainya.
Semua aspek pengaturan dan penetapan hukum
dalam rangka pelayanan umum (public services) oleh
para pejabat administrasi publik atau pejabat adminis-
trasi negara (public administration) dalam bidang-
bidang tersebut merupakan persoalan hukum adminis-
trasi negara. Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang
ditetapkan oleh para pejabat di bidang-bidang
tersebut disebut sebagai K-TUN atau keputusan tata
usaha negara yang bersifat penetapan administratif
(beschikking). 108 Terhadap keputusan-keputusan
semacam ini dapat diajukan gugatan ke
pengadilan tata usaha negara (PTUN). Sedangkan,
terhadap semua regulasi (regula- tion) atau produk
peraturan (regels) yang ditetapkan oleh lembaga-
lembaga tersebut sebagai subordinate le- gislations
dapat diajukan gugatan judicial review lang- sung ke
Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pa- sal 24A
ayat (1) UUD 1945.109

108
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sese-
orang atau badan hukum perdata.
109
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

87 88
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

BAB III
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal
KONSTITUSI SEBAGAI OBJEK KAJIAN
adanya istilah yang mencerminkan pengertian kata jus
HUKUM TATA NEGARA
ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi
Romawi yang datang kemudian.111 Dalam keseluruhan
sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan
constitution adalah seperti apa yang kita maksudkan
A. Sejarah Konstitusi
sekarang ini. Menurut Charles Howard McIlwain
1. Terminologi Klasik: Constitutio, dalam bukunya “Constitutio- nalism: Ancient and
Politeia, dan Nomoi Modern” (1947), perkataan consti- tution di zaman
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk
yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang bahasa latinnya, mula-mula digunakan se- bagai istilah
ten- tang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani teknis untuk menyebut the acts of legisla- tion by the
Kuno poli- teia dan perkataan bahasa Latin constitutio Emperor.112 Bersamaan dengan banyak aspek dari
yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem
perkataan poli- teia dan constitutio itulah awal mula pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis
gagasan konstitu- sionalisme diekspresikan oleh umat constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-
manusia beserta hu- bungan di antara kedua istilah peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja atau-
dalam sejarah. Dari kedua istilah itu, kata politeia dari pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang
kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua berlaku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical
usianya. Pengertiannya secara luas mencakup: province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi
“all the innumerable characteristics which determine dan Hukum Ge- reja (Kanonik) itulah yang sering
that state’s peculiar nature, and these include its dianggap sebagai sum- ber rujukan atau referensi paling
whole economic and social texture as well as matters awal mengenai penggu- naan perkataan constitution
govern- mental in our narrower modern sense. It is dalam sejarah.
a purely descriptive term, and as inclusive in its
meaning as our own use of the word ‘constitution’ Dengan perkataan lain, pengertian konstitusi itu di
when we speak gene- rally of a man’s constitution or zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti
of the constitution of matter”.110 belum berbentuk seperti yang dimengerti di zaman mo-
dern sekarang. Namun, perbedaan antara konstitusi de-
ngan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan
yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian
kata politea dan nomoi. Pengertian politiea dapat
disepa-

110
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, elements of the State, the rulers and the ruled”.
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 26. Seperti dikata-
kan oleh Sir Paul Vinogradoff, “The Greeks recognized a close analogy
between the organization of the State and the organism of the individual
human being. They thought that the two elements of body and mind, the
former guided and governed by the later, had a parallel in two constitutive
89 90
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

111
Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme
manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh M.L. Newman
dalam The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political
science di dalam sejarah Yunani Kuno.
112
Ibid., hal. 23.

89 90
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

115
dankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai
adalah undang-undang biasa. 113 recordatio (record) atau recognitio (a finding). Pengarang buku “Leges
Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ of
Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi Henry I for the holding of the hundred and county courts” sebagai record.
dari pada nomoi, karena politea mempunyai
kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak
ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus
dibentuk agar su- paya tidak bercerai-berai. Dalam
kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan
erat dengan ucapan Res- publica Constituere yang
melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est,
Salus Publica Suprema Lex, yang artinya ”Rajalah
yang berhak menentukan struktur orga- nisasi negara,
karena dialah satu-satunya pembuat un- dang-
undang”.114
Di Inggris, peraturan yang pertama kali
dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah
“Constitutions of Cla- rendon 1164” yang disebut oleh
Henry II sebagai consti- tutions, avitae constitutions
or leges, a recordatio vel recognition,115 menyangkut
hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di
masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi
peraturan yang disebut sebagai kon- stitusi tersebut
masih bersifat eklesiastik, meskipun
pemasyarakatannya dilakukan oleh pemerintahan
seku- ler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah
constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama
lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut
berbagai secular administrative enactments. Glanvill
sering mengguna- kan kata constitution untuk a royal
edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan
Henry II’s writ creating

113
Ibid.
114
Bandingkan antara Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., dengan Abu Daud
Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 88-89; dan buku-
buku sejenis lainnya.

91 92
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
the remedy by grand assize as ‘legalis is a 116
George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus
constitutio’,116 dan menyebut the assize of novel Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63.
117
McIlwain, Op. Cit., hal. 24.
disseisin sebagai a re- cognitio sekaligus sebagai a 118
Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti,
constitutio. 117 lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5.
Beberapa tahun setelah diberlakukannya
Undang- Undang Merton pada tahun 1236, Bracton
menulis arti- kel yang menyebut salah satu
ketentuan dalam undang- undang itu sebagai a new
constitution, dan mengaitkan satu bagian dari Magna
Charta yang dikeluarkan kembali pada tahun 1225
sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang
hampir bersamaan (satu zaman), Beauma- noir di
Perancis berpendapat bahwa “speaks of the re-
medy in novel disseisin as ’une nouvele
constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan
selama beradab-abad sesudahnya, perkataan
constitution selalu diartikan se- bagai a particular
administrative enactment much as it had meant to
the Roman lawyers. Perkataan consti- tution ini
dipakai untuk membedakan antara particular
enactment dari consuetudo atau ancient custom
(kebia- saan).
Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse),
dalam bukunya De Republica (1578) menggunakan
kata con- stitution dalam arti yang hampir sama
dengan penger- tian sekarang.118 Hanya saja
kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum,
karena Gregoire memakai frase yang lebih tua, yaitu
status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman
ini, arti perkataan constitution tercer- min dalam
pernyataan Sir James Whitelocke pada se- kitar
tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con-
stitution of the policy of this Kingdom, which is jus
pub- licum regni”. Bagi James Whitelocke, jus
publicum regni

91 92
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

itulah yang merupakan kerangka alami dan konstitusi


tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa
politik bagi kerajaan.
Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin,
Dari sini, kita dapat memahami pengertian konsti-
serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di se-
tusi dalam dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the
panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik
natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang
kehidupan kenegaraan dan hukum.
dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia da-
Perkembangan-perkembangan demikian itulah
lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus
yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada
publicum regni, yaitu the public law of the realm.
pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris
Ci- cero 119 dapat disebut sebagai sarjana pertama
modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti-
yang menggunakan perkataan constitutio dalam
tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act
pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya
of establishing or of ordaining, or the ordinance or re-
“De Re Pub- lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi
gulation so established”. Selain itu, kata constitution
(Roman Empire), perkataan constitutio ini dalam
juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan
bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis
yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or
untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor.
composition which determines the nature of anything).
Menurut Cicero, “This cons- titution (haec constitution)
Oleh karena itu, constitution dapat pula dipakai untuk
has a great measure of equa- bility without which men
menyebut “… the body or the mind of man as well as to
can hardly remain free for any length of time”.
external ob- jects”.
Selanjutnya dikatakan oleh Cicero: Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi
“Now that opinion of Cato becomes more certain, that selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi” pemerin-
the constitution of the republic (consitutionem rei tahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya.
publicae) is the work of no single time or of no single A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a
man”. go- vernment but of the people constituting a
govern- ment”. 120 Konstitusi disebut mendahului,
Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam
bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu sifatnya yang supe- rior dan kewenangannya untuk
wak- tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain
dan aku- mulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, menjelaskan:
konsep klasik mengenai konstitusi dan “In fact, the traditional notion of
konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam constitutionalism before the late eighteenth century
dalam perkembangan penger- was of a set of prin- ciples embodied in the
institutions of a nation and neither external to
these nor in existence prior to them”.121
119
Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero (106-43 BC). Menurut
R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman statesman and
orator, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), we find the most interesting
formu- lations of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. 120
McIlwain, Op. Cit., hal. 20.
Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: 121
Ibid., hal. 12.
J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.

93 94
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Secara tradisional, sebelum abad ke-18, konstitu-


konstitusi dalam frase in a sense the life of the city.126
tionalisme memang selalu dilihat sebagai seperangkat
Dalam bukunya, “Politics”, Aristoteles menyatakan:
prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu “A constitution (or polity) may be defined as the orga-
bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar nization of a polis, in respect of its offices generally,
serta tidak ada pula yang mendahuluinya. but especially in respect of that particular office which
is sovereign in all issues”.
2. Warisan Yunani Kuno (Plato dan Aristoteles) “The civic body (the politeuma, 127 or body of
Dalam bukunya, “Outlines of Historical Jurispru- persons established in power by the polity) is
dence”, Sir Paul Vinogradoff berpendapat: everywhere the sovereign of the state; in fact the civic
“The Greeks recognized a close analogy between body is the polity (or constitution) itself”.128
the organization of the State and the organism of the
indi- vidual human being. They thought that the Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergan-
two ele- ments of body and mind, the former tung pada (i) the ends pursued by states, dan (ii) the
guided and governed by the latter, had a parallel in kind of authority exercised by their government.
two constitu- tive elements of the State, the rulers and Tujuan ter- tinggi dari negara adalah a good life, dan hal
the ruled”.122 ini merupa- kan kepentingan bersama seluruh warga
masyarakat.
Pengaitan yang bersifat analogis antara Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara
organisasi negara dan organisme manusia tersebut, right constitution dan wrong constitution dengan uku-
menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat ran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan
perhatian (center of inquity) dalam pemikiran politik di untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka
kalangan para filosof Yunani Kuno. 123 Dalam bukunya konstitusi itu disebutnya sebagai konstitusi yang benar,
“The Laws” (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konsti-
whole state is an imita- tion of the best and noblest tusi yang salah. Konstitusi yang terakhir ini dapat di-
life”.124 Isocrates dalam buku- nya “Panathenaicus” sebut pula sebagai perverted constitution yang diarah-
ataupun dalam “Areopagiticus” menyebut bahwa “the kan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang
politeia is the ‘soul of the polis’ with power over it tamak (the selfish interest of the ruling authority). Kon-
like that of the mind over the bo- dy”. 125 Keduanya stitusi yang baik adalah konstitusi yang normal, sedang-
sama-sama menunjuk kepada pe- ngertian konstitusi. kan yang tidak baik disebut juga oleh Aristoteles sebagai
Demikian pula, Aristoteles dalam bu-
kunya “Politics” mengaitkan pengertian kita tentang
126
Ernest Barker (ed and trans.), Politics, (New York-London: Oxford
University Press, 1958), (iv), chapter xi.
127
Istilah “politeuma” ini berarti “supreme civic authority”. Aristoteles
membuktikan bahwa “the constitution is especially an ordering of the
122
Sir Paul Vinogradoff, Outlines of Historical Jurisprudence, Vol. II, The supreme authority by showing that the supreme authority is decisive of the
Jurisprudence of the Greek City, hal. 12. character of the constitution, from which it follows that the main business of
123
McIlwain, Op. Cit., hal. 27. the constitution is to fix the supreme authority”. Lihat footnote No. 3, M.L.
124
Sir Paul Vinogradoff, The Laws, hal. 817. Newman, The Politics of Aristotle, Op. Cit., hal. 110.
125 128
McIlwain, Op. Cit. Ibid.

95 96
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik-


nyataan adanya keterkaitan antara pemikiran
buruknya atau normal-tidaknya konstitusi itu
yang dikembangkannya sebagai intelektual dengan
baginya terletak pada prinsip bahwa “political rule, by
pergaulan empirisnya dengan kekuasaan setelah ia
virtue of its speci- fic nature, is essentially for the
diangkat men- jadi penasehat Raja Dyonisius II.131
benefit of the ruled”.129
Inilah yang menye- babkan adanya perbedaan yang
Di antara karya-karya Plato seperti “Republic”
tajam antara idealitas negara yang tergambar dalam
dan “Nomoi”, terdapat pula dialog-dialog Plato yang
“Republic” dan apa yang diuraikan Plato dalam
diberi judul “Politicus” atau “Statesman” yang memuat
“Nomoi”, dan sebelum menulis “Nomoi” terlebih dulu
tema- tema yang berkaitan erat dengan gagasan
Plato menyelesaikan “Politicus”. 132 Namun dari
konstitusiona- lisme. Buku terakhir ini, di samping
pendapat-pendapat para muridnya, seperti
buku-buku lainnya, banyak mempengaruhi pemikiran
Aristoteles, memang dapat dibayangkan pan- dangan
Aristoteles di kemu- dian hari tentang gagasan
para filosof di zaman Yunani Kuno itu tentang negara
konstitutionalisme seperti yang kita pahami sekarang.
dan hukum tentu tidak seperti sekarang. Misal-
Jika dalam “Republic”, Plato menguraikan gagasan the nya, Aristoteles mengatakan:
best possible state, maka da- lam buku “Politicus” “A godlike ruler should rule like a god, and if a godlike
(Statesman) sebelum ia menyelesai- kan karya man should appear among men, godlike rule would
monumental berjudul “Nomoi”, 130 Plato me- ngakui and should be gladly conceded to him”.133
kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara
sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai Artinya, Aristoteles sendiri juga membayangkan
the second best dengan menekankan pentingnya hukum ke- beradaan seorang pemimpin negara ideal yang
yang bersifat membatasi. “Plato’s Republic deals with bersifat superman dan berbudi luhur, karena sejarah
an unattainable ideal; his Politicus treats of the kenegaraan Yunani pada zamannya tergolong sangat
attainable in its relation to this same ideal”. Jika dalam labil. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme
“Republic” ia mengidealkan peranan his yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindakan-
philosopher- king yang mempunyai a strength of art tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang
which is superior to the law atau bahkan dikatakan disebut sebagai tinda- kan yang inkonstitusional. Kedua,
sang pemimpin itu sendirilah yang membuat seni revolusi-revolusi se- macam itu jika terjadi tidak hanya
kepemimpinannya sebagai hukum, “not by laying mengubah corak public law, tetapi juga
down rules, but by making his art a law”. menjungkirbalikkan segala insti- tusi yang ada secara
Oleh karena itu, banyak sarjana yang mempersoal- besar-besaran, dan bahkan ber- akibat pada tuntutan
kan apakah Plato itu seorang yang berpaham serba mut- perubahan keseluruhan way of life (masyarakat) polity
lak atau seorang konstitusionalis (an absolutist or yang bersangkutan. Dalam keadaan
consti-
tutionalist). Jika kita berusaha menafsirkan secara kritis
perkembangan pemikiran Plato sendiri yang tercermin 131
Ibid., hal. 21-22.
dalam karya-karyanya, kita tidak dapat melepaskan ke- 132
Guna mendalami lebih lanjut perbedaan dan perbandingan antara
“Republic” dan “The Laws” serta karya-karya Plato yang lain, kita dapat
129
membaca tulisan pengantar oleh Trevor J. Saunders terhadap naskah “Plato:
130
Ibid., hal. 113. The Laws”, Op. Cit., hal. 17-41.
Plato, The Laws, (Penguin Classics, 1986), hal. 26 dan 37. 133
McIlwain, Op. Cit., hal. 33.
97 98
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

demikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan polity


mander”136 (seorang tiran gemar berperang sebagai
dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ke-
cara untuk memelihara agar anak buahnya terus
tiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai
mengabdi dan melayani kebutuhannya sebagai seorang
kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan bah-
komandan). Namun demikian, harus juga dimengerti
kan kematian, sehingga orang Yunani dihinggapi oleh
bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics, 137
penyakit fear of stasis.
orang Yunani Kuno memang belum membedakan sama
Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Aris-
sekali antara konsep negara (state) dan masyarakat
toteles berada dalam posisi untuk memberikan nasehat
(society), maupun antara civil dan social. Oleh karena
kepada sang tyrant mengenai bagaimana memper-
itu, para filosof Yunani cen- derung melihat hukum
panjang tipe kekuasaan (type of government) yang di-
sebagai bagian atau satu aspek saja dalam
akuinya sebagai kekuasaan yang paling menindas di
pembicaraan mereka tentang polity, tentang negara.
dunia (the most oppressive in the world) serta paling
Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles “Rhe-
singkat usianya. Kondisi sosial politik yang tidak stabil
torica” yang menyebut istilah common law dalam arti
itulah yang menyebabkan orang berusaha memilih
the natural law yang tidak lebih daripada satu porsi pe-
status quo (to preserve the status quo). Misalnya,
ngertian saja dari the state’s actual laws.138
dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya “Politics”
Pemikiran filsafat Yunani Kuno yang dikembang-
bahwa:
kan oleh Aristoteles dan kawan-kawan tidak atau belum
“Polities generally are liable to dissolution not
only from within but from without, when there is a membayangkan hukum sebagai sesuatu yang berada di
state having an antagonistic polity near to them or luar pengertian polity (negara) atau sesuatu yang ter-
distant but possessed of considerable power”.134 pisah dari negara dimana negara harus tunduk dan me-
nyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya.
Dalam bagian lain dari tulisannya, Aristoteles juga Perubahan terhadap pandangan yang tidak
mengatakan: melihat hukum sebagai sesuatu yang berada di luar atau
“The practice of cutting off prominent characters di atas negara, baru timbul setelah Cicero
and putting out of the way the high spirits in the memperkenalkan pe- mikirannya dengan mengartikan
state; the prohibition of common meals, political negara sebagai suatu a bond of law (vinculum juris).
clubs, high cul- ture and everything else of the same Dalam pengertian vincu- lum juris itu, hukum tidak
kind; precautio- nary measures against all that hanya dilihatnya sebagai ele- men suatu negara, tetapi
tends to produce two results, viz., spirit and an antecedent law. Dalam bukunya “De Re Publica”,
confidence”.135
Cicero mengatakan bahwa hu- kum dalam arti demikian
sama tuanya dengan pemikiran
Selanjutnya, oleh Aristoteles juga dinyatakan: “A
tyrant is fond of making wars, as a means of keeping 135
Ibid., hal. 392-383.
his subjects in employment and in continual need of a
com-

134
The Politics of Aristotle, VIII, Op. Cit., hal. 368.

99 100
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
136
Ibid., VIII, hal. 394.
137
Kaum “Stoics” adalah kelompok yang menganut paham stoicism,
tumbuh di Yunani, namun kemudian berkembang dan mendapatkan
kemajuan pesat di Roma. “Stoicisme” ini bahkan, menurut sejarahwan
abad ke-19, Mom- msen, memang sangat cocok dengan karakteristik
kebudayaan Romawi. Li- hat Berki, Op Cit., hal. 73.
138
McIlwain, Op. Cit., hal. 37.

99 100
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tentang keberadaan Tuhan, jauh sebelum adanya negara


menemukan garis pemisah yang begitu tegas dalam per-
di mana pun juga. Negara, bagi Cicero, merupakan kreasi
jalanan sejarah pemikiran politik antara zaman klasik
hukum.139 Sejak masa Cicero, dapat dikatakan pemikiran
dan zaman modern, maka dapat dikatakan bahwa era
kenegaraan dan hukum mengalami revolusi besar-
pe- misah itu adalah periode di antara Aristoteles di
besa- ran.140 Dikarenakan perbedaan di antara tradisi Yunani dan Cicero di Romawi.
Yunani yang dimotori oleh Aristoteles dengan tradisi
Romawi yang dimotori oleh Cicero cenderung sangat 3. Warisan Cicero (Romawi Kuno)
tajam, maka Charles Howard McIlwain menyatakan: Salah satu sumbangan penting filosof Romawi,
“We cannot hope to bridge the gap between the consti-
tutionalism of Aristotle and that of Cicero, but even the terutama setelah Cicero mengembangkan karyanya “De
most superficial comparison of the two will show that Re Publica” dan “De Legibus”, adalah pemikiran tentang
a gap is there, and a very wide one”.141 hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah
dikembangkan sebelumnya oleh para filosof Yunani.
Oleh karena lebarnya jurang di antara keduanya, Bagi para filosof Romawi, terutama Ulpian, Cicero
kita tidak mungkin berharap akan dapat menjembatani menjelas- kan sebagai berikut:
perbedaan antara gagasan konstitutionalisme “a ruler’s will actually is law, a command of the em-
Aristoteles dan konstitutionalisme Cicero. Bahkan, oleh peror in due form is a lex. Any imperial
constitution, like a senatus consultum, should have the
Dr. Carlyle dikatakan: place of a lex (legis vicem optineat), because the
“There is no change in political theory so startling in its Emperor himself receives his imperium by virtue of a
completeness as the change from the theory of lex (per legem).143
Aristotle to the later philosophical view represented
by Cicero and Seneca… We have ventured to suggest
that the divi- ding-line between the ancient and the Dengan perkataan lain, di sini jelas dan tegas sekali
modern political theory must be sought, if anywhere, dipakainya istilah lex yang kemudian menjadi kata kunci
in the periode bet- ween Aristotle and Cicero”.142 untuk memahami konsepsi politik dan hukum di zaman
Romawi kuno. Sebagaimana dikemukakan oleh Gaius
Tidak ada perubahan yang begitu mendasar dalam pada abad ke-2, “a lex is what the people orders and has
perkembangan teori politik dalam sejarah seperti peru- established”. Setelah 4 (empat) abad kemudian, a lex di-
bahan yang begitu menakjubkan dari pemikiran Aristo- definisikan sebagai “what the Roman people was accus-
teles ke pemikiran Cicero dan Seneca. Jika kita berusaha tomed to establish when initiated by a senatorial magis-
trate such as a consul”.144 Penggunaan perkataan lex
139
Berki, Op. Cit., hal. 75. itu nampaknya lebih luas cakupan maknanya daripada
140
Menurut R.N. Berki, “Cicero, of course, was first and foremost a prac- leges yang mempunyai arti yang lebih sempit. Konstitusi
tical statesman who played a leading role in the politics of the Roman mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar
Republic before the ascent of Caesar”. Ibid.
141
Ibid., hal. 43.
dan bah- kan di atas negara. Tidak seperti masa
142
Carlyle, A History of Medieval Political Theory in the West, I, hal. 8-9. sebelumnya, kon-
Bandingkan juga dalam R.N. Berki, Op. Cit.
143
Cicero, De Legibus, III, hal.12, dalam Charles Howard McIlwain, Op.
Cit.,
144
hal. 44.
Ibid.

101 102
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

stitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan


sia. Terhadap pandangan kaum Stoic mengenai hukum
bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan
alam yang bersifat universal itu, Cicero berpendapat:
sesuai dengan prinsip the higher law. Prinsip hierarki “There is in fact a true law – namely, right reason
hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya – which is in accordance with nature, applies to all
dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan. men, and is unchangeable and eternal. By its
Di samping itu, para filosof Romawi jugalah commands this law summons men to the
yang secara tegas membedakan dan memisahkan performance of their duties; by its prohibitions it
antara pe- ngertian hukum publik (jus publicum) dan restrains them from doing wrong. Its commands and
hukum pri- vaat (jus privatum),145 sesuatu hal baru prohibitions always influence good men, but are
yang belum di- kembangkan sebelumnya oleh para without effect upon the bad.”147
filosof Yunani. Bah- kan, perkataan jus dalam bahasa
Latin sendiripun tidak dikenal padanannya dalam Cicero juga menegaskan adanya “one common
bahasa Yunani Kuno seperti yang sudah dijelaskan di master and ruler of men, namely God, who is the author
atas. Biasanya keduanya di- bedakan dari sudut of this law, its interpreter, and its sponsor”. Tuhan, bagi
kepentingan yang dipertahankan. Hukum publik Cicero, tak ubahnya bagaikan Tuan dan Penguasa semua
membela kepentingan umum yang ter- cermin dalam manusia, serta merupakan Pengarang atau Penulis,
kepentingan “negara”, the civitas, sedang- kan hukum Pe- nafsir, dan Sponsor Hukum. Oleh karena itu,
privaat menyangkut kepentingan orang per- orang, that Cicero sa- ngat mengutamakan peranan hukum
which pertains to the utility of individuals. Namun dalam pemaha- mannya tentang persamaan antar
demikian, baik kepentingan umum maupun pri- vaat, umat manusia. Bagi- nya, konsepsi tentang manusia
sebenarnya tetap berkaitan dengan kepentingan tidak bisa dipandang hanya sebagai political animal
individu setiap warga negara. Seperti dikatakan oleh Ru- atau insan politik, me- lainkan lebih lebih utama
dolf van Ihering, hak-hak publik dan hak-hak privaat adalah kedudukannya sebagai legal animal atau insan
tidak dapat dibedakan satu sama lain (not distingui- hukum.148
shable). Subjek keduanya selalu persis sama, yaitu Selain itu, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik
me- nyangkut the natural person atau makhluk dari pengalaman sejarah konstitusionalisme Romawi
manusia. Perbedaan hakiki keduanya hanya terletak Kuno ini adalah Pertama, untuk memahami konsepsi
pada kenyata- an bahwa “private rights affect private yang sebenarnya tentang the spirit of our constitutional
individuals ex- clusively, while all the individual antecedents dalam sejarah, ilmu hukum haruslah di-
citizens alike parti- cipate in the public”146. pandang penting atau sekurang-kurangnya sama pen-
tingnya dibandingkan dengan sekedar perbincangan
Pemikiran politik Cicero didasarkan atas
me- ngenai materi hukum. Kedua, ilmu pengetahuan
penerima- annya yang kuat terhadap the Stoic universal
hukum yang dibedakan dari hukum sangat bercorak
law of na- ture yang merangkul dan mengikat seluruh
Romawi sesuai asal mula pertumbuhannya. Ketiga,
umat manu-
pusat perha- tian dan prinsip pokok yang dikembangkan
dalam ilmu hukum Romawi bukanlah the absolutism of
a prince se-

145 146
Ibid., hal. 47. Ibid.

103 104
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
147
Berki, Op.
Cit., hal.74.
148
Ibid.

103 104
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

bagaimana sering dibayangkan oleh banyak ahli, tetapi


4. Warisan Islam: Konstitusionalisme
justru terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa
dan Piagam
rak- yat merupakan sumber dari semua legitimasi ke-
Pada masa-masa selanjutnya, ketika bangsa Eropa
wenangan politik dalam satu negara.
berada dalam keadaan kegelapan yang biasa disebut se-
Dengan demikian, rakyatlah yang dalam perkem-
bagai abad-abad pertengahan, tidak banyak hal yang
bangan pemikiran Romawi dianggap sebagai sumber
dapat diuraikan sebagai inovasi dan perkembangan
yang hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan. Dicerita-
yang penting dalam hal ini. Namun, bersamaan dengan
kan dalam sejarah bahwa negara Yunani Kuno pernah
masa- masa suram di Eropa selama abad-abad
menjadi jajahan Romawi Kuno. Sebagai akibat penjaja-
pertengahan itu, di Timur Tengah tumbuh dan
han itu banyak dari kebudayaan Yunani ditiru oleh
berkembang pesat perada- ban baru di lingkungan
bang- sa Romawi, seperti ajaran tentang Polis dan
penganut ajaran Islam. Atas pe- ngaruh Nabi
ajaran ten- tang kedaulatan rakyat (Ecclesia).
Muhammad SAW, banyak sekali inovasi- inovasi baru
Namun, penerapannya kemudian ternyata tidak
dalam kehidupan umat manusia yang di- kembangkan
sama dengan ajaran asli yang dibawa dari Yunani, menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya
karena faktor keadaan dan sifat-sifat bangsa Romawi ialah penyusunan dan penandatanganan persetujuan
yang me- mang berlainan dengan Yunani. Melalui atau perjanjian bersama di antara kelom- pok-kelompok
ajaran kedaula- tan rakyat yang ditiru dari Yunani, penduduk kota Madinah untuk bersama- sama
orang Romawi me- nyusun pemerintahan dengan membangun struktur kehidupan bersama yang di
seorang Raja yang mem- punyai kekuasaan yang bersifat kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kene-
mutlak. Menurut orang Romawi pada zaman itu, pada garaan dalam pengertian modern sekarang. Naskah per-
suatu ketika rakyat me- ngadakan perjanjian dengan setujuan bersama itulah yang kemudian dikenal sebagai
Caesar yang kemudian diletakkan dalam Rex Regia. Piagam Madinah (Madinah Charter).
Dengan perjanjian tersebut, kekuasaan diakui Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam
telah berpindah secara mutlak dari tangan rakyat tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat
kepada Cae- sar (translatio empirii). Dikarenakan dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti
adanya translatio empirii itu, rakyat dianggap tidak modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan
dapat meminta per- tanggungjawaban Caesar lagi. Dari bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-
situ, lahirlah ajaran atau doktrin Caesarismus wakil pen- duduk kota Madinah tak lama setelah
beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota
(perwakilan mutlak berada di tangan Caesar) yang
Madinah sebelumnya, pa- da tahun 622 M. Para ahli
memunculkan semboyan, Princep Legibus Solutus Est,
menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai
Salus Publica Suprema Lex seperti telah dikemukakan
macam istilah yang berlainan satu sama lain.149
di atas.
149
Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai
Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad
Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Per-
bandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk,
(Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum

105 106
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Montgomery Watt menyebutnya The


dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah
Constitution of Medina, 150 Nicholson menyebutnya
(i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku
Charter, 151 Majid Khadduri menggunakan perkataan Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin
Treaty,152 Phillips K. Hitti menyebutnya Agreement,153 dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv)
dan Zainal Abidin Ah- mad memakai perkataan Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari
Piagam sebagai terjemahan kata al-shahifah.154 Nama Banu al- Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi
al-shahifah tahun 622 M ini merupakan nama yang dari Banu Al- Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr
disebut dalam naskah piagam itu sendiri. Kata ini ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum
bahkan disebut sebanyak delapan kali dalam teks Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu
piagam. 155 Perkataan charter sesungguhnya identik Sa’labah, dan
dengan piagam dalam bahasa Indonesia, sedang- kan (xiii) Banu Syuthaybah.
perkataan treaty dan agreement lebih berkenaan Secara keseluruhan, Piagam Madinah
dengan isi piagam atau charter itu. Namun fungsinya tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya,
sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan:
pedo- man kenegaraan menyebabkan piagam itu “Innahum ummatan wa- hidatan min duuni al-naas”
dapat dikatakan tepat juga untuk disebut sebagai (Sesungguhnya mereka ada- lah ummat yang satu, lain
konstitusi se- perti yang dilakukan oleh Montgomery dari (komunitas) manusia yang lain).156 Dalam Pasal 44
Watt ataupun yang dilakukan oleh Zainal Abidin ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam)
Ahmad seperti ter- sebut di atas. bahu membahu dalam meng- hadapi penyerang atas
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan
dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masya- “Kaum Yahudi memikul biaya ber- sama kamu
rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25
belas kelompok komunitas yang secara eksplisit menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf ada-
disebut lah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu mukminin
Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). Lihat juga agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dili- sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang
hat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri
Madinah
150
dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004). dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan
Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, (New York:
Oxford University Press, 1964), hal. 93. persatuan dalam kera- gaman tersebut demikian indah
151
R.A. Nicholson, A Literacy History of the Arabs, (New York: Cambridge dirumuskan dalam Pia- gam ini, sehingga dalam
University Press, 1969), hal. 173. menghadapi musuh yang mung- kin akan menyerang
152
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, (Baltimore: The kota Madinah, setiap warga kota di- tentukan harus
John Hopkins Press, 1955), hal. 4.
153
Phillips K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, (Mennesota: University of saling bahu membahu.
Minnesota Press, 1973), hal. 35. Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan
154
Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya
Tertulis yang Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). kebeba- san beragama. Bagi orang Yahudi sesuai
155
Sukardja, Op. Cit., hal. 2.
dengan agama

107 108
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

156
Ibid., hal. 47.

107 108
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

mereka, dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama


Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan
mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih
oleh empat khalifah pertama yang biasa dikenal dengan
tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum
sebu- tan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar
diinu- kum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku
ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
agama- ku) yang menggunakan perkataan “aku” atau
Pada masa Khalifatu al-Rasyidin itu, pergantian
“kami” ver- sus “kamu”. Dalam piagam digunakan
kepemimpinan dilakukan melalui sistem pemilihan, bu-
perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi
kan dengan sistem keturunan sebagaimana berlaku di
kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan
seluruh dunia dan di sepanjang sejarah umat manusia
Nabi. Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi
sebelumnya. Belum pernah ada preseden sebelumnya
ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya
dalam sejarah umat manusia, kepemimpinan suatu ne-
adalah:
gara ditentukan berdasarkan pemilihan seperti yang di-
“Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang
zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian)
praktikkan pada masa sepeninggal Muhammad SAW
aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali sebagai pemimpin negara. Sayangnya, tradisi ini tidak
orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin diteruskan oleh khalifah seterusnya sebagai akibat ku-
orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda deta berdarah atas Ali ibn Abi Thalib dan
Muhammad Rasulul- lah SAW)..157 kepemimpinan diteruskan oleh dinasti Ummaiyah yang
kembali ke tradisi hubungan darah seperti yang berlaku
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam sebelumnya dan dimana-mana di seluruh dunia ketika
Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi itu.
yang paling penting selama abad-abad pertengahan Namun demikian, meskipun sistem politik demok-
yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian rasi konstitusional yang dibangun relatif sebentar,
bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat tetapi pengaruhnya sangat penting bagi perkembangan
untuk bernegara de- ngan naskah perjanjian yang perada- ban umat manusia selanjutnya. Dunia Islam
dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam telah men- catatkan diri sejak masa paling awal sebagai
Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis sumber in- spirasi bagi perkembangan demokrasi di
pertama dalam sejarah umat manusia, meskipun kemudian hari. Prakarsanya untuk mengembangkan
dalam pengertiannya sebagai konstitusi mo- dern yang sistem pemilihan pemimpin secara demokratis dan
dikenal dewasa ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun penulisan piagam ber- sama sebagai dasar-dasar
1787-LAH yang pada umumnya dianggap sebagai kesepakatan antar segenap warga negara yang beraneka
konstitusi tertulis pertama. Peristiwa penandatangan ragam untuk hidup bersa- ma dalam satu wadah negara
Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai per- yang kemudian dikenal luas sebagai konstitusi,
kembangan yang paling modern di zamannya, merupakan dua hal penting yang menjadi ciri pokok
sehingga mempengaruhi berbagai tradisi kenegaraan negara demokrasi konstitusional di zaman modern
yang ber- kembang di kawasan yang dipengaruhi oleh sekarang.
peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa Sementara pada saat itu, peradaban bangsa Eropa
setelah Nabi sendiri dihinggapi oleh masa-masa kegelapan.
Meskipun demikian, bangsa Eropa di kemudian hari
juga tercatat mengembangkan hal-hal baru dalam
157
Ibid., hal. 57.
109 110
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
kehidupan kenega-

109 110
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

raan. Misalnya, di Eropa pada masa itu juga berkembang


dapat mengadakan perjanjian dengan golongan rakyat
suatu aliran yang disebut monarchomachen, yaitu aliran
yang membenci kekuasaan raja yang mutlak. tertentu karena raja memerlukan uang dalam jumlah
Untuk mencegah agar jangan sampai raja tidak tertentu, dan sebagai imbalannya golongan rakyat ter-
berbuat sewe- nang-wenang, maka kaum tentu memperoleh hak kenegaraan atau wewenang
monarchomachen ini meng- hendaki diadakannya untuk menyelenggarakan kepentingannya sendiri dalam
perjanjian antara raja dengan rak- yat dalam wila- yah kerajaan. Semua perjanjian-perjanjian
kedudukan yang sama tinggi dan sama ren- dah. tersebut dile- takkan dalam bentuk naskah yang ditulis.
Golongan yang terutama terdiri atas orang-orang Demikian pula dengan perjanjian yang melatar-
Calvinis ini menuntut pertanggungjawaban raja dan apa- belakangi terbentuknya Amerika Serikat pada abad ke-
bila perlu raja dapat saja dipecat dan bahkan 18. Para kolonis yang berasal dari Kerajaan Inggris, yang
dibunuh. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily karena perselisihan agama, mengungsi ke benua Ame-
Ibrahim, per- janjian itulah yang menghasilkan suatu rika. Sebagian besar kaum kolonis itu adalah
naskah yang di- sebut Leges Fundamentalis. 158 golongan Calvinis yang meyakini, menurut ajaran
Dalam Leges Fundamentalis ini ditetapkan adanya agama mereka, bahwa masyarakat Kristen dibentuk
hak dan kewajiban rakyat (Regnum) dan raja berdasarkan perjan- jian. Atas dasar itu mereka
(Rex).159 Dari sini terus terlihat bahwa lambat laun
mendirikan negara dan demikianlah ketika mereka
dalam per- kembangannya di kemudian hari,
masih berada dalam kapal Mayflower sebelum
perjanjian-perjanjian antara rakyat (Regnum) dan
pihak yang memerintah (Rex) mulai dinaskahkan mendarat di benua Amerika, mereka telah mengadakan
seperti yang dilakukan dengan Piagam Madinah perjanjian bersama untuk mendirikan negara. Perjanjian
tersebut di atas. Adapun tujuannya adalah untuk tersebut memang masih harus disah- kan oleh
memudahkan para pihak dalam menuntut haknya Kerajaan Inggris, tetapi setelah perjanjian ter- sebut
masing-masing, serta mengingatkan mereka ke- pada disahkan oleh Kerajaan Inggris maka selanjutnya
kewajiban yang harus dilaksanakan. Di samping itu, kedudukannya lebih tinggi dari pada undang-
penting untuk dicatat bahwa dengan dituliskan se- undang biasa.160
cara resmi dalam suatu naskah, orang tidak akan Di lingkungan dunia Islam sendiri, meskipun
melupakannya, karena semua orang dapat Piagam Madinah pada abad ke-7 disebut sebagai konsti-
mengetahui- nya dengan pasti dan terbuka. tusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia, kare-
Sebagai contoh adalah perjanjian yang dilakukan na terhentinya perkembangan peradaban umat Islam,
antara raja dengan para bangsawan di Inggris. Dalam di- lanjutkan oleh faktor penjajahan yang lama oleh
perjanjian itu ditetapkan bahwa raja dapat meminta bangsa- bangsa barat, tradisi konstitusionalisme yang
ban- tuan para bangsawan jika terjadi perang, dan telah tum- buh sebelumnya tidak mendapat kesempatan
sebaliknya para bangsawan berhak mendapat untuk ber- kembang lebih lanjut. Menurut Dr. Subhi R.
perlindungan dari raja jika perang dimenangkan oleh Mahmas- sani, konstitusi tertulis pertama dalam
raja. Raja juga dianggap bentuk naskah

158
159
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 63-64. 160
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 64.
Busroh, Op Cit., hal. 88.
111 112
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

undang-undang dasar baru terbentuk pada tahun 1839 di


di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi-organisasi
Turki Usmani. 161 Piagam konstitusi pertama itu
kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi bisnis,
diberi nama Khat Goulkhanah Syarif, dilanjutkan
perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia
dengan pia- gam konstitusi kedua pada tahun 1856
seperti misalnya Perkumpulan ASEAN, European Com-
dengan nama Khat Humayun.
munities, World Trade Organization, Perserikatan Bang-
Kemudian pada tahun 1876 lahirlah Konstitusi
sa-Bangsa, dan sebagainya, semuanya membutuhkan
Usmani yang diberi nama al-Masyrutiyah al-Ula atau
do- kumen dasar yang disebut konstitusi. Kebutuhan
Undang-Undang Dasar Pertama. Al-Masyrutiyah al-Ula
akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu
ini pernah dibekukan pada tahun 1878 dan kemudian di-
yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk
berlakukan kembali pada tahun 1908 dengan nama
ba- dan hukum (legal body, rechtspersoon).
al- Masyrutiyah al-Saniyah atau Undang-Undang
Sebagai contoh, akhir-akhir ini di tengah wacana
Dasar Kedua. Konstitusi dari masa Dinasti Usmani ini
mengenai organisasi badan hukum di Indonesia, muncul
berakhir masa berlakunya dengan lenyapnya
bentuk badan hukum baru yang dinamakan Badan
kekhalifahan, yaitu dengan terbentuknya Konstitusi
Hu- kum Milik Negara (BHMN) seperti misalnya yang
Turki yang diprakarsai oleh Kemal Ataturk pada
dikait- kan dengan status hukum perguruan tinggi
tahun 1924. 162 Di samping penggunaan istilah al-
negeri ter- tentu.164 Sebagai badan hukum, maka setiap
Masyrutiyah itu, untuk pengertian undang-undang
perguruan tinggi yang bersangkutan memerlukan
dasar itu di dunia Arab dewasa ini di- kenal pula
dokumen Angga- ran Dasar tersendiri sebagai
adanya istilah al-Dustur dan istilah al-Qanun al-Asasi.
konstitusi seperti sebagai- mana halnya badan-badan
Semua istilah ini dipakai untuk menunjuk kepada
hukum lainnya, seperti yaya- san atau stichting
pengertian undang-undang dasar sebagai konsti- tusi
(Belanda) atau stiftung (Jerman), per- kumpulan
dalam arti tertulis.
(vereeniging), organisasi kemasyarakatan, dan partai
5. Gagasan Modern: Terminologi Konstitusi politik. Di dunia usaha juga dikenal adanya bentuk
badan hukum yang berupa perusahaan, yaitu
Menurut Brian Thompson, secara sederhana perta-
perseroan terbatas, koperasi atau Badan Usaha Milik
nyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa “…
Negara (BUMN) dan juga Badan Usaha Milik Daerah
a constitution is a document which contains the rules
(BUMD). Semua bentuk badan hukum usaha tersebut
for the operation of an organization”.163Organisasi
selalu memerlukan Anggaran Dasar yang biasanya
dimak- sud beragam bentuk dan kompleksitas
juga dilengkapi dengan Anggaran Rumah Tangga.
strukturnya, mu- lai dari organisasi mahasiswa,
Anggaran Dasar badan hukum itulah yang pada
perkumpulan masyarakat
pokoknya dapat dikatakan berfungsi sebagai
161
konstitusinya.
Subhi Rajab Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia: Studi
Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern,
terjemahan Hasanuddin dari Arkan al-Huquq al-Insan, cetakan-1, (Jakarta: 164
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Penetapan
Tintamas, 1993), hal. 26-27.
162
Ibid., hal. 27. Universitas Pendidikan Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Negara,
163
Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2004 bertanggal 30
edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hal. 3. Januari 2004 (LN Nomor 13 Tahun 2004). Cermati juga perkembangan dari
RUU Badan Hukum Pendidikan yang sedang dibahas di parlemen.

113 114
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Demikian pula Negara, pada umumnya, selalu me- hubungan organ-organ negara itu dengan warga ne-
miliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau gara).
Un- dang-Undang Dasar. Dalam pengertian modern,
negara pertama yang dapat dikatakan menyusun Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu
konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan,
sekarang ini adalah Amerika Serikat (United States dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan)
of America) pada tahun 1787. 165 Sejak itu, hampir yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ
semua negara menyusun naskah undang-undang negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara
dasarnya. Beberapa negara yang dianggap sampai itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara ter-
sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis sebut dengan warga negara.
yang disebut Undang-Undang Dasar yaitu Inggris, Israel, Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan
dan Saudi Arabia.166 Undang-Undang Da- sar di ketiga sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri
negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi se-
menjadi konstitusi dalam pengalaman praktik bagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D.
ketatanegaraan.167 Duchacek, adalah “identify the sources, purposes,
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya uses and restraints of public power”169
konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan,
yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and penggunaan-pengguna- an, dan pembatasan-
Jackson sebagai: pembatasan kekuasaan umum). Oleh karena itu,
“a body of laws, customs and conventions that pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap
define the composition and powers of the organs of
merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh
the State and that regulate the relations of the
various State organs to one another and to the private sebab itu pula, konstitutionalisme, seperti dike-
citizen”.168 (Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan- mukakan oleh Friedrich, didefinisikan sebagai “an insti-
kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan tutionalised system of effective, regularised restraints
organ-organ negara dan yang mengatur hubungan- upon governmental action”. 170 Dalam pengertian demi-
hubungan di antara berbagai organ negara itu satu kian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap
sama lain, serta konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.171
165
Hal tersebut terjadi kurang lebih 11 tahun sejak kemerdekaan Amerika
Serikat setelah dideklarasikannya pada tanggal 4 Juli 1776. Lihat juga Bagir
Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Ban- 169
Ivo D. Duchacek, “Constitution and Constitutionalism” dalam Bogdanor,
dung:
166
CV. Mandar Maju, 1995), hal. 2. Vernon (ed), Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, (Oxford:
Sementara ini, beberapa sarjana ada juga yang berpendapat bahwa Arab
Saudi telah memiliki satu Konstitusi tertulis, yaitu naskah yang dibuat dan Blackwell,
170
1987), hal. 142.
Friedrich, C.J., Man and His Government, (New York: McGraw-Hill,
disandarkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist. 1963), hal. 217.
167
Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson 171
Lihat dan bandingkan juga pendapat Padmo Wahjono mengenai pemba-
tentang Konstitusi Inggris, “In other words the British constitution was not
tasan kekuasaan dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indone-
made, rather it has grown”. Op. Cit., hal. 5.
168 sia Dewasa ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 10.
Phillips, Op. Cit., hal. 5.

115 116
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar


konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901),
yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
kon- stitusi tertulis merupakan:
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika “The instrument in which a constitution is
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka embodied proceeds from a source different from
sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang that whence spring other laws, is regulated in a
berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja different way, and exerts a sovereign force. It is
yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. enacted not by the ordi- nary legislative authority
Hal ini- lah yang disebut oleh para ahli sebagai but by some higher and spe- cially empowered body.
constituent power yang merupakan kewenangan yang When any of its provisions con- flict with the
berada di luar dan se- kaligus di atas sistem yang provisions of the ordinary law, it prevails and the
diaturnya. 172 Untuk itu, di lingkungan negara-negara ordinary law must give way”.173
demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan
berlakunya suatu konstitusi. Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa,
rakyat tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi
misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di
di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak dalamnya berten- tangan dengan norma hukum yang
lang- sung melalui lembaga perwakilan rakyat. Cara terdapat dalam un- dang-undang, maka ketentuan
tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika undang-undang dasar itu- lah yang berlaku, sedangkan
Serikat de- ngan cara menambahkan naskah undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it
perubahan Undang- Undang Dasar secara terpisah dari prevails and the ordi- nary law must give way).
naskah aslinya. Mes- kipun dalam pembukaan Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian
Konstitusi Amerika Serikat (preamble) terdapat constituent power berkaitan dengan pengertian hierarki
perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan
sesungguhnya adalah sistem perwaki- lan, yang hukum yang paling tinggi serta paling fundamental
pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber
convention) dan kemudian disetujui oleh wakil- wakil legitimasi atau lan- dasan otorisasi bentuk-bentuk
rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
didirikan bersama. Sesuai dengan prinsip hu- kum yang berlaku universal,
Dalam hubungan dengan pengertian constituent maka agar peraturan-pera- turan yang tingkatannya
power tersebut di atas, muncul pula pengertian consti- berada di bawah undang-un- dang dasar dapat berlaku
tuent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap se- dan diberlakukan, peraturan- peraturan itu tidak boleh
bagai constituent act, bukan produk peraturan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Atas
legislative yang biasa (ordinary legislative act). dasar logika demikian, maka Mah- kamah Agung
Constituent power mendahului konstitusi, dan Amerika Serikat menganggap dirinya me- miliki
konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur kewenangan untuk menafsirkan dan menguji ma-
dan dibentuk berdasarkan
172
Lihat misalnya Thompson, Op. Cit., hal. 5.

117 118
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
173
J. Bryce, Studies in History and
Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford:
Clarendon Press, 1901), hal. 151.

117 118
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

teri peraturan produk legislatif (judicial review)


pernah dipakai istilah staatsregeling. Namun, atas
ter- hadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi
pra- karsa Gijsbert Karel van Hogendorp pada tahun
Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan
1813, istilah grondwet dipakai untuk menggantikan
demikian kepada Mahkamah Agung (The Supreme
istilah staatsregeling.177
Court).174 Dalam kamus Oxford Dictionary of Law, perkataan
constitution diartikan sebagai:
“the rules and practices that determine the composition
B. Arti dan Pengertian Konstitusi and functions of the organs of the central and local go-
Seperti dikemukakan di atas, istilah konstitusi vernment in a state and regulate the relationship
bet- ween individual and the state”.178
itu sendiri pada mulanya berasal dari perkataan
bahasa Latin, constitutio yang berkaitan dengan kata jus
Artinya, (i) yang dinamakan konstitusi itu tidak
atau ius yang berarti hukum atau prinsip. 175 Di zaman
modern, bahasa yang biasa dijadikan sumber rujukan saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yang dipraktik-
kan dalam kegiatan penyelenggaraan negara; dan (ii)
mengenai istilah ini adalah Inggris, Jerman, Perancis,
yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ ne-
Italia, dan Belanda. 176 Untuk pengertian constitution
gara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat
dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan
pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah (local
antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa
government), tetapi juga mekanisme hubungan antara
Jerman membedakan antara verfassung dan
negara atau organ negara itu dengan warga negara.
gerundgesetz. Malah dibedakan pula antara
Namun demikian, dalam beberapa literatur hukum
gerundrecht dan gerundgesetz seperti antara grondrecht
tata negara, arti konstitusi itu kadang-kadang
dan grondwet dalam bahasa Belanda.
dirumus- kan sebagai perspektif mengenai konsepsi
Demikian pula dalam bahasa Perancis dibedakan
konstitusi yang dibedakan dari arti perkataan konstitusi
antara Droit Constitutionnel dan Loi Constitutionnel.
itu sendiri. Arti perkataan konstitusi itu sendiri telah
Istilah yang pertama identik dengan pengertian konsti-
diuraikan da- lam Bab II Buku ini, sehingga tidak perlu
tusi, sedang yang kedua adalah undang-undang dasar
diuraikan lagi dalam bab ini. Akan tetapi, yang akan
dalam arti yang tertuang dalam naskah tertulis. Untuk
diuraikan di sini adalah perspektif mengenai konsepsi
pengertian konstitusi dalam arti undang-undang dasar,
tentang konstitusi yang biasa disebut sebagai konstitusi
sebelum dipakainya istilah grondwet, di Belanda juga
dalam arti-arti ter- tentu. Dalam hubungan ini, menurut
Profesor Djokosoe- tono dalam kuliah-kuliah yang
174
Lihat kasus Marbury versus Madison (1803) 5-US, 1 Cranch, 137, dalam diberikannya pada tahun- tahun 1950-an, sebagaimana
Thompson, Op. Cit., hal. 5.
175 dihimpun oleh Profesor Ha- run Alrasid, ada tiga arti
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:
Konpres, 2005), hal. 1. yang dapat diberikan kepada
176
Bandingkan dengan pendapat Solly Lubis yang menyatakan bahwa istilah
konstitusi berasal dari perkataan Perancis constituer. Lihat Asas-Asas 177
Sri Soemantri Matosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konsti-
Hukum Tata Negara, cet-2, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 44. Sedangkan tusi, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 1-2 dan hal. 9-10.
178
Sri Soe- mantri Martosoewignjo menyatakan bahwa istilah konstitusi itu Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, (Oxford University Press,
berasal dari perkataan Inggris constitution, lihat Pengantar Perbandingan 2003), hal. 108.
Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 62.

119 120
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

konsepsi konstitusi. Ketiganya yaitu (i) Konstitusi dalam


atau mutualismus yang merupakan gejala kegotongro-
arti materiel (Constitutite in Materiele Zin), (ii) Kon-
yongan dalam bekerja saling tolong menolong antar
stitusi dalam arti formil (Constitutite in Formele Zin),
orang perorang dengan harapan di masa yang akan da-
dan (iii) Konstitusi dalam arti yang di
tang akan mendapatkan balasan yang setimpal.
dokumentasikan untuk kepentingan pembuktian dan
Leon Duguit dikenal pula dengan pendapatnya
kesatuan rujukan (Constitutite in gedocumenteerd
bahwa yang sesungguhnya berdaulat itu bukanlah hu-
voor bewijsbaar en stabiliteit).179
kum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang,
melainkan yang terjelma dalam sociale solidariteit (soli-
Pandangan beberapa sarjana mengenai konstitusi
darite sociale). Dalam hubungan ini, Hans Kelsen me-
dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Beberapa
nyatakan:
con- toh di antaranya dapat dikemukakan di bawah ini. “Consequently, any act or fact the result of which
is positive law – be it legislation or custom – is not
1. Leon Duguit (Traite de Droit Constitutionnel) true creation of law but a declaratory statement
Leon Duguit adalah seorang sarjana Perancis (consta- tation) or mere evidence of the rule of law
yang terkenal luas karya-karyanya di bidang sosiologi previously created by social solidarity”181.
hukum. Dalam bukunya “Traite de Droit
Constitutionnel”, Du- guit memandang negara dari Doktrin inilah yang kemudian mempengaruhi
fungsi sosialnya (der leer van de sociale functie). perumusan Pasal 38 Statuta Permanent Court of Inter-
Pemikiran yang dikembang- kannya dapat dikatakan national Justice yang memberikan wewenang kepada
sangat dipengaruhi oleh aliran sosiologi yang pe- ngadilan untuk menerapkan customary
diprakarsai oleh Auguste Comte, sehingga perspektif international law. Pasal 38 itu antara lain menyatakan,
yang dibangunnya dalam memahami hukum tata “The Court shall apply international custom, as
negara sangat sosiologis sifatnya (rechts-sociolo- evidence of a ge-
gisch beschowing). Baginya, hukum merupakan neral practice accepted as law”. 182 Pengadilan
penjel- maan de facto dari ikatan solidaritas sosial mem- berlakukan kebiasaan internasional sebagai
yang nyata. Seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen, alat bukti hukum karena alasan sudah menjadi
bagi Leon Duguit dan pengikutnya, “the true, i.e. the praktik yang ber- laku umum.
‘objective’ law (droit objectif) is implied by the social Oleh karena itu, menurut pendapatnya, yang sung-
solidarity”. 180 Solidariteit atau solidarite sociale itu guh-sungguh harus ditaati justru adalah droit sociale
sendiri menurut- nya, mencakup pengertian (i) atau sociale recht itu, bukan undang-undang yang
onderling hulpbetoon atau solidarismus yang hanya mencerminkan sekelompok orang yang kuat dan
merupakan gejala kegotongroyongan dalam bekerja ber- kuasa, yang cenderung menguasai dan bahkan
untuk kepentingan umum tanpa meng- harapkan menjajah orang-orang yang lemah dan tidak berkuasa.
imbal jasa, dan (ii) wederkerige hulpbetoon Oleh karena itu, tugas legislator bukanlah membentuk
undang-un-

179
Djokosoetono, Op. Cit.
180
Leon Duguit, L’Etat, Le Droit Objectif et la Loi Positive (1901), hal. 616, 181
Ibid.
dalam Kelsen, Op. Cit., hal. 127. 182
Ibid.
121 122
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dang dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya


tingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Di sam-
menemukan dan menetapkan norma-norma hukum
ping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan
(le- gal norms) yang sebelumnya memang sudah ada
politik yang nyata dalam masyarakat (de reele machts-
dan hidup (living norms) dalam kehidupan
factoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang
masyarakat. De- ngan demikian, konstitusi bukanlah
tertulis di atas kertas undang-undang dasar mengenai
sekedar memuat norma-norma dasar tentang struktur
lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, dan sendi-
negara, tetapi bah- wa struktur negara yang diatur
sen- di dasar pemerintahan negara.
dalam konstitusi itu me- mang sungguh-sungguh
terdapat dalam kenyataan hidup masyarakat sebagai de 4. Pandangan Hermann Heller (Staatslehre)
reele machtsfactoren atau faktor- faktor kekuatan riel
Dalam bukunya “Staatsrecht”, Profesor Hermann
yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.183 Heller dikenal mengembangkan metode mendapatkan
pengetahuan yang dinamakan methode van kennis
3. Ferdinand Lasalle (Uber Verfassungswessen)
verk- rijging. Di dalam bukunya ini, Hermann Heller
Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya
menge- mukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu:
“Uber Verfassungswessen” (1862), membagi konstitusi
(i) Die politische verfassung als gesellschaftlich
dalam dua pengertian, yaitu:184
wirk- lichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis
(i) Pengertian sosiologis dan politis (sociologische dan so- siologis sebagai cermin kehidupan sosial-
atau politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai politik yang nyata dalam masyarakat;
sin- tesis antara faktor-faktor kekuatan politik (ii) Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi
yang nyata dalam masyarakat (de reele dilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan
machtsfactoren), yaitu misalnya raja, parlemen, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
kabinet, kelompok- kelompok penekan (preassure (iii) Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang ter-
groups), partai poli- tik, dan sebagainya. Dinamika tulis dalam suatu naskah undang-undang dasar se-
hubungan di antara kekuatan-kekuatan politik bagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam
yang nyata itulah sebe- narnya apa yang dipahami suatu negara.
sebagai konstitusi;
(ii) Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar
dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat politis,
ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah
sendi-sendi pemerintahan negara. merupa- kan salah satu bentuk atau sebagian saja dari
pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi
Ferdinand Lasalle ini sangat dipengaruhi oleh ali- yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di
ran pikiran kodifikasi, sehingga sangat menekankan samping konstitu- si yang tertulis itu, segala nilai-nilai
pen- normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas,
juga termasuk ke da- lam pengertian konstitusi yang
183
Djokosoetono, Op. Cit. Lihat juga Busroh, Op Cit., hal. 96. luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya
184
Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, “Verfassungslehre”, Hermann
(Leiden: A.W: Sijthoff)

123 124
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan,


gaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran
yaitu:
kodifikasi. Di samping undang-undang dasar yang tertu-
1) Konstitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada
lis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup da-
ting- kat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam
lam kesadaran hukum masyarakat.
pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional
dikembangkan karena memang mencerminkan
5. Pandangan Carl Schmitt (Verfassungslehre)
keadaan sosial poli- tik dalam masyarakat yang
Menurut Carl Schmitt, dalam bukunya, “Verfas-
bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap
sungslehre”, konstitusi dapat dipahami dalam 4 (empat)
ini dapat digambarkan se- bagai kesepakatan-
kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam kelompok pengertian. Keempat kelompok pengertian itu
bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan adalah: (a) konstitusi dalam arti absolut (absoluter
dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif ver- fassungsbegriff), (b) konstitusi dalam arti relatif
warga masyarakat; (relati- ver verfassungsbegriff), (c) konstitusi dalam
2) Konstitusi dalam pengertian Hukum. Pada tahap ke- arti positif (der positive verfassungsbegriff), dan (d)
dua ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum ter- konstitusi da- lam arti ideal (idealbegriff der
tentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut verfassung).185
pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi Keempat kelompok pengertian tersebut dapat di-
da- lam pengertian sosial-politik yang dilihat sebagai rinci lagi menjadi 8 (delapan) pengertian, yaitu (1) Kon-
ke- nyataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku stitusi dalam arti absolut (Absolute Verfassungsbegriff).
da- lam kenyataan. Oleh karena itu, setiap Dalam arti absolute, arti konstitusi dapat
pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai dibedakan dalam 4 (empat) macam, yaitu: (i) konstitusi
ancaman sanksi yang pasti; sebagai cer- min dari de reaale machtsfactoren, (ii)
3) Konstitusi dalam pengertian Peraturan Tertulis. Pe- Konstitusi dalam arti absolut sebagai forma-formarum
ngertian yang terakhir ini merupakan tahap terakhir (vorm der vor- men), (iii) konstitusi dalam arti
atau yang tertinggi dalam perkembangan pengertian absolut sebagai factor integratie, (iv) konstitusi
rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat
dalam arti absolut sebagai norma-normarum (norm
penga- ruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar
der normen); (2) Konstitusi dalam arti relatif
berba- gai norma hukum dapat dituliskan dalam
(Relatieve Verfassungsbegriff) yang dapat dibagi lagi
naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk
maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi menjadi 2 (dua), yaitu (v) konstitusi dalam arti
hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hukum materiel (Constitutite in Materiele Zin) dan
(rechtsve- reenvoudiging), dan kepastian hukum (vi) konstitusi dalam arti formil (Constitutite in Formele
(rechtszeker- heid). Zin); Sedangkan dua arti yang terakhir adalah (3)
Konsti-
Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak
dapat dipersempit maknanya hanya sebagai undang-un- 185
Mengenai hal ini baca selengkapnya himpunan perkuliahan Profesor
dang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis seba-
Djokosoetono, Op Cit. Lihat juga Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit.; Busroh,
Op. Cit.; Ismail Suny, Padmo Wahyono, Sri Soemantri, dan penulis lainnya
yang mengikuti kuliah-kuliah Profesor Djokosoetono ataupun cucu-cucu
125 126
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
muridnya.

125 126
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tusi dalam arti positif (Positieve Verfassungsbegriff)


mencakup semua bangunan hukum dan semua
sebagai konstitusi dalam arti yang ke-7, dan (vii) kon- organi- sasi-organisasi yang ada di dalam negara. 187
stitusi dalam arti ideal (Idealbegriff der verfassung) se- 2) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas-
bagai konstitusi dalam arti yang ke-8 (viii). sungsbegriff) sebagai forma-formarum (vorm der
Kedelapan arti konstitusi menurut Profesor Carl vormen)
Schmitt tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: Konstitusi pada pokoknya dapat dilihat sebagai
1) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas- vorm atau bentuk dalam arti ia mengandung ide tentang
sungsbegriff) sebagai cermin dari de reele machts- bentuk negara, yaitu bentuk yang melahirkan bentuk
factoren lainnya atau vorm der vormen, forma-formarum. Ben-
Konstitusi pada pokoknya dapat dipahami sebagai tuk negara yang dimaksud di sini adalah negara dalam
sekumpulan norma-norma hukum dasar yang terbentuk arti keseluruhannya (sein ganzheit), yang dapat berben-
dari pengaruh-pengaruh antar berbagai faktor tuk demokrasi yang bersendikan identitas atau berben-
kekuasaan yang nyata (de reele machtsfactoren) dalam tuk monarki yang bersendikan representasi. Dalam kai-
suatu ne- gara. Berbagai faktor kekuasaan yang nyata itu tan ini, ada 3 (tiga) asas (staatsprincipe) yang dapat di-
adalah raja, pemerintah/kabinet, parlemen, partai- tarik dari pengertian demikian, yaitu (i) principe van de
partai politik, kelompok penekan (pressure groups) staatsvorm, asas dari bentuk negara; (ii) principe van
atau kelompok kepentingan, pers, lembaga peradilan, en uit de staatsvorm, yaitu asas dari atau yang timbul
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi dari bentuk negara; dan (iii) regeringsprincipe atau asas
kekuasaan negara lain- nya, dan semua organisasi yang pemerintahan.
ada dalam negara yang bersangkutan. Asas bentuk negara (principe van staatsvorm)
Dengan perkataan lain, semua kekuatan politik mencakup prinsip kesamaan atau identiteit dan repre-
yang ada dalam negara itu secara nyata sentatie. Identiteit merupakan asas-asas yang berhu-
mempengaruhi terbentuknya norma-norma dasar yang bungan dengan bentuk demokrasi, di mana bagi rakyat
kemudian ter- susun menjadi apa yang disebut yang memerintah dan yang diperintah berlaku prinsip
sebagai konstitusi itu. Oleh karena itu, seperti dalam persamaan identitas atau identik satu sama lain. Se-
pandangan Ferdinand Lassalle, 186 konstitusi itu
menggambarkan hubungan- hubungan antar faktor- 187
Carl Schmitt, Verfassungslehre, (Berlin unverandester neudruk: Duncker
faktor kekuasaan yang nyata (de riele machts & Humbolt, 1957), hal. 4. Vervassung ist der konkrete Gesamtzustand poli-
factoren) dalam dinamika kehidupan ber- negara. Di tischer Einheit und sozialer Ordnung eines bestimmmten Staats. Zu jedem
dalam pengertian pertama ini, konstitusi di- anggap Staat gehoren politische Einheit und soziale Ordnung, irgendwelche Prin-
zipien der Einheit und Ordnung, irgendiene im kritischen Falle bei interes-
sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang seb und Machtkonflikten maszgebende Entscheuidungsintanz. Diesen
Gesamtzustand politischer Einheit und sozialer Ordnung kann man Ver-
fassung nennen. Der Staat wurde aufhoren zu existieren, wenn diese Verfas-
sung, d.h. diese Einheit and Ordnung aufhorte. Diese Verfassung ist eine
186
Lihat dan bandingkan lebih lanjut pandangan dari Ferdinand Lassalle “Seele”, sein konkretes heben und seine individuelle Existenz. Lihat juga
dalam Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Azas-Azas Hukum Tata Georg Jellinek, Allgemeine Staatslehre, hal. 491, menyebutkan: “die Ver-
Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hal. 73. fassung Als eine Ordnung, der gemasz der staatliche Wille sich bildet”.

127 128
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dangkan, representatie atau perwakilan merupakan asas


theory), integrasi itu sendiri dapat dibedakan ke
yang berhubungan dengan prinsip bahwa yang me-
dalam tiga macam, yaitu (i) persoonlijke integratie,
merintah dipandang sebagai wakil dari rakyat (repre-
(ii) zake- lijke integratie, dan (iii) functioneele
sentant van het volk).
integratie. Per- soonlijke integratie mengandaikan
Mengapa dalam demokrasi terdapat sendi
jabatan kepemim- pinan sebagai faktor integrasi,
identi- tas dan dalam monarki terdapat sendi
misalnya, presiden. Sedangkan dalam zakelijke
representasi? Demokrasi, baik langsung maupun tidak
integratie, yang menjadi fak- tor penentu adalah hal-
langsung, ber- sendi pada rakyat yang memerintah
hal yang objektif dan zakelijk, bukan yang bersifat
dirinya sendiri, se- hingga antara yang memerintah
subjektif atau persoonlijk. Misalnya, dikatakan bahwa
dan yang diperintah bersifat identik yaitu sama-
bangsa Indonesia dipersatukan di ba- wah satu
sama rakyat. Dalam mo- narki, asas yang dipakai
kesatuan sistem konstitusi berdasarkan UUD 1945,
adalah representasi karena baik raja maupun kepala
sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of
negara dalam negara yang demok- ratis hanya
man. Bangsa Indonesia juga dipersatukan sebagai bang-
merupakan wakil atau mandataris dari rak- yat, karena
sa oleh satu bahasa persatuan atau bahasa nasional, yaitu
pada dasarnya kekuasaan itu ada pada rak- yat dan
bahasa Indonesia. Sementara itu, integrasi
berasal dari rakyat.188
fungsional (functioneele integratie) adalah faktor
Sementara itu, asas dari atau yang timbul dari ben-
integrasi yang bersifat fungsional, baik dalam arti
tuk negara (principe van en uit de staatsvorm) menca-
yang konkrit atau dalam arti yang abstrak.
kup asas-asas dari bentuk negara (principe van de Dalam arti fungsional yang konkrit, misalnya, in-
staatsvorm) dan asas atau sendi-sendi dasar tertib ne- tegrasi melalui pemilihan umum (pemilu) atau referen-
gara (principe uit de staatsvorm). Menurut Carl dum yang mempersatukan perhatian segenap warga ne-
Schmitt, para sarjana klasik dan modern seperti gara ke arah satu tujuan, yaitu menentukan pilihan po-
tercermin dalam pandangan Arsitoteles dan Hans litik mengenai siapa yang akan ditetapkan duduk men-
Kelsen, sama-sama me- mandang pentingnya prinsip jadi wakil rakyat atau pejabat publik tertentu. Sedang-
kebebasan (vrijheid, free- dom) dan persamaan kan, integrasi yang bersifat abstrak dan simbolis, misal-
(gelijkheid, equality) sebagai san- daran bagi sistem nya, adalah bendera dan lambang garuda Pancasila yang
demokrasi modern. dapat pula berfungsi sebagai faktor integrasi fungsional
3) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas- (functioneele integratie).
sungsbegriff) sebagai factor integratie 4) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas-
Menurut Rudolf Smend, konstitusi juga dapat dili- sungsbegriff) sebagai norma-normarum (norm der
hat sebagai faktor integrasi. Secara teoritis (integration normen)
Dengan mendasarkan diri pada teori stuffenbau
188
Carl Schmitt, Op. Cit, hal. 4-5, "Vervassung ist eine besondere Art poli- des rechts yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, Carl
ticher und sozialer Ordnung Verfassung bedentet hier diekonkrete Art der Schmitt menyatakan bahwa norma dasar (gerund
Uber und Unterordnung, wiel cs in der sozialer Wirklichkeit keine Ordnung
ohne Uber und Unterordnung gibt. Hier ist Verfassung die besondere Form norm) adalah norma yang menjadi dasar bagi terbentuk
der Herrschaft, die zu jedem Staat gehort und von seiner pilitschen Ex~sl mz dan berlakunya norma hukum lainnya. Suatu norma
nicht zu trennen ist, Z.B. Monarchie, Aristokratie oder Demokratie, oder wie berlaku karena didasarkan atas norma yang lebih tinggi,
man die Staatformen ein teilen will" Verfassung is hier ist Staatsform. dan

129 130
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

demikian seterusnya sampai ke norma yang paling


tinggi yaitu gerund norm. Oleh karena itu, setiap norma
6) Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve
diben- tuk oleh norma yang lebih tinggi, norma-
Verfassungs- begriff) sebagai konstitusi dalam Arti
normarum atau norm der normen. Berhubung dengan
Formil (Consti- tutie in Formele Zin)
itu, norma dasar yang tertinggi berfungsi sebagai
Mengingat adanya konstitusi dalam arti formil
ursprung atau tempat asal mulanya norma diturunkan,
(constitutie in formele zin), maka dapat diajukan per-
sehingga gerund norm itu disebut juga dengan
ursprungsnorm atau norma asal. Di pihak lain, gerund tanyaan apakah yang dimaksud dengan konstitusi
norm itu sendiri pada pokoknya juga merupakan dalam arti materiil (constitutie in materiele zin)?
bentukan normatif yang bersifat hipo- tesis. Untuk itu, Konstitusi dalam arti materiil adalah konstitusi yang
gerund norm biasa disebut juga dengan hypothetisch dilihat dari segi isinya. Isi konstitusi itu menyangkut
norm. hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan
5) Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve negara. Karena pentingnya hal-hal yang bersifat dasar
Verfassungs- begriff) sebagai konstitusi dalam Arti atau pokok bagi rakyat dan negara tersebut, maka untuk
Materiel (Con- stitutite in Materiele Zin) membuat kon- stitusi itu diperlukan prosedur yang
Konstitusi dalam arti relatif dimaksudkan khusus. Prosedur khusus itu dapat dilakukan sepihak,
sebagai konstitusi yang terkait dengan kepentingan dua pihak, atau banyak pihak. Prosedur itu dilakukan
golongan- golongan tertentu dalam masyarakat sepihak karena ia merupakan kehendak dari satu orang
(proces relative- ring).189 Golongan dimaksud terutama yang menamakan dirinya eksponen dari rakyat atau
adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki seorang diktator. Bisa juga dilakukan oleh dua pihak
adanya jaminan su- paya hak-haknya tidak dilanggar karena Konstitusi me- rupakan hasil persetujuan dari
oleh penguasa. Jami- nan itu diletakkan dalam dua golongan dalam masyarakat yaitu misalnya antara
Undang-Undang Dasar yang ditulis sehingga orang rakyat di satu pihak dan Raja di lain pihak pada zaman
tidak mudah melupakannya dan juga tidak mudah abad pertengahan. Sedangkan, bisa banyak pihak
hilang serta dapat dijadikan alat bukti (bewijsbaar) dikarenakan Konstitusi itu merupakan hasil
apabila seseorang memerlukannya. Dalam arti yang persetujuan dari banyak pihak yaitu antara wakil-wakil
kedua ini, konstitusi dapat pula dibagi lagi ke dalam rakyat yang duduk dalam suatu badan yang bertugas
dua sub pengertian yakni (i) konstitusi sebagai membuat Konstitusi (badan Konstitusi).
tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak- Hasil dari persetujuan atau perjanjian itu di-
haknya dijamin tidak dilanggar oleh penguasa, dan (ii) letakkan dalam suatu naskah tertulis. Di sinilah muncul
konstitusi dalam arti formil atau konstitusi yang tertulis. pengertian yang sama antara konstitusi dalam arti
formil (constitutite in formele zin) dan konstitusi dalam
189
arti tertulis (gedocumenteerd constitutie). Padahal, ke-
Ibid., hal. 11. “Die Relatieverung des Verfassungsbegrieffes besteht
hochster und letzter Normen bedaulen (Verfassung ist Norm der Normen). duanya berbeda satu dengan yang lain, karena
darin, dasz statt der einheitlichen Verfassung in Ganzen nur das einzefne konstitusi dalam arti formil (constitutie in materiele
Verfassungsgestz, der Begriff des Verfassungs geselzes aber nach ausz zin) itu pada
Emlichen und nebensachlichen, sog formalen Kenn-Zeichen bestimmt wird.”

131 132
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

pokoknya tidak selalu dalam bentuk yang tertulis.


menter.
Dalam pengertian konstitusi dalam arti formil, yang Dalam hubungannya dengan Konstitusi pada arti
terpenting adalah prosedur pembentukan konstitusi positif atau the positive meaning of the constitution,
yang harus dilakukan secara khusus. Kekhususan maka ajaran Profesor Carl Schmitt ini dapat pula di-
konstitusi me- rupakan keniscayaan, karena isi terapkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di
konstitusi itu sendiri diakui sangatlah penting dan Indonesia. Misalnya, kita dapat mengajukan
mendasar, yaitu berkenaan dengan perikehidupan pertanyaan apakah pembentukan Undang-Undang
bernegara yang menyangkut nasib seluruh rakyat. Oleh Dasar 1945 itu merupakan konstitusi dalam arti
karena itu, cara membentuk, mengubah, dan mengganti positif atau bukan? Dikarenakan pembuatan
konstitusi haruslah diten- tukan secara istimewa pula. Undang-Undang Dasar 1945 hanya merupakan salah
7) Konstitusi dalam Arti Positif (Positieve Verfassungs- satu di antara keputusan-kepu- tusan politik yang
begriff) tinggi, maka ia belum merupakan Konstitusi dalam
Selain yang diuraikan di atas, Carl Scmitt juga me- arti positif. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17
nyebut adanya pengertian konstitusi dalam arti positif Agustus 1945 adalah suatu Konstitusi dalam arti
(positieve verfassungsbegriff) 190 yang dihubungkannya positif, karena ia merupakan satu-satunya keputusan
politik yang tertinggi yang dilakukan oleh bangsa
dengan ajaran mengenai dezisionismus atau teori ten-
Indonesia yang merubah dari suatu bangsa yang dijajah
tang keputusan. Dalam pandangan Carl Schmitt, Konsti-
menjadi bangsa yang merdeka. Undang-Undang Dasar
tusi dalam arti positif tersebut mengandung 1945 dilahirkan sesudah proklamasi kemerdekaan,
pengertian sebagai produk keputusan politik yang sebagai tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan itu.
tertinggi,191 yang dihubungkannya dengan terbentuknya 8) Konstitusi dalam Arti Ideal (Idealbegriff der verfas-
Undang-Undang Dasar Weimar pada tahun 1919. sung)
Undang-Undang Dasar Weimar itu sangat Konstitusi dalam arti yang terakhir ini disebut oleh
menentukan nasib rakyat seluruh Jerman, karena Carl Schmitt sebagai konstitusi dalam arti ideal
Undang-Undang Dasar itu menimbulkan perubahan
(ideal- begriff der verfassung) atau ideal meaning of the
yang sangat mendasar terhadap struktur pe-
merintahan yang lama ke stelsel pemerintahan yang consti- tution. 192 Disebut ideal karena konstitusi itu
ba- ru. Sistem pemerintahan lama yang didasarkan atas dilihat se- bagai sesuatu yang diimpikan atau diidamkan
stel- sel monarki di mana Raja memegang kekuasaan oleh kaum borjuis liberal seperti tersebut di atas
yang sangat kuat dan sentral diubah oleh Konstitusi sebagai jaminan
Weimar itu menjadi suatu pemerintahan dengan
sistem parle- 192
Ibid., hal. 36 dst. “Idealbegriff der Verfassung (in einem auszeichnenden
Sinne, wegen eines bestimmten Inhaltes sogenannte ‘Verfassung’) Ins-
besondere hal das Liberale Burgertum in seinem Kampl gegen die absolute
190
Ibid., hal. 20. “Die Verfassung als Gesamt-Entscheidung uber Art und Monarchie einem bestimmten idealbegriff von Verfassung angsgestellt und
Vorm der politischen Einheit”. ihn mit dem Begriff der Verfassung schiechin dentifizirt. Man sprach also
191
Bandingkan dengan Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum, nur dan non ‘Verfassung’, wenn die Forderungen burgerlibber Freiheit
(Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1988). erfullt und dem Burgertum ein maszgebender pplitischer Ein flusz geilichert
was”.
133 134
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi.


Jika antara norma yang terdapat dalam konsititusi
Pandangan ideal tentang konstitusi tersebut dapat yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima,
dikatakan lahir sesudah terjadinya Revolusi Perancis, di dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya,
mana ketika itu yang menjadi tuntutan golongan maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang
revolusioner Perancis adalah agar pihak penguasa tidak mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi
melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap konstitusi itu demikian, akan tetapi setidak-tidaknya
norma-norma tertentu yang terdapat di dalam
rakyat. konstitusi itu apabila memang sungguh-sungguh ditaati
dan berja- lan sebagaimana mestinya dalam kenyataan,
C. Nilai dan Sifat Konstitusi maka norma-norma konstitusi dimaksud dapat
1. Nilai Konstitusi dikatakan ber- laku sebagai konstitusi dalam arti
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah normatif.
nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar,
norma- norma dalam suatu konstitusi dalam sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam
kenyataan praktik. Sehubungan dengan hal itu, Karl kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai
Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan
Constitutions” mem- bedakan 3 (tiga) macam nilai atau dalam pe- nyelenggaraan kegiatan bernegara, maka
the values of the con- stitution, yaitu (i) normative konstitusi ter- sebut dapat dikatakan sebagai konstitusi
value; (ii) nominal value; dan (iii) semantical value. yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya
Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu
hukum kita selalu mengutip pen- dapat Karl memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan
Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, undang- undang dasar itu dapat disebut bernilai
dan semantik ini.193 nominal. Misal- nya, norma dasar yang terdapat dalam
Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam se- konstitusi yang tertulis (schreven constitutie)
tiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu menentukan A, akan tetapi konstitusi yang dipraktikkan
sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis
praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam kon- secara expressis verbis dalam konstitusi sama sekali
stitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa
sollen yang tidak selalu identik dengan das sein atau yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari
keadaan nyatanya di lapangan. ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian
lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, se- hingga
193
Lihat misalnya, Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal.4; Moh. Kusnardi dan dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya
Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1994), hal. sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya ber- nilai
156-157; I. Nyoman Dekker, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Suatu nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas
Pengantar, (Malang: IKIP Malang, 1993), hal. 12; R.G. Kartasapoetra,
Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 21-22; “mati”.
Demikian pula hal ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Isma’il Suny, Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik
Prof. Sri Soemantri, Prof. Padmo Wahyono, Prof. Abu Daud Busroh, Prof. adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung
Solly Lubis, dan sebagainya. di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah

135 136
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
dan

135 136
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu keta-


dunia berkembang anggapan bahwa setiap peraturan,
tanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekali-
di- karenakan pentingnya maka harus ditulis, dan
gus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pi-
demikian pula dengan konstitusi. Di zaman modern
dato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip dan
sekarang ini, dapat dikatakan bangsa Amerika
dija- dikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi
Serikatlah yang per- tama menuliskan konstitusi dalam
ke- bijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh
satu naskah, meski- pun leluhur mereka di Inggris tidak
melaksa- nakan isi amanat norma yang dikutip itu.
mengenal naskah konstitusi yang tertulis dalam satu
Kebiasaan se- perti ini lazim terjadi di banyak negara,
naskah.
terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut
Oleh karena itu, dalam bahasa Inggris dan Ame-
tidak tersedia meka- nisme untuk menilai
rika, tidak tersedia kata yang tepat untuk
konstitusionalitas kebijakan-kebi- jakan kenegaraan
menggambar- kan perbedaan antara konstitusi dan
(state’s policies) yang mungkin me- nyimpang dari
undang-undang dasar sebagaimana perbedaan antara
amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam
praktik ketatanegaraan, baik bagian- bagian tertentu kedua pengertian ini dalam bahasa Jerman, Perancis,
ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, Belanda, dan nega- ra-negara Eropa Kontinental
dapat bernilai semantik saja. lainnya. Dalam bahasa Jerman jelas dibedakan antara
Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai verfassung dan gerund- gesetz, atau dalam bahasa
sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan pembahasan Belanda antara constitutie dan grondwet.
tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku Untuk memahami perbedaan mengenai kedua
(rigid), tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang for- pengertian konstitusi dan undang-undang dasar
mil atau materiil. Mengenai sifat-sifat konstitusi ter- itu, kita dapat menggunakan antara lain pandangan
sebut, dapat diuraikan sebagai berikut. Her- mann Heller sebagai rujukan. Dari
pandangan Her- mann Heller ini jelas tergambar
2. Konstitusi Formil dan Materiil bahwa konstitusi itu memang mempunyai arti yang
Konstitusi, constitution (Amerika Serikat), atau lebih luas dari pada undang-undang dasar. Herman
verfassung (Jerman), dibedakan dari undang-undang Heller membagi konsti- tusi itu dalam tiga fase
dasar atau grundgesetz (Jerman) ataupun grondwet pengertian, yaitu:194
(Be- landa). Dikarenakan kesalahpahaman dalam cara 1) Pada mulanya, apa yang dipahami sebagai konsti-
pan- dangan banyak orang mengenai konstitusi, maka tusi itu mencerminkan kehidupan politik di dalam
penger- tian konstitusi itu sering diidentikkan dengan masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische
pengertian undang-undang dasar. Kesalahan ini
verfassung als gesellschaftliche wirklichkeit) dan
disebabkan antara lain oleh pengaruh paham kodifikasi
ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum
yang menghendaki semua peraturan hukum dibuat
dalam bentuk yang ter- tulis (written document) dengan (ein rechtsverfassung). Dengan perkataan lain,
maksud untuk men- capai kesatuan hukum (unifikasi Konsti- tusi itu masih merupakan pengertian
hukum), kesederhanaan sosiologis atau politis dan belum merupakan
pengertian hukum.
hukum, dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Begitu
besar pengaruh paham kodifikasi ini, maka di seluruh 194
Heller, Op. Cit., hal. 249 dst.
137 138
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

2) Setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari


pakan peraturan yang bersifat mendasar atau funda-
konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu un- mental. Artinya, tidak semua masalah yang penting ha-
tuk dijadikan satu kesatuan kaidah hukum, barulah rus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang
konstitusi itu disebut sebagai rechtverfassung (die bersifat pokok, dasar, atau asas-asasnya saja. Menurut
verselbstandigte rechtsverfassung), yaitu konstitusi paham kodifikasi, semua masalah yang penting harus
dalam arti hukum. dimuat dalam undang-undang dasar. Namun kemudian
3) Kemudian muncul pula kebutuhan untuk menulis- disadari bahwa tidak semua hal yang penting
kan konstitusi itu dalam satu naskah tertentu se- merupakan hal yang bersifat pokok atau mendasar,
hingga orang mulai menulisnya dalam suatu sehingga tidak mungkin seluruh hal yang dianggap
penting harus ditulis dalam naskah undang-undang
naskah tertulis sebagai undang-undang yang
dasar. Selain dikarenakan sifat hukum itu sendiri selalu
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.195
berubah sesuai dengan tun- tutan perkembangan
zaman, isi undang-undang dasar itu hanya meliputi hal-
Dengan demikian, apabila pengertian undang-un- hal yang bersifat garis besar saja.
dang dasar itu dihubungkan dengan pengertian konsti- Pelaksanaan norma-norma konstitusi itu dapat
tusi, maka arti undang-undang dasar itu barulah meru- diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan yang
pakan sebagian dari pengertian konstitusi yaitu konsti- lebih rendah, sehingga lebih mudah diubah sesuai
tusi yang ditulis (die geschrieben verfassung). Dalam dengan ke- butuhan. Alasan keberatan untuk memuat
arti inilah konstitusi itu bersifat juridis atau rechtsver- seluruh masa- lah yang penting dalam Undang-Undang
fassung, yaitu sebagai undang-undang dasar atau ge- Dasar juga dise- babkan karena seringnya terjadi
rundgesetz. Sedangkan, konstitusi dalam arti yang luas perubahan dalam nas- kah undang-undang dasar. Jika
naskah undang-undang dasar disusun terlalu rinci,
tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, akan tetapi
maka hal itu dapat menye- babkan kewibawaan undang-
juga bersifat sosiologis dan politis yang tidak disebut
undang dasar menjadi me- rosot. Untuk mencegah
sebagai undang-undang dasar, namun termasuk dalam
terjadinya hal demikian, maka undang-undang dasar
pengertian konstitusi. hanya memuat hal-hal yang bersifat dasar saja.
Setiap rechtverfassung harus memenuhi dua sya- Dengan perkataan lain, undang-undang dasar ada-
rat, yaitu syarat mengenai bentuknya dan syarat
lah sebagian saja dari pengertian konstitusi. Isinya hanya
mengenai isinya. Bentuknya dipersyaratkan harus be-
bersifat garis-garis besar sebagai norma hukum tertinggi
rupa naskah tertulis sebagai undang-undang yang ter-
tinggi yang berlaku dalam suatu negara. Isinya meru- yang berlaku di suatu negara. Hanya ada beberapa
sar- jana saja yang menganut pandangan yang
mengidentik- kan konstitusi dengan undang-undang
195
Ibid., hal. 249, “Die Politische Verfassung als gesellschaftliche dasar. Penyama- an pengertian kedua hal itu,
Wirklichkeit”; hal. 259, “Die verselbstandeigte Rechtsverfassung”; hal. 270,
“Die geschriebene Verfassung”. sebenarnya, sudah dimulai sejak Oliver Cromwell
(Lord Protector Kerajaan Inggris 1649-1660) yang
menamakan Undang-Undang Dasar itu

139 140
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

sebagai instrument of government. Undang-Undang


asas yang mendasar tentang organisasi negara.198 Dengan
Dasar Cromwell itu dibuat sebagai pegangan dalam men-
demikian, konstitusi tidak perlu mencerminkan
jalankan tugas-tugas pemerintahan, dan di sinilah timbul
seluruh masalah yang penting secara lengkap, sebab
identifikasi atas pengertian Konstitusi dan Undang-
konstitusi semacam itu akan mengalami kesulitan dalam
Undang Dasar. Pengertian Konstitusi menurut Lord Oli-
mengikuti perkembangan masyarakat. Adalah tugas
ver Cromwell itu kemudian diadopsi oleh Amerika Se-
pembuat un- dang-undang (legislator) untuk
rikat pada tahun 1787, dan selanjutnya oleh Lafayette di-
mengkhususkan konsti- tusi sesuai dengan
kembangkan di Perancis pada tahun 1789.
perkembangan masyarakat.
Penganut paham modern yang juga menyamakan
pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar, me-
3. Luwes (Flexible) atau Kaku (Rigid)
nurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 196 adalah
Naskah konstitusi atau undang-undang dasar
Lasalle. Dalam bukunya ”Uber Verfassungswesen”,197
dapat bersifat luwes (flexible) atau kaku (rigid). Ukuran
La- salle menyatakan bahwa konstitusi yang
yang biasanya dipakai oleh para ahli untuk menentukan
sesungguhnya menggambarkan hubungan antara
kekuasaan yang ter- dapat di dalam masyarakat. apa- kah suatu undang-undang dasar itu bersifat luwes
Golongan-golongan yang di- maksud adalah golongan atau kaku adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi
yang mempunyai kedudukan nyata di dalam itu di- mungkinkan dilakukan perubahan dan apakah
masyarakat (rieele machtsfactoren), mi- salnya Kepala cara me- ngubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii)
Negara, Angkatan Perang, Partai-partai Politik, apakah nas- kah konstitusi itu mudah atau tidak mudah
kelompok-kelompok penekan (pressure group), buruh, mengikuti perkembangan kebutuhan zaman.
tani, pegawai, dan lain sebagainya. Dengan pan- Untuk menentukan apakah suatu naskah
dangannya yang demikian, Lasalle menghendaki konstitusi bersifat luwes atau tidak, maka pertama-tama
agar semua hal yang penting dituliskan dalam naskah kita dapat mempelajari mengenai kemungkinannya
kon- stitusi (in einer Urkunde auf einem Blatt berubah atau tidak, dan bagaimana pula perubahan itu
Papier alle lnstitutionen und Regierings prinzipien des dilakukan. Pa- da umumnya, dalam setiap naskah
landes). undang-undang da- sar, selalu diatur tata cara
Demikian pula halnya dengan Struycken yang perubahan konstitusi itu sen- diri dalam pasal-pasal
menganut paham modern. Menurut Struycken, konsti- atau bab yang tersendiri. Peruba- han-perubahan yang
tusi adalah undang-undang dasar. Menurut Struycken, dilakukan menurut tata cara yang ditentukan sendiri
konstitusi itu selalu memuat garis-garis besar dan asas- oleh undang-undang dasar itu dina- makan
verfassungs-anderung. Ketentuan mengenai pe-
196
197
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit. rubahan tersebut selalu ditentukan dalam undang-un-
Heller, Staatslehre, Op. Cit., hal. 249, “Von dieser ‘wirklichen’ Verfas-
sung die zu jeder zeif jedes Land gehabt hat, sagt Lasalle in seinem bekanten
dang dasar itu sendiri, karena walaupun dimaksudkan
Vortrag ‘Uber Verfassungenswesen’ (1862) sind sie nicht die geschriebene
Verfassung oder das Blatt Papier, sondern die in einem lande bestehenden
198
tatsachlichen Machtsverhaltnisse”. Lihat Struyeken A.A.H., Het staatsrecht won het Komisikrijk der Neder-
landen, 1915.

141 142
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

untuk jangka waktu yang lama, teks suatu undang-un-


Konstitusi yang menetapkan syarat perubahan dengan
dang dasar selalu cenderung untuk tertinggal dari per-
cara yang istimewa, misalnya dalam sistem parlemen bi-
kembangan masyarakat. Pada saat perubahan masya-
kameral, harus disetujui lebih dulu oleh kedua kamar
rakat sudah sedemikian rupa, selalu muncul kebutuhan
parlemennya. Konstitusi yang demikian dapat disebut
objektif untuk mengadakan perubahan pula atas teks
bersifat rigid.199
undang-undang dasar.
Negara-negara yang mempunyai Konstitusi
Namun demikian, karena konstitusi itu pada haki-
yang bersifat luwes (flexible) umpamanya adalah New
katnya merupakan hukum dasar yang tertinggi dan
Zealand dan Kerajaan lnggris yang dikenal tidak
men- jadi dasar bagi berlakunya peraturan perundang-
memiliki kon- stitusi yang tertulis. 200 Sedangkan,
unda- ngan lainnya yang lebih rendah, maka para
konstitusi atau un- dang-undang dasar yang bersifat
penyusun atau perumus undang-undang dasar selalu
kaku (rigid), misalnya, adalah Konstitusi Amerika
menganggap perlu menentukan tata cara perubahan
Serikat, Australia, Canada dan Swiss. 201
yang tidak mu- dah. Dengan prosedur yang tidak
Memang harus diakui bahwa untuk menentukan
mudah, maka menjadi tidak mudah pula orang untuk
sifat flexible atau rigid suatu undang-undang dasar
mengubah hukum dasar negaranya, kecuali apabila hal
itu memang sungguh- sungguh dibutuhkan karena se- benarnya tidaklah cukup hanya dengan melihat dari
pertimbangan yang objektif dan untuk kepentingan segi cara mengubahnya. Dapat saja terjadi suatu
seluruh rakyat, serta bukan un- tuk sekedar memenuhi undang-un- dang dikatakan bersifat rigid, tetapi dalam
keinginan atau kepentingan sego- longan orang yang kenyataannya dapat diubah tanpa melalui prosedur
berkuasa saja. Oleh karena itu biasa- nya prosedur yang ditentukan sendiri oleh undang-undang dasarnya
perubahan undang-undang dasar diatur se- demikian (verfassungsan- derung), melainkan diubah melalui
berat dan rumit syarat-syaratnya, sehingga un- dang- prosedur di luar ketentuan konstitusi
undang dasar yang bersangkutan menjadi sangat rigid (verfassungswandlung), seperti melalui revolusi atau
atau kaku. dengan constitutional conven- tion.202
Tetapi sebaliknya, ada pula undang-undang dasar Untuk undang-undang dasar yang tergolong flek-
yang mensyaratkan tata cara perubahan yang tidak ter- sibel, perubahannya kadang-kadang cukup dilakukan
lalu berat dengan pertimbangan untuk tidak memper- hanya dengan the ordinary legislative process seperti di
sulit perubahan, sehingga undang-undang dasar dapat
disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Konsti-
tusi yang demikian dapat dikatakan sebagai konstitusi 199
Strong, Op. Cit., hal. 140 dst., dan Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem
yang fleksible atau luwes. Misalnya, ada undang-undang Perubahan Konstitusi, Op Cit., hal. 60-61.
dasar yang perubahannya tidak memerlukan cara yang 200
Ibid., hal. 152.
201
istimewa, melainkan cukup dilakukan oleh lembaga Ibid.
202
Georg Jellinek tentang Verfassungswandlung dan Vergassungsanderung,
pembuat undang-undang biasa. Sebaliknya, ada pula perubahan konstitusi dengan cara biasa dan dengan cara yang tidak biasa,
seperti convention.

143 144
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

New Zealand.203 Sedangkan, untuk undang-undang da-


laku. Presiden Amerika Serikat dipilih langsung oleh rak-
sar yang dikenal kaku atau rigid, prosedur perubahannya
yat melalui electoral college, dari calon yang dipilih oleh
dapat dilakukan:
a. oleh lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan- partai politik yang bersangkutan dan ditentukan melalui
pembatasan tertentu; konvensi partai yang bersangkutan. Hal yang
b. oleh rakyat secara langsung melalui suatu referen- demikian oleh Bernard Schwartz disebut sebagai a
dum; wholly extra constitutional manner.206
c. oleh utusan negara-negara bagian, khusus di negara- Pada akhirnya yang menentukan perlu atau
negara serikat; atau tidak- nya undang-undang dasar diubah adalah faktor
d. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu konfigu- rasi kekuatan politik yang berkuasa pada
lembaga negara yang khusus yang dibentuk hanya suatu waktu. Betapapun kakunya atau sulitnya suatu
untuk keperluan perubahan.204 naskah undang- undang dasar diubah, apabila
konfigurasi kekuatan po- litik yang berkuasa
Menurut K.C. Wheare, ada tiga cara untuk mengu- berpendapat, menghendaki, atau me- nentukan bahwa
bah undang-undang dasar, yaitu (i) formal undang-undang dasar itu harus diubah, maka konstitusi
amendment atau perubahan resmi, (ii) constitutional itu tentu akan diubah. Sebaliknya, wa- laupun
convention atau konvensi ketatanegaraan, dan (iii) undang-undang dasar itu sangat mudah untuk diubah,
judicial interpretation atau penafsiran pengadilan.205 tetapi jika kekuatan politik yang berkuasa itu
Oleh karena itu, peruba- han dalam arti berpendapat tidak perlu diubah atau tidak menghendaki
penyempurnaan terhadap undang- undang dasar adanya perubahan, tentu konstitusi itu tetap tidak
tidak selalu harus dilakukan dengan cara formal akan mengalami perubahan. Artinya, tolok ukurnya
amandment, tetapi dapat pula dilakukan dengan fleksibi- litas atau rigiditas, tidaklah dapat ditentukan
konvensi ketatanegaraan. Misalnya, ada suatu pasal dengan pasti hanya karena mudah tidaknya prosedur
da- lam undang-undang dasar yang resminya masih perubahan itu dilakukan. Oleh karena, pada
berlaku, tetapi dalam praktik pasal itu sudah tidak pokoknya, konstitusi itu merupakan produk politik,
dipakai lagi dalam rangka penyelenggaraan kegiatan maka faktor kekuatan po- litiklah yang justru sangat
kenegaraan sehari-hari. Misalnya, mengenai pemilihan determinan pengaruhnya da- lam menentukan apakah
Presiden di Amerika Serikat. Pasal 2 UUD Amerika konstitusi harus berubah atau tidak berubah. Jalan
Serikat yang ter- tulis sekarang tidak lagi dijalankan pikiran yang demikian itu pula yang dipakai oleh
dalam praktik, walau- pun secara resmi belum pernah Mahfud M.D. dalam disertasinya yang membahas
dinyatakan tidak ber- pengaruh konfigurasi politik terhadap karak- ter suatu
konstitusi. 207 Faktor kekuatan politik yang
203
K.C. Wheare, Modern Constitutions, (London: Oxford University, 1960),
hal. 121. 206
Schwartz, American Constitutional Law, Op. Cit., hal. 93.
204
Strong, Op. Cit., hal. 153. Lihat juga Soemantri, Op. Cit., hal. 69. 207
205 Lihat Moh. Mahfud M.D., Perkembangan Politik Hukum (Studi Tentang
Wheare, Op. Cit. Lihat juga Ismail Suny, “Undang-Undang Dasar 1945
Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia), Diser-
dan Referendum”, Majalah Hukum dan Pembangunan, FHUI, Jakarta.
tasi, Pasca Sarjana, UGM-Yogyakarta, 1993.
145 146
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

demikian disebut oleh Carl Schmitt sebagai faktor ke-


hukum dan konstitusi negara itu akan menjadi tidak sta-
kuasaan yang nyata atau de reele machtsfactoren.
bil, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kemeroso-
Oleh sebab itu, untuk menentukan sifat
tan kewibawaan undang-undang dasar itu sendiri.
fleksibilitas atau rigiditas undang-undang dasar
tersebut, dapat di- gunakan ukuran kedua, yaitu apakah
undang-undang dasar itu mudah atau tidak mudah 4. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
mengikuti perkemba- ngan zaman? Kalau undang- Membedakan secara prinsipil antara konstitusi ter-
undang dasar itu mudah mengikuti perkembangan tulis (written constitution) dan tidak tertulis (unwritten
zaman, maka undang-undang dasar itu kita katakan constitution atau onschreven constitutie) adalah tidak
bersifat fleksibel. Sebaliknya, jika undang-undang dasar tepat.208 Sebutan Konstitusi tidak tertulis hanya
itu tidak mudah mengikuti per- kembangan zaman, kita dipakai untuk dilawankan dengan Konstitusi modern
sebut bersifat rigid. Suatu un- dang-undang dasar yang yang lazim- nya ditulis dalam suatu naskah atau
hanya mengatur hal-hal yang pokok adalah konstitusi beberapa naskah. Timbulnya Konstitusi tertulis
yang mudah dapat mengikuti perkembangan disebabkan karena penga- ruh aliran kodifikasi.209
masyarakat, sebab norma-norma pelak- sanaannya Salah satu negara di dunia yang mempunyai
lebih lanjut diserahkan kepada bentuk pera- turan Konstitusi tidak tertulis adalah negara Ing- gris,
perundang-undangan yang lebih rendah, sehingga lebih namun prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam
mudah untuk dibuat dan diubah. Konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Un-
Namun, banyak undang-undang dasar yang tidak dang biasa, seperti Bill of Rights.
hanya memuat hal-hal yang pokok saja, melainkan juga Dengan demikian suatu Konstitusi disebut tertulis
hal-hal yang dianggap penting, sehingga undang- apabila ia ditulis dalam suatu naskah atau beberapa
undang dasar itu akan terdiri atas banyak pasal-pasal. naskah, sedangkan suatu Konstitusi disebut tidak
Naskah undang-undang dasar yang dianggap paling tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang
tebal di du- nia dewasa ini adalah Undang-Undang mengatur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu
Dasar Federal India dengan jumlah pasal sebanyak 444 naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur
ketentuan. Pa- dahal, hal-hal penting belum tentu dalam konvensi-kon- vensi atau undang-undang biasa.
bersifat pokok, meski- pun yang pokok selalu bersifat
penting. Di samping itu, kadang-kadang, yang penting
untuk masa sekarang da- pat pula mengalami
perubahan sehingga di masa yang akan datang menjadi
tidak penting lagi. Jika dinamika semacam itu sering
208
terjadi, maka undang-undang dasar yang memuat hal- Lihat Wheare, Op. Cit., hal. 19. Ada juga sarjana yang menganggap bah-
wa pembedaan written constitution dan unwriten constitution sudah tidak
hal yang penting akan mengalami pe- rubahan. Apabila relevan lagi, sehingga mereka membedakannya dengan istilah documentary
suatu negara terlalu sering mengada- kan perubahan constitution
209
dan non-documentary constitution.
Bandingkan dengan Strong, Op. Cit., hal. 136-137.
undang-undang dasarnya, niscaya sistem

147 148
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

D. Tujuan dan Hakikat Konstitusi


ngurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-
Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya ke- pentingan umum. 210 Sedangkan, Maurice Hauriou
dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, me- nyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk
yaitu (i) keadilan (justice), (ii) kepastian (certainty atau menjaga keseimbangan antara (i) ketertiban (orde), (ii)
zekerheid), dan (iii) kebergunaan (utility). Keadilan itu kekuasaan (gezag), dan (iii) kebebasan (vrijheid).211
sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan Kebebasan individu warga negara harus dijamin,
kepatutan (equity), serta kewajaran (proportionality). tetapi kekuasaan negara juga harus berdiri tegak,
Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban sehing- ga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara.
(order) dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan Keter- tiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan
diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai oleh ke- kuasaan yang efektif dan kebebasan warga
tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama. negara tetap tidak terganggu. Sementara itu, G.S.
Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum Diponolo merumus- kan tujuan konstitusi ke dalam lima
yang dianggap paling tinggi tingkatannya, maka tujuan kategori, yaitu (i) kekuasaan, (ii) perdamaian,
konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk men- keamanan, dan ketertiban,
capai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan, serta (v)
yang dianggap tertinggi itu adalah: (i) keadilan, (ii) kesejahteraan dan kebahagiaan.212
ketertiban, dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti
kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau
kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan
sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the
founding fathers and mothers).
Misalnya, 4 (empat) tujuan bernegara Indonesia
adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV
Pembu- kaan UUD 1945. Keempat tujuan itu adalah (i)
melindu- ngi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan
kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan (iv) ikut melaksa- nakan ketertiban dunia
(berdasarkan kemerdekaan, per- damaian abadi, dan
keadilan sosial).
Sehubungan dengan itulah maka beberapa sarjana
merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan
tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara 210
J. Barents, “De Wetenschap de Politiek, Een Terreinverkenning” (1952),
berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada 3 (tiga) tujuan terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan, cet.
ne- gara, yaitu (i) untuk memelihara ketertiban dan ke-
211
3, PT. Pembangunan, Jakarta, 1958, hal. 38.
Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel. Lihat juga Abu Daud
keten- teraman, (ii) mempertahankan kekuasaan, dan Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 99.
(iii) me- 212
G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1951, hal. 23.

149 150
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

BAB IV
suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
SUMBER HUKUM TATA NEGARA
(ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, dalam pandangan Hans Kelsen
dalam bukunya “General Theory of Law and State”,
istilah sumber hukum itu (sources of law) dapat
A. Sumber Hukum Tata Negara mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang
1. Pengertian Sumber Hukum figurative and highly ambiguous.214 Pertama, yang
Apakah yang dimaksud dengan “sumber hukum”? lazimnya dipahami sebagai sources of law ada 2 (dua)
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu,
source of law. Perkataan “sumber hukum” itu sources of law biasa dipa- hami sebagai a method of
sebenarnya ber- beda dari perkataan “dasar hukum”, creating law, custom, and legislation, yaitu
“landasan hukum”, ataupun “payung hukum”. Dasar customary and statutory creation of law.
hukum ataupun landa- san hukum adalah legal basis Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan dengan
atau legal ground, yaitu norma hukum yang mendasari cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity
suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sum-
dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara ber hukum bagi norma hukum yang lebih rendah.
hukum. Sedangkan, perka- taan “sumber hukum” lebih Oleh karena itu, pengertian sumber hukum (sources
menunjuk kepada penger- tian tempat dari mana asal- of law) itu identik dengan hukum itu sendiri (the
muasal suatu nilai atau nor- ma tertentu berasal. source of law is always itself law).215
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 Ketiga, sources of law juga dipakai untuk hal-hal
ditentukan bahwa: 213 (1) Sumber hukum adalah yang bersifat non-juridis, seperti norma moral, etika,
sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dan
peraturan per- undang-undangan; (2) Sumber hukum sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan
terdiri atas sum- ber hukum tertulis dan sumber hukum suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut
tidak tertulis; (3) Sumber hukum dasar nasional adalah sebagai sumber hukum atau the sources of the law.
(i) Pancasila seba- gaimana yang tertulis dalam Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan
Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha menjadi sumber yang penting bagi terbentuknya nilai
Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan dan norma etika dalam kehidupan bermasyarakat, se-
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat mentara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber
Kebijaksanaan dalam per- musyawaratan/perwakilan, bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuh-
serta dengan mewujudkan kan atau dipositifkan oleh kekuasaan negara. Dalam di-
namika kehidupan bermasyarakat, ketiga jenis nilai dan
norma itu pada pokoknya sama-sama berfungsi sebagai
213
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, tanggal 18 Agustus, 2000. Lihat 214
Kelsen, Op. Cit., hal. 131.
215
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Ibid. hal. 132.
Tahun 1960 s/d 2002, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2002.

151 152
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

sarana pengendalian dan sekaligus sistem referensi me-


qiyas. Ada lagi yang merumuskan sumber hukum itu
ngenai perilaku ideal dalam setiap tatanan sosial (social
me- liputi (i) syari’at yang diwahyukan (wahyu), (ii)
order). Sebab, jika ketiga jenis norma tersebut saling
sunnah sebagai teladan rasul, dan (iii) akal dengan
me- nunjang, maka ketiga sistem referensi perilaku itu
mengguna- kan metode berpikir tertentu.
dapat bekerja secara simultan dan saling mendukung.
Dalam kajian ushul fiqh, sebagai cabang ilmu
Akan tetapi, jika ketiganya saling bersitegang atau
fil- safat hukum Islam, sering dibedakan pula antara
saling bersaing satu sama lain, niscaya akan timbul kon-
pe- ngertian “sumber hukum” atau mashadir al-ahkam
flik antar norma yang justru tidak sehat bagi ketiga sis-
dan “dalil-dalil hukum” atau adillat al-ahkam.216
tem norma itu sendiri. Jika demikian, maka pada
Pengertian mashadir al-ahkam secara teknis menunjuk
giliran- nya fungsi ketiga jenis norma itu dalam
kepada pe- ngertian asal norma hukum atau rujukan
menuntun ma- nusia ke arah perilaku ideal tidak akan
hukum (refe- rence), tempat ditemukannya kaidah
bekerja dengan efektif. Oleh karena itu, ketiganya harus
hukum atau se- suatu yang menunjuk kepada adanya
dapat saling mengisi satu sama lain secara sinergis.
hukum, yaitu al- Quran dan al-Sunnah. Sedangkan,
Norma etika da- pat menjadi sumber nilai bagi norma
adillat al-ahkam atau dalil hukum merupakan sesuatu
hukum, sementara norma agama dapat menjadi sumber
yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam
bagi norma etika. Dalam konteks ini, pengertian sumber
memperoleh atau menemu- kan, atau mendapatkan
dapat dikatakan sebagai tempat dari mana sesuatu nilai
hukum.
atau norma berasal.
Terkait dengan hal ini, penting juga untuk Hal yang dianggap sebagai adillat al-ahkam itu ada
memperbandingkan mengenai penggunaan istilah sum- 4 (empat), yaitu al-Quran, al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
ber hukum (sources of law) dalam sistem berpikir fiqh Baik al-Quran maupun al-Sunnah sama-sama dapat dise-
Islam dengan penggunaannya menurut pengertian ilmu but sebagai adillat al-ahkam dan sekaligus mashadir al-
hukum pada umumnya. Hal ini penting untuk ahkam.217 Kadang-kadang, kedua makna sumber
digambar- kan karena tradisi yang dianut dalam sistem hukum dan dalil hukum itu dicampuradukkan oleh para
fiqh Islam, perkataan sumber hukum itu diartikan sarjana, tetapi kebanyakan ulama membedakan
secara berbeda sama sekali dari pengertian yang biasa keduanya dengan tegas. Oleh karena itu, mashadir al-
dipakai dalam ilmu hukum kontemporer. Dalam fiqh ahkam (sumber hu- kum) dapat dipahami dalam arti
Islam, yang diarti- kan sebagai sumber hukum itu, di sumber hukum materiel dalam konteks ilmu hukum
satu pihak berarti “sumber rujukan”, tetapi di lain pihak kontemporer, sedangkan adillat al-ahkman (dalil
kadang-kadang dapat diidentikkan dengan pengertian hukum) dapat disebandingkan dengan pengertian
metode penalaran hukum (legal reasoning). sumber hukum formil.218
Misalnya, yang dianggap sebagai sumber hukum
adalah (i) al-Quran, (ii) al-Sunnah, dan (iii) ijtihad atau 216
Nasrul Harun, Ushul Fiqh, cet. ke-1, jilid 1 (Jakarta: Logos, 1996), hal.
inovasi (innovation) dan invensi (invention). Ada pula 15.
217
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
sarjana yang merumuskan kategori sumber hukum itu Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
terdiri atas (i) al-Quran, (ii) al-Hadits, (iii) ijma, dan hal. 35-37. Lihat juga Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum
(iv) Islam” dalam Zaini Dahlan, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), hal. 53-55.
218
Usman, Op. Cit., hal. 32.

153 154
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Pengertian sumber hukum yang demikian itu, jelas


kodifikasi, maka tentu yang dimaksudkannya itu adalah
sangat berbeda dari pengertian sumber hukum yang ter-
the sources of the UK Constitution.
kait dengan pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu
Dikarenakan tidak memiliki undang-undang dasar
hukum tata negara ataupun ilmu hukum kontemporer
yang bersifat tertulis, aturan konstitusi di Inggris hanya
pada umumnya. Dalam hukum tata negara Indonesia,
dikenal karena memang berhubungan dengan persoalan
yang disebut sebagai sumber hukum itu misalnya adalah
konstitutional, yaitu hal-hal yang penting mengenai ke-
(i) Undang-Undang Dasar, (ii) Undang-undang dan Pe-
kuasaan pemerintahan.
raturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang,
Dikatakan oleh Alder:220
(iii) Peraturan Pemerintah, (iv) Peraturan Presiden, dan “Even in a written constitution, the sources of consti-
(v) Peraturan Daerah. Pengertian sumber hukum di sini tutional law comprise a mixture of strict law and
jelas dimaksudkan untuk menunjuk kepada pengertian political principles. The United Kingdom constitution
tempat asal ditariknya suatu kaedah hukum yang relies heavily on the latter. Its legal sources are the
bersifat umum untuk dipakai sebagai peralatan dalam same as the sources of law generally”.
menilai suatu peristiwa atau kaidah hukum yang
bersifat konkrit. Pengertian yang kedua ini, jika Menurut John Alder, sumber-sumber
dibandingkan dengan pengertian sumber hukum dalam konstitusi tersebut dapat dibedakan dalam 7 (tujuh)
ilmu fiqh yang memperlakukan qiyas atau analogi macam bentuk yang masing-masing dapat diuraikan
sebagai salah satu sumber hukum seperti diuraikan di lagi secara lebih rinci satu persatu, yaitu:221
atas, tentulah jauh bedanya. Qiyas atau analogi adalah 1) The basic principle;
metode berpikir, metode penalaran hukum (legal 2) General political and moral values;
reasoning) yang dipakai untuk mendapatkan 3) Strict law (i) The laws enforced through the
kesimpulan atas sesuatu fakta konkrit (concrete cases) courts, (ii) The law and custom of Parliament;
yang dinilai dengan mengguna- kan standar norma 4) Conventions of the Constitution;
hukum yang bersifat umum dan 5) Political practices;
abstrak (general and abstract norm). 6) The rules of the political parties;
Lain lagi penggunaan istilah sources of 7) International law.
the constitution yang dipakai oleh John Alder dalam
buku- nya “Constitutional and Administrative Law” Dengan membandingkan versi yang diajukan oleh
(1989).219 Dalam bukunya itu, John Alder sengaja John Alder dan para sarjana lainnya, maka dapat dike-
memberikan judul pada Bab 2 Bagian I dengan “The mukakan bahwa demikian banyak versi yang dipakai
Sources of the Constitution”. Oleh karena John Alder oleh para sarjana mengenai apa yang diartikan sebagai
sendiri adalah sarjana Inggris yang menulis tentang “sumber hukum” atau sources of law itu. Oleh karena
Hukum Tata Nega- ra dan Hukum Administrasi Negara itulah, Paton George Whitecross mengemukakan:
dalam konteks Kera- jaan Inggris yang dikenal tidak
memiliki naskah undang- undang dasar yang tertulis
dalam satu naskah yang ter- 220
221
Ibid.
Ibid., hal. 23-24.
219
Alder, Op Cit., hal. 22-38.

155 156
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

“The term sources of law has many meanings and its


frequent cause of error unless we scrutines carefully 2. Sumber Hukum Tata Negara
the particular meaning given to it in any particular Seperti dikemukakan di atas, sumber hukum dapat
text”. dibedakan antara yang bersifat formal (source of law in
222 formal sense) dan sumber hukum dalam arti material
(source of law in material sense). Bagi kebanyakan
Seperti juga dikatakan oleh van Apeldoorn sarjana hukum, biasanya yang lebih diutamakan adalah
dalam bukunya “Inleiding tot de Studie van het sumber hukum formal, baru setelah itu sumber hukum
Nederlands- recht”, 223 kadang-kadang perkataan material apabila hal itu memang dipandang perlu. Sum-
sumber hukum di- maksud dipakai dalam konteks ber hukum dalam arti formal itu adalah sumber hukum
sejarah, kadang-kadang dalam konteks filsafat, atau yang dikenali dari bentuk formalnya. Dengan mengu-
kadang-kadang dalam kon- teks sosial. Jika kita tamakan bentuk formalnya itu, maka sumber norma
membandingkan konsep sumber hu- kum yang diartikan hukum itu haruslah mempunyai bentuk hukum tertentu
oleh John Alder tersebut di atas de- ngan pengertian yang bersifat mengikat secara hukum.
yang dipakai dalam ilmu fiqh, jelas se- kali bedanya, Oleh karena itu, sumber hukum formal itu
bahkan dengan pengertian yang lazim kita pergunakan haruslah mempunyai salah satu bentuk sebagai berikut:
sehari-hari. a. bentuk produk legislasi ataupun produk regulasi ter-
Oleh sebab itu, seperti yang dilakukan oleh Ut- tentu (regels);
recht,224 kita dapat membedakan dua macam pengertian b. bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang me-
sumber hukum (sources of law), yaitu sumber hukum ngikat antar para pihak (contract, treaty);
dalam arti formal atau formele zin (source of law in c. bentuk putusan hakim tertentu (vonnis); atau
its formal sense) dan sumber hukum dalam arti d. bentuk-bentuk keputusan administratif
substansial, material, atau in materiele zin (source of (beschikking) tertentu dari pemegang kewenangan
law in its mate- rial sense). Sumber hukum dalam arti administrasi ne- gara.
formal ialah tem- pat formal dalam bentuk tertulis dari
mana suatu kaedah hukum diambil, sedangkan sumber Sudah tentu, setiap bidang hukum mempunyai
hukum dalam arti material adalah tempat dari mana sumber-sumber hukumnya sendiri yang berbeda-beda
norma itu berasal, ba- ik yang berbentuk tertulis ataupun antara satu dengan yang lain. Dalam bidang hukum tata
yang tidak tertulis. negara (constitutional law), dapat dibedakan lagi antara
hukum tata negara umum dan hukum tata negara
positif. Di samping itu, di masing-masing negara, juga
berlaku sistem hukumnya secara sendiri-sendiri yang
berbeda- beda pula pengertiannya tentang sumber
hukum itu. Belum lagi, jika masing-masing negara itu
222 mempunyai tradisi hukum yang berbeda pula satu
Whitecross, Textbook of Jurisprudence, op. cit., hal. 140. Bandingkan
dengan Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 44. dengan yang lain- nya, maka tentu sumber hukum yang
223
Lihat Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Op. Cit., hal. 72-75, juga dalam diakui juga ber- beda-beda. Misalnya, sistem common
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 45. law lebih mengu-
224
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtisar, ), hal.
133-134.

157 158
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tamakan asas precedent dan doktrin judge-made law,


Dalam bukunya “An Introduction to the Study of
sehingga yurisprudensi peradilan lebih diutamakan, se-
the Law of the Constitution”, Albert Venn Dicey
dangkan dalam sistem civil law, peraturan tertulislah
menyatakan bahwa:
yang lebih penting daripada yang lain. “The rules which make up constitutional law, as
Namun demikian, di seluruh dunia, keempat ben- the term is used in England, include two sets of
tuk formal norma hukum tersebut di atas, yaitu produk- principles or maxims of a totally distinct character”.225
produk yang berbentuk regeling, contract atau treaty,
vonnis, dan beschikking diakui sebagai sumber hukum Pertama, dalam pengertiannya yang bersifat strict
yang penting. Di samping itu, seperti dikemukakan di adalah hukum atau laws yang diterapkan oleh pengadi-
atas, ada pula sumber lain yang sifatnya tidak tertulis. lan. Peraturan dalam kategori pertama ini, menurut
Oleh karena itu, dalam berbagai bidang hukum, selain Dicey, mencakup juga semua norma jenis rules, yang
keempat bentuk formal tertulis, dikenal pula adanya ter- tulis atau tidak tertulis (written or unwritten), yang
bentuk-bentuk lain yang bersifat tidak tertulis. ditetapkan dengan undang-undang atau sebagai pera-
Khusus dalam bidang ilmu hukum tata negara turan tertulis (enacted by statute) atau hanya lahir dari
pada umumnya (verfassungsrechtslehre), yang biasa adat istiadat yang umum, tradisi, atau prinsip-prinsip
diakui sebagai sumber hukum adalah: yang diciptakan oleh hakim (derived from the mass of
1) Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang- custom, tradition, or judge-made maxims) yang dikenal
undangan tertulis; sebagai the common laws.
2) Yurisprudensi peradilan; Semua jenis peraturan dalam kategori pertama ini,
3) Konvensi ketatanegaraan atau constitutional sepanjang dapat ditegakkan oleh pengadilan dapat dise-
conven- tions; but atau tercakup dalam pengertian constitutional law.
4) Hukum Internasional tertentu; dan Kriteria yang dipakai oleh Dicey di sini adalah dapat-
5) Doktrin ilmu hukum tata negara tertentu. tidaknya norma hukum yang bersangkutan diterapkan
oleh hakim di pengadilan. Untuk menegaskan
Dalam kelima sumber hukum tata negara tersebut, perbedaan bentuk-bentuk hukum tertulis yang
tercakup pula pengertian-pengertian yang berkenaan mengandung norma hukum konstitusi tersebut dengan
de- ngan (i) nilai-nilai dan norma hukum yang hidup bentuk norma hukum konstitusi yang lain, maka hal itu
sebagai konstitusi yang tidak tertulis, (ii) kebiasaan- disebut oleh Dicey secara keseluruhannya sebagai the
kebiasaan yang bersifat normatif tertentu yang diakui law of the constitu- tion yang dibedakannya dari
baik dalam lalu lintas hukum yang lazim, dan (iii) pengertian the conventions of the constitution.
doktrin-doktrin ilmu pengetahuan hukum yang telah Constitutional rules dalam pengertian yang terak-
diakui sebagai ius comminis opinio doctorum di hir, menurut Dicey, terdiri atas:
kalangan para ahli yang mempunyai otoritas yang diakui
umum. Dalam setiap sistem hukum, ketiga hal ini biasa
juga dianggap sebagai sumber hukum yang dapat 225
dijadikan referensi atau ruju- kan dalam membuat Lihat A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Consti-
tution, 10th edition, Oxford University Press, 1965, hal. 23-24.
keputusan hukum.

159 160
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

“conventions, understandings, habits, or


b) Undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen
practices which, though they may regulate the conduct
of the se- veral members of the souvereign power, of (legislative acts, parliamentary statutes);
the Minis- try, or of other officials, are not in c) Judicial decisions (putusan-putusan pengadilan)
reality laws at all since they are not enforced by the terdahulu;
courts. This portion of constitutional law may, for the d) Principles and rules of common law, yaitu prin-
sake of distinction, be termed the ‘conventions of the sip-prinsip yang sudah diterima sebagai hukum,
constitution’, or constitu- tional morality”.226 meskipun tidak dituangkan dalam bentuk un-
dang-undang atau peraturan tertulis tertentu, te-
Oleh karena itu, dalam pandangan A.V. tapi kebanyakan dikuatkan oleh putusan penga-
Dicey, perkataan constitutional law mencakup dua dilan.
unsur pe- ngertian, yaitu (i) the law of the constitution, 2) The Conventions of the Constitution, yang mencakup:
dan (ii) the conventions of the constitution. The law of a) Kebiasaan-kebiasaan (habits);
the constitu- tion merupakan a body of undoubted law, b) Tradisi-tradisi (traditions);
sedangkan the conventions of the constitution terdiri c) Adat istiadat (customs);
atas maxims atau praktik-praktik yang meskipun d) Praktik-praktik (practices and usages).
bersifat mengatur para subjek hukum tata negara
yang biasa menurut undang- undang dasar, bukanlah Dalam pandangan John Alder, rincian sumber-
merupakan hukum dalam arti yang sebenarnya.227 sumber hukum tata negara Inggris, meliputi 7 (tujuh)
Bagi A.V. Dicey, meskipun keduanya sama-sama hal, yaitu (i) Prinsip dasar (The Basic Principle); (ii)
merupakan constitutional rules dan sama-sama dapat Nilai-nilai moral dan politik (General political and mo-
di- sebut constitutional law dalam arti luas, tetapi the ral values); (iii) Hukum yang mutlak (Strict law) yang
con- vention of the constitution itu lebih merupakan menurutnya meliputi (a) hukum yang ditegakkan atau
constitu- tional morality daripada the law of the diputuskan oleh pengadilan (The laws enforced through
constitution. Oleh karena itu, menurut A.V. Dicey, the courts), dan (b) hukum yang ditetapkan oleh parle-
sumber hukum tata negara Inggris terdiri pula atas men dan kebiasaan parlemen (The law and custom
beberapa sumber yang dapat dikelompokkan dalam dua of Parliament); (iv) Konvensi atau kebiasaan
golongan, yaitu: ketatanegara- an (Conventions of the Constitution); (v)
1) The Law of the Constitution, mencakup: Praktik-praktik, termasuk yang terjadi dalam praktik
a) Dokumen-dokumen sejarah (historic penyelenggaraan kegiatan politik ketatanegaraan
documents), seperti Magna Charta Tahun 1215 (Political practices); (vi) Tata aturan partai politik (The
yang biasa di- sebut juga dengan The Great rules of the political par- ties); dan (vii) Hukum
Charter of 1215, Petition of Right, atau Bill of internasional (International law). Dalam hal ini, yang
Rights (1689); dimaksud dengan prinsip dasar, nilai-nilai moral dan
politik, dan bahkan kebiasa- an ketatanegaraan,
226
Ibid. semuanya bersifat tidak tertulis. Te- tapi mengapa
227
Lihat juga Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on dapat disebut sebagai sumber hukum oleh John Alder?
Constitutional and Administrative Law, 7th edition, (Oxford University Baginya, prinsip dasar yang diakui umum
Press, 2003), hal. 239.

161 162
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

sejak dulu sampai sekarang, misalnya, What parliament


Demikian pula mengenai kebiasaan-kebiasaan ke-
says is law,228 adalah prinsip dasar yang melandasi cara
tatanegaraan, banyak sekali hal-hal yang sudah
berpikir hukum tata negara Inggris, meskipun hal ter-
dianggap kelaziman konstitusional yang tidak
sebut tidak tertulis. Akan tetapi, justru prinsip-prinsip
dipersoalkan orang lagi apakah ia tertulis atau tidak.
dasar semacam itulah yang melandasi suatu
Kebiasaan-kebiasaan itulah yang dikenal dengan istilah
konstitusi, termasuk konstitusi yang tertulis sekalipun.
konvensi ketatane- garaan atau constitutional
Betapapun juga, prinsip-prinsip dasar itulah yang
conventions. Menurut Dicey dalam bukunya “An
mengekspresikan asumsi-asumsi politik yang paling
Introduction to Study of the Law of the Constitution”,
dasar yang beroperasi dalam setiap negara (the basic
banyak prinsip-prinsip penting hukum konstitusi yang
principle expresses the most fundamental political
mengambil bentuk konvensi ketata- negaraan. Prinsip-
assumptions operating in a particular country). 229 prinsip dimaksud termasuk konvensi, kebiasaan, dan
Bahkan secara lebih mendasar lagi, apa yang praktik-praktik yang meskipun bersifat mengatur, tetapi
disebutnya sebagai basic principle ini se- benarnya sama sekali bukan hukum, karena tidak ditetapkan oleh
mirip dengan apa yang disebut oleh Hans Kel- sen parlemen ataupun oleh pengadilan.
dengan gerund norms (norma dasar) atau yang oleh
Di dalam praktik ketatanegaraan di Inggris,
Hans Nawiasky disebut staatsfundamentalnorm.
sebagian besar konvensi ketatanegaraan mengatur hubu-
Oleh John Alder, nilai-nilai moral dan politik juga
ngan antar cabang-cabang kekuasaan pemerintahan
dikelompokkan tersendiri:
“In a wider sense certain general political and pu- sat (central government), khususnya mengenai (i)
moral values pervade any constitution, and find the relationship between the monarch, ministers, and
expression in the formal rules of the constitution. They par- liament, (ii) the relationship between ministers
are both pol- itical and legal because they should among themselves, and (iii) the relationship between
pervade the entire system of government”.230 ministers and civil servants.231 Kadang-kadang konvensi
berfungsi sebagai devices for adjusting the strict law
Meskipun hal ini dapat dibenarkan, tetapi menge- to meet the changing demands of politics. Dengan
lompokkannya menjadi satu bentuk sumber hukum begitu, ia ber- fungsi melicinkan jalan sehingga norma
yang tersendiri, saya kira sudah sangat berlebihan. Oleh hukum dapat di- jalankan dengan kelenturan yang
sebab itu, baik nilai-nilai moral dan politik, maupun apa diperlukan dalam prak- tik. Oleh karena itu, dapat
yang disebut John Alder sebagai basic principles ditemukan banyak contoh konvensi ketatanegaraan
haruslah dili- hat sebagai satu kesatuan pengertian dalam praktik di Inggris. Misal- nya, peraturan
mengenai nilai- nilai dan norma yang hidup sebagai menentukan bahwa “The Queen’s assent is required
constitutional rules yang dianggap baik, dan oleh karena for a valid Act of Parliament”, tetapi dalam praktik
itu dapat diakui ter- masuk ke dalam pengertian hal itu berubah menjadi The Queen must always assent
konstitusi yang tidak tertulis. to a bill. Peraturan menentukan “Parliament must
meet at least every three years” berubah karena
konvensi menjadi Parliament must meet annually.232
228
229
Alder, Op. Cit., hal. 24.
Ibid.
231
230
Ibid. 232
Ibid., hal. 26-27.
Ibid. hal. 27-28.

163 164
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Selain itu, dalam ilmu hukum, pendapat para


pula dijadikan sebagai sumber hukum yang tidak
ahli yang dikenal luas dan diakui memiliki otoritas di
tertulis. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai the
bidang- nya, lazimnya diterima juga sebagai sumber
living consti- tutional values di tengah-tengah
hukum yang disebut dengan doktrin dalam ilmu
kehidupan kolektif war- ga negara.
hukum. Dalam sis- tem hukum fiqh, misalnya, dikenal
Oleh sebab itu, 7 (tujuh) macam sumber hukum ta-
juga pendapat maz- hab-mazhab yang diakui mengikat
tanegara yang kita maksudkan itu adalah:
dan dijadikan refe- rensi oleh hakim dalam memutus
(i) Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis;
sesuatu perkara. Inilah yang saya namakan sebagai the
(ii) Undang-undang dasar, baik pembukaannya mau-
professor’s law,233 yaitu dijadikan hukum karena
pun pasal-pasalnya;
pendapat ilmuwan hukum yang diakui mengikat.
(iii) Peraturan perundang-undangan tertulis;
Sebenarnya, inilah yang dinamakan sebagai doktrin
(iv) Yurisprudensi peradilan;
dalam ilmu hukum, yaitu pendapat ahli yang sudah
(v) Konvensi ketatanegaraan atau constitutional con-
diakui oleh para ahli lainnya sehingga ter- bentuk
ventions;
suatu pendapat yang diakui oleh umum (public
(vi) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi ius com-
opinion) atau dalam istilah latinnya sudah menjadi com-
minis opinio doctorum;
minis opinio doctorum. Dalam ilmu hukum, pendapat
(vii) Hukum Internasional yang telah diratifikasi atau
semacam itu juga diakui sebagai sumber hukum yang
telah berlaku sebagai hukum kebiasaan Internasio-
mengikat.
nal.234
Dengan perkataan lain, kita dapat juga mengajukan
jumlah sumber hukum itu dalam 7 (tujuh) bentuk.
Namun ketujuh sumber hukum yang kita maksudkan itu Ketujuh macam sumber hukum tata negara itu, da-
berbeda dari 7 (tujuh) sumber hukum menurut John pat diuraikan sebagai berikut.
Alder yang telah dikemukakan di atas. Alder menyebut
adanya unsur-unsur yang dinamakannya sebagai basic 1) Konstitusi yang Tidak Tertulis
principle, general political and moral values, dan Konstitusi ada yang tertulis dan ada yang tidak ter-
polical practices sebagai sumber hukum tata negara tulis. Konstitusi yang tertulis disebut undang-undang
Inggris. Bahkan, the rules of the policial parties juga da- sar, grondwet (Belanda), grondgezets (Jerman),
dimasuk- kannya dalam daftar sumber hukum. atau droit constitutionnel (Perancis). Sedangkan yang
Terlebih lagi, custom of the parliament juga ia ka- tidak tertulis tetap disebut sebagai konstitusi yang tidak
tegorikan sebagai strict law yang sejajar dengan hukum tertu- lis (onschreven constitutie, unwritten
constitution) yang
tertulis serta putusan pengadilan. Prinsip-prinsip dasar
yang tidak tertulis serta nilai-nilai moral dan politik 234
Khusus mengenai International Law ini, diakui juga menjadi bagian dari
yang dianggap ideal juga termasuk ke dalam pengertian sistem hukum nasional Inggris, tetapi harus melalui ratifikasi terlebih dahulu
kon- stitusi yang tidak tertulis, karenanya sudah sebelum menjadi hukum nasional dengan Acts of Parliament. Menurut
seharusnya Alder, secara formal, hukum internasional baru mengikat setelah diratifikasi
men- jadi hukum nasional, akan tetapi International Customary Law
berdasarkan jurisprudensi kasus Maclaine-Watson vs DoT (1988) dianggap
233
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, langsung mengikat secara hukum. Lihat John Alder, Ibid., hal. 24.
(Jakarta: MKRI-PSHTN, 2004).

165 166
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

juga termasuk pengertian gerund-norms atau norma


Di pihak lain, dalam kehidupan bermasyarakat dan
dasar atau hukum dasar (basic principles). Dalam
bernegara, ketiga norma konstitusi itu sendiri kadang-
uraian John Alder di atas, antara the basic principle dan
kadang berjarak antara satu sama lain. Apa yang ditulis
gene- ral political and moral values dibedakan satu
di dalam teks konstitusi dengan apa yang menjadi
sama lain. Namun keduanya berada dalam dunia yang
pikiran kolektif warga negara boleh jadi tidak berse-
sama, yaitu dunia nilai-nilai dan norma yang tidak
suaian satu sama lain. Demikian pula apa yang ditulis di
tertulis dan berisi prinsip-prinsip yang diidealkan dalam
dalam teks dengan apa yang nyatanya dilakukan dalam
peri kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip yang
praktik penyelenggaraan kegiatan bernegara. Begitupun,
diidealkan itu dapat be- rupa sesuatu yang diidealkan
ada juga yang dipikirkan dengan apa yang dikerjakan
secara kognitif (collective minds), dan dapat pula
kadang-kadang juga tidak cocok satu dengan yang lain.
dianggap ideal karena memang tercermin dalam pola
Keadaan ini tentu tidak ideal. Sebab, antara norma ideal
perilaku nyata (actual behavioral realities) dalam
(ideal norms) dengan tindakan yang dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berne- gara.
kenyataan (actual behaviors) tidak sama. Untuk menga-
Dengan demikian, kita dapat membedakan antara tasi persoalan jurang atau gap dan diskrepansi antar
(i) pengertian-pengertian norma konstitusi dalam teks ketiga norma aturan konstitusional dengan kenyataan
(textually written constitutional rules), (ii) norma kon- (the actual realities) itulah diperlukan pendidikan ke-
stitusi dalam pikiran warga negara (cognitively percei- warganegaraan (civic education), pendidikan politik,
ved constitutional rules), dan (iii) norma konstitusi dal- serta komunikasi politik yang mencerahkan.
am perilaku nyata segenap warga negara (actually wor- Undang-undang dasar yang berisi norma-norma
king constitutional rules). Apa yang dimaksudkan de- ideal haruslah menjadi living constitution atau
ngan nilai konstitusi yang tidak tertulis itu adalah yang konstitusi yang hidup dan dekat dengan segenap warga
kedua dan yang ketiga, yaitu nilai-nilai dan norma hu- negara. Setiap warga negara haruslah merasa akrab
kum tata negara yang dianggap ideal tetapi tidak dengan un- dang-undang dasar dan merasa dilindungi
tertulis, juga harus diterima sebagai norma konstitusi hak-haknya sebagai warga negara oleh undang-undang
yang me- ngikat dalam penyelenggaraan kegiatan dasar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan
bernegara. Nilai- nilai dan norma yang dimaksud dapat referensi tertinggi dalam setiap urusan kenegaraan.
berupa pikiran- pikiran kolektif dan dapat pula berupa Sebagai satu kesatuan sistem rujukan ketatanegaraan,
kenyataan-kenya- taan perilaku yang hidup dalam undang-undang dasar juga dipercaya sebagai alat
masyarakat negara yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pemersatu bangsa dalam kegiatan bernegara. Oleh
constitutional rules di seti- ap negara berbeda-beda satu karena itu, adalah tugas para guru dan para pemimpin,
dengan yang lain. Meski- pun pola konstitusi tertulisnya baik formal maupun informal, untuk membangun
sama, tetapi karena ko- munitas kehidupan warganya keteladanan serta mentransformasi- kan nilai-nilai dan
berbeda, maka tentu constitutional rules yang menjadi pengetahuan ketatanegaraan menjadi bagian dari
sumber hukum dalam membuat keputusan-keputusan kesadaran kognitif dan kenyataan perilaku segenap
kenegaraan harus ber- beda satu dengan yang lain. warga negara. Tanggung jawab pendidikan (civic
education) semacam ini sudah seharusnya di- emban
oleh semua guru, semua pemimpin, semua insti-

167 168
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tusi kenegaraan dan pemerintahan, serta semua pejabat


“Penjelasan Tentang UUD 1945”, bukan dimaksud-
publik dalam sistem kenegaraan dimana saja mereka
kan sebagai “Penjelasan UUD 1945”;235
berada dan bekerja.
(ii) Periode 2 (1959-1999): berisi naskah UUD 1945 di-
tambah Penjelasan UUD 1945;236
2) Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi Tertulis
(iii) Periode 3 (1999-2000): berisi naskah UUD 1945
Undang-Undang Dasar merupakan naskah konsti-
versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
tusi yang tertulis dalam satu kodifikasi (written
tahun 1999;237
constitu- tion, schreven constitutie). Republik Indonesia
(iv) Periode 4 (2000-2001): berisi naskah UUD 1945
pernah mempunyai beberapa versi naskah yang
versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
berbeda, yaitu:
tahun 1999 dan Perubahan Kedua tahun 2000;238
(i) UUD 1945 periode 1: 1945-1949, (ii) Konstitusi RIS
Tahun 1949, (iii) UUDS Tahun 1950, (iv) UUD 1945
periode 2: tahun 1959-1999, (v) UUD 1945 periode 3:
tahun 1999-2000, (vi) UUD 1945 periode 4: tahun 2000- 235
Berita Repoeblik Indonesia Tahun II No. 7, 15 Februari 1946. Dalam
2001, (vii) UUD 1945 periode 5: tahun 2001-2002, Berita Repoeblik Indonesia ini, Penjelasan UUD 1945 tercantum dalam
dan halaman yang terpisah dari naskah UUD 1945, karena memang
(viii) UUD 1945 periode 6: tahun 2002 sampai dimaksudkan sekedar sebagai Penjelasan Tidak Resmi tentang UUD 1945
itu. Bahkan judulnya pada bagian terpisah dari naskah UUD 1945 ditulis
dengan sekarang. “Pendjelasan Tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Indonesia” dengan
Naskah UUD 1945 dalam kedelapan periode itu catatan dari redaksi: “Oentoek memberikan kesempatan lebih loeas lagi
berbeda-beda satu dengan yang lain dikarenakan terjadi- kepada oemoem mengenali isi Oendang-Oendang Dasar Pemerintah jang
nya perubahan-perubahan. Naskah yang terakhir setelah seoetoehnja, di ba- wah ini kita sadjikan pendjelasan selengkapnja”. Tetapi
Perubahan Keempat tahun 2002 diberi nama resmi Un- setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, naskah Penjelasan yang
terpisah itu dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dengan naskah UUD
dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga selanjut- nya dipakai sebagai penjelasan yang bersifat resmi
1945. Dalam naskah terakhir ini, versi resminya dan dianggap mengikat secara hukum.
adalah naskah yang terdiri atas 5 (lima) dokumen, 236
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini sangat terkenal, karena salah satu
yaitu (i) naskah UUD 1945 versi Dekrit Presiden 5 isinya yaitu menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 setelah sebelumnya
Juli 1959, di- tambah 4 (empat) naskah lampiran, tidak lagi diberlakukan secara nasional dengan terbentuknya Republik
Indonesia Serikat pada tahun 1949. Di masa RIS, diberlakukan Konstitusi
yaitu (ii) naskah Perubahan Pertama UUD 1945 tahun RIS Tahun 1949, dan kemudian setelah bentuk negara kita kembali ke
1999, (iii) naskah Perubahan Kedua UUD 1945 tahun negara kesatuan diberlakukanlah UUDS Tahun 1950, sambil mempersiapkan
2000, (iv) naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun undang-undang dasar baru. Untuk itu, sesuai hasil Pemilu 1955, dibentuklah
2001, dan (v) naskah Perubahan Keempat UUD 1945 Konstituante dengan tugas menyusun naskah UUD baru itu. Oleh karena
tahun 2002. Perbedaan- perbedaan antar naskah itu Konstituante tidak berhasil menyelesaikan tugasnya, Presiden mengeluarkan
Dekrit kembali ke UUD 1945 sejak tanggal 5 Juli 1959.
dapat digambarkan sebagai berikut: 237
Perubahan Pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Majelis Pe-
(i) Periode 1 (1945–1959): berisi naskah asli UUD rmusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
1945 tanpa disertai dengan penjelasan resmi, karena Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,
pada awalnya status penjelasan ini hanya 1999).
238
Perubahan Kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Majelis
merupakan Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar

169 170
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

(v) Periode 5 (2001-2002): berisi naskah UUD 1945


seperti ini, dapat dikatakan merupakan cara
versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
penerbitan naskah yang tidak resmi. Penerbitan
tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, dan
demikian dilakukan semata-mata untuk maksud
Perubahan Ketiga tahun 2001;239
memudahkan pembacanya sesuai usulan yang saya
(vi) Periode 6 (2002 s.d. sekarang): berisi naskah UUD
sendiri berkali-kali sarankan agar naskah Undang-
1945 versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
Undang Dasar 1945 yang telah em- pat kali diubah itu
tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Peruba-
dikonsolidasikan menjadi satu kesatu- an naskah.
han Ketiga tahun 2001, dan Perubahan Keempat
Dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 yang
tahun 2002.240 saya susun dan saya terbitkan sebelum Sekretariat
Jen- deral MPR-RI menerbitkan versi naskah
Susunan naskah yang terakhir inilah yang dapat
konsolidasi itu, saya sendiri pun sudah menyinggung
dikatakan naskah resmi sejak Perubahan Keempat tahun
pentingnya upaya menyatukan naskah UUD 1945 yang
2002, yaitu terdiri atas 5 (lima) berkas yaitu (i)
telah empat kali me- ngalami perubahan itu. 242 Oleh
naskah UUD 1945 versi Dekrit Presiden 5 Juli
sebab itulah saya menerbitkan buku Konsolidasi
1949, 241 (ii) naskah Perubahan Pertama UUD 1945,
Naskah UUD 1945 ter- sebut disertai “footnotes” di
(iii) naskah Perubahan Kedua UUD 1945, (iv)
setiap rumusan pasal dan ayat sebagai keterangan
naskah Perubahan Ketiga UUD 1945, dan (v) naskah
yang berisi komentar dan pen- dapat saya mengenai
Perubahan Keempat UUD 1945. Kelima naskah ini
setiap butir ketentuan UUD 1945 pasca Perubahan itu.
dicetak dalam bentuk kon- solidasi oleh Sekretariat
Saya sendiri berpendapat bahwa Komisi Konstitusi243
Jenderal MPR, di mana setiap pasal baru diberi
yang dibentuk pada tahun 2003, se- mestinya
catatan kaki dengan kode bintang (*), (**), (***), atau
dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan tugas
(****) sesuai dengan nomor Perubahan UUD 1945-NYA.
konsolidasi yang demikian itu. Sayangnya, Komisi
Cara penulisan dan menerbitkan atau
Kon- stitusi malah bekerja melampaui mandatnya
membukukannya jadi satu kesatuan yang
sendiri,244 sehingga hasil kerjanya diabaikan sama sekali
terkonsolidasi
oleh MPR. Akibatnya, aspirasi dan kebutuhan untuk
mengadakan konsolidasi naskah UUD Negara
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR Republik Indonesia Tahun 1945 itu tidak berhasil
RI,
239
2000). dicapai.
Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 19 November 2001. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Namun sebagai gantinya, Badan Pekerja MPR sen-
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR diri berhasil menjadikan lima naskah terpisah itu
RI, 2001). menja-
240
Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Ne-
242
gara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, Lihat Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Peruba-
2002). han Keempat, edisi ke-1 oleh PSHTN-FHUI, Jakarta, 2002, dan Edisi ke-2
241
Dekrit Presiden beserta lampirannya berupa UUD 1945 diundangkan oleh
243
Watampone Press, 2003.
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959. Lihat Sri Komisi Konstitusi ini dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/
Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alum- MPR/2002 Tahun 2002 dan Putusan Rapat Paripurna ke-6 (lanjutan)
ni, 1992), hal. 52-53. bertang- gal 11 Agustus 2002 Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002.
244
Lihat dalam laporan Komisi Konstitusi, Sekretariat Jenderal MPR-RI,

171 172
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
2003.

171 172
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

di satu kesatuan yang diterbitkan menjadi naskah tersen-


Sesudah Perubahan UUD 1945, maka pada
diri dengan mencontoh apa yang saya kerjakan sebelum-
tahun 2004 telah diundangkan Undang-undang
nya. Namun, naskah konsolidasi itu harus dianggap ber-
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
sifat tidak resmi, karena penyatuannya menjadi
Peraturan Perun- dang-undangan246 yang kemudian
satu naskah itu bukan dilakukan secara resmi oleh
menjadi sumber ruju- kan dalam rangka pembentukan
sidang MPR, melainkan hanya oleh kesepakatan intern
peraturan perundang- undangan. Sumber-sumber
tim kerja Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR. Tim
hukum yang pertama inilah yang disebut di atas sebagai
itulah yang meminta Sekretariat Jenderal MPR untuk
sumber hukum formal, yaitu naskah undang-undang
menerbitkan naskah konsolidasi itu dalam satu
dasar dan peraturan perundang- undangan tertulis
rangkaian dengan nas- kah UUD 1945 selengkapnya.
lainnya.
Maksudnya tiada lain ada- lah untuk memudahkan para
Pada umumnya, hukum tertulis itu merupakan pro-
pembaca untuk mempelaja- ri isi Undang-Undang Dasar
duk legislasi oleh parlemen atau produk regulasi oleh
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara utuh dan
pemegang kekuasaan regulasi yang biasanya berada di
menyeluruh.
tangan pemerintah atau badan-badan yang mendapat
delegasi kewenangan regulasi lainnya. Oleh karena itu,
3) Peraturan Perundang-undangan Tertulis bentuknya dapat berupa legislative acts seperti Undang-
Kelima sumber hukum, sebagaimana telah Undang atau executive acts seperti Peraturan
diurai- kan sebelumnya secara ringkas, secara umum Pemerin- tah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Bank
diakui baik di dunia teori maupun praktik di berbagai Indonesia, Peraturan KPU, KPPU, KPI, dan
negara kon- stitutional (constitutional states). Namun, sebagainya. Demikian pula lembaga-lembaga pelaksana
di setiap nega- ra dalam arti hukum tata negara undang-undang lain- nya biasa diberi pula
positif, pengaturan rincinya tentu berbeda-beda satu kewenangan untuk menetapkan sendiri peraturan-
sama lain, terutama berkenaan dengan peraturan peraturan yang bersifat internal seper- ti Mahkamah
perundang-undangan yang bersifat tertulis sebagai Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung
sumber hukum pertama dan utama. Dalam sistem (PERMA), 247 Mahkamah Konstitusi menetapkan
hukum Indonesia pun dari waktu ke waktu terjadi Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), 248 Badan
perubahan demi perubahan. Terakhir, sebelum Pemeriksa Keuangan juga demikian, dan lain-lain
diadakan perubahan atas Undang-Undang Da- sar seba- gainya.
1945, ketentuan mengenai sumber tertib hukum itu Namun, peraturan-peraturan yang termasuk pe-
diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966 ten- ngertian executive acts tersebut, tidak disebut secara
tang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia yang tetapi pada akhirnya dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan MPR No.V/
MPR/1973.
kemudian diubah dengan Ketetapan MPR No. 246
Indonesia, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Peundang-
III/MPR/2000.245 undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389.
247
Lihat Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. UU
245
No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Sebelumnya, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memoran- Mahkamah Agung.
dum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata 248
Lihat Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia ini pernah ditinjau ulang,
173 174
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

khusus dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun


turan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierar-
2004. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
ki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.
undang No- mor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis
4) Yurisprudensi Peradilan
dan hierarki peraturan per- undang-undangan Republik
Sumber berikutnya adalah yurisprudensi. Dalam
Indonesia hanya terdiri atas:
sistem common law, putusan pengadilan inilah yang
i) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
jus- tru lebih utama sesuai dengan asas precedent. Akan
Tahun 1945;
teta- pi dalam tradisi civil law, putusan pengadilan tidak
ii) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
di- anggap paling utama, meskipun tetap dijadikan
Undang-undang;
sebagai salah satu sumber hukum. Tidak semua putusan
iii) Peraturan Pemerintah;
penga- dilan dapat dijadikan referensi yang mengikat.
iv) Peraturan Presiden;
Untuk dapat mengikat sebagai sumber hukum, putusan
v) Peraturan Daerah.
penga- dilan harus lebih dulu memenuhi syarat
sehingga diakui sebagai yurisprudensi yang harus pula
Peraturan Daerah (Perda), sebagaimana
dibedakan dari istilah yang sama yang biasa ditemukan
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004
dalam literatur common law.
dan seba- gainya, meliputi:
Di Inggris, Amerika, Kanada, dan Australia, istilah
a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan per-
jurisprudence berarti ilmu hukum. Sebab sejak semula,
wakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gu-
hukum dalam tradisi Anglo Saxonia memang tumbuh
bernur;
dari putusan-putusan pengadilan. Ilmu hukum dikem-
b) Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh
bangkan dengan cara mempelajari kasus-kasus dan
dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota
putusan pengadilan. Oleh karena itu, lama kelamaan, is-
bersama bupati/walikota;
tilah jurisprudence di Inggris dan negara-negara berba-
c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat
hasa Inggris lainnya yang dipengaruhi oleh sistem hu-
oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya ber-
kum Anglo Saxon, berkembang dalam pengertian ilmu
sama dengan kepala desa atau nama lainnya.
hukum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pem-
Dalam sistem kontinental seperti di Jerman,
buatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, menu-
Peran- cis, dan Belanda, putusan pengadilan dianggap
rut Pasal 7 ayat (3), diatur dengan Peraturan Daerah
sebagai salah satu saja dari norma hukum yang
kabupaten/kota yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam
dipelajari dan di- jadikan sumber hukum. Untuk itu,
Pasal 7 ayat (4) dinyatakan bahwa jenis peraturan
istilah jurisprudentie di Belanda menunjuk kepada
per- undang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pengertian putusan penga- dilan yang bersifat tetap
pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai
yang kemudian dijadikan refe- rensi bagi hakim lain
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
dalam memeriksa perkara serupa di kemudian hari.
oleh peratu- ran perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengertian inilah yang diadopsi ke da- lam sistem
Sebab, seper- ti ditentukan dalam ayat (5)-nya, kekuatan
hukum Indonesia.
hukum pera-

175 176
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Seperti dikemukakan di atas, tidak semua putusan


tidak identik dengan kebiasaan. Dengan demikian, kon-
pengadilan dapat menjadi atau dianggap sebagai yuris-
vensi ketatanegaraan juga tidak identik dengan kebiasa-
prudensi. Dalam sistem hukum Indonesia, dipersyarat-
an ketatanegaraan. Kebiasaan menuntut adanya perula-
kan bahwa putusan pengadilan itu (i) harus sudah
ngan yang teratur, sedangkan konvensi tidak selalu
meru- pakan putusan yang berkekuatan hukum tetap
harus didasarkan atas perulangan. Konvensi
(inkracht van gewijs), (ii) dinilai baik dalam arti
ketatanegaraan (the conventions of the constitution)
memang meng- hasilkan keadilan bagi pihak-pihak
dapat berbentuk kebiasaan, dapat pula berbentuk
bersangkutan, (iii) putusan yang harus sudah berulang
praktik-praktik (prac- tices) ataupun constitutional
beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di
usages. Terhadap hal ini, yang penting adalah bahwa
beberapa tempat terpisah, (iv) norma yang terkandung
kebiasaan, kelaziman, dan praktik yang harus dilakukan
di dalamnya me- mang tidak terdapat dalam peraturan
dalam proses penyelengga- raan negara, meskipun tidak
tertulis yang ber- laku, atau kalaupun ada tidak begitu
tertulis, dianggap baik dan berguna dalam
jelas, dan (v) putu- san itu dinilai telah memenuhi syarat
penyelenggaraan negara menurut un- dang-undang
sebagai yurispru- densi dan direkomendasikan oleh tim
dasar. Oleh karena itu, meskipun tidak di- dasarkan atas
eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk
ketentuan konstitusi tertulis, hal itu tetap dinilai penting
oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi
secara konstitusional (constitutionally meaningful).
untuk menjadi yuris- prudensi yang bersifat tetap.
Untuk diakui sebagai yurisprudensi yang bersifat Oleh sebab itu, konvensi ketatanegaraan atau
tetap, putusan pengadilan harus memenuhi kelima kebiasaan ketatanegaraan semacam itu dianggap harus
per- syaratan tersebut secara kumulatif.249 Namun ditaati sebagai konstitusi juga, yaitu sebagai konstitusi
demikian, sekali putusan pengadilan itu benar-benar yang tidak tertulis. Tentu, konvensi atau kebiasaan itu
telah diang- gap sebagai yurisprudensi, maka bagi para sendiri dapat saja diubah. Cara mengubahnya tidak
hakim di pe- ngadilan, statusnya dianggap sebagai sesulit jika dibandingkan dengan konstitusi yang
salah satu sumber hukum yang mengikat seperti halnya tertulis. Konvensi ketatanegaraan ataupun kebiasaan
undang-undang. ketatane- garaan dapat saja diubah dengan melakukan
penyim- pangan yang dianggap perlu sebagai konvensi
5) Konvensi Ketatanegaraan baru yang untuk selanjutnya, setelah dilakukan
Sumber selanjutnya adalah konvensi ketatanegara- berulang-ulang, menjadi kebiasaan yang baru pula.
Seperti diuraikan di atas, dalam praktik ketatane-
an atau constitutional conventions atau kadang-
garaan Inggris, sebagian besar konvensi ketatanegaraan
kadang disebut juga conventions of the constitution.250
mengatur hubungan antar cabang-cabang kekuasaan
Konvensi
pe- merintahan pusat (central government), khususnya
249
me- ngatur (i) the relationship between the monarch,
Bandingkan dengan Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah minis- ters, and parliament, (ii) the relationship
Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.11-12. Baca juga Yuris-
prudensi dalam Perspektif Pembangunan Hukum Administrasi Negara, (Ja-
between mi- nisters among themselves, and (iii) the
karta: Mahkamah Agung, 1995). relationship bet-
250
Hal tersebut misalnya dikemukan oleh A.V. Dicey dan kemudian diikuti
oleh banyak sarjana Inggris lainnya, seperti misalnya John Alder yang me-
nyebutnya dengan istilah conventions of the constitution.

177 178
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

ween ministers and civil servants. 251 Kadang-


the House of Commons – nowadays an elected party
kadang konvensi berfungsi sebagai devices for
leader, (ii) The Queen must appoint and dismiss the per-
adjusting the strict law to meet the changing
sons nominated by the Prime Minister all of whom must
demands of politics. Dengan begitu, kebiasan-
usually the Members of Parliament and most
kebiasaan ketatanegaraan itu berfungsi melancarkan
members of the House of Commons, dan (iii) The
jalan sehingga norma hukum dapat dijalankan dengan
government must resign if defeated on a vote of
mulus dalam praktik.
confidence in the House of Commons.252
Dalam pengalaman di Inggris, seperti contoh yang
Di Indonesia juga dapat ditemukan banyak konven-
telah diuraikan sebelumnya, peraturan tertulis tegas
si ketatanegaraan yang dipraktikkan sejak dulu
menentukan bahwa “The Queen’s assent is required for
sampai sekarang. Umpamanya, adanya kebiasaan
a valid Act of Parliament”. Dalam praktik hal itu
penyeleng- garaan kegiatan Pidato Kenegaraan Presiden
berubah dan akhirnya berkembang sebagai konvensi
pada Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 16 Agustus setiap
yaitu bahwa The Queen must always assent to a bill.
tahun, baik yang berlaku sejak awal masa
Peraturan ter- tulis juga menentukan “Parliament must
pemerintahan Presiden Soeharto maupun yang berlaku
meet at least every three years”, tetapi kemudian
sampai dengan sekarang. Di masa pemerintahan
berubah karena konvensi menjadi Parliament must
Presiden Soekarno, pidato kene- garaan semacam itu
meet annually.
dilaksanakan langsung di hadapan rakyat di depan
Peraturan tertulis di Inggris juga menentukan
Istana Merdeka pada setiap tanggal 17 Agustus,
bahwa “The Queen constitutes the executive branch of
sekaligus dalam rangka perayaan hari kemer- dekaan.
government but cannot make law nor raise taxes
Pidato Presiden Soekarno di depan istana ter- sebut
except through an Act of Parliament”. Tetapi dalam
biasanya disebut sebagai “Amanat 17 Agustus”.
praktik, hal tersebut berubah akibat adanya konvensi
Beberapa sarjana dan juga Presiden Soekarno sendiri
sehingga menjadi beberapa norma, yaitu: (a) The Queen
menyatakan bahwa pidatonya itu merupakan bentuk per-
acts only on the advice of Ministers; (b) The cabinet is
tanggungjawabannya sebagai Pemimpin Besar
collectively responsible to Parliament for the conduct of
Revolusi, bukan sebagai Presiden.
the govern- ment, (c) Ministers are individually Namun, setelah masa Orde Baru, pidato kenegara-
responsbile to Par- liament for the conduct of their an tersebut diubah menjadi pidato kenegaraan di depan
departments; (d) Legis- lation involving taxation and rapat paripurna DPR-RI, dan fungsinya dikaitkan de-
public expenditure can be introduced only by ngan penyampaian nota keuangan dalam rangka ranca-
ministers; (e) Executive powers are exercised through ngan APBN oleh Presiden kepada DPR-RI. Dengan
ministers, who are collectively and individually demi- kian, fungsi Pidato Presiden tersebut berubah
responsible to Parliament. menjadi pidato yang bersifat lebih teknis, dan bukan lagi
Contoh lain lagi adalah bahwa peraturan tertulis sebagai pidato yang bersifat simbolik dan sekaligus
menentukan “The Queen appoints and dismisses minis- kerakyatan, sehingga tepat disebut sebagai Pidato
ters” tetapi dalam praktik berubah oleh konvensi menja- Kenegaraan yang
di (i) The Queen must appoint as Prime Minister the
person who can command the support of a majority
of

179 180
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
251 252
Alder, Op. Cit., hal. 26-27. Ibid. hal. 27-28.

179 180
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

diadakan khusus satu kali dalam setiap tahun dalam


peraturan tertulis yang berlaku; (iii) pendapat hukum
rangka perayaan hari kemerdekaan.
dimaksud telah diakui keunggulannya dan diterima oleh
Hal ini diteruskan sampai sekarang, sehingga
umum, khususnya di kalangan sesama ilmuwan. Dengan
timbul persoalan mengenai keterlibatan Dewan
kata lain, pendapat yang bersangkutan sudah menjadi
Perwaki- lan Daerah setelah terbentuk sebagai lembaga
ius comminis opinion doctorum atau sudah menjadi
negara yang tersendiri di samping Dewan Perwakilan
prinsip atau pendapat ilmiah yang diterima oleh umum
Rakyat. Namun, untuk mengatasi hal itu, diadakan
pengaturan sehingga Presiden juga dijadwalkan
7) Hukum Internasional
menyampaikan pi- dato kenegaraan yang tersendiri di
Hukum publik internasional secara umum diang-
hadapan Dewan Per- wakilan Daerah, yaitu pada setiap
gap juga menjadi sumber hukum tata negara. Meskipun
akhir bulan Agustus. Pidato di depan DPD tersebut juga
sama-sama menjadikan negara selaku subjek hukum se-
dimanfaatkan untuk menyampaikan keterangan
bagai objek kajiannya, antara hukum tata negara
pemerintah mengenai APBN, khususnya yang berkaitan
(consti- tutional law) dengan hukum internasional
dengan kepentingan daerah- daerah di seluruh
publik (Inter- national public law) jelas dapat
Indonesia.
dibedakan satu sama lain. Hukum tata negara melihat
negara dari segi inter- nalnya, sedangkan hukum
6) Doktrin Ilmu Hukum (ius comminis opinio docto-
internasional melihat negara dari hubungan
rum)
eksternalnya dengan subyek-subyek nega- ra lain.
Doktrin ilmu pengetahuan hukum juga dapat dija-
dikan sumber hukum (the source of law), karena penda-
3. Contoh Sumber Hukum Tata Negara Inggris
pat seorang ilmuwan yang mempunyai otoritas dan kre-
dibilitas dapat dijadikan rujukan yang mengikat dalam
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan di sini
membuat keputusan hukum. Fatwa atau legal opinion
pendapat A.W. Bradley dan K.D. Ewing mengenai sum-
merupakan pendapat hukum yang tidak mengikat. Pen-
ber hukum tata negara Inggris (the sources of consti-
dapat hukum itu dapat diajukan oleh ilmuwan hukum
tutional law in Britain) yang menurutnya sama saja de-
mengenai sesuatu persoalan atau oleh lembaga negara
ngan sumber hukum pada umumnya. Perbandingan ini
resmi, seperti Mahkamah Agung, asalkan pengaturan
penting, karena berbeda dengan negara-negara lain,
mengenai hal itu memang tidak terdapat dalam pera-
Ing- gris dikenal tidak memiliki naskah undang-undang
turan tertulis yang berlaku. Dalam hal demikian, maka
dasar yang bersifat tertulis dalam arti terkodifikasi
pendapat hukum (legal opinion) itu dapat dijadikan ru-
dalam satu naskah. Menurut kedua sarjana Inggris ini:
jukan dalam membuat keputusan asalkan memenuhi “In the absence of a written constitution, the two main
beberapa persyaratan. sources of constitutional law are the same as those
Persyaratan dimaksud adalah bahwa (i) ilmuwan of law in general, namely: (a) legislation (or
yang bersangkutan dikenal dan diakui luas sebagai ilmu- enacted law), and (b) judicial precedent (or case law).
253
wan yang memiliki otoritas di bidangnya dan mempu-
nyai integritas yang dapat dipercaya; (ii) terhadap perso-
alan yang bersangkutan memang tidak ditemukan dalam 253
Bradley and Ewing, Op Cit., hal 12-13.

181 182
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Walaupun peradilan dengan sistem juri dan dengan


Untuk lebih jelasnya, keduanya dapat dielaborasi- the writ of habeas corpus dipengaruhi oleh sumber-sum-
kan sebagai berikut: ber tradisi yang lain, Chapter 29 Magna Charta
menya- takan bahwa “no man should be punished
a. Legislation (Enacted Law) except by the judgement of his peers or the law of the
Sumber hukum pertama adalah peraturan perun- land and that to none should justice be denied”.
dang-undangan tertulis, termasuk acts of Parliament, Ketentuan ini mencer- minkan protes melawan
peraturan-peraturan tertulis yang ditetapkan oleh hukuman yang sewenang-we- nang dan pembatasan
peme- rintah, dan peraturan-peraturan yang ditetapkan terhadap peradilan yang fair (fair trial), serta sistem
oleh lembaga-lembaga lainnya yang mendapat delegasi hukum yang adil (just legal system). Sekarang,
kewe- nangan regulasi dari parlemen. Oleh karena beberapa ketentuan Magna Charta itu masih terdapat
Inggris tidak memiliki naskah undang-undang dasar dalam Statute Book tetapi telah diubah dengan sebutan
tertulis yang ter- sendiri, maka sejak dulu sampai the nearest approach to an irrepealable “funda- mental
sekarang cukup banyak undang-undang yang disahkan statute” that England has ever had.254
oleh parlemen yang ber- hubungan dengan sistem
penyelenggaraan pemerin- tahan. Mengenai hal ini yang 2) Petition of Right
dianggap paling penting di antaranya adalah: Dokumen atau naskah lain yang juga diundangkan
oleh Parlemen Inggris pada era konflik konstitusional
1) Magna Charta berikutnya adalah Petition of Right pada 1628, yang
Magna Charta dianugerahkan oleh Raja John pada di- tuangkan dalam Statute Book pada bagian 3 Car 1 c
tahun 1215 di Runnymede kepada the nobles, dan dalam 1.255 Petisi ini mengandung protes melawan kebijakan
berbagai bentuknya dengan persetujuan parlemen Ing- per- pajakan yang diterapkan tanpa didasarkan atas
gris dikonfirmasi oleh raja-raja berikutnya. Magna Char- persetu- juan parlemen, pemenjaraan yang semena-
ta muncul dalam Statute Book yang dikonfirmasi oleh mena, pene- rapan keadaan darurat militer di masa
Raja Edward I pada tahun 1297. Pentingnya piagam atau damai, dan pe- maksaan kebijakan penginapan bagi
charter ini adalah di dalamnya terdapat statement of tentara di tempat- tempat sipil (private persons).
grievances yang dirumuskan atas nama sebagian Terhadap protes-protes itu, Raja akhirnya menyerah,
besar komunitas rakyat which the king undertook to meskipun akibat selan- jutnya dari konsesi yang
redress. Piagam Magna Charta ini juga merumuskan diberikan itu diperlemah lagi oleh pandangan Charles
hak-hak bagi berbagai kelas masyarakat abad I yang menyatakan bahwa hak prerogatifnya sendiri
pertengahan itu se- suai dengan kebutuhan mereka masih tetap tidak terhapus.
masing-masing. Gereja diharuskan untuk bebas,
London dan kota-kota lainnya harus menikmati
kebebasan dan adat kebiasaannya ma- sing-masing, dan
para pedagang tidak boleh dipaksa un- tuk membayar 254
Pollock and Maitland, History of English Law, Vol. 1, hal. 173; juga
pajak yang tidak adil. dalam R vs. Home Industry, ex Phansopkar, 1976, QB 606; R vs. Foreign
Secretary,
255
ex Bancoult, 2001, QB 1067; dan A. Tomkins, 2001, PL. 571.
Halsbury’s Statutes, Vol. 10, hal. 26. Lihat juga Bradley and Ewing, Op.
Cit., hal.13, ft. 10.

183 184
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

3) Bill of Right and Claim of Right war for the defence of any dominions or territories
Revolusi Kemenangan tahun 1688 atau The glo- which do not belong to the crown of England, without
rious revolution of 1688 menyebabkan jatuhnya James II consent of Parliament. That no person who has an
of England dan James VII of Scotland dari office or place of profit under the King or receives a
singgasana- nya, dan dipulihkannya kekuasaan monarki pension from the crown shall be capable of serving as
di kedua ke- rajaan itu sesuai dengan syarat-syarat a member of the House of Commons.”
yang ditentukan oleh masing-masing parlemen Inggris “That ... judges’ commissions be made ‘quamdiu se
dan Skotlandia. Di Inggris, yang menyetujui The Bill of bene gesserint’ [so long as they are of good
Rights itu adalah House of Lords dan sisa-sisa anggota behaviour], and their salaries ascertained and
parlemen terakhir masa Charles II pada tahun 1689 established, but upon the address of both Houses of
Parliament it may be lawful to remove them. That no
yang selanjutnya di- konfirmasi oleh parlemen yang
pardon under the great seal of England be pleadable
terbentuk sesudah revo- lusi.256 to an impeachment by the Com- mons in
Hal inilah yang selanjutnya menjadi landasan bagi Parliament”.258
konstitusionalisme modern Inggris dengan meninggal-
kan klaim yang biasa dikenal dengan the extravagant 5) Other Statutes of Constitutional Importance
claims of the Stuarts to rule by prerogative right. Di samping itu, banyak lagi undang-undang lain
yang dalam sistem ketatanegaraan Inggris dianggap
4) The Acts of Settlement mempunyai constitutional importance karena diakui se-
Undang-undang Pemukiman Tahun 1700 ini diun- bagai bagian dari pengertian hukum tata negara
dangkan oleh parlemen Inggris, tidak saja Inggris dalam arti yang luas. Untuk menyebut beberapa
menyediakan mekanisme suksesi ke singgasana, tetapi di anta- ranya yaitu the Act of Union with Scotland
juga menam- bahkan berbagai ketentuan penting yang tahun 1707, the Act of Union of Ireland, the
bersifat kom- plementer terhadap naskah Bill of Parliament Act tahun 1911 dan tahun 1949, the
Rights. The Bill of Rights dan The Acts of Settlement Crown Proceedings Act tahun 1947, the European
tersebut menandai kemenangan parlemen atas Communities Act tahun 1972, the British Nationality
tuntutan atau klaim Raja untuk memerintah menurut Act tahun 1981, dan the Public Order Act tahun 1986.
prinsip hak prerogatif yang bersifat mutlak. 257 Sebagai Selain itu, dalam beberapa tahun ter- akhir ini,
contoh, dalam Acts of Sett- lement ini ditentukan terdapat pula beberapa undang-undang baru yang
bahwa: disahkan antara tahun 1997 sampai dengan tahun
“That shosoever shall hereafter come to the possession
of this crown shall join in communion with the Church
2000. Misalnya, dapat dikemukakan di sini adalah
of England as by law established. That in case the the Scotland Act tahun 1998, the Human Rights Act
crown and imperial dignity of this realm shall tahun 1998, dan the House of Lords Act tahun 1999,
hereafter come to any person, not being a native of this serta undang-undang anti-terorisme atau the
kingdom of England, this nation be not obliged to Terrorism Act tahun 2000.
engage in any Sekiranya Inggris memiliki naskah undang-
undang dasar tertulis, tentulah materi-materi undang-
256
257
Ibid., hal. 14. undang
Ibid., hal. 15.

185 186
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
258
Ibid., hal. 40.

185 186
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tersebut di atas seharusnya tercantum dalam naskah un-


lenggaraan referendum apabila muncul usulan
dang-undang dasar, sehingga untuk mengadopsikannya
untuk melakukan perubahan ketentuan konstitusional
memerlukan perubahan-perubahan naskah undang-un-
tertentu telah pula dikembangkan sejak tahun 1973.
dang dasar sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
dikatakan oleh A.W. Bradley dan K.D. Ewing:
b. Judicial Precedent (Case Law)
“.... in two respects a distinction is sometimes drawn
between constitutional and other legislation. First, Sumber utama lainnya dari rule of law di
the House of Commons may refer Bills of Inggris dapat ditemukan dalam berbagai putusan
constitutional significance for detailed consideration pengadilan yang lebih tinggi atau pengadilan
to a committee of the whole House rather than to a terdahulu. Putusan- putusan pengadilan dimaksud
standing committee of the House, but not all Bills of dapat ditemukan dalam bentuk laporan-laporan resmi
constitutional signi- ficance are treated in this way. (law reports) ataupun berita-berita negara sebagai
Second, by the doctrine of implied repeal, a later tempat penuangan dan pem- beritaan resmi adanya
Act, however, in the case of some statutes of putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
special significance, the courts are sometimes
tetap (in kracht van gewijs). Di bawah doktrin
reluctant to hold that they have been over- riden by
a later Act. Under this category might come such preseden atau stare decisis, 261 putusan- putusan
Acts as the Bill of Rights 1689, the Acts of Union tersebut bersifat mengikat bagi pengadilan-pe-
with Scotland and Ireland, the European Communities ngadilan di bawahnya ataupun bagi pengadilan-pengadi-
Act 1972, and the Human Rights Act 1998”.259 lan yang terkemudian.262

Seperti dikatakan oleh Lord Wilberforce, seorang c. The Common Law


hakim senior Inggris: Secara harfiah, yang dimaksud dengan common
“In strict law there may be no difference in status ... law itu adalah hukum kebiasaan, yaitu terdiri atas the
as between one Act of Parliament and another, but I laws and customs yang sejak dahulu kala diakui sebagai
con- fess to some reluctance in holding that an Act hukum oleh para hakim dalam mengadili suatu perkara
of such constitutional significance as the Union with tertentu yang diajukan kepada mereka. Dalam berbagai
Ireland Act is subject to the doctrine of implied laporan resmi mengenai hal ini, dapat ditemukan ber-
repeal or of obsolescence”.260 bagai kasus hukum yang berkaitan dengan the preroga-
tives of the Crown, the remedies of the subject against
Dengan doktrin implied repeal itu berarti terjadi illegal acts by public authorities and officials, and the
penghapusan secara diam-diam, sedangkan dengan writ of habeas corpus, yang dalam hukum Inggris
dok- trin obsolescence berarti terjadi proses penataan melin- dungi kebebasan warga negara dari tindakan
alamiah yang menyebabkannya tidak terpakai lagi. pemasu- ngan dan pengekangan yang melanggar
Apalagi, mes- kipun tidak dipersyaratkan, kebiasaan hukum.
praktik penye-
261
Dengan doktrin stare decisis ini berarti bahwa adalah tugas pengadilan
259
Ibid. untuk mengamati dan memperhatikan kasus-kasus terdahulu yang telah
260
Lord Wilberforce, Report by the Committee of Privileges on the Petition dipu-
262
tus.
of the Irish Peers, 1966, HL. 53, hal. 16. Cross and Harris, “Precedent in English Law”, dalam Bradley and Ewing,
Op. Cit., hal. 16.

187 188
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Sebagai contoh, dalam putusan Entick vs Carring- Action, ch 2, 1994, 110 LQR 270.
ton ditentukan bahwa Secretary of State tidak mempu-
nyai kekuasaan untuk mengeluarkan general warrants
for the arrest and search of those publishing seditious
papers, dan pada kasus Burmah Oil Co. vs Lord Advo-
cate yang menentukan bahwa kerajaan harus membayar
ganti rugi atas subjek kekayaan yang diambil dalam
rangka pelaksanaan kewenangan prerogatifnya. Contoh
kasus lainnya yaitu Conway vs Rimmer yang menen-
tukan bahwa pengadilan mempunyai kewenangan untuk
memerintahkan pengadaan atau pembuatan dokumen
dalam rangka pembuktian untuk mana hak-hak keu-
tamaan kerajaan diklaim oleh kementerian dalam negeri
atau Home Secretary. Demikian pula dalam kasus M vs
Home Office yang menentukan bahwa Home Secretary
telah melakukan tindakan penghinaan terhadap
pengadi- lan (contempt of court) dengan tidak
mematuhi perintah hakim untuk membawa seorang
guru berkebangsaan Zaire kembali ke Inggris.
Semua putusan-putusan dalam kasus-kasus ter-
sebut di atas, dibuat oleh para hakim yang dikenal
luas tergolong paling senior di Inggris. Putusan-
putusan ter- sebut mengandung norma aturan yang
sangat penting di lapangan hukum publik, yang tidak
mungkin akan di- tetapkan sebagai norma hukum
oleh parlemen. Dengan tidak adanya naskah
undang-undang dasar tertulis, putusan-putusan ini
justru menyediakan apa yang dise- but pondasi
hukum bagi konstitusionalisme Inggris (the legal
foundations of British constitutionalism).263 Meski- pun
demikian, putusan-putusan tersebut tidak dapat
dikatakan mengikat sepanjang waktu, karena putusan-
putusan itu juga dapat dikesampingkan atau diubah oleh

263
Lihat Allan, Law, Liberty and Justice, chs 1, hal. 4. Lihat juga S. Sedley,
dalam Richardson and Genn (eds), Administrative Law and Government

189 190
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
parlemen, bahkan dapat pula diubah secara retros- 265
266
A.W. Bradley and K.D. Ewing, Op. Cit., hal. 17.
pektif.264 R vs Lambert, 2001, 3 All ER 577; Cf. R vs Kansal No. 2, 2002, 1 All
ER, hal. 257.

d. Interpretation of the Statute Law


Pengadilan tidak berwenang untuk memutus
atau menentukan keberlakuan undang-undang
buatan parle- men (Acts of Parliament). 265 Artinya,
hakim di Inggris tidak diperkenankan melakukan
pengujian konstitusio- nalitas atas undang-undang
(judicial review). Penga- dilan hanya berwenang
menguji peraturan yang lebih rendah daripada
undang-undang (judicial review on the legality of
regulations). Di samping itu, pengadilan Ing- gris
juga mempunyai kewenangan untuk menafsirkan
peraturan perundang-undangan dalam hal
pengertian dari suatu undang-undang yang
bersangkutan sedang di- perselisihkan. Persoalan-
persoalan penting mengenai hukum publik dapat
timbul dari penafsiran terhadap undang-undang
sebagaimana terlihat dari 2 (dua) putu- san House
Lords baru-baru ini.
Dalam putusan pertama, House of Lords
menen- tukan bahwa menurut Undang-undang
tentang Hak Asasi Manusia (the Human Rights Act)
tahun 1998, se- seorang yang terbukti bersalah di
pengadilan sebelum berlakunya undang-undang, dan
mereka yang terbukti bersalah setelah berlakunya
undang-undang tersebut, tidak dapat mengajukan
permohonan bahwa haknya me- nurut undang-undang
ini telah dilanggar.266
Sedangkan dalam putusan yang kedua,
Menteri Lingkungan Hidup (the Environment
Secretary), ber- dasarkan undang-undang tahun
1985, mempunyai ke- kuasaan yang luas untuk
melindungi penghuni dari ke-
264
Lihat “The War Damage Act” tahun 1965, reversed the Burmah Oil
Decision seperti tersebut di atas.

189 190
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

naikan harga sewa yang dihasilkan oleh putusan


dang, dan tujuan yang hendak dicapai oleh proses legis-
penga- dilan mengenai sewa; para tuan tanah atau
lasinya.
rumah mengklaim bahwa kekuasaan hanya dapat
Dikarenakan sebagian besar kekuasaan pemerin-
digunakan se- bagai ukuran menghadapi inflasi. Dalam
tahan berasal dari peraturan tertulis atau undang-un-
menaati aturan- aturan tersebut, para petinggi hukum
dang, maka hukum buatan hakim (judge-made
membahas pende- katan pengadilan dalam memutus
law) yang bersumber dari penafsiran terhadap
makna undang-un- dang tahun 1958 itu. Seperti
peraturan ter- tulis (interpretation of statutes) menjadi
dikemukakan oleh Lord Bingham, “the overriding
sangat penting dalam hukum administrasi negara.
aim... must always be to give effect to the intention of
Prinsip-prinsip atau pra-anggapan (presumptions)
Parliament as expressed in the words used”.267 Menurut
dalam penafsiran pera- turan perundang-undangan
Lord Nicholls:
yang diterapkan oleh penga- dilan adalah jarang
“The task of the court is often said to be to ascertain
bersifat konklusif, dan malah ka- dang-kadang
the intention of Parliament expressed in the
language under consideration. This is correct and may menunjuk kepada pengertian yang berke- balikan
be helpful, so long as it is remembered that the arah. 269 Tugas pengadilan dalam menemukan
‘intention of Parlia- ment’ is an objective concept, not pengertian atau akibat dari perkataan yang dipilih
subjective. The phrase is a shorthand reference to the oleh parlemen memerlukan analisis tekstual atas
intention which the court reasonably imputes to perundang- undangan yang bersangkutan. Akan tetapi,
Parliament in respect of the lan- guage used. It is jika kebijakan atau tujuan suatu undang-undang
not the subjective intention of the minister or other dapat ditentukan, sangat mungkin untuk
persons who promoted the legislation. Nor is it the memberikan penafsiran yang konsisten dengan hal itu.
subjective intention of the draftsman, or of individual
members or even of a majority of individual members Sebelumnya, ada aturan yang melarang pengadilan
of either House”. 268 untuk melihat catatan atau risalah perdebatan di par-
lemen. Akan tetapi, pada tahun 1992, House of Lords
Lord Nicholls menerangkan bahwa dalam mencari memperbaiki ketentuan ini. Sekarang, pengadilan diper-
makna kata-kata yang dipakai oleh Parlemen, bolehkan menggunakan dokumen-dokumen yang dise-
pengadilan menggunakan prinsip-prinsip baku dalam but the Hansard itu sebagai alat bantu untuk melakukan
penafsiran sebagai pedoman. Jika diperlukan, konstruksi (statutory construction) apabila suatu
pengadilan juga akan menggunakan dukungan internal un- dang-undang atau ketentuan dalam undang-
(internal aids) yang ditemukan dalam bagian lainnya undang yang bersangkutan bersifat ambiguous atau
dari undang-undang yang bersangkutan ataupun tidak jelas. Hal tersebut dilakukan karena dokumen-
dukungan eksternal (exter- nal aids) seperti bahan- dokumen oten- tik yang terdapat dalam arsip parlemen
bahan dari luar undang-undang untuk justru berisi per- nyataan-pernyataan yang sangat jelas
mengidentifikasikan penyakit (the mischief) yang ingin dari seorang men-
disembuhkan atau dipulihkan oleh undang-un-

267
R vs Environment Secretary, ex p Spath Holme Ltd, 2001, 2 AC 349,
388. 269
Lihat Marshall, Constitutional Theory, ch. 4; Cross, Statutory
268
Ibid., 396, hal.17.
191 192
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Interpretation; Bennion, Statutory Interpretation.

191 192
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

teri atau para anggota parlemen yang mengusung ide


Misalnya, jika seseorang ingin mengutip susuatu
rancangan undang-undang yang bersangkutan.270
pasal undang-undang dalam tulisannya, maka ia dapat
Dalam penafsiran konstitusi dan peraturan perun-
(i) mengutip bunyi pasal tersebut dari buku atau tulisan
dang-undangan, pra-anggapan tertentu mempunyai arti
orang lain yang sudah lebih dulu mengulas atau mem-
konstitusional yang sangat penting (constitutional im-
bahas pasal undang-undang yang bersangkutan; (ii)
portance). Atas dasar pra-anggapan tersebut, banyak
mengutip bunyi pasal itu dari berita koran atau majalah;
undang-undang yang dapat dikatakan tidak mengikat
(iii) mengutip bunyi pasal itu dari buku undang-undang
bagi pemerintah pusat. Hal tersebut dikarenakan bahwa
terbitan penerbit swasta; (iv) mengutip bunyi pasal itu
mahkota kerajaan Inggris diasumsikan tidak terikat
dari kumpulan undang-undang yang diterbitkan oleh
oleh undang-undang, kecuali jika hal itu secara eksplisit
lembaga negara atau instansi pemerintah yang bersang-
dinyatakan berlaku atau dianggap perlu diberlakukan
kutan dengan undang-undang itu; atau (v) mengutip
secara diam-diam (necessarily implied).
bunyi pasal undang-undang itu dari terbitan resmi Lem-
baran Negara Republik Indonesia. Dari kelima cara me-
4. Sumber Hukum
ngutip tersebut, yang bersifat resmi dan dapat diper-
Primer, Sekunder, dan
tanggungjawabkan secara ilmiah adalah yang terakhir,
Tertier
yaitu pengutipan dari terbitan resmi Lembaran Negara
Dalam penelitian hukum dikenal pula adanya
Republik Indonesia.
istilah sumber primer, sekunder, dan tertier. Pengertian
Di samping bahwa sumber resmi itulah yang dinilai
sumber di sini lebih konkrit sifatnya, yaitu sumber fisik
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara il-
dari mana suatu norma hukum (norm) dikutip atau
miah, sumber resmi itu juga merupakan jaminan keabsa-
diambil untuk diterapkan dalam menilai sesuatu fakta
han pengutipan itu secara hukum. Artinya, ketentuan
(feit). Pengertian sumber dalam arti demikian pada
mengenai pengutipan tersebut berlaku tidak saja di
umumnya dianggap penting, baik dalam dunia teori
du- nia ilmiah, tetapi juga haruslah dijadikan standar
maupun praktik, untuk menjamin bahwa pengutipan
dalam praktik penerapan norma hukum itu di
norma dilakukan dengan benar. Kualifikasi sumber
pengadilan dan lembaga-lembaga pembuat keputusan
hukum itu menjadi penting untuk menentukan derajat
hukum lainnya. Apabila pengutipan suatu norma
keterpercayaan atau tingkat kebenaran referensi atau
hukum tidak dilakukan dari sumber resminya, maka
perujukannya. Oleh sebab itu, kategori sumbernya dibe-
dengan sendirinya hal itu dapat dianggap tidak benar
dakan antara sumber primer yang mempunyai nilai
secara ilmiah, dan sekaligus tidak “sah” secara hukum.
keterpercayaan paling tinggi, karena sifatnya yang lang-
Kita tidak dapat membenar- kan seorang hakim
sung dengan sumber sekunder melalui perantara. Demi-
membuat putusan dengan mengutip suatu pasal
kian pula dengan sumber yang tingkat keterpercaya-
undang-undang dari sumber koran atau dari sumber
annya paling rendah, yaitu sumber tertier dengan lebih
buku terbitan swasta yang tidak dapat dipertang-
banyak perantara.
gungjawabkan ketepatan redaksionalnya secara
hukum. Demikian pula dengan calon sarjana hukum S1,
270
S2, dan S3, dalam menulis skripsi, tesis, dan disertasi,
Pepper vs Freemans plc, 1989, AC 66. Ibid., hal. 18.
tidak da- pat dibenarkan mengutip sesuatu bunyi
pasal undang-

193 194
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

undang atau peraturan perundang-undangan lainnya


Selain dari sumber-sumber yang bersifat resmi ter-
da- ri sumber yang tidak resmi.
sebut, maka sumber-sumber lainnya haruslah dinilai
Sumber resmi itu adalah Lembaran Negara,
tidak resmi. Seperti yang tergambar dalam keempat
Tambahan Lembaran Negara, dan Berita Negara, serta
contoh pengutipan tersebut di atas, dapat dikatakan
Tambahan Berita Negara, tergantung bentuk hukum
bah- wa pengutipan model pertama, kedua, ketiga, dan
per- aturan perundang-undangan yang bersangkutan
keem- pat sama-sama tidak dapat
yang ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku.
dipertanggungjawabkan seca- ra hukum dan ilmiah.
Ada peraturan yang pengundangannya dilakukan
Apabila dinilai dari tingkat keter- percayaannya dan
dengan penerbitannya dalam Lembaran Negara,
jarak atau jumlah lapisan perantara dari media
Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, atau
sumbernya yang resmi, maka yang dapat dikatakan
Tambahan Berita Negara. Selain dari keempat sumber
paling dekat adalah pengutipan dari sumber buku
tersebut, ada pula sumber-sumber lain seperti risalah-
terbitan instansi resmi. Misalnya, himpunan pera- turan
risalah rapat dan sidang yang berkaitan dengan
perundang-undangan tentang partai politik dan
penyusunan, perumusan, perdebatan, dan pengesahan
pemilihan umum dikumpulkan dan diterbitkan oleh Ko-
peraturan perundang- undangan itu sebagai
misi Pemilihan Umum dengan misalnya mengutipnya
keseluruhan atau bunyi ketentuan- ketentuan hukum
langsung dari sumber Lembaran Negara, Tambahan
tertentu yang terdapat dalam pera- turan perundang-
Lembaran Negara, Berita Negara, dan Tambahan Berita
undangan yang bersangkutan yang me- mang
Negara. Buku kumpulan peraturan perundang-
dipersoalkan.
undangan terbitan Komisi Pemilihan Umum ini dapat
Dokumen-dokumen tersebut bernilai resmi dan
dianggap sebagai sumber sekunder, karena fungsinya
otentik, serta berisi fakta-fakta historis yang dapat
sebagai pe- rantara satu lapis ke sumber resminya
dijadi- kan dasar rujukan dalam memahami pengertian
tersebut.
sesuatu norma hukum yang tertulis dalam teks resmi.
Akan tetapi, teknik pengutipan model pertama dari
Fungsinya tiada lain untuk menjamin agar produk
buku atau tulisan orang lain, model kedua dari berita
peraturan perun- dang-undangan yang bersangkutan
koran atau majalah, dan model ketiga dari buku-buku
dapat dijadikan alat bukti (bewijsbaar) dan menjamin
undang-undang terbitan penerbitan swasta, tidak dapat
stabiliteit sistem hu- kum karena adanya kepastian
dikategorikan sebagai sumber sekunder, apalagi sumber
mengenai kesatuan sistem referensi hukum. Semua
primer. Sering terjadi, naskah undang-undang yang di-
dokumen tersebut biasanya ter- dapat dalam arsip-arsip
terbitkan oleh penerbit swasta terdapat kesalahan ketik
lembaga negara atau lembaga pemerintah yang
atau kesalahan tanda baca, ataupun penulisan huruf
bersangkutan dengan hal itu, dan wajib dipelihara dan
besar menjadi kecil dan huruf kecil menjadi besar, yang
disimpan dengan sebaik-baiknya. Dengan sistem
dalam hukum semua itu mempunyai arti dan pengaruh
penyimpanan (filing) atau kearsiapan yang tepat dan
yang sangat besar dalam penafsiran untuk pelaksana-
benar, dimensi availability (ketersediaan), reliabi- lity
annya. Apalagi pengutipan yang dilakukan di berbagai
(keterpercayaan), dan legality (keabsahan) dari ar- sip-
media koran dan majalah, yang karena waktu dan ruang
arsip hukum dimaksud benar-benar dapat terjamin
yang terbatas, seringkali salah dalam pengutipan,
dengan sebaik-baiknya.
sehing- ga sangatlah berbahaya untuk diandalkan
sebagai sum- ber rujukan normatif.

195 196
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Oleh karena itu, menurut saya, 3 (tiga) Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).
teknik pengutipan pertama tersebut hanya mungkin
dikategori- kan sebagai sumber tertier yang sifatnya
hanya menun- jang dan memudahkan orang membaca
peraturan per- undang-undangan. Akan tetapi, jika
sampai kepada ke- perluan untuk penulisan yang
bersifat resmi, maka pengutipannya harus langsung
diambil dari sumber pri- mer tersebut.271 Penulisan
resmi itu dapat berupa penu- lisan ilmiah, yaitu (i)
karya ilmiah resmi seperti skripsi, tesis, dan disertasi,
(ii) laporan penelitian ilmiah, (iii) buku ilmiah yang
bersifat standar, (iv) buku-buku teks ilmiah yang baku,
(v) keputusan administratif, (vi) kete- tapan pengadilan,
dan (vii) putusan pengadilan.

B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia


1. Sumber Materiel dan Formil
Pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum
dalam perumusan sila-sila Pancasila yang dijadikan
fal- safah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945.
Sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah
bernegara, Panca- sila itu merupakan sumber hukum
dalam arti materiel yang tidak saja menjiwai, tetapi
bahkan harus dilaksana- kan dan tercermin oleh dan
dalam setiap peraturan hukum Indonesia. Oleh
karena itu, hukum Indonesia haruslah berketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa,
bersifat kerakyatan, dan menjamin keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila merupa- kan
alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang ber-
laku, apakah bertentangan atau tidak dengan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian
berarti

271
Lihat dan bandingkan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam

197 198
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
bahwa setiap peraturan hukum yang bertentangan de-
ngan Pancasila tidak boleh berlaku.
Dalam bentuk formilnya, nilai-nilai Pancasila
itu tercantum dan dalam perumusan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai hukum tertulis yang tertinggi di Republik
Indonesia. Namun di samping itu, sumber hukum
formil itu tidak hanya ter- batas kepada yang
tertulis saja. UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 hanyalah salah satu bentuk yang tertulis dari
norma dasar atau hukum dasar yang bersifat tertinggi
itu. Di samping hukum dasar yang tertulis da- lam
naskah UUD 1945, ada pula hukum dasar atau kon-
stitusi yang sifatnya tidak tertulis.272
Sumber hukum formil Hukum Tata Negara
Indone- sia itu dapat dilihat pertama-tama pada
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar
1945 sebagai sumber hukum, selain merupakan
hukum dasar tertulis yang mengatur masalah
kenegaraan, juga merupakan landasan hukum bagi
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan-
peraturan lainnya. Misalnya, Pasal 19 ayat (2) UUD
1945 menentukan bahwa “Susunan Dewan Perwaki- lan
Rakyat (DPR) diatur dengan Undang-undang”.
Penunjukan diatur dengan Undang-undang dalam ayat
ini menyebabkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
sum- ber hukum bagi pembentukan undang-undang
yang akan mengatur tentang susunan Dewan
Perwakilan Rakyat itu. Dengan demikian, dari
ketentuan UUD 1945 itu mengalir peraturan-peraturan
pelaksanaan yang merupakan sum-
272
Penjelasan UUD 1945 menyiratkan bahwa Undang-Undang Dasar
seba- gian dari hukum dasar. Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah
hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara. Undang-Undang Dasar
itulah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya, berlaku juga
hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.

197 198
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

ber hukum formil pula sesuai dengan tingkatan hierarkis-


dalam arti yang seluas-luasnya untuk menjalankan
nya bagi peraturan-peraturan di bawahnya masing-ma- tugas dan kewenangannya.
sing.273 Pada pokoknya, hukum konstitusi itu
mendahului keberadaan organisasi negara,276 seperti apa
2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar yang dikata- kan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi
Seperti dikemukakan oleh O. Hood Phillips, Paul lebih dulu ada daripada adanya pemerintahan, karena
Jackson, dan Patricia Leopold dalam “The constitutional pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan
law of a state is the law relating to the constitution konstitusi. Oleh karena itu, menurut Thomas Paine:
of that state”,274 maka penting sekali untuk memahami “A constitution is not the act of a government, but of a
hu- kum, negara, dan konstitusi secara bersamaan. people constituting a government, and a
Hukum sendiri diakui tidak mudah untuk government without a constitution is power without
didefinisikan. H.L.A. Hart sendiri menyatakan bahwa right”.277
mengenai apa itu hukum merupakan pertanyaan yang
senantiasa diajukan di sepanjang sejarah umat manusia. Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat
Menurutnya, “it is a persistent question”275 yang selalu oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang
diajukan dari waktu ke waktu. dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan
Namun demikian, di lapangan hukum tata negara, pemerin- tahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan
kita memusatkan perhatian hanya kepada hukum dalam kekuasa- an tanpa kewenangan.278
konteks kenegaraan, yaitu hukum negara (state law), Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan
hukum kota (municipal law), hukum desa (village law), sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam sistem ber-
dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata negara, negara. Namun, sebagai hukum, konstitusi itu sendiri
hukum negara (the law of a state) kita lihat sebagai tidak selalu bersifat tertulis (schreven constitutie atau
hukum yang terdiri atas pedoman perilaku (rules of written constitution). Konstitusi yang bersifat tertulis
con- duct) yang ditetapkan oleh lembaga negara yang biasa disebut undang-undang dasar sebagai konstitusi
bertin- dak sebagai legislator atau regulator dan yang dalam arti sempit, sedangkan yang tidak tertulis meru-
ditegakkan oleh lembaga pengadilan yang dibentuk oleh pakan konstitusi dalam arti yang luas. Menurut Hans
negara (duly constituted courts of the state). Tetapi di Kelsen, gerund norm atau norma dasar itulah yang
pihak lain juga berfungsi sebagai pedoman bagi organ- disebut konstitusi. Gerund norm itu dijabarkan lebih
organ negara lanjut menjadi abstract norms yang selanjutnya
diopera- sionalkan dengan general norms yang untuk
seterusnya

273
Bandingkan mengenai sumber hukum tata negara Indonesia yang 276
Lihat N. MacCormick, Questioning Sovereignty, 1993, 56 MLR 1, dan
dikemukakan oleh beberapa sarjana, seperti misalnya Ni’matul Huda, C.M.G. Himsworth, 1996, 639.
Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, 2005, Jakarta, hal. 277
“Rights of Man in the Complete Works of Thomas Paine”, pp. 3020
32-37; Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: dalam Allen and Thompson, Op Cit., hal. 1.
Prestasi Pustaka, 2006), hal. 13-35.; dan lain sebagainya. 278
Ada juga sarjana yang berpendapat bahwa tidak mungkin ada suatu
274
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 3.
275 negara tanpa adanya konstitusi. Lihat, misalnya, Max Boli Sabon, Fungsi
H.L.A. Hart, Op Cit.
Ganda Konstitusi, (Bandung: PT Graviti, 1991), hal. 44.
199 200
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dilaksanakan dengan keputusan-keputusan yang berisi


Maria Farida Indrati mengenai hal tersebut. 279 Pokok
concrete and individual norms. Bagi Hans Kelsen, pera-
pikiran yang melandasi pandangan demikian tidak
turan perundang-undangan berisi general and abstract
lain adalah stuffenbau theorie menurut versi Hans
norms yang tertuang dalam bentuk formal, sedangkan
Nawiasky tersebut di atas, yang sangat berbeda dari
gerund norms tercakup dalam rumusan pengertian kon-
stuffenbau theorie menurut versi Hans Kelsen. Bagi
stitusi dalam arti materiel. Konstitusi dalam arti
Kelsen, gerund norm itulah konstitusi, sedangkan
materiel inilah yang disebut Kelsen dengan the first
peraturan perundang- undangan berisi general and
constitution yang mendahului the (second) constitution
abstract norms, sehingga Pancasila dan Pembukaan
atau konsti- tusi dalam bentuknya yang formal tersebut.
UUD 1945 tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang
Sementara itu, Hans Nawiasky, salah seorang
terpisah dari pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri.
mu- rid Hans Kelsen, menyebut gerund norms itu
Keduanya tercakup dalam pengertian UUD 1945
dengan istilah staatsfundamentalnorms yang juga
sebagai konstitusi yang tertulis yang berisi gerund
dibedakannya dari konstitusi. Tidak semua nilai-nilai
norms. Tentu saja, di samping UUD 1945 sebagai konsti-
yang terdapat dalam konstitusi merupakan
tusi tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis
staatsfundamental norms. Nilai-nilai yang termasuk
yang hidup dalam kesadaran hukum dan praktik
staatsfundamentalnorm me- nurutnya hanya spirit
penyeleng- garaan negara yang diidealkan sebagai
nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi itu,
bagian dari pe- ngertian konstitusi dalam arti luas
sedangkan norma-norma yang ter- tulis di dalam
dan oleh karena itu adalah juga norma-norma dasar
pasal-pasal undang-undang dasar terma- suk kategori
atau gerund norms yang mengikat sebagai bagian dari
abstract norms. Oleh karena itu, jika dikait- kan dengan
konstitusi.
sistem konstitusi Republik Indonesia, dapat dibedakan
antara Pembukaan UUD 1945 dengan pasal- pasal 3. Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan
Bahkan, Padmo Wahyono dan Hamid S. Attamimi
tertulis yang berisi norma-norma hukum yang mengikat
menyejajarkan pengertian staatsfundamentalnorm
untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator mau-
itu dengan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara,
pun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana un-
se- dangkan pasal-pasal UUD 1945 didudukan sebagai
dang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi
ab- stract norms. Oleh karena itu, dalam hierarki
dari undang-undang untuk menetapkan peraturan-pera-
peraturan perundang-undangan menurut Padmo
turan tertentu menurut peraturan yang berlaku. Produk
Wahyono dan Hamid S. Attamimi, Pancasila itu harus
legislatif atau produk legislator yang dimaksud di sini
ditempatkan di luar dan di atas UUD 1945.
adalah peraturan yang berbentuk undang-undang, di-
Pandangan yang demikian, sampai sekarang terus
bentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pem-
dianut oleh murid-murid Padmo Wahyono dan Hamid
bahasannya dilakukan bersama-sama dengan
S. Attamimi, seperti tercermin, misalnya, dalam
Presiden/- Pemerintah untuk mendapatkan persetujuan
pandangan
bersama yang akhirnya setelah mendapat persetujuan
bersama

279
Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan

201 202
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1998).

201 202
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

akan disahkan oleh Presiden dan diundangkan


ketetapan-ketetapan MPR/S yang masih ada dan yang
sebagai- mana mestinya atas perintah Presiden. Untuk
undang- undang tertentu, pembahasan bersama sampai sekarang masih diberlakukan berdasarkan
dilakukan de- ngan melibatkan pula peranan Dewan Kete- tapan (TAP) MPR No. I/MPR/2003,
Perwakilan Dae- rah (DPD).280 meskipun MPR sendiri dewasa ini tidak lagi
Selain peraturan yang berbentuk undang-undang, mempunyai kewenangan menetapkan ketetapan yang
ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh bersifat mengatur (rege- ling).
lembaga eksekutif pelaksana undang-undang. Setiap Selain itu, dalam praktik, kita juga dapat menjum-
lembaga pelaksana undang-undang dapat diberi kewe- pai banyak sekali bentuk-bentuk peraturan lainnya,
nangan regulasi oleh undang-undang dalam rangka seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia
men- jalankan undang-undang yang bersangkutan. Di (PBI), Peraturan Mahkamah Agung (PERMA),
samping itu, pemerintah karena fungsinya diberi Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Peraturan atau
kewenangan pula untuk menetapkan sesuatu peraturan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lain-
tertentu, di samping undang-undang itu sendiri dapat lain seba- gainya. Keputusan-keputusan para pejabat
pula menen- tukan adanya lembaga regulasi yang yang bersifat regeling atau yang mengandung regulasi
bersifat tertentu pula. Semua produk hukum tertulis
juga masih banyak yang dituangkan dalam bentuk
yang berisi norma yang bersifat mengatur (regeling) itu
keputusan-kepu- tusan yang ditetapkan untuk maksud
dalam ilmu hukum kita namakan peraturan perundang-
undangan. mengikat untuk umum. Misalnya, keputusan-keputusan
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 10 Komisi Pemili- han Umum (KPU), Komisi Pengawas
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peratuan Perundang- Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan
undangan, bentuk-bentuk dan tata urut peraturan perun- Korupsi (KPK), serta termasuk Keputusan-Keputusan
dang-undangan dimaksud adalah (i) Undang- Menteri, seperti Men- teri Dalam Negeri, Menteri Luar
Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Negeri, Menteri Keua- ngan, Menteri Perindustrian,
Dasar; (ii) Undang-Undang dan Peraturan Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Tenaga
Pemerintah; (iv) Peratu- ran Presiden; dan (v) Kerja, dan sebagainya. Demi- kian pula Keputusan-
Peraturan Daerah. 281 Namun, di samping bentuk- Keputusan Direktur Jenderal, se- perti Direktur
bentuk yang disebut dalam Undang- undang Nomor Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
10 Tahun 2004 itu, masih ada bentuk peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, dan lain
lainnya yang sampai sekarang masih berlaku atau sebagainya.
masih terus dibuat dalam praktik. Misalnya, banyak
1) Undang-undang (UU)
280
Lihat Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 42 UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
tentang
281
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. menyatakan, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang ke-
Lihat kembali Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

203 204
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

kuasaan membentuk undang-undang”. 282 Undang-


media pengumuman (publication).283
un- dang itu selalu berisi segala sesuatu yang
Namun, tanggal efektifitas keberlakuan (effective
menyangkut kebijakan kenegaraan untuk
validity) suatu undang-undang untuk dilaksanakan
melaksanakan amanat un- dang-undang dasar di
da- lam praktik, kadang-kadang ditentukan berbeda
bidang-bidang tertentu yang me- merlukan
waktu- nya dari tanggal pengundangan. Misalnya
persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan
tanggal pe- ngundangannya adalah tanggal 1 Januari
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, ditentukan oleh
2005, tetapi tanggal berlakunya ditentukan baru efektif
Pasal 20 ayat (2) bahwa ”Setiap rancangan un-
mulai tanggal 1 Januari 2006. Masa satu tahun itu
dang-undang itu dibahas oleh Dewan Perwakilan Rak-
disediakan sebagai waktu tenggang yang dapat dipakai
yat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersa-
untuk tujuan sosiali- sasi undang-undang itu sebelum
ma”. Pada ayat (4)-nya menentukan, ”Presiden
dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
menge- sahkan rancangan undang-undang yang telah
tanggal pengundangan tidak selalu atau tidak mutlak
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.
harus ditentukan sama dengan tanggal pemberlakuan.
Produk undang-undang ini merupakan bentuk Misalnya, Undang-Undang No- mor 16 Tahun 2002
hukum peraturan yang paling tinggi statusnya di bawah
tentang Yayasan, 284 diundangkan pada tahun 2002,
undang-undang dasar. Jika dibandingkan dengan
tetapi mulai diberlakukan secara efektif baru pada
sistem hukum di negeri Belanda, undang-undang dapat
tahun 2003. Bahkan, pelaksanaannya pernah ditunda
dise- padankan dengan wet yang mempunyai
satu tahun sehingga pelaksanaanya dimulai pada
kedudukan ter- tinggi di bawah grondwet, atau seperti
tahun 2004.
di Amerika Seri- kat dengan act (legislative act) yang
Di samping itu, tanggal pengesahan
berada langsung di bawah constitution. Sebagai produk
undang- undang secara formil dapat pula dibedakan
hukum, undang- undang baru mulai mengikat untuk
dari tanggal pengesahannya secara materiel. Ketentuan
umum sebagai alge- meene verbindende voorschiften
Pasal 20 ayat
(peraturan yang mengikat untuk umum), yaitu pada saat
(4) UUD 1945 yang dilaksanakan dengan tindakan pe-
diundangkan. Tindakan administrasi pengundangan
ngundangan seperti dimaksud di atas, dapat
undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan
disebut sebagai pengesahan yang bersifat formil.
naskah undang- undang dimaksud (published) dalam
Sedangkan, pengesahan suatu rancangan undang-
Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI).
undang oleh dan dalam rapat paripurna DPR sebagai
Sedangkan untuk naskah Penjelasannya dalam
tanda bahwa suatu rancangan undang-undang telah
Tambahan Lembaran Negara Re- publik Indonesia
mendapat persetujuan bersama antara DPR dan
(TLN-RI). Media Lembaran Negara dan Tambahan
Pemerintah dapat disebut seba- gai pengesahan
Lembaran Negara ini juga berfungsi sebagai
materiel. Sebelum rancangan undang- undang
disahkan dalam rapat paripurna DPR, maka dari

undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.


282
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 UUD 1945 sebelum amandemen,
yang menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
205 206
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
283
Lihat juga “BAB IX: Pengundangan dan Penyebarluasan” dalam UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-
undangan.
284
Indonesia, Undang-undang tentang Yayasan, UU No. 16 Tahun 2002,
LN No. 112 Tahun 2002, TLN No. 4132.

205 206
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

pihak Pemerintah seyogyanya diberi kesempatan untuk


undang, yaitu sebagai produk hukum yang dibentuk dan
menyampaikan pendapat akhirnya sebagai tanda per-
dibahas bersama oleh DPR dengan persetujuan bersama
setujuan atas rancangan suatu undang-undang untuk
dengan Presiden. Akan tetapi, dari segi isi atau materi-
disahkan. Apabila dalam rapat paripurna DPR tersebut
nya, APBN itu sebenarnya bukanlah norma hukum yang
rancangan undang-undang telah disahkan sebagai tanda
biasa dikenal dengan pengertian undang-undang.
telah dicapainya persetujuan bersama, maka pengesahan
Oleh sebab itu, UU tentang APBN itu biasa disebut
tersebut sama dengan pengesahan yang bersifat materiel.
sebagai undang-undang dalam arti formil (wet in
Dikatakan pengesahan itu bersifat materiel, karena
mate- riele zin), bukan undang-undang dalam arti
setelah itu terhadap materi rancangan undang-undang
materiel (wet in materiele zin).286
dimaksud tidak dapat lagi diadakan perubahan apapun
Sebenarnya, setiap keputusan tertulis yang ditetap-
juga. Dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ditentukan:
kan oleh pejabat yang berwenang di bidang
”Dalam hal rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh pengaturan (regelendaad) yang berisi norma hukum
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak (legal norms) dan mengatur tingkah laku yang
rancangan undang-undang tersebut disetujui, mengikat untuk umum dapat disebut sebagai
rancangan undang- undang tersebut sah menjadi peraturan perundang-undangan. Undang-undang
undang-undang dan wajib diundangkan”.285 hanyalah merupakan salah satu bentuk- nya,287 yaitu
sebagai peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan
Artinya, meskipun dari segi bentuknya naskah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan
rancangan undang-undang itu masih berupa rancangan disahkan oleh Presiden, serta diundangkan sebagai-
yang belum disahkan oleh Presiden dan karena itu mana mestinya atas perintah Presiden, sehingga menjadi
belum mengikat sebagai hukum, tetapi materinya sudah norma hukum mengikat untuk umum. Dengan begitu,
final. Rancangan yang sudah disahkan dalam rapat undang-undang berbeda dari pengertian peraturan
paripurna DPR itu sudah menjadi wet in materiele zin, per- undang-undangan pada umumnya. Peraturan
meskipun belum menjadi undang-undang dalam arti perun- dang-undangan itu adalah segala bentuk
yang resmi atau wet in formele zin. peraturan nega- ra dari jenis yang tertinggi di bawah
Dalam ilmu hukum atau rechtswetenschap, me- undang-undang dasar sampai dengan yang terendah,
mang dibedakan antara pengertian wet in formele zin yang dihasilkan dan ditetapkan secara atributif dari
dan wet in materiele zin. Misalnya, Anggaran Penda- peraturan yang lebih tinggi atau secara delegasi
patan dan Belanja Negara biasa dituangkan dalam ben- dari pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang
tuk atau diberi baju hukum dalam bentuk undang- (legislative power, wetge-
285
Bandingkan dengan Pasal 21 UUD 1945 sebelum amandemen yang ber-
bunyi: “Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan 286
Bandingkan dengan pendapat dari Arifin P. Soeria Atmadja dalam bebe-
Rak- yat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh rapa tulisannya seperti pada “Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan
dimaju- kan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Negara: Suatu Tinjauan Yuridis” (1986) dan “Keuangan Publik dalam
Perspektif Hukum” (2005).
287
Lihat Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia,
(Jakarta: Ind-Hill Co., 1992), hal. 4.

207 208
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

vende macht, atau gesetzgebende gewalt).288 Maka


Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupa-
arti- nya bahwa Undang-Undang Dasar tidak
kan undang-undang yang dibentuk dalam keadaan
termasuk pe- ngertian peraturan perundang-undangan.
yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD
1945 disebutkan ”Dalam hal ihwal kegentingan yang
2) Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU)
memak- sa”. Istilah hal-ihwal kegentingan yang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh
sebagai sumber hukum dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat
dikacaukan atau diiden- tikkan dengan pengertian
(2) dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 5
”keadaan bahaya” menurut ke- tentuan Pasal 12 UUD
ayat (2) UUD 1945 menentukan, ”Presiden menetapkan
1945. Keadaan darurat atau dalam hal ihwal kegentingan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
yang memaksa di sini adalah kea- daan yang
undang sebagaimana mestinya”. Sedangkan, Pasal 22
ditafsirkan secara subjektif dari sudut pan- dang
menentukan:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presi- Presiden/ Pemerintah, di satu pihak karena (i)
den berhak menetapkan peraturan pemerintah Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-undang
seba- gai pengganti undang-undang; untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetu- yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi
juan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia
yang berikut;
untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut. Rakyat ti- dak mencukupi sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya
Untuk memudahkan, Peraturan juga merupakan undang-undang dalam arti materiel
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang ini (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang ter-
biasanya disingkat ”Perpu”. Dalam Konstitusi RIS 1949 kandung di dalamnya adalah materi undang-undang
dan UUDS 1950, Peraturan Pemerintah sebagai bukan materi peraturan pemerintah. Materi normatif
Pengganti Undang- undang disebut dengan istilah tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan
”undang-undang darurat”. Kecuali terhadap sebutannya pemerintah hanya bersifat sementara waktu saja, karena
yang berlainan, tidak ada perbedaan yang prinsipil itu harus mendapat persetujuan DPR dalam
antara Perpu menurut UUD 1945 dan undang-undang persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat
darurat menurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950 itu. persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut oleh Presiden. Jadi, substansinya adalah
288
Bandingkan dengan pendapat H. Abdul Latief yang menganggap bahwa
substansi undang-undang, tetapi bentuk formilnya
istilah peraturan perundang-undangan itu juga mengandung pengertian adalah Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, perpu
sebagai proses pembentukan peraturan dimaksud. Lihat H. Abdul Latief, dianggap sederajat kedudukannya dengan undang-
Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan undang, sehingga materi muatannya sa- ngat mungkin
Daerah, (Yogyakarta: UII-Press, 2005), hal. 38-39.
bertentangan atau bersifat mengubah

209 210
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

ketentuan undang-undang yang ada sebelumnya.289


si lowongan jabatan. Oleh karena itu, tidak ada lagi
Kete- tapan MPR yang bersifat pengaturan (regeling)
3) Ketetapan MPR/S yang boleh dibuat oleh MPR di masa mendatang.
Istilah ketetapan dalam Ketetapan MPR/S tersebut Terhadap berbagai Ketetapan MPR/S yang sudah
sebenarnya tidak terdapat dalam ketentuan ada dan diwarisi dari masa lalu, telah diadakan peninjau-
Undang- Undang Dasar 1945. Menurut Moh. an menyeluruh mengenai materi dan status
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, istilah ini hukumnya berdasarkan Ketetapan MPR No.
mungkin diambil oleh MPRS pada sidang-sidangnya I/MPR/Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap
yang pertama dari bunyi pasal-pasal Undang-Undang Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan
Dasar 1945 yang menyebut- kan bahwa MPR Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sampai Dengan
berwenang menetapkan Undang- Undang Dasar, Tahun 2002.290 Ada Ketetapan MPR/S yang
Garis-garis besar daripada haluan negara (Pasal 3), dan dinyatakan sudah dicabut, ada yang dinyatakan
memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pa- sal 6 ayat 2). masih berlaku sampai terbentuknya pemerintahan
Namun, Ketetapan Majelis Permusyawara- tan Rakyat baru hasil Pemilu 2004, ada pula ketetapan yang
Sementara (MPRS) itu sendiri sampai dengan sekarang dinyatakan masih berlaku sampai materinya diatur
masih merupakan sumber hukum, karena masih ada dengan undang- undang. Namun demikian, selain
beberapa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu semua, sampai sekarang masih terdapat 8
Sementara yang dinyatakan tetap berlaku oleh (delapan) Ketetapan MPR/S yang dapat dikatakan
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. masih berlaku sebagai peraturan yang mengikat untuk
Seperti diketahui, setelah Perubahan umum.
Keempat UUD 1945, status hukum Ketetapan MPR/S Kedelapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
yang bersifat mengatur (regeling) dianggap tidak lagi Rakyat (MPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat
mempunyai dasar konstitusional. MPR menurut Pasal 3 Sementara (MPRS) tersebut adalah:
juncto Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 hanya memiliki 4 (i) Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
(empat) kewe- nangan konstitusional saja, yaitu (i) tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai
mengubah dan menetapkan UUD, (ii) melantik Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
Presiden dan/atau Wakil Presiden, (iii) memberhentikan RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau
menurut UUD 1945, dan (iv) memilih Presiden Ajaran Komu- nis/Marxisme-Leninisme
dan/atau Wakil Presiden untuk mengi- dinyatakan tetap berlaku, dengan ketentuan
seluruh ketentuan dalam Kete- tapan MPRS-RI
289
Lihat dan cermati ketentuan-ketentuan pada Undang-undang Nomor 10 Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khusus- diberlakukan dengan berkeadilan dan meng-
nya pada bagian Bab III mengenai Materi Muatan. Bandingkan juga
pengertian mengenai klausa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dalam 290
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-undang Lihat Himpunan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Berdasarkan
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan bertanggal 7 Juli 2005. Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun

211 212
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
1960 sampai dengan Tahun 2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR,
2003).

211 212
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

hormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi


sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam
manusia;
Ketetapan tersebut.
(ii) Ketetapan MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi
Status hukum kedelapan Ketetapan MPR/S yang
Ekono- mi, dinyatakan tetap berlaku dengan
tersisa ini tidak dapat dikategorikan sebagai undang-
ketentuan, Pemerintah berkewajiban mendorong
undang dasar, karena ketika dibuat materinya memang
keberpiha- kan politik ekonomi yang lebih
tidak dimaksudkan sebagai norma hukum dasar atau
memberikan kesem- patan dukungan dan
konstitusi. Namun, karena lembaga yang
pengembangan ekonomi, usa- ha kecil menengah,
menetapkannya adalah MPR, maka dapat saja timbul
dan koperasi sebagai pilar eko- nomi dalam
penafsiran seakan- akan Ketetapan MPR/S itu setingkat
membangkitkan terlaksananya pemba- ngunan
kedudukannya dengan undang-undang dasar. Akan
nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai
tetapi, status hukum Ketetapan MPR/S yang tersisa itu
hakikat Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia
dapat pula ditafsirkan setingkat kedudukannya atau
Tahun 1945;
dapat dipersamakan de- ngan undang-undang.
(iii) Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Dipersamakan itu berarti tidak harus sama, tetapi
Pengangkatan Pahlawan Ampera tetap berlaku de- secara teknis hukum kedudukannya dapat dianggap
ngan menghargai Pahlawan Ampera yang telah sama. Sebab, MPR sendiri telah menentukan, ada di
ditetapkan hingga terbentuknya undang-undang antara ketetapan-ketetapannya itu yang masih berlaku
tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain sampai materinya diatur dengan undang-undang. Hal
tanda kehormatan; itu menunjukkan bahwa MPR sendiri telah
(iv) Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penye- menundukkan status hukum ketetapan-ketetapannya
lenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN sam- itu setingkat de- ngan undang-undang, karena
pai terlaksananya seluruh ketentuan dalam keteta- ketetapan-ketetapan terse- but dapat diubah dengan
pan tersebut. Sekarang telah terbentuk UU tentang undang-undang. Meskipun secara formil bentuknya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meskipun bukan undang-undang (wet), tetapi secara materiel
masih ada aspek yang terkait dengan mantan Ketetapan-Ketetapan MPR/S ter- sisa itu adalah juga
Presi- den Soeharto yang belum terselesaikan; undang-undang atau wet in mate- riele zin.
(v) Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa; 4) Peraturan Pemerintah
(vi) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945,
Indonesia Masa Depan; Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk men-
(vii) Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang jalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dikare-
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan nakan Peraturan Pemerintah diadakan untuk
Pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh melak- sanakan Undang-undang, maka tidak
ketentuan dalam ketetapan tersebut; mungkin bagi Presiden untuk menetapkan Peraturan
(viii) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pemerintah sebe- lum ada undang-undangnya. Oleh
Pemba- ruan Agraria dan Pengelolaan Sumber karena itu, UU selalu
Daya Alam

213 214
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

mendahului Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan


bentukan Peraturan Perundang-undangan,292 ditentukan
Pemerintah dapat dibentuk hanya atas dasar perintah
juga bahwa Peraturan Pemerintah itu dapat dibentuk
undang-undang. Dengan perkataan lain, Peraturan Pe-
atas dasar pendelegasian yang tegas atau tidak tegas dari
merintah itu merupakan bentuk delegated legislation
undang-undang. Pasal 10 undang-undang ini menyata-
atau kewenangan yang didelegasikan oleh principal
kan, ”Materi muatan Peraturan pemerintah
legislator atau pembentuk undang-undang kepada
berisi materi untuk menjalankan undang-undang
Presi- den selaku kepala pemerintahan yang akan
sebagai- mana mestinya”.
menjalankan (eksekutif) undang-undang yang
Dalam Penjelasan pasal tersebut dinyatakan
bersangkutan.
bahwa yang dimaksud dengan ”sebagaimana mestinya”
Dalam hubungan dengan pendelegasian kewena-
adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan
ngan itu, kadang-kadang timbul persoalan, misalnya, ke-
Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang
wenangan yang didelegasikan tersebut disalahgunakan
diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Dari
oleh Pemerintah. Jika kewenangan regulasi itu
penjelasan ini timbul penafsiran bahwa sekiranya tidak
disalah- gunakan, seperti umpamanya, materi yang
diperintahkan secara eksplisit pun oleh undang-undang,
diatur dalam Peraturan Pemerintah itu berlebihan
PP tetap dapat dikeluarkan oleh Pemerintah asalkan
sehingga menam- bah-nambah atau bahkan mengubah
materinya tidak bertentangan dengan undang-undang,
materi yang diatur dalam undang-undang yang
dan asalkan hal itu memang diperlukan sesuai dengan
menjadi dasar berpijaknya, maka tersedia mekanisme
kebutuhan yang timbul dalam praktik untuk maksud ”...
untuk mengujinya ke Mah- kamah Agung. Pasal 24A
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
ayat (1) UUD 1945 menen- tukan, ”Mahkamah Agung
Perbedaan penafsiran atas prosedur teknis pelaksanaan
berwenang ... menguji pera- turan perundang-
pendelega- sian yang tidak tegas itulah yang nantinya
undangan di bawah undang-undang terhadap
dapat menim- bulkan masalah serius di lapangan.
undang-undang, ...”.291
Dengan perkataan lain, jika di dalam undang-
undang tidak ada perintah yang tegas agar Peraturan 5) Peraturan Presiden
Pemerintah ditetapkan oleh Pemerintah, maka Peme- Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
rintah tidak dapat menetapkan Peraturan Pemerintah Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah adalah ben-
sama sekali. Pengaturan dengan Peraturan Pemerintah tuk-bentuk peraturan yang disebut oleh Undang-Undang
itu semata-mata untuk maksud mengatur lebih lanjut Dasar 1945. Namun, tidak demikian halnya dengan Pera-
hal-hal yang diperintahkan untuk diatur dalam dan turan Presiden. Sebelum dibentuknya UU No. 10
dengan Peraturan Pemerintah. Hanya saja, Tahun 2004, istilah yang biasa dipakai untuk ini adalah
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Keppres (Keputusan Presiden). Keputusan Presiden
tentang Pem- sebagai ben- tuk peraturan, baru ditetapkan oleh
Ketetapan Majelis

291
Bandingkan dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yang 292
Indonesia, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang- undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389.
Undang Dasar. Lihat Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah
Agung dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
215 216
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/


jian peraturan (judicial review), 294 sedangkan upaya
1966. Dengan ketetapan MPRS ini, bentuk-bentuk pera-
hukum untuk melawan keputusan administrasi negara
turan yang ada sebelumnya, seperti Peraturan
(beschikking) adalah melalui gugatan ke pengadilan tata
Presiden (Perpres) dan Penetapan Presiden (Penpres)
usaha negara (TUN). Dengan demikian, istilah peraturan
ditiadakan. Keputusan Presiden dalam Ketetapan
dan keputusan memang tidak tepat untuk dikacaukan
MPRS ini dimak- sud untuk melaksanakan ketentuan
atau dicampuradukkan satu sama lain. Oleh karena
UUD 1945 dan kete- tapan-ketetapan Majelis
itu, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, istilah
Permusyawaratan Rakyat Se- mentara/Majelis
Peraturan Presiden yang pernah dikenal sebelum masa
Permusyawaratan Rakyat dalam bidang eksekutif, atau
Orde Baru, dihidupkan kembali untuk mewadahi
Peraturan Pemerintah.293
kewenangan regu- lasi yang dimiliki oleh Presiden di
Namun, materi Keputusan Presiden ini ada yang
luar bentuk Peraturan Pemerintah yang ditentukan
bersifat mengatur (regeling) dan ada pula yang hanya
dalam UUD 1945.
bersifat penetapan administratif (beschikking) dan
Menurut ketentuan Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004
berlaku untuk sekali atau einmalig saja. Karena mua-
dijelaskan, “materi muatan Peraturan Presiden berisi
tannya tercampur-aduk antara yang bersifat regeling
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang
dan beschikking, maka dipandang perlu untuk diadakan
atau materi untuk melaksanakan Peraturan
pembedaan yang tegas di antara keduanya. Dalam ber-
Pemerintah”. Dalam ketentuan ini dapat timbul dua
bagai makalah yang kemudian tertuang dalam berbagai
persoalan. Per- tama, Pasal 11 ini memungkinkan
buku saya, sangat sering saya usulkan adanya pembeda-
pembentuk undang- undang memberikan delegasi
an semacam itu.
kewenangan pengaturan mengenai materi tertentu
Alasan pertama ialah bahwa penggunaan nomen-
langsung kepada Peraturan Presiden atau kepada
klatur untuk bentuk hukum yang berisi norma yang me-
Peraturan Pemerintah. Pilihan mengenai salah satu
ngatur haruslah ”peraturan”, bukan ”keputusan”. Se-
dari kedua bentuk peraturan ini se- penuhnya
dangkan untuk bentuk hukum yang bersifat penetapan,
tergantung kepada pembentuk undang- undang
tidak boleh disebut ”peraturan” karena sifatnya memang
sendiri. Dengan logika demikian, berarti kedua jenis
tidak mengatur (regeling).
peraturan ini haruslah berbeda satu sama lain,
Kedua, adanya pembedaan tersebut penting dan
terutama dari segi kriteria isinya. Sebab, jika
memudahkan masyarakat memahami bahwa keduanya
keduanya tidak berbeda, untuk apa pembentuk
memang berbeda, sehingga upaya hukum untuk mela-
undang-undang
wannya juga berbeda mekanismenya. Upaya hukum
untuk melawan produk peraturan disebut sebagai
294
pengu- Dalam arti luas, gugatan terhadap keputusan pejabat administrasi negara,
dalam bahasa Inggris (British), biasa disebut dengan istilah judicial review
juga. Tetapi, judicial review yang dimaksud di sini sesuai pengertian yang
biasa dipahami di Indonesia, yakni dalam arti sempit hanya mencakup
293
Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966 bagian II Tata Urutan Peraturan pengertian pengujian peraturan saja. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945. Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005);
dan Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki oleh Hakim
217 218
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005).

217 218
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

diharuskan memilih di antara kedua jenis peraturan itu.


delegasi pengaturan dari undang-undang dan
Bukankah cukup PP saja yang berfungsi sebagai pera- Peraturan Presiden yang berdasarkan ketentuan Pasal
turan pelaksana langsung atas ketentuan 4 ayat (1) UUD 1945. Kedua macam Peraturan
undang- undang. Sedangkan, Peraturan Presiden Presiden tersebut dapat menimbulkan kerancuan
cukup difung- sikan sebagai pelaksana Peraturan seperti halnya kedudu- kan Keputusan Presiden dalam
Pemerintah sesuai dengan tata urutan hierarkisnya. sistem yang pernah di- praktikkan di masa lalu.295
Kedua, dalam Penjela- san Pasal 11 itu juga ditentukan Jika perintah untuk mengatur itu tercantum secara
bahwa: tegas dalam undang-undang, maka niscaya produk
“Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut UUD pera- turan yang harus ditetapkan oleh Presiden itu
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan adalah dalam bentuk sebagaimana yang diperintahkan
Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara sebagai dalam undang-undang tersebut. Akan tetapi, apabila
atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik perintah mengenai bentuknya tidak disebut dengan
Indonesia Tahun 1945”. tegas, atau bahkan tidak ada perintah sama sekali untuk
mengatur- nya, maka Presiden dianggap dengan
Dengan penjelasan ini berarti, Peraturan Presiden sendirinya memi- liki ruang gerak kewenangan diskresi
dipahami oleh pembentuk undang-undang sebagai (discretionary power) berdasarkan prinsip freies-
peraturan yang bersifat mandiri yang dapat terlepas dari ermessen atau beleidsvrijhei untuk berkreasi. Asalkan
Undang-undang atau apalagi Peraturan Pemerintah. hal itu berada dalam batas-batas kebutuhan yang
Jika suatu undang-undang tidak menentukan harus rasional, objektif, wa- jar (reasonable) dan sewajarnya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, maka (proporsional), Presiden dapat berinisiatif untuk
untuk melaksanakan berbagai ketentuan undang- mengeluarkan Peraturan Presiden yang dibutuhkan,
undang yang bersangkutan dapat ditetapkan Peraturan kecuali jika materi yang hen- dak diatur itu termasuk
Presiden seba- gaimana mestinya. kategori materi yang harus diatur dengan undang-
Demikian pula untuk kepentingan menjabarkan undang, tentu Presiden tidak dapat menuangkannya
lebih lanjut ketentuan Peraturan Pemerintah, maka Pre- dalam bentuk Peraturan Presi- den.
siden dapat lebih lanjutnya menetapkan Namun, berkenaan dengan hal tersebut di atas,
Peraturan Presiden. Bahkan, meskipun Undang-undang dapat timbul persoalan di lapangan, yaitu bagaimana
(UU) atau- pun Peraturan Pemerintah (PP) tidak menentukan batasan yang wajar, sehingga kewenangan
mengatur, jika Presiden menganggapnya penting diskresi yang dimiliki oleh Presiden untuk
untuk diatur dalam rangka menjalankan roda
mengeluarkan Peraturan Presiden itu tidak dilakukan
pemerintahan, maka berdasar- kan ketentuan Pasal 4
dengan sewe-
ayat (1) UUD 1945, Presiden dianggap dapat
menafsirkan kewenangan atributifnya untuk
mengatur hal itu dengan Peraturan Presiden. 295
Lihat pendapat Bagir Manan mengenai hal ini dalam Anna Erliyana,
Dengan demikian, terdapat dua macam Peraturan Presi- Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987-1998, (Jakarta: Fakultas Hu-
den, yaitu Peraturan Presiden yang bersumber dari kum Universitas Indonesia, 2004), hal. 23.

219 220
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

nang-wenang. Jika hal itu dilakukan sewenang- Anna Erliyana dalam disertasinya pada tahun 2004.
wenang, maka pemerintahan akan kembali berkembang
seperti di masa Orde Baru, di mana banyak sekali
tindakan peme- rintahan yang dilakukan hanya dengan
Keputusan-Kepu- tusan Presiden, sehingga saya sendiri
pernah menama- kannya sebagai gejala Government by
Keppres. 296
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh,
sebe- narnya, Penjelasan Pasal 11 UU No. 10 Tahun
2004 ter- sebut, jelas mengandung substansi konsep
Keputusan Presiden yang bersifat mandiri yang pernah
dipopuler- kan oleh Prof. Dr. Hamid S. Attamimi di masa
Orde Baru yang banyak mendapat kritik dari para ahli
hukum.297

6) Peraturan Daerah (Perda)


Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10
Tahun 2004, Peraturan Daerah (Perda) meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi yang dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota yang dibuat oleh
dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, yang
dibu- at oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.

296
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Konpress, Jakarta, 2005. Dalam semangat yang sama, Frans Hendrawinarta
juga menulis artikel di Harian Kompas dengan judul, “Keppres Sarana Legi-
timasi
297
Praktik KKN”, 26 Oktober 1998, hal. 9.
Lihat Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden dalam
Penyeleng- garaan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
IV, disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990. Di samping
Hamid
S. Attamimi, kajian ilmiah tentang Keputusan Presiden juga dilakukan oleh
221 222
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Mengenai pengertian Peraturan Desa (Perdes)


ini dapat timbul persoalan serius di lapangan. Sebagai
ben- tuk peraturan di tingkat desa, seharusnya
Peraturan Desa dikeluarkan dari pengertian Peraturan
Daerah yang tercantum resmi sebagai bentuk
peraturan yang berada dalam posisi hierarki kelima
dalam susunan peraturan perundang-undangan yang
dimaksud oleh Pasal 7 ayat
(2) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut. Unit
pemerintahan desa, sudah seharusnya dibedakan
dari unit pemerin- tahan daerah pada umumnya.
Kehidupan masyarakat desa merupakan bentuk
komunitas yang dapat mengurus dirinya sendiri. Oleh
karena itu, masyarakat desa juga biasa disebut
sebagai self-governing communities (zelf- bestuur
gemeinschap) yang merupakan unit-unit kegia- tan
masyarakat di luar pengertian formal daya jangkau
organisasi negara. Oleh karena itu, Peraturan Desa
tidak perlu dimasukkan ke dalam kategori peraturan
perun- dang-undangan negara.
Dengan demikian, bentuk Peraturan Desa
itu sebenarnya tidak perlu dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan yang berada di
bawah undang- undang, sehingga memenuhi
kualifikasi sebagai bentuk peraturan yang dapat diuji
oleh Mahkamah Agung. Jika peraturan desa
dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang sebagai- mana
dimaksud dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945,
maka berarti bahwa peraturan desa itu dapat
dijadikan objek pengujian oleh Mahkamah Agung.
Hal demikian tentulah dapat dianggap tidak realistis,
dan justru tidak sesuai dengan maksud perumusan
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 itu sendiri, karena
akan membebani Mahka- mah Agung dengan tugas-
tugas yang sangat tidak realis- tis. Kehidupan
masyarakat desa sebagai self-governing communities
merupakan unit-unit kegiatan masyarakat di luar
pengertian formal daya jangkau organisasi nega-
221 222
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

ra. Meskipun desa merupakan kaki-kaki yang kokoh


syawaratan Rakyat Nomor V/MPR/ 1973
bagi organisasi negara dalam arti yang umum, tetapi 299
daya jangkau organ-organ negara memang tidak dinyatakan tetap berlaku. Sumber-sumber hukum
seharusnya menjangkau sampai ke tingkat desa. Oleh tersebut meru- pakan sumber hukum formil menurut
sebab itu, Peraturan Desa tidak perlu dimasukkan ke tingkat kewena- ngannya (hierarkinya), sehingga setiap
dalam kate- gori peraturan perundang-undangan peraturan hukum yang berlaku senantiasa bersumber
negara. pada dan dari pera- turan hukum yang lebih tinggi
Namun demikian, terlepas dari hal itu, secara tingkatannya.
normatif pada ayat (3) pasal ini, lebih lanjut telah diten- Setelah ditetapkannya Ketetapan MPR
tukan bahwa tata cara pembuatan Peraturan Desa Nomor III/MPR/2000 di masa reformasi, bentuk dan
atau peraturan yang setingkat peraturan desa itu jenis-jenis peraturan perundang-undangan
diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota disederhanakan sehing- ga terdiri atas (i) Undang-
yang ber- sangkutan. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (4) Undang Dasar, (ii) Ketetapan MPR/S, (iii) Undang-
menentukan bahwa jenis Peraturan Perundang- undang (UU), (iv) Peraturan Peme- rintah Pengganti
undangan selain yang ditentukan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-undang (Perpu), (v) Peraturan Pemerintah
UU No. 10 Tahun 2004, diakui keberadaannya dan
(PP), (vi) Keputusan Presiden (Keppres),
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
(vii) Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan, bentuk-
diperintahkan oleh Peraturan Per- undang-undangan
yang lebih tinggi. bentuk lainnya yang tetap diakui adalah Peraturan/
Keputusan Menteri, lembaga-lembaga independen lain-
7) Peraturan Pelaksanaan Lainnya nya, Mahkamah Agung, dan sebagainya, yang disebut
Di masa awal Orde Baru dulu, yang dimaksud pe- raturan atau keputusan yang bersifat mengatur.
de- ngan peraturan pelaksanaan lainnya adalah bentuk- Setelah diadakan peninjauan kembali
ben- tuk peraturan yang ada setelah Ketetapan MPRS No. mengenai materi dan status hukum Ketetapan-
XX/ MPRS/1966, dan harus bersumber kepada Ketetapan MPR/MPRS sejak tahun 1960 sampai
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Umpamanya, dengan tahun 2002, maka oleh Ketetapan MPR
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan No. I/MPR/2003 ditentukan bahwa TAP MPR No.
sebagainya. Sumber- sumber hukum formil Hukum Tata III/MPR/2000 tersebut di atas dinyatakan masih
Negara pada masa itu adalah sebagaimana ditentukan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mengatur materi
Sementara Nomor XX/ MPRS/ 1966,298 yang kemudian
oleh Ketetapan Majelis Permu- turan Perundangan Republik Indonesia tersebut pada Pasal 1 berlaku bagi
pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
299
298
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan produk-produk
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan yang berupa ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen-
Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 1, menerima baik isi tara Republik Indonesia. Pasal 3, dinyatakan tetap berlaku dan perlu disem-
memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966, khusus mengenai Sumber purnakan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara:
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan (1) Tap XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber
Republik Indonesia. Pasal 2, Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Pera- Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
223 224
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Republik Indonesia.

223 224
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

yang diatur dalam ketetapan itu. Untuk itu, maka


atas, sepanjang bersifat mengatur (regeling) harus di-
dibentuklah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 baca sebagai peraturan, dan untuk seterusnya, semua
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. produk yang bersifat mengatur tersebut harus disebut
Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 ini, maka dengan nama peraturan yang pembentukannya tunduk
segala sesuatu yang berkenaan dengan bentuk dan kepada ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 itu.
pembentukan peraturan perundang-undangan harus Peraturan-peraturan dimaksud, misalnya, Peratu-
tunduk kepada ketentuan yang diatur oleh undang- ran Tata Tertib MPR, Peraturan Tata Tertib DPR, Peratu-
undang ini. Pasal 54 UU No. 10 Tahun 2004 menjelaskan ran Tata Tertib DPD, 300 Peraturan Mahkamah
bahwa: Agung (PERMA), Peraturan Mahkamah Konstitusi
“Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan (PMK), Pe- raturan Badan Pemeriksa Keuangan,
Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawara- Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan Menteri
tan Rakyat, dan Keputusan Pimpinan Dewan (Permen), Peraturan Kepala Badan, Peraturan
Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Lembaga, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Perwakilan Dae- rah, Keputusan Ketua Mahkamah 301
Peraturan Komisi Pembe- rantasan Tindak Pidana
Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Korupsi, atau peraturan lembaga yang setingkat
Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan,
Keputusan Gubernur Bank Indo- nesia, Keputusan lainnya. Semua peraturan perundang- undangan
Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga atau tersebut merupakan bentuk-bentuk peraturan
Komisi yang setingkat, Keputusan Pim- pinan Dewan pelaksanaan undang-undang atau biasa disebut subor-
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kepu- tusan dinate legislations yang merupakan peraturan yang
Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwa- kilan didelegasikan oleh undang-undang (delegated
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati legisla- tions). Semua itu tetap dapat disebut sebagai
/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat, peraturan perundang-undangan yang termasuk ke
harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau dalam kategori allgemeene verbindende voorschriften
bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
atau peraturan yang mengikat untuk umum.
Bahkan, dalam bahasa Belanda, bentuk-bentuk
Sementara itu, dalam Pasal 56 Undang-undang No-
pengaturan yang ditetapkan oleh para administrator
mor 10 Tahun 2004 tersebut dinyatakan pula:
sebagai pejabat pelaksana fungsi-fungsi administrasi
”Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Ke-
putusan Gubernur, Keputusan Bupati/ Walikota, atau
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud da- 300
Peraturan-peraturan ini biasanya ditetapkan dalam bentuk atau dengan
lam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada
memakai baju hukum keputusan, tetapi dinamakan Peraturan Tata Tertib
sebelum Undang-undang ini berlaku, harus dibaca karena isinya bersifat mengatur.
pera- turan, sepanjang tidak bertentangan dengan 301
Sebelum diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Undang- Undang ini”. Peraturan Perundang-undangan, jenis-jenis peraturan seperti yang dikeluar-
kan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) biasa disebut dengan istilah
Oleh karena itu, semua keputusan lembaga-lemba- Keputusan Ketua KPU. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No.
ga seperti yang dimaksud dalam Pasal 54 tersebut di 10 Tahun 2004 tersebut, semua sebutan Keputusan yang berisi norma yang
bersifat pengaturan (regeling) itu harus dibaca sebagai peraturan menurut
ketentuan UU No. 10 Tahun 2004.

225 226
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

negara dalam rangka melaksanakan ketentuan


Kabupaten/Kota, dan Peraturan Bupati/Walikota.
undang- undang disebut juga dengan istilah besluit
Hubu- ngan antara Perda Provinsi dengan Peraturan
van allge- meene strekking atau keputusan yang
Kepala Pemerintah Daerah itu dapat disetarakan
berisi ketentuan yang berlaku untuk umum. Oleh
dengan hubu- ngan antara Undang-undang dengan
sebab itu, bentuk hukum pengaturan seperti itu
Peraturan Pemerin- tah atau Peraturan Presiden di
sebelum dibentuknya UU No. 10 Tahun 2004, biasa
tingkat pusat. Demikian pula bentuk-bentuk peraturan
disebut juga dengan istilah ”Keputusan”. Misalnya,
lainnya, dapat pula dis- ebut, misalnya Peraturan Tata
Keputusan Menteri, Keputusan Direktur Jenderal
Tertib DPRD Provinsi, dan Peraturan Tata Tertib DPRD
Pajak, Keputusan Gubernur, Keputu- san Komisi
Kabupaten/Kota, mes- kipun tidak termasuk pengertian
Pemilihan Umum, dan sebagainya, disebut dengan
allgemeine verbin- dende voorschriften, tetapi tetap
istilah keputusan, padahal isinya bersifat menga- tur
dapat disebut sebagai peraturan tingkat daerah.
(regeling). Kebiasaan penggunaan istilah keputusan itu
disebabkan oleh karena dalam bahasa Belanda, 4. Konvensi Ketatanegaraan
bentuk-bentuk pengaturan seperti itu juga biasa disebut
dengan istilah besluit van allgemeene strekking.
Dalam Hukum Tata Negara (constitutional law),
Di samping itu, ada pula bentuk-bentuk atau jenis-
jenis peraturan di tingkat daerah. Bentuk-bentuk atau dikenal pula apa yang disebut konvensi ketatanegaraan
jenis peraturan tingkat daerah ini sebenarnya dapat saja (the convention of the constitution). Konvensi ketata-
disebut atau tidak disebut sebagai peraturan perundang- negaraan mempunyai kekuatan yang sama dengan
undangan. Misalnya, undang-undang dapat menentukan Undang-undang, karena diterima dan dijalankan, mes-
ada atau tidaknya pembedaan yang jelas antara kipun hakim di pengadilan tidak terikat olehnya.
penger- tian peraturan pusat dan peraturan daerah. Bahkan seringkali konvensi ketatanegaraan ini
Akan tetapi, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (1) Undang- menggeser ber- lakunya suatu peraturan perundang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 telah dengan jelas undangan yang tertulis.
menentukan bahwa Peraturan Daerah yang mencakup Sebagai contoh, pada awal kemerdekaan, dapat di-
pengertian Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah kemukakan bahwa menurut Pasal 17 Undang-Undang
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau yang Dasar 1945, Menteri Negara bertanggung jawab
setingkat, termasuk ke dalam pengertian peraturan kepada Presiden, karena ia adalah pembantu Presiden.
perundang-undangan. Pasal 7 ayat Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia di
(1) jelas menentukan bahwa Peraturan Daerah itu adalah tahun 1945, ternyata ketentuan yang menyatakan
peraturan perundang-undangan yang berada dalam bahwa Menteri Negara harus bertanggung jawab
uru- tan hierarkis ke-5 setelah UUD, UU/Perpu, PP, dan kepada Presiden, kare- na konvensi ketatanegaraan,
Per- pres. diubah menjadi bertang- gung jawab kepada Badan
Dengan demikian, peraturan tingkat daerah Pekerja Komite Nasional In- donesia Pusat (BP-KNIP).
beserta peraturan pelaksanaannya adalah termasuk juga Pada masa itu, Badan Pekerja Komite Nasional
dalam pengertian peraturan perundang-undangan. Indonesia Pusat (KNIP) ini berfungsi sebagai semacam
Peraturan- peraturan tingkat daerah itu terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat yang menja-
Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Gubernur,
Peraturan Daerah
227 228
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

lankan tugas-tugas yang bersifat legislatif.


tindak penyimpangan dari ketentuan konstitusi, tetapi
Hal ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil telah mendapatkan kesepakatan bersama atau dibiarkan
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian berlaku oleh semua pihak yang terkait, maka hal itu
diikuti dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Novem- dapat diterima sebagai konvensi ketatanegaraan, meski-
ber 1945, di mana Komite Nasional Indonesia Pusat yang pun belum menjadi kebiasaan yang dimaksud di atas.
semula membantu Presiden dalam menjalankan Kebiasaan mempersyaratkan terjadinya perulangan-
wewe- nangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal perulangan. Tetapi dalam konvensi tidak harus lebih
IV Un- dang-Undang Dasar 1945, menjadi badan yang dulu terjadi perulangan. Uraian lebih rinci beserta con-
sederajat dengan Presiden, dan sebagai tempat toh-contoh mengenai hal ini akan dibahas dalam sub
Menteri Negara bertanggung jawab. Dengan demikian, bab tersendiri.
sistem pemerin- tahan yang semula menganut sistem
presidentil (presi- dential system) berubah menjadi 5. Traktat (Perjanjian)
sistem pemerintahan parlementer. Hal ini dapat dilihat Sumber hukum formil yang lain dari Hukum
dalam kabinet Syahrir I, II, dan III, serta kabinet Amir Tata Negara adalah traktat atau perjanjian, sepanjang
Sjarifudin yang meng- gantikannya. traktat atau perjanjian itu menentukan segi hukum
Konvensi ketatanegaraan dapat dibedakan dari ketata- negaraan yang hidup bagi negara masing-
kebiasaan ketatanegaraan. Dalam kebiasaan terdapat masing yang terikat di dalamnya, sekalipun ia termasuk
un- sur yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang dalam bidang Hukum Internasional. Bentuk traktat
sama berulang-ulang dilakukan, yang kemudian (treaty) tersebut tidak selalu tertulis karena
diterima dan ditaati. Kebiasaan ketatanegaraan akan kemungkinan terjadi bahwa perjanjian hanya diadakan
menjadi hukum kebiasaan yang mengikat apabila ia dengan pertukaran nota atau surat-surat belaka. Dalam
diberi atau dilengkapi dengan sanksi. Kebiasaan kamus Hukum Internasional, tidak dibedakan antara
ketatanegaraan ialah perbuatan dalam kehidupan traktat dan perjanjian. Bahkan, traktat dan perjanjian
ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga sering dikatakan mempunyai arti yang sama saja.
Akan tetapi, Bellefroid berpendapat bahwa kedua
ia diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan,
hal itu mempunyai arti yang berbeda. Traktat
walaupun ia bukan hu- kum. Di sinilah letak
adalah perjanjian yang terikat pada bentuk ter- tentu,
perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah
sedangkan perjanjian tidak selalu terikat pada
tidak diragukan keabsahannya. Kebiasaan bentuk tersebut.302
ketatanegaraan walaupun bagaimana penting- nya tetap Traktat atau perjanjian adalah perjanjian yang
merupakan kebiasaan saja. diadakan oleh dua negara atau lebih. Apabila perjanjian
Sebagian kebiasaan ketatanegaraan memang dapat
disebut sebagai konvensi ketatanegaraan. Akan tetapi, 302
Bellefroid, Mr. J.H., Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland,
tidak selalu konvensi ketatanegaraan merupakan kebia- (Utrecht: Dekker & van de Vegt. N.V. Nijmegen, 1948), hal. 107, “De
saan ketatanegaraan, sebab konvensi dapat timbul mes- stalen gaan ook overeenkomst aan, waarby de tractaatsvorm enkel en alleen
kipun sesuatu belum menjadi kebiasaan. Misalnya, door nota-wiselling of door briefwisseling gesboten worden. Al worden die
overeenkomst doorgaans niet met de naam tractaten bestempeld toch staatn
zij, van juridisch standpunt beschouwd met tractaten op een lijn”.

229 230
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

itu diadakan oleh dua negara, ia disebut perjanjian bila-


dengan saling menukarkan piagam perjanjian. 303
teral. Sedangkan, apabila diadakan oleh banyak negara,
ia disebut perjanjian multilateral. Dalam praktik, mana
yang disebut traktat dan mana yang dapat disebut Dapat dikatakan bahwa pada tahap pertama, yaitu
sebagai persetujuan, tidak mudah untuk dibedakan. tahap perundingan, sepenuhnya merupakan
Keduanya sama-sama termasuk ke dalam pengertian kewenangan Presiden. Dalam rangka hubungan dengan
perjanjian yang seringkali tidak dapat dipisahkan secara luar negeri, Presiden dapat menentukan dalam hal apa
tajam. saja dan kapan saja perlu diadakan perjanjian antara
Dalam lapangan Hukum lnternasional, suatu pro- Republik Indonesia dengan negara lain. Dalam hal ini
ses pembuatan perjanjian sampai mengikat kedua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sama sekali tidak perlu
negara atau lebih, dilakukan dalam beberapa tahap, ikut campur untuk menentukan secara langsung. Akan
yaitu: tetapi, kadang-kadang DPR dapat pula menyatakan
1) perundingan atau pembicaraan diadakan mengenai pendapat- nya di muka umum mengenai hal itu.
hal-hal yang menyangkut kepentingan masing- Misalnya, DPR dapat menyatakan pendapatnya bahwa
masing negara. Pembicaraan atau perundingan hubungan antara Republik Indonesia dengan negara
terse- but merupakan tindakan persiapan sebelum lain belum waktunya diadakan perjanjian. Pendapat
terjadi- nya suatu traktat; yang demikian itu dapat muncul sebagai pendapat
2) jika para pihak telah memperoleh kata sepakat, perorangan anggota DPR, atau pun kemudian diadopsi
maka substansi pokok yang dihasilkan dari menjadi pendapat DPR sebagai institusi. Jika pendapat
perundingan itu diparaf sebagai tanda persetujuan seperti itu timbul, tentu hal ini dapat saja menimbulkan
sementara. Dikata- kan sementara, karena naskah akibat tertentu terhadap Presi- den, setidak-tidaknya
itu masih memerlukan persetujuan lebih lanjut dari secara politik.
lembaga perwakilan rakyat atau parlemen masing- Jika diukur dengan asas kedaulatan rakyat, se-
masing negara; benarnya, tahap kedualah yang terpenting, yaitu tahap
3) sesudah diperoleh persetujuan dari masing-masing penentuan kesepakatan materiel mengenai hal-hal yang
negara, kemudian disusul dengan penguatan (be- diperjanjikan itu. Sebab, bagaimanapun juga, sudah se-
krachtiging) oleh Kepala Negara masing-masing. harusnya rakyat mengetahui segala tindakan, langkah
Sesudah keputusan dicapai, tidak mungkin lagi bagi dan kegiatan Presiden yang berhubungan dengan
kedua pihak untuk mengadakan perubahan, karena negara lain. Setiap perjanjian dengan negara lain dapat
perjanjian tersebut sudah mengikat kedua belah beraki- bat langsung ataupun tidak langsung terhadap
pihak; kehidu-
4) keputusan yang sudah disetujui dan ditandatangani
oleh para pihak kemudian diumumkan. Lazimnya
303
pe- ngumuman itu dilakukan dalam suatu upacara Lihat Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Op. Cit, hal 186,
sebagai berikut : 1. Penetapan, 2. Persetujuan masing-masing Dewan Perwa-
kilan Rakyat dari pihak yang bersangkutan, 3. Ratifikasi, atau pengesahan
oleh masing-masing Kepala Negara, 4. Pelantikan atau pengumuman (afkon-
diging).

231 232
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

pan rakyat banyak. Oleh karena itu, wakil-wakil rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1974), hal. 67.
yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat harus
mengetahui apakah suatu perjanjian akan
menguntungkan rakyat atau justru sebaliknya akan
merugikan rakyat yang mere- ka wakili kepentingannya
di lembaga perwakilan rakyat.
Di samping itu, perlu dicatat pula bahwa, selain
merupakan sumber hukum materil, perjanjian juga di-
akui sebagai sumber hukum formil dalam Hukum
Tata Negara. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari ada- nya hubungan antarnegara. Sebagai contoh,
dapat dike- mukakan adanya perjanjian dwi-
kewarganegaraan yang dikenal pada masa Undang-
Undang Dasar Sementara 1950. Perjanjian yang
mengatur persoalan dwi-kewarga- negaraan tersebut
dulu dianggap sebagai sumber hukum formil bagi
Hukum Tata Negara, karena masalah kewar-
ganegaraan itu merupakan salah satu bidang kajian yang
dianggap penting dalam Hukum Tata Negara.
Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 sendiri
tidak membedakan antara istilah perjanjian dan traktat.
Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut istilah perjanjian
dengan negara lain. Dalam kepustakaan, wewenang yang
timbul dalam hubungan dengan negara lain ini
disebut sebagai kekuasaan diplomatik (diplomatic
power) atau hubungan luar negeri (foreign Affairs).304
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
tidak dirinci lebih
304
C.F. Strong memakai istilah diplomatic power, lihat dalam Strong, Op
Cit., hal. 233; Bernard Schwartz menyebutnya foreign affairs, lihat Bernard
Schwartz, American Constitutional Law, (Cambridge University Press,
1955), hal. 102 dst.; Wolhoff memakai istilah “hubungan luar negeri”, lihat
dalam Pengantar Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun
Mas, 1960), hal. 193; lsmail Suny menggunakan istilah “kekuasaan diplo-
matic”, lihat dalam Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Nilam, 1965),
hal. 34, 83 dan 125; Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro memakai istilah
“hubungan luar negeri”, lihat dalam Azas-Azas Hukum Tata Negara di

233 234
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
lanjut apakah semua perjanjian seperti halnya dengan
persetujuan termasuk pengertian perjanjian
antarnegara (international agreement). Ismail Suny
menyebutkan bahwa hal-hal yang termasuk
International Agreement itu tidaklah memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 305
Dalam praktek di masa pemerintahan
Presiden Soekarno, Pasal 11 UUD 1945 pernah
diartikan menca- kup pengertian perjanian
internasional yang penting dan yang kurang penting.
306
Hal itu, misalnya tercermin dalam Surat
Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong tanggal 22 Agustus 1960 No.2826
/HK/ 1960 yang membedakan dua macam
perjanjian internasional, yaitu:
(i) perjanjian internasional yang memuat materi yang
penting (treaty);
(ii) perjanjian internasional yang mengandung materi
yang kurang penting (agreement).

Perjanjian internasional yang dapat dikatakan


mempunyai kandungan materi yang penting adalah
perjanjian yang memuat persoalan politik dan
persoalan- persoalan yang dapat mempengaruhi
kebijakan atau haluan politik luar negeri negara,
seperti perjanjian per- sahabatan, persekutuan,
perubahan wilayah atau pene- tapan tapal batas, dan
sebagainya, yang dari segi materi- nya, berkenaan
dengan:
(i) perikatan-perikatan yang sedemikian rupa sifatnya,

305
lsmail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op. Cit., hal. 83.
306
Sebelum Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, pasal ini
hanya berisi 1 butir ketentuan, yaitu “Presiden dengan persetujuan DPR
menyata- kan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan
Negara lain”. Ketentuan tersebut sekarang mempunyai rumusan Pasal 11
ayat (1) yang baru dengan ditambah ayat (2) dan ayat (3).

233 234
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri


bulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
negara; dan
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
(ii) persoalan-persoalan yang menurut Undang-Undang
negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau
Dasar 1945 atau menurut sistem peraturan perun-
pembentukan un- dang-undang harus dengan
dang-undangan negara kita hanya diatur dapat
persetujuan DPR”. Dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 24
dengan Undang-undang, seperti soal kewarganega-
Tahun 2000 tentang Perjan- jian Internasional,308
raan.
diatur bahwa pengesahan perjanji- an internasional
oleh Pemerintah dilakukan dengan undang-undang
Apabila materi perjanjian dengan negara lain itu
atau dengan keputusan presiden.309
berkenaan dengan kedua hal tersebut, maka perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 10 UU No. 24
itu dapat dikatakan penting. Akan tetapi, jika perjanjian Tahun 2000, pengesahan perjanjian internasional
itu berkenaan dengan hal-hal di luar itu, maka dapat di- dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan
anggap sebagai perjanjian internasional yang kurang dengan:
penting. a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan ke-
Namun, oleh karena materi dari suatu perjanjian amanan negara;
internasional (internasional agreement) itu kadang- b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah ne-
kadang sangat berkaitan dengan kepentingan atau me- gara Republik Indonesia;
nyangkut hajat hidup rakyat banyak, maka hal-hal yang c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
demikian itu dianggap memang sudah seharusnya me- d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
merlukan persetujuan DPR. Misalnya, persetujuan e. pembentukan kaidah hukum baru;
inter- nasional yang berkenaan dengan pinjaman luar f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
negeri yang berjangka panjang, atau bantuan pinjaman
dari negara kita kepada negara lain atau suatu Kemudian, berdasarkan pada ketentuan Pasal 11
organisasi di luar negeri. Kedua-duanya menyangkut UU No. 24 Tahun 2000 tersebut, pengesahan perjanjian
keuangan nega- ra, yang pada akhirnya membebani internasional yang materinya tidak termasuk materi
seluruh rakyat. Un- tuk itu, hal-hal demikian harus seperti yang dimaksud di atas, cukup dilakukan
mendapat persetujuan dari DPR. dengan keputusan presiden.
Oleh karena itu, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD
C. Konvensi Ketatanegaraan
1945 307 menentukan bahwa ”Presiden dengan
persetu- 1. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan
Menurut pendapat Albert Venn Dicey (1835-
1922) dalam bukunya “Introduction to the Study of the
Law of
juan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian,
dan perjanjian dengan negara lain”; ”Presiden dalam 307
Merupakan hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.
membuat perjanjian internasional lainnya yang menim-

235 236
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
308
Indonesia, Undang-undang Tentang Perjanjian Internasional, UU No.
24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000, TLN No. 4012.
309
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan
Per- wakilan Rakyat. Pengesahan dengan Keputusan Presiden selanjutnya
diberi- tahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

235 236
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

the Constitution”, kita harus membedakan antara (i) the


ngan kebiasaan atau kebiasaan ketatanegaraan, padahal
law of the constitution, dan (ii) the conventions of
sebenarnya berbeda. Kebiasaan mempersyaratkan pe-
the constitution, 310 yang keduanya sama-sama sebagai
ngulangan, sedangkan konvensi tidak. Dalam praktik,
dua maxim yang penting dalam ilmu hukum tata
konvensi juga dianggap sebagai salah satu cara untuk
negara.311 Termasuk ke dalam pengertian the laws of mengubah apa yang tertulis dalam teks konstitusi,
the consti- tution itu adalah segala ketentuan peraturan sesuai dengan kebutuhan yang baik untuk memastikan
perundang- undangan yang berlaku mengikat, yang beker- janya norma konstitusi dalam praktik. K.C.
dapat dipaksa- kan dan diakui berlakunya oleh badan- Wheare dalam bukunya “Modern Constitutions”,
badan peradilan (which are enforced or recognized by misalnya, ada- lah salah seorang sarjana yang
the court), yaitu menganggapnya demi- kian. Menurut K.C. Wheare:
(a) statutes, atau undang-undang, (b) norma-norma “Many important changes in the working of
yang berasal dari custom atau adat kebiasaan, tradisi a constitution occur without any alteration in
atau prinsip-prinsip yang diciptakan oleh hakim (judge- the rules which regulate a government, whether
made maxims) yang biasa dikenal sebagai common they strictly legal or rules of custom and
laws. Sedangkan, norma-norma hukum lain selain hal convention”.313
tersebut di atas, dikategorikan oleh A.V. Dicey sebagai
the con- ventions of the constitution atau konvensi Banyak perubahan yang terjadi dalam rangka
ketatanega- raan. pelaksanaan undang-undang dasar tanpa mengubah
Konvensi ketatanegaraan atau secara mutlak bunyi teks hukum ketentuan yang menga-
constitutional convention merupakan peristilahan yang tur suatu pemerintahan, melainkan terjadi begitu saja
lazim disebut dalam pembicaraan mengenai masalah- melalui kebiasaan dan konvensi (rules of custom and
masalah praktik ketatanegaraan dan dalam ilmu convention). K.C. Wheare bahkan menguraikan lebih
hukum tata negara (constitutional law).312 Kadang- lanjut mengenai perubahan-perubahan konstitusi yang
kadang, istilah konvensi atau konvensi ketatanegaraan dapat terjadi melalui (i) perubahan hukum dalam arti
itu dianggap identik de- yang strict, yaitu perubahan melalui amandemen
formal;
310
Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the (ii) perubahan melalui penafsiran yudisial atas teks
Constitution, 10th edition, (London: Macmillan, 1959). Buku ini sudah konstitusi, yaitu melalui proses peradilan tata negara
tergolong buku klasik (classical work of Dicey), tetapi sampai sekarang tetap (constitutional adjudication); dan (iii) perubahan
dianggap sebagai bacaan umum di bidang hukum tata negara. mela- lui kebiasaan dan konvensi. 314 Artinya,
311
Bandingkan dengan Michael T. Molan yang menggunakan istilah legal konvensi juga dapat dianggap sebagai salah satu
rules of the constitution untuk pengertian Dicey mengenai the law of the
Constitution, dan non-legal rules of the constitution untuk istilah the conven- metode perubahan konstitusi.
tions of the constitution. Lihat Michael T. Molan, Textbook on
Constitutional Law: The Machinery of Government, 4th edition, (Old Bailey
Prees, 2003), hal. 21-22. 313
312 Wheare, Op Cit.,. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani,
Constitutional Convention di dalam Oxford Dictionary Law diartikan
Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003). Lihat juga
sebagai “Practices relating to the exercise of their functions by the crown,
the government, Parliament, and the judiciary that are not legally enfor- Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986),
ceable but are commonly followed as if they were”. hal. 31.
314
Ibid.

237 238
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Secara umum, konvensi sering diartikan sebagai


Untuk memahami lebih tepat mengenai konvensi
unwritten laws, tetapi kadang-kadang dibedakan dan
itu, kita dapat pula menghubungkannya
bahkan tidak dianggap sebagai hukum sama sekali. Di
dengan pengertian yang berlaku dalam sosiologi
Inggris, unwritten laws biasa diidentikkan
hukum dan antropologi hukum. Dalam kaitannya
dengan pengertian common law. Sering juga unwritten
dengan daya ikat norma, biasa dibedakan antara
laws itu sendiri diidentikkan pula dengan customs
pengertian (i) cara (usa- ges), (ii) kebiasaan
atau adat kebiasaan atau adat istiadat. Semua ini
(folkways), (iii) tata laku (mores), dan (iv) adat
berpotensi menimbulkan kebingungan jika dikaitkan
istiadat (customs).317 Dalam konteks yang demikian,
dengan pe- ngertian hukum kebiasaan atau
maka yang kita maksudkan dengan konvensi
customary laws yang tidak saja merupakan hukum
ketatanegaraan (the conventions of the constitution)
dalam pengertian yang mutlak (strict sense) tetapi
itu sendiri tidak lain adalah praktik-praktik
juga memerlukan immemo- rial antiquity untuk
ketatanegaraan yang berisi salah satu dari keempat
pemberlakuannya. Sedangkan, constitutional
jenis norma, yaitu usages (cara), folkways (kebiasaan),
convention sama sekali tidak membutuh- kan
mores (pola kelaku- an), atau customs (adat istiadat)
immemorial antiquity semacam itu.315
tersebut, yang terang- kum dalam istilah
Perkataan convention sering digunakan oleh para
constitutional usages, dan constitu- tional practices,
ahli hukum tata negara atau constitutional lawyers
serta constitutional customs atau kebia- saan
untuk menunjuk kepada pengertian rules of political
ketatanegaraan.
practice atau norma yang timbul dalam praktik politik
yang juga dianggap berlaku mengikat oleh pihak-pihak Konvensi-konvensi ketatanegaraan, tidak
yang terkait dengannnya, terutama oleh para penye- saja dijumpai di negara-negara yang tidak mengenal
lenggara negara. Namun, norma praktik itu sendiri, doku- men konstitusi tertulis, tetapi juga di
kare- na tidak didasarkan atas ketentuan yang bersifat kebanyakan nega- ra-negara dengan konstitusi tertulis.
tertulis, dianggap tidak mengikat para hakim, jika Di semua negara anggota Persemakmuran
kepada mereka diajukan perkara oleh pihak-pihak yang (Commenwealth) seperti Aus- tralia, 318 Amerika
berkepentingan yang menggugat atau melawan praktik- Serikat, dan sebagainya. Konvensi- konvensi
praktik politik yang tidak tertulis itu. O. Hood Phillips, ketatanegaraan itu diakui sebagai sumber hukum
Paul Jackson, dan Patricia Leopold berpendapat bahwa: yang penting dalam praktik. Misalnya, tata cara
“The lack of judicial enforcement distinguishes conven- pemilihan presiden dan tata cara penentuan
tions from laws in the strict sense. This is an anggota kabinet pemerintahan Amerika Serikat sebagian
important formal distinction for the lawyer, though terbesar diatur menurut kebiasaan ketatanegaraan
the politician may not be so interested in the (constitutional conventions), bukan atas dasar
distinction”.316 peraturan yang bersifat tertulis.319 Begitu juga di
Indonesia, banyak sekali usages dan practices dalam
penyelenggaraan negara yang tidak

317
315 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 136.
316 Penerbit UI, 1975), hal. 75.
Ibid., hal. 24. 318
Mengenai konvensi ketatanegaraan di Australia, baca misalnya George
Winterton, The Executive and the Governor General, 1983.
239 240
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
319
W.B. Munro, The Government of the United States, 4th edition, 1936,
hal. 80-83.

239 240
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

didasarkan atas aturan tertulis, melainkan hanya


pun konstitusinya dikatakan tidak tertulis seperti Inggris
di- dasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi
dan Israel, tetap dianggap memiliki konstitusi dan
dari masa lalu. Misalnya, adanya Pidato Kenegaraan
dise- but sebagai constitutional state. Demikian pula
Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus di depan Rapat
konvensi yang tidak mutlak harus bersifat tidak
Paripurna DPR-RI dapat juga dikatakan sebagai
tertulis, sehingga perbedaan antara the laws of the
konvensi ketata- negaraan.
constitution dan the conventions of the constitution
Akan tetapi, sifat konvensi yang tertulis atau
tidak dapat dibedakan dari sekedar sifatnya yang
tidak tertulis itu sendiri sebenarnya tidaklah mutlak.
tertulis atau yang tidak tertulis. Hal yang terpenting
Kadang- kadang, konvensi ketatanegaraan dapat juga
adalah bahwa yang pertama dapat dipaksakan dan
dituangkan dalam bentuk tulisan tertentu, meskipun ia
diakui berlakunya di pengadilan dan oleh pengadilan,
tetap dapat disebut sebagai konvensi ketatanegaraan
sedangkan yang kedua (convention) tidak dapat
atau consti- tutional convention. Ismail Suny,
dipaksakan di pengadilan dan oleh pengadilan.322
misalnya, termasuk guru besar hukum tata negara yang Namun, meskipun tidak dapat dipaksakan berlaku-
berpendapat demiki- an. Menurutnya, “konvensi tidak nya, peranan the conventions of the constitution dalam
perlu selalu merupa- kan ketentuan yang tidak praktik ketatanegaraan di semua negara konstitusional
tertulis, yang timbul dari persetujuan (agreement) (constitutional state) dapat dikatakan sangat penting.
boleh saja berbentuk tertu- lis”.320 Sebagai salah satu Demikian pula di Inggris yang memang dikenal tidak
contoh, misalnya, jika Presiden mengadakan memiliki naskah konstitusi yang tertulis dan menganut
persetujuan dengan pimpinan parlemen mengenai tradisi common law, norma-norma hukum kebiasaan
sesuatu agenda persidangan parlemen, dan justru lebih menonjol peranannya. Bahkan, menurut
persetujuan itu dituangkan secara tertulis dalam Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold
bentuk express agreement, maka hal itu dapat menjadi ditegaskan:
konvensi dalam bentuk yang tertulis. Misalnya, ”Not only do the British have no written
persetujuan antara Wakil Presiden Mohammad Hatta constitution, but they have been reluctant to stereotype
dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat their rules of government in the form of statutes.
(KNIP) pada tanggal 16 Oktober 1945 atas Maklumat Many important political developments have been
Pemerintah bertanggal 14 November 1945 juga effected since 1688 without recourse to legal forms at
ditandatangani dalam bentuk ter- tulis. all”.323
Oleh karena itu, banyak sarjana yang berpendapat
bahwa pengertian written versus unwritten atau Konvensi ketatanegaraanlah yang mendeskripsikan
docu- mentary versus non-documentary dalam hukum dan menjelaskan bagaimana konstitusi dijalankan,
konsti- tusi (constitutional law) sebenarnya tidaklah tumbuh, dan berkembang. Fungsi utamanya adalah me-
mutlak sifatnya. 321 Di negara mana saja di seluruh ngadaptasikan struktur kepada fungsinya. Dengan
dunia, meski- begi- tulah kerajaan Inggris yang kuat pada tahun
1688

320
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op Cit., hal. 41.
321
Lihat misalnya G.S. Diponolo, Ilmu Negara, jilid 2, (Jakarta: Balai 322
Bandingkan dengan Kusnardi dan Saragih, Op. Cit..
Pustaka, 1975), hal. 173-174, dan Kusnardi dan Saragih, Op Cit. 323
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 25.
241 242
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

(strong monarchy) diubah menjadi kerajaan yang


vensi ketatanegaraan atau constitutional convention
dibatasi (limited monarchy) dengan sistem pemerinta-
dalam studi ilmu hukum tata negara.
han yang bertanggung jawab kepada parlemen (respon-
Oleh karena kompleksitas pengertian konvensi
sible parliamentary government).
yang demikian, dalam bukunya “Constitutional and
Oleh karena itu, studi mengenai konvensi
Administrative Law”, O. Hood Phillips, Paul Jackson,
ketatanegaraan sangat penting untuk mengetahui beker-
dan Patricia Leopold merumuskan definisi constitutional
janya konstitusi yang tertulis dalam praktik. Meskipun
convention sebagai “rules of political practice which are
sejak lama konvensi ketatanegaraan sudah menjadi per-
regarded as binding by those to whom they apply,
hatian para ahli sejak abad ke-19, seperti E.A.
but which are not laws as they are not enforced by
Freeman dalam bukunya “Growth of the English
the courts or the Houses of Parliament”. Dengan
Constitution” (1872), 324 tetapi pentingnya konvensi
rumusan definisi tentang konvensi yang demikian,
itu baik dalam rangka pemahaman terhadap
konvensi ketatanegaraan jelas berbeda dengan
konstitusi maupun untuk penerapan konstitusi dalam
kebiasaan, dari aturan yang berlaku di lingkungan
praktik, dapat dikatakan baru berkembang sejak
parlemen, prosedur- prosedur beracara di pengadilan,
prakarsa A.V. Dicey yang mene- kankan pentingnya
ataupun dengan norma aturan yang bersifat non-
konvensi ketatanegaraan di dalam bukunya “An
hukum, seperti etik, dan lain sebagainya. Untuk lebih
Introduction to the Study of the Law of the Constitution”
jelasnya, konsepsi mengenai konvensi ketatanegaraan,
yang pertama kali terbit pada tahun 1885.325 Albert
dapat dibedakan dari kelima hal di bawah ini, yaitu:326
Venn Dicey, namanya biasa disingkat A.V. Dicey atau (i) Praktik, penerapan, kebiasaan, atau fakta-fakta
Dicey, menekan pembedaan antara hukum konstitusi (mere practice, usage, habit or fact) yang tidak
(laws of the constitution) dan kebiasaan kon- stitusi dianggap bersifat kewajiban (obligatory), seperti
(the conventions of the constitution), bukan untuk keberadaan partai politik (fakta) atau kebiasaan-
maksud mengeluarkan yang kedua dari perhatian para kebiasaan seperti kebiasaan Presiden
mahasiswa hukum. Sebaliknya, Dicey menerima tamu umum pada hari Raya Iedul
membedakan keduanya untuk meyakinkan para Fitri dan Iedul Adha, ataupun kebiasaan tabur
mahasiswa agar tidak mengabaikan pentingnya bunga dan re- nungan suci pada tanggal 17
penyelidikan mengenai kon- Agustus malam di makam pahlawan Kalibata.
(ii) Norma-norma aturan yang tidak bersifat politik
324
(non-political rules), seperti rules of conduct atau
O. Hood Phillips, Constitutional Conventions: Dicey’s Predecessors, 29,
kode etik yang tidak berkaitan dengan persoalan
M.L.R, 1966, hal. 137.
325
Dicey, Op Cit.. Lihat juga R.A. Casgrove, The Rule of Law, Albert Venn pemerintahan, ataupun hal-hal yang berhubungan
Dicey, Victorian Jurist, 1981, hal. 87-90; Sir Ivor Jennings, The Law and the dengan sopan santun tata upacara kerajaan yang
Constitution, 5th edition; Cabinet Government, 3rd edition; Parliament, 2 nd tidak memiliki constitutional significance sama
edition; K.C. Wheare, Modern Constitutions, 1951 (lihat juga terjemahannya
dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi
sekali untuk dipermasalahkan.
Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003), The Constitutional Structure of
the Commonwealth, 1960; O. Hood Phillips, Constitutional Conventions: A 326
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 136-138.
Conventional Reply, 1964; serta Geoffrey Marshall, Constitutional
Conventions, 1984.

243 244
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

(iii) Judicial rules of practice seperti kebiasaan hakim


(v) Rules enforced by the Houses of Parliament mela-
dalam memeriksa dan memutus dengan mengikuti
lui para pejabatnya, seperti Ketua Parlemen menu-
rules of precedent dari contoh-contoh perkara
rut peraturan tata tertib parlemen yang
serupa yang pernah diputus sebelumnya. Dalam
bersangku- tan. Sebagian dari the law and custom
praktik di Inggris misalnya, hal ini sama sekali
of Parlia- ment dapat disebut termasuk ke dalam
tidak ada aturan tertulisnya melainkan tumbuh
pengertian the common law dalam arti yang luas.
sendiri dalam praktik. Itu sebabnya, seperti dalam
Oleh karena itu, sering dipahami secara tumpang
kasus R. vs Knuller Ltd (Publishing, Printing and
tindih dengan pengertian konvensi. Memang ada
Promotions), House of Lords tidak merasa terikat
juga praktik- praktik penyelenggaraan kegiatan
dengan keputusan yang dibuatnya sendiri pada
parlemen yang menciptakan konvensi (constitute
masa sebelumnya.
conventions), seperti perlindungan atau
(iv) Rules enforced by the courts, yaitu peraturan
pemberian kesempatan khusus kepada kelompok
perundang-undangan yang diterapkan atau di-
minoritas dalam perde- batan ataupun dalam
tegakkan oleh pengadilan, baik dalam bidang
rangka komposisi penyusu- nan anggota komisi-
perdata, pidana, tata usaha negara, ataupun tata
komisi tertentu. Peraturan Tata Terbit (Standing
negara. Sambil mengakui ada-nya perbedaan
Orders) kadang-kadang juga disebut sebagai
formal antara laws dan conventions, Sir Ivor
constitutional conventions, tetapi jika ditelaah
Jennis cenderung pada pendapat bahwa
lebih seksama, peraturan tata tertib atau Standing
perbedaan keduanya tidaklah bersifat substantif.
Order itu sendiri terdiri atas norma yang (i)
Perbedaannya itu mungkin tidak penting bagi
sebagian dapat disebut sebagai hukum (law), (ii)
ilmuwan politik, tetapi sangat penting bagi ahli
sebagian merupakan mere practice, dan
hukum. Bahkan, pembedaan itu sendiri dikritik (iii) barulah sebagian kecil lainnya dapat disebut
oleh Mitchell, mengingat there may be laws with conventions.
no judicial sanction. 327 Menurutnya ada juga
hukum yang tidak disertai ketentuan mengenai Di samping itu, menurut Hood Phillips, Paul
sanksi peradilan. Memang benar, seperti Jackson, dan Patricia Leopold, “It is also useful to
dikemukakan oleh Sir Ivor Jennings, ada undang- dis- tinguish ‘conventions’ from such distinct, if allied
undang misalnya di bidang pidana yang tidak con- cepts as ‘traditions’, ‘principles’ and ‘doctrines’”.329
dapat diterapkan untuk badan-badan Kegu- naan konvensi dapat dilihat juga untuk
pemerintahan, tetapi dapat diterapkan terhadap memberikan arti kepada tradisi, prinsip-prinsip, atau
orang perorang yang menduduki jabatan dalam nilai-nilai. Misalnya, Sir John Donaldson mengaitkan
badan pemerin- tahan itu.328 hubungan antara par- lemen dan pengadilan dengan
istilah konvensi, yaitu dengan menyatakan:
327
J.D.B. Mitchell, Constitutional Law, 2nd edition, 1968, hal. 34-39. “Although the United Kingdom has no written con-
328
Raleigh vs Goschen, 1893, 1 Ch. 73 dalam Phillips, Jackson, and stitution, it is a constituional convention of the highest
Leopold, op. cit., hal. 137.

245 246
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
329
Geoffrey Marshall, Constitutional Conventions, 1984, hal. 3.

245 246
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

importance that the legislature and the judiciary are


those exercising the rights or wielding the powers
separate and independent of one another, subject to
legally conferred, defined, or permitted”.333
certain ultimate rights of Parliament over the judica-
ture”.330
Tidak ada peraturan, apalagi undang-undang
Independensi peradilan (the independence of the dasar sebagai hukum yang tertinggi yang bersifat garis
judiciary) dapat dipandang sebagai a principle of the besar, yang secara mendetil menentukan cara norma-
Constitution sejak tahun 1668, yang tercermin dalam norma dasarnya dilaksanakan dalam praktik. Selalu
ketentuan undang-undang (statutory provisions) yang diperlukan peraturan pelaksanaan atau norma-norma
berisi jaminan atas masa jabatan para hakim (judicial lain yang ber- sifat tidak tertulis yang memungkinkan
security of tenure).331 peraturan yang bersangkutan dijalankan dengan sebaik-
Konvensi itu sendiri, menurut Michael Allen dan baiknya. Setiap tingkatan peraturan yang lebih rendah
Brian Thompson, dapat ditemukan dalam semua un- pada pokoknya merupakan peraturan yang bersifat lebih
dang-undang dasar yang dibentuk (established consti- rinci dalam rangka melaksanakan peraturan yang lebih
tutions), termasuk bahkan dalam konstitusi yang baru tinggi. Oleh karena itu, pelaksanaan setiap peraturan
terbentuk sekalipun. Menurut kedua sarjana ini, penting- umum, memer- lukan penafsiran yang
nya konvensi itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak mengelaborasikan atau merinci pengertian-pengertian
ada peraturan umum yang bersifat self-applying, me- normatifnya sehingga dapat dilak- sanakan dengan
lainkan harus diterapkan menurut syarat-syarat sebaik-baiknya.
Proses penafsiran semacam itu dapat dilakukan,
aturan tambahan tertentu (no general rules of law
melalui pembentukan peraturan yang lebih rendah, me-
is self- applying, but must be applied according to the
lalui proses peradilan yang akan menerapkan norma-
terms of additional rules). 332 Dikatakan lebih lanjut
norma hukum yang bersifat umum itu dalam kasus-
oleh Allen dan Thompson:
“These additional rules may be concerned with the kasus perkara hukum yang konkrit, ataupun melalui
interpretation of the general rule, or with the exact cir- kon- vensi ketatanegaraan tertentu. Hal yang terakhir
cumstances in which it should apply, about wither of ini sangat penting, karena selain melalui proses
which uncertainty may exist, and the greater the gene- pembentu- kan peraturan yang lebih rendah dan
rality the greater will the uncertainty tend to be. Many mekanisme pera- dilan, dalam praktik, selalu terdapat
constitutions include a large number of additional ruang yang sangat luas dan terbuka untuk munculnya
legal rules to clarify the meaning and application of significant degree of discretion Adanya ruang bagi
their main provisions, but in a changing world it is discretionary power ini tentu saja di satu pihak dapat
rarely possible to eradicate or prevent all doubts on
dikatakan sangat berguna, tetapi di lain pihak dapat
these points by enactment or even by adjudication. The
result often is to leave a significant degree of pula disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa, semata-
discretion to mata untuk kepentingan ke- kuasaan itu sendiri.

330 332
Lihat kasus R. vs H.M. Treasury, ex p. Smedley, 1985, Q.B. 657, 666. Allen and Thompson, Op. Cit., hal. 242.
331
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 138.

247 248
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

333
Ibid.

247 248
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

2. Pengakuan Hakim terhadap


bahwa konvensi itu tidak memiliki kualitas kualifikasi
Konvensi (Judicial Recognition)
yang sama dengan hukum dalam arti yang sebenarnya.
Seperti dikemukakan di atas, para hakim
Kemudian yang dapat juga dipastikan ialah bahwa
tidak terikat atau tidak ada keharusan bagi pengadilan
konvensi itu tidak dapat ditegakkan oleh pengadilan dan
untuk menerapkan konvensi dalam memutus sesuatu
pelanggaran terhadapnya tidak dapat dikenakan sanksi
perkara. Sebab, pada pokoknya, konvensi itu sendiri
oleh hakim. Meskipun demikian, tentu tidak berarti
tidak dapat dipersamakan atau bukanlah hukum (law)
bahwa pengadilan tidak mengakui sama sekali
dalam arti yang sebenarnya. Itu sebabnya, dalam
keberada- an konvensi sebagai sumber hukum. Setiap
artikelnya ber- judul “Laws and Conventions
konvensi tetap dapat dijadikan pegangan yang dipercaya
Distinguished” (1975),
bagi hakim sebagai alat bantu untuk menafsirkan
C.R. Munro menyatakan:
“The validity of conventions cannot be the subject of
peraturan tertulis yang berlaku. Konvensi
the proceedings in a court of law. Reparation for ketatanegaraan (constitu- tional conventions) juga
breach of such rules will not be effected by any legal dapat dijadikan alat untuk justi- fikasi sikap pengadilan
sanction. There are no cases which contradict these yang mengambil jarak dari ke- putusan-keputusan tata
propositions. In fact, the idea of a court enforcing a usaha negara di bidang-bidang yang pengadilan sendiri
mere convention is so strange that the question hardly menganggap dirinya tidak terlibat atau tidak boleh
arises”.334 dilibatkan.
Di Inggris, dapat dikemukakan beberapa contoh
Dalam bukunya yang lain, dinyatakan pula oleh mengenai adanya pengakuan pengadilan terhadap
C.R. Munro, “In a legal system, a certain number of konvensi ketatanegaraan (constitutional conventions).
sources are recognized as law-constitutive. So there are Misalnya, House of Lords menjadikan pertanggung-
rules specifying what counts as law (or what, by impli- jawaban Menteri Dalam Negeri kepada parlemen sebagai
cation, does not)”.335 Di Inggris, menurutnya: salah satu alasan untuk memutus dalam
“The courts accept as law only legislation made or perkara Liversidge vs Anderson (1942).337 Demikian
authorised by Parliament and the body of rules pula dalam perkara Padfield vs Minister of
evolved by the courts called common law. There are
Agriculture, Fisheries and Food (1968), di mana
formal signs, such as the words of enactment used for
Acts of Parliament, denoting that rules have passed a konvensi mengenai pertang- gungjawaban menteri
test for being laws”.336 juga dijadikan pertimbangan. Begitu pula dalam
kasus Air Canada vs Secretary of State for Trade
Penting untuk ditegaskan di sini, bukanlah bahwa (1983),338 tercantum beberapa konvensi sebagai
status konvensi itu berada di luar kategori hukum, tetapi referensi yang melarang Menteri yang berasal dari
satu partai politik untuk mendapatkan akses kepada
dokumen-dokumen dari menteri pendahulunya yang
berasal dari partai politik yang lain tanpa persetujuan
334
C.R. Munro, “Laws and Conventions Distinguished”, 91 Law Q Review,
218, 1975, hal. 228.
337
335
C.R. Munro, Studies in Constitutional Law, 2nd edition, 1999, hal. 69-71. Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 139.
338
336
Ibid. Lihat Lord Hunt of Tanworth, “Access to A Previous Government’s
Papers”, P.L. 1982, hal. 514.

249 250
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dari pejabat terdahulu (without the agreement of the


politik, meskipun pelanggaran terhadap konvensi
previous administration).
ketata- negaraan dapat juga disebut sebagai sesuatu
Di Mahkamah Agung Kanada, baik soal eksistensi
yang tidak konstitusional atau inkonstitutional.
maupun isi konvensi, juga pernah menjadi perkara yang
Mahkamah Agung Kanada juga menerima kriteria yang
menyebabkan Mahkamah Agung terlibat dalam pem-
diajukan oleh Sir Ivor Jennings tentang konvensi
bahasan mengenai the general nature of constitutional
ketatanegaraan (consti- tutional conventions).
conventions. Berkenaan dengan hal itu, mayoritas para
Konvensi diakui tidak saja oleh para politisi, tetapi
hakim Mahkamah Agung Kanada berpendirian bahwa a
juga oleh masyarakat luas pada umumnya. Pada umum-
constitutional convention cannot crystallise into law.
nya para sarjana mengakui bahwa konvensi itu merupa-
Menurut mereka:
kan norma aturan yang mengikat untuk umum. Seperti
“No instance of an explicit recognition of a convention
as having matured into a rule of law was produced. misalnya oleh G. Marshall dikatakan:
The very nature of a convention, as political in “on the obligatory nature of the conventions dis-
tinguishes between ‘positive morality’ (subjective test)
inception and as depending on a persistent course of
political recognition by those for whose benefit and to and ‘critical morality’ (objective test), preferring the
latter but not stating definitely whose opinion is to be
whose detriment (if any) the convention developed
over a considerable period of time, is inconsistent with taken”.340
its legal enforcement.... The attempted assimilation of
the growth of a convention to the growth of the Oleh karena itu, legislasi perundang-undangan
common law is misconceived. The latter is the product dapat pula mengakui atau menyerap isinya sebagaimana
of judicial effort, based on justifiable issues which mestinya (Legislation may recognize or presuppose
attained legal formulation and are subject to conventions). Konvensi ketatanegaraan dapat
modification and even reversal by the courts which diformula- sikan ke dalam rumusan undang-undang,
gave them their birth. No atau bahkan ke dalam rumusan undang-undang dasar.
such parental role is played by the courts with respect Misalnya, the Statute of Westminster tahun 1931
to conventions...”.339
telah dimuat dalam berbagai konstitusi negara-negara
anggota Persemakmuran atau Commonwealth, 341
Konvensi diakui eksistensinya, tetapi jika ada baik dengan efek penerapannya di pengadilan ataupun
peraturan perundang-undangan tertulis, dan terdapat
tidak (with or without justiciable effect).342 Selain itu,
pertentangan antara konvensi dimaksud dengan pera-
kedudu- kan konvensi ketatanegaraan Inggris juga
turan perundang-undangan, maka pengadilan harus
terdapat dalam
menerapkan peraturan perundang-undangan tertulis di
atas konvensi. Oleh karena itu, konvensi tidak dapat di-
terapkan secara mandiri, atau bahkan sering dikatakan 340
Marshall, Op. Cit., catatan 18, hal. 11-12.
bahwa konvensi itu memang tidak dapat ditegakkan 341
Ulasan dan ringkasan atas “Statute of Westminster” ini dapat dibaca
atau diterapkan oleh pengadilan. Sanksi konvensi itu dalam D.G. Cracknell, Cracknell’s Statutes: Constitutional and Adminis-
trative Law, 3rd edition, (London: Old Bailey Press, 2003), hal. 18-19.
bersifat 342
Lihat de Smith, The New Commonwealth and its Constitution, 1964, hal.
51-52, dan 88-90; juga C. Samford and D. Wood, “Codification of Consti-
339
tutional Conventions in Australia”, 1978, P.L. 231.
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 140.

251 252
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Konstitusi Nigeria. Konvensi dimaksud sama sekali any given moment of our lifetime, there may be one
tidak diadopsi secara expresis verbis dalam Konstitusi. pratice called ‘Constitutional’ which is falling into de-
Akan tetapi, dalam praktik, konvensi ketatanegaraan suetude and the may be another practice which is
Inggris biasa digunakan dalam rangka membantu para creeping into use but which is not yet called ‘con-
hakim menafsirkan Konstitusi Nigeria tersebut.343 stitutional”.344
Hukum konstitusi, bagaimanapun juga, dapat
berdiri sendiri sebagai hukum, meskipun normanya 3. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan
yang karena sifatnya yang statis dapat tertinggal dalam Konvensi ketatanegaraan (constitutional conven-
per- kembangan zaman. Sedangkan, konvensi dapat tion) merupakan aturan politik (rules of political beha-
berkem- bang dinamis, tetapi akan kehilangan arti jika viour) yang penting untuk kelancaran bekerjanya kon-
tidak didukung oleh legal context. Setiap konvensi stitusi. Pentingnya konvensi ini, tidak saja berlaku di
ketata- negaraan (constitutional conventions) pastilah Inggris, tetapi juga di semua negara yang mengenal
terkait erat dengan satu atau beberapa norma hukum undang-undang dasar tertulis. Seperti dikatakan oleh
tertentu. Konvensi membentuk sistem kabinet, K.C. Wheare:345
misalnya, didasar- kan atas anggapan bahwa aturan
hukum yang terkait dengan hal itu sebagai kekuasaan “in all countries, usage and convention are
prerogatif Raja atau Ratu (the Queen’s royal impor- tant and... in many countries which have
prerogative), kewenangan menteri, konstitusi Con- stitutions usage and convention play as
pemerintahan departemen (the con- stitution of important a part as they do in England”.
government departments), dan komposisi keanggotaan
parlemen. Artinya, terdapat beberapa lapi- san Konvensi memfasilitasi evolusi dan perubahan
peraturan perundang-undangan, konvensi, dan fakta- dalam diri konstitusi itu sendiri, sementara bentuk
fakta atau praktik politik (political practices) dalam hukumnya tetap tidak berubah (Conventions facilitate
setiap tingkatan organisasi pemerintahan, terma- suk
undang-undang yang mengakui keberadaan konven- si.
Sementara itu, konvensi ketatanegaraan itu sendiri
juga mengalami proses pertumbuhan dan transformasi. 344
H.C. Deb., vol. 261, ser. 5, col. 515, 1932, dalam O. Hood Phillips, Paul
Seperti dikatakan oleh Baldwin: Jackson, and Patricia Leopold, Op. Cit., hal. 141.
“The historian can probably tell you perfectly clearly 345
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, 1966, hal.
what the constitutional practice of the country was at 122. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani, Konstitusi-
any given period in the past, but it would be very Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 204. Perkataan
difficult for a living writer to tell you at any given usage and convention diterjemahkan secara tidak tepat oleh Muhammad
period in his lifetime what the constitution of the coun- Hardani dengan kebiasaan dan tradisi. Convention atau konvensi tidak sama
dengan tradisi yang mempersyaratkan sifat immemorial dan sifat berulang-
try is in all respects, and for this reason, that at almost
ulang. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebaiknya convention itu diter-
343
jemahkan dengan memakai istilah aslinya saja yang memang sudah lazim
K.J. Keith, “The Courts and the Conventions of the Constitution”, 1967, dipakai dalam ilmu hukum tata negara, yaitu konvensi atau lebih tepatnya
16 I.C.L.Q. 542. konvensi ketatanegaraan.

253 254
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

evolution and change within the constitution while the


putusan atas perkara konstitusi yang diajukan kepada-
legal form remain unchanged).346
nya. Konvensi dapat dipakai sebagai alat penunjang pe-
Dalam praktik, konvensi ketatanegaraan dikem-
nafsiran terhadap peraturan tertulis atau untuk men-
bangkan untuk keperluan mengatur kewenangan
dukung keputusan-keputusan hakim (an aid to
diskresi yang bersifat terbuka. Jika kewenangan yang
statutory interpretation or to support judicial
bersifat terbuka tidak diatur, kebijakan kenegaraan
decisions).349
(state policy) akan ditetapkan berdasarkan
discretionary power yang sangat mungkin tidak
4. Beberapa Contoh Konvensi di Indonesia
terkendali. Hal demikian tentu akan rawan terhadap
Dalam pelaksanaan undang-undang dasar,
penyalahgunaan semata-mata untuk kepentingan
banyak perubahan yang terjadi terhadap norma yang
kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian
terkandung di dalamnya tanpa melalui proses
konvensi dapat dikaitkan dengan fungsi- nya, yaitu
perubahan formal, melainkan hanya terjadi begitu
untuk membatasi penggunaan diskresi kon- stitusional
saja melalui kebiasaan ataupun konvensi
(constitutional discretion).
ketatanegaraan. Menurut Profesor Ismail Suny,
Dengan perkataan lain, konvensi merupakan non- perubahan yang terjadi dalam sistem peme- rintahan
legal rules yang mengatur cara bagaimana legal rules berdasarkan UUD 1945, yakni dengan diprak-
diterapkan dalam praktik. 347 Hubungan antara hukum tikkannya sistem pertanggungjawaban menteri
dan konvensi dapat dikatakan sangat penting dan sebagai- mana termuat dalam Maklumat Pemerintah
mempunyai karakteristik yang fundamental dalam sis- tanggal 14 November 1945, merupakan salah satu
tem dan struktur ketatanegaraan. Bahkan, dalam penye- contoh konvensi ketatanegaraan yang mengubah bunyi
lenggaraan negara konstitusional di seluruh dunia, kon- teks UUD 1945 mengenai pertanggungjawaban
vensi ketatanegaraan terus tumbuh dan berkembang pemerintahan. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare:
dalam praktik. Dapat dikatakan, tidaklah mungkin me- “Many important changes in the working of a
nyelesaikan berbagai perselisihan dan sengketa konsti- constitution occur without any alteration in the rules
tusional dalam praktik penyelenggaraan negara dengan which regulate a government, whether they strictly
hanya mengandalkan rujukan kepada norma hukum (it legal or rules of custom and convention”. 350
is impossible to settle constitutional disputes merely by Oleh karena itu, konvensi ketatanegaraan atau the
reference to the state of the law).348 conventions of the constitution mempunyai kedudukan
Meskipun pengadilan tidak dapat menerapkan atau yang sangat penting dalam hukum tata negara, dan
menentukan sanksi atas pelanggaran terhadap dianggap mempunyai kekuatan yang sama dengan
ketentuan konvensi ketatanegaraan, tetapi pengakuan undang-undang, diterima, dan dijalankan seperti halnya
pengadilan terhadap adanya konvensi ketatanegaraan undang-undang. Bahkan, seringkali konvensi ketatane-
tersebut tetap mempunyai arti penting bagi hakim garaan itu menggeser berlakunya peraturan perundang-
dalam menjatuhkan undangan tertulis. Meskipun, lazim dipahami bahwa
hakim di pengadilan tidak terikat untuk melaksanakan
346
347
Allen and Thompson, Op. Cit., hal. 241.
Ibid., hal. 242. 349
348
Ibid. 350
Ibid., hal. 262.
Wheare, Op. Cit., hal. 119.

255 256
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

atau tidak melaksanakan konvensi ketatanegaraan ter-


Syahrir I, II, dan III, sampai dengan kabinet Amir
sebut, tetapi di luar pengadilan konvensi ketatanegaraan
Sjarifudin yang menggantikannya.
biasanya ditaati seperti halnya orang menaati undang-
Dalam rangka konvensi ketatanegaraan itu, jelas
undang.
terdapat unsur yang menunjukkan bahwa suatu perbua-
Sebagai contoh, seperti diuraikan oleh Moh.
tan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dapat dikemukakan
kemudian diterima dan ditaati. Konvensi demikian itu
di sini mengenai konvensi yang berlaku atas
dapat pula disebut sebagai kebiasaan ketatanegaraan
ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, pada
karena di dalamnya terkandung pengulangan-
masa-masa awal kemerdekaan. Menurut ketentuan
pengulangan yang menjadi ciri pokok adanya kebiasaan.
Pasal 17 itu, 351 Menteri Negara adalah pembantu
Kebiasaan-kebia- saan itu, termasuk kebiasaan
Presiden, dan karena itu bertanggung jawab kepada
Presiden. Dalam praktik ketatanegaraan pada tahun ketatanegaraan, akan ber- kembang menjadi hukum
1945 ternyata ketentuan mengenai Menteri Negara kebiasaan (customary law) apabila ia diberi sanksi
bertanggung jawab kepada Presiden tersebut, (legal sanction). Oleh karena itu, dapat dikatakan
disimpangi dengan dasar konvensi ketatanegaraan. bahwa kebiasaan ketatanegaraan ialah praktik dalam
Ketentuan tersebut diubah, sehingga Menteri kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali,
ditentukan harus bertanggung jawab kepada Badan sehingga ia diterima dan ditaati dalam ke- giatan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang penyelenggaraan negara, walaupun tidak diang- gap
merupakan lembaga semacam DPR pada masa sebagai hukum (the laws of the Constitution).
sekarang.352 Namun demikian, unsur perulangan itu
Hal itu dilakukan dengan dikeluarkannya sebenarnya tidaklah bersifat mutlak. Unsur perulangan
Mak- lumat Wakil Presiden Nomor X bertanggal 16 merupakan salah satu ciri kebiasaan, tetapi konvensi itu
Oktober 1945, yang selanjutnya diikuti oleh Maklumat sendiri tidak identik dengan kebiasaan. Ketika tindakan
Pemerin- tah tanggal 14 Nopember 1945, di mana yang bersifat menyimpang dari norma aturan tertulis
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula yang resmi per- tama kali dilakukan, belum ada unsur
membantu Pre- siden dalam menjalankan perulangan. Akan tetapi, tindakan yang baru pertama
wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV kali itu sudah dapat diterima sebagai konvensi
UUD 1945, menjadi badan yang sederajat dengan ketatanegaraan. Dengan demi- kian, dalam pengertian
Presiden, tempat ke mana para Menteri Negara konvensi ketatanegaraan terca- kup pengertian yang
diharuskan bertanggung jawab. Penger- tian demikian lebih luas daripada sekedar kebiasa- an ketatanegaraan.
ini terus dipraktikkan mulai dari kabinet Di samping kebiasaan, konvensi mencakup pula
pengertian tindakan-tindakan (usages) atau praktik-
praktik ketatanegaraan (constitutional practices) yang
351
Pasal 17 UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan: (1) Presiden diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) Menteri-menteri itu diangkat dan
diperhentikan oleh Presiden, dan (3) Menteri-menteri itu memimpin depar- Namun harus dicatat bahwa konvensi ketatane-
temen
352
pemerintahan. garaan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah hukum
Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit. (the

257 258
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

laws of the constitution). Di sinilah letak perbedaannya


Revolusi dan bukan pidato pertanggungjawabannya se-
dengan ketentuan hukum (the law of the constitution)
bagai Presiden.
yang sudah tidak diragukan lagi keabsahan dan daya
Pidato lainnya yang juga dianggap sebagai konvensi
ikatnya secara hukum. Kebiasaan ketatanegaraan,
ketatanegaraan adalah pidato yang diucapkan sebagai
bagai- manapun pentingnya, ia tetap merupakan
keterangan Pemerintah tentang Rancangan
kebiasaan saja (habbit and custom) yang tidak mengikat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada
bagi para hakim. Di samping itu, kebiasaan
minggu pertama bulan Januari setiap tahunnya. Isinya
ketatanegaraan juga harus dibedakan dari konvensi
berupa hasil-hasil kegiatan nasional serta hasil
ketatanegaraan. Kebiasa- an ketatanegaraan tidak selalu
penilaian tahun yang lalu dan rencana anggaran
dapat disebut sebagai konvensi ketatanegaraan, sebab
pendapatan dan belanja negara untuk tahun yang akan
konvensi dapat timbul meskipun sesuatu belum menjadi
datang. Setelah Orde Baru, Pida- to Presiden sebagai
kebiasaan. Misalnya, suatu tindak penyimpangan dari
pengantar nota keuangan RAPBN ini selalu
ketentuan konstitusi, tetapi disepakati atau dibiarkan
digabungkan dengan ”Amanat 17 Agustus” ter- sebut
berlaku oleh semua pihak yang terkait, maka hal itu
di atas, sehingga timbul konvensi baru, yaitu
dapat diterima sebagai konvensi ketatanegaraan,
Pidato tanggal 17 Agustus ditiadakan dan digabung men-
meskipun belum menjadi kebiasaan sebagaimana yang
jadi Pidato Kenegaraan dan Penyampaian Nota
dimaksud di atas. Dengan demikian, konvensi
Keu- angan RAPBN di depan rapat paripurna DPR pada
ketatanegaraan lebih luas cakupan pengertiannya
setiap tanggal 16 Agustus.
daripada kebiasaan ketatanegaraan.
Sekarang, setelah Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Sebagai contoh mengenai konvensi ketatanegaraan
terbentuk sebagai hasil dari Pemilu 2004, timbul tun-
yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan
tutan agar DPD juga terlibat dalam forum
ketata- negaraan Indonesia, sebagaimana telah
persidangan DPR tanggal 16 Agustus itu. Namun,
disinggung sebe- lumnya, yaitu bahwa pada setiap
karena Peraturan Tata Tertib DPR-RI tidak
tanggal 16 Agustus, Presiden selalu mengucapkan
memungkinkan hal itu, maka akibatnya, timbul
pidato kenegaraan di depan rapat paripurna Dewan
perbedaan pendapat antara DPR dan DPD. Untuk
Perwakilan Rakyat. Pidato kenegaraan tersebut pada
mengatasi hal tersebut Presiden, Ketua DPR, dan
hakikatnya merupakan lebih dari suatu laporan
Ketua DPD mengadakan kesepakatan bahwa untuk
tahunan yang bersifat informatoris dari Presiden,
DPD diadakan forum tersendiri di DPD, di mana
karena di dalamnya juga dimuat suatu rencana
Presiden juga akan menyampaikan pidato mengenai
mengenai kebijakan-kebijakan yang akan ditem- puh
APBN yang berkaitan dengan kepentingan daerah
pada tahun yang akan datang. Pada masa Presiden
pada tanggal yang berbeda, akan tetapi tetap pada
Soekarno, pidato semacam itu disampaikan langsung
bulan Agustus juga. Jika hal ini dianggap baik,
di hadapan rakyat di depan istana, , pada tiap tanggal
tentunya akan terus dipraktikan sebagai kebiasaan
17 Agustus, yang disebut sebagai “Amanat 17 Agustus”.
ketatanegaraan yang diterima.
Me- nurut Presiden Soekarno, pidatonya itu
Namun, saya sendiri tidak menganggap penting
merupakan pidato pertanggungjawabannya sebagai
adanya forum yang tersendiri itu. Seharusnya,
Pemimpin Besar
259 260
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
keberada-

259 260
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

an forum rapat paripurna di DPR itu pun dievaluasi


Di Amerika Serikat, contoh dari kebiasaan
kembali kegunaannya. Apalagi, siklus anggaran dewasa
ketata- negaraan juga cukup banyak. Misalnya,
ini sudah berubah dari Januari sampai dengan Desem-
seorang calon Presiden Amerika Serikat dan Wakilnya
ber. Sementara itu, di samping Dewan Perwakilan Rak-
dipilih oleh kon- vensi partai politik yang
yat (DPR) sekarang ada pula Dewan Perwakilan Daerah
bersangkutan, baru kemudian dipilih oleh rakyat
(DPD). Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai insti-
melalui electoral college. 353 Contoh lain adalah
tusi juga tetap ada. Dalam format kelembagaan dan
mengenai timbulnya sistem parlementer di negeri
konfigurasi fungsi-fungsi ketatanegaraan yang sudah
Belanda sebagai akibat dari perselisihan antara
berubah seperti itu, sudah seharusnya menjelang
Pemerintah dan Parlemen pada tahun 1866-1868 atas
peraya- an Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
masalah daerah jajahan (koloni). Dalam perselisihan itu,
setiap tahun, forum tahunan yang diadakan untuk itu
Parlemen mempergunakan hak budgetnya untuk
haruslah benar- benar merupakan forum yang bersifat
meno- lak rancangan anggaran pendapatan dan
kerakyatan yang memiliki makna simbolik sebagai
belanja negara yang diajukan oleh Menteri Keuangan
forum bersama semua komponen bangsa. Oleh sebab
pada waktu itu. Penolakan itu terkait dengan
itu, kepentingan-kepen- tingan yang bersifat teknis
perselisihan yang sedang dihadapi. Akibatnya, kabinet
anggaran negara haruslah dipisahkan dari agenda
berhasil dijatuhkan (ver- werping van de begrooting
tahunan perayaan hari kemer- dekaan Republik
om redenen daar buiten gelegen).
Indonesia itu.
Sejak itu terjadi perubahan dalam sistem Pemerin-
Terlepas dari keseluruhan hal-hal tersebut di
tahan di Kerajaan Belanda. Dalam sistem pertanggung-
atas, satu hal yang pasti adalah bahwa konvensi
jawaban menteri yang dianut semula, pihak Pemerintah
ketata- negaraan selalu ada di setiap negara. Beberapa
selalu memenangkan perselisihan yang terjadi dengan
contoh mengenai kebiasaan ketatanegaraan yang
parlemen (overwicht van het cabinet). Setelah jatuhnya
terdapat di Inggris, misalnya, ditentukan bahwa seorang
kabinet karena penolakan anggaran pendapatan dan
Menteri ha- ruslah mempunyai kedudukan sebagai
belanja negara itu, maka setiap kali ada perselisihan
seorang anggota parlemen. Ketika Patrick Gordon
yang timbul antara Pemerintah dan Parlemen,
Walker yang bukan anggota parlemen diangkat oleh
Parlemenlah yang menang, dan kabinet harus berhenti.
Partai Buruh Inggris sebagai Menteri setelah pemilihan
Sistem ini tidak diatur dalam Grondwet Kerajaan
umum pada bulan Ok- tober 1964, diharuskan
Belanda, tapi timbul dan hidup sebagai konvensi yang
memperoleh keanggotaan House of Commons. Untuk
menggeser
itu ia ikut dalam pemilihan umum tambahan/susulan
yang diadakan setelah pemilihan umum bulan
Oktober tersebut. Sayangnya, dalam pemi- lihan umum 353
Barnes & Noble, Op.Cit., hal. 29-30, “Through the development of
itu, Patrick Gordon Walker tidak terpilih, sehingga political parties, the election of the President has been changed from the
akibatnya ia harus meletakkan jabatannya seba- gai original plan of indirect choice by a small group of elections to a system of
nomination and election in which the whole country participates”. Lihat
Menteri Luar Negeri. Ketentuan seperti ini timbul juga Bernard Schwarts, Op.Cit., hal. 92-93, “The nominating organ of
dari praktik ketatanegaraan yang tidak tertulis di Inggris. American parties has been a convention composed of representatives of the
member of the party”.

261 262
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

ketentuan dalam Undang-Undang Dasarnya.354


maka pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-kon-
Contoh lain di Kerajaan Inggris ialah bahwa Raja
vensi sama sekali tidak dihiraukan oleh pengadilan.
atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menang
Konvensi-konvensi ketatanegaraan ini sudah
dalam pemilihan umum sebagai Perdana Menteri. 355 dikenal dalam konferensi-konferensi Kerajaan Inggris
Konvensi-konvensi ketatanegaraan (The Conventions of (Imperial Conferences) di masa lalu yang mengatur
the Constitution) di Inggris jumlahnya banyak sekali, hubungan antara Kerajaan Inggris dan wilayah-wilayah
dan atas pengaruh pemikiran A.V. Dicey dibedakan dari Dominion. Konvensi menetapkan cara-cara kerjasama
hukum konstitusi (The Law of Constitution), karena dan hubungan antar sesama anggota Persemakmuran
konvensi tidak dapat dipaksakan berlakunya atau tidak (Commonwealth) Inggris, dan menetapkan perundi-
diakui oleh badan-badan peradilan. 356 ngan-perundingan di antara mereka dengan negara-
Konvensi-konvensi ketatanegaraan itu antara lain negara asing. Mengenai terbentuknya konvensi-
adalah kebiasaan (customs), praktik-praktik (practices), konvensi itu, Sir Ivor Jennings menyatakan, “some of
asas-asas (maxims), atau tata aturan lainnya yang hidup them, such as those expressed in resolutions of the
dalam praktik. Misalnya, kabinet yang sudah tidak men- imperial Confe- rences, are definite and clearly
dapat dukungan kepercayaan dari House of Commons established”. Dengan perkataan lain, timbulnya
(majelis rendah) akan meletakkan jabatannya, Raja konvensi ketatanegaraan tidak perlu atau tidak mutlak
harus mengesahkan setiap rancangan Undang-undang didasarkan atas the gradual crystalisation of practice.
(bill), House of Lords (majelis tinggi) tidak akan menga- 357
Konvensi dapat timbul kapan saja, tidak mutlak
jukan rancangan Undang-undang Keuangan (money harus bersifat berulang-ulang seperti dalam pengertian
bill). Betapapun pentingnya konvensi-konvensi itu ber- kebiasaan. Konvensi ketata- negaraan tidak dapat
laku dalam kehidupan ketatanegaraan, namun oleh diidentikkan dengan kebiasaan ketatanegaraan.
karena ia bukan hukum (the laws of the constitution), Kebiasaan ketatanegaraan dapat terma- suk pengertian
konvensi ketatanegaraan, tetapi konvensi
354
ketatanegaraan tidak hanya berbentuk kebiasaan ketata-
Kranenburg, Op.Cit, hal. 165-167.
355
Dicey, Op. Cit., hal. 42. “The party who for the time being command a negaraan. Konvensi dapat juga terbentuk secara tiba-
majority in The House of Commons, have (in general) a right to have their tiba tanpa preseden yang mendahuluinya.
leader placed in office. The most influential of these leaders ought
(generally speaking) to be the premier, or head of the Cabinet”.
Konvensi juga tidak selalu merupakan ketentuan
356
Ibid., hal. 417, “In an earlier part of this work stress was laid upon the yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan (agree-
essential distinction between the law of the constitution, which consisting (as ment), tapi dapat saja berbentuk tertulis. Konvensi itu
it does) of rules enforced and recognized by the courts, makes up a body of mungkin saja merupakan persetujuan yang ditanda-
laws in the proper sense consisting (as they do) of customs, practices,
maxims or precepts which are not enforced or recognized by the courts,
tangani pemimpin-pemimpin negara seperti antara
makes up a body not laws but of constitutional or political ethics”. Wakil Presiden Republik Indonesia dan Badan Pekerja
Selanjutnya dalam hal. 420 dinyatakan “A Ministry which is outvoted in the
House of Commons is in many cases bound to retire from office”.
357
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op Cit., hal. 29; Lihat juga
pendapat Jennings dalam Law and the Constitution, Op Cit., hal. 133.

263 264
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

pada tanggal 16 Oktober 1945 atau suatu the Constitu-


memorandum yang dikeluarkan setelah pembicaraan
antara menteri- menteri seperti Maklumat Pemerintah
pada tanggal 14 Nopember 1945. Contoh-contoh seperti
ini dalam konsti- tusi Inggris adalah persetujuan yang
dinyatakan bahwa suatu perubahan dalam hukum
yang berkenaan dengan penggantian mahkota
(succession) atau gelar Raja memerlukan
pengesahan Parlemen dari semua Domi- nion.
Demikian pula mengenai pengesahan dari Parle- men
Kerajaan Inggris sendiri juga diperlukan. Konvensi-
konvensi itu bahkan telah mencapai bentuk yang
lebih formil dalam ungkapan bahwa konvensi-
konvensi itu tercantum dalam bagian kedua
Pendahuluan (preamble) Statute of Westminster. Oleh
karena preamble menurut hukum tata negara Inggris
tidak mempunyai akibat hukum, maka keadaan itu
hanya dianggap sebagai faktor yang memperkuat
berlakunya konvensi.
Seperti telah dikemukakan di atas, perubahan
sistem pemerintahan di mana menurut UUD 1945
Menteri bertanggung jawab kepada Presiden diubah
menjadi pertanggungjawaban Menteri kepada
Komite Nasional Pusat pada bulan November 1945.
Perubahan itu adalah perubahan berdasarkan
konvensi ketatane- garaan. Menurut pendapat A.G.
Pringgodigdo, peru- bahan menjadi sistem
pertanggungjawaban para menteri kepada Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) itu dila- kukan
dengan mengubah Undang-Undang Dasar.
Pendapat ini jelas tidak dapat dibenarkan. Dalam rangka
memberikan pembenaran konseptual terhadap kebijakan
mengubah konsep pertanggungjawaban tersebut,
A.G. Pringgodigdo juga berpendapat bahwa perubahan
itu se- olah didasarkan atas aturan yang tegas juga
tidak ber- dasar. Perubahan itu semata-mata didasarkan
pada kon- vensi ketatanegaraan (the Convention of
265 266
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
tion) yang bersifat melengkapi hukum konstitusi (the 359
Ibid.
Law of the Constitution).
Tidak ada ketentuan di dalam naskah
Undang- Undang Dasar 1945 yang tegas atau yang
secara eksplisit mengharuskan pertanggungjawaban
eksekutif (pemerin- tah) kepada lembaga perwakilan
rakyat. Namun demi- kian, UUD 1945 juga tidak
melarang dilakukannya prak- tik semacam itu. 358 Hal
ini dapat dihubungkan dengan pendapat George
Jellinek yang membedakan pengertian
Verfassungsanderung dengan pengertian
Verfassungs- wandlung. Perubahan Undang-
Undang Dasar yang dengan sengaja dilakukan
menurut tata cara yang diatur sendiri oleh Undang-
Undang Dasar disebutnya sebagai
Verfassungsanderung, sedangkan
Verfassungswand- lung merupakan perubahan
Undang-Undang Dasar dengan cara-cara di luar
yang diatur sendiri dalam Un- dang-Undang Dasar
itu, yaitu cara-cara yang istimewa seperti revolusi,
coup d’etat, konvensi, dan sebagainya. Sehubungan
dengan hal itu, perubahan ke arah sistem
parlementer tersebut merupakan perubahan yang
dilaku- kan bukan menurut tata cara yang diatur dalam
Undang- Undang Dasar, melainkan menurut tata
cara selain itu, yaitu berdasarkan konvensi
ketatanegaraan (the conven- tion of the
359
constitution).
Konvensi ketatanegaraan tidak hanya terdapat
atau diterapkan di lingkungan negara-negara yang
mem- punyai konstitusi tidak tertulis, tetapi juga di
negara-- negara yang mempunyai naskah undang-
undang dasar atau konstitusi tertulis (written
constitution). Bahkan, mungkin saja konvensi-
konvensi ketatanegaraan di

358
Lihat Ismail Suny, Op. Cit, hal. 29, juga A.K. Pringgodigdo,
Perubahan Kabinet, Op Cit., hal. 69.
265 266
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

negara-negara yang terakhir ini justru memegang pera-


Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mungkin tepat
nan yang jauh lebih penting. Menurut Bernard untuk menyebut hal ini sebagai konvensi ketatanegaraan,
Schwartz, konvensi ketatanegaraan (constitutional di mana seorang Presiden dalam melaksanakan kewe-
conventions) telah berkembang sedemikian rupa dalam nangannya untuk menyusun kabinet, diharuskan
praktik ketata- negaraan Amerika Serikat yang artinya untuk berusaha mengakomodasikan unsur-unsur
sering kali sama atau tidak dapat dibedakan dari yang luas dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.
ketentuan pasal-pasal yang resmi dalam naskah Begitu juga Presiden Amerika Serikat, menurut
undang-undang dasar atau konstitusi yang tertulis.360 konvensi, dipastikan selalu akan mengakomodasikan
Ketika seorang Presiden Amerika Serikat beberapa unsur negara bagian atau pertimbangan
mengang- kat anggota kabinetnya, maka praktis utara dan selatan ke dalam susunan kabinetnya.361
menurut hukum, ia mempunyai kekuasaan untuk Suatu konvensi mungkin akan menyebabkan
menetapkan siapa saja yang ia sukai untuk masuk atau salah satu pasal dari Undang-Undang Dasar (konstitusi)
tidak masuk dalam kabi- netnya. Akan tetapi, akibat tidak berlaku. Dalam hal ini, sesungguhnya
dari konvensi ketatanegara- an, Presiden diharuskan konvensi tidak mengubah Undang-Undang Dasar
menjamin bahwa pelaksanaan kewenangan yang (Konstitusi) tersebut, hanya saja menyebabkan pasal
dimilikinya itu tidak akan mengangkat orang-orang dari tertentu tidak dipakai dalam praktik ketatanegaraan.362
negara bagian sebelah Utara saja atau sebelah Selatan Sebagai contoh, dapat dilihat dalam perubahan sistem
saja. Presiden harus berusaha mem- bicarakan pemerintahan presiden- til menjadi pemerintahan
penunjukan itu sedemikian rupa, sehingga daerah- parlementer dalam pengala- man praktik di Indonesia
daerah utama yang dianggap mempunyai arti politis pada tahun 1945. Seperti telah dijelaskan di atas,
yang penting dapat dipastikan akan terwakili dalam perubahan ini pada pokoknya bersifat
susunan kabinetnya. Demikian pula misalnya, di mengesampingkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang
Indonesia, sulit untuk membayangkan bahwa semua
Dasar 1945. Demikian pula pada masa pemerintahan
anggota kabinet hanya terdiri atas tokoh-tokoh dari
Orde Lama, melalui Ketetapan MPRS
suku Jawa saja atau Sunda saja tanpa
mempertimbangkan keragaman suku bangsa di tanah Nomor III/MPRS/1963 ditetapkan bahwa Presiden
air kita. Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup.
Secara psikologis-politis, memang harus diakui, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
tidaklah mudah untuk menyatakan hal itu secara eks- ini dapatlah digolongkan kepada konvensi yang
plisit dengan istilah yang biasa dikenal sebagai suatu terjadi karena diterima secara umum atas dasar
ketentuan atau formal rule. Oleh karena itu, menurut persetujuan bersama. Akibat dari ketetapan tersebut,
Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 menjadi tidak
360
Ismail Suny, Op. Cit., hal. 29; Georg Jellinek, Verfassugsanderung und berlaku. Ketetapan tersebut
Verfassungswandlung, Eine staatsrechtlich politische Afhandlung, (Berlin:
Verslag von O. Haring, 1906), hal. 3; juga A.A.H. Struycken dalam pidato
jabatannya membedakan antara “normale en abnormale rechtsvorming.”
361
Lihat Positiefrecht Rede uit gesproken by de aanvaarding van het Hooglee- Ismail Suny, dalam kuliahnya tahun 1970. Selanjutnya mengenai
raarsambt aan de Universiteit van Amsterdam, op de 15e Oktober 1906, convention ini dapat dibaca dalam Wade and Phillips, Constitutional Law,
(Amsterdam: Scheltema & Holkema’s Boekhandel, 1906), hal. 20-21. 1975, pada Bab “Convention of the Constitution”, hal. 79-96.
362
Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit.

267 268
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

sebenarnya tidak mengubah Undang-Undang Dasar 1945


dasar.363 Jika ditelusuri secara seksama dengan
secara formal, tetapi telah menyebabkan pasal melihat kembali the original framers’ intent atas
tersebut tidak berlaku dalam praktik. Ketetapan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan (2), jelas bahwa yang
tersebut kemudian dicabut oleh Ketetapan dimaksud adalah perubahan dengan cara penyusunan
Majelis Per- musyawaratan Rakyat teks baru sama sekali. Perubahan dan usaha
Sementara Nomor penyusunan naskah baru itu pun bahkan sudah
XVIII/MPRS/1966. berkali-kali dilakukan, seperti dengan penggantian
Tentu saja dapat diperdebatkan perbedaan antara UUD 1945 dengan Konstitusi RIS Tahun 1949,
tindakan yang bertentangan atau pelanggaran terhadap kemudian dengan UUDS Tahun 1950, usaha penyusunan
konstitusi dengan konvensi konstitusi. Apakah semua Konstitusi tetap oleh Konstituante, lalu
bentuk pelanggaran UUD juga dapat dikategorikan pemberlakuan kembali naskah UUD 1945 beserta Penje-
sebagai konvensi ketatanegaraan. Kunci jawaban atas lasannya pada tahun 1959.
masalah itu terletak pada persetujuan bersama dan Semua usaha tersebut di atas,
pene- rimaan oleh umum (public support) atas tindakan menggambarkan jalan pikiran yang terkandung dalam
ke- tatanegaraan yang diambil. Hanya saja sekarang ketentuan Bab XVI Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2)
tinggal lagi yang menjadi masalah ialah bagaimana UUD 1945 memang menghendaki perubahan melalui
mengukur ada-tidaknya atau memenuhi syarat atau penggantian. Dengan perkataan lain, bagaimana
tidaknya public support yang sifatnya sangat relatif itu. bentuk perubahan itu tidak ditentukan dengan jelas.
Pada mulanya, tindakan itu dapat dianggap sebagai Akan tetapi, karena sistem hukum Indonesia banyak
pelanggaran terhadap konstitusi. Akan tetapi, jika dipengaruhi oleh tradisi Eropa Kontinental, maka
perubahan itu dite- tapkan berdasarkan kesepakatan tentunya tradisi perubahan konstitusi model Eropa
bersama di antara semua pihak yang terkait dan Barat pulalah yang lebih dekat dengan maksud
selanjutnya hal itu diang- gap sudah menjadi kenyataan penyusun UUD 1945, yaitu melalui metode
yang diterima oleh umum sebagai praktik yang baik dan perubahan atau penyempurnaan dalam teks.
berguna, maka atas dasar itulah bentuk pelanggaran Namun, sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada
konstitusi tersebut dapat disebut sebagai konvensi tahun 1999, dilanjutkan dengan Perubahan
ketatanegaraan (the convention of the constitution) yang Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan
dianggap mengikat dalam prak- tik, meskipun tetap Perubahan Ke- empat (2002), perubahan-perubahan
tidak mengikat bagi para hakim di pengadilan. itu dilakukan me- nurut tradisi Amerika Serikat,
Demikian pula konvensi ketatanegaraan yang yaitu dengan naskah lampiran (appendix). Pada saat
dilakukan berkenaan dengan perubahan UUD 1945. Bab dimulainya penerapan metode lampiran ini pada
XVI Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sama sekali tidak tahun 1999, pilihan ini dapat dikatakan sebagai
menentukan bahwa undang-undang dasar dapat penyimpangan dari maksud Pasal 37 UUD 1945, tetapi
atau harus diubah dengan cara tertentu yang biasa diterima dengan baik oleh semua pihak sebagai cara yang
dilakukan dianggap konstitusional.
menurut tradisi Amerika Serikat, yaitu melalui naskah
amandemen yang terpisah dari teks asli undang-undang 363
Lihat pada BAB XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar dalam
UUD Negara RI Tahun 1945.

269 270
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Selanjutnya, setelah metode perubahan ini


dilaku- kan berulang-ulang, cara ini pun berkembang
menjadi kebiasaan (constitutional custom) yang baik
dalam prak- tik ketatanegaraan Indonesia berdasarkan
UUD 1945. Baik keputusan pertama untuk
menerapkan metode ini maupun keputusan-keputusan
selanjutnya, setelah hal itu menjadi kebiasaan
karena telah terjadi berulang- ulang, sama-sama
dikenal dengan sebutan yang diistilah- kan oleh A.V.
Dicey yaitu the conventions of the constitu- tion, bukan
the laws of the constitution.

271 272
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

BAB V
dan jenis metode penafsiran itupun dikelompokkan
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA
secara berbeda dari sarjana lainnya.365
Saya sendiri, dalam buku terdahulu, telah mengu-
raikan adanya 9 (sembilan) teori penafsiran yang ber-
beda penggambarannya dari apa yang dikemukakan
A. Penafsiran dan Anatomi Metode Tafsir oleh Arief Sidharta. Kesembilan teori penafsiran
Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat pen- tersebut adalah:366
ting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupa-
kan metode untuk memahami makna yang terkandung 1) Teori penafsiran letterlijk atau harfiah (what does
dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam the word mean?)
menyelesai- kan kasus-kasus atau mengambil keputusan Penafsiran yang menekankan pada arti atau makna
atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping kata-kata yang tertulis. Misalnya, kata servants dalam
itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam Konstitusi Jepang Art. 15 (2), “All public officials are
hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), servants of the whole community and not of any group
juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan thereof”. Contoh yang lain mengenai kata a
konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau natural association dalam Art. 29 ayat (1) dan kata
memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks the moral dalam ayat (2) Konstitusi Italia yang
undang-undang dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. menyatakan:
Wheare, undang- undang dasar dapat diubah melalui (i) “(1) The Republic recognizes the rights of the family as a
formal amand- ment, (ii) judicial interpretation, dan natural association founded on marriage; (2)
(iii) constitutional usage and conventions. 364 Marriage is based on the moral and legal equality of
Dikarenakan pentingnya hal tersebut di atas, maka the spouses, within the limits laid down by law to
safeguard the unity of the family”.
dalam setiap buku teks ilmu hukum lazim diuraikan
ada- nya berbagai metode penafsiran. Banyak sarjana
Contoh berikutnya lagi, misalnya terlihat pada kata
hukum yang membagi metode penafsiran ke dalam 5
inconsistent dalam ayat (1) Article 13 Konstitusi India,
(lima) macam metode penafsiran, dan 3 (tiga) macam
yaitu:
metode konstruksi. Dalam hal ini, metode konstruksi
“All laws in force in the territory of India immediately
dianggap tidak termasuk ke dalam pengertian before the commencement of this Constitution, in so far
penafsiran. Tetapi,
ada pula sarjana yang menganggap metode konstruksi
itu tiada lain merupakan varian saja atau termasuk ben- 365
Lihat dan bandingkan pendapat sarjana yang memasukkan metode
tuk lain dari metode penafsiran juga, sehingga macam intepretasi (penafsiran) sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum
yang dilakukan dengan cara Interpretasi Gramatikal (kebahasaan), Sistematis
(logis), Historis, dan Teleologis (sosiologis). Lihat, misalnya, Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 131-134.
366
Jimly Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, cet. I,
364
Wheare, Op. Cit. (Jakarta: Ind. Hill Co., 1997), hal. 17-18.

273 274
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

as they are inconsistent with the provisions of this Part,


shall, to the extent of such inconsistency, be void”. notulen rapat, catatan-catatan pribadi peserta rapat,
tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam
2) Teori penafsiran gramatikal atau interpretasi bahasa bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang
(what does it linguistically mean?) pernah dibuat, otobiografi yang bersangkutan, hasil
Penafsiran yang menekankan pada makna teks wawancara yang dibuat oleh wartawan dengan yang
yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. bersangkutan, atau wawancara khusus yang sengaja
Pernafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna dilakukan untuk keperluan menelaah peristiwa yang
menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna bersangkutan. Penafsiran kedua, mencari makna yang
teknis-yuridis yang lazim atau dianggap sudah baku. 367 dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa
Menurut Visser’t Hoft di negara-negara yang menganut lampau. Dalam pencarian makna tersebut juga kita
tertib hukum kodifikasi, maka teks harfiah undang- merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau,
undang sangat penting. Namun, penafsiran gramatikal termasuk pula merujuk kepada norma-norma hukum
saja di- anggap tidak mencukupi, apalagi jika mengenai masa lalu yang masih relevan.369
norma yang hendak ditafsirkan itu sudah menjadi
perdebatan. 4) Teori penafsiran sosiologis (what does social context
368 of the event to be legally judged)
Konteks sosial ketika suatu naskah
3) Teori penafsiran historis (what is historical dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk
background of the formulation of a text) menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang
Penafsiran historis mencakup dua pengertian: (i) terjadi dalam masya- rakat acapkali mempengaruhi
penafsiran sejarah perumusan undang-undang; dan (ii) legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan.
penafsiran sejarah hukum. Penafsiran yang pertama, Misalnya, pada kalimat “dipilih secara demokratis”
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah perumu- dalam Pasal 18 ayat (4) Undang- Undang Dasar
san naskah. Bagaimana perdebatan yang terjadi ketika 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan
naskah itu hendak dirumuskan. Oleh karena itu yang di- Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
butuhkan adalah kajian mendalam tentang notulen- daerah provinsi, kabupaten, dan kota di- pilih secara
demokratis.”
367
Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterje-
mahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ. 5) Teori penafsiran sosio-historis (asbabunnuzul dan
Parahiayangan,
368
2001), hal. 25. asbabulwurud, what does the social context behind
Ibid., hal. 26. Misalnya, basis sistem ekonomi sosialis Cina, seperti dalam
Art. 6 ayat (1) Konstitusi Cina: (1) “The basis of the socialist economic
the formulation of the text)
system of the People's Republic of China is socialist public ownership of the Berbeda dengan penafsiran sosiologis, penafsiran
means of production, namely, ownership by the whole people and collective sosio-historis memfokuskan pada konteks sejarah ma-
ownership by the working people”; dan makna dari sistem kepemilikan syarakat yang mempengaruhi rumusan naskah hukum.
publik, seperti dalam Art 6 ayat (2) “The system of socialist public Misalnya, ide persamaan dalam teks konstitusi Republik
ownership supersedes the system of exploitation of man by man; it applies
the principle of from each according to his ability, to each according to his
369
work”. Ibid., hal. 29.

275 276
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

V Perancis,370 ide ekonomi kekeluargaan dalam Pasal 33


7) Teori penafsiran teleologis (what does the articles
UUD 1945, dan ide Negara Kekaisaran Jepang.371 would like to achieve by the formulated text).
Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau
6) Teori penafsiran filosofis (what is philosophical formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan
thought behind the ideas formulated in the text) jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada
Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filo- kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai lan-
sofis. Misalnya, ide negara hukum dalam konstitusi dasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempe-
Republik V Perancis Article 66: “No person may ngaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian juga
be detained arbitrarily”. Ide negara hukum dalam diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
yang aktual.373
Republik Indo- nesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Contoh
8) Teori penafsiran holistik.
lain lagi adalah rumusan ide demokrasi terpusat
Penafsiran ini mengaitkan suatu naskah
(centralized demo- cracy) dalam Konstitusi Cina. 372
hukum dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah
tersebut. Misalnya, The individual economy 374 dalam
Article 11 ayat (1) Konstitusi Cina:

(1) “The individual economy of urban and rural


working people, operated within the limits prescribed
370
Constitution of The Fifth French Republic, 1958, Article 2, “France is an by law, is a complement to the sociallist public
indivisible, secular, democratic and social Republic. It shall insure equality economy. The state protects the lawful rights and
before the law for all citizens without distinction of origin, race, or religion. interests of the individual economy”; (2) “The state
It shall respect all beliefs…” guides, helps, and supervises the individual economy
371
Art. 1 [Symbol of State]: “The Emperor shall be the symbol of the State by exercising administrative control”; (3) “The State
and of the unity of the people, deriving his position from the will of the permits the private sector of the economy to exist and
people with whom resides sovereign power”. Article 2 [Dynastic Throne]: develop within the limits prescribed by law. The
“The Imperial Throne shall be dynastic and succeeded to in accordance with
private sector of the economy is a complement to the
the Imperial House Law passed by the Diet”.
372
Konstitusi Cina, Article 3 [Democratic Centralism]: “(1) The state organs
socialist public economy. The State protects the lawful
of the People's Republic of China apply the principle of democratic rights and interests of the private sector of the
centralism. (2) The National People's Congress and the local people's economy, and
congresses at different levels are instituted through democratic election.
They are responsible to the people and subject to their supervision. (3) All 373
administrative, judicial and procuratorial organs of the state are created by 374
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 30.
Istilah the individual economy dalam konteks negara sosialis yang dianut
the people's congresses to which they are responsible and under whose
Cina menjadi jiwa dari sistem sosialis, seperti yang dinyatakan dalam konsti-
supervision they operate. (4) The division of functions and powers between
tusi Cina, Article (1) “The People's Republic of China is a socialist state
the central and local state organs is guided by the principle of giving full
under the people's democratic dictatorship led by the working class and
play to the initiative and enthusiasm of the local authorities under the
based on the alliance of workers and peasants”; (2) “The socialist system is
unified leadership of the central authorities.”
the basic system of the People's Republic of China. Sabotage of the socialist
system by any organization or individual is prohibited”.

277 278
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

exercises guidance, supervision and control over the


private sector of the economy”. bagai pandangan para sarjana mengenai ragam metode
penafsiran itu, perlu kita himpun dan kita sarikan seba-
9) Teori penafsiran holistik tematis-sistematis (what is gaimana mestinya.
the theme of the articles formulated, or how to un-
destand the articles systematically according to the Selain ke-9 teori penafsiran tersebut di atas, dapat
grouping of the formulation) pula dikemukakan adanya pendapat Utrecht mengenai
Dalam hal ini, misalnya, regular election dalam metode penafsiran undang-undang:
Article 68 dan 69 Konstitusi Amerika Serikat:
1) Penafsirkan menurut arti kata atau istilah (taalkun-
”Regular elections to the National Assembly shall be dige interpretasi)
held within sixty days prior to the expiration of the Hakim wajib mencari arti kata dalam undang-
term of the current Asembly. Procedures for elections undang dengan cara membuka kamus bahasa atau me-
to the National Assembly shall be prescribed by law. minta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup.
The date of elections shall be fixed by Presidential hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan
decree. The first session of a newly elected National kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-
Assembly shall convene on the second Thursday
peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut
following the election of at least two thirds of the total
number of Deputies. Until the election of the President Utrecht, yang pertama ditempuh atau usaha permulaan
of the National Assembly, its meetings shall be chaired untuk menafsirkan.375
by the Deputy who is most senior in age.”
“The regular sessions of the National Assembly shall 2) Penafsiran historis (historische interpretatie)
convene twice per year from the second Monday of Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, 376
September to the second Wednesday of December and dilakukan dengan (i) menafsirkan menurut sejarah
from the first Monday of February to the second hukum (rechtshistorische interpretatie), dan; (ii)
Wednesday of June. The sittings of the National menaf- sirkan menurut sejarah penetapan suatu
Assembly shall be open to the public. Closed door
ketentuan (wetshistorische interpretatie). Penafsiran
sittings may be convened by a resolution of the Natio-
nal Assembly.” menurut seja- rah, menurut Utrecht, merupakan
penafsiran luas atau mencakup penafsiran menurut
Di samping itu, dalam perkembangan pemikiran sejarah penetapan. Kalau penafsiran menurut sejarah
dan praktik penafsiran hukum di dunia akhir-akhir ini, penetapan dilakukan dengan cara mencermati laporan-
telah berkembang pula berbagai corak dan tipe baru laporan perdebatan dalam pe- rumusannnya, surat-
dalam penafsiran hukum dan konstitusi di berbagai surat yang dikirim berkaitan dengan kegiatan
negara. Oleh karena itu, pendapat-pendapat yang biasa perumusan, dan lain-lain, sedangkan penafsiran
kita diskusikan di berbagai fakultas hukum di tanah air
juga perlu memperhatikan dinamika perkembangan di 375
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh
dunia ilmu hukum pada umumnya. Oleh sebab itu, ber- Moh. Saleh Djindang, cet. XI, PT. (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), hal. 208.
376
Pendapat Utrecht ini sangat mirip dengan pendapat Visser”t Hoft yang
pada nantinya akan diuraikan secara tersendiri.

279 280
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

menurut sejarah hukum dilakukan menyelidiki asal


naskah dari sistem hukum yang pernah diberlakukan,
4) Penafsiran sosiologis
termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum
Menurut Utrecht, setiap penafsiran undang-un-
lain yang masih diberlakukan di negara lain. 377
dang harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis agar
Bagi hakim, menurut Scholten, makna penafsiran
keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh sesuai
historis berdasarkan kebutuhan praktik. Pada umumnya
dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Utrecht
yang penting bagi hakim ialah mengetahui maksud
mengatakan bahwa hukum merupakan gejala sosial,
pembuat naskah hukum pada waktu ditetapkan. Hukum
maka setiap peraturan memiliki tugas sosial, yaitu ke-
bersifat dinamis dan perkembangan hukum mengikuti
pastian hukum dalam masyarakat. Tujuan sosial suatu
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, makna
peraturan tidak senantiasa dapat dipahami dari kata-
yang dapat diberikan kepada suatu kata dalam naskah
kata yang dirumuskan. Oleh karena itu, hakim harus
hukum positif sekarang berbeda dengan maknanya pada
mencarinya. Penafsiran sosiologis merupakan jaminan
waktu ditetapkan. Oleh sebab itu pula, penafsiran
kesungguhan hakim dalam membuat keputusan, oleh
menurut sejarah hakikatnya hanya merupakan pedoman
karena keputusannya dapat mewujudkan hukum dalam
saja.378 Akan tetapi, penafsiran historis tidak hanya
suasana yang senyatanya dalam masyarakat.380
menelaah risalah sebagai story perumusan naskah,
tetapi juga me- nelaah sejarah sosial, politik, ekonomi 5) Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau offi-
dan social event lainnya ketika rumusan naskah ciele interpretatie)
tersebut dibahas. Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang
dinyatakan oleh pembuat undang-udang (legislator)
3) Penafsiran sistematis
dalam undang-undang itu sendiri.381 Misalnya, arti
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran me-
kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam
nurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu
penjelasannya. Jikalau ingin mengetahui apa yang
sendiri (systematische interpretatie). Penafsiran
dimaksud dalam suatu pasal, maka langkah pertama
demikian dila- kukan dengan memperhatikan
adalah lihat penje- lasan pasal itu. Oleh sebab itu,
ketentuan-ketentuan lain dalam naskah hukum yang
penjelasan undang- undang selalu diterbitkan
bersangkutan. Penafsiran sistematis juga dapat terjadi
tersendiri, yaitu dalam Tamba- han Lembaran
jika naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang
Negara, sedangkan naskah undang- undangnya
lain, di mana keduanya me- ngatur hal yang sama,
diterbitkan dalam Lembaran Negara.
dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain. Jika
misalnya yang ditafsirkan itu adalah pasal dari suatu
Sementara itu, Visser’t Hoft mengemukakan 7
undang-undang, maka ketentuan- ketentuan yang sama,
(tujuh) model penafsiran hukum, yaitu:382
apalagi satu asas dalam peraturan lainnya, harus
dijadikan acuan.379

377
Utrecht, Op. Cit., hal. 209 380
Ibid., hal. 216.
378
Ibid., hal. 210-211. 381
Ibid., hal. 217.
379
Ibid., hal. 212-213. 382
Ph. Visser’t Hoft, Op. Cit.

281 282
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

kaitan dengan pendapat penulis-penulis, atau konteks


1) Penafsiran Gramatikal atau Interpretasi Bahasa kemasyarakatan masa lalu.
Dalam model ini, penafsiran gramatikal yang di-
maksud mempunyai pengertian yang sama sebagaimana 5) Penafsiran Teleologis
telah dikemukakan sebelumnya. Maksudnya yaitu menafsirkan dengan cara menga-
cu kepada formulasi norma hukum menurut tujuan dan
2) Penafsiran Sistematis jangkauannya. Fokus perhatian dalam menafsirkan ada-
Makna formulasi sebuah kaidah hukum atau mak- lah fakta bahwa pada norma hukum mengandung
na dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan tujuan atau asas yang menjadi dasar sekaligus
lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem. mempengaruhi interpretasi. Bisa jadi suatu norma
Langkah yang dilakukan yaitu dengan mencari makna mengandung fungsi atau maksud untuk melindungi
kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yang kepentingan tertentu, sehingga ketika ketentuan
ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah tersebut diterapkan, maksud tersebut harus dipenuhi.
lain- nya. Menurut Visser’t, dalam sebuah sistem hukum Dalam melakukan penafsiran teleologis, juga
yang menitikberatkan pada kodifikasi, maka merujuk memperhitungkan terhadap konteks fak- ta
pada sistem undang-undang atau kitab undang-undang kemasyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarah-
meru- pakan hal yang biasa. Perundang-undangan kan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari
adalah se- buah sistem. Ketentuan-ketentuan yang ada pembentuk undang-undang pada waktu perumusannya.
di dalamnya saling berhubungan dan sekaligus Maksudnya lebih diarahkan kepada makna aktual atau
keterhubunganan ter- sebut dapat menentukan suatu makna obyektif norma yang ditafsirkan. Biasanya akan
makna. Akan tetapi, da- lam tatanan hukum yang tidak segera dikenali bahwa hakim menggunakan tafsir teleo-
terkodifikasi, merujuk pada sistem dimungkinkan logis jika dalam pertimbangannya ditemukan kata-kata
sepanjang karakter sistematis dapat diasumsikan atau “…ketentuan-ketentuan bertujuan…” atau “…jangkauan
diandaikan. dari…”.

3) Penafsiran Sejarah Undang-undang 6) Penafsiran Antisipatif


Penafsiran dengan cara merujuk pada sejarah pe- Menurut Visser’t, metode penafsiran ini dilakukan
nyusunannya, membaca risalah, catatan pembahasan dengan cara merujuk RUU yang sudah disiapkan untuk
oleh komisi-komisi dan naskah-naskah lain yang berhu- dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen. Dengan
bungan dengan pembahasan termasuk surat-menyurat cara ini sebenarnya hakim melihat ke masa yang akan
yang berhubungan dengan penyusunan suatu undang. datang (forward looking). Dengan perkataan lain,
hakim dapat saja berpendirian bahwa penafsiran
4) Penafsiran Sejarah Hukum terhadap nor- ma hukum yang dilakukannya didasarkan
Penafsiran dengan cara menentukan arti suatu ru- atas penela- haan dari sudut pandang hukum baru.
musan norma hukum dapat memperhitungkan sejarah
isi norma atau pengertian hukum dengan mencari keter- 7) Penafsiran Evolutif-Dinamis

283 284
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan


8) Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengn melebihi
pandangan masyarakat dan situasi kemasyarakatan.
batas hasil penafsiran gramatikal;
Makna yang diberikan kepada suatu norma bersifat
9) Interpretasi Otentik, penafsiran yang hanya boleh
men- dobrak perkembangan setelah dibelakukannya
di- lakukan berdasarkan makna yang sudah jelas
hukum tertentu. Salah satu ciri penting penafsiran ini
dalam undang-undang;
ialah pe- ngabaian maksud pembentuk undang-undang.
10) Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika pe-
Makna obyektif atau aktual maupun subyektif dari suatu
nafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum;
norma sama sekali tidak berperan lagi.
11) Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan
menggunakan tafsir ilmu lain di luar ilmu hukum.
Jazim Hamidi, dengan mengutip pendapat
Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Achmad Ali, dan Yudha
Ronald Dworkin mempunyai pendapat yang ber-
Bhakti, mencatat sebelas macam metode penafsiran
beda lagi mengenai soal ini. Dworkin mengidentifikasi-
hukum, yaitu:383
kan adanya ada 6 (enam) model interpretasi dalam ilmu
1) Interpretasi Garamatikal, menafsirkan kata-kata da-
hukum,384 yaitu:
lam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan
kaidah hukum tata bahasa;
1) Creative interpretation
2) Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah un-
Menurut Dworkin, interpretasi kreatif hanya ter-
dang-undang dan sejarah hukum;
hadap kasus khusus dari interpretasi conversational. 385
3) Interpretasi Sistematis, menafsirkan undang-
Penafsiran ini dimaksudkan untuk mengungkap maksud
undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
penyusun atau maksud-maksud dalam tulisan.
perundang- undangan;
Misalnya, novel atau tradisi tertentu masyarakat yang
4) Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna un-
biasanya di- ungkapkan masyarakat dalam percakapan
dang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyara-
sehari-hari. Bahwa interpretasi kreatif hanya untuk
katannya, sehingga penafsiran dapat mengurangi ke-
kasus khusus penafsiran lisan.386 Interpretasi kreatif
senjangan antara sifat positif hukum dengan kenya-
bukanlah sekedar menangkap makna dalam percakapan
taan hukum;
melainkan meng- konstruksikan atau menyusun makna.
5) Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara 387
Penafsiran
membandingkan berbagai sistem hukum;
6) Interpretasi Futuristik, menafsirkan undang-undang
dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam 384
Ronald Dworkin, Law’s Empire, (Cambridge, Massachusetts, London,
proses pembahasan; England: The Belknap Press of Harvard University Press, 1986).
385
7) Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berda- Ibid., hal. 51.
386
Ibid., ”Creative interpretation aims to decipher the authors’ purposes or
sarkan kata yang maknanya sudah tertentu;
intentions in writing particular novel or maintaining a particular social
tradition, just as we aim in conversation to grasp a friend’s intentions in
383
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press speaking as he does. … that creative interpretation is only a special case of
2005), hal. 53-57. conversational interpretaion”.
387
Ibid., hal. 52, “…that creative interpretation is not conversational but
constructive”

285 286
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

kreatif dalam pandangan konstruktif adalah interaksi


tahap diinterpretasikan, yaitu penafsir menjustifikasi un-
antara maksud dan tujuan.388
sur-unsur pokok praktik. Justifikasi tidak perlu semua
harus sesuai bagi penafsir. Namun yang terpenting
2) Artistic interpretation
pe- nafsir mampu melihat dirinya sendiri sebagai
Menemukan maksud penulis bukanlah persoalan penafsir praktis, dan menemukan suatu yang baru.
yang mudah, sebab kita harus berupaya memahami Ketiga, setelah tahap penafsiran, penafsir
maksud melalui pemaknaan ungkapan kesadaran men- menyesuaikan pendirian-nya tentang praktik sebenarnya
tal. Penafsiran artistik tidak selalu bermaksud
atau menyelesaikan.391
mengiden- tifikasikan beberapa jenis kesadaran pikiran
dalam menggunakan pengaruhnya terhadap pikiran 5) Literal interpretation
penyusun ketika dia mengatakan, menulis, atau Pendapat berbeda diperdebatkan bagi teori legislasi
melakukan se- suatu. 389 Maksud (intention) selalu lebih yang lebih dikenal dewasa ini. Hal ini kadang-kadang di-
kompleks dan problematikal (complex and sebut sebagai teori penafsiran literal, walaupun tidak se-
problematical matter). cara khusus menjelaskan gambar. Penafsiran literal ber-
tujuan bahwa kata-kata dalam UU diberikan apabila kita
3) Social interpretation menyebutnya makna yang tidak sesuai dengan
Penafsiran praktik sosial dan kerja seni secara konteks- nya. Artinya, makna kita berikan kalau kita
esensialitas lebih menekankan pada maksud daripada tidak memi- liki informasi khusus tentang konteks yang
penyebab. Penafsiran praktik sosial tidak dimaksudkan mereka guna- kan atau maksud-maksud dari penulis.
menemukan apa yang dilakukan warga masyarakat, me- Metode inter- pretasi ini mensyaratkan bahwa tidak
lainkan ada berbagai faktor baik ekonomi atau psikologi ada ketergantu- ngan konteks dan kualifikasi-kualifikasi
dari suatu perbuatan dengan fokus pengamatan pada tersembunyi di- buat terhadap bahasa umum.392
suatu lingkungan yang dekat dengan apa yang mereka
lakukan.390
391
Ibid., hal. 66, “Second, there must be an interpretive stage at which the
4) Constructive interpretation interpreter settles on some general justification for the main elements of the
Pertama, tahap pra-penafsiran di mana aturan- practice identified at the preinterpretive stage.…The justification need not
fit every aspect or feature of the standing practice, but it must fit enough
atu- ran dan batasan-batasan yang digunakan untuk
for the interpreter to be able to see himself as interpreting that practice, not
membe- rikan isi tentatif dari praktik yang inventing a new one. Finally, there must be a postinterpretive or reforming
diperkenalkan. Kedua, stage, at which he adjusts his sense of what the practice ‘really’ requires
so as better to serve the justification he accepts at the interpretive stage.”
392
Ibid , hal. 17-18, “The dissenting opinion, written by Judge Gray, argued
388
Ibid., “Creative interpretation, on the constructive view, is a matter of for a theory of legislation more popular then than it is now. This is some-
interaction
389
between purpose and object”. times called a theory of ‘literal’ interpretation, though that is not a parti-
Ibid., hal. 55. cularly illuminating description. It proposes that the words of a statute be
390
Ibid., hal. 51, “For the interpretation of social practices and works of given what we might better call their acontextual meaning, that is, the
art is essentially concerned with purposes rather than mere causes. The citi- meaning we would assign them if we had no special information about the
zens of courtesy do not aim to find, when they interpret their practice, the context of their use or the intentions of their author. This method of inter-
various economic or psychological or phsycological determinants of their pretation requires that no context-dependent and unexpressed qualications
corvergent behavior.”

287 288
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Profesor Sutandyo dalam salah satu tulisannya yang


6) Conversational interpretation memperbincangkan semiotika, mengemukakan tentang
Metode ini adalah metode yang tidak lazim atau the semiotic jurisprudence. Semiotika mengkaji tentang
agak berbeda dari cara-cara yang biasa digunakan. Pe- tanda-tanda kebahasaan yang tidak lain dari hasil kon-
nafsiran ini bukan dimaksudkan untuk menjelaskan septualisasi oleh subjek-subjek atau intersubjek.
sua- ra seseorang. Penafsiran ini menandai makna
dalam menjelaskan motif-motif dan maksud-maksud Dari berbagai pendapat para sarjana yang
makna yang dirasakan pembicara, dan menyimpulkan digam- barkan di atas, pada garis besarnya dapat
sebagai pernyataan tentang maksud pembicara dalam dibedakan ke dalam 23 (dua puluh tiga) metode
menga- takan apa yang dia perbuat. Dalam teknik penafsiran, yaitu:
penafsiran ini, penafsir hendak menemukan maksud
atau makna yang diucapkan orang lain dalam berbagai 1) Metode Penafsiran Literlijk atau Literal
peristiwa yang se- cara tepat untuk makna dalam Metode ini dapat diartikan sebagai penafsiran let-
masyarakat, seperti misal- nya sopan-santun. 393 Sebab, terlijk atau harfiah (what does the word mean?) yang
maksud demikian adalah esensi bagi struktur yang memfokuskan pada arti atau makna kata (word).
menafsirkan pelaksanaan per- janjian sebagai hal yang Utrecht memberi penjelasan tentang penafsiran
berbeda dari pemahaman pihak lain dalam menafsirkan menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
sesuai pernyataan yang mereka buat dalam ini, yaitu kewajiban bagi hakim mencari arti kata dalam
penerapannya. Hal itu berlanjut bahwa pakar sosial undang- undang dengan cara membuka kamus bahasa
harus berpartisipasi dalam praktik sosial jikalau dia atau me- minta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum
mengharapkan untuk memahaminya, sebagaimana cukup hakim harus mempelajari kata tersebut dalam
dibedakan dari pemahaman anggota-anggota lainnya.394 susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan
peraturan- peraturan lainnya. Cara penafsiran ini,
menurut Utrecht, merupakan penafsiran yang pertama
be made to general langguage, so Judge Gray insisted that the real statute, ditempuh atau usa- ha permulaan untuk menafsirkan.395
constructed
393
in the proper way, contained no exceptions for murderers.”
Ibid., hal. 50, “…is puposive rather than causal in some more mechanical
way. It does not aim to explain the sounds someone makes the way a 2) Metode Penafsiran Gramatikal (bahasa)
biologist explains a frog’s croak. It assigns meaning in the light of the Metode penafsiran gramatikal atau interpretasi ba-
motives and purposes and concerns it supposes the speaker to have, and it hasa (what does it linguistically mean?). Penafsiran
reports its conclusions as statements about his ‘intention’ in saying what he
did”.
yang menekankan pada makna teks yang di dalamnya
394
Ibid., hal. 54-55, “…that the techniques of ordinary conversational kaidah hukum dinyatakan. Pernafsiran dengan cara
interpretation, in which the interpreter aims to discover the intentions or demikian bertolak dari makna menurut pemakaian
meanings of another person, would in many event be in appropriate (ketepa- bahasa sehari-
tan/tepat) for the interpretation of a social practice like courtesy (kesopa-
nan/kebaikan/rasa hormat) because it is essential to the structure of such a
practice that interpreting the practice be treated (pakta) as different from
understanding what other participants mean by the statements they make in practice if he hopes to understand it, as distinguished from understanding its
its operation. It follows that a social scientist must participate in a social members”.
395
Utrecht, Op. Cit., hal. 208.

289 290
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

hari atau makna teknis-yuridis yang sudah


5) Metode Penafsiran Otentik
dilazimkan.396 Menurut Visser’t Hoft, di negara-negara
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau
yang menganut tertib hukum kodifikasi, teks harfiah
officiele interpretatie), menurut Utrecht, merupakan pe-
undang-undang di- nilai sangat penting. Namun,
nafsiran sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pem-
penafsiran gramatikal saja tidak cukup jika tentang hal
buat undang-undang (legislator) dalam undang-undang
yang ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan.397
itu sendiri.400 Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam
pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan
3) Metode Penafsiran Restriktif
Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan
Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini
berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-
seba- gai kegiatan menafsirkan dengan cara membatasi
undang.
penaf- siran sesuai dengan kata yang maknanya sudah
tertentu. Jika suatu norma hukum yang sederhana
6) Metode Penafsiran Sistematik
sudah diru- muskan secara jelas atau expresis verbis,
Metode ini menafsirkan menurut sistem yang
maka tidak di- perlukan lagi untuk menerapkan metode-
ada dalam hukum (systematische interpretatie,
metode penaf- siran yang bersifat kompleks. Cukuplah
dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya,
kiranya hal ter- sebut dipahami dengan maknanya yang
menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah
sudah jelas itu.398
hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari
suatu undang-undang, ma- ka ketentuan-ketentuan
4) Metode Penafsiran Ekstensif
yang sama apalagi satu asas da- lam peraturan lainnya
Menurut Pitlo dan Sudikno, hasil penafsiran ini
juga harus dijadikan acuan. 401 Dalam penafsiran ini,
melebihi hasil penafsiran gramatikal. Penalaran yang di-
sebagaimana telah diuraikan sebe- lumnya, makna
gunakan dalam metode ekstensif ini merupakan kebali-
formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari
kan dari penalaran dalam metode restriktif. Penafsiran
sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetap- kan lebih
restriktif bersifat membatasi, sedangkan penafsiran eks-
jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.
tensif bersifat memperluas, sehingga penafsiran dilaku-
Langkah yang dilakukan yaitu dengan mencari makna
kan tidak hanya terbatas kepada makna teknis dan gra-
kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yang
matikal kata-kata yang terkandung dalam suatu
ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah
rumusan norma hukum yang bersangkutan.399
lainnya. Menurut Visser’t, dalam sebuah sistem
hukum yang menitikberatkan pada kodifikasi, maka
merujuk pada sistem undang-undang atau kitab
undang-undang merupakan hal biasa. Perundang-
undangan adalah se- buah sistem. Ketentuan-ketentuan
396
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 25. yang ada di dalamnya saling berhubungan sekaligus
397
Ibid., hal. 26. saling berhubungan ter- sebut menentukan makna.
398
Hamidi, Op. Cit. Akan tetapi dalam tatanan
399
Ibid.
400
401
Utrecht, Op. Cit., hal. 217.
Ibid., hal. 212-213.

291 292
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

hukum yang tidak terkodifikasi, merujuk pada sistem di-


masuk surat-menyurat yang berhubungan dengan pe-
mungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat di-
nyusunan suatu undang.404
asumsikan (diandaikan).402
8) Metode Penafsiran Historis dalam arti Luas
7) Metode Penafsiran Sejarah Undang-undang
Metode penafsiran dengan sejarah hukum, menu-
Metode ini mendasarkan diri pada makna historis
rut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu
yang terkandung dalam perumusan undang-undang itu
(i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang
sendiri (what is historical background of the formula-
seperti yang sudah diuraikan di atas; dan (ii) penafsiran
tion of a text). Penafsiran Sejarah Undang-undang ini
sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran
salah satu metode penafsiran sejarah dalam arti sempit,
sejarah hu- kum yang bertujuan mencari makna yang
yaitu penafsiran dengan merujuk pada sejarah penyusu-
dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa
nannya, membaca risalah, catatan pembahasan oleh
lampau.405 Dalam arti sempit, yaitu metode penafsiran
komisi-komisi, dan naskah-nakah lain yang berhubu-
sejarah undang- undang sudah diuraikan di atas.
ngan dengan pembahasan termasuk surat-menyurat
Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode
yang berkaitan dengan penyusunan suatu undang.
penafsiran historis dalam arti luas.
Menurut Utrecht, penafsiran sejarah undang-undang Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah peru-
makna historis suatu pengertian normatif dalam
musan naskah, dan bagaimana peredebatan yang terjadi undang- undang, penafsir juga harus merujuk
ketika naskah itu hendak dirumuskan.403 pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk
Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah kajian pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang
mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-cata- relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara
tan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat demikian dilakukan dengan me- nafsirkan suatu naskah
yang tersedia baik dalam bentuk tulisan ilmiah maupun menurut sejarah hukum (rechts- historische
komentar tertulis yang pernah dibuat, otobiografi yang interpretatie). Penafsiran historis demikian itu
bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh warta- dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari
wan dengan yang bersangkutan, atau wawancara khusus sistem hukum yang pernah diberlakukan, termasuk pula
yang sengaja dilakukan untuk keperluan menelaah pe- meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih
ristiwa yang bersangkutan. Menurut Hoft, penafsiran diberlakukan di negara lain. 406 Bagi hakim, menurut
sejarah undang-undang merupakan penafsiran dengan Scholten, makna penafsiran historis berdasar- kan
merujuk pada sejarah penyusunannya, membaca kebutuhan praktik. Pada umumnya yang terpenting bagi
risalah, catatan pembahasan oleh komisi-komisi, dan hakim ialah mengetahui maksud pembuat naskah
naskah- naskah lain yang berhubungan dengan hukum pada waktu ditetapkan. Hukum bersifat dinamis,
pembahasan ter- dan perkembangan hukum mengikuti perkembangan

404
Ph. Visser’t Hoft, Op.Cit.
402
Ph. Viser’t Hoft, Op.Cit. 405
Utrecht, Op.Cit.
403
Utrecht, Op.Cit. 406
Ibid., hal. 209.

293 294
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

masyarakat. Oleh karena itu, makna yang dapat


9) Metode Penafsiran Sosio-Historis
diberikan kepada suatu kata dalam naskah hukum posi-
Metode ini menyangkut penafsiran sosio-historis
tif sekarang berbeda dengan maknanya pada waktu dite-
(asbab al-nuzul dan asbab al-wurud), yaitu berkenaan
tapkan. Oleh sebab itu pula penafsiran menurut sejarah
dengan persoalan what does the social context behind
hakikatnya hanya merupakan pedoman saja.407
the formulation of the text. Berbeda dari penafsiran
Akan tetapi, penafsiran historis tidak hanya
historis, dalam penafsiran sosio-historis ini, dipertim-
menelaah risalah sebagai story perumusan naskah, tetapi
bangkan pula berbagai konteks perkembangan masya-
juga menelaah sejarah sosial, politik, ekonomi dan social
rakat yang melahirkan norma yang hendak ditafsirkan
event lainnya ketika rumusan naskah tersebut
itu dengan seksama. Di pihak lain, berbeda pula dengan
dibahas. Artinya, penafsiran historis bisa merambah ke
penafsiran sosiologis, penafsiran sosio-historis ini lebih
penafsian sosio-historis baik dari aspek sosial,
memusatkan perhatian pada konteks sejarah
ekonomi, politik, dan kejadian-kejadian penting yang
masyarakat yang mempengaruhi rumusan naskah ketika
memberi nuansa ke- pada sebuah naskah hukum.
norma hu- kum yang bersangkutan terbentuk di masa
Misalnya, ketika Pasal 33 UUD 1945 dirumuskan,
lalu.
suasana anti kolonialisme se- dang marak, sehingga
penolakan terhadap yang berlatar belakang liberalisme
10) Metode Penafsiran Sosiologis
dan kapitalisme sangat kuat dan sangat logis terjadi
Metode penafsiran sosiologis (sociological inter-
ketika itu.
pretation) ini mendasarkan diri pada penafsiran yang
Latar belakang yang sama juga dapat menjadi
sebab mengapa hak asasi manusia sangat kurang dirinci bersifat sosiologis (what does social context of the event
dalam rumusan UUD 1945 versi aslinya. Memang benar to be legally judged). Konteks sosial ketika suatu naskah
bahwa hak asasi manusia ada kaitannya dengan indi- dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsir-
vidualisme yang menjadi basis paham liberalisme ekono- kan naskah. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
mi, politik, dan kapitalisme dalam bidang ekonomi. Akan acapkali mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah
tetapi, ketika Pasal 33 ditafsirkan pada tahun 2005 atau hukum dirumuskan.
50 tahun kemudian apakah konteks sosio-historis tahun
11) Metode Penafsiran Teleologis
1945 harus ditanggalkan? Sepanjang kekuatan argumen-
tasi dapat menunjukkan bahwa liberalisme memang Metode penafsiran teleologis memusatkan perha-
tian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai
terbukti benar-benar mengancam sistem ekonomi nasio-
nal dalam sistem ekonomi global, maka apapun oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what
does the articles would like to achieve). Penafsiran ini
alasan- nya liberalisme ekstrim harus ditolak dan
prinsip pe- nguasaan negara harus dipertahankan di- fokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-
kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya.
dengan penye- suaian di sana-sini.
Tekanan taf- siran pada fakta bahwa pada kaidah
hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan
dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi
interpretasi. Dalam

407
Ibid., hal. 210-211.

295 296
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan kon-


teks kenyataan kemasyarakatan aktual. 408
Utrecht tidak mengenal penafsiran teleologis, se-
dangkan menurut Hoft, penafsiran seperti ini dilakukan
13) Metode Penafsiran Tematis-Sistematis
dengan cara mengacu kepada formulasi norma hukum
Di sini yang menjadi pusat perhatian adalah
menurut tujuan dan jangkauannya. Dalam menafsirkan
per- soalan what be the substantive theme of the
secara teleologis, fokus perhatian adalah fakta bahwa
articles for- mulated, or how to understand the
pada norma hukum mengadung tujuan yang menjadi
substantive theme of the articles systematically
da- sar atau asas sekaligus mempengaruhi interpretasi.
according to the grouping of the formulation.
Bisa jadi suatu norma mengandung fungsi atau
Misalnya, ketentuan mengenai pemili- han umum
mengandung maksud untuk melindungi kepentingan
berkala dalam Article 68 Konstitusi Amerika Serikat
tertentu, se- hingga ketika ketentuan tersebut
menentukan bahwa pemilihan umum berkala di-
diterapkan, maksud tersebut harus dipenuhi. Penafsiran
selenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
teleologis juga mem- perhitungkan konteks fakta
sebelum masa jabatan anggota Nasional
kemasyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarahkan
Assembly berakhir. Pemilihan umum anggota National
untuk menemukan pertautan pada kehendak dari
Assembly dimaksud diselenggarakan menurut tata cara
pembentuk undang-undang pada waktu perumusannya.
yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya
Maksudnya, lebih diarahkan ke- pada makna aktual atau
ditentukan pula bahwa tanggal penyelenggaraan
makna obyektif norma yang di- tafsirkan, sebagaimana
pemilihan umum itu di- tetapkan dengan keputusan
telah disinggung sebelumnya.
(Presidential decree) dengan ketentuan bahwa sidang
pertama para anggota National Assembly yang baru
12) Metode Penafsiran Holistik terpilih harus sudah diadakan pada hari Kamis kedua
Metode penafsiran holistik mengumakan aspek ke- sesudah terpilih sekurang-kurangnya 2/3 jumlah
seluruhan unsur yang terkait. Teori penafsiran holistik seluruh anggota National Assembly (on the second
mengaitkan penafsiran suatu naskah hukum dengan Thursday following the election of at least two thirds
konteks keseluruhan jiwa dari naskah hukum tersebut. of the total number of Deputies). Sebelum terpilih
Ide yang terkandung di dalam metode ini mengandaikan seorang Ketua National Assembly (President of the
bahwa setiap naskah hukum seperti undang-undang National Assembly), persidangan dipimpin oleh 2
ataupun undang-undang dasar haruslah dilihat sebagai (dua) orang anggota yang tertua usianya.409 Jika
satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat diperhatikan,
untuk umum (integral and integrated constitution or
legis- lation), sehingga kandungan makna yang diatur di
409
dalamnya tidak dapat dipahami pasal demi pasalnya, Article 68 UUD Amerika Serikat itu berbunyi, ”Regular elections to the
melain harus dimengerti sebagai satu kesatuan yang National Assembly shall be held within sixty days prior to the expiration of
the term of the current Assembly. Procedures for elections to the National
menyeluruh (holistik). Assembly shall be prescribed by law. The date of elections shall be fixed by
Presidential decree. The first session of a newly elected National Assembly
408
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 30. shall convene on the second Thursday following the election of at least two
thirds of the total number of Deputies. Until the election of the President of
the National Assembly, its meetings shall be chaired by the Deputy who is

297 298
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
the most senior in age”.

297 298
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat


yang harus diberikan kepada norma hukum yang ditaf-
mengatur mengenai tema yang berkenaan dengan pro-
sirkan haruslah bersifat mendobrak perkembangan se-
sedur penyelenggaraan pemilihan umum.
telah dibelakukannya suatu norma hukum tertentu. Sa-
lah satu ciri penting metode penafsiran ini ialah diabai-
14) Metode Penafsiran Antisipatif atau Futuristik
kannya maksud asli pembentuk undang-undang (the
Metode penafsiran ini dilakukan dengan cara me-
original intent) dari keharusan untuk dijadikan refe-
rujuk suatu rancangan undang-undang yang sudah
rensi. Makna obyektif atau aktual maupun subyektif dari
mendapat persetujuan bersama, tetapi belum disahkan
suatu norma sama sekali tidak dianggap berperan lagi.
secara formil. Kemungkinan lain juga dapat terjadi, mi-
Semua itu dianggap tidak lagi relevan dengan
salnya, suatu rancangan undang-undang sudah disiap-
kebutuhan nyata untuk menegakkan keadilan di
kan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam
lapangan.
parlemen, tetapi diperkirakan ada materi-materi
tertentu yang di- nilai sudah pasti lolos untuk pada
16) Metode Penafsiran Komparatif
saatnya disahkan men- jadi norma hukum yang
Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini se-
mengikat. Jika hakim di pengadilan melihat ke depan
bagai kegiatan menafsirkan dengan cara membanding-
(forward looking) atau antisipatif dan futuristik, ia
kan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan dapat
dapat menerapkan norma- norma hukum yang belum
dilakukan untuk maksud memahami hukum sendiri atau
berlaku secara formil itu dalam memeriksa dan
dapat pula dimaksudkan untuk menemukan
memutus sesuatu kasus yang untuk tujuan mewujudkan
prinsip- prinsip yang berlaku umum dari objek-objek
keadilan yang nyata mem- butuhkan referensi yang
yang diper- bandingkan. Dengan demikian,
bersifat futuristik tersebut. Dengan cara demikian, maka
perbandingan dapat di- lakukan antar dua objek atau
para hakim dapat melihat nilai-nilai keadilan dengan
antar banyak objek. Di samping itu, perbandingan
kacamata yang memandang jauh ke masa yang akan
dapat dilakukan dengan cara membandingkan unsur-
datang. Dengan kata lain, hakim dapat menilai dan
unsur yang sama dan/atau unsur-unsur yang
menerapkan suatu norma hukum yang ada dengan
berlainan dari objek-objek yang diper- bandingkan satu
menafsirkannya dari sudut pandang hukum baru.
sama lain. Hasil dari proses perban- dingan itu pada
akhirnya adalah untuk diterapkan dalam menyelesaikan
15) Metode Penafsiran Evolutif-Dinamis suatu kasus atau permasalahan hukum dengan seadil-
Istilah penafsiran yang demikian digunakan oleh adilnya dan setepat-tepatnya.411
Visser’t Hoft dikarenakan bahwa metode penafsiran evo-
lutif-dinamis ini dilakukan karena adanya 17) Teori Penafsiran Filosofis
perubahan pandangan dalam dinamika kehidupan Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada
masyarakat. 410 Situasi dan kondisi kemasyarakatan segi what is the underlying philosophical thought yang
secara luas mengala- mi perubahan yang mendasar. terkandung dalam perumusan teks hukum yang ditaf-
Oleh karena itu, makna sirkan. Penafsiran ini mempunyai fokus perhatian pada
aspek filosofis yang terkandung dalam norma hukum

299 300
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

410 411
Visser’t Hoft, Op.Cit. Jazim Hamidi, Op. Cit.

299 300
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

yang hendak ditafsirkan. Misalnya, ide negara hukum


kasus-kasus yang tidak memerlukan pendekatan
dalam Konstitusi Republik V Perancis Art. 66: “No
interdi- siplin yang menyeluruh, melainkan cukup
per- son may be detained arbitrarily”. Tidak
dengan meng- gunakan bantuan penafsiran menurut
seorangpun yang dapat ditahan hanya didasarkan atas
suatu cabang ilmu di luar ilmu hukum. Misalnya, suatu
kebijaksanaan penguasa. Demikian pula ide negara
pembuktian untuk menentukan seseorang bersalah atau
hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
tidak yang semata- mata tergantung kepada penafsiran
menyatakan, “Negara Indone- sia adalah Negara
yang terdapat dalam ilmu kedokteran. Untuk
Hukum”, ide demokrasi terpusat dalam Konstitusi
menerapkan suatu norma hu- kum terhadap kasus yang
Cina (democratic centralism), dan lain sebagainya. Ide-
konkrit tergantung kepada penafsiran menurut ilmu
ide yang dirumuskan itu tidak dapat di- pahami hanya
kedokteran, sehingga penaf- siran tersebut dapat
dengan pendekatan biasa, melainkan harus
dikatakan dilakukan dengan meng- gunakan tafsir ilmu
dimengerti secara mendalam, yaitu pada latar be-
lain di luar ilmu hukum. Metode penafsiran yang
lakang filosofis tumbuhnya ide negara hukum itu sendiri
demikian inilah yang disebut sebagai penafsiran
dalam sejarah perkembangan umat manusia, baik yang
multidisiplin, bukan interdisiplin seperti yang sudah
terkait dengan konsep rule of law maupun dengan
diuraikan di atas.
kon- sep rechtsstaat.
20) Metode Penafsiran Kreatif (Creative Interpretation)
18) Metode Penafsiran Interdisipliner
Menurut Dworkin, interpretasi kreatif (creative
Menurut Pitlo dan Sudikno, menggunakan logika
interpretation) dapat digunakan, tetapi hanya
penafsiran dengan mengunakan bantuan banyak cabang
terhadap kasus khusus dari interpretasi
ilmu pengetahuan, banyak cabang ilmu hukum
conversational. Penafsi- ran ini dimaksudkan untuk
sendiri, ataupun dari banyak metode penafsiran, juga
mengungkap maksud penyu- sun atau maksud-maksud
dianjurkan. Metode ini dianggap penting, karena banyak
dalam tulisan. Misalnya, novel atau tradisi tertentu
kasus yang kompleks yang tidak dapat dipecahkan jika
masyarakat yang biasanya diung- kapkan masyarakat
kita hanya mendekatinya dari satu sudut pandang
dalam percakapan sehari-hari. Bah- wa interpretasi
saja. Apalagi, untuk tujuan mewujudkan keadilan,
kreatif hanya untuk kasus khusus pe- nafsiran lisan.
kadang-kadang per- masalahan yang dihadapi sangat
Interpretasi kreatif bukanlah sekedar me- nangkap
kompleks sifatnya dan memerlukan pendekatan-
makna dalam percakapan melainkan meng-
pendekatan yang interdisiplin. Oleh karena itu, metode
konstruksikan atau menyusun makna. Penafsiran kreatif
penafsiran demikian disebut se- bagai metode penafsiran
dalam pandangan konstruktif adalah interaksi
interdisipliner.412
antara maksud dan tujuan.413
19) Metode Penafsiran Multidisipliner
21) Metode Penafsiran Artistik
Metode penafsiran multidisiplin ini berbeda dan
Sebagaimana dikemukakan oleh Dworkin, melaku-
dibedakan dari penafsiran interdisiplin, sebagaimana
kan kegiatan penafsiran dengan cara menemukan mak-
yang sudah dikemukakan di atas. Kadang-kadang ada
sud penulis bukanlah persoalan yang mudah dan seder-

412 413
Ibid. Dworkin, Op. Cit.

301 302
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

hana. Oleh karena itu, berupaya untuk memahami suatu


makna yang diucapkan oleh orang lain dalam berbagai
maksud, dilakukan melalui pemaknaan ungkapan
peristiwa yang secara tepat untuk makna dalam
kesa- daran mental. Penafsiran artistik tidak selalu
masyara- kat, misalnya sopan-santun. Sutandyo dalam
bermaksud mengidentifikansikan beberapa jenis
salah satu tulisannya semiotika, mengemukakan tentang
kesadaran pikiran dalam menggunakan pengaruhnya
the semio- tic jurisprudence. Semiotika mengkaji
terhadap pikiran pe- nyusun ketika dia mengatakan,
tentang tanda- tanda kebahasaan yang tidak lain dari
menulis, atau melakukan sesuatu. Dalam hal ini,
hasil konsep- tualisasi oleh subjek-subjek atau
maksud selalu lebih kompleks dan problematikal.414
intersubjek.
22) Metode Penafsiran Konstruktif
Dalam hubungannya dengan penafsiran, dapat
Metode penafsiran konstruktif ini, menurut Dwor-
dikemukakan pula pendapat Jerzy Wroblewski yang me-
kin, dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, tahap ngembangkan meta-teori rasionalistik dan
pra-penafsiran dimana aturan-aturan dan batasan-bata-
relativistik mengenai penafsiran dan implementasi
san yang digunakan untuk memberikan isi tentatif me- undang-undang (legal statutes), yaitu teori tentang
ngenai praktik yang diperkenalkan. Kedua, adalah tahap
interpretasi atau teori tentang ideologi-ideologi
interpretasi sendiri, di mana penafsir menjustifikasi
penafsiran undang-undang.415
unsur-unsur pokok yang timbul dari praktik. Justifikasi
Dalam penafsiran dikenal pula adanya tipe-
tidak perlu semua harus sesuai bagi penafsir. Menjadi
tipe argumen-argumen yang digunakan, (MacCormick
sa- ngat penting dalam hal ini, bahwa mampu melihat
and Summers, 1991), yaitu:416
diri- nya sendiri sebagai penafsir praktis dan
1) The argument from ordinary meaning, atau meng-
menemukan suatu yang baru. Ketiga, setelah tahap
gunakan argumen makna umum yang berlaku dalam
penafsiran, penaf- sir menyesuaikan pendiriannya
masyrakat;
tentang praktik sebenar- nya atau menyelesaikan.
2) The argument from technical meaning, atau meng-
gunakan argumen teknis yang dipakai dalam istilah-
23) Metode Penafsiran Konversasional. istilah teknis;
Metode ini sebenarnya agak berada di luar 3) The argument from contextual-harmonization;
kebiasa- an penafsiran yang biasa digunakan. Penafsiran 4) The argument from precedent;
konver- sasional (conversational interpretation) ini 5) The argument from analogy;
bukan di- maksudkan untuk menjelaskan suara 6) The argument from relevant principles of law;
seseorang. Penaf- siran ini menandai makna dalam 7) The argument from history;
menjelaskan motif- motif dan maksud-maksud 8) The argument from purpose;
mengenai makna yang dira- sakan pembicara, dan 9) Substantive reasons;
menyimpulkan sebagai pernyataan tentang maksud 10) The argument from intention.
pembicara dalam mengatakan apa yang dia perbuat.
Penafsir hendak menemukan maksud atau
415
Jerzy Wroblewsky, dalam Aleksander Peczenik, “Kinds of Theory of
414
Ibid. Legal Argumentation”, http://www. ivr2003.net/Peczenik_Argumenta-
tion.htm.
416
Aleksander Peczenik, Op. Cit.

303 304
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

William Eskrige dalam bukunya mengembangkan practice is the theory that puts legal practice in its ‘best
teori dinamika penafsiran undang-undang (dynamic light’. By ‘best light’ Dworkin means a measure of de
theory of statutory interpretation) dengan menyatakan, desirability or goodness: the true theory of legal prac-
“…that statutory interpretation changes in response to tice, says Dworkin, potrays the practice at its most
new political aligments, new interpreters, and new desireable. Now why would that be the case? What’s
ideo- logies”. Sementara Aulis Aarnio mengatakan, between the desirability of a theory and its truth?”.
tugas dogmatik hukum adalah menginterpretasikan dan
men- sistematisasi norma-noma hukum (The tasks of Terlepas dari segala macam metode atau teori
legal dogmatic are interpretation and systematization penafsiran di atas, suatu hal yang perlu menjadi per-
of legal norms). Dua kebutuhan pokok dalam hatian serius adalah bahwa hukum, baik yang tertulis
penafsiran hukum, menurutnya, adalah rasionalitas dan maupun tidak tertulis, adalah konsep yang berasal dari
aksepta- bilitas. Sistematisasi bermaksud melakukan kata-kata yang dahulunya diucapkan oleh satu, dua,
reformulasi norma-norma hukum dalam pengungkapan atau lebih banyak orang yang kemudian disusun dalam
abstrak da- lam hubungannya terhadap konsep-konsep kali- mat. Tiap-tiap perkataan itu di dalamnya
dasar. mengandung beberapa atau bahkan banyak makna,
Sistematisasi adalah pembawa tradisi hukum. sehingga hukum dalam konteks norma sesungguhnya
Dikatakan oleh Aulis Aarnio, interpretasi adalah adalah simbol- simbol atau tanda-tanda yang disusun
aktivitas hermenutik yang menjustifikasi dalam sedemikian rupa dalam bentuk pasal yang dituangkan
hubungannya terhadap audien hukum, yang dalam rumusan undang-undang dasar, undang-undang,
dikarakterisasikan sebagai esensia secara relativistik atau peraturan- peraturan tertulis lainnya.
dalam pengertian mengakui kemungkinan perselisihan Hukum yang tertulis dalam batas-batas tertentu
tentang evaluasi. Dworkin mengatakan: dapat ditelusuri maksudnya, meskipun adakalanya keti-
“The adjudicative principle of integrity instructs judges ka harus diterapkan pada suatu kasus dalam banyak
to identify legal rights and duties, so far as possible, on situasi dan kondisi sosial ternyata tidak mudah.
the assumption that they were all created by a single Korupsi, misalnya, adalah kata yang memerlukan
author — the community personified – expressing a kecermatan dalam penerapannya meskipun sudah jelas
coherent conception of justice and fairness. […] Accor- rumusannya. Demikian pula kata “jasa” dalam konteks
ding to law as integrity, propositions of law are true if
hukum, apakah orang yang menerima imbalan atas
they figure in or follow from the priciples of justice,
fairness, and procedural due process that provide the jasanya membantu memperkenalkan kepada panitera
best contructive interpretation of the community’s kepala di pengadilan dapat dianggap terlibat dalam
legal practice”. kejahatan, jikalau ternyata orang diperkenalkan itu
kemudian menyuap penitera tersebut.
Selanjutnya Dworkin mengatakan pula: Dalam penerapan hukum selain penafsiran, seperti
“Law as integrity […] holds that people have as legal telah diuraikan sebelumnya, dikenal pula kegiatan pe-
rights whatever rights are sponsored by the priciples nemuan hukum atau metode konstruksi. Metode ini
that provide the best justification of legal practice as a digunakan ketika juris (hakim, penuntut umum, dan
whole. Dworkin claim’s … that the true theory of legal

305 306
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

pakar hukum) menghadapi ketiadaan atau kekosongan


B. Hermeneutika Hukum
aturan untuk menyelesaikan persoalan konkrit.
Pene- muan hukum secara lebih umum pada prinsipnya Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut
adalah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau
yang dipa- parkan dalam peristilahan hukum. mema- hami.418 Hakikat memahami sesuatu adalah yang
Tujuannya adalah memberi jawaban terhadap disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau
persoalan-persoalan dan mencari penyelesaian sengketa metode me- mahami atau metode interpretasi
konkret.417 Tentang pene- muan hukum ini sebagian dilakukan terhadap teks secara holistik dalam
pakar memisahkannya dari penafsiran hukum, bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan
sebagian lagi menganggapnya ter- masuk metode kontekstualisasi. 419 Memahami se- suatu adalah
penafsiran hukum. menginterpretasi sesuatu agar mema- haminya.
Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan, se- perti
Konstruksi hukum menurut teori dan praktik dapat dikutip oleh Arief Sidharta,420 Ilmu Hukum adalah
dilakukan dengan 4 (empat) metode, yaitu: sebuah eksamplar Hermeneutik in optima forma,
1) Analogi atau Metode argumentum per analogium. yang diaplikasikan pada aspek kehidupan
Cara kerjanya, metode ini diawali dengan pencarian bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkan Ilmu Hukum
esensi umum suatu peristiwa hukum yang ada dalam ketika mengha- dapi kasus hukum, maka kegiatan
undang-undang. Esensi yang diperoleh kemudian di- interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks
coba terhadap peristiwa yang dihadapi. Apakah yuridis, tetapi juga ter- hadap kenyataan yang
peris- tiwa itu memiliki kesamaan prinsip dengan menyebabkan munculnya masa- lah hukum itu sendiri.
prinsip yang terdapat dalam esensi umum tadi. Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara
Umpamanya apakah seorang yang “memancing penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat per-
belut” dapat diberi sanksi, sementara larangan yang bedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau
tertera di sudut kolam berbunyi “dilarang ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan inter-
memancing ikan”; pretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang ber-
2) Metode Argumentum a Contrario. Ini digunakan beda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pan-
jika ada ketentuan undang-undang yang mengatur dangan penafsir sendiri. Kedua pandangan itu
hal tertentu untuk peristiwa tertentu, sehingga kemudian diramu dengan berbagai aspek yang
untuk hal lain yang sebaliknya dapat ditafsirkan dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian
sebaliknya; hukum, prediktabi- litas, dan kemanfaatan.
3) Metode penyempitan hukum. Misalnya “perbuatan Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan
melawan hukum” dapat dipersempit artinya untuk manu- siawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks
peristiwa tertentu yang termasuk perbuatan hukum yang dihasilkan olehnya. 421 Gregory Leyh
melawan hukum, sehingga terdapat peristiwa yang mengatakan,
dapat di- kategorikan perbuatan melawan hukum;
4) Fiksi Hukum. 418
B. Aref Sidharta, dalam kata Pengantar, Jazim Hamidi, Op Cit., hal. xi-xv.
419
Hamidi, Op. Cit., hal. 45.
420
Ibid., hal. xiii.
421
417
Ibid., hal. 39.
J.A.Pointer, Op.Cit.
307 308
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali


pribadi anggota badan pembentuk undang-undang,
dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian
tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan
membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh,
mayo- ritas yang paling mempengaruhi suatu undang-
di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan
undang. Pendukung kelompok-kelompok kepentingan
para ahli humaniora.422 Tujuan hermeneutika hukum itu
boleh jadi menyembunyikan tujuan yang sebenarnya
ada- lah untuk menempatkan perdebatan kontemporer
dari legislasi.
ten- tang penafsiran atau interpretasi hukum di dalam
Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya,
ke- rangka hermeneutika pada umumnya.423 menu- rut Leibholz, Mahkamah Konstitusi Jerman
Dalam hubungan dengan penafsiran atau adalah mahkamah yang bebas, membantu dengan
inter- pretasi, Alexander Peezenick menyatakan, memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan
“...statements are partly a result of the author’s menjalankan fungsi administrasi hukum dalam
philosophical back- ground, partly a useful tool for
pengertian materil.426 Putusan-putusan Mahkamah
political debate”.424 Pan- dangan konvesional dalam Konstitusi Jerman disebut hukum yang sesungguhnya
penafsiran undang-undang menganggap bahwa (real law). Keputusan-kepu- tusannya merupakan
pengadilan harus berupaya me- nemukan tujuan putusan yang murni bersifat hukum, di mana
atau maksud dari pembuat undang- undang (the hakim-hakim tidak melakukan pene- muan-penemuan
framers’ intent). Penafsiran demikian se- jalan di luar batas substansi hukum dasar, melainkan
dengan pandangan bahwa proses pembentukan mengungkapkan makna esensi hukum seba- gai suatu
undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai- pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga
nilai di antara berbagai kelompok kepentingan. Bagi tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi
pemben- tuk undang-undang, kesepakatan adalah
produk tawar menawar (political bargain).
Metode serupa juga digunakan dalam penafsiran private contracts are appropriate (tepat). The process of dicovering legisla-
perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud tive intent, however, is more difficult than that of discovering the intent
behind an ordinary contract because of the plural nature of enacting body.
pembentuk undang-undang, bagaimanapun, lebih sulit The statements of individual legislators, even of legislative commitees, can-
ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi not automatically be assumed to express the views of the ‘silent majority’
kontrak-kontrak perdata, sebab badan pembuat that is necessary for enacment. Furthermore, the proponents (pendukung) of
undang memiliki ciri kemajemukan. 425 Pernyataan- interest groups legislation may conceal the true objective of the legislation
pernyataan in order to increase the information cost of opponents. Yet to some extent at
least, this reticense is self-defeating. What is concealed from the public is
likely to be cocealed from the judges, leading the construct a public interest
422
Ibid., hal. 42. rationale that may blunt the redistributive thrust of the legislation (but
423
Ibid., hal. 45. sometimes
426
exaggerate it-when?).
424
Peczenik, Op. Cit. G. Leibholz , Politics and Law, (Leiden: A.W. Sythoff, 1965), hal. 271-
425
Posner, Op. Cit., hal. 576-577. The conventional view of statutory 276. “The Federal Constitutional Court is called upon to realize law; its
interpretation is that the court endeavors (mengusahakan) to discover decisions are,.., genuine judicial decisions, where the judges do not in their
(menemukan) and effect to the itentions of the enacting legislature. This is findings go beyond the limits of the content of the Basic Law, but express in
consisten with viewing the legislative process as one dominated by deals their findings the essential meaning of that law, as it already stands.
(kesepakatan) among intrest groups; in this view legislative enacment is a Written constitutional law too is subject to changes, and the Federal Consti-
bargained sale and the same methods used in the interpretation of ordinary tutional Court is called upon in a special degree to participate in these
changes throught he exercise of its judicial functions”.

309 310
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-


hukum Islam dalam teori dan praktik sampai sekarang.
perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisial-
Oleh karena itu, patut dipertanyakan, mengapa sudah
nya.
berabad-abad lamanya, ilmu hukum modern belum juga
Apa perlunya kita mempersoalkan mengenai
mengembangkan cabang ilmu yang tersendiri di bidang
penaf- siran konstitusi dan hermeneutika hukum di
penafsiran hukum. Padahal, cabang dan sub-cabang
sini? Saya sendiri berpendapat bahwa ilmu hukum
atau bahkan ranting ilmu pengetahuan yang timbul atau
kontemporer se- benarnya telah membawa dalam
tum- buh dari ilmu hukum sudah sangat banyak
dirinya sendiri kele- mahan-kelemahaan yang bersifat
jumlahnya.
bawaan. Kegiatan in- terpretasi atau penafsiran,
Misalnya, di bidang hukum pidana, telah sejak la-
merupakan akitivitas yang inheren terdapat dalam
ma muncul cabang ilmu yang secara khusus mengkaji
keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum
ke- jahatan (crime) sebagai fenomena ilmiah yang
itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak
tersendiri, yaitu disebut Criminology. Dari Criminology
zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga
ini bahkan berkembang pula cabang ilmu yang secara
berusaha memberikan tempat yang khusus kepada
khusus meng- kaji korban kejahatan, yaitu disebut
kegiatan interpretasi itu sebagai pusat perhatian yang
Victimology sebagai cabang ilmu penunjang
utama. Bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan
(hulpwetenschap). Akan tetapi, sampai sekarang, belum
dengan soal kata-kata, sehingga aktivitas tafsir-menafsir
juga berkembang adanya cabang ilmu yang khusus
menjadi sesuatu yang sangat sentral di dalamnya.
mengkaji metode-metode penafsiran hukum dan
Jika belajar dari pengalaman tradisi sistem hukum
konstitusi.
Islam, akan didapati bahwa dalam rangka
Syukurlah bahwa sejak beberapa dasawarsa
perkembangan ilmu fiqh dalam pengertian ilmu hukum
terak- hir abad KE-20, dunia ilmu pengetahuan mulai
(Islam), telah berkembang luas dengan adanya ilmu
memper- kembangkan hermeneutics sebagai salah satu
ushul fiqh (filsafat hukum Islam). Namun bersamaan
cabang fil- safat yang memusatkan perhatian
dengan hal itu, berkembang pula kegiatan penafsiran
mengenai kegiatan penafsiran. Oleh para ahli hukum,
terhadap al-Quran dan al-Hadits, sehingga membentuk
hermeneutics itu di- coba untuk diterapkan di dunia
suatu cabang ilmu pengetahuan yang tersendiri, di
ilmu hukum. Saya sen- diri menyambut baik
samping ilmu bahasa yang didukung oleh ilmu manti
perkembangan ini dengan harapan hendaknya ilmu
(ilmu logika), ma’ani, bayan, dan sebagainya. Ilmu
hukum dapat mengembangkan kreatifi- tasnya dalam
Tafsir itu terkait erat dengan aktivitas penafsiran
bidang metodologi penafsiran. Kegiatan interpretasi
terhadap al-Quran sebagai ilmu penunjang bagi
atau penafsiran hukum tentu dapat me-
kegiatan ilmiah di bidang pe- nafsiran hukum. Bahkan,
ngembangkan epistimologinya sendiri untuk tumbuh
terkait dengan hal ini berkem- bang pula ilmu hadits
sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan hukum
yang khusus disertai oleh “ilmu mustholah al-hadits”
yang tersendiri. Di dalamnya, bahkan dapat pula
yang mempelajari latar belakang hadits-hadits Nabi
dikem- bangkan suatu ranting ilmu yang tersendiri,
Muhammad SAW.
yaitu ilmu penafsiran konstitusi atau the science of
Dalam sejarah, ilmu tafsir itu telah memberikan
constitutional interpretation.
sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan Dengan berkembangnya ilmu tafsir hukum dan
sistem konstitusi yang tersendiri, para sarjana hukum dapat di-
lengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang
311 312
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dapat diandalkan dalam bidang penafsiran hukum dan


konstitusi. Kegiatan penafsiran hukum dan interpretasi
konstitusi mungkin saja beraneka ragam metode dan
pola kerjanya, tergantung mazhab pemikiran yang men-
jadi paradigma konseptual yang melandasinya atau ka-
sus-kasus konkrit yang dihadapinya. Namun, berbagai
ragam metode penafsiran tersebut akan menyediakan
banyak alternatif yang rasional dan objektif untuk
dipilih dalam memecahkan suatu kasus konkrit yang
dihadapi, sehingga perbedaan penafsiran tidak
didasarkan hanya atas perbedaan kepentingan dari para
penafsir yang ter- libat.
Jikalau di antara satu sarjana hukum dengan
sarjana hukum yang lain berbeda pendapat dalam
me- mahami sesuatu norma hukum, adalah bukan
karena perbedaan kepentingan di antara mereka,
melainkan karena perbedaan mazhab atau aliran
pemikiran dan metodologi penafsiran yang dianut.
Oleh karena itu, tidak perlu lagi adanya adagium
yang bersifat men- cemooh seolah-olah, jika terdapat
2 (dua) orang sarjana hukum berdebat, maka akan
menghasilkan 3 (tiga) pendapat. Seolah-olah para
sarjana hukum itu sendiri memang tidak memiliki
metodologi yang jelas dalam memahami dan
menafsirkan sesuatu peraturan hukum yang dikaitkan
dengan kasus konkrit yang dihadapi.
Oleh karena itulah, maka saya mengusulkan agar
para ahli hukum dan ahli hukum tata negara dapat
menyumbang ide dan gagasan bagi upaya mengembang-
kan cabang ilmu yang tersendiri di bidang penafsiran
hukum dan konstitusi di masa yang akan datang sebagai
salah cabang ilmu yang bersifat penunjang (hulpweten-
shap). Sebagai cabang ilmu penunjang, ilmu penafsiran
hukum itu akan sangat membantu semakin
berkembang- nya ilmu hukum pada umumnya, dan ilmu
hukum tata negara pada khususnya, baik di Indonesia
sendiri mau- pun di dunia ilmu hukum pada umumnya.

313 314
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

BAB VI
guru di bidang ini di tingkat sekolah menengah juga
PRAKTIK HUKUM TATA NEGARA
kurang berhasil membangun daya tarik keilmuan yang
tersendiri, baik karena penguasaan mereka terhadap
masalah yang memang kurang atau karena
ketidakmam- puan ilmu hukum tata negara sendiri
A. Pergeseran Orientasi Politis ke Teknis untuk meyakinkan mengenai daya tarik ilmiah dan
Selama lebih dari 50 tahun sejak Indonesia mer- kebergunaan praktisnya, maka studi hukum tata negara
deka, atau tepatnya dari tahun 1945 sampai tahun di mana-mana menjadi kurang diminati.
1998 ketika terjadinya reformasi nasional (53 tahun Oleh karena itu, pada bagian terakhir buku ini,
sejak kemerdekaan), bidang ilmu hukum tata negara perlu digambarkan secara selintas mengenai dimensi
atau con- stitutional law agak kurang mendapat dan lahan praktik bagi ilmu Hukum Tata Negara itu
pasaran di kala- ngan mahasiswa di Indonesia. sebenar- nya. Sebelum menguraikan hal itu, perlu
Penyebabnya ialah bahwa selama kurun waktu tersebut, diketahui pula mengenai perubahan orientasi yang
orientasi bidang studi hu- kum tata negara ini sangat terjadi dalam corak keilmuan bidang hukum tata negara
dekat dengan politik, sehing- ga siapa saja yang dalam perkemba- ngannya di Indonesia. Sejak sebelum
berminat menggelutinya sebagai bidang kajian yang kemerdekaan sam- pai dengan kurun waktu lebih dari
rasional, kritis, dan objektif, di- hadapkan pada 50 tahun sejak kemer- dekaan, bidang kajian hukum
resiko politik dari pihak penguasa yang cenderung tata negara telah berkem- bang sedemikian rupa
sangat otoritarian. Selama masa pemerin- tahan sehingga menjadi sangat dipe- ngaruhi oleh suasana
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, siklus politik yang melingkari aktivitas keilmuannya. Barulah
kekuasaan mengalami stagnasi, sehingga dinamika de- setelah masa reformasi, orientasi yang demikian itu
mokrasi tidak dapat tumbuh dengan sewajarnya yang dapat dikatakan secara perlahan mulai mengalami
memungkinkan berkembangnya pandangan-pandangan perubahan yang signifikan. Mengapa demi- kian?
kritis mengenai persoalan-persoalan politik Seperti sudah diuraikan di atas, Hukum Tata
ketatanega- raan. Akibatnya, menjadi sarjana hukum Nega- ra dapat pula disebut dengan istilah Hukum
tata negara bukanlah cita-cita yang tepat bagi Konstitusi sebagai terjemahan dari istilah
kebanyakan generasi muda. Constitutional Law da- lam bahasa Inggris. Oleh sebab
Resiko kedua adalah bahwa bidang kajian hukum itu, bidang kegiatannya selalu berkaitan dengan
tata negara ini dianggap sebagai lahan yang kering, konstitusi. Namun dalam prak- tiknya selama ini,
tidak begitu jelas lapangan kerja yang dapat dimasuki. bentuk konkrit aktivitas Hukum Tata Negara atau
Itulah sebabnya setelah kurikulum fakultas hukum Hukum Konstitusi itu biasanya selalu ber- hubungan
menyedia- kan program studi hukum ekonomi, rata-rata dengan kegiatan-kegiatan politik di sekitar Majelis
mahasiswa fakultas hukum di seluruh Indonesia Permusyawaratan Rakyat atau di sekitar pem- bentukan
cenderung memilih program studi hukum ekonomi atau undang-undang atau kegiatan legislasi yang dilakukan
hukum perdata umum daripada program studi hukum oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama dengan
tata negara. Di samping kedua resiko tersebut, para Presiden. Hukum Tata Negara pada umumnya
dosen dan guru- membahas persoalan-persoalan akademis yang
berkaitan

315 316
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dengan undang-undang dasar, yang dalam praktiknya


vitas hukum tata negara di bidang peradilan kurang
berhubungan erat dengan fungsi-fungsi legislatif di DPR
mendapat perhatian yang utama.
atau fungsi-fungsi konstitutif di lembaga MPR. Akibat-
Keadaan yang demikian sangat berbeda dari
nya, dunia Hukum Tata Negara itu seolah selalu ber-
bidang Hukum Administrasi Negara yang relatif lebih
hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut-
berkem- bang dinamis sesuai dengan hakikatnya
paut dengan dinamika politik ketatanegaraan.
sebagai bidang hukum yang melihat negara dalam
Teori dan pemikiran akademis di perguruan tinggi
keadaan bergerak (staat in beweging). Di bidang hukum
bermuara hanya kepada akitivitas politik di DPR dan
administrasi, sejak lama telah ada sistem peradilan tata
MPR, dan sangat jarang berhubungan dengan praktik di
usaha negara. Sehingga, lahan untuk praktik bagi para
pengadilan. Oleh karena itu, sifat-sifat yang berkembang
sarjana hukum administrasi negara itu relatif tersedia.
dalam perkembangan ilmu hukum tata negara menjadi
Meskipun, per- kembangan hukum administrasi negara
sangat politis, karena memang selalu berhubungan
itu sendiri se- bagai bidang ilmu juga tidak
dengan aktivitas di lembaga-lembaga politik. Para sar-
menggembirakan dengan adanya pengadilan tata usaha
jana hukum tata negara (constitutional lawyers) juga
negara, tetapi setidak- tidaknya, lahan praktik untuk
kebanyakan dipengaruhi pula oleh cara berpikir politis.
ilmu hukum administrasi negara itu tersedia dengan
Norma hukum cenderung dilihat dari kacamata
baik. Dengan demikian, aspek-aspek teori dan praktik
seharus- nya, bukan yang nyatanya mengatur kasus-
hukum administrasi nega- ra itu dapat dikembangkan
kasus konkrit yang dihadapi. Setiap kali orang membaca
secara bersamaan.
dan me- nafsirkan undang-undang, maka yang muncul Sekarang, setelah masa reformasi, sistem ketata-
di pikiran- nya adalah apa yang seharusnya ada atau apa negaraan yang kita anut berdasarkan Undang-Undang
yang ia inginkan ada dalam undang-undang itu. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah me-
Akibatnya, para sarjana hukum tata negara tak ubahnya ngalami perubahan yang fundamental. Mahkamah
bagaikan para politisi hukum yang cenderung Kon- stitusi telah resmi terbentuk sejak Agustus
mengambil posisi sebagai orang yang memperjuangkan 2003. 427 Dengan adanya Mahkamah Konstitusi ini
nilai-nilai hukum daripada berpikir sebagai jurist yang berarti tersedia pula lahan praktik di bidang yudisial bagi
memahami dan mencoba untuk menerapkannya apa bidang Hukum Tata Negara di Indonesia. Saatnya
adanya terhadap kasus kon- krit yang dihadapi. sekarang, para sarjana dan para calon sarjana bidang
Kecenderungan yang demikian itu terjadi, karena
hukum tata negara untuk mengembangkan tradisi
bidang hukum tata negara tidak memiliki lahan praktik
pemikiran baru yang lebih ber- sifat juristik. Dengan
selain di lingkungan lembaga politik. Pokok persoalan
demikian, pengaruh politik dalam kajian Hukum Tata
yang menjadi objek perhatiannya hanya terkait dengan
Negara dapat diimbangi oleh pe- ngaruh cara berpikir
MPR, DPR, (dan sekarang ada pula DPD), fungsi peme-
yang lebih juristik itu.
rintahan pusat dan daerah, Partai Politik dan Pemilihan
Dalam semua wilayah kehidupan kita, baik dalam
Umum, persoalan kewarganegaraan, dan aspek-aspek
ranah negara (state) maupun dalam ranah masyarakat
kegiatan politik ketatanegaraan lainnya. Sedangkan,
akti-
427
Pembentukan tersebut setelah disahkannya UU No. 24 Tahun 2003 ten-
tang Mahkamah Konstitusi, yang tepatnya jatuh pada tanggal 13 Agustus
2003.

317 318
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

madani (civil society), dan bahkan dalam dinamika


yang khusus, sehingga mana yang konstitusional dan
pasar (market), dibutuhkan dukungan banyak sarjana
mana yang inkonstitutional tidak dapat ditentukan se-
hukum tata negara yang dapat mengawal aspek-aspek
cara adil, kecuali hanya ditentukan secara sepihak saja
konstitu- sionalitasnya. Mereka itu dapat diharapkan
oleh pemegang kekuasaan pemerintahan. Sekarang, ke-
membantu menjawab bagaimana partai politik dan
empat bidang kegiatan itu dapat diselenggarakan secara
organisasi ke- masyarakatan dapat berperan dalam
simultan dan seimbang.
membangun bu- daya kewarganegaraan yang sadar
Upaya pembentukan hukum konstitusi bersifat
konstitusi, dan bagai- mana di dalam kehidupan
evolving, terus tumbuh dan berkembang.
internal organisasi-organisasi itu sendiri dapat pula
Undang- Undang Dasar 1945 telah mengalami 4
tumbuh budaya konstitusi seperti Anggaran Dasar
(empat) kali pe- rubahan, dan tetap terbuka untuk terus
sebagai konstitusi organisasi dapat benar-benar menjadi
mengalami peru- bahan lagi di waktu-waktu yang akan
pegangan dalam kegiatan berorga- nisasi. Semua
datang, tergantung kebutuhan dan kemungkinan.
bidang-bidang ini memerlukan dukungan expertise dari
Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh K.C.
kalangan yang bergelut dengan aspek- aspek hukum
Wheare, upaya penyempurna- an atas kekurangan-
konstitusi dalam arti yang luas.
kekurangan yang terdapat di dalam UUD 1945
Di samping itu, kegiatan hukum tata negara itu
tersebut, juga dapat terus dilakukan, baik me- lalui
sendiri dalam arti yang lebih spesifik, dapat pula lebih
formal amendment, constitutional convention,
berkembang secara seimbang di bidang-bidang (i)
ataupun melalui judicial interpretation. Di samping
pembentukan hukum konstitusi, (ii) penyadaran hukum
itu, proses pembentukan undang-undang dan peraturan
konstitusi, (iii) penerapan hukum konstitusi, dan (iii)
per- undang-undangan lainnya menurut prosedur
pe- radilan hukum konstitusi. Selama masa Orde Baru
yang di- tentukan oleh UUD 1945 juga terus
yang lalu, bidang kegiatan yang diutamakan hanya yang
dilakukan, sehingga dengan demikian, proses
ke- dua, yaitu penyadaran hukum konstitusi, yaitu
pembentukan hukum konsti- tusi itu terus berkembang
melalui kegiatan penataran Pedoman, Penghayatan, dan
dinamis dalam rangka penata- an sistem
Penga- malan Pancasila (P4). Sedangkan kegiatan
ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik di masa
pertama, yaitu pembentukan norma-norma hukum
yang akan datang.
konstitusi, meski- pun terus menerus dilakukan melalui
Namun, bersamaan dengan itu, pembentukan
pembentukan undang-undang dan peraturan norma hukum itu di atas kertas tentu tidaklah cukup.
perundang-undangan lainnya, tetapi ide pembentukan Pembentukan norma hukum di atas kertas itu harus
hukum itu hanya ter- batas kepada undang-undang ke di- lengkapi dengan upaya penyadaran yang luas,
bawah. Sedangkan, ide perubahan terhadap undang- sehingga apa yang tertulis akan dipahami dengan
undang dasar sama sekali ditabukan. persepsi yang sama oleh semua subjek hukum tata
Kegiatan penerapan hukum konstitusi juga sangat
negara yang ada. Setiap warga negara perlu
terbatas, karena semuanya diukur dari kehendak Pre-
disadarkan akan hak dan ke- wajiban asasinya
siden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
masing-masing sebagai warga negara, yaitu sebagai
negara. Lebih-lebih dalam upaya penegakan hukum
subjek dalam hukum tata negara Indonesia berdasarkan
kon- stitusi itu sendiri tidak tersedia mekanisme
UUD 1945. Bahkan, menurut saya, proses
peradilan
pembentukan hukum konstitusi yang baik adalah apabila
norma hukum yang tertulis secara tekstual di atas kertas
319 320
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

undang-undang dasar itu sudah menjadi bagian dari


Bahkan, dapat dikatakan, sejak umat manusia ber-
kesadaran umum warga negara tentang norma-norma
kenalan dengan gagasan Mahkamah Konstitusi pada
yang tertuang dalam konstitusi tertulis itu sendiri.
ta- hun 1920-an, luas sekali pengaruhnya terhadap
Sebaliknya, bagi seorang ahli hukum konstitusi
perkem- bangan teori dan praktik dalam hukum tata
yang baik, norma hukum yang terkandung dalam kon-
negara di seluruh dunia. Pelembagaan ide peradilan
stitusi yang tertulis itu haruslah dibaca sebagai bagian
konstitusi ini melanjutkan apa yang telah dirintis
dari persepsi dan kesadaran umum segenap warga ne-
oleh Ketua Mah- kamah Agung Amerika Serikat, John
gara tentang norma hukum yang terkandung dalam
Marshall, dengan ide pengujian konstitusionalitas
kon- stitusi itu. Oleh karena itu, kegiatan pertama dan
undang-undang yang ia putuskan dalam kasus yang
kedua haruslah dilihat sebagai dua kegiatan yang
sangat terkenal, yaitu Mar- bury versus Madison pada
simultan dalam proses terbentuknya norma hukum
tahun 1803. Fungsi pengujian undang-undang itulah
konstitusi. Dengan perkataan lain, hal itulah yang saya
yang biasa disebut dengan istilah judicial review yang
namakan sebagai proses the making of the
dijadikan kewenangan tambahan bagi Mahkamah
constitutional law.
Agung Amerika Serikat dalam mengawal dan menjaga
Di samping itu, kegiatan penerapan norma hukum agar Undang-Undang Dasar benar-benar ditegakkan
konstitusi itu juga dapat terus dilakukan menurut stan- (the guardian of the constitution).
dar yang jelas dan terukur. Untuk itu, kegiatan penera- Oleh karena itu, peradilan tata negara atau consti-
pan hukum konstitusi terkait pula dengan kegiatan tutional adjudication dapat dilakukan melalui
pera- dilan hukum konstitusi. Apa tindakan yang dapat lembaga Mahkamah Agung atau lembaga tersendiri yang
disebut konstitusional dan apa yang inkonstitusional dinama- kan Mahkamah Konstitusi. Bahkan, dalam
dapat di- ukur secara jelas, dan ditentukan oleh lembaga sistem yang berlaku di Perancis, lembaga serupa ini
indepen- den dan imparsial berupa pengadilan, yaitu disebut sebagai Dewan Konstitusi, bukan Mahkamah
Mahkamah Konstitusi. Konstitusi. Artinya, sifat kerjanya bukan sebagai
Sebenarnya, fungsi peradilan konstitusi itu sendiri pengadilan, dan para ang- gotanya tidak disebut
tidaklah identik dengan fungsi Mahkamah Konstitusi. sebagai hakim seperti dalam sis- tem Austria, Jerman,
Peradilan konstitusi atau constitutional adjudication dan Indonesia.428 Namun, fungsi- fungsi yang
ter- sebut dapat dilakukan juga oleh lembaga peradilan dilakukannya merupakan bentuk-bentuk praktik dari
biasa (ordinary court) atau lembaga peradilan yang hukum tata negara, setidak-tidaknya sebagai fungsi
secara khusus diberi nama Mahkamah Konstitusi atau quasi-peradilan tata negara.
Consti- tutional Court (Verfassungsgerichtshof). Di Dengan adanya perluasan lahan praktik ini,
samping itu, meskipun fungsi peradilan konstitusi hukum tata negara (constitutional law) dapat
(constitutional adjudication) itu tidak identik dengan diharapkan ber- geser ke arah orientasi yang lebih
Mahkamah Kon- stitusi, namun di semua negara praktis dan terhindar dari kecenderungan yang terlalu
kehadiran lembaga Mah- kamah Konstitusi ini berorientasi politik. Setidak-tidaknya, kecenderungan
menyebabkan terjadinya lompatan dalam sejarah studi hukum tata nega- ra yang sangat berorientasi
perkembangan ketatanegaraan di negara- negara yang politik dapat diimbangi oleh
bersangkutan.
428
Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di

321 322
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Berbagai Negara, Op.Cit.

321 322
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

orientasi yang lebih teknis-yuridis. Dengan demikian,


9) pendidikan dan pembinaan kesadaran hukum
hukum tata negara sebagai cabang ilmu hukum dapat
masya- rakat.
berkembang sesuai dengan kompleksitas penemuan-
penemuan hukum dalam praktik. Semakin kaya penga-
Kesembilan bidang kegiatan tersebut, terutama
laman empiris suatu cabang ilmu pengetahuan, semakin
berkenaan dengan aspek-aspek pelembagaannya (instel-
terbuka luas pula potensinya untuk terus berkembang
lingen), pengaturan (regelendaad), dan pengambilan
dengan teori-teori ilmiah baru.
ke- putusan (besslissing) lainnya, menyediakan lahan
yang sangat luas untuk kegiatan praktik hukum tata
B. Lahan Praktik Hukum Tata Negara
negara. Ketujuh kegiatan itu juga menyangkut tugas-
Sebenarnya, lahan praktik bagi ilmu hukum tata tugas banyak lembaga hukum dan pemerintahan,
negara dapat dikatakan cukup luas, banyak, dan tempat hukum tata negara dipraktikkan, yaitu:
terbuka. Bidang-bidang yang terkait dengan hukum tata a) lembaga parlemen seperti MPR, DPR, DPD, DPRD
negara sangat luas, termasuk hukum administrasi, dan Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh
men- cakup kegiatan-kegiatan yang sangat luas Indonesia. DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indo-
aspeknya. Ke- giatan-kegiatan kenegaraan dan nesia tercatat berjumlah 440 DPRD;
pemerintahan yang tercakup dalam bidang hukum tata b) lembaga administrasi pemerintahan eksekutif secara
negara dan tata usa- ha negara atau administrasi negara vertikal mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah
itu mencakup kegia- tan-kegiatan: provinsi, dan kabupaten/kota, dan secara horizontal
1) legislasi dan pembentukan peraturan perundang- mulai dari departemen pemerintahan, lembaga pe-
undangan; merintahan non-departemen, dewan-dewan, komisi-
2) administrasi yang berkenaan dengan kegiatan komisi dan badan-badan eksekutif yang bersifat
penge- lolaan informasi dan penyebarluasan inde- penden, semuanya memerlukan dukungan
informasi hu- kum; expertise di bidang hukum tata negara;
3) pendidikan hukum dan pembinaan profesi hukum; c) lembaga-lembaga penegak hukum mulai dari
4) penyelenggaraan hukum atau pelaksanaan dalam Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),
arti penerapan hukum oleh pelaksana yang Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, dan badan-badan
ditentukan oleh hukum tersebut (the administration peradilan ser- ta quasi-peradilan baik secara vertikal
of law); maupun se- cara horizontal di seluruh Indonesia;429
5) aspek hukum kegiatan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan negara; Semua lembaga-lembaga negara dan badan-badan
6) kegiatan penegakan hukum yang dimulai dari pemerintahan tersebut di atas membutuhkan dukungan
penyidikan dan penuntutan hukum;
7) penyelenggaraan peradilan sampai ke pengambilan
putusan hakim yang bersifat tetap; 429
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan badan-badan peradilan secara ver-
8) pelaksanaan putusan pengadilan dan pemasyaraka- tikal adalah peradilan tingkat pertama, kedua (banding), dan kasasi. Sedang-
tan terpidana; kan, badan peradilan secara horizontal adalah hubungan horziontal antara
pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara.

323 324
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

keahlian dari para sarjana hukum tata negara. Misalnya, provinsi).


di bidang legislature saja, di tingkat pusat, kita memiliki
3 (tiga) lembaga, yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat),
DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat). Anggota ketiga
lembaga ini berjumlah lebih dari 750 orang.430
Sedangkan di tingkat provinsi terdapat 33 Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan di tingkat
Kabupaten/Kota 440 DPRD. Jika rata-rata setiap
anggota lembaga perwakilan ini, baik di tingkat
Kabupaten/Kota dan provinsi di seluruh Indo- nesia
berjumlah 30 orang saja, ditambah dengan jumlah
anggota DPR dan DPD di tingkat pusat, maka berarti
anggota parlemen kita di seluruh Indonesia berjumlah
lebih dari 15.000 orang. Idealnya, setiap anggota par-
lemen lokal maupun nasional didampingi oleh sekurang-
kurangnya beberapa orang legal advisor sebagai staf ahli
di bidang hukum tata negara. Jika dihitung
dengan kebutuhan minimal saja, misalnya, satu orang
staf ahli, maka jumlah sarjana hukum tata negara
yang dapat di- butuhkan juga sekurang-kurangnya
15.000 orang.
Bahkan, seperti terlihat di berbagai parlemen nega-
ra-negara yang sudah maju, apa yang biasa dikerjakan
oleh anggota DPR dan DPRD di Indonesia di bidang
legislasi, cukup dikerjakan oleh staf ahli yang terdiri atas
para ahli hukum. Misalnya, diskusi dan perumusan
kata- kata redaksional undang-undang dan peraturan
daerah, tidak perlu dikerjakan oleh anggota DPR dan
DPRD. Para politisi cukup memikirkan dan
memutuskan hal-hal yang menyangkut prinsip
kebijakannya saja. Sedangkan, bagaimana hal itu harus
dirumuskan dalam redaksi pe-

430
Bandingkan komposisi dan jumlah anggota dari ketiga Lembaga Negara
tersebut sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum
amandemen, MPR terdiri dari DPR (500 orang), Utusan Daerah (135 orang
yang berasal masing-masing 5 orang dari 27 provinsi), dan Utusan Golongan
(65 orang). Sedangkan, setelah amandemen, MPR terdiri dari DPR (550
orang) dan DPD (128 orang, yang berasal masing-masing 4 orang dari 32
325 326
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
raturan cukup diserahkan kepada staf ahli saja.
Dengan demikian, peranan staf ahli yang terdiri atas
para ahli hukum sebagai legal dafter menjadi sangat
penting, dan lama kelamaan terbentuk menjadi suatu
profesi ter- sendiri yang memang perlu dipersiapkan
dalam jumlah dan mutu yang memadai.
Di pihak lain, dengan keterlibatan para politisi
ang- gota DPR dan DPRD itu dalam urusan-urusan
redak- sional, akan menyebabkan mereka kehabisan
waktu. Padahal, para politisi anggota DPR dan DPRD
tidaklah dipersiapkan untuk maksud menjadi legal
drafter. Sementara itu, lahan praktik bagi para ahli
hukum, ter- utama sarjana hukum tata negara menjadi
tidak ber- kembang, karena justru diambil oleh para
politisi yang seharusnya memikirkan kebijakan-
kebijakan yang lebih substantif untuk kepentingan
rakyat yang diwakilinya. Dengan perkataan lain, di
masa depan, potensi lahan praktik bagi sarjana hukum
tata negara akan terbuka se- makin lebar bersamaan
dengan kesadaran orang akan peran dan fungsi tenaga
ahli atau staf ahli (expertise) di lingkungan lembaga
perwakilan rakyat.
Demikian pula fungsi-fungsi hukum di lingkungan
cabang kekuasaan eksekutif, juga membutuhkan du-
kungan keahlian dari para sarjana hukum tata negara.
Di semua jajaran instansi pemerintahan, selalu
dibutuhkan adanya direktorat hukum, biro hukum,
bagian hukum, divisi hukum, ataupun seksi hukum. Di
semua unit kerja demikian itu, diperlukan pula banyak
sarjana hukum tata negara dan sarjana hukum
administrasi negara dalam jumlah dan mutu keahlian
yang memadai dan dapat diandalkan. Belum lagi
aparat di lingkungan paradilan tata usaha negara, para
advokat, dan konsultan hukum juga membutuhkan
banyak sarjana hukum di bidang ini.
Para anggota DPR dan DPD di tingkat pusat pun
sebenarnya masing-masing harus pula dilihat sebagai
institusi-institusi yang tersendiri. Oleh karena itu,
setiap

325 326
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

anggota DPR dan DPD itu sudah seharusnya dilengkapi


dan badan pemerintahan selalu membutuhkan
dengan sejumlah staf ahli, di mana salah satu di antara-
direktorat hukum, biro hukum, bagian hukum, divisi
nya harus dipastikan berlatar belakang sarjana hukum
hukum, atau petugas-petugas di bidang hukum.
tata negara. Anggota DPR dan anggota DPD adalah
Meskipun sifatnya sangat relatif, tetapi dapat dikatakan
jabatan resmi kenegaraan. Menurut teori Hans Kelsen,
bahwa yang tepat untuk memimpin pelaksanaan tugas-
dalam masing-masing jabatan negara itu terdapat law
tugas di bidang hukum itu adalah para sarjana hukum
creating function dan law applying function, sehingga
tata negara, bukan bidang hukum yang lain.
dapat disebut secara sendiri-sendiri sebagai organ
Apalagi jika di lingkungan instansi yang
negara atau state organ (staatsorgan). Oleh sebab itu,
bersang- kutan terdapat pula fungsi PPNS atau
adalah wajar jika setiap organ jabatan itu dipandang
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang sekarang
sebagai suatu institusi yang tersendiri yang tentunya
ini jumlahnya lebih dari 52 macam yang tersebar di
harus dilengkapi secara memadai dengan sejumlah staf,
berbagai sektor dan instansi pemerintahan. Misalnya,
per- lengkapan kantor, dan perangkat penunjang lain
petugas-petugas pajak, bea cukai, imigrasi, meteorologi,
yang diperlukan.
lalu lintas jalan raya, polisi hutan, hak kekayaan
Di negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya,
intelektual, pengawas obat dan makanan, dan lain-lain
seorang Senator biasa mempunyai staf antara 25–
sebagainya diberi tugas pula di bidang penyidikan.
35 orang yang seluruhnya dibayar dan diberi honor
Fungsi penyidikan oleh petugas- petugas tersebut
dari anggaran negara, meskipun sistem kerjanya
diciptakan atau diberikan berdasarkan peraturan
berdasarkan kontrak selama masa jabatan Senator
perundang-undangan atau bahkan oleh un- dang-
yang dibantunya itu menduduki jabatannya. Dengan
undang yang kadang-kadang sangat berorientasi
demikian, tugas dan fungsi seorang anggota lembaga
kepada substansi fungsi dari sektor masing-masing sede-
perwakilan rakyat dapat efektif dalam menyalurkan
mikian rupa, sehingga agak mengabaikan aspek hukum-
dan memperjuangkan ke- pentingan rakyat yang
nya. Padahal, sebagai pejabat penyidik PPNS,
diwakilinya. Dalam kaitan itu, staf ahli di bidang
fungsinya jelas termasuk ranah pro-justisia yang
hukum, khususnya hukum tata negara merupakan
memerlukan keahlian di bidang hukum. Meskipun
keniscayaan. Oleh karena itu, dapat dikata- kan bahwa
tidak mutlak, se- harusnya bidang ini juga ditangani
di masa-masa mendatang, kebutuhan negara kita akan
oleh sarjana hukum tata negara, khususnya para sarjana
tenaga ahli hukum tata negara ini, sebagai- mana juga
hukum administrasi negara.
dialami oleh semua negara-negara maju, akan terus Di bidang tugas kejaksaan, keahlian yang diutama-
meningkat seiring dengan tingkat perkembangan kan adalah di bidang hukum pidana. Namun, keahlian
kesejahteraan masyarakat dan kematangan sistem de- di bidang hukum pidana itu adalah menyangkut aspek
mokrasi yang dikembangkan dalam praktik. materiel atau substansi dari fungsi kejaksaan itu, se-
Di bidang administrasi negara di lingkungan
dangkan aspek formil atau aspek kerangka dari fungsi
lembaga-lembaga negara dan badan-badan pemerinta-
kejaksaan itu tetaplah merupakan bidang hukum tata
han lainnya, juga selalu diperlukan peranan para
negara. Misalnya, pengkajian mengenai persoalan inde-
sarjana hukum tata negara dalam arti luas, yaitu
pendensi struktural lembaga kejaksaan dan mekanisme
termasuk sar- jana hukum administrasi negara. Setiap
hubungan antara kejaksaan dengan lembaga negara
lembaga negara
yang

327 328
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

lain, seperti kepolisian,431 Komisi Pemberantasan Tindak


ngan orietansi juristik. Dengan adanya lembaga ini,
Pidana Korupsi (KPK),432 Komisi Nasional HAM,433 yang pada hakikatnya berfungsi sebagai pengawal
dan sebagainya, sepenuhnya merupakan aspek-aspek demokrasi dan konstitusi, maka sangat dirasakan
yang berkaitan dengan hukum tata negara, bukan perlunya banyak ahli hukum tata negara di seluruh
hukum pidana. Apalagi di lingkungan kejaksaan juga tanah air.
terdapat fungsi-fungsi yang menangani persoalan Sebagai akibat adanya mekanisme peradilan kon-
perdata dan tata usaha negara yang dipimpin oleh stitusi dengan berbagai putusan-putusannya yang ber-
seorang Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata sifat final dan mengikat untuk umum itu, maka tersedia
Usaha Negara. Oleh karena itu, di lingkungan pula bahan-bahan hukum yang timbul dari pengalaman
kejaksaan, dibutuhkan banyak sarjana hukum tata praktik yang bersifat empiris dalam bangsa kita. Apalagi
negara dan hukum admi- nistrasi negara, di samping oleh Mahkamah Konstitusi, putusan-putusannya itu di-
para sarjana hukum pidana. edarkan secara luas dan dapat pula diakses secara
Namun demikian, di antara semua fungsi dan mudah melalui internet, sehingga secara mudah dapat
lembaga-lembaga tersebut di atas, yang paling berpe- dijadikan bahan bagi para mahasiswa dan para peneliti
ngaruh terhadap perubahan orientasi ilmu hukum tata dalam melakukan pengkajian hukum tata negara. Hal
negara adalah pembentukan lembaga peradilan ini dapat mendorong pengkajian yang dilakukan di
kon- stitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Dengan telah perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan
terben- tuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan lainnya tidak lagi terpaku pada teks-teks undang-
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sesudah undang dasar dan peraturan perundang-undangan yang
reformasi, maka tersedialah lahan praktik beracara di berlaku di bidang hukum tata negara, tetapi juga
pengadilan bagi ilmu hukum tata negara.434 Bidang diperkaya oleh kasus- kasus yang tercermin dalam
kajian yang semula hanya bersifat teoritis-politis putusan-putusan Mah- kamah Konstitusi.435
berkembang menjadi bidang kajian yang dapat Dengan demikian, orientasi pengkajian dapat ber-
dipraktikkan di pengadilan de- kembang menjadi lebih praktis dan dinamis, termasuk
dengan mempertimbangkan penggunaan metode studi
431
Lebih lanjut lihat Indonesia, Undang-undang tentang Kepolisian Republik kasus atau case study seperti yang dipraktikkan dalam
Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2, TLN No. 4168. sistem pendidikan hukum di negara-negara yang
432
Lebih lanjut lihat Indonesia, Undang-undang tentang Komisi Pembe- menga- nut tradisi case-law atau common law. Para
rantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137, TLN dosen dan mahasiswa dapat menjadikan perkara-
No. 4250.
433 perkara konstitusi yang telah diselesaikan melalui
Lebih lanjut lihat Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden
Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Keputusan putusan (vonnis) yang telah berkekuatan hukum tetap
Presiden Republik Indonesia bertanggal 7 Juli 1993. (in kracht van gewijs) oleh Mahkamah Konstitusi
434
Ditinjau dari aspek waktu, Indonesia tercatat sebagai negara ke-78 yang sebagai bahan kajian. Demi- kian pula, para peneliti dan
membentuk Mahkamah Konstitusi, sekaligus merupakan negara pertama di pakar hukum tata negara dapat berperan aktif
dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini. Pembentukan MK
mengadakan peninjauan hukum atau law review
merupakan salah satu wujud gagasan-gagasan hukum kenegaraan yang baru
dan modern dalam upaya memperkuat usaha membangun hubungan-hubu- melalui jurnal-jurnal hukum yang ada,
ngan yang saling mengendalikan antar cabang-cabang kekuasaan negara
(checks and balances). 435
Lihat pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan_sidang.php.

329 330
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

sehingga dengan begitu, kegiatan akademis di bidang


C. Praktik Peradilan Tata Negara
hu- kum tata negara di tanah air kita dapat terus
tumbuh dan berkembang secara aktif di masa-masa 1. Peradilan Tata Negara
yang akan da- tang. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dengan
Dengan perkataan lain, dengan adanya Mahkamah terbentuknya Mahkamah Konstitusi, bidang kajian hu-
Konstitusi, hukum tata negara atau constitutional law kum tata negara mendapatkan lahan praktik yang
dapat terus berkembang, baik di dunia teori maupun sangat efektif dan berarti. Jika hukum tata negara
praktik dengan didukung oleh para sarjana hukum tata dilihat secara luas mencakup bidang hukum
negara yang cukup banyak dan bermutu. Kebutuhan administrasi negara, maka sebenarnya lahan praktik
akan banyaknya sarjana hukum tata negara itu tentu peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata
tidak saja dimaksudkan untuk keperluan praktis beraca- negara di Mahkamah Konstitu- si dan peradilan tata
ra di Mahkamah Konstitusi, untuk menjadi calon-calon usaha negara di Mahkamah Agung serta badan-badan
hakim konstitusi, atau pun untuk maksud bekerja di peradilan tata usaha negara yang ada di bawahnya.
Mahkamah Konstitusi. Hakim konstitusi kita hanya Namun, apabila peradilan tata negara itu kita persempit
berjumlah 9 (sembilan) orang, dan jumlah pegawainya maknanya dengan tidak mencakup pera- dilan tata
pun tidak terlalu banyak. usaha negara yang dilembagakan secara ter- sendiri di
Oleh sebab itu, kebutuhan akan banyaknya tenaga dalam lingkungan Mahkamah Agung, maka pe- radilan
ahli yang bermutu itu adalah untuk kepentingan yang tata negara dimaksud dapat kita kaitkan dengan fungsi
lebih luas, yaitu sebagai mitra bagi Mahkamah Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari
Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai Mahkamah Agung.
pengawal de- mokrasi dan konstitusi (the Guardian of Oleh sebab itu, peradilan tata negara itu sendiri
democracy and the constitution) ataupun sebagai dapat kita bedakan dalam tiga pengertian, yaitu (i)
penjaga atau pelindung hak konstitusional warganegara pe- radilan tata negara dalam arti yang paling luas di
(the Protector of the constitutional rights). Untuk mana mencakup peradilan tata negara (constitutional
mengawal proses demok- ratisasi di tingkat nasional adjudi- cation) yang dilakukan oleh Mahkamah
dan dinamika demokrasi lokal di seluruh Indonesia, Konstitusi dan peradilan tata usaha negara
diperlukan sangat banyak sarjana hukum yang (administrative adjudica- tion) yang dilakukan oleh
menggeluti bidang hukum tata negara dan hukum Mahkamah Agung serta badan- badan peradilan tata
administrasi negara untuk bekerja di biro-biro hukum, usaha negara; (ii) peradilan tata ne- gara dalam arti yang
bagian-bagian, ataupun divisi-divisi hukum, baik di lebih sempit tetapi masih tetap luas adalah peradilan
sektor formal maupun di sektor informal, baik di sek- tata negara (constitutional adjudica- tion) yang
tor negara, di sektor masyarakat madani (civil society), dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ditam- bah
ataupun di sektor dunia usaha (market). peradilan pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahka-
mah Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. 436

436
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ini berbunyi, “Mahkamah Agung ber-
wenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-unda-

331 332
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Pengujian peraturan perundang-undangan itu juga


hukum pidana, akan tetapi hal-hal yang berkenaan
ter- masuk lingkup peradilan tata negara dalam arti luas;
dengan aspek kelembagaan dan fungsi-fungsi kekuasaan
(iii) peradilan tata negara dalam arti yang paling
yang terkait di dalamnya adalah persoalan hukum tata
sempit, ya- itu peradilan yang dilakukan di dan oleh
negara. Bahkan, hukum acara pidana dan demikian pula
Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C
hukum acara perdata, pada hakikatnya berkaitan
ayat (1) dan Pasal 7B khususnya ayat (4) UUD 1945.437
dengan aspek administrasi dari hukum pidana dan
Dalam rangka peradilan tata negara dalam penger-
hukum per- data itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat
tian yang kedua, maka proses pengujian peraturan per-
daerah kelabu yang menghubungkan antara disiplin
undang-undangan di bawah undang-undang terhadap
ilmu hukum tata negara, khususnya hukum tata usaha
undang-undang dapat dikategorikan sebagai bentuk pe-
negara atau hukum administrasi negara, dengan hukum
radilan tata negara juga. Demikian pula dalam penger-
acara pidana dan hukum acara perdata.
tian yang pertama, peradilan tata usaha negara juga ter-
Dengan perkataan lain, lahan praktik bagi
masuk ke dalam pengertian peradilan tata negara. De-
ilmu hukum tata negara itu terbuka sangat lebar yang
ngan demikian, peradilan tata negara itu tidak hanya
terkait dengan kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga
berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Artinya, proses
peradi- lan pada umumnya. Hanya saja, dalam
peradilan tata usaha negara, proses pengujian peraturan
pengertiannya yang lebih khusus dan spesifik, lahan
perundang-undangan, dan proses peradilan di Mahka-
praktik yang khas terkait dengan bidang kajian hukum
mah Konstitusi sama-sama merupakan lahan praktik
tata negara (con- stitutional law) dalam arti yang
bagi kajian ilmu hukum tata negara. Bahkan, keseluru-
sempit adalah peradilan yang dilakukan di dan oleh
han bangunan struktural dan fungsional kelembagaan
Mahkamah Konstitusi seba- gai lembaga pengadilan
peradilan di dalam lingkungan Mahkamah Agung serta
konstitusi. Dalam UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun
aparatur penegakan hukum sebagai keseluruhan, juga
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan
termasuk objek kajian hukum tata negara sebagai ilmu.
mengadili yang dikaitkan dengan mah- kamah ini
Misalnya, mekanisme hubungan antara kepolisian ada 5 (lima), yaitu (i) perkara pengujian kon-
sebagai lembaga penyidik dengan kejaksaan sebagai stitusionalitas undang-undang, (ii) perkara sengketa
lembaga penuntut atau mekanisme hubungan antara ke- wenangan konstitusional lembaga negara, (iii)
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, juga termasuk perkara perselisihan atas hasil pemilihan umum,
ke dalam lingkup kajian hukum tata negara. Substansi (iv) perkara pembubaran partai politik, dan (v)
pe- nyidikan dan penuntutan memang merupakan perkara dakwa-an pemberhentian atau pemakzulan
persoalan Presiden dan/atau Wa- kil Presiden.438

ngan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai


wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
437
Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 ini berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib
memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap penda-
pat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari 438
Mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi lihat dalam Pasal 24C
setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kon-
Konstitusi”. stitusi.

333 334
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

2. Pengujian Konstitutionalitas Undang-Undang


gaimana mestinya, maka berarti undang-undang yang
Pihak yang berhak mengajukan permohonan pe-
bersangkutan telah mencerminkan kehendak politik
ngujian undang-undang adalah (i) perorangan atau ke-
mayoritas rakyat yang diwakili oleh DPR dan aspirasi
lompok warga negara, (ii) kesatuan masyarakat hukum
rakyat pemilih Presiden yang mendapatkan dukungan
adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan
mayoritas suara rakyat melalui pemilihan umum.
dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang
Namun demikian, suara mayoritas rakyat yang
diatur dalam undang-undang, (iii) badan hukum privaat
tercermin dalam undang-undang tidaklah identik
atau badan hukum publik, atau (iv) lembaga negara.439
dengan suara seluruh rakyat yang tercermin dalam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut UU No. 24
undang-undang dasar. Sua- ra mayoritas rakyat tidak
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bah-
selalu identik dengan suara keadilan dan kebenaran
wa keempat subjek hukum tersebut dapat membuktikan
konstitusi.
dirinya mempunyai hak atau kewenangan konstitusional
Oleh sebab itu, jika undang-undang bertentangan
yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
dengan undang-undang dasar, maka undang-undang itu
atau ketentuan undang-undang yang bersangkutan, se-
baik sebagian materinya atau seluruhnya dapat
hingga ia memohon agar undang-undang atau bagian
dinyata- kan tidak mengikat untuk umum, meskipun
dari ketentuan undang-undang dimaksud dinyatakan
yang me- nyatakannya hanya terdiri atas 5 dari 9 orang
tidak mengikat untuk umum.440 hakim pa- da Mahkamah Konstitusi. Dengan cara
Undang-undang merupakan produk demokrasi demikian, mela- lui proses peradilan tata negara yang
atau produk kehendak orang banyak. Jika undang-un- fair, independen, imparsial, dan terbuka, Mahkamah
dang telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Konstitusi dapat menjalankan fungsinya sebagai
Presiden, lalu kemudian disahkan oleh Presiden seba- pengimbang atau pe- nyeimbang (countervailing
power) dan sekaligus me- ngawal dinamika proses
439
Terhadap legal standing Pemohon berserta syarat permohonannya, lihat
demokrasi berdasarkan konsti- tusi (the guardian of
dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan the constitutional democracy). Melalui peradilan
Pasal 3 s/d Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 konstitusi ini ditegaskan pula bahwa undang-undang
tentang
440
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang. dasar sebagai de hoogste wet, the sup- reme law,
Berdasarkan jurisprudensi Mahkamah Konstitusi, kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 dapat benar-benar ditegakkan dalam praktik
(lima) syarat, yaitu (1) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan penyelenggaraan negara.441
oleh UUD 1945, (ii) bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji, (iii) bahwa 3. Sengketa Kewenangan
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
Konstitusional Lembaga Negara
dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, (iv) adanya hubungan sebab akibat Kewenangan konstitusional lembaga negara
(causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang adalah kewenangan-kewenangan yang ditentukan oleh
dimo- honkan untuk diuji, dan (v) adanya kemungkinan bahwa dengan atau da-
dikabulkan- nya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
441
Untuk lebih memahami tentang Pengujian Konstitusionalitas Undang-
undang ini, lihat dan pelajari buku saya yang berjudul Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia (2005) dan Hukum Acara Pengujian Undang-
335 336
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
undang (2005).

335 336
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

lam undang-undang dasar berkenaan dengan apakah bersumber dari undang-undang dasar, dari un-
subjek- subjek kelembaga-an negara yang diatur
dalam UUD 1945. Apabila dipandang dari sudut
kewenangan atau- pun fungsi-fungsi kekuasaan yang
diatur dalam UUD 1945, akan nampak jelas bahwa
organ-organ yang me- nyandang fungsi dan
kewenangan konstitusional di- maksud sangat
beraneka ragam. State institutions atau staatsorgan
dapat dibedakan dari organisasi civil society atau badan-
badan usaha dan badan hukum lainnya yang bersifat
perdata. Organ yang bergerak di lapangan civil society
biasa disebut organisasi non-pemerintah (Or- nop),
lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau organi- sasi
kemasyarakatan (Ormas). Sedangkan, badan-badan
usaha swasta dan koperasi merupakan organisasi
yang bergerak di lapangan dunia usaha atau market.
Oleh karena itu, institusi, organ, atau organisasi
lain yang berada di luar kategori organisasi civil society
dan organisasi yang bergerak di lingkungan dunia usaha
tersebut, dapat kita sebut sebagai organ negara dalam
arti yang luas. Artinya, pengertian lembaga negara itu
tidak seperti yang dipahami secara keliru oleh banyak
sarjana hukum selama ini, sangat luas cakupan makna-
nya. Lembaga negara itu tidak hanya terkait dengan
fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif seperti
yang pada umumnya dipahami selama ini. Institusi apa
saja yang dibentuk oleh negara, dibiayai oleh negara,
dikelola oleh negara, atau dibentuk karena kebutuhan
negara sebagai pemagang otoritas publik dapat
dikaitkan dengan pengertian organ negara atau lembaga
negara dalam arti luas.
Hal yang membedakan organ atau lembaga-lem-
baga negara dalam pengertian yang luas tersebut satu
sama lainnya, hanyalah kategori fungsinya apabila di-
kaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara atau
kategori sumber legalitas kewenangan yang dimilikinya

337 338
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
dang-undang, atau dari ketentuan peraturan yang tarlembaga Negara (2005) dan Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
lebih rendah kedudukannya daripada undang- Negara Pasca Reformasi (2006).
undang. Jika kewenangannya bersumber dari
undang-undang dasar, berarti lembaga negara tersebut
mempunyai kewenangan konstitusional yang
ditentukan dalam atau oleh undang- undang dasar. 442
Lembaga negara dalam kategori yang terakhir inilah
yang terkait dengan kewenangan Mah- kamah
Konstitusi untuk mengadilinya apabila dalam
pelaksanaan kewenangan konstitusional lembaga
negara yang bersangkutan timbul persengketaan
dengan lemba- ga negara yang lain. Inilah yang
dimaksud dengan seng- keta kewenangan
konstitusional lembaga negara yang termasuk
lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi un- tuk
mengadilinya.

4. Pembubaran Partai Politik


Partai politik (parpol) dan pemilihan umum (pe-
milu) merupakan pilar atau tiang utama demokrasi.
Rumah dan bangunan demokrasi akan runtuh apabila
partai politik dan pemilu tidak sehat dan kuat. Partai
politik (parpol) juga merupakan cermin kemerdekaan
berserikat (freedom of association) dan berkumpul
(free- dom of assembly) sebagai perwujudan adanya
kemer- dekaan berpikir dan berpendapat (freedom of
thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of
expression). Oleh karena itu, kemerdekaan berserikat
dalam bentuk partai politik sangat dilindungi oleh
setiap undang- undang dasar negara demokrasi
konstitusional (consti-

442
Untuk memahami lebih lanjut mengenai konsepsi terhadap “Lembaga
Negara”, pelajari juga buku saya yang berjudul Sengketa Kewenangan An-

337 338
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

tutional democracy) atau negara hukum yang demok-


pemilihan umum, dan kualitas hasilnya tergantung pula
ratis (democratische rechtsstaat).443
pada kualitas proses penyelenggaraan pemilihan
Oleh karena itu, maka partai politik tidak boleh
umum itu sendiri. Oleh sebab itu, Pasal 22E ayat (1)
dibubarkan secara semena-mena oleh penguasa.
UUD 1945 menentukan, “Pemilihan umum
Seorang penguasa yang menduduki jabatan karena
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
peranan par- tai politik tidak boleh diberi peluang untuk
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
membubar- kan partai politik lain yang merupakan
Jika sebelum asas pemilihan umum hanya ditentukan
lawan politiknya. Sebab, jika hal demikian terjadi, maka
harus langsung, umum, bebas, dan ra- hasia (luber),
kemerdekaan ber- serikat dapat terganggu oleh watak
maka sekarang ditambah dengan dua asas lagi, yaitu
kekuasaan para penguasa yang cenderung tidak
jujur dan adil.
menghendaki adanya persaingan politik yang sehat. Jika
Jika dalam penyelenggaraan penghitungan suara
ditemukan kenyataan adanya partai politik yang secara
hasil pemilihan umum itu timbul perselisihan pendapat
objektif memang meng- haruskan tindakan pembubaran
di antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu,
dari luar partai politik itu sendiri, maka pembubaran
maka perselisihan semacam itu apabila tidak dapat lagi
semacam itu hanya dapat dilakukan melalui suatu
diatasi melalui upaya-upaya yang bersifat administratif,
proses peradilan konstitusional yang bersifat objektif,
akan diselesaikan melalui perkara di Mahkamah Konsti-
independen, imparsial, dan ter- buka.
tusi.444 Mahkamah Konstitusi harus menyediakan jalan
Oleh karena sifat peradilan atas perkara semacam
konstitusi atau mekanisme hukum untuk menyelesaikan
ini terkait erat dengan persoalan konstitusionalitas, ma-
perselisihan mengenai hasil pemilu itu, sehingga per-
ka UUD 1945 menentukannya sebagai kewenangan Mah-
selisihan itu tidak berkembang menjadi konflik politik
kamah Konstitusi, bukan kewenangan
atau apalagi berubah menjadi konflik sosial.445
Mahkamah Agung. Dengan demikian, Mahkamah
Pada pokoknya, perkara perselisihan hasil pemilu
Konstitusi benar- benar difungsikan untuk maksud
itu merupakan perkara perselisihan antar dua pihak, ya-
mengawal agar UUD 1945 benar-benar dilaksanakan
itu pihak peserta pemilu versus pihak penyelenggara pe-
dan ditegakkan sebagai- mana mestinya. Artinya, UUD
milu, yaitu Komisi Pemilihan Umum. Peserta pemilu
1945 itu tidak dibiarkan hanya berada di atas kertas,
untuk pemilu calon anggota DPR (Dewan Perwakilan
melainkan sungguh-sungguh diterapkan dalam
Rakyat) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
kenyataan praktik.
adalah partai politik yang bersangkutan, sedangkan pe-
5. Perselisihan Hasil Pemilu serta pemilu untuk pemilu calon anggota DPD (Dewan
Hasil pemilihan umum merupakan hasil dari suatu
kompetisi politik antar peserta pemilihan umum. Kua- 444
Lihat Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi:
litas demokrasi sangat tergantung kepada kualitas hasil Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,
2005.
445
443
Lihat Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Mengenai tata cara dan proses persidangan dalam perkara perselisihan
Politik, dan Mahkamah Konstitusi, cetakan ke-2, Sekretariat Jenderal dan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, lihat dalam Pedoman Mahkamah
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perseli-
sihan Hasil Pemilihan Umum.

339 340
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Perwakilan Daerah) adalah perorangan yang telah me-


atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hu-
menuhi kualifikasi persyaratan. Sementara itu, peserta
kum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
pemilu untuk pemilu Presiden adalah pasangan calon
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
Presiden dan calon Wakil Presiden yang bersangkutan.
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
Komisi Pemilihan Umum sebagai institusi
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
penyelenggara pemilihan umum dipandang sebagai satu
sebagai Pre- siden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat
kesatuan insti- tusi penyelenggara pemilu. Artinya,
DPR tersebut, menurut ayat (2) pasal ini, adalah dalam
KPUD di daerah dianggap hanya sebagai bagian dari
rangka pelaksa- naan fungsi pengawasan Dewan
KPU tingkat pusat. Demikian pula partai politik sebagai
Perwakilan Rakyat.
peserta pemilu dipandang sebagai satu kesatuan
Menurut Pasal 7B ayat (3), pengajuan
institusi badan hukum. Oleh karena itu, Pengurus
permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan
Wilayah Partai Politik yang bersangkutan tidak dapat
dengan duku- ngan sekurang-kurangnya 2/3 dari
tampil tersendiri di luar kesatuan unit kelembagaannya
jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang
dengan kepengurusan di tingkat pusat.
paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR. Se- lanjutnya, Pasal 7B ayat
6. Pemakzulan Presiden
(4) menentukan:
dan/atau Wakil Presiden
Kewenangan lain yang dimiliki oleh “Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili,
Mahkamah Konstitusi adalah peradilan atas tuntutan dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/ atau Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sem-
Wakil Presiden. Menurut ketentuan Pasal 7A UUD 1945 bilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan
yaitu: Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi”.

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan Kemudian, menurut ayat (5)-nya, apabila MK
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden ter-
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik bukti bersalah dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyeleng-
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
garakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pem-
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. berhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada
MPR.
Dalam hal demikian, maka menurut Pasal 7B ayat
(1) UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dan/atau 7. Kebutuhan akan Sarjana Hukum Tata Negara
Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR Dalam keseluruhan aspek peradilan di kelima bi-
hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan dang perkara tersebut di atas, cukup banyak pihak yang
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, menga- terlibat dan harus dilibatkan. Memang jumlah hakim
dili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden konstitusi hanyalah sembilan orang. Akan tetapi, di
dan/ samping para hakim, juga dibutuhkan pula banyak te-

341 342
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

naga ahli yang bersifat pendukung. Lagi pula, karena


pribadi orang perorang seperti dalam peradilan biasa,
periodesasi masa kerja hakim konstitusi bersifat ter-
melainkan kepentingan umum (public interest) dan
batas, yaitu lima tahunan, maka terbuka peluang untuk
ke- pentingan ketatanegaraan berdasarkan Undang-
terjadinya pergantian hakim pada setiap lima tahun
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
sekali.446 Artinya, perlu dipersiapkan calon-calon hakim
1945. 447 Oleh karena itu, diperlukan pengertian
konstitusi yang mumpuni dari waktu ke waktu sesuai
mengenai constitutio- nal lawyers yang tersendiri, di
dengan perkembangan negara dan masalah-masalah ke-
samping para advokat pada umumnya. Untuk itu
tatanegaraan yang timbul dalam praktik.
diperlukan program-program pendidikan dan sertifikasi
Dalam penyelesaian perkara konstitusi di Mah-
advokat konstitusi yang ter- sendiri pula.
kamah Konstitusi, banyak pihak yang terlibat. Misalnya,
Di samping itu, para saksi, para ahli, para pejabat
yang dapat terlibat atau dilibatkan adalah (i) advokat,
pemerintah, anggota DPR, anggota DPD, dan lembaga-
(ii) para ahli hukum tata negara, (iii) para ahli dari
lembaga negara lainnya, banyak yang terlibat dalam
semua bidang keilmuan, baik ilmu hukum maupun ilmu
pro- ses pemeriksaan sesuatu perkara konstitusi di
yang berkenaan dengan substansi kebijakan yang diatur
Mahka- mah Konstitusi. Masih banyak orang yang
oleh suatu undang-undang yang bersangkutan, (iv) para
belum me- ngerti dengan tepat mengenai seluk-beluk
saksi fakta, (v) para politisi wakil rakyat atau calon wakil
berperakara di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu,
rak- yat, (vi) para pejabat pemerintah pusat dan pejabat
diperlukan ba- nyak tenaga ahli di seluruh Indonesia
pemerintah daerah, (vii) para anggota DPR, (viii) para
mengenai seluk beluk Mahkamah Konstitusi dan teknik-
anggota DPD, (ix) para pejabat tinggi negara atau ang-
teknik beracara di Mahkamah Konstitusi.448
gota lembaga tinggi negara, (x) biro-biro dan divisi-
Selain itu, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
divisi hukum badan-badan hukum publik dan privat,
Mahkamah Konstitusi itu dapat disebut sebagai lembaga
(xi) ka- langan perguruan tinggi, khususnya fakultas-
pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pelindung hak
fakultas hu- kum dan pusat-pusat kajian konstitusi di
asasi manusia, dan bahkan sebagai lembaga pengawal
seluruh Indo- nesia, (xii) kalangan tokoh-tokoh aktivist
serta pengimbang demokrasi. Untuk menjalankan
lembaga swa- daya masyarakat di bidang hukum dan
fungsi formalnya itu secara kelembagaan diperlukan
hak asasi manu- sia, (xiii) dan lain sebagainya. Sebagai
pula duku- ngan jaringan ekspertise oleh tokoh-tokoh
contoh, para advo- kat yang bekerja di bidang litigasi
ilmuwan dan aktivist di lapangan. Demokrasi dan proses
seringkali menghadapi persoalan dalam beracara di
demokrati- sasi tidaklah sekaligus jadi. Proses
Mahkamah Konstitusi, kare- na sifat acaranya yang
pertumbuhan dan kemajuannya perlu dibina secara
sama sekali berbeda dengan pe- ngadilan biasa.
tahap demi tahap, baik
Kepentingan yang dipertaruhkan dalam persi-
dangan di Mahkamah Konstitusi bukanlah kepentingan
447
Perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam perkara
pengujian undang-undang, tidaklah bersifat contentious yang berkenaan
446
Sesuai dengan Pasal 22 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain,
Konstitusi, masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat akan tetapi menyangkut kepentingan kolektif semua orang dalam kehidupan
dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. bersama sebagai bangsa.
448
Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005).

343 344
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Oleh karena


bergerak tanpa dukungan hukum, dan hukum yang di-
itu, Mahkamah Konstitusi juga membangun jaringan
perlukan untuk itu adalah hukum tata negara.
kerjasama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta di
Demokrasi hanya dapat tumbuh apabila didukung oleh
seluruh tanah air sebagai jaringan amicus curiae atau
para demok- rat, dan seseorang tidak mungkin menjadi
friends of the court dalam arti luas.
demokrat jika tidak memahami dengan tepat beraneka
Mahkamah Konstitusi mengontrol dan
sistem aturan bernegara berdasarkan hukum dan
mengim- bangi peranan demokrasi dan mendorong
konstitusi yang men- jadi bidang keahlian para sarjana
proses demok- ratisasi di tingkat nasional dan lokal di
hukum tata negara.
seluruh Indonesia melalui peranan constitutional
Oleh sebab itu, banyak sekali sarjana hukum tata
expertises yang diharap- kan tumbuh dan berkembang
negara yang dibutuhkan oleh suatu bangsa dan negara
dari kalangan perguruan tinggi di seluruh tanah air.
yang sedang bergerak ke arah demokrasi. Negara kita
Misalnya, setiap anggota par- lemen pusat dan lokal di
telah memilih jalan demokrasi dan konstitusi untuk
seluruh Indonesia pada saatnya haruslah dapat
terus berkembang di masa depan. Oleh karena itu, tidak
didampingi oleh legal advisor dari kalangan sarjana
ada jalan lain bagi para sarjana hukum Indonesia untuk
hukum tata negara. Seperti sudah di- ungkapkan pada
se- cara intensif mempersiapkan diri dengan beraneka
bagian sebelumnya , jumlah anggota DPRD kita di
keah- lian di bidang hukum tata negara. Itulah
seluruh tanah air tercatat lebih dari 15.000-an
sebabnya, ma- hasiswa Indonesia yang tercerahkan
orang. Jumlah kabupaten/kota di seluruh In- donesia
pikirannya akan berusaha mempelajari dan mendalami
ada 440. Hanya 2 (dua) daerah di antaranya yang
bidang kajian hukum tata negara di samping bidang-
belum terbentuk DPRD yang tersendiri. Artinya,
bidang hukum yang lain atau bidang-bidang kajian ilmu
jumlah DPRD di seluruh Indonesia dewasa ini
pengetahuan lain pada umumnya.
tercatat 438 buah yang terdiri atas 352 DPRD Pendek kata, di semua instansi dan institusi, diper-
Kabupaten dan 86 DPRD Kota. Sedangkan DPRD lukan sarjana hukum tata negara yang mahir dan dapat
Provinsi berjumlah 33 buah, sehingga seluruh DPRD diandalkan keahliannya dalam upaya penataan kelem-
tercatat 461 buah dengan jumlah anggota berkisar bagaan negara. Lebih-lebih di masa pancaroba sekarang
antara 25 orang sampai dengan ini, di mana negara kita sedang memerlukan penataan
45 orang. Semuanya membutuhkan legal advisor di
di segala bidang, terutama di bidang kelembagaan
bidang hukum tata negara.
berne- gara. Sekarang dan di masa datang, sangat
Demikian pula di lingkungan birokrasi pemerin-
banyak sar- jana hukum tata negara yang diperlukan
tahan di semua instansi, baik pusat maupun daerah,
oleh negara kita. Demikian pula jika dikaitkan dengan
terutama yang bekerja di bidang, bagian, biro, atau
kebutuhan untuk memperkuat sektor civil society atau
divisi hukum, juga membutuhkan banyak tenaga ahli
masyarakat madani, kebutuhan akan keahlian di bidang
bidang hukum tata negara. Para aktivist lembaga
ini sangat luas, banyak, dan beragam. Para pekerja hak
swadaya ma- syarakat, para pejabat negara di lembaga-
asasi manu- sia, para aktivis pembaruan hukum, para
lembaga inde- penden dan lembaga-lembaga negara di
pejuang de- mokrasi, semuanya memerlukan keahlian di
luar peme- rintahan semuanya memerlukan dukungan
bidang hukum tata negara. Demokrasi tidak dapat
legal exper- tise di bidang hukum tata negara. Bahkan
tumbuh tan- pa disertai dan dikawal oleh keahlian di
dapat di- katakan bahwa pada pokoknya, demokrasi
bidang hukum,
tidak dapat
345 346
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

dan bidang hukum yang dimaksud adalah hukum tata


negara.
Oleh karena itu, melalui buku ini, saya ingin me-
ngajak kalangan generasi muda, khususnya para maha-
siswa hukum untuk tidak ragu-ragu memilih bidang
hukum tata negara. Indonesia di masa kini dan apalagi
di masa depan sangat membutuhkan peranan sarjana
hu- kum tata negara untuk menata kehidupan
kenegaraan kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Tentu saja, untuk jangka pendek sekarang, karena
kebutuhannya sangat luas, banyak, dan sangat
mendesak, sementara jumlah sarjana hukum tata
negara yang ada terbilang sangat sedikit jumlah,
persaingan yang ada belumlah ketat benar. Namun, di
masa depan, bidang hukum tata negara ini cenderung
berkembang semakin populer dan banyak diminati.
Oleh sebab itu, yang diperlukan oleh negara kita di masa
depan, di samping jumlahnya yang banyak juga
mutunya yang harus tinggi. Untuk itu, hen- daklah para
mahasiswa berlomba-lomba menjadi sarjana hukum
tata negara yang keahliannya dapat diandalkan dalam
arena persaingan yang makin ketat di masa depan.

347 348
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

DAFTAR PUSTAKA . Perkembangan dan Konsolidasi


Lem- baga Negara Pasca Reformasi. Jakarta:
Sekreta- riat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,
2006.
Buku-Buku: . Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
. Teori & Aliran Penafsiran Hukum
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad SAW: Tata Negara. cet. I. Jakarta: Ind Hill Co., 1997.
Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Attamimi, Hamid S. Peranan Keputusan Presiden dalam
Du- nia. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu
Alder, John and Peter English. Constitutional and Admi- Studi Ananlisis mengenai Keputusan Presiden
nistrative Law. London: Macmillan, 1989. yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun
Alen, A. Handboek van het Belgisch Staatsrecht. Waktu Pelita IV, disertasi, Fakultas Hukum
Antwerpen: Kluwer Rechtswettenschappen, 1995. Universitas Indonesia, 1990.
Allen, Michael and Brian Thompson. Cases and Atmadja, Arifin Soeria. Mekanisme Pertanggungjawa-
Mate- rials on Constitutional and Admnistrative ban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis.
Law. 7th edition. London-New York: Oxford Jakarta: Gramedia, 1986.
University Press, 2003. Azhary, Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi
Appadorai, A. The Substance of Politics, Oxford tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Univer- sity Press. Oxford India Paperbacks, 2005. Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Negara Madinah dan Masa Kini. cet. Kedua.
dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Jakarta: Kencana, 2004.
Indonesia. Ja- karta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994. Bahar, Saefroedin dkk. (Ed.). Risalah Sidang
. Hukum Acara Pengujian Undang- BPUPKI- PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara
undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepani- Republik Indo- nesia, 1992.
teraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005. Barents. De Wetenshap der Politiek, een
. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar terreinverken- ning, derde durk, (Gravenhage:
Demokrasi. cet. Kedua. Jakarta: Konstitusi Press, A.A.M. Stols’s, 1952).
2005. Basu, Durga Das. Introduction to the Constitution
. Kemerdekaan Berserikat, of India. 18th edition. Nagpur: Wadhwa &
Pembubar- an Partai Politik, dan Mahkamah Company, 2000.
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Bellefroid, J.H. Inleiding tot de rechtswetenschap
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. in Nederland. Utrecht: Dekker & van de Vegt.
. Konstitusi dan N.V. Nijmegen, 1948.
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpress, Benedek, Wolfgang and Minna Nikolova (eds.). Under-
2005. standing Human Rights: Manual on Human
. Pergumulan Peran Pemerintah Rights Education. European Training and
dan Parlemen dalam Sejarah. Jakarta: UI-Press, Research
1996.
349 350
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Center for Human Rights and Democarcy (ETC),


dan Pelaksanaan. Bandung: Citra Aditya
Graz. Austria, 2003.
Bakti, 2003.
Bennis, Warren G. The Coming Death of Bureaucracy.
Dekker, I Nyoman. Hukum Tata Negara Republik Indo-
Think, 1966.
nesia, Suatu Pengantar. Malang: IKIP
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short
Malang, 1993.
Introduction. London: Everyman’s University
Dicey, A.V. An Introduction to Study of the Law of
Lib- rary, 1988.
the Constitution. 10th edition. London: English
Bocken, H. and W. De Bondt (eds.). Introduction to Bel-
Langu- age Book Society and Macmillan, 1968.
gian Law. Brussel:Bruylant, 2001.
Diponolo, G.S. Ilmu Negara. Jakarta: Balai
Bogdanor, Vernon (ed.) Blackwell’s Encyclopaedia
Pustaka, 1975.
of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Djokosoetono. Ilmu Negara. Himpunan oleh Harun
Bradley, A.W. and K.D. Ewing. Constitutional and
Alrasid. Jakarta: Ind Hill Co., 2006.
Admi- nistrative Law. 13th edition. Pearson . Hukum Tata Negara. Himpunan oleh
Education Ltd., 2003. Harun Alrasid. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol. 1. Duguit, Leon. L’Etat, Le Droit Objectif et la Loi Positive,
Oxford: Clarendon Press, 1901. 1901.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Erliyana, Anna. Keputusan Presiden: Analisis Keppres
Gramedia Pustaka Utama, 1992. RI 1987-1998. Jakarta: Fakultas Hukum Univer-
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, sitas Indonesia, 2004.
1990. Farida, Maria. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Da-
Bushroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busroh, Azas- sar dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998.
Azas Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki
Indonesia, 1991. oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia. Ja-
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala
karta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Lumpur: International Law Book Services, 1994.
Feith, Herbert and Lance Castles (eds.).
Chemerinsky, Erwin. Constitutional Law: Principles
Indonesian Political thinking 1945 – 1965. Ithaca
and Policies. New York: Aspen Law & Business,
and London: Cornell University Press, 1970.
1997.
Finer, S.E., Vernon Bogdanor, and Bernard
Cracknell, D.G. Cracknell’s Statutes: Constitutional
Rudden. Comparing Constitutions London:
and Administrative Law. 3rd edition. London:
Oxford Univer- sity Press, 1995.
Old Bailey Press, 2003.
Flynn, N. and S. Leach. Joint Boards and Joint Commit-
Dahlan, Zaini dkk. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi
tees: An Evaluation. University of
Aksara, 1992.
Birmingham: Institute of Local Government
Dahl, Robert A. Preface to Democratic Theory, 1956.
Studies, 1984.
Darumurti, Krishna D. Dan Umbu Rauta. Otonomi
Friedrich, C.J. Man and His Government. New York:
Daerah: Perkembangan Pemikiran, Pengaturan
McGraw-Hill, 1963.

351 352
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Garner, Bryan A. (ed.). Black’s Law Dictionary. Eight


Hoft, Ph. Visser’t. Penemuan Hukum.
Edition. St. Paul: West Group, 2004.
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta. Bandung:
Glyn, W.B. The Meaning of the Separation of Powers.
Laboratorium Hukum FH Univ. Parahiayangan,
1965.
2001.
Goldsworthy, David J. (Ed.). Development and Social
Iver, Mac. Negara Modern. Jakarta: Aksara Baru, 1988.
Change in Asia: Introductory Essays. Radio
Jellinek, George. Verfassungsanderung und Verfassung-
Aus- tralia-Monach Development Studies Centre,
swandlung, Eine staatsrechtlich
1991.
politische Afhandlung. Berlin: Verslag von O.
Gough, Ian. The Political Economy of the Welfare State.
Haring, 1906.
London and Basingstoke: The Macmillan
Jennings, Sir Ivor. The Law and The Constitution.
Press, 1979.
fifth edition. London: Hodder and Stoughton, 1979.
Griffith. The Politics of the Judiciary, 1985.
Jhaveri, Satyavati S. The Presidency in Indonesia, Dilem-
GTZ. Pegangan Memahami Desentralisasi:
mas of Democracy. Disertasi. Bombay:
Beberapa Pengertian Tentang Desentralisasi.
Populer Prakashan Private Limited, 1975.
terjemahan Decentralization: A Sampling of
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Yuris-
Definitions. cet. Kesatu. Yogyakarta:
prudensi. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Pembaharuan, 2004. Kartasapoetra, R.G. Sistematika Hukum Tata Negara.
Hadjon, Phillipus M. Dkk. Pengantar Hukum Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Adminis- trasi Indonesia (Introduction to the Kelsen, Hans. General Theory of Law and State.
Indonesian Administrative Law). cet. ke-9. New York: Russel and Russel, 1961.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Khadduri, Majid. War and Peace in the Law of Islam.
Hailsham, Lord. The Dilemma of Democracy, 1978. Baltimore: The John Hopkins Press, 1955.
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum. Cet. I. Yogya- Koesoemaatmadja, Djenal Hoesen. Pokok-Pokok Hukum
karta: UII Press 2005. Tata Usaha Negara. Bandung: Alumni, 1979.
Hanson, A.H. and M. Walles. Governing Britain.
Kranenburg. Het Nederlandsch Staatsrecht, eeerste deel
4th edition. Fontana, 1985. zesde durk. Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon,
Hardani, Muhammad. Konstitusi-Konstitusi Modern.
1947.
Surabaya: Pustaka Eureka, 2003. Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara.
Harlow, C. and R. Rawlings. Law and Administration. edisi revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
2nd edition. London: Butterworths, 1997. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. 2nd edition, 1994. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cet-
Harun, Nasrul. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos, 1996. kelima. Jakar- ta: Pusat Studi Hukum Tata
Hitti, Philips K. Capital Cities of Arab Islam. Minnesota: Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
University of Minnesota Press, 1973. 1983.
Hodges, Donald C. The Bureaucratization of Socialism. Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang
The University of Massachussetts Press, 1981. Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hogan, James. Election and Representation, Cork Hukum Universitas Indonesia, 2004.
University Press.

353 354
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Latief, Abdul. Hukum dan Peraturan


MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 sampai
Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan
dengan Tahun 2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal
Daerah. Yogya- karta: UII-Press, 2005.
MPR, 2003.
Leca, J. and M. Grawitz (eds.). Traite de
. Laporan Komisi Konstitusi. Jakarta:
Science Politique. Paris: PUF, 1985.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2003.
Leibholz , G. Politics and Law. A.W. Leiden: Sythoff,
Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-
1965.
Undangan Indonesia. Jakarta: Ind-Hill Co., 1992.
Leyland, Peter and Terry Woods. Textbook on
, Perkembangan UUD 1945, FH-UII
Adminis- trative Law. 4th edition. New Delhi:
Press, Yogyakarta, 2004.
Oxford Univer- sity Press, 2003.
, Pertumbuhan dan Perkembangan
Linscott, Robert N. (eds.). Man and the state: The
Konstitusi Suatu Negara, CV. Mandar Maju,
Poli- tical Philosophers. Modern library, Random
Bandung, 1995.
House, 1953.
Marshall, Geoffrey. Constitutional Conventions, 1984.
Logemann, J.H.A. Over de Theorie van Eeen
Martin, Elizabeth A. (ed.). Oxford Dictionary of Law.
Stellig Staatsrecht (1948). Jakarta: Ichtiar
Fifth Edition. Oxford University Press, 2O03.
Baru-Van Hoeve, 1975. Mast, A., J.Djuardin, M.van Damme and J. Vande
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Lanotte, Overzicht van het Belgisch Administra-
Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan tiefsrecht. Antwerpen: Kluwer-Rechtswetens-
Hukum Adminis- trasi Negara. Jakarta: MA-RI, chappen, 1999.
1995. Maurer, H. Allgemeines Verwaltungsrecht. 13th edition.
Mahfud M.D., Moh. Perkembangan Politik Munich: Beck, 2000.
Hukum (Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient
Politik Ter- hadap Produk Hukum di and Modern. Ithaca, New York: Cornell
Indonesia), Disertasi, Pasca Sarjana, UGM- University Press, 1966.
Yogyakarta, 1993. Meny, Yves and Andrew Knapp. Government
Mahmassani, Subhi Rajab. Konsep Dasar Hak-Hak and Politics in Western Europe: Britain, France,
Asasi Manusia: Studi Perbandingan dalam Sya- Italy, Germany. 3rd edition. Ofxord University
riat Islam dan Perundang-Undangan Modern. Press, 1998.
terjemahan Hasanuddin dari Arkan al-Huquq Mitchell, J.D.B. Constitutional Law. second edition.
al- Insan. cet. Kesatu. Jakarta: Tintamas, 1993. 1968.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Michels, Robert. Partai Politik: Kecenderungan
Indonesia. Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Oligar- kis dalam Birokrasi. Jakarta: Penerbit
Tahun 1960 sampai dengan 2002. Jakarta: Rajawali, 1984.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002. Molan, Michael T. Textbook Constitutional and
. Himpunan Ketetapan MPRS dan Adminis- trative Law: The Machinery of
Ketetapan MPR-RI Berdasarkan Ketetapan MPR-
Government. 4th edition. London: Old Bailey Press,
RI No. I/MPR/Tahun 2003 Tentang Peninjauan
2003.
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan

355 356
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Montesquieu, C.L. The Spirit of Laws. Hafner. 2nd


Rhodes, R. Beyond Westminster and Whitehall:
edition. 1949.
The Sub-Central Government of Britain. London:
Munro, C.R. Studies in Constitutional Law. 2nd
Allen & Unwin, 1988.
edition.
Sabon, Max Boli. Fungsi Ganda Konstitusi. Bandung: PT
1999.
Graviti, 1991.
Munro, W.B. The Government of the United States.
Saleh, Ismail. Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum. Ja-
4th edition, 1936.
karta: Departemen Kehakiman Republik Indonesia,
Muslimin, Amrah. Beberapa Azas-Azas dan Pengertian- 1988.
Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan
Schmitt, Carl. Verfassungslehre. Duncker & Humbolt,
Hu- kum Administrasi. Bandung: Alumni, 1980. 1957.
Nicholson, R.A. A Literacy History of the Arabs. New
Schwartz, Bernard. American Constitutional Law.
York: Cambridge University Press, 1969. New York: Cambridge University Press, 1955.
Oliver, Dawn Constitutional Reform in the UK.
Seerden, Rene dan Frits Stroink (eds.).
Oxford University Press, 2003. Administrative Law of the European Union, Its
Oppenheims bundel J. Nederlandsch
Member States and the United States.
Administratief- recht, 1921. Groningen: Intersentia Uitgevers Antwerpen,
Osborne, David and Peter Plastrik. Banishing Bureau-
2002.
cracy: The Five Strategies for Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Reinventing Government. A Plume Book, 1997.
RI. Jakarta: Konstitusi Press, 2004.
Osborne, David and Ted Gaebler. Reinventing Siong, Gouw Giok. Hukum Perdata
Govern- ment. William Bridges and Associaties,
Internasional Indonesia. jilid 2 (Bagian I). Jakarta:
Addison Wesley Longman, 1992. Kinta, 1962.
Phillips, O. Hood Paul Jackson, and Patricia Leopold. , Warga Negara dan Orang Asing. cet. ke-2.
Constitutional and Administrative Law. 8th edi- Jakarta: Kengpo, 1960.
tion. London: Sweet and Maxwell, 2001. Sitorus, L.M. Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapa-
Poesponoto, Soebakti. Asas dan Susunan Hukum Adat. ngan. cet. ke-3. Jakarta: PT. Pembangunan, 1958.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Soedarsono. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Tata Demokrasi : Penyelesaian Sengketa Hasil
Negara di Indonesia. cet. Keenam. Jakarta: Dian Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi. Jakarta
Rakyat, 1989. : Sekre- tariat Jenderal dan Kepaniteraan
Pudjosewojo, Kusumadi. Pedoman Pelajaran Tata Mahkamah Kon- stitusi RI, 2005.
Hu- kum Indonesia. cet. ke-10. Jakarta: Sinar Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1998.
Grafika, 2004. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian
Purbopranoto, Kontjoro. Beberapa Catatan Hukum Tata Hukum.
Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Jakarta: UI-Press, 1986.
Nega- ra. Bandung: Alumni, 1978. . Sosiologi: Suatu Pengantar.
Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975.

357 358
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka.


Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti. Aspek-Aspek
Sendi- Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum.
Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Indo- nesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata
Suwandi. Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi,
Negara Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.
Konstitusi Demokrasi Modern. Djakarta: Pembangunan,
. Susunan Ketatanegaraan Menurut
1957. Thaib, Dahlan dkk. Teori Konstitusi dan
UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia
Hukum Konstitusi. Cet. Kelima. Jakarta:
Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo
Sinar Hara- pan, 1993. Persada, 2005.
. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi.
Tholosano, Authore D. Petro Gregorio. De
Bandung: Alumni, 1987.
Republica Libri Sex et Viginti. Lugduni, 1609.
. Sistem Dua Partai. Jakarta: Bina Tjipta,
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Admi-
1968.
nistrative Law. edisi ke-3. London: Blackstone
Soemantri, Sri dkk. Ketatanegaraan Indonesia Dalam
Press Ltd., 1997.
Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-Asas dan Pe-
ke Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta:
ngantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama,
Soemodiredjo, Soegondo. Sistem Pemilihan Umum.
2001.
Jakarta : Nasional, 1952.
Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakar-
Strong, C.F. Modern Political Constitutions: An Intro-
ta: Ichtisar.
duction to the Comparative Study of Their History
Van der Pot, C.W. Nederlandsche Staatsrecht, 1950.
and Existing Forms. London: Sidgwick &
Vile, M.J.C. Constitutionalism and the Separation
Jackson, 1973.
of
Stoker, Gerry. The Politics of Local Government. 2ND
Powers. 1967.
edition. London: The Macmillan Press, 1991.
Vollenhoven, Christian van. H.D. Tjeenk Willink & Zoon.
Struyeken A.A.H. Het staatsrecht won het
Haarlem: Martinus Nyhoof & Gravenhage, 1934.
Komisikrijk der Nederlanden, 1915.
Vyshinsky, Andrei Y. The Law of Soviet State. Translated
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan
from the Russian by Rugh W. Babb. New York: The
Undang- Undang Dasar 1945: Kajian
Macmillan Company, 1961.
Perbandingan Ten- tang Dasar Hidup Bersama
Wade and Philips, G. Godfrey. Constitutional Law:
dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI-Press,
An Outline of The Law and Practice of The
1995.
Constitu- tion, Including Central and Local
Suny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta:
Government, The Citizen and The State and
Aksara Baru, 1986.
Administrative Law. Seventh edition. London:
. Sistem Pemilihan Umum yang
Longmans, 1965.
Menjamin Hak-hak Demokrasi Warga Negara.
Wahjono, Padmo. Ilmu Negara. Jakarta: Indo Hill
Dihimpun oleh Harmaily Ibrahim, 1970.
Co., 1999.
Werner, Fritz. Deutsches Verwaltungsblatt, 1959.

359 360
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Whitecross, Paton George. Textbook of
Jurisprudence.
Oxford: The Clarendon Press, 1951.

359 360
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Wilberforce, Lord. Report by the Committee of Privileges


Munro, C.R. “Laws and Conventions Distinguished”, 91
on the Petition of the Irish Peers, 1966.
Law Q Review, 218, 1975.
Winterton, George. The Executive and the
Phillips, O. Hood Constitutional Conventions: Dicey’s
Governor General, 1983.
Predecessors, 29, M.L.R, 1966.
Wolhoff, G.J. Pengantar Hukum Tata Negara Republik
Samford, C. and D. Wood, “Codification of Constitutional
Indonesia. Jakarta: Timun Mas, 1960.
Conventions in Australia”, 1978, P.L. 231.
Woodbine, George E. (ed.). Glanvill De Legibus et
Tomkins, A. 2001, PL. 571.
Consuetudinibus Angiluae. New Haven, 1932.
Vegting, W.G. Plaats en aard van het
Yamin, Muhamad. Naskah Persiapan Undang-Undang
Adminiatra- tiefsrecht, pidato inagurasi,
Dasar 1945. djilid I. Djakarta: Prapantja, 1959.
Amsterdam, 1946.
. Proklamasi dan Konstitusi
Vinogradoff, Sir Paul. “Outlines of Historical Juris-
Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1959.
prudence”, Vol. II, The Jurisprudence of the Greek
. Masalah Ketatanegaraan Indonesia
City, S. Sedley, dalam Richardson and Genn
Dewasa ini. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
(eds), Administrative Law and Government
Action, ch 2, 1994, 110 LQR 270.
Makalah dan Artikel: Kasus-Kasus:
Asshiddiqie, Jimly. The Role of Constitutional Court
Central Control Board vs Cannon Brewery Co., 1919, AC
in Guaranteeing Access to Justice in a New
744, 752.
Transi- tional State, Keynote Address at “the
Cf. R vs Kansal, No. 2, 2002, 1 All ER.
Conference of Comparing Access to Justice in Asian
Chester vs Bateson, 1920, 1 KB 829.
and European Transitional Countries”, Bogor,
Maclaine-Watson vs DoT , 1988.
Indonesia, 27-28 June 2005.
Marbury vs Madison (1803) 5-US, 1 Cranch, 137.
, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Nega-
McGonnell vs United Kingdom (2000), 30 E.H.R.R. 241.
ra Kesejahteraan dan Realitas Masa
Pepper vs Freemans plc, 1989, AC 66.
Depan, pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar
Raleigh vs Goschen, 1893, 1 Ch.73.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
R. vs Environment Secretary, ex p Spath Holme Ltd,
1998.
2001, 2 AC 349, 388.
Casgrove, R.A. The Rule of Law, Albert Venn Dicey,
R. vs Foreign Secretary, ex Bancoult, 2001, QB 1067.
Victorian Jurist, 1981.
R. vs Lambert, 2001, 3 All ER.
Hunt of Tanworth, Lord. “Access to A Previous
R. vs Lord Chancellor, ex p Witham, 1998, QB 575.
Govern- ment’s Papers”, P.L. 1982.
R. vs H.M. Treasury, ex p. Smedley, 1985, Q.B. 657, 666.
Keith, K.J. “The Courts and the Conventions of
R. vs Home Industry, ex Phansopkar, 1976, QB 606.
the Constitution”, 1967, 16 I.C.L.Q. 542.
R .vs Home Secretary, ex p Pierson, 1998, AC 539.
MacCormick, N. Questioning Sovereignty, 1993, 56 MLR
R. vs Home Secretary, ex p Simms, 2000, 2 AC 115.
1.

361 362
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Perundang-undangan:
, Undang-undang Tentang Mahkamah Konsti-
Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
tusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun
, Undang-Undang Dasar Negara Republik
2003, TLN Nomor 4316.
Indo- nesia Tahun 1945.
, Undang-undang Tentang Otonomi Khusus
, Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Indonesia.
Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, UU No.
, Undang-undang Tentang Hak Asasi
18 Tahun 2001, LN No. 114 Tahun 2001, TLN
Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165
4143.
Tahun 1999,
, Undang-undang Tentang Otonomi Khusus
TLN No. 3886.
Bagi Provinsi Papua, UU No. 21 Tahun 2001,
, Undang-undang Tentang Kekuasaan Keha-
LN No. 135 Tahun 2001, TLN No. 4151.
kiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN No. 8 Tahun
, Undang-undang Tentang Partai Politik,
2004, TLN No. 4358.
UU Nomor 31 Tahun 2002, LN Nomor 138
, Undang-undang Tentang Kepailitan dan Pe-
Tahun
nundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU
2002, TLN Nomor 4251.
No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN
, Undang-undang Tentang Pembentukan
No.
Peratu- ran Perundang-undangan, UU No. 10
4443.
Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No.
, Undang-undang Tentang Kepolisian Republik
4389.
Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2 Tahun
, Undang-undang Tentang
2002, TLN No. 4168.
Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 1999, LN
, Undang-undang Tentang Ketentuan-
No. 60 Tahun 1999, TLN No. 3839.
Keten- tuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU
, Undang-undang Tentang Pemerintahan
No. 14 Tahun 1970, LN No. 74 Tahun 1970, TLN
Dae- rah, UU Nomor 32 Tahun 2004, LN
No. 2951.
Nomor 125
, Undang-undang Tentang
Tahun 2004, TLN Nomor 4437.
Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU Nomor
, Undang-undang Tentang Pemilihan Umum
62 Tahun 1958, LN No. 113 Tahun 1958, TLN No.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
1647.
Per- wakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
, Undang-undang Tentang Komisi
Rakyat Daerah, UU No. 12 Tahun 2003, LN. No.
Pemberanta- san Tindak Pidana Korupsi, UU
37 Tahun 2003, TLN No. 4277.
No. 30 Tahun 2002, LN No. 137, TLN No. 4250.
, Undang-undang Tentang Pemilihan Umum
, Undang-undang Tentang Komisi Yudisial,
Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 23 Tahun
UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89 Tahun 2004,
2003, LN No.93 Tahun 2003, TLN No. 4311.
TLN
, Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan
No. 4415.
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
, Undang-Undang Tentang Mahkamah Agung,
1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai
UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985,
Ber- lakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
TLN No. 3316.
363 364
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Menjadi Undang-
Undang, UU No. 2

363 364
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Tahun 2005, LN No. 73 Tahun 2005, TLN No.


, Undang-undang Tentang Perubahan
4523.
Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974
, Undang-undang Tentang Pengadilan Anak, UU
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU No.
No. 3 Tahun 1997, LN No. 3 Tahun 1997, TLN
43 Tahun 1999, LN No. 169 Tahun 1999, TLN No.
3668.
3890.
, Undang-undang Tentang Pengadilan Pajak,
, Undang-undang Tentang Pokok-Pokok
UU No. 14 Tahun 2002, LN No. 27 Tahun 2002, Kepega- waian, UU No. 8 Tahun 1974, LN No.
TLN No. 4189. 55 Tahun 1974, TLN No. 3041.
, Undang-undang Tentang , Undang-undang Tentang Susunan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Industrial, UU No. 2 Tahun 2004, LN No. 6 Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Tahun 2004, TLN No. 4356. Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
, Undang-Undang Tentang Peradilan Rakyat Daerah, UU No. 22 Tahun 2003, LN
Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986. LN No. 92 Tahun 2003,
No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344. TLN Nomor 4310.
, Undang-undang Tentang Peradilan Umum, UU , Undang-undang Tentang Tindak
No. 2 Tahun 1986, LN No. 20 Tahun 1986, TLN No. Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No.
3327. 140 Tahun 1999, TLN No. 140.
, Undang-undang Tentang Perjanjian , Undang-undang Tentang Yayasan, UU No.
Inter- nasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN 16 Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 112, TLN
No. 185 No.
Tahun 2000, TLN No. 4012. 4132.
, Undang-undang Tentang Pernyataan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Tidak Berlakunya Undang-undang No. 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang Kode
Tahun 1958 Tentang Persetujuan Perjanjian Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim
Antara Republik Indonesia dan RRT Mengenai Konstitusi, Pera- turan Mahkamah Konstitusi
Soal Dwikewarga- negaraan, UU Nomor 4 Tahun No. 02/PMK/2003 bertanggal 24 September
1969. 2003.
, Undang-undang Tentang Perikanan, UU No. 31 , Peraturan Mahkamah Konstitusi
Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN No. Tentang Pedoman Beracara Dalam
4433. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Peraturan
, Undang-Undang Tentang Perubahan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 bertanggal 4 Maret 2004.
Tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun , Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang Pem-
2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN No. 4359. berlakuan Deklarasi Kode Etik dan
, Undang-undang Tentang Perubahan Pasal Perilaku Hakim Konstitusi, Peraturan Mahkamah
18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 Konstitusi No. 07/PMK/2005 bertanggal 18
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Oktober 2005.
UU Nomor 3 Tahun 1976, LN 20, TLN 3077.
365 366
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
, Putusan Tentang Pengujian Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945,

365 366
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-


, Keputusan Presiden Republik Indonesia
073/PUU-II/2004 bertanggal 22 Maret 2005.
Tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
, Putusan Tentang Pengujian Undang-
Mahkamah Konstitusi, Keputusan
undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Presiden Nomor 51 Tahun 2004 bertanggal 22 Juni
Kehutanan ter- hadap Undang-Undang Dasar,
2004.
Putusan Mahka- mah Konstitusi Nomor
, Peraturan Pemerintah Tentang
003/PUU-III/2005 bertanggal 7 Juli 2005.
Larangan Pegawai Negeri Menjadi Anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,
Partai Politik, Peraturan Presiden Republik
Ketetapan Tentang Memorandum DPR-GR
Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 bertanggal 16
mengenai Sum- ber Tertib Hukum Republik
Oktober 2004.
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indone- sia, Ketetapan
No. XX/MPRS/1966 bertanggal 5 Juli 1965.
Internet:
, Ketetapan Tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi, Ketetapan No. I/MPR/2002
http://www.courses.unt.edu/chandler/SLIS5647/slides/
bertanggal 11 Agustus Tahun 2002.
cs402AdminiReg/sld008.html.
, Ketetapan Tentang Peninjauan Produk-
http://www. ivr2003.net/Peczenik_Argumentation.htm.
Produk yang Berupa Ketetapan-Ketetapan
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan_sidang.
Majelis Per- musyawaratan Rakyat Sementara
php.
Republik Indo- nesia, Ketetapan No.
http://www.minagric.gr/en/agropol/OECD-EN-310804.
V/MPR/1973 bertanggal 22 Maret 1973.
html.
, Ketetapan MPR Tentang Sumber Hukum
http://www.mpr.go.id/index.php?section-ketetapan.
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
HTTP://WWW.OECD.ORG/STATPORTAL/0,2639,EN_2825_29
undangan, Ketetapan No. III/MPR/2000
356
bertanggal 18 Agustus, 2000.
4_1_1_1_1_1,00.html.
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden
http://www.hold/datacenter/dms/default.asp.
Republik Indonesia Tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2003
bertanggal 7 Juli
1993.
, Keputusan Presiden Tentang Penetapan Uni-
versitas Pendidikan Indonesia Sebagai
Badan Hukum Milik Negara, Keputusan Presiden
Repub- lik Indonesia Nomor 6 Tahun 2004
bertanggal 30
Januari 2004.

367 368
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

DAFTAR INDEKS C D

C.R. Munro, 249 Dekrit, 3, 169, 170, 171


A Article, 71, 274, 277, Calvinis, 111, 112 Dewan Eksekutif, 68
278, 279, 298 Carl Schmitt, 16, 126, Dicey, 30, 160, 161, 164,
A.G. Pringgodigdo, 265 Auguste Comte, 121 127, 128, 129, 130, 236, 237, 243, 263,
A.V. Dicey, 29, 30, 160, Australia, 144, 176, 240, 133, 134, 147 352, 361, 362
161, 177, 237, 243, 252, 353, 362 Carl Scmitt, 133 Djokosoetono, 18, 37,
263, 271 Austria, 43, 67, 322, 351 Carrington, 189 49, 120, 121, 352
A.W. Bradley and K.D. bahasa Latin, 89, 94, Charles Howard DPR-GR, 173, 223, 224,
Ewing, 33, 54, 71, 190 103, 119 McIlwain, 89, 90, 94, 367
A.W. Bradley dan K.D. 101, 102 DPR-RI, 180, 241, 260
Ewing, 32, 72, 79, 182, B Charles I, 184 Dworkin, 286, 302, 303,
187 Christian van 305
Abubakar, 110 Baldwin, 253 Vollenhoven, 24, 25,
al-ahkam, 154 Beauma-noir, 92 37, 55 E
Albert Venn, 160, 236, Belanda, 16, 20, 21, 22, Cicero, 93, 100, 101, 102,
237, 243, 361 23, 46, 50, 114, 119, 103, 104 E.A. Freeman, 243
Alder, 71, 78, 155, 156, 137, 138, 166, 176, Cina, 275, 277, 278, 301 ekonomi, 6, 14, 23, 45,
163, 165, 166, 179, 349 205, 226, 262 civic behavioral 47, 69, 213, 275, 277,
Alexander Peezenick, Bernard Schwartz, 146, realities, 35 281, 287, 295, 315
309 233, 267 Clarke, 14, 15 England, 30, 160, 184,
al-Hadits, 153, 311 besslissing, 324 collective minds, 35, 36, 185, 186, 254, 286
Ali ibn Abi Thalib, 110 BHMN, 114 167 Entick, 189
al-Quran, 109, 153, 154, Bill of Rights, 148, 161, common law, 24, 100, Executive, 71, 72, 74, 75,
311 185, 187 158, 162, 176, 188, 179, 240, 361
al-Sunnah, 153, 154 body politic, 13 239, 242, 246, 249,
Amir Sjarifudin, 229, BPK, 204 251, 330 F
258 Bracton, 92 constitutie, 21, 44, 119,
antropologi, 45, 240 Brian Jones, 81, 82 132, 136, 138, 148,
APBN, 180, 181, 208, Federal, 19, 51, 74, 75,
Brian Thompson, 19, 70, 166, 169, 200
260 147, 310
113, 115, 161, 247, 349 constitutio, 44, 76, 89,
Ferdinand Lassalle, 123,
Arief Sidharta, 274, 275, Bryce, 118, 351 90, 91, 92, 93, 94, 119,
308, 354 127
BUMD, 114 135, 160, 161, 169,
filosof, 90, 95, 98, 100,
Aristoteles, 90, 95, 96, BUMN, 114 237, 246, 263, 271
97, 98, 99, 100, 101 Cromwell, 140 102, 103

369 370
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

filsafat, 100, 154, 157,


Herman Heller, 19, 123, Inggris, 115, 140 Justifikasi, 288, 303
308, 311, 312
138 inhoud, 37, 38, 39
formeele, 37
Hermann Heller, 16, Islam, 106, 107, 109, 110, K
124, 125, 138 112, 113, 153, 154, 311,
G Hindia Belanda, 22 312, 350, 351, 353, K.C. Wheare, 145, 238,
Hoft, 275, 280, 291, 293, 354, 355, 360 243, 254, 256, 273,
G. Marshall, 252 297, 354 Ismail Suny, 126, 145, 320
G.S. Diponolo, 150, 241 Hukum Dagang., 63 234, 238, 241, 256, Kanada, 176, 251, 252
Gadamer, 308 Hukum Eropa, 69 264, 266, 267, 268 Karl Loewenstein, 135
Georg Jellineck, 42 Hukum Gereja, 90 Italia, 17, 22, 119, 274 Katharine, 81, 82
George Jellinek, 266 Hukum Internasional, ius constituendum, 5 Kemal Ataturk, 113
Gereja, 183 46, 65, 66, 68, 159, ius constitutum, 5 Kerajaan Inggris, 112,
gerundgestz, 21 166, 182, 230 Ivo D. Duchacek, 116 155, 263, 264, 265
Gijsbert Karel van Hukum Pajak, 85 Khalifatu al-Rasyidin,
Hogendorp, 22, 120 Hukum Perdata, 52, 63, J 110
Glanvill, 91, 92, 361 358 KNIP, 228, 241, 257, 265
Gregoire, 92 Hukum Tata Usaha, 42, Konstitusi Weimar, 133
J.H.A. Logemann, 26,
Gregory Leyh, 308 53, 58, 85, 354 KPI, 174
37, 60, 70
human creation, 13 James II, 185 KPK, 204, 329
H Human Rights, 71, 186, James VII, 185 KPPU, 174, 204
187, 190, 350 Jerman, 16, 17, 21, 46, KPU, 174, 204, 226, 341
H.L.A. Hart, 32, 199 51, 69, 114, 119, 133, KPUD, 341
Hamid S. Attamimi, 201, I 137, 138, 166, 176, Kranenburg, van der
221 ijma, 153 310, 322 Pot, 63
Hans Kelsen, 12, 19, 62, ijtihad, 153 Jerzy Wroblewski, 304 Kristen, 112
121, 122, 129, 130, 152, ilmu fiqh, 155, 157, 311 John Alder, 53, 54, 71, K-TUN, 87
163, 200, 201, 202, Ilmu Hukum, 7, 15, 27, 76, 77, 155, 156, 157,
327 36, 39, 41, 42, 44, 46, 162, 163, 165, 166, L
Harlow, 83, 84, 353 75, 157, 181, 308, 359 167, 177
Harmaily Ibrahim, 9, 16, Ilmu Politik, 14, 17, 44, Judicial Precedent, 188 L.J. van Apeldoorn, 21
33, 34, 54, 55, 74, 111, 351 Judiciary, 71, 72, 76, 353 legal fiction theory, 20
141, 211, 257, 268, ilmu sosial, 14, 45, 46 juridis, 20, 27, 123, 124, Leon Duguit, 121, 122
354, 359 Ilmu Sosial, 44, 46 139, 152 lex, 91, 102
Harun Alrasid, 16, 49, Ilmu” Hukum Tata jurisprudence, 176, 290, Literlijk, 290
120, 352 Negara, 47 304 llmu Negara, 50
Independence, 71 jurist, 4, 5, 48, 317

371 372
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

Lord Bingham, 191


Michael Allen, 19, 70, P Pierre Gregoire
Lord Nicholls, 191
161, 247 Tholosano, 92
Lord Wilberforce, 187 Pitlo, 285, 291, 292,
Michael J. Allen, 70 Padmo Wahyono, 126,
LSM, 337
Michael T. Molan, 30, 135, 201 300, 301
31, 71, 237 Pahlawan Ampera, 213 Plato, 95, 97, 98
M Moh. Kusnardi, 9, 16, Pancasila, 130, 151, 197, PMK, 174, 204, 226,
33, 34, 37, 54, 55, 74, 198, 201, 202, 319 335, 340, 366
M.G. Clarke, 14 111, 135, 141, 211, 257, Paton George Politea, 91
Mac Iver, 27 268 Whitecross, 29, 156 politeia, 89, 93, 94, 95
MacCormick, 200, 304, Montgomery Watt, 107 Patricia Leopold, 11, 31, PPNS, 324, 328
361 Muhajirin, 108 71, 199, 239, 242, 244, Prof. Dr. Djokosoetono,
Madinah, 106, 107, 108, Mukminin, 108 246, 254, 357 16, 18
109, 350 Muslimin, 58, 108, 357 Patrick Gordon Walker, Prof. Dr. Jahnel Ilmar,
Magna Charta, 92, 161, 261 67, 68
183, 184 N Paul Jackson, 11, 31, 71, PTUN, 87
Mahfud M.D, 146, 355 199, 239, 242, 244,
Mahkamah Agung, 87, Nabi Muhammad SAW, 246, 254 Q
118, 119, 174, 177, 181, 311 Paul Scholten, 25, 26
204, 215, 222, 224, Nasional Assembly, 298 penyelidikan hukum, 59 qiyas, 154, 155
225, 226, 251, 252, Nicholson, 107 Perancis, 15, 17, 20, 21, Quraisy, 108
322, 332, 333, 339, normwissenschaft, 47 30, 53, 92, 119, 121,
355, 363, 365 135, 138, 141, 166, 176, R
Mahkamah Konstitusi, O 277, 301, 322
174, 215, 310, 318, Peraturan Pemerintah Raja Dyonisius II, 98
321, 322, 329, 330, O. Hood Phillips, 11, 31, (PP), 215, 219, 224 Raja Edward, 183
331, 332, 333, 334, 71, 72, 199, 239, 243, PERMA, 174, 204, 226 Rawlings, 83, 84, 353
335, 336, 338, 339, 244, 254 Peter Leyland, 83, 84 Recht, 19, 34, 37, 48, 51,
340, 342, 343, 344, obsolete., 8 Phillips, 11, 29, 32, 72, 53
345, 349, 358, 366, Oppenheim, 25, 51, 53, 107, 115, 199, 239, regelendaad, 208, 324
367, 368 55, 56 242, 244, 245, 246, Rengers Hora Siccama,
Majid Khadduri, 107 Orde Baru, 180, 218, 247, 250, 251, 357, 48, 49
materieele, 37 221, 223, 260, 319 362 Romawi, 90, 93, 100,
Maurice Duverger, 30 ordinary law, 27, 28, Piagam Madinah, 106, 101, 102, 103, 104, 105
Maurice Hauriou, 150 118 107, 108, 109, 111, 112, RUU, 114, 284, 285
Meinhard Schroder, 51 359
Mekkah, 106, 108

373 374
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

S Sudikno, 285, 291, 292, Utrecht, 157, 230, 232, Visser’t Hoft, 275, 278,
300, 301 280, 281, 282, 290, 282, 291, 294, 297,
Sabien Lust, 80 Summers, 304 292, 293, 294, 297, 299
Scholten, 25, 26, 281, Sutandyo, 290, 304 350, 360 vorm, 37, 39, 126, 128
294 Syahrir, 229, 258 Utsman ibn Affan, 110
Scotland, 185, 186, 187 syari’at, 154 W
Sir Ivor Jennings, 243, V
245, 252, 264 T W.L. Newman, 95
Sir John Donaldson, 246 van Apeldoorn, 27, 157 Wade, 28, 268, 360
Skotlandia, 185 TAP, 204, 224 van der Pot, 26 Wade and Phillips, 28,
society, 11, 12, 13, 14, 84, Terry Woods, 83, 84, Van der Pot, 360 268
100, 319, 331, 337, 355 van Vollenhoven, 24, 25, Wet, 34
346 The Common Law, 188 37, 55, 56 William Eskrige, 305
Soeharto, 180, 213, 315 the law of torts, 31 Vegting, 63, 64, 65, 362 wilsovereen-stemming,
Soekarno, 180, 234, 259, theorie, 19, 42, 48, 59, Vegting. Kranenburg, 63 38
268, 315 60, 62, 63, 202 verfassung, 17, 19, 21, Wirjono Prodjodikoro,
Sri Soemantri, 17, 22, Thomas Paine, 19, 94, 119, 124, 126, 127, 134, 15, 28, 45, 52, 233
119, 120, 126, 135, 144, 200 137, 138, 139
171 Timur Tengah, 106 verfassungslehre, 16, 35 Y
staat in beweging, 35, TLN-RI, 205 Verfassungslehre, 16,
41, 51, 56, 318 Tuhan, 66, 101, 104 18, 124, 126, 128, 358 Yahudi, 108
staat in rust, 35, 41, 51, Turki Usmani, 113 verfassungsrecht, 16, 19, Yastrib, 106
55, 56 27, 35, 43, 44, 47, 86 Yunani, 89, 90, 91, 94,
staatslehre, 19, 42, 43 U Verfassungsrecht, 16, 17, 98, 100, 101, 102, 103,
Staatsrecht, 16, 25, 26, 18, 41, 51, 68 105
37, 60, 62, 64, 70, 80, Ulpian, 102 Verwaltungsrechtlehre,
124, 349, 354, 355, Umar ibn Khattab, 110 42 Z
360 Undang-Undang Visser’t, 275, 278, 282,
Staatswissenschaft, 43 Merton, 92 283, 284, 291, 292,
Zainal Abidin Ahmad,
status quo, 99 Uni Eropa, 6, 68, 69, 79 294, 297, 299, 354
107
Statute Law, 190 Uni Soviet, 20 Zaire, 189
Stellinga, 61, 62, 63 Universitas Salzburg, 67,
stelselmatigheid, 37 68
Stoic, 103 Universitas Vienna, 67,
struktural, 66, 328, 333 68
Struycken, 141, 267

375 376
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

3. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakar-


TENTANG PENULIS ta (1986-1990), dan Van Vollenhoven Institute,
serta Rechts-faculteit, Universiteit Leiden, program
doctor by research dalam ilmu hukum (1990).
4. Post-Graduate Summer Refreshment Course on Le-
gal Theories, Harvard Law School, Cambridge,
Massachussett, 1994.
5. Dan berbagai short courses lain di dalam dan luar
negeri.

Pengabdian dalam Tugas Pemerintahan


dan Jabatan Publik lainnya:
1. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia se-
jak tahun 1981 sampai sekarang. Sejak tahun 1998
diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara,
Nama : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan sejak 16 Agustus 2003 berhenti sementara
Lengkap
seba- gai Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama
Alamat : Jl. Widya Chandra III No. menduduki jabatan Hakim Konstitusi, sehingga
Rumah 7, Jakarta Selatan. berubah status menjadi Guru Besar Luar Biasa.
Telp.: 021-5227925. 2. Anggota Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Repu-
HP : 0811-100120. blik Indonesia, 1988-1993.
Email : jiMLY21@Hotmail.com 3. Anggota Kelompok Kerja Dewan Pertahanan dan
Alamat : Mahkamah Konstitusi Ke- amanan Nasional (Wanhankamnas), 1985-1995.
Kantor Republik Indonesia 4. Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6- Hukum (DPKSH), 1999.
7, Jakarta Pusat. 5. Ketua Bidang Hukum Tim Nasional Reformasi
Telp/Faks.: 021-3522087. Nasi- onal Menuju Masyarakat Madani, 1998-1999,
Email : dan Penanggungjawab Panel Ahli Reformasi
jimly@mahkamahkonstitusi.go.id Konstitusi (bersama Prof. Dr. Bagir Manan, SH),
Pendidikan: Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1998-1999.
1. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 6. Anggota Tim Nasional Indonesia Menghadapi Tan-
1982 (Sarjana Hukum). tangan Globalisasi, 1996-1998.
2. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 7. Anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc I (PAH I), Badan
Jakar- ta, 1984 (Magister Hukum). Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia dalam rangka Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 (2001).

377 378
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

8. Senior Scientist bidang Hukum BPP Teknologi, Ja-


20. Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum ber-
karta, 1990-1997.
bagai Universitas Negeri dan Swasta di Jakarta,
9. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Yogyakarta, Surabaya, dan Palembang.
Repu- blik Indonesia, Jakarta, 1993-1998.
10. Anggota Tim Pengkajian Reformasi Kebijakan Pen-
Publikasi Ilmiah:
didikan Nasional Departemen Pendidikan dan Ke-
1. Gagasan Kedaulatan dalam Konstitusi dan Pelak-
budayaan, Jakarta, 1994-1997.
sanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van
11. Asisten Wakil Presiden Republik Indonesia bidang
Hoeve, 1994.
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan
2. Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:
Kemiskinan, 1998-1999 (Asisten Wakil Presiden
Angkasa, 1995.
B.J. Habibie yang kemudian menjadi Presiden RI
3. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen da-
sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri pada
lam Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1996.
bulan Mei 1998).
4. Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi,
12. Diangkat dalam jabatan akademis Guru Besar
Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
dalam Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
5. Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara
Univer- sitas Indonesia, Jakarta, 1998.
Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta:
13. Koordinator dan Penanggungjawab Program Pasca
Universitas Indonesia, 1998.
Sarjana Bidang Ilmu Hukum dan Masalah
6. Reformasi B.J. Habibie: Aspek Sosial, Budaya dan
Kenegara- an, Fakultas Hukum Universitas
Hukum, Bandung: Angkasa, 1999. Edisi bahasa Ing-
Indonesia, Jakarta, 2000-2004.
geris Habibie’s Reform: Socio-Cultural Aspect and
14. Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia,
the Legal System, Bandung: Angkasa, 1999.
2001-SEkarang.
7. Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Gema
15. Penasehat Ahli Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002-
Insani Press, 1997.
2003.
8. Teori dan Aliran Penafsiran dalam Hukum Tata
16. Penasehat Ahli Menteri Perindustrian dan Perda-
Negara, Jakarta: InHilco, 1998.
gangan Republik Indonesia, 2002-2003.
9. Pengantar Pemikiran Perubahan Undang-Undang
17. Anggota tim ahli berbagai rancangan undang-
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
undang di bidang hukum dan politik, Departemen
Tahun 1945, Jakarta: The Habibie Center, 2001.
Dalam Negeri, Departemen Kehakiman dan HAM,
10. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Pasca Perubahan
serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Keempat, Jakarta: PSHTN FHUI, 2002.
sejak tahun 1997-2003.
11. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD,
18. Pengajar pada berbagai Diklatpim Tingkat I dan
UU, dan Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi
Tingkat II Lembaga Administrasi Negara (LAN)
di 78 Negara, Jakarta: PSHTN-FH-UI, 2003.
sejak tahun 1997-SEKArang.
12. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Ke-
19. Pengajar pada kursus KSA dan KRA LEMHANNAS
kuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH-UII-
(Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) se-
Press, 2004.
jak 2002-Sekarang.

379 380
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I

13. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,


25. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Kons-
Jakar- ta: MKRI-PSHTN FHUI, 2004.
titusi Press (bekerjasama dengan PT Syaamil Cipta
14. Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung Repu-
Media, Bandung), 2006.
blik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
26. Ratusan makalah yang disampaikan dalam berbagai
15. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
forum seminar, lokakarya dan ceramah serta yang
Jakarta: Konstitusi Press, (cetakan pertama 2004,
dimuat dalam berbagai majalah dan jurnal ilmiah,
cetakan kedua 2005).
ataupun dimuat dalam buku ontologi oleh penulis
16. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
lain berkenaan dengan berbagai topik.
Negara, Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama
April 2005, cetakan kedua Mei 2005).
17. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai
Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konsti-
tusi Press (cetakan pertama Juli 2005).
18. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Poli-
tik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Setjen dan
Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama November
2005).
19. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Jakar- ta: Konstitusi Press (cetakan pertama Juli
2005).
20. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Jakar- ta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan
pertama November 2005).
21. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta: Yarsif Watampone (cetakan pertama
November 2005).
22. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan
pertama November 2005).
23. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Ja-
karta: Konstitusi Press (cetakan pertama Oktober
2005).
24. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Ja-
karta: Konstitusi Press (cetakan kedua Februari
2006).

381 382

Anda mungkin juga menyukai